BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Dalam pandangan Gennep Winangun,1990 : 33 ketika seseorang memasuki masa peralihan Rites of Passage akan mengalami tiga proses, yaitu
1 Ritus pemisahan, yaitu ketika seseorang meninggal dan dimakamkan, orang tersebut akan pisah dengan sanak keluarga, dan memasuki cara hidup yang lain
2 Ritus peralihan, yaitu suatu pemindahan status dari tempat, umur tertentu ke status lain, misalkan kehamilan, supitan, tetesan dan sebagainya 3 Ritus
Inkorporasi, yaitu ritus yang menyatukan, misalkan hubungan pernikahan. Pernikahan adalah menyatukan dua keluarga.
Jepang adalah negara yang kaya akan tradisi dan budayanya. Jika kita membahas mengenai Jepang secara keseluruhan, ada hal yang tidak luput dari
pandangan kita yaitu kebiasaaan masyarakat Jepang dengan tradisinya yang unik dan beragam. Meskipun Jepang dikenal sebagai negara maju, namun
masyarakatnya tetap menjaga tradisi itu secara turun menurun seperti upacara minum teh, hari anak laki-laki, upacara pernikahan, dan masih banyak lainnya.
Diantara semuanya, upacara pernikahan merupakan salah satu peristiwa terpenting didalam ritus-ritus kemanusiaan orang Jepang.
Kebudayaan bersifat universal dimililki oleh setiap bangsa didunia ini. Hampir tiap bangsa memiliki kebudayaan yang berbeda-beda. Jepang merupakan
salah satu negara didunia yang selalu berusaha memelihara dan melestarikan kebudayaan bangsanya. Bangsa Jepang umumnya dikenal sebagai bangsa yang
mampu mengambil dan menarik manfaat dan hasil budidaya bangsa lain tanpa
Universitas Sumatera Utara
mengorbankan kepribadian sendiri. Selain itu juga sifat bangsa Jepang yang menunjukkan naluri yang sangat kuat untuk menjamin kelangsungan hidupnya
serta meneruskan nilai-nilai budaya bangsanya. Banyak sikap dan sifat orang Jepang yang berkaitan erat dengan nilai-nilai penting yang harus dipertahankan
didalam kehidupan masyarakat Jepang Reishchaver, 1982:192. Koentjaraningrat 1997: 92 menyatakan bahwa dalam setiap masyarakat
hidupnya dibagi-bagi kedalam tingkat-tingkat. Tingkatan tersebut dinamakan tingkat-tingkat sepanjang daur hidup yang meliputi: masa bayi, masa anak-anak,
masa remaja, masa dewasa, masa sesudah menikah, masa kehamilan, masa tua. Pada masa peralihan antara satu tingkat kehidupan ketingkat berikutnya biasanya
diadakan pesta atau upacara yang bersifat universal. Penyelenggaraaan upacara tersebut disebabkan adanya kesadaran bahwa
setiap tahap baru dalam daur hidup, menyebabkan masuknya seseorang kedalam lingkungan sosial yang baru dan lebih luas. Pada banyak bangsa, upacara daur
hidup dilaksanakan sebagai upaya untuk menolak bahaya gaib yang timbul ketika masa peralihan. Disamping itu, upacara-upacara itu juga memilki fungsi sosial;
antara lain memberitakan kepada khalayak ramai mengenai perubahan tingkat hidup yang telah dicapai.
Upacara perkawinan adalah tahapan acara yang dilakukan mulai dari awal menentukan pasangan sampai kepada pesta pernikahan dan sesudahnya, yang
mana didalamnya mengandung unsur unsur ritual dan nilai-nilai. Upacara perkawinan menurut Suyanto dan Narwoko 2004:207, adalah kegiatan-kegiatan
yang telah dilazimkan dalam usaha mematangkan, melaksanakan dan menetapkan suatu perkawinan.
Universitas Sumatera Utara
Bentuk perkawinan sangat erat kaitannya dengan bentuk keluarga. Dalam masyarakat Jepang dikenal ada dua buah konsep keluarga yaitu keluarga sebagai
“Kazoku” dan keluarga sebagai “Ie”. Keluarga Kazoku menurut Situmorang 2006 : 22, adalah hubungan
suami istri, hubungan orang tua dan anak dan diperluas pada hubungan persaudaraan yang didasarkan pada struktur masyarakat tersebut. Kazoku
merupakan unit terkecil dalam masyarakat yang merupakan komponen terpenting dalam pembentukan sistem kekerabatan dari kazoku inilah akan lahir sistem
keluarga tradisional Jepang yang disebut dengan Ie. Ie 家, yang banyak diungkapkan dengan katakana イエ adalah
sekelompok orang yang tinggal disebuah lingkungan rumah memilki keterikatan antara anggota. Ikatan sosial para anggota khususnya dibidang kepercayaan
pemujaan, ekonomi dan moral Situmorang 2000 : 98. Ariga Kizaemon dalam Situmorang 2006 : 24, mengatakan bahwa pada
awalnya Ie terbentuk karena adanya pernikahan yaitu terbentuknya keluarga inti. Tetapi setelah mereka mempunyai anak dan apabila suami atau ibu didalam
keluarga tersebut meninggal maka kepala keluarga tersebut diganti oleh anak laki- laki tertua. Jika keluarga tersebut tidak mempunyai anak laki-laki maka suami dari
anak perempuan dapat diangkat menjadi kepala keluarga. Jadi dapat disimpulkan bahwa perbedaan Kazoku dengan Ie adalah bahwa
Kazoku adalah sistem kekerabatan yang terbentuk hanya atas dasar hubungan suami istri, orang dan anak-anak dalam kurun waktu beberapa generasi saja,
Universitas Sumatera Utara
sedangkan Ie anggota-anggotanya terdiri dari beberapa generasi meliputi anggota yang masih hidup dan mati.
Peranan Nakoodo sangat penting sebagai perantara Ie dengan Ie dalam perkawinan di Jepang. Nakoodo adalah orang yang bertugas mencarikan pasangan
calon pengantin. Berdasarkan pendapat Marta 1995 :6, perkawinan dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah “Kekkon” atau “Kon’in”. upacara
perkawinan di Jepang dapat dibedakan menjadi tiga macam yaitu: Shinzen kekkon shiki perkawinan berdasarkan agama Shinto, Butsuzen kekkon shiki perkawinan
berdasarkan agama Budha dan Kiritsutokyoo kekkon shiki perkawinan bersarkan agama Kristen.
Saat ini di Jepang, terdapat dua tata cara pernikahan yaitu, tata cara pernikahan modern yang dilangsungkan di gereja dengan sistem agama Kristen
dan tata cara pernikahan tradisional yang dilangsungkan di kuil dengan sistem Budha atau Shinto. Masyarakat Jepang sendiri saat ini lebih tertarik pada upacara
pernikahan dengan cara yang modern, yaitu menikah denngan tata cara Kristen di gereja meski keduanya tidak beragama Kristen, tetapi yang menikahkan keduanya
tetap pendeta. Banyak diantara mereka tertarik dengan tata cara ini karena ingin memakai gaun pengantin berwarna putih yang indah serta disaksikan oleh
keluarga, teman dan kerabat dekat. Oleh karena itu dalam penelitian ini, Aceh diambil sebagai bahan
perbandingan kebudayaan untuk mewakili bangsa Indonesia secara keseluruhan. Sedangkan untuk kajian Jepang yang diambil secara keseluruhan karena
kebudayaan jepang dianggap bisa mewakili seluruh sub-sub di daerah tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Masyarakat Aceh adalah masyarakat yang memegang teguh adat istiadatnya. Jiwa adat yang sejalan dengan agama islam masih dikhayati oleh
masyarakat Aceh, sesuai dengan ungkapan dalam adat Meukuta AlamAdat Poteu Meureuhom, yakni: Hukom ngon Adat han jeut cre, lagee dzat ngon sipheut
“Hukum dengan adat tidak bercerai, seperti tidak bercerainya zat dengan sifat” Alamsyah, dkk, 1990:10. Jika dikaji ulang semua strata kehidupan dilaksanakan
secara adat. Bagi masyarakat Aceh perkawinan bukan saja menyangkut penggabungan
dua insan saja, tetapi lebih kepada penyatuan dua keluarga besar. Bentuk keluarga di Aceh dikenal dengan istilah “keluarga Batih” atau “rumah tangga”. Keluarga
Batih adalah keluarga yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak yang belum menikah. Keluarga Batih merupakan kesatuan ekonomi dan kesatuan adat, dalam
hal ini laki-laki lebih dititikberatkan tanggung jawabnya dalam usaha perekonomian, hubungan pemerintahan, dan kemasyarakatan. Sedangkan kaum
wanita disamping bertugas membantu kaum laki-laki dalam berbagai usaha, juga peranannya lebih dituntut untuk mengurus rumah tangga dan pengasuhan anak.
Secara garis besar upacara perkawinan masyarakat Aceh dibagi atas tiga tahapan yaitu: adat sebelum perkawinan, adat pelaksanaan perkawinan dan adat
sesudah perkawinan. Di dalam ketiga tahapan tersebut mempunyai bagian-bagian tardisi yang unik dan syarat akan nilai. Makna perkawinan bagi masyarakat Aceh
berdasarkan fungsi sosial perkawinan yaitu pasangan yang baru saja menikah, hidup bersama dalam satu ikatan, diakui dan disetujui oleh anggota-anggota
masyarakat. Kepada mereka dituntut untuk bekerja sama antara sesamanya dan
Universitas Sumatera Utara
kadang-kadang dengan anggota kerabat lainnya dalam mengasuh rumah tangga Suwondo, 1978:43.
Satu diantara kegiatan yang khas pada upacara perkawinan di Aceh adalah Cah Ret. Alamsyah, dkk 1990:37, menyimpulkan bahwa Cah Ret adalah
langkah awal dalam mencari jodoh yang dilakukan oleh ibu anak laki-laki ditemani oleh seorang atau dua orang wanita lain secara tidak resmi datang ke
rumah gadis yang dimaksud. Alasan yang dicari umpamanya kalau dirumah itu ada orang sakit, datangnya untuk menjenguk orang sakit, atau jika didalam kebun
pekarangan rumah gadis tersebut ada pohon buah-buahan, maka mereka berpura- pura mencari buah-buahan.
Dalam perkawinan tradisional masyarakat Aceh, orang yang bertugas sebagai perantara keluarga calon pengantin disebut dengan Seulangke Alamsyah,
dkk, 1990:38. Seulangke ditunjuk dari orang yang dituakan di dalam kampong yang cukup bijaksana, berwibawa, berpengaruh dan alim serta mengetahui seluk-
beluk adat perkawinan. Pada tradisi perkawinan di Aceh dikenal istilah “upacara mengantar tanda”. Mengantar tanda adalah pihak laki-laki menyerahkan “tanda”
kepada pihak wanita sebagai ikatan. Tanda itu berupa bawaan, bawaan itu berupa bahan-bahan makanan, pakaian, dan sebagian dari mahar atau mas kawin
Soewondo, 1979:69. Pelaksanaan upacara ini dilakukan oleh Seulangke. Disamping Seulangke sebagai pelopornya, disertai juga orang-orang tua kampong,
Keuchik, Tengku Meunasah, Ketua adat dan beberapa orang kaum kerabat dari pihak keluarga calon pengantin laki-laki
Universitas Sumatera Utara
Upacara mengantar tanda juga terdapat pada tradisi upacara perkawinan di Jepang.Menurut Situmorang dalam Dani 2005:20, menjelaskan bahwa bukti-
bukti janji perkawinan yang berasal dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan disebut Yuuino. Benda pengikat dari bukti tersebut disebut
Yuinomono yang biasanya terdiri dari sejumlah uang, barang tekstil, beras, sake dan lain-lain. Hal ini dipertegas lagi oleh Wibowo 2005:19, yang mengatakan
bahwa tata cara untuk meresmikan kedua calon pengantin dalam masyarakat Jepang dimulai dari Yuinoo. Yuinoo dibagi dua yaitu Yuinoohin dan Yuinookin.
Pertukaran barang-barang sebagai tanda pertunangan disebuat Yuinoohin, sedangkan pemberian uang sebanyak dua atau tiga bulan gaji calon pengantin pria
disebut dengan Yuinookin. Sebagai balasan Yuinookin pihak akan memberikan setengah dari uang yang diterimanya.
Pada dasarnya tahapan-tahapan upacara perkawinan dalam masyarakat Aceh dan masyarakat Jepang sama-sama memilki tiga fase yaitu: masa pra
upacara perkawinan, upacara perkawinan, dan pasca perkawinan. Disamping mempunyai perbedaan dalam substansi kegiatan pada fase tersebut, namun setelah
ditelaah lebih lanjut terdapat juga persamaan-persamaan upacara tersebut. Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini akan
berusaha mengungkapkan persamaan dan perbedaan yang terdapat dalam upacara perkawinan tradisional masyarakat Jepang dan masyarakat Aceh melalui judul
skripsi “Perbandingan Tahapan Upacara Perkawinan Pada Masyarakat Jepang Dan Masyarakat Aceh”.
Universitas Sumatera Utara
1.2. Perumusan Masalah