Semangat Bushido STRATEGI JEPANG DALAM MEMPERTAHANKAN

BAB III STRATEGI JEPANG DALAM MEMPERTAHANKAN

IWO JIMA

3.1 Semangat Bushido

Dalam peperangan Iwo Jima setiap pasukan militer dibekali pelajaran mental spiritual yang merupakan etos warisan leluhur bangsa Jepang yang disebut dengan “bushidou”. “Bushidou” merupakan etos nilai – nilai semangat para samurai yang merupakan perpaduan antara Shintoisme dan Zen Budhism. Jansen H. Sinamo 1999 menyebutkan semangat “bushidou” sebagai karakter dasar budaya kerja bangsa Jepang. Ada 7 prinsip dalam bushidou yaitu: 1. Gi : keputusan benar diambil dengan sikap benar berdasarkan kebenaran, jika harus mati demi keputusan itu, matilah dengan gagah, terhormat, 2. Yu : berani, ksatria, 3. Jin : murah hati, mencintai dan bersikap baik terhadap sesame, 4. Re : bersikap santun, bertindak benar, 5. Makoto : tulus setulus-tulusnya, sungguh sesungguh-sungguhnya, tanpa pamrih, 6. Melyo : menjaga kehormatan martabat, kemuliaan, 7. Chuugo : mengabdi, loyal. Bushidou merupakan kode etik samurai yang berkembang sejak zaman kamakura pada tahun 1185 sampai dengan 1333. Kemudian, kode etik samurai tersebut terus berkembang mencapai zaman edo pada tahun 1603 sampai dengan 1867. Bushidou merupakan ajaran-ajaran moral keberanian, ketabahan hati, kemurnian, Universitas Sumatera Utara cinta nama baik, kesetiaan, tanggung jawab, rasa malu, dan kehormatan. Aspek spiritual yang menjadi aspek penting dalam bushidou dengan penguasaan diri melalui pengendalian diri, kekuatan akan timbul sehingga samurai dapat menaklukkan lawannya. Sejak dahulu dan sampai saat ini bushidou tetap menjadi kepribadian bangsa Jepang. Bushidou 武士道 dari dua akar kata. Bushi yang berarti ‘pejuang’, dan Dou yang artinya ‘cara’. Oleh karena itu, bushidou diterjemahkan yaitu ‘cara pejuang’ dalam arti cara ataupun jalan hidup pejuang. Bushidou ataupun “jalan hidup pejuang” merupakan penyatuan prinsip – prinsip kesetiaan dan keberanian seorang militer dengan sikap moral yang tinggi yang diajarkan oleh konfusius. Konsep pemikiran bushidou merupakan konsep moralitas yang ditanamkan disetiap samurai pada masa rezim tokugawa, berkembang menjadi dasar landasan spiritual tentara pasukan Jepang yang bertarung dalam mempertahankan Iwo Jima http:en.wikipedia.orgwikiBushido. Ajaran bushidou dikemas secara apik yang merupakan perpaduan ajaran zen dan Shinto yang menimbulkan harmoni dan mengajarkan kesetiaan kepada yang berkuasa, sehingga menetralisasi sifat sombong seorang pejuang militer. Di dalam bushidou tidak mengajarkan dosa tetapi lebih menekan soal kehormatan dan harga diri. Bushidou mengandung keharusan bahwa seseorang harus senantiasa memperhatikan: 1 kejujuran, 2 keberanian, 3 kemurahan hati, 4 kesopanan, 5 kesungguhan, 6 kehormatan atau harga diri, dan 7 kesetiaan. Dimana untuk mencapainya perlu adanya pengendalian diri Suryoharjodiprojo, 1982:48. Bushidou menjadi ajaran kepercayaan terutama konfusianisme di jepang. Bushidou merupakan konsep moralitas yang dapat dikatakan sebagai konsep Universitas Sumatera Utara budaya terhutang yang lahir dari peringatan atas rasa malu, dengan pemikiran bahwa rasa malu dapat dihilangkan dengan cara melunasi hutang. Benedict 1982:234-235 mengatakan, bahwa masyarakat Jepang berkebudayaan “rasa malu”, berbeda dengan Amerika yang berkebudayaan “rasa takut”. Kebudayaan rasa malu tidak menimbulkan ketergantungan terhadap sesuatu yang ilahi melainkan kebudayaan rasa takutlah yang mengutamakan konsep sangsi tersebut. Kebudayaan rasa malu lebih mengutamakan sangsi-sangsi sosial dalam mencari keselamatan hidup. Dari 5 ajaran pola hubungan sosial konfusianisme bushidou, berkembang istilah on, yaitu kewajiban atau hutang yang harus dibayar karena telah menerima kebaikan dari orang lain. Kemudian, pembayaran on dapat dibagi menjadi dua jenis yaitu gimu dan giri. Gimu adalah konsep pembayaran balasan kebaikan secara setulus hati tanpa memikirkan untung rugi kebaikan yang telah diterima. Bentuk dari gimu salah satunya disebut chu. Chu adalah konsep balas budi dari pengikut terhadap tuannya. Chu merupakan pengabdian kepada kaisar. Chu dianggap sebagai on tertinggi yang harus diutamakan sebelum on lainnya. Di dalam on terhadap chu “mengapa harus Kaisar? Karena Kaisar menempati posisi tertinggi dalam lingkup kehidupan orang Jepang. Nilai keberanian bushidou banyak diterapkan orang Jepang dalam mempertahankan negerinya, seperti pasukan tentara Jepang di Iwo Jima yang berani mati dalam menghadapi pasukan tentara Amerika Serikat. Pada peperangan Iwo Jima dikenal strategi perang Jepang yang disebut dengan serangan “banzai” tradisional. Yaitu metode pertahanan Jepang terdahulu yang mencoba menhentikan musuh di daerah pendaratan di pantai. Jenderal Tadamichi Kuribayashi menyadari akan kegagalan Universitas Sumatera Utara metode tersebut. Kemudian, Letnan Jenderal Inoue memberikan ide dengan menggunakan taktik lain dengan memerintahkan pasukan tentara untuk berkonsentrasi agar menghabisi dan melelahkan musuh dari posisi yang sebelumnya telah direncanakan terlebih dahulu. Taktik tersebut disetujui oleh pimpinan perang Jenderal Tadamichi kuribayashi untuk digunakan dalam pertahanan iwo Jima. Jenderal Tadamichi Kuribayashi tahu bahwa pada akhirnya Amerika serikat akan menguasai Iwo Jima. Namun, Jenderal Tadamichi kuribayashi bertekad untuk menimbulkan korban yang sangat besar dipihak amerika Serikat. Nilai keberanian dan pantang putus asa bushidou terpampang secara jelas dalam strategi pertahanan peperangan Iwo Jima dipasukan tentara Jepang. Jenis pembayaran on selanjutnya adalah giri. Giri mencakup kesetiaan pengikut kepada tuannya dan menjaga nama baik. Giri dalam pelajaran jalan hidup bushi diubah menjadi pengabdian memikirkan untung dan rugi. Pada pemerintahan Tokugawa kesetiaan kepada atasan diidentifikasian sebagai kebijakan seorang samurai, sehingga samurai rela mengorbankan hidup dan matinya untuk tuannya yang telah berjasa mengurusnya. Kisah 47 ronin 47 samurai tak bertuan merupakan salah satu contoh dari giri. Kisah tersebut bercerita tentang akouroshi dimana roshi berasal dari kata ro = tidak bertuan, shi = bushi, dan Akou merupakan suatu wilayah kekuasaan di Jepang. Berarti samurai tak bertuan di Akou. Dimana ke 47 ronin tersebut melakukan seppuku bunuh diri untuk melunasi chu mereka karena terpaksa melanggar chu untuk membalaskan dendam tuannya yang telah mati dengan memotong perutnya sendiri yang telah ditetapkan oleh Shogun. Selain itu, demi melakukan giri tersebut mereka rela meninggalkan Universitas Sumatera Utara anak dan istrinya. Ini membuktikan bagi para samurai kesetiaan adalah segala- galanya. Giri di dalam peperangan Iwo Jima dapat dilihat dari penulisan surat yang dilakukan oleh Jenderal Tadamichi Kuribayashi terhadap anak istrinya. Bahwa kepada anak-istrinya untuk tidak menunggu kepulangan Jenderal Tadamichi Kuribayashi dan melangsungkan hidup tanpa dirinya. Jenderal Tadamichi kuribayashi yang notabene merupakan seorang pensiunan samurai membuktikan bahwa kesetiaan terhadap negara adalah segala-galanya. Meskipun harus mengorbankan keluarga dan diri sendiri. Selain itu, giri terhadap nama baik juga tak kalah pentingnya dalam nilai bushidou. Giri terhadap nama baik mewajibkan setiap orang Jepang untuk menjaga martabat dan kehormatan nama mereka. Di dalam masyarakat Jepang kehormatan merupakan suatu kebajikan yang inigin dicapai. Salah satunya cara mereka melakukan giri adalah dengan mengendalikan diri, contohnya bersikap tabah. Salah satu contoh tindakan samurai yang menghormati diri mereka yaitu dengan harus bisa menahan rasa sakit tanpa mengeluh atau meringis. Ketika terjadinya peperangan Iwo Jima meskipun penduduk sipil telah di kirim ke daratan utama Jepang agar tidak ikut menghabiskan perbekalan makanan dan obat-obatan. Pada hari-hari akhir peperangan Iwo Jima perbekalan makanan, air dan obat-obatan mulai menipis, tetapi tidak seorang pun dari pasukan tentara Jepang yang mengeluh dan meringis karena merasakan sakitnya luka tubuh dan kelaparan. Malahan sampai di tenaga dan semangat akhir pun mereka yang kelaparan dan terluka dengan gagah memegang senjata dan berperang demi mempertahankan negara. Kemudian giri berkembang menjadi mental bangsa jepang yang mengutamakan cinta nama baik dan hal tersebut tidak bisa diraih jika terjadi penghinaan yang melekat pada diri Universitas Sumatera Utara mereka. Bahkan, jika tidak ada lagi pilihan lain yang dapat membersihkan nama baik mereka, mereka tidak segan-segan melakukan bunuh diri karena bunuh diri dianggap merupakan tindakan terhormat untuk menegakkan kembali citra mereka. Bunuh diri tersebut disebut dengan seppuku. Seppuku banyak dilakukan oleh samurai. Bahkan, dalam peperangan Iwo Jima, pasukan perang yang hampir sekarat dan yang akan dijadikan tawanan perang oleh tentara Amerika Serikat ada yang memilih untuk bunuh diri dari pada dijadikan tawanan perang.

3.2 Teknologi Perang