Loyalitas Pelanggan 274. Analisis Pengaruh Experiential Marketing Terhadap Loyalitas Pelanggan (Kasus Loyalitas Pelanggan Pada Kedaton Spa Semarang)

BAB II KERANGKA TEORITIS

2.1 Loyalitas Pelanggan

Loyalitas menurut Aaker dalam Mouren Margaretha, 2004: 297 dinyatakan sebagai suatu perilaku yang diharapkan atas suatu produk atau layanan yang antara lain meliputi kemungkinan pembelian lebih lanjut atau perubahan perjanjian layanan, atau sebaliknya seberepa besar kemungkinan pelanggan akan beralih kepada merek lain atau penyedia layanan lain, hal ini dikemukakan oleh. Loyalitas menurut Fornell dalam Mouren Margaretha, 2004:297 merupakan fungsi dari kepuasan pelanggan, rintangan pengalihan, dan keluhan pelanggan. Berdasar dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan loyalitas adalah suatu sikap atau perilaku dari konsumen sebagai dampak dari tingkat kepuasan yang diperoleh setelah mengkonsumsi suatu produk atau jasa yang berakibat kemungkinan pembelian kembali produk atau jasa resebut. Pelanggan Customer menurut Trisno Musanto 2004:128 berbeda dengan konsumen Consumer, seorang dapat dikatakan sebagai pelanggan apabila orang tersebut mulai membiasakan diri untuk membeli produk atau jasa yang ditawarkan oleh badan usaha. Seseorang yang dapat dikatakan pelanggan menurut Jill Griffin 2002: 31 adalah: 1. Melakukan pembelian berulang secara teratur 2. Membeli antar lini produk dan jasa 3. Mereferensikan kepada orang lain 9 4. Menunjukkan kekebalan terhadap tarikan dari pesaing Kebiasaan tersebut dapat dibangun melalui pembelian berulang-ulang dalam jangka waktu tertentu, apabila dalam jangka waktu tertentu tidak melakukan pembelian ulang maka orang tersebut tidak dapat dikatakan sebagai pelanggan tetapi sebagai seorang pembeli atau konsumen. Loyalitas pelanggan menurut Olson dalam Trisno Musanto, 2004:128 merupakan dorongan perilaku untuk melakukan pembelian secara berulang-ulang dan untuk membangun kesetiaan pelanggan terhadap suatu produkjasa yang dihasilkan oleh badan usaha tersebut membutuhkan waktu yang lama melalui suatu proses pembelian yang berulang-ulang tersebut. Sedangkan loyalitas menurut Achmad Slamet 2000:62 adalah keinginan konsumen untuk mengkonsumsi kembali produk atau melakukan pembelian ulang di toko tersebut. Dilihat dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa loyalitas pelanggan adalah sikap yang terbentuk jika pelanggan yang merasa puas dan mereka dapat melakukan pembelian ulang pada waktu yang akan datang dan memberitahukan kepada orang lain atas apa yang dirasakan. Pola pembelian ulang yang terjadi pada konsumen menurut Kotler 1993:381 yaitu: 1. Sangat Setia hard core loyal Konsumen yang membeli satu merek saja setiap saat. Jadi pola pembelian A,A,A,A,A,A yang akan mencerminkan loyalitas yang tak terbagi hanya pada merek A. 10 2. Agak Setia soft core loyal Konsumen yang setia pada dua atau tiga merek. Pola pembelian A,A,B,B,A,B mewakili setiap konsumen dengan loyalitas terbagi antara merek A dengan merek B. 3. Kesetiaaan yang Berpindah shifting loyal Konsumen yang pindah dari menyukai satu merek ke merek lain. Pola pembelian A,A,A,B,B,B akan mencerminkan seorang konsumen yang memindahkan loyalitas pada merek A ke merek B. 4. Pengalihan switching Konsumen yang menunjukkan ketiadaan loyalitas pada merek apapun. Pola pembelian A,C,E,B,D akan mencerminkan seorang konsumen yang tidak setia pada sebuah merek sekalipun. Setiap konsumen menurut Slamet 2000:61 tidak sama kadarnya untuk dipengaruhi oleh suatu strategi pemasaran, oleh karena itu pemasar terdorong mensegmentasikan pasar menurut dasar probabilitas bahwa berbagai macam konsumen akan membeli, menggunakan dan terus membeli ulang produk mereka. Berdasarkan pemaparan teori di atas, dalam penelitian ini loyalitas pelanggan adalah kombinasi dari kepuasan pelanggan, rintangan pengalihan, dan keluhan pelanggan yang menghasilkan sikap dari pelanggan dimana merasa puas atas produk atau servis ang dikonsumsi serta menjaga komitmen untuk tetap membeli produk atau servis tersebut di waktu yang akan datang. 11

2.1.1 Faktor yang mempengaruhi loyalitas

Mempertahankan pelanggan lebih sulit daripada mendapatkan pelanggan baru oleh sebab itu pelanggan yang loyal harus dipertahankan agar tidak berpindah menjadi pelanggan pesaing. Hal ini juga sesuai dengan apa yang dikemukakan oleh Jennie Siat dalam Mouren Margaretha, 2004:297 yaitu bahwa loyalitas pelanggan merupakan tiket menuju sukses semua bisnis. Loyalitas dapat tebentuk menurut Selnes dalam Mouren Maragretha, 2004:297 apabila pelanggan merasa puas dengan merek yang atau tingkat layanan yang diterima sehingga mereka berniat untuk terus melanjutkan hubungan di waktu yang akan datang. Lima tingkat loyalitas pelanggan menurut Aaker dalam Mouren Margaretha, 2004:297-298 yaitu: 1. Pembeli Harga Pembeli sama sekali tidak tertarik pada produk yang bersangkutan, produk apapun yang ditawarkan dianggap memadai, sehingga produk yang ada memainkan peran yang kecil dalam suatu keputusan pembelian. 2. Konsumen yang Loyal dengan Biaya Peralihan Konsumen yang puas, tapi mereka memikul biaya peralihan switching cost dan risiko bila beralih ke produk lain. Untuk dapat meraih tipe 12 konsumen tipe ini, perusahaan harus menawarkan manfaat lebih untuk kompensasi dengan menawarkan garansi. 3. Pembeli Kebiasaan Pembeli yang puas tidak puas terhadap suatu produk meskipun tidak puas, pembeli cenderung tidak berganti produk jika pergantian produk tersebut ternyata membutuhkan usaha. Biasanya pembeli tipe ini sulit untuk dirangkul karena tidak ada alasan bagi mereka untuk memperhitungkan berbagai alternatif produk. 4. Pembeli Apresiasi Konsumen yang sungguh-sungguh menyukai produk tersebut, preferensi mereka didasari serangkaian pengalaman kesan dengan kualitas tinggi yang pernah dialaminya. Hanya saja, rasa suka ini bisa merupakan perasaan umum yang tidak bisa diidentifikasikan dengan cermat karena pemasar belum dapat mengkategorikan secara lebih spesifik loyalitas konsumen terhadap produk. 5. Konsumen yang Setia Konsumen pada tipe ini merupakan konsumen yang setia dan konsumen yang bangga terhadap produk yang dipilihnya. Produk ini sangat penting bagi konsumen baik dari segi fungsi maupun ekspresi gaya hidup mereka. Rasa percaya diri mereka termanifestasikan pada tindakan merekomendasikan produk ke konsumen lain. Konsumen pada tipe ini cenderung setia dan tidak berpindah ke produk lain. 13 Loyalitas menurut Tjiptono 1997:36 merupakan suatu kombinasi dari kepuasan, rintangan pengalihan switching barrier, dan keluhan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada gambar berikut: Kepuasan Pelanggan Rintangan Pengalihan Keluhan Loyalitas Sumber. Tjiptono 1997:37 Gambar 2.1 Model Loyalitas Konsumen 1. Kepuasan Pelanggan Faktor utama dalam membentuk loyalitas dimana kepuasan pelanggan menurut Tjiptono 1997:24 adalah mencakup perbedaan antara harapan dan kinerja atau hasil yang dirasakan. 2. Rintangan Pengalihan switching barrier Rintangan pengalihan menurut Tjiptono 1997:39 dalam hal ini perusahaan perlu berupaya membentuk suatu rintangan pengalihan, sehingga pelanggan merasa enggan, rugi, atau perlu mengeluarkan biaya besar untuk berganti pemasok vendor, toko, dan lain-lain. 14 3. Keluhan voice Keluhan menurut Tjiptono 1997:22 meliputi usaha menyampaikan keluhan secara langsung dan atau meminta ganti rugi kepada perusahaaan yang bersangkutan, maupun kepada distributornya. Berdasarkan pemaparan teori di atas, yang dimaksud dalam penelitian ini faktor-faktor yang mempengaruhi terbentuknya loyalitas pada pelanggan adalah biaya yang dikeluarkan oleh pelanggan harga, tingkat kepuasan pelanggan, dan komunikasi yang terjalin baik antar pelanggan maupun pelanggan dengan pihak perusahaan. 2.1.2 Tahap Pembentukan Loyalitas Ada 3 tiga tahap dalam pengukuran langkah perkembangan loyalitas. Ketiga tahap ini menurut Oskamp dalam Widiyanto, 2004:5 adalah: 1. Tahap Pertama : Loyalitas Kognitif Konsumen yang mempunyai loyalitas tahap pertama ini menggunakan basis informasi yang secara memaksa menunjukkan pada satu merek atas merek lainnya. Jadi loyalitasnya hanya didasarkan pada kognisi saja. Tingkat loyalitasnya baru muncul secara awal. 2. Tahap Kedua : Loyalitas Afektif Loyalitas tahap kedua didasarkan pada aspek afektif konsumen. Sikap merupakan fungsi dari kognisi pengharapan pada periode awal 15 pembelian masa pra konsumsi dan merupakan fungsi dari sikap sebelumnya plus kepuasan di periode selanjutnya. Loyalitas tahap ini sudah jauh lebih sulit untuk dirubah, tidak seperti tahap pertama, karena loyalitas sudah masuk ke dalam benak konsumen sebagai efek dan bukannya sendirian sebagai kognisi yang mudah berubah. Munculnya loyalitas ini didorong oleh faktor kepuasan. 3. Tahap Ketiga : Loyalitas Konatif Yang dimaksud faktor lain pada tahap kedua di muka adalah dimensi konatif niat melakukan, yang dipengaruhi oleh perubahan-perubahan afek terhadap merek. Konasi menunjukkan suatu niat atau komitmen untuk melakukan sesuatu ke arah suatu tujuan tetentu, niat merupakan fungsi dari niat sebelumnya pada masa pra konsumsi dan sikap pada masa pasca konsumsi. Maka loyalitas konatif merupakan suatu kondisi yang mencakup komitmen mendalam untuk melakukan pembelian. Untuk melengkapi runtutan loyalitas di atas, Widiyanto 2004:5-6 menyatakan perlu ditambahkan satu tahap lagi ditambahkan pada model kognitif-afektif konatif yaitu loyalitas tindakan. Aspek konatif atau niat melakukan telah mengalami perkembangan, yaitu dikonversi menjadi perilaku atau tindakan, atau kontrol tindakan. Dalam runtutan kontrol tindakan, niat yang diikuti oleh motivasi, merupakan kondisi yang mengarah pada kesiapan bertindak dan pada keinginan untuk mengatasi hambatan untuk mencapai tindakan tersebut. Jadi, tindakan merupakan 16 pertemuan dari dua kondisi tersebut. Dengan kata lain, tindakan mendatang sangat didukung oleh pengalaman mencapai sesuatu dan penyelesaian hambatan. Pendeteksian adanya loyalitas merek tunggal yang sesungguhnya menurut Widiyanto 2004:4 dapat dilakukan dengan menguji: 1. Struktur Keyakinan Kognitif Artinya informasi merek yang dipegang oleh konsumen yaitu, keyakinan konsumen harus menunjuk pada sautu merek yang dianggap superior alam persaingan. 2. Struktur Sikap Afektif Artinya tingkat kesukaan konsumen harus lebih tinggi dariapada merek saingan, sehingga ada preferensi afektif yang jelas pada suatu merek. 3. Struktur Niat Konatif Artinya konsumen harus mempunyai niat untuk membeli suatu merek tertentu, bukannya merek lain, ketika keputusan beli dilakukan. Strategi pemasar menurut Slamet 2000:60 tidak hanya dapat mempengaruhi setiap elemen kognitif, afekif, dan perilaku pelanggan, namun dapat pula sebaliknya dapat dipengaruhi oleh masing-masing kondisi tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa antara atrategi pemasaran saling berhubungan dan bersifat timbal balik dengan komponen-komponen dari kognitif, afektif, dan perilaku dari pelanggan. Loyalitas menurut Slamet 2000:62 merupakan struktur konatif dari konsumen yang terbentuk dari kognisi dan afeksi yang tinggi dari 17 konsumen. Kognisi yang tinggi akan merujuk pada konsumen yang mempercayai bahwa produk atau toko tersebut mempunyai atribut-atribut tertentu. Sedangkan afeksi yang tinggi yang tinggi menunjuk pada konsumen akan mengevaluasi secara baik atribut-atribut yang ada baik itu menguntungkan atau tidak menguntungkan. Berdasar pemamparan teori di atas, loyalitas terbentuk dari strktur afeksi dan kognisi yang tinggi dari konsumen dan kemudian menghasilkan konatif yang disebut loyalitas atau keterikatan. Sedangkan loyalitas itu sendiri berkembang melalui urutan atau tahap, yaitu pertama-tama sebagai loyalitas kognitif, kemudian loyalitas afektif, dan loyalitas konatif, dan akhirnya sebagai loyalitas tindakan loyalitas yang ditopang oleh komitmen dan tindakan.

2.1.3 Metode Pengukuran Loyalitas

Perkembangan pemikiran loyalitas pelanggan menurut Kertajaya 2007:24 menjadi lima era yakni era kepuasan pelanggan, era retensi pelanggan, era migrasi pelanggan, era antusiasme pelanggan, dan era spiritualitas pelanggan. 1. Era Pertama : Kepuasan Pelanggan Jika perusahaan bisa memberikan servis yang melebihi ekspektasi pelanggan, maka pelanggan pasti akan puas. Dan pelanggan ang puas pasti akan mempunai tingkat loyalitas ang tinggi terhadap produk dibandingkan dengan pelanggan yang tidak puas. Harapan pelanggan 18 menurut Kertajaya 2007:27 cenderung akan semakin tinggi seiring dengan semakin banyaknya kabar baik yang didengar dari orang lain word of mouth, semakin bertambahnya pengalaman mengkonsumsi produk yang lebih bagus past experience, kebutuhan yang semakin meningkat personal needs, dan janji manis yang diiklankan di media external communication. Seorang pelanggan yang merasa puas akan produk atau servis yang dibelinya, pasti pelanggan juga akan berkeinginan untuk membeli produk itu kembali. 2. Era Kedua : Retensi Pelanggan Dalam konsep loyalty marketing, loyalitas menurut Kertajaya 2007: 33 tidak hanya diukur dari lama pelanggan tinggal retensi, tetapi juga dari prosentase uang pelanggan yang dibelanjakan untuk membeli produk perusahaan relatif terhadap produk pesaing. Singkatnya, pelanggan yang paling loyal adalah pelanggan yang paling lama bersama perusahaan dan membeli produk kita lebih banyak. 3. Era Ketiga : Migrasi Pelanggan Mempertahankan pelanggan yang telah ada jauh lebih menguntungkan daripada membiarkannya hilang, kemudian mencari pelanggan baru sebagai gantinya. Oleh karena itu sangat penting bagi perusahaan untuk mngetahui indikasi kepindahan seseorang pelanggan sehingga perusahaan bias menyiapkan perlakuan khusus untuk mencegah migrasi. Lebih lanjut Kertajaya 2007:38 juga menyatakan untuk mencegah presentase migrasi pelanggan dengan cara mengenali perilaku yang 19 menjadi indikasinya, dan menarik kembali pelanggan-pelanggan potensial yang telah pindah ke pesaing. 4. Era Keempat : Antusiasme Pelanggan Pada era ini berberbeda pada tiga era sebelumnya. Intinya mencoba menjawab mengapa perpindahan pelanggan terus terjadi meski pelanggan telah puas dengan produk dan servis yang diberikan perusahaan dan bahkan dengan program loyalitas yang disediakan perusahaan. Inti dari sifat antusiame pelanggan ini menurut Kertajaya 2007:43 loyalitas pelanggan bersifat emosional dan bukan fungsional, yakni seberapa dalam pelanggan merasakan koneksi dengan produk. Ukuran koneksi emosi antara pelanggan dan produk menurut Ben Mc Conneld dan Jackie Huba dalam Kertajaya, 2007:45 adalah referensi dan rekomendasi, dan itulah ukuran yang paling sahih dari loyalitas pelanggan. Sejauh pelanggan mau mereferensikan sebuah brand kepada orang lain, maka selama itu pula ia termasuk pelanggan yang loyal. 5. Era Kelima : Spiritualitas Pelanggan Pada era ini loyalitas pelanggan akan masuk ke area spiritualitas pelanggan. Loyalitas dalam era ini menurut Kertajaya 2007:45-47 tidak hanya berada dalam pikiran mind yakni dengan cara mengingat dan menggunakan produk, dalam hati heart yakni dengan mereferensikan dan merekomendasikan pemakaian pada orang lain tetapi juga telah menjadi bagian dari diri pelanggan seutuhnya spirit. 20 Berdasarkan pemaparan teori di atas, dalam penelitian untuk mengukur loyalitas pelanggan dapat dilihat dari aspek: 1. Keinginan untuk seberapa banyak dan sering dalam membeli kembali produk atau servis yang ditawarkan, 2. Indikasi adanya perpindahan pelanggan dengan menggunakan pencetusan ketidak puasan atau keluhan dari pelanggan, 3. Keinginan untuk menyebarkan informasi, 4. Keinginan untuk mengajak orang lain membeli, dan 5. Keinginan untuk menjadikan produk atau servis sebagai jati diri dari pelanggan.

2.2 Experiential Marketing