BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Penelitian
Retensi urin merupakan masalah yang perlu diperhatikan pada masa intrapartum maupun post partum. Pada masa intrapartum, Sebanyak 16-17 kasus retensio plasenta diakibatkan oleh
kandung kemih yang distensi akibat retensi urin.
1
Sedangkan insiden terjadinya retensi urin pada periode post partum, menurut hasil penelitian Saultz et al berkisar 1,7 sampai 17,9. Penelitian yang dilakukan oleh Yip et al
menemukan insidensi retensi urin post partum sebesar 4,9 dengan volume residu urin 150 cc sebagai volume normal paska berkemih spontan. Penelitian lain oleh Andolf et al
menunjukkan insidensi retensi urin post partum sebanyak 1,5, dan hasil penelitian dari Kavin G et al sebesar 0,7.
2,3,4,5
Penelitian oleh Pribadi dkk secara restropektif di bagian Obstetri dan Ginekologi FK UnlamRSUD Ulin Banjarmasin selama tahun 2002-2003 didapatkan angka kejadian retensi
urin post partum sebesar 0,38 dari sebanyak 1.891 persalinan spontan dan 222 persalinan dengan ekstraksi vakum. Dimana, usia penderita terbanyak adalah kelompok usia 26-30
tahun 36,3 dan paritas terbanyak adalah paritas 1 54,5.
1
Retensi urin post partum paling sering terjadi setelah terjadi persalinan pervaginam. Penelitian oleh Yustini dkk di FKUI – RS. Cipto Mangunkusumo tahun 2009 menunjukkan
angka kejadian disfungsi kandung kemih post partum sebanyak 9-14 dan setelah persalinan menggunakan assisted labor ekstraksi forsep, meningkat menjadi 38 .
10
Retensi urin post partum menimbulkan komplikasi pada masa nifas. Beberapa komplikasi akibat retensi urin post partum adalah terjadinya uremia, infeksi, sepsis, bahkan ada penulis
yang melaporkan terjadinya ruptur spontan vesika urinaria.
1
Peningkatan tekanan intravesika akibat retensi urin pada periode post partum ini menimbukan komplikasi akut dan kronik pada ibu. Retensi urin post partum yang berkepanjangan dapat
menyebabkan terjadinya inkontinensia urin. Pada komplikasi akut, manifestasi yang nyata adalah menimbulkan rasa nyeri sampai menyebabkan kerusakan permanen khususnya
gangguan pada otot detrusor dan ganglion parasimpatis pada dinding kandung kemih.
Universitas Sumatera Utara
Sedangkan komplikasi kronik dari retensi urin, menyebabkan refluks ureter, penyakit traktus urinarius bagian atas dan penurunan fungsi ginjal.
1,2,3
Merujuk terhadap perubahan fisiologis masa nifas, retensi urin post partum dapat disebabkan oleh keadaan hipotonik dari kandung kemih. Perubahan ini dapat berlangsung selama
beberapa hari sampai beberapa minggu post partum.
6,7
Selama proses persalinan, trauma tidak langsung dapat terjadi pada uretra dan kandung kemih. Dinding kandung kemih dapat mengalami hiperemis dan edema serta sering kali
disertai daerah hemoragik. Rasa nyeri pada panggul yang timbul akibat dorongan kepala bayi saat persalinan serta rasa nyeri akibat laserasi vagina atau episiotomi dapat mempengaruhi
proses berkemih.
6,7
Pencegahan dan penanganan kejadian retensi urin post partum sangat perlu dilakukan karena angka kejadian persalinan spontan cukup tinggi. Pada tahun 2009 angka kejadian persalinan
spontan pervaginam di RSUD. Dr. Pirngadi Medan sebesar 37,8 dan di RSUP. H. Adam Malik Medan sebesar 42,7 . Dimana kejadian retensi urin post partum di kedua rumah
sakit belum dilakukan penelitian.
9
Mengatasi masalah berkemih salah satunya dapat dilakukan dengan intervensi bladder training diantaranya kateterisasi baik secara intermitten 4-6 jam sampai tercapai residu urin
150 ml, bila residu urin 150 ml dipasang kateter menetap selama 24-48 jam. Bladder training merupakan penatalaksanaan yang bertujuan melatih kembali kandung kemih
mencapai tonus otot otot kandung kemih yang normal sehingga tercapai kembali pola berkemih normal. Pada perawatan maternal, bladder training dilakukan pada ibu yang
mengalami gangguan berkemih diantaranya pada kasus retensi urin post partum.
6,7
Dari beberapa literatur, bladder training dapat dilakukan sebelum masalah berkemih terjadi pada ibu post partum, sehingga dapat mencegah intervensi invasif yang dapat meningkatkan
risiko terjadinya infeksi saluran kemih. Tujuan dari bladder training adalah melatih kandung kemih untuk meningkatkan kemampuan mengontrol, mengendalikan dan meningkatkan
kemampuan berkemih. Secara umum pertama sekali diupayakan dengan cara yang non invasif agar pasien tersebut dapat berkemih spontan.
10
Universitas Sumatera Utara
Dari beberapa literatur, salah satu intervensi non invasif yang dapat dilakukan untuk mengatasi masalah perkemihan adalah menggunakan alat Sitz bath dengan prinsip
hidroterapi. Terapi ini menggunakan air dengan posisi duduk pada alat Sitz bath. Prinsip hidroterapi ini untuk menstimulasi sirkulasi darah di daerah pelvis. Aplikasi ini
menggunakan alternatif air dingin dan hangat. Sitz bath juga digunakan secara luas dalam praktek medis salah satunya pada pasien retensi urin dan nyeri di daerah pelvis tanpa
gangguan neurologis. Dari literatur, aplikasi ini terbukti bermanfaat untuk pemulihan organ urogenitalia eksterna.
18,19,20
1.2. Rumusan Masalah