Kesepakatan adalah salah satu pihak atau kedua belah pihak tidak berupaya menipu, menekan atau menyesatkan pihak lainnya. Perubahan atas
kesepakatan harus berasal dari kesepakatan kedua belah pihak. Artinya, pengakhiran kesepakatan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula
berdasarkan atau revisi terhadap muatan kesepakatan harus pula berdasarkan pada kesepakatan kedua belah pihak.
140
penyerahan sengketa ke suatu badan arbitrase. Menurut pasal ini penyerahan sengketa kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak.
Artinya, penyerahan suatu sengketa ke badan arbitrase haruslah berdasarkan pada kebebasan para pihak untuk memilihnya.
2. Prinsip
kebebasan memilih cara-cara penyelesaian sengketa
Prinsip penting kedua adalah prinsip dimana para pihak memiliki kebebasan penuh untuk menentukan dan memilih cara atau mekanisme bagaimana
sengketanya diselesaikan principle of free choice of means. Prinsip ini termuat antara lain dalam Pasal 7 The UNCITRAL Model Law on International
Commercial Arbitration. Pasal ini memuat definisi mengenai perjanjian arbitrase, yaitu perjanjian
141
Prinsip ini dapat ditemukan antara dalam pasal 33 Statuta Mahkamah Internasional yang memberikan berbagai alternatif metode penyelesaian sengketa.
Pihak-pihak yang bersengketa bisa memilih metode apapun dari pilihan yang
140
Meria Utama, Op.Cit, hal 57
141
Pasal 7 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbtration:“Arbitration Agreement” is an agreement by the parties to submit to arbitration all or certain disputes which
have arisen or which may arise between them in respect of a defined legal relationship , whether contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an arbitration clause in a
contract or in the form of a separate agreement.’ 10 Pasal 38:2 Statuta Mahkamah Internasional: This provision shall not prejudice the power of the Court to decide a case ex aequo et bono, if the
parties agree hereon.
diberikan. Metode penyelesaian sengketa yang dilarang adalah penggunaan kekerasan.
142
Principle of free choice of means, prinsip ini termuat antara lain dalam pasal 7 THE UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.
Pasal ini memuat definisi mengenai perjajian arbitrase, yaitu perjanjian penyerahan sengketa kepada arbitrase. Menurut pasal ini, penyerahan sengketa
kepada arbitrase merupakan kesepakatan atau perjanjian para pihak. Artinya, penyerahan suatu sengketa kebadan arbitrase haruslah berdasarkan pada
kebebasan para pihak untuk memilihnya.
143
Prinsip penting lainnya adalah prinsip kebebasan para pihak untuk menentukan sendiri hukum apa yang akan diterapkan bila sengketanya
diselesaikan oleh badan peradilan arbitrase terhadap pokok sengketa. Kebebasan para pihak untuk menentukan hukum ini termasuk kebebasan untuk
memilih kepatutan dan kelayakan ex aequo et bono. Yang terakhir ini adalah sumber di mana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. 3. Prinsip kebebasan memilih hukum
144
Prinsip ini adalah sumber dimana pengadilan akan memutus sengketa berdasarkan prinsip
keadilan, kepatutan atau kelayakan suatu penyelesaian sengketa. Contoh kebebasan memilih ini yang harus dihormati oleh badan peradilan adalah pasal 28
ayat 1 UNCITRAL Model Law on International Commercial Arbitration.
145
142
Sefriani, Op.Cit, hal 358
143
Meria Utama, Op.Cit, hal 58
144
Huala Adolf, Op.Cit, hal 7
145
Meria Utama, Op.Cit, hal 58
4. Prinsip itikad baik Good Faith
Prinsip itikad baik dapat dikatakan sebagai prinsip fundamental dan paling sentral dalam penyelesaian sengketa. Prinsip ini mensyaratkan dan mewajibkan
adanya itikad baik dari para pihak dalam menyelesaikan sengketanya. Dalam penyelesaian sengketa, prinsip ini tercemin dalam dua tahap.
Pertama, prinsip itikad baik disyaratkan untuk mencegah timbulnya sengketa yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan baik di antara negara. Kedua, prinsip
ini disyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya melalui cara-cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum perdagangan
internasional, yakni negosiasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase, pengadilan atau cara- cara pilihan para pihak lainnya.
146
Dalam penyelesaikan sengketa, prinsip ini tercermin dalam dua tahap. Pertama, prinsip iktikad baik diisyratkan untuk mencegah timbulnya sengketa
yang dapat memengaruhi hubungan–hubungan baik diantara negara. Kedua, prinsip ini diisyaratkan harus ada ketika para pihak menyelesaikan sengketanya
melalui cara–cara penyelesaian sengketa yang dikenal dalam hukum perdagangan internasional, yakni negoisasi, mediasi, konsiliasi, arbitrase,
pengadilan atau cara–cara pilihan para pihak lainnya.
147
146
Dalam instrumen-instrumen hukum internasional, prinsip ini jarang sekali ditemui. Hal ini mungkin disebabkan karena sulitnya patokan yang dapat digunakan untuk mengukur sesuatu
pihak telah atau tidak melaksanakan sesuatu perbuatan dengan itikad baik. Dalam hukum naisonal, prinsip ini antara lain tampak dalam pasal 1338 KUH Perdata dan UU Nomor 30 tahun 1999
tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 6 ayat 1 UU No 30 tahun 1999 menyatakan: “1 Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternative penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.“
147
Meria Utama, Op.Cit, hal 59
5.
Prinsip Exhaustion of Local Remedies
Prinsip Exhaustion of Local Remedies sebenarnya semula lahir dari prinsip hukum kebiasaan internasional. Dalam upayanya merumuskan pengaturan
mengenai prinsip ini, Komisi Hukum Internasional PBB International Law Commission memuat aturan khusus mengenai prinsip ini dalam pasal 22
mengenai ILC Draft Articles on State Responsibility Draft artikel tentang
tanggung jawab negara.
Pasal 22 ini menyatakan sebagai berikut: “When the conduct of a State has created a situation not in conformity with the result of it by an international
obligation concerning the treatment too be accorded to aliens, whether natural or juridical persons, but the obligation allows that this or an equivalent result may
nevertheless be achieved by subsequent conduct of the State, there is a breach of the obligation only if the aliens concerned have exhausted the effective local
remedies available to them without obtaining the treatment called for by the obligation or, where that is not possible, an equivalent treatment.” Ketika
pelaksanaan Negara telah menciptakan situasi tidak sesuai dengan hasil itu dengan kewajiban internasional mengenai pengobatan juga diberikan kepada orang asing,
apakah badan hukum atau perorangan, tetapi kewajiban memungkinkan bahwa hasil ini setara atau mungkin tetap menjadi dicapai dengan perilaku berikutnya
dari Negara, ada pelanggaran dari kewajiban hanya jika alien yang bersangkutan telah habis obat lokal yang efektif yang tersedia untuk mereka tanpa mendapatkan
pengobatan yang disebut oleh kewajiban atau, di mana hal itu tidak mungkin, pengobatan setara.
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa
sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional, maka langkah-langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum
nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh exhausted.
148
Menurut prinsip ini, hukum kebiasaan internasional menetapkan bahwa sebelum para pihak mengajukan sengketanya ke pengadilan internasional,
langkah–langkah penyelesaian sengketa yang tersedia atau diberikan oleh hukum
148
Huala Adolf, Op.Cit, hal 8
nasional suatu negara harus terlebih dahulu ditempuh exhausted, contoh sengketa the Interhandel Case 1959, Mahkamah Internasional.
149
Prinsip ini diberikan untuk memberikan kesempatan pada pengadilan nasional untuk
memberikan remedy kepada pihak yang merasa dirugikan sebelum sengketanya diajukan ke tingkat internasional.
150
C. Prosescara Penyelesaian Masalah-Masalah Sengketa Internasional