Kemampuan Penggunaan Alat Terapi Inhalasi Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik Di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010
Kemampuan Penggunaan Alat Terapi Inhalasi
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan
Tahun 2010
Oleh :
Vitri Alya bt Ali Umar
070100143
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(2)
Kemampuan Penggunaan Alat Terapi Inhalasi
Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan
Tahun 2010
Karya Tulis Ilmiah Ini Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk
Memperoleh Kelulusan Sarjana Kedokteran
Oleh :
Vitri Alya bt Ali Umar
070100143
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2010
(3)
LEMBAR PENGESAHAN
KEMAMPUAN PENGGUNAAN ALAT TERAPI INHALASI PADA PASIEN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK DI POLIKLINIK PARU RUMAH SAKIT TEMBAKAU DELI MEDAN
TAHUN 2010
Nama : Vitri Alya bt Ali Umar NIM : 070100143
Pembimbing Penguji I
(dr. Amira Permata Sari Sp.P) (dr. Yahwardiah Siregar, Ph.D)
NIP:1969110719999032002 NIP: 195508071985032001 Penguji II
(dr. Evo Elidar Harahap, Sp. Rad) NIP : 196309271990102002
Medan, 10 Desember 2010 Dekan
Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara
(Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH) NIP: 19540220 198011 1 001
(4)
ABSTRAK
Terapi yang digunakan oleh pasien PPOK adalah terapi inhalasi, diantaranya ialah MDI (Metered Doze Inhalation), DPI (Dry Powder Inhalation), dan Inhalasi nebulizer. Terapi inhalasi memiliki peranan yang sangat penting pada perawatan pasien-pasien dengan asma atau PPOK, dan penggunaannya membutuhkan pelatihan yang sifatnya kontinu. Agar bisa mendapatkan hasil terapi yang lebih baik, pasien PPOK harus mengetahui dan memahami cara menggunakan alat terapi inhalasi tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien PPOK di Poliklinik paru RS.Tembakau Deli Medan dalam menggunakan terapi inhalasi. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Populasi adalah semua pasien PPOK stabil yang menjalani rawat jalan di Poliklinik paru RS. Tembakau Deli Medan yang berjumlah 183 orang, sampel sebanyak 35 orang yang diperoleh secara quota sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi.
Hasil penelitian ditemukan seluruh responden menyatakan bahwa mereka mengenal terapi inhalasi (100%) dan hampir seluruh responden menyatakan mengetahui cara menggunakan alat terapi inhalasi yang diresepkan oleh dokter mereka (94,3%). Dari 31 responden yang menggunakan MDI sebagian besar sering tidak melakukan atau melakukan kesalahan pada saat memegang inhaler dengan tegak lurus dan mengocok inhaler (77,4%) dan menahan nafas selama 10 detik atau selama yang disanggupi (38,7%). Dari 23 responden yang menggunakan Swinghaler, sebagian besar sering tidak melakukan atau melakukan kesalahan pada saat mengocok tabung inhaler (91,3%) dan pada saat menekan tombol pada inhaler satu kali (60,9%).
Kesimpulan dari penelitian ini ialah hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka mengetahui cara menggunakan alat terapi inhalasi, tetapi pada saat dilakukan observasi hampir seluruh responden melakukan satu, atau bahkan tiga kesalahan pada saat menggunakan alat terapi inhalasi tersebut. Sebaiknya dilakukan kembali edukasi mengenai terapi inhalasi dan lebih mendemonstrasikan, mengobservasi dan mengevaluasi pasien PPOK agar mereka dapat lebih memahami dan mampu untuk menggunakan alat terapi yang mereka miliki.
(5)
ABSTRACT
The treatment used in patients with COPD is inhalation therapy, which consist of MDI (Metered Doze Inhalation), DPI (Dry Powder Inhalation), and nebulizer inhalation. Inhalation therapy plays a central role in the treatment of patients with asthma or COPD, the use of which requires continuous supervised training. To get a better outcome from the treatment, patients with COPD must know and understand about how to use the inhalation device correctly.
This research has a purpose of finding out the ability of COPD patients in Poliklinik paru Tembakau Deli Hospital in using inhalation therapy. This is a descriptive research with a cross sectional design. The populations are all patients with stable COPD that are still being treated in Poliklinik paru Tembakau Deli Hospital in Medan. From 183 people, 35 people are chosen with quota sampling method as samples for this research. The data are collected by questionnaires and observations.
The results are the entire respondent claimed to know inhalation therapy (100%) and almost all of them claimed that they know how to use the device (94,3%). From 31 respondent who used MDI, most of them don’t or committed error in holding the inhaler upright and shaking the inhaler (77,4%) and holding breath for about 10 second or as long as they can (38,7%). From 23 respondent who used Swinghaler, most of them don’t or committed error in shaking the inhaler (91,3%) and in pushing the button of the inhaler once (60,9%)
The conclusions are the majority of the respondents claimed to know how to use inhalation devices. However, from the observations done by the researcher, almost all of them committed one or three mistakes in using the device. Education about inhalation therapy must be done and demonstration, observation, and evaluation must be done more often in patients with COPD so that they can understand more and they can used the device correctly.
(6)
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke Allah SWT karena atas berkat dan rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan karya tulis ilmiah ini, yang merupakan salah satu tugas akhir dalam menyelesaikan pendidikan sarjana kedokteran di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Dengan selesainya penulisan karya tulis ilmiah ini, saya ingin menyampaikan terimakasih kepada:
1. Prof. dr. Gontar Alamsyah Siregar, Sp. PD-KGEH sebagai Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. dr. Amira Permatasari Sp.P sebagai dosen pembimbing yang telah meluangkan waktu dan pikirannya untuk membimbing saya dalam menyelesaikan karya tulis ilmiah ini.
3. dr. Yahwardiah Siregar, P.hD dan dr. Evo Elidar Harahap, Sp.Rad selaku dosen penguji yang telah memberikan kritik dan saran untuk memperbaiki karya tulis ilmiah ini.
4. Seluruh dosen dan staf pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang bermanfaat selama saya mengikuti pendidikan sarjana kedokteran.
5. Kepada seluruh staf dan pegawai di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan yang telah membantu saya sehingga penelitian ini dapat diselesaikan. 6. Kepada kedua orang tua saya, Ir. H. Ali Umar dan Hj. Yanrina Savitri yang telah ,
mendoakan, membesarkan, mendidik, serta memberikan dukungan kepada saya. 7. Kepada abang dan kakak saya, Hamzah Ali,ST , Umar Ali,ST , Hafidh Djoko
Handy Laksono,SE.MM dan Alvina Mashita,SH.Mkn yang telah memberikan dukungan kepada saya.
8. Kepada teman-teman yang tergabung dalam kelompok bimbingan dr. Amira Permatasari Sp.P yaitu Yan Indra Fajar Sitepu, Adeline leo, dan Candly yang
(7)
telah bekerjasama dengan baik dalam semua proses penulisan karya tulis ilmiah ini.
9. Kepada seluruh teman-teman angkatan 2007 khususnya Krisnarta Sembiring, Kharisma Prasetya Adhyatma, Widodo Adi Prasetyo, Kamal Kharrazi Ilyas, Michael Rulando, Benny Harmoko, Ella Rhinsilva, Dewi Sartika, Nurina, Anita Limanjaya dan Rini M. Nasution yang telah banyak membantu dan memberikan dukungan kepada saya dalam mengerjakan penelitian ini.
Saya menyadari bahwa karya tulis ilmiah ini masih memiliki banyak kekurangan. Oleh karena itu, saya sangat mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaan karya tulis ilmiah ini. Akhir kata, saya berharap semoga karya tulis ilmiah ini dapat memberikan manfaat bagi setiap orang yang menggunakannya.
Medan, 29 November 2010 Penulis
(8)
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN PERSETUJUAN... i
ABSTRAK... ii
ABSTRACT... iii
KATA PENGANTAR... iv
DAFTAR ISI... vi
DAFTAR TABEL... ix
DAFTAR GAMBAR... xii
DAFTAR LAMPIRAN... xiii
BAB 1 PENDAHULUAN... 1
1.1. Latar Belakang……….... 3
1.2. Rumusan Masalah……….. 3
1.3. Tujuan penelitian……….... 3
1.4. Manfaat penelitian………..… 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 5
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis……….... 5
2.1.1. Definisi………..… 5
2.1.2. Faktor Resiko... 6
2.1.3. Patogenesis... 6
2.1.4. Diagnosis... 7
2.1.5. Penatalaksanaan... 9
2.2. Terapi Inhalasi... 17
2.2.1. Cara penggunaan terapi inhalasi memiliki konsekuensi klinis yang penting... 19
2.2.2. Masalah yang sering terjadi... 20
(9)
BAB 3 KERANGKA KONSEP DAN DEFENISI OPERASIONAL... 27
3.1. Kerangka konsep penelitian... 27
3.2. Definisi Operasional... 27
BAB 4 METODE PENELITIAN... 30
4.1. Jenis penelitian dan Desain Penelitian... 30
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian... 30
4.3. Populasi dan Sampel... 30
4.3.1. Populasi... 30
4.3.2. Sample... 30
4.4. Teknik Pengumpulan Data... 31
4.4.1. Pengumpulan data... 31
4.4.2. Instrumen penelitian... 31
4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas... 32
4.5. Pengolahan dan Analisa Data... 32
BAB 5 HASIL DAN PEMBAHASAN... 33
5.1. Deskripsi Lokasi penelitian... 33
5.2. Deskripsi Karakteristik Responden... 33
5.2.1. Distribusi sampel berdasarkan umur... 34
5.2.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin... 34
5.2.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan... 35
5.2.4. Distribusi sampel berdasarkan status pekerjaan... 36
5.3. Analisis data... 36
5.3.1. Analisis data untuk masing-masing pertanyaan kuesioner…... 36
5.3.2. Analisis data untuk alat terapi inhalasi yang sering digunakan.... 38
5.3.3. Analisis data untuk penggunaan MDI... 39
5.3.4. Analisis data untuk langkah-langkah penggunaan MDI... 40
5.3.5. Analisis data untuk penggunaan Swinghaler... 42
5.3.6. Analisis data untuk langkah-langkah penggunaan Swinghaler... 42
(10)
5.3.8. Analisis data untuk langkah-langkah penggunaan Handihaler... 44
5.3.9. Analisis data untuk penggunaan Turbuhaler... 46
5.3.10. Analisis data untuk langkah-langkah penggunaan Turbuhaler.. 46
5.4. Pembahasan... 48
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 57
6.1. Kesimpulan... 57
6.2. Saran... 58
DAFTAR PUSTAKA... 59 LAMPIRAN
(11)
DAFTAR TABEL
Nomor Judul
Tabel 2.1. Beberapa tipe alat inhalasi yang terdapat di Australia... 18 Halaman
Tabel 2.2. Langkah-langkah penggunaan pressurised metered dose inhaler
dan beberapa kesalahan yang sering terjadi ... 22 Tabel 2.3. Langkah-langkah penggunaan pressurised metered dose inhaler
dengan spacer dan beberapa kesalahan yang sering terjadi... 23 Tabel 2.4. Langkah-langkah penggunaan Autohaler dan beberapa kesalahan
yang sering terjadi... 24 Tabel 2.5. Langkah-langkah penggunaan Accuhaler dan beberapa kesalahan
yang sering terjadi... 24 Tabel 2.6. Langkah-langkah penggunaan Handihalerdan beberapa kesalahan
yang sering terjadi... 25 Tabel 2.7. Langkah-langkah penggunaan Turbuhaler dan beberapa kesalahan
yang sering terjadi... 26 Tabel 2.8. Langkah-langkah penggunaan Swinghaler... 26 Tabel 5.1. Distribusi frekuensi dan persentase responden menurut umur di
Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan
Tahun 2010………... 34 Tabel 5.2. Distribusi frekuensi dan persentase responden menurut jenis
kelamin di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan
Tahun 2010... 35 Tabel 5.3. Distribusi frekuensi dan persentase responden menurut tingkat
pendidikan di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 35 Tabel 5.4. Distribusi frekuensi dan persentase responden menurut
status pekerjaan di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 36
(12)
Tabel 5.5. Distribusi frekuensi dan persentase responden yang menjawab ya dan tidak untuk pertanyaan kuesioner di Poliklinik paru Rumah
Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 37 Tabel 5.6. Jumlah observasi pertanyaan P9... 38 Tabel 5.7. Distribusi frekuensi dan persentase responden terhadap jenis alat
terapi inhalasi yang paling sering digunakan di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 39 Tabel 5.8. Distribusi frekuensi dan persentase kategori responden untuk
penggunaan MDI di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 39 Tabel 5.9. Distribusi frekuensi dan persentase responden untuk langkah
penggunaan MDI di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 40 Tabel 5.10. Distribusi frekuensi dan persentase kategori responden untuk
penggunaan Swinghaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 42 Tabel 5.11. Distribusi frekuensi dan persentase responden untuk langkah
penggunaan Swinghaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 43 Tabel 5.12. Distribusi frekuensi dan persentase kategori responden untuk
penggunaan Handihaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 44 Tabel 5.13. Distribusi frekuensi dan persentase responden untuk langkah
penggunaan Handihaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 45 Tabel 5.14. Distribusi frekuensi dan persentase kategori responden untuk
penggunaan Turbuhaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 46
(13)
Tabel 5.15. Distribusi frekuensi dan persentase responden untuk langkah penggunaan Turbuhaler di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010... 48
(14)
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul
Gambar 2.1. Demonstrasi untuk penggunaan alat terapi inhalasi
Halaman
dengan benar... 20 Gambar 2.2. Metered dose inhaler, menunjukkan posisi inhaler yang
benar dan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat... 23 Gambar 2.3. Metered dose inhaler dengan spacer, menunjukkan bibir
yang menutup mouthpiece dengan rapat... 23 Gambar 2.4. Autohaler, menunjukkan posisi inhaler yang benar dan
bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat... 24 Gambar 2.5. Accuhaler, menunjukkan posisi inhaler yang benar dan
bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat... 24 Gambar 2.6. HandiHaler, menunjukkan capsul yang baru akan diisi
ke dalam alat inhalasi... 26 Gambar 2.7. Turbuhaler, menunjukkan bibir yang menutup mouthpiece
dengan rapat dan pasien melakukan inhalasi yang adekuat... 26 Gambar 3.1. Kerangka konsep tingkat pengetahuan tentang terapi inhalasi
pada pasien PPOK di Poliklinik paru R.S. Tembakau
(15)
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. DAFTAR RIWAYAT HIDUP
LAMPIRAN 2. LEMBAR PERSETUJUAN SETELAH PENJELASAN LAMPIRAN 3. KUESIONER
LAMPIRAN 4. LANGKAH-LANGKAH PENGGUNAAN ALAT TERAPI INHALASI
LAMPIRAN 5. ETHICAL CLEARENCE
LAMPIRAN 6. SURAT KETERANGAN VALIDITAS OLEH AHLI LAMPIRAN 7. SURAT IZIN PENELITIAN
LAMPIRAN 8. DATA INDUK PENELITIAN
(16)
ABSTRAK
Terapi yang digunakan oleh pasien PPOK adalah terapi inhalasi, diantaranya ialah MDI (Metered Doze Inhalation), DPI (Dry Powder Inhalation), dan Inhalasi nebulizer. Terapi inhalasi memiliki peranan yang sangat penting pada perawatan pasien-pasien dengan asma atau PPOK, dan penggunaannya membutuhkan pelatihan yang sifatnya kontinu. Agar bisa mendapatkan hasil terapi yang lebih baik, pasien PPOK harus mengetahui dan memahami cara menggunakan alat terapi inhalasi tersebut.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kemampuan pasien PPOK di Poliklinik paru RS.Tembakau Deli Medan dalam menggunakan terapi inhalasi. Penelitian ini bersifat deskriptif dengan desain cross sectional. Populasi adalah semua pasien PPOK stabil yang menjalani rawat jalan di Poliklinik paru RS. Tembakau Deli Medan yang berjumlah 183 orang, sampel sebanyak 35 orang yang diperoleh secara quota sampling. Data dikumpulkan melalui wawancara dengan menggunakan kuesioner dan observasi.
Hasil penelitian ditemukan seluruh responden menyatakan bahwa mereka mengenal terapi inhalasi (100%) dan hampir seluruh responden menyatakan mengetahui cara menggunakan alat terapi inhalasi yang diresepkan oleh dokter mereka (94,3%). Dari 31 responden yang menggunakan MDI sebagian besar sering tidak melakukan atau melakukan kesalahan pada saat memegang inhaler dengan tegak lurus dan mengocok inhaler (77,4%) dan menahan nafas selama 10 detik atau selama yang disanggupi (38,7%). Dari 23 responden yang menggunakan Swinghaler, sebagian besar sering tidak melakukan atau melakukan kesalahan pada saat mengocok tabung inhaler (91,3%) dan pada saat menekan tombol pada inhaler satu kali (60,9%).
Kesimpulan dari penelitian ini ialah hampir seluruh responden menyatakan bahwa mereka mengetahui cara menggunakan alat terapi inhalasi, tetapi pada saat dilakukan observasi hampir seluruh responden melakukan satu, atau bahkan tiga kesalahan pada saat menggunakan alat terapi inhalasi tersebut. Sebaiknya dilakukan kembali edukasi mengenai terapi inhalasi dan lebih mendemonstrasikan, mengobservasi dan mengevaluasi pasien PPOK agar mereka dapat lebih memahami dan mampu untuk menggunakan alat terapi yang mereka miliki.
(17)
ABSTRACT
The treatment used in patients with COPD is inhalation therapy, which consist of MDI (Metered Doze Inhalation), DPI (Dry Powder Inhalation), and nebulizer inhalation. Inhalation therapy plays a central role in the treatment of patients with asthma or COPD, the use of which requires continuous supervised training. To get a better outcome from the treatment, patients with COPD must know and understand about how to use the inhalation device correctly.
This research has a purpose of finding out the ability of COPD patients in Poliklinik paru Tembakau Deli Hospital in using inhalation therapy. This is a descriptive research with a cross sectional design. The populations are all patients with stable COPD that are still being treated in Poliklinik paru Tembakau Deli Hospital in Medan. From 183 people, 35 people are chosen with quota sampling method as samples for this research. The data are collected by questionnaires and observations.
The results are the entire respondent claimed to know inhalation therapy (100%) and almost all of them claimed that they know how to use the device (94,3%). From 31 respondent who used MDI, most of them don’t or committed error in holding the inhaler upright and shaking the inhaler (77,4%) and holding breath for about 10 second or as long as they can (38,7%). From 23 respondent who used Swinghaler, most of them don’t or committed error in shaking the inhaler (91,3%) and in pushing the button of the inhaler once (60,9%)
The conclusions are the majority of the respondents claimed to know how to use inhalation devices. However, from the observations done by the researcher, almost all of them committed one or three mistakes in using the device. Education about inhalation therapy must be done and demonstration, observation, and evaluation must be done more often in patients with COPD so that they can understand more and they can used the device correctly.
(18)
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
Angka kesakitan penderita PPOK laki-laki mencapai 4% dengan angka kematian mencapai 6% dan angka kesakitan wanita 2% dengan angka kematian 4%, umur di atas 45 tahun, (Barnes, 1997). Pada tahun 1976 ditemukan 1,5 juta kasus baru, dan tahun 1977 jumlah kematian oleh karena PPOK sebanyak 45.000, termasuk penyebab kematian di urutan kelima (Tockman MS, 1985). Menurut National Health Interview Survey, didapatkan sebanyak 2,5 juta penderita emfisema, tahun 1986 di Amerika Serikat didapatkan 13,4 juta penderita, dan 30% lebih memerlukan rawat tinggal di rumah sakit. The Tecumseh Community Health Study menemukan 66.100 kematian oleh karena PPOK, merupakan 3% dari seluruh kematian, serta urutan kelima kematian di Amerika (Muray,1988).
Di Indonesia tidak ditemukan data yang akurat tentang kekerapan PPOK. Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) DEPKES RI 1992 menemukan angka kematian emfisema, bronkitis kronik dan asma menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia (Hadiarto, 1998). Survey Penderita PPOK di 17 Puskesmas Jawa Timur ditemukan angka kesakitan 13,5%, emfisema paru 13,1%, bronkitis kronik 7,7% dan asma 7,7% (Widjaja, 1993). Pada tahun 1997 penderita PPOK yang rawat Inap di RSUP Persahabatan sebanyak 124 (39,7%), sedangkan rawat jalan sebanyak 1837 (18,95%) (Hadiarto, 1998). Di RSUD Dr.
(19)
Moewardi Surakarta tahun 2003 ditemukan penderita PPOK rawat inap sebanyak 444 (15%), dan rawat jalan 2368 (14%). World Health Organizatiom (WHO)
menyebutkan, angka kematian PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke-4 bahkan dekade mendatang menjadi peringkat ke-3. Kondisi tersebut tanpa disadari masyarakat angka kematian yang disebabkan PPOK terus mengalami peningkatan. Kelainan struktur jaringan berkaitan erat dengan respons inflamasi yang ditimbulkan oleh paparan partikel atau gas beracun, tetapi dinyatakan faktor utama dan paling dominan ialah asap rokok dibanding yang lain (Russell, 2002).
Terapi yang digunakan oleh pasien PPOK adalah dengan terapi inhalasi diantaranya ialah MDI (Metered Doze Inhalation), DPI (Dry Powder Inhalation), dan
Inhalasi nebulizer. Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) 2008 obat-obatan inhalasi adalah suatu obat yang kerjanya langsung ke jalan nafas, memberikan konsentrasi lokal yang tinggi dan menurunkan resiko untuk terjadinya efek sistemik. Bertahun-tahun yang lalu, Jet nebulizer adalah satu-satunya alat terapi inhalasi yang tersedia, tetapi perkembangan untuk alat terapi inhalasi lain
(Metered-dose inhalers, dengan atau tanpa spacer, dan dry powder inhalers) telah menyebabkan pengiriman obat ke dalam paru menjadi lebih baik, dan juga menurunkan efek sistemik (Luiza et al, 2009).
Menurut GOLD (2008) dan Wright et al (2002), terapi inhalasi memiliki peranan yang sangat penting pada perawatan pasien-pasien dengan asma atau PPOK, dan penggunaannya membutuhkan pelatihan yang sifatnya kontinu.. Agar bisa mendapatkan hasil terapi yang baik, pasien PPOK harus mengetahui dan memahami cara menggunakan alat terapi inhalasi tersebut. Untuk itu dilakukan penelitian yang betujuan untuk mengetahui kemampuan pasien PPOK di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli Medan dalam menggunakan terapi inhalasi.
(20)
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka diperlukan penelitian untuk mengetahui kemampuan pasien PPOK di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli Medan dalam penggunaan terapi inhalasi.
1.3. Tujuan Penelitian 1.3.1. Tujuan Umum
Mengetahui kemampuan pasien PPOK di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli Medan dalam menggunakan terapi inhalasi.
1.3.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah :
a. Mengetahui apakah cara penggunaan alat terapi inhalasi oleh pasien PPOK di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli medan telah mengikuti prosedur yang benar.
b. Mengetahui terapi inhalasi jenis apa yang paling sering digunakan oleh pasien PPOK di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli Medan.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk :
a. Bagi peneliti, untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam penerapan ilmu yang diperoleh semasa perkuliahan.
b. Dapat digunakan sebagai bahan informasi dan masukan bagi mahasiswa untuk melakukan penelitian selanjutnya yang berhubungan dengan penelitian yang telah dilakukan penulis.
c. Bagi pasien PPOK di RS.Tembakau Deli Medan dalam mengetahui dan memahami tentang terapi inhalasi sehingga hasil terapi akan menjadi lebih baik.
(21)
d. Bagi tenaga medis untuk perbaikan penatalaksanaan pasien PPOK dalam manejemen selanjutnya.
(22)
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) 2.1.1. Definisi
Menurut Persatuan Dokter Paru Indonesia (PDPI) 2003 PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Bronkitis kronik adalah kelainan saluran nafas yang ditandai oleh batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya 2 tahun berturt-turut, tidak disebabkan penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai kerusakan diding alveoli.
Menurut Robbins et al (2007) terdapat tiga jenis emfisema :
Emfisema Sentriasinar (sentrilobular).
Gambaran khas pada emfisema tipe ini adalah pola keterlibatan lobulus, bagian sentral atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus respiratorik, terkena, sementara alveolus distal tidak terkena, sering terjadi pada lobus atas terutama bagian apeks.
Emfisema Panasinar (panlobular)
Pada emfisema tipe ini, asinus secara merata membesar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus buntu di terminal, sering terjadi di zona paru bawah.
Emfisema Asinar Distal (paraseptal)
Pada bentuk ini, bagian proksimal asinus normal, tetapi bagian distal umumnya terkena. Emfisema lebih nyata di dekat pleura, di sepanjang septum jaringan ikat lobulus dan tepi lobulus.
Pada prakteknya cukup banyak penderita bronkitis kronik juga memperlihatkan tanda-tanda emfisema, termasuk penderita asma persisten berat dengan obstruksi jalan nafas yang tidak reversibel penuh, dan memenuhi kriteria PPOK.
(23)
2.1.2. Faktor resiko
Menurut PDPI (2003) faktor resiko PPOK adalah sebagai berikut :
1. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting, jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya.
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan : a. Riwayat merokok
• Perokok pasif
• Perokok aktif
• Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan indeks brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap dalam sehari dikalikan lama merokok dalam tahun:
• Ringan : 0-200
• Sedang : 200-600
• Berat : >600
2. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja. 3. Hipereaktivitas bronkus.
4. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang.
5. defisiensi antitripsin alfa-1, umumnya jarang terdapat di indonesia.
2.1.3. Patogenesis
• Emfisema
Terjadinya kedua bentuk umum emfisema, sentriasinar dan panasinar, masih belum sepenuhnya dipahami. Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi akibat dua ketidakseimbangan penting yaitu ketidakseimbangan protease dan antiprotease dan ketidakseimbangan oksidan dan antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, dan pada kenyataanya, efek
(24)
keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jaringan sebagai akibat akhir (Robbins et al, 2007).
• Bronkitis Kronik
Gambaran khas pada bronkitis kronis adalah hipersekresi mukus, yang dimulai di saluran nafas besar. Meskipun faktor penyebab terpenting adalah merokok, polutan udara lain, seperti sulfur dioksida dan nitrogen dioksida, juga berperan. Berbagai iritan ini memicu hipersekresi kelenjar mukosa bronkus, menyebabkan hipertrofi kelenjar mukosa, dan menyebabkan pembentukan metaplastik sel goblet penghasil musin di epitel permukaan bronkus. Selain itu zat tersebut juga menyebabkan peradangan dengan infiltrasi sel T CD8+, makrofag, dan neutrofil. Berbeda dengan asma, pada bronkitis kronis eosinofil jarang ditemukan, kecuali jika pasien mengidap bronkitis asmatik (Robbins et al, 2007).
2.1.4. Diagnosis
Menurut Stark et al (1990) gejala dari PPOK adalah :
• Batuk kronis, biasanya pada dini hari (batuk perokok) dan sputum mukoid merupakan satu-satunya gejala bronkitis kronis.
• Peningkatan sesak nafas pada aktifitas menunjukkan perkembangan obstruksi jalan nafas. Hal ini biasanya terjadi secara bertahap dan perlahan-lahan memburuk dalam beberapa tahun.
• Bronkitis akuta rekuren, biasanya pada musim dingin.
Diagnosis bronkitis kronis atau emfisema sebaiknya hanya diduga pada perokok baru dan lama. Tidaklah bijaksana dan tidak aman mendiagnosa keadaan ini pada bukan perokok, perokok ringan atau orang muda yang baru merokok beberapa tahu saja.
(25)
Pemeriksaan yang dilakukan pada pasien PPOK menurut Stark et al (1990) adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fisik
Bronkitis kronis dan emfisema tanpa obstruksi jalan nafas mungin tak menunjukkan pemeriksaan fisik yang abnormal. Jika terjadi obstruksi jalan nafas maka gejala fisik pada bronkitis kronis dan emfisema sama
2. Pemeriksaan penunjang
Ronsen dada mungkin normal. Emfisema yang berat menyebabkan
bertambahnya volume paru, berkurangnya gambaran vaskuler, bayangan jantung yang sempit, dan kadang-kadang bulae. Bulae mungkin ditemukan pada paru yang mengalami emfisema sedikit menyeluruh (generalisata). Gambaran paru mungkin tetap normal pada bronkitis kronis bahkan pada yang mengalami obstruksi jalan nafas yang berat sekalipun, tetapi bila terjadi hipertensi pulmonal, bagian proksimal arteri pulmonalis akan membesar.
Pemeriksaan fungsi paru mungkin menunjukkan adanya obstruksi jalan nafas. Dan jika emfisema predominan, transfer gas untuk karbon monoksida berkurang. Perbaikan obstruksi jalan nafas sering kali terjadi setelah pemberian obat bronkodilator tetapi hasilnya biasanya kurang hebat dibandingkan pada asma.
Kadar α-1-antitripsin serum harus diperiksa pada pasien yang mengalami emfisema sebelum usia 50 tahun, yang saudaranya menderita penyakit ini atau yang menunjukkan perubahan radiologis terutama pada zona bawah. Kadar dibawah 20% dari normal menunjukkan bahwa pasien homozigot penyakit defisiensinya. Pada keadaan ini pemeriksaan “Pi typing” perlu dilakukan untuk konfirmasi. Kadar diatas 20 % mungkin tak ada pengaruhnya terhadap perkembangan emfisema.
(26)
2.1.5. Penatalaksanaan
Menurut PDPI (2003) tujuan dari penatalaksanaan PPOK adalah:
Mengurangi gejala
Mencegah aksesarbasi berulang
Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
Meningkatkan kualitas hidup penderita
Menurut PDPI (2003) penatalaksanaan secara umum PPOK meliputi : 1. Edukasi
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
• Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
• Melaksanakan pengobatan yang maksimal
• Mencapai aktivitas yang optimal
• Meningkatkan kualitas hidup
Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri ataupun bagi keluarganya. Edukasi dapat diberikan di poliklinik, ruang rawat, bahkan di unit gawat darurat ataupun di ICU dan di rumah. Secara intensif edukasi diberikan di klinik rehabilitasi atau klinik konseling, karena memerlukan waktu yang khusus dan memerlukan alat peraga. Edukasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi kecemasan pasien PPOK, memberikan semangat hidup walaupun dengan keterbatasan aktivitas. Penyesuaian aktivitas dan pola hidup merupakan salah satu cara untuk meningkatkan kualitas hidup pasien PPOK.
Bahan dan cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultural dan kondisi ekonomi penderita. Secara umum bahan edukasi yang diberikan adalah:
• Pengetahuan dasar tentang PPOK
(27)
• Cara pencegahan perburukan penyakit
• Menghindari pencetus (berhenti merokok)
• Penyesuaian aktivitas
Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberika edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan. Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil, karena PPOK merupakan penyakit kronik progresif yang irreversibel.
Pemberian edukasi berdasarkan derajat penyakit: Ringan
- Penyebab dan pola penyakit PPOK yang ireversibel
- Mencegah penyakit menjadi berat dengan menghindari pencetus, antara lain berhenti merokok
- Segera berobat bila timbul gejala Sedang
- Menggunakan obat dengan tepat
- Mengenal dan mengatasi eksaserbasi dini - Program latihan fisik dan pernapasan Berat
- Informasi tentang komplikasi yang dapat terjadi - Penyesuaian aktivitas dengan keterbatasan - Penggunaan oksigen di rumah
2. Obat-obatan a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodiator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
(28)
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang. pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau obat berefek panjang (long acting).
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi intraverna, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yang terdapat perbaikan VEP, pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg. c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan: - Lini I : amoksilin,makrolid.
- Lini II : amoksilin dan asam klauvulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid baru.
Perawatan di rumah sakit dapat dipilih:
Amoksilin dan kaluvulanat, sefalosporin generasi II dan III injeksi, dan kuinolon per oral ditambah dengan anti pseudomonas yaitu aminoglikoside per injeksi , kuinolon per injeksi, dan sefalosporin generasi IV per injeksi. d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkritis kronik dengan sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkritis kronik, tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.
f. Antitusif
(29)
3. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya.
Manfaat Oksigen :
• Mengurangi sesak nafas
• Memperbaiki aktiviti
• Mengurangi hipertensi pulmonal
• Mengurangi vasokonstriksi
• Mengurangi hematokrit
• Memperbaiki fungsi neuropsikiatri
• Meningkatkan kualitas hidup Indikasi :
• Pao2<60 mmHg atau Sat O2<90%
• Pao2 diantara 55-59 mmHg atau Sat O2>89% disertai Kor Pulmonal, perubahan P pulmonal, Ht>55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit paru lain.
Macam terapi oksigen :
• Pemberian oksigen jangka panjang
• Pemberian oksigen pada waktu aktiviti
• Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
• Pemeberian oksigen secara intensif pada waktu gagal nafas 4. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal napas akut, gagal napas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK derajat berat dengan gagal napas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah sakit, di ruang ICU atau di rumah.Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara:
(30)
• Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa intubasi adalah Noninvasive Intermiiten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative Pressure Ventilation (NPV)
Indikasi penggunaan NIPPV:
Bila terjadi sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi dan abdominal paradoksal, Asidosis sedang sampai berat Ph <7.30 – 7.35, dan Frekuensi napas >25 kali per menit. NPV tidak dianjurkan karena dapat menyebabkan obstruksi saluran napas atas, disamping harus menggunakan perlengkapan yang tidak sederhana.
• Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di rumah sakit bila ditemukan keadaan sebagai berikut:
- Gagal napas yang pertama kali
- Perburukan yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki, misalnya: pneumonia
- Aktiviti sebelumnya tidak terbatas
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif:
- Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan pergerakan abdominal paradoksal
- Frekuensi napas > 35 per menit
- Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40mmHg) - Asidosis berat pH <7,25 dan hiperkapni (Pco2 > 60mmHg) - Henti nafas
- Somnolen gangguan kesadaran
- Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
- Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia emboli paru, barotrauma, efusi pleura masif)
(31)
- Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan kondisi sebagai berikut:
- PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya - Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru keganasan - Aktiviti sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
5. Nutrisi
Malnutrisi sedang terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkorelasi dengan derajat penurunan funsi paru dan perubahan analisis gas darah.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan: - Penurunan berat badan
- Kadar albumin darah - Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi) - Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresif tidak akan mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat menggunakan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk dengan kalori yang dibutuhkan, bila perlu nutrisi dapat diberikan secara terus menerus (noctumal feeding) dengan pipa nasogaster.
Komposisi nutrisi yang seimbang berupa tinggi lemak - rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksida dan
(32)
hiperkapni. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.
Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah: Hipofosfatemi, Hiperkalemni, Hipokalsemi, Hipomagnesemi. Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yaitu porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.
6. Rehabilitasi PPOK
Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai: - Simptom pernafasan berat
- Beberapa kali masuk ruang gawat darurat - Kualiti hidup yang menurun
Program dilaksanakan di dalam maupun di luar Rumah Sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter ahli gizi, respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitasi terdiri dari 3 komponen yaitu: latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan :
1) Latihan Fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transportasi oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan:
- Peningkatan VO2 max
- Perbaikan kapasitas kerja aerobic maupun anaerobic - Peningkatan cardiac output dan stroke volume
- Peningkatan efisiensi distribusi darah
- Pemendekan waktu yang diperlukan untuk recovery
(33)
a. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernafasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan otot pernafasannnya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan inspirasi yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimal yang dibutuhkan. Latihan khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan ventilasi maksimal memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi sesak nafas. Pada penderita yang tidak mampu melakukan latihan endurance, latihan otot pernafasan ini akan besar manfaatnya. Apabila kedua bentuk latihan tersebut bisa dilaksanakan oleh penderita, hasilnya akan lebih baik. Oleh karena itu bentuk latihan pada penderita PPOK bersifat individual. Apabila ditemukan kelelahan otot pernafasan, maka porsi latihan otot pernafasan diperbesar, sebaliknya apabila didapatkan CO2 darah tinggi dan peningkatan ventilasi pada waktu latihan maka latihan endurance yang diutamakan.
b. Endurance Exercice
Respon kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK. Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK berakibat meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya kapasitas kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen. Perbaikan toleransi latihan merupakan resultante dari efisiensinya pemakaian oksigen di jaringan dan toleransi terhadap asam laktat. Sesak napas bukan satu-satunya keluhan yang menyebabkan penderita PPOK menghentikan latihannya. Faktor lain yang mempengaruhi ialah kelelahan otot kaki. Pada penderita PPOK berat, kelelahan kali mungkin merupakan faktor yang dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktiviti kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Imobilisasi selama 4 – 6 minggu mungkin akan menyebabkan penurunan kekuatan otot, diameter serat otot, penyimpangan energi dan aktivitas enzim metabolik. Berbaring di tempat tidur dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen
(34)
uptake dan kontrol kardiovaskuler. Hal-hal yang perlu diperhatikan sebelum latihan:
- Tidak boleh makan 2-3 jam sebelum latihan
- Apabila selama latihan dijumpai angina, gangguan mental, gangguan koordiansi atau pusing latihan segera dihentikan
- Pakaian longgar dan ringan 2) Psikososial
Status psikologi penderita perlu diamati dengan cermat dan apabila diperlukan dapat diberikan obat
3) Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak nafas. Teknik latihan meliputi pernafasan diafragma dan pursed lips breathing guna memperbaiki ventilasi dan mensinkronkan kerja otot abdomen dan toraks.
2.2. Terapi inhalasi
Obat-obatan inhalasi adalah suatu obat yang kerjanya langsung ke jalan nafas, memberikan konsentrasi lokal yang tinggi dan menurunkan resiko untuk terjadinya efek sistemik (GOLD, 2008). Menurut National Asthma Council Australia (NACA)
2008 cara yang salah ketika mengkonsumsi obat-obatan yang menggunakan alat inhalasi secara berkala akan menghambat pasien PPOK untuk mendapatkan hasil maksimal dari pengobatan itu. Beberapa studi sebelumnya menyatakan bahwa :
• Berdasarkan tipe alat inhalasi yang diresepkan, pasien pada umumnya tidak menggunakan alat terapi dengan benar kecuali mereka mendapatkan instruksi yang jelas termasuk demonstrasi cara pemakaian alat terapi inhalasi tersebut.
• Resiko terjadinya kesalahan menggunakan alat terapi inhalasi pada umumnya tinggi pada pasien usia lanjut dan pasien cacat.
• Instruksi verbal yang jelas mengenai cara penggunaan alat terapi inhalasi yang benar dan dengan demonstrasi, sangat efektif apabila selalu diulangi setiap waktu dan hal ini dapat meningkatkan hasil klinis pasien.
(35)
Sebagian besar pasien yang diresepkan untuk mengkonsumsi obat-obatan dengan menggunakan alat inhalasi, tidak menggunakan alat inhalasi tersebut dengan benar. Sekitar 90% pasien menunjukkan cara yang salah dalam menggunakan alat inhalasi
standard pressurised metered dose inhalers (MDIs) (Plaza et al, 1998) atau dry-powder inhalers (DPIs) misalnya seperti Accuhaler, Aerolizer, Handihaler, dan
Turbuhaler (Lavorini et al, 2008; dalam NACA, 2008). Walaupun alat-alat terapi inhalasi yang terbaru ini di ciptakan dengan cara penggunaan yang lebih mudah, jumlah yang sangat signifikan dalam kesalah menggunakan alat-alat ini pada pasien-pasien PPOK dan Asma telah dilaporkan untuk semua jenis inhalasi yang sering digunakan (Tabel 2.1), bahkan pada pasien remaja (Wieshammer et al, 2008). Dengan semua tipe alat inhalasi, rasio kesalahan meningkat dengan meningkatnya umur dan keparahan obstruksi aliran udara (Wieshammer et al, 2008). Menurut Ronmark et al (2005) dalam NACA (2008), bahkan setelah dilakukan pelatihan, beberapa pasien tetap mengalami kesulitan dalam menggunakan alat terapi inhalasi tersebut.
Tabel 2.1. Beberapa tipe alat inhalasi yang terdapat di Australia
Design type Common medications
Standard MDI (used alone or with a spacer) Standard inhaler Airomir (salbutamol)
Alvesco (ciclesonide)
Asmol (salbutamol)
Atrovent (ipratropium bromide)
Combivent (ipratropium and salbutamol)
Epaq (salbutamol)
Flixotide (fl uticasone)
Intal (sodium cromoglycate)
Intal Forte (sodium cromoglycate)
Qvar (beclomethasone)
Seretide (salmeterol plus fl uticasone)
Serevent (salmeterol)*
Tilade (nedocromil sodium)
Ventolin (salbutamol) Breath-activated MDI
(36)
Qvar (beclomethasone Dry powder inhaler
Accuhaler Flixotide (fl uticasone)
Seretide (salmeterol plus fl uticasone)
Serevent (salmeterol)
Aerolizer Foradile (eformoterol)
HandiHaler Spiriva (tiotropium
Turbuhaler Bricanyl (terbutaline sulfate)
Oxis (eformoterol)
Pulmicort (budesonide)
Symbicort (budesonide plus eformoterol)
MDI, pressurised metered dose inhaler. *Discontinued December 2007. (dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
2.2.1. Cara penggunaan terapi inhalasi memiliki konsekuensi klinis yang penting.
Penggunaan alat terapi inhalasi yang salah berhubungan dengan hasil kontrol asma yang tidak adekuat (Giraud et al, 2002). Menurut Lindgren et al (1987) dalam NACA (2008), pada obat-obatan short acting beta2 agonist (relievers), penggunaan alat terapi inhalasi yang salah akan menghasilkan efek bronchodilator yang tidak adekuat. Penggunaan MDIs yang salah untuk kortikosteroid inhalasi (ICS) berhubungan dengan terjadinya peningkatan penggunaan obat releiver, peningkatan penggunaan layanan medis gawat darurat untuk asma, memperparah asma, dan menyebabkan instabilitas asma. Hasil klinis ini telah banyak dilaporkan pada pasien-pasien dengan koordinasi inspirasi dan aktuisi yang jelek (Giraud et al, 2002). Menurut Lavorini et al (2008) dalam NACA (2008), cara yang salah dalam penggunaan DPIs juga dapat menyebabkan perjalanan obat (drug delivery) yang tidak adekuat dan deposisi paru yang tidak adekuat juga.
(37)
Gambar 2.1. demonstrasi untuk penggunaan alat terapi inhalasi dengan benar (dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
2.2.2. Masalah yang sering terjadi
Cara penggunaan alat terapi inhalasi yang tepat tergantung pada tipe alat terapi yang digunakan oleh pasien, jadi pasien harus mengetahui dan memahami tahap-tahap yang tepat dalam menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan (NACA, 2008). Beberapa kesalahan umum yang sering terjadi pada beberapa tipe alat terapi inhalasi terdapat pada tabel 2.2-2.7 beserta checklist tahapan yang harus dilakukan pada setiap alat terapi.
Menurut Brennan et al (2005) dalam NACA (2008), pasien yang menggunakan MDIs lebih cenderung melakukan kesalahan ketika menggunakan alat tersebut tanpa spacer. Penggunaan spacer membantu memudahkan masalah koordinasi antara inspirasi dengan aktuisi. Bahkan terkadang pasien dapat mendemonstrasikan cara penggunaan alat terapi inhalasi yang benar ketika konsultasi dengan pakar kesehatan, tetapi mereka tidak mempertahankan standard penggunaan ini setiap waktu. Kelompok khusus menurut NACA (2008), ialah:
• Pasien usia lanjut
Beberapa bukti telah menunjukkan bahwa cara penggunaan alat terapi inhalasi yang salah sangat umum terjadi pada pasien usia lanjut dengan asma atau PPOK, baik menggunakan MDI atau DPI (Wieshammer et al, 2008). Ketika meresepkan
(38)
medikasi inhalasi, dokter harus memeriksa apakah individu tersebut mampu menggunakan alat inhalasi yang relevan dengan benar (NACA, 2008).
Beberapa pasien usia lanjut dengan advanced PPOK bisa mendapatkan keuntungan dari penggunaan MDI dengan spacer (Wieshammer et al, 2008). Tetapi, pada umumnya mereka akan mengalami kesulitan menghubungkan alat terapi inhalasi tersebut dengan spacer. Penggunaan breath-activated inhaler
misalnya Autohaler biasanya akan lebih mudah digunakan oleh beberapa pasien usia lanjut (Jones et al, 1999),
• Pasien dengan PPOK
Menurut Broeders et al (2003) dalam NACA (2008), kebanyakan pasien dengan PPOK tidak dapat menggunakan MDI dengan benar. Kesalahan umum yang sering terjadi ialah koordinasi inspirasi dan aktuisi yang tidak adekuat dan ketidakmampuan untuk mendapatkan inspiratory flow rate yang cukup tinggi. Walaupun dengan pelatihan , beberapa pasien tidak akan bisa menyelesaikan masalah ini dan akan lebih baik bila menggunakan MDI dengan spacer. Sebuah studi menggunakan Accuhaler dan Turbuhaler menunjukkan bahwa pasien dengan PPOK yang parah sangat kurang untuk mendapatkan inspiratory rate
yang cukup tinggi untuk mengaktifkan inhaler tersebut, bahkan setelah diberikan instruksi. Pasien ini lebih mampu menggunakan alat terapi inhalasi bretah-activated inhalers.
• Pasien dengan gangguan kognitif
Menurut Mitchel et al (2007) dalam NACA (2008), ketidakmampuan untuk menutup dengan rapat sekeliling mouthpiece ketika menggunakan alat terapi inhalasi sendiri, maupun menggunakan spacer merupakan suatu masalah untuk pasien usia lanjut dengan gangguan kognitif. Tetapi penggunaan masker spacer
(spacer face mask) bisa menyelesaikan masalah ini. Mereka yang memiliki gangguan kognitif akan memiliki kesulitan untuk berlatih dalam menggunakan alat terapi inhalasi setelah dilakukan instruksi tentang cara penggunaan alat terapi inhalasi (Allen et al, 2003).
(39)
• Faktor lain
Edukasi yang tidak adekuat sangat berhubungan dengan meningkatnya kemungkinan untuk melakuakn kesalahan dalam menggunakan alat terapi inhalasi.
Edukasi bisa meningkatkan cara penggunaan alat terapi inhalasi yang benar dan hasil klinis yang lebih baik. Berbagai bukti yang didapat dari beberapa penelitian menunjukkan bahwa cara penggunaan alat terapi inhalasi yang benar dapat ditingkatkan dengan cara memberikan edukasi kepada pasien dari pakar kesehatan atau orang lain yang sudah dilatih dengan mengikuti cara yang benar (Verver et al, 1996). Tetapi, beberapi studi menyatakan bahwa sekitar 25% pasien dengan asma atau PPOK tidak pernah mendapatkan instruksi verbal tentang cara penggunaan alat terapi inhalasi yang benar (NACA, 2008). Hanya 11% pasien yang diberikan follow-up dan edukasi untuk menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka gunakan.
2.2.3. Cara penggunaan terapi inhalasi
Berikut cara penggunaan alat-alat terapi inhalasi beserta kesalahan umum yang sering terjadi pada masing-masing alat menurut NACA (2008), ialah :
Tabel 2.2. Langkah-langkah penggunaan pressurised metered dose inhaler dan beberapa kesalahan yang sering terjadi
Langkah-langkah penggunaan* Masalah dan kesalahan umum Tips
1. Buka tutup inhaler
2. Pegang inhaler tegak lurus dan kocok tabung inhaler
3. Bernafas dengan pelan
4. Letakkan mouthpiece diantara gigi tanpa menggigigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat 5. Mulai inhalasi pelan melalui mulut
dan sekaligus tekan canister 6. Lanjutkan inhalasi dengan pelan
dan dalam
7. Tahan nafas sampai sekitar 10 detik 8. Ketika sedang menahan nafas ,
keluarkan inhaler dari mulut 9. Ekshalasi dengan pelan dari mulut 10.Jika dibutuhkan dosis ekstra,
tunggu 1 menit dan ulangi langkah 2 sampai 9
11.Tutup kembali inhaler
• Ketidakmampuan mengkoordinasi aktivasi dengan inhalasi
• Gagal untuk menahan nafas selama waktu yang diperlukan
• Aktuisi yang banyak tanpa menunggu atau mengocok alat pada saat diantara dosis • Posisi inhaler yang salah • Susah dilakukan bagi
orang-orang yang mengalami osteoarthritis pada tanganya • Tidak cocok bagi pasien
denan PPOK yang parah dimana mereke memiliki inspiratory flow rate yang rendah
• Semua pasien yang menggunakan MDI untuk obat kortikosteroid inhalasi sebaiknya menggunakan spacer
• Pasien dengan kelemahan tangan atau osteoarthritis yang kesulitan menggunakan MDI mungkin akan lebih baik dengan alat haleraid • Pertahankan dagu tetap
tegak dan posisi inhaler tegak lurus.
*Cek label bungkusan yang terera untuk setiap instruksi spesifik yang berhubungan dengan inhaler yang telah diresepkan. COPD Chronic Obstructive Pulmonary Disease. MDI pressurised metered dose inhaler.
(40)
Tabel 2.3. Langkah-langkah penggunaan pressurised metered dose inhaler dengan spacer dan beberapa kesalahan yang sering terjadi
Langkah-langkah penggunaan Masalah dan kesalahan umum Tips
1. Siapkan spacer 2. Buka tutup inhaler
3. Pegang inhaler tegak lurus dan kocok tabung inhaler
4. Pasang inhaler tegak lurus dengan spacer
5. Letakkan mouthpiece diantara gigi tanpa menggigigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat 6. Bernafas dengan pelan
7. Pertahankan posisi spacer dan tekan canister satu kali
8. Inhalasi dengan pelan dan dalam lalu tahan nafas sekitar 10 menit atau selama yang disanggupi ATAU inhalasi ekshalasi secara normal untuk 4 kali nafas*.
9. Keluarkan spacer dari mulut 10.Ekshalasi dengan pelan 11.Buka inhaler dari spacer
12.Jika dibutuhkan dosis ekstra, tunggu 1 menit dan ulangi langkah 3 sampai 11
13.Tutup kembali inhaler dan simpan spacer.
• Terganggunya pengiriman obat ke paru-paru disebabkan oleh electrostatic charge, yang menyebabkan kerusakan (sticky valve), atau dengan aktuisi yang berkali-kali. • Aktuisi yang banyak tanpa
menunggu atau mengocok alat pada saat diantara dosis • Penundaan diantara aktuisi
dan inhalasi bisa
menyebabkan tidak ada obat yang dihirup
• Pasien dengan gangguan kognitif mungkin tidak mampu untuk menutup mouthpiece dengan rapat
• Kesalahan banyak terjadi pada pasien yang hanya
menggunakan MDI tanpa spacer • Pemeliharaan spacer dan
kebersihan yang terjaga bisa meningkatkan efisiensi kerja alat • Gunakan masker spacer untuk
anak-anak atau pada pasien yang tidak mampu untuk menutup bibir dengan rapat
*bernafas lebih dari satu kali (tidal breathing) digunakan untuk anak-anak dan selama akut eksaserbasi dimana bernafas dalam satu kali tidak dapat dilakukan. MDI, pressurised metered dose inhaler.
(dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
Gambar 2.3. Metered dose inhaler dengan spacer, menunjukkan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat (dikutip dari National Asthma Council Australia 2008)
Gambar 2.2. Metered dose inhaler, menunjukkan posisi inhaler yang benar dan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat (dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
(41)
Tabel 2.4. Langkah-langkah penggunaan Autohaler dan beberapa kesalahan yang sering terjadi
Langkah-langkah penggunaan Masalah dan kesalahan umum Tips
1.Buka tutup inhaler
2.Pegang inhaler tegak lurus dan kocok inhaler*
3.Tekan lever keatas
4.Ekshalasi pelan jauh dari mouthpiece 5.Letakkan mouthpiece diantara gigi
tanpa menggigigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat 6.Inhalasi pelan dan dalam. Tetap
inhalasi sampai terdengar suara “click” 7.Tahan nafas sekitar 10 detik atau
selama yang disanggupi
8.Ketika menahan nafas, keluarkan inhlaler dari mulut
9.Ekshalasi pelan jauh dari mouthpiece 10. Tekan lever kebawah
11. Jika dibutuhkan dosis ekstra, ulangi langkah 2 sampai 10
12. Tutup kembali inhaler
• Posisi inhaler yang salah • Aktuisis yang banyak tanpa
mengocok terlebih dahulu pada saat diantara dosis*
• Berhenti inhalasi pada saat terdengar suara “click • Terlalu banyak air dari udara/
pada saat bernafas ke dalam alat sehingga menjadi lembab
• Pertahankan dagu tetap tegak dan posisi inhaler tegak lurus. • Selalu angkat lever sebelum
menggunakan inhaler • Selalu tutup kembali inhaler
setelah digunakan
*Qvar Autohaler tidak perlu dikocok sebelum digunakan (dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008 )
Tabel 2.5. Langkah-langkah penggunaan Accuhaler dan beberapa kesalahan yang sering terjadi
Langkah-langkah penggunaan Masalah dan kesalahan umum Tips
1.Cek tempat pengisian obat • Tidak mengisi dosis sebelum • Jangan pernah memegang
Gambar 2.4. Autohaler, menunjukkan posisi inhaler yang benar dan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat. (dikutip dari National Asthma Council Australia)
Gambar 2.5. Accuhaler, menunjukkan posisi inhaler yang benar dan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat. (dikutip dari National Asthma Council Australia)
(42)
2.Buka inhaler menggunakan ibu jari
3.Pegang dengan posisi horizontal, isi obat dengan mendorong lever sampai bunyi “click”
4.Ekshalasi dengan pelan jauh dari mouthpiece
5.Letakkan mouthpiece di mulut dan tutup bibir dengan rapat
6.Inhalasi dengan pelan dan dalam
7.Tahan nafas sekitar 10 detik atau selama yang disanggupi
8.Ketika menahan nafas, keluarkan inhaler dari mulut
9.Ekshalasi dengan pelan jauh dari mouthpiece
10. Jika dibutuhkan dosis ekstra ulangi langkah 3 sampai 9
11. Tutup kembali inhaler sampai bunyi “click”
digunakan
• Gagal melakukan inhalasi dalam dan kuat untuk pengiriman obat ke paru • Gagal untuk menahan nafas
selama waktu yang dibutuhkan setelah inhalasi
• Terlalu banyak air dari udara sehingga menjadi lembab
inhaler dengan mouthpiece yang mengarah kebawah selama / ketika setelah mengisi dosis karena posisi obat bisa menjadi dislokasi, selalu pegang dengan posisi horizontal
• Baju-baju yang berwarna gelap atau sapu tangan diletakkan di atas mouthpiece bisa digunakan untuk melihat apakah pasien telah melakukan inhlasi dalam dan kuat untuk mengeluarkan obat dari alat
• Selalu tutup kembali inhaler setelah digunakan
(dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
Tabel 2.6. Langkah-langkah penggunaan HandiHalerdan beberapa kesalahan yang sering terjadi
Langkah-langkah penggunaan Masalah dan kesalahan umum Tips 1.Buka tutup inhaler
2.Buka mouthpiece
3.Keluarkan kapsul dari bungkusnya dan letakkan di dalam tempat pengisian obat.
4.Tutup mouthpiece sampai berbunyi “click”
5.Tekan tombol hijau satu kali dan lepaskan
6.Ekshalasi dengan pelan jauh dari
mouthpiece
7.Letakkan mouthpiece diantara gigi tanpa menggigigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat
8.Inhalasi dengan pelan dan dalam sehingga kapsul akan bergetar
9.Teruskan inhalasi sampai selama yang disanggupi
10.Ketika menahan nafas, keluarkan inhaler dari mulut
11.Ekshalasi dengan pelan jauh dari mouthpiece
12.Letakkan mouthpiece kembali diantara gigi tanpa menggigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat.
13.Inhalasi dengan pelan dan dalam sehingga kapsul bergetar
14.Teruskan inhalasi sampai selama yang disanggupi
15.Ketika menahan nafas keluarkan inhaler dari mulut
16.Ekshalasi dengan pelan jauh dari
• Tidak melubangi kapsul, melubangi kapsul lebih dari satu kali
• Tidak menggunakan kapsul yang baru untuk setiap dosis
• Gagal untuk melakukan inhalasi dalam dan kuat untuk pengiriman obat
• Tidak melakukan inhalasi ke dua untuk mendapatkan dosis penuh dari kapsul
• Menelan kapsul, tidak melalui inhalasi dengan menggunakan alat handihaler
• Ketika memberikan alat batu kepada pasien yang memiliki kelemahan pada tangannya, gerakkan tutup alat kebelakang dan depan beberapa kali untuk membuatnya loss ( mungkin bukan merupakan suatu masalah dengan model terbaru)
(43)
mouthpiece
17.Buka mouthpiece dan buang kapsul yang sudah digunakan
18.Jika dibutuhkan dosis ekstra, ulangi langkah 3 sampai 17
19. Tutup kembali mouthpiece dan inhaler.
(dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
Tabel 2.7. Langkah-langkah penggunaan Turbuhaler dan beberapa kesalahan yang sering terjadi Langkah-langkah penggunaan Masalah dan kesalahan umum Tips
1. Putar dan buka penutupnya
2. Cek isi tempat pengisian obat
3. Pertahankan inhaler tetap tegak lurus sambil memutar pegangan dan putar kembali lagi sampai terdengar “click”
4. Ekshalasi dengan pelan jauh dari mouthpiece
5. Letakkan mouthpiece diantara gigi tanpa menggigitnya dan tutup bibir hingga mouthpiece tertutup rapat
6. Inhalasi dengan kuat dan dalam
7. Keluarkan inhaler dari mulut
8. Ekshalasi dengan pelan jauh dari mouthpiece
9. Jika dibutuhkan dosis ekstra,
ulangi langkah 3 sampai 9 10.Tutup kembali
• Posisi yang salah dari inhaler ketika mengisi dosis • Gagal melakukan kedua
langkah untuk mengisi obat (memutar lalu kembali lagi) • Gagal untuk inhalasi dalam dan kuat untuk pengiriman obat.
• Terlalu banyak air darui udara atau bernafas ke dalam alat sehingga menjadi lembab
• Letakkan inhaler pada permukaan yang datar (mis:meja) pada saat mengisi obat agar obat tetap tegak lurus
• Baju-baju yang berwarna gelap atau sapu tangan diletakkan di atas mouthpiece bisa digunakan untuk melihat apakah pasien telah melakukan inhlasi dalam dan kuat untuk mengeluarkan obat dari alat • Baca tempat pengisisan dosis
pada bagian tengah jendela • Selalu tutup kembali inhaler
setelah digunakan
(dikutip dari National Asthma Council Australia, 2008)
Tabel 2.8. Langkah-langkah penggunaan Swinghaler Gambar 2.6. HandiHaler, menunjukkan capsul yang baru
akan diisi ke dalam alat inhalasi. (dikutip dari National Asthma Council Australia)
Gambar 2.7. Turbuhaler, menunjukkan bibir yang menutup mouthpiece dengan rapat dan pasien melakukan inhalasi yang adekuat. (dikutip dari National Asthma Council Australia)
(44)
Langkah-langkah penggunaan
1. Buka tutup inhaler 2. Kocok tabung inhaler
3. tekan tombol pada inhaler satu kali
4. buang nafas dan tahan tanpa menarik nafas kembali
5. letakkan mouthpiece diantara gigi dan tutup bibir dengan rapat 6. inhalasi dengan kuat dan dalam, tahan nafas selama beberapa detik 7. keluarkan inhaler dari mulut
8. buang nafas dengan pelan 9. tekan tombol pada inhaler satu kali 10. tutup kembali inhaler
11. bila dibutuhkan dosis ekstra ulangi langah 2 – 10
Otsuka (Philippines) pharmaceutical, inc BAB 3
KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASONAL
3.1. Kerangka Konsep
Berdasarkan tujuan penelitian di atas maka kerangka konsep dalam penelitian ini adalah :
Gambar 3.1. Kerangka konsep kemampuan penggunaan alat terapi inhalasi pada pasien PPOK di Poliklinik Paru RS. Tembakau Deli Medan
3.2. Definisi Operasional
1. Kemampuan penggunaan alat adalah kemampuan pasien PPOK dalam menggunakan alat terapi inhalasi. Pengukuran kemampuan penggunaan alat dilakukan dengan menggunakan alat ukur kuesioner dan suggested checklist
(Langkah-langkah penggunaan dari masing-masing alat terapi inhalasi). a) Kuesioner
Terapi inhalasi pada pasien
PPOK - Kemampuan penggunaan alat
(45)
Pertanyaan berupa pertanyaan tertutup yang berjumlah 10 pertanyaan dengan dua pilihan jawaban yang menggambarkan respon positif atau negatif responden.
b) Suggested Checklist (Langkah penggunaan alat terapi inhalasi)
Suggested checklist merupakan suatu alat ukur yang digunakan untuk mengevaluasi langkah-langkah penggunaan alat terapi inhalasi yang digunakan oleh pasien PPOK, memiliki skor 0 sampai 1; dengan kriteria jawaban ya=1 dan tidak=0. Total skor berbeda-beda untuk masing-masing alat terapi, dimana :
• Pressurised metered dose inhaler (MDI) memiliki total skor 11 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 81%, apabila total skor responden ≥ 9
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 81%, apabila total skor responden < 9
• Pressurised metered dose inhaler (MDI) dengan spacer memiliki total skor 13 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 85%, apabila total skor responden ≥ 11
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 85%, apabila total skor responden < 11
• Autohaler memiliki total skor 12 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 83%, apabila total skor responden ≥ 10
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 83%, apabila total skor responden < 10
(46)
• Accuhaler memiliki total skor 11 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 81%, apabila total skor responden ≥ 9
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 81%, apabila total skor responden < 9
• Handihaler memiliki total skor 19 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 84%, apabila total skor responden ≥ 16
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 84%, apabila total skor responden < 16
• Turbuhaler memiliki total skor 10 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok :
1) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 80%, apabila total skor responden ≥ 8
2) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 80%, apabila total skor responden < 8
• Swinghaler memiliki total skor 11 dengan kategori penilaian dibagi kedalam 2 kelompok, yaitu :
3) Baik, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar ≥ 81%, apabila total skor responden ≥ 9
4) Buruk, jika langkah yang dilakukan responden dengan benar < 81%, apabila total skor responden < 9
2. Jenis alat ialah jenis-jenis alat terapi inhalasi yang digunakan oleh pasien PPOK diantaranya ialah Pressurised metered dose inhaler (MDI), MDI dengan spacer, Autohaler, Accuhaler, Handihaler, Turbuhaler. Pengukuran jenis alat akan dilakukan dengan menggunakan Suggested checklist.
(47)
3. Terapi Inhalasi adalah suatu terapi hirupan yang cara kerja obatnya langsung ke jalan nafas, memberikan konsentrasi lokal yang tinggi dan menurunkan resiko untuk terjadinya efek sistemik(GOLD, 2008). PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial (PDPI, 2003), pasien PPOK adalah orang yang telah didiagnosa oleh dokter menderita PPOK.
(48)
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Jenis dan Desain Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif dengan pendekatan
cross sectional.
4.2. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian ini akan dilakukan di Poliklinik Paru RS.Tembakau Deli Medan. Waktu penelitian dilakukan pada bulan Juni hingga Agustus 2010
4.3. Populasi dan Sampel 4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua pasien PPOK stabil yang menjalani rawat jalan di Poliklinik Paru RS. Tembakau Deli Medan yang berjumlah 183 orang dan memenuhi kriteria sebagai berikut :
Kriteria inklusi :
• Seluruh pasien yang menderita PPOK stabil.
• Seluruh pasien PPOK stabil yang menggunakan terapi inhalasi. Kriteria eksklusi :
• Pasien-pasien dengan kelainan anatomis pada tangannya 4.3.2. Sampel
Sampel adalah sebagian dari populasi. Sampel yang dipilih berdasarkan Quota Sampling dimana teknik pengambilan dilakukan dengan cara manetapkan sejumlah anggota sampel secara quotum atau jatah. Penentuan besar sampel yang digunakan
(49)
dalam penelitian ini didasarkan pada cara perhitungan sampel tunggal untuk jumlah populasi kurang dari 10.000 jiwa, yakni (Notoatmodjo, 2005):
35 ) 15 , 0 ( 183 1 183 ) (
1+ 2 = + 2 =
= d N N n Keterangan
N = Besar Populasi n = Besar Sampel
d = Tingkat kepercayaan/ketetapan yang diinginkan(0,15)
Berdasarkan rumus diatas maka telah diperoleh jumlah sampel sebesar 35 orang.
4.4. Tekhnik Pengumpulan Data 4.4.1. Pengumulan data
Data yang digunakan berupa data primer yaitu yang dikumpulkan langsung dari sampel penelitian dengan metode wawancara terpimpin kuesioner dimana akan didapatkan respon positif atau negatif responden terkait dengan pertanyaan pada kuesioner, dan mengobservasi responden secara langsung untuk melihat bagaimana cara responden menggunakan alat terapi inhalasi yang mereka miliki dengan menggunakan suggested checklist (langkah-langkah penggunaan alat terapi inhalasi) yang diisi oleh peneliti sendiri.
Hasil wawancara dan pengisisan suggested checklist kemudian akan dikumpulkan dan dilakukan pencatatan / tabulasi sesuai dengan jenis variabel yang akan diteliti.
4.4.2. Instrumen penelitian
Instrumen yang digunakan berupa kuesioner sebagai alat bantu dalam pengumpulan data yang terdiri dari pertanyaan-pertanyaan tertutup dan suggested checklist (langkah-langkah penggunaan alat terapi inhalasi) untuk masing – masing alat terapi inhalasi.
(50)
4.4.3. Uji Validitas dan Reliabilitas
Uji validitas dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item pertanyaan dengan skor total kuesioner tersebut. Adapun teknik korelasi yang biasa dipakai adalah teknik korelasi product moment dan untuk mengetahui apakah nilai korelasi tiap-tiap pertanyaan itu significant, maka digunakan SPSS untuk mengujinya.
Untuk item-item pertanyaan yang tidak valid harus dibuang atau tidak dipakai sebagai instrumen pertanyaan. Uji validitas dan reliabilitas pada kuesioner ini akan dilakukan dengan perangkat lunak SPSS. Sampel yang digunakan pada validitas dan reliabilitas adalah pasien PPOK stabil di RSUP H.Adam Malik Medan yang memiliki karakteristik sama dengan sampel.
Tabel 4.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas Nomor
pertanyaan
Total pearson correlation
Status Alpha Status
1 0,941 Valid 0,959 Reliabel
2 0,757 Valid Reliabel
3 0,941 Valid Reliabel
4 0,673 Valid Reliabel
5 0,905 Valid Reliabel
6 0,941 Valid Reliabel
7 0,941 Valid Reliabel
8 0,813 Valid Reliabel
9 0.905 Valid Reliabel
10 0.786 Valid Reliabel
4.5. Pengelolahan dan Analisis data
Data yang telah dikumpulkan diolah secara deskriptif dengan menggunakan SPSS. Data yang telah dianalisis akan disajikan dalam bentuk tabel.
(51)
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
Rumah Sakit Tembakau Deli Medan merupakan rumah sakit milik PT Perkebunan Nusantara II (PTPN II) yang terletak di Kota Medan. Rumah Sakit Tembakau Deli Medan didirikan untuk melayani pelayanan kesehatan karyawan, namun pada perkembangannya Rumah Sakit Tembakau Deli Medan juga diperuntukan pada masyarakat umum. Saat ini Rumah Sakit Tembakau menempati areal seluas 38.619 M2 dengan Type B+ dengan jumlah tempat tidur 200 buah. Rumah Sakit Umum Tembakau Deli pada awalnya bernama Rumah Sakit VEREGNIDE DELI MAATSCHAPY (RSVDM) yang didirikan oleh NV. VDM pada tahun 1908. Pada Periode 20 November 1958 s/d 31 Mei 1960, NV. VDM berubah nama menjadi PPN (Perusahaan Perkebunan Nasional) sedang RS. VDM beberapa kali mengalami perubahan nama, yang akhirnya menjadi Rumah Sakit Umum Tembakau Deli.
5.2. Deskripsi Karakteristik Responden
Hasil pengumpulan data dari bapak-bapak dan ibu-ibu yang digunakan sebagai responden dan telah dilakukan wawancara serta observasi di Poliklinik paru RS.Tembakau Deli Medan berjumlah 35 orang dikarenakan presisi (d) rumus yang digunakan untuk perhitungan sampel sebesar 15% hal ini dilakukan karena waktu penelitian yang kurang memadai.
5.2.1. Distribusi sampel berdasarkan umur
Distribusi proporsi Pasien PPOK stabil berdasarkan umur pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat terlihat pada tabel 5.1 berikut:
(52)
Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Menurut Umur di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010
Rentang Usia Frekuensi Persentase Mean(SD)
41 – 50 4 11,4
65,6(11,9)
51 – 60 9 25,7
61 – 70 10 28,6
71 – 80 9 25,7
81 – 90 3 8,6
Total 35 100
Dari Tabel 5.1 terlihat bahwa 10 orang responden berada di rentang usia 61 – 70 (28,6%), sembilan orang responden berada di rentang usia 51 – 60 (25,7%), Sembilan orang responden berada di rentang usia 71 – 80 (25,7%), empat orang responden berada di rentang usia 41 – 50 (11,4%), dan tiga orang responden berada di rentang usia 81 – 90 (8,6%), (SD=11,9).
5.2.2. Distribusi sampel berdasarkan jenis kelamin.
Distribusi proporsi Pasien PPOK stabil berdasarkan Jenis kelamin pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat terlihat pada tabel 5.2 berikut:
Tabel 5.2 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Menurut Jenis Kelamin di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase
Laki-laki 34 97,1
Perempuan 1 2,9
(53)
Dari Tabel 5.2 terlihat bahwa 34 orang responden berjenis kelamin Laki-laki (97,1%) dan hanya satu orang responden yang berjenis kelamin perempuan (2,9%).
5.2.3. Distribusi sampel berdasarkan tingkat pendidikan
Distribusi proporsi Pasien PPOK stabil berdasarkan tingkat pendidikan pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat terlihat pada tabel 5.3 berikut:
Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Menurut Tingkat Pendidikan di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010
Tingkat Pendidikan Frekuensi Persentase
SD 12 34,3
SLTP 7 20
SLTA 16 45,7
Total 35 100
Dari Tabel 5.3 terlihat bahwa 16 orang responden merupakan lulusan SLTA (45,7%), 12 orang responden merupakan lulusan SD (34,3%), dan tujuh orang responden merupakan lulusan SLTP (20%).
(54)
5.2.4. Distribusi sampel berdasarkan status pekerjaan
Distribusi proporsi Pasien PPOK stabil berdasarkan status pekerjaan pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat terlihat pada tabel 5.4 berikut:
Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Menurut Status Pekerjaan di Poliklinik paru Rumah Sakit Tembakau Deli Medan Tahun 2010
Status Pekerjaan Frekuensi Persentase
Pensiun 22 62,9
Pegawai swasta 3 8,6
Pegawai negeri 10 28,6
Total 35 100
Dari Tabel 5.4 terlihat bahwa 22 orang responden merupakan pensiunan (62,9%), 10 orang responden merupakan pegawai negeri (28,6%), dan tiga orang responden merupakan pegawai swasta (8,6%).
5.3. Analisis data
5.3.1. Analisis data untuk masing-masing pertanyaan kuesioner
Distribusi proporsi pasien PPOK stabil berdasarkan masing-masing pertanyaan untuk kemampuan penggunaan alat terapi inhalasi pada pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat dilihat dalam tabel 5.5 berikut:
(55)
Tabel 5.5 Distribusi frekuensi dan persentase responden yang menjawab ya dan tidak untuk pertanyaan kuesioner di Poliklinik Paru Rumah Sakit Tembakau
Deli Medan Tahun 2010
Pertanyaan Ya Tidak
Frekuensi Persentase Frekuensi Persentase
P1 35 100 0 0
P2 33 94,3 2 5,7
P3 29 82,9 6 17,1
P4 6 17,1 29 82,9
P5 34 97,1 1 2,9
P6 35 100 0 0
P7 30 85,7 5 14,3
P8 9 25,7 26 74,3
P9 7 20 28 80
P10 32 91,4 3 8,6
Ket Tabel : P1-P10 = Pertanyaan 1 – Pertanyaan 10
Dari tabel 5.5, apabila dilihat berdasarkan jawaban responden per masing-masing pertanyaan, 35 orang responden menjawab “ya” pada P1 (100%). 33 orang responden menjawab “ya” untuk P2 (94,3%), hanya 2 orang responden (5,7%) yang menjawab “tidak”. 29 orang responden menjawab “ya” untuk P3 (82,9%), hanya enam orang responden (17,1%) yang menjawab “tidak”. 29 orang responden menjawab “tidak” untuk P4 (82,9%), hanya enam orang responden (17,1%) yang menjawab “ya”. 34 orang responden menjawab “ya” untuk P5 (97,1%), hanya satu orang responden (2,9%) yang menjawab “tidak”. Seluruh responden menjawab “ya” untuk P6 (100%). 30 orang responden menjawab “ya” untuk P7 (85,7%), hanya (14,3%) yang menjawab “tidak”. 26 orang responden menjawab “tidak” untuk P8 (74,3%), hanya Sembilan orang responden (25,7%) yang menjawab “ya”. 28 orang responden
(56)
menjawab “tidak” untuk P9 (80%), hanya tujuh orang responden (20%) yang menjawab “ya”. 32 orang responden menjawab “ya” untuk P10 (91,4%). Hanya tiga orang responden (8,6%) yang menjawab “tidak”.
Berikut merupakan tabel untuk mengetahui berapakali pasien diobservasi apabla mereka menjawab “ya” untuk pertanyaan P9.
Tabel 5.6 Jumlah observasi pertanyaan P9
Jumlah observasi Frekuensi Persentase
<2 kali 5 14,3
2-3 kali >3 kali
1 1
2,9 2,9
Dari tabel 5.6 dapat terlihat bahwa dari tujuh orang responden yang diobservasi, lima orang responden (14,3%) diobservasi hanya kurang dari 2 kali, satu orang responden diobservasi 2 – 3 kali (2,9%), dan satu orang responden diobservasi lebih dari tiga kali (2,9%).
5.3.2. Analisis data untuk alat terapi inhalasi yang paling sering digunakan. Distribusi proporsi pasien PPOK stabil berdasarkan jenis alat terapi inhalasi yang paling sering digunakan oleh pasien PPOK yang berobat jalan di RS Tembakau Deli Medan dapat dilihat dalam tabel 5.7 berikut:
(1)
25
AK
64
26
SG
60
27
TU
58
+
-
-
+
+
+
+
+
+
+
8
baik
28
AS
50
29
RA
47
30
NG
82
31
BI
61
32
KE
70
33
BR
84
34
SW
65
35
SY
65
Ket tabel :
+ = dilakukan
- = tidak dilakukan / salah
Kosong = responden tidak menggunakan alat tersebut
(2)
Data Output Penelitian
Pertanyaan Pengetahuan
Statistics
p1 p2 p3 p4 p5 p6 p7 p8 p9 p10
N Valid 35 35 35 35 35 35 35 35 35 35
Missing 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0
Mode 1.00 1.00 1.00 .00 1.00 1.00 1.00 .00 .00 1.00
Sum 35.00 33.00 29.00 6.00 34.00 35.00 30.00 9.00 7.00 32.00
pMDI
Statistics
mdI1 mdI2 mdI3 mdI4 mdI5 mdI6 mdI7 mdI8 mdI9 mdI10 mdI11
N Valid 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31
Missing 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Mode 1.00 .00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
(3)
Swinghaler
Statistics
swing1 swing2 swing3 swing4 swing5 swing6 swing7 swing8 swing9 swing10 swing11
N Valid 23 23 23 23 23 23 23 23 23 23 23
Missing 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12 12
Mode 1.00 .00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 .00 1.00 1.00
Sum 23.00 2.00 17.00 23.00 23.00 22.00 23.00 23.00 9.00 23.00 23.00
Handihaler
Statistics
hand1 hand2 hand3 hand4 hand5 hand6 hand7 hand8 hand9 hand10 hand11 hand12 hand13 hand14 hand15 hand16 hand17 hand18 hand19
N Valid 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
Missing 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31 31
Mode 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1,00 1.00 Sum 4.00 4.00 4.00 3.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00 4.00
(4)
Turbuhaler
Statistics
turb1 turb2 turb3 turb4 turb5 turb6 turb7 turb8 turb9 turb10
N Valid 2 2 2 2 2 2 2 2 2 2
Missing 33 33 33 33 33 33 33 33 33 33
Mode 1.00 .00a .00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00 1.00
Sum 2.00 1.00 .00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00 2.00
Output Validitas Kuesioner
Correlations
P1 P2 P3 P4 P5 P6 P7 P8 P9 P10 PTotal
P1 Pearson Correlation 1 .612 1.000** .667* .764* 1.000** 1.000** .612 .764* .764* .941**
Sig. (2-tailed) .060 .000 .035 .010 .000 .000 .060 .010 .010 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P2 Pearson Correlation .612 1 .612 .408 .802** .612 .612 .583 .802** .356 .757*
Sig. (2-tailed) .060 .060 .242 .005 .060 .060 .077 .005 .312 .011
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P3 Pearson Correlation 1.000** .612 1 .667* .764* 1.000** 1.000** .612 .764* .764* .941**
Sig. (2-tailed) .000 .060 .035 .010 .000 .000 .060 .010 .010 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
(5)
Sig. (2-tailed) .035 .242 .035 .133 .035 .035 .242 .133 .133 .033
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P5 Pearson Correlation .764* .802** .764* .509 1 .764* .764* .802** 1.000** .524 .905**
Sig. (2-tailed) .010 .005 .010 .133 .010 .010 .005 .000 .120 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P6 Pearson Correlation 1.000** .612 1.000** .667* .764* 1 1.000** .612 .764* .764* .941**
Sig. (2-tailed) .000 .060 .000 .035 .010 .000 .060 .010 .010 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P7 Pearson Correlation 1.000** .612 1.000** .667* .764* 1.000** 1 .612 .764* .764* .941**
Sig. (2-tailed) .000 .060 .000 .035 .010 .000 .060 .010 .010 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P8 Pearson Correlation .612 .583 .612 .408 .802** .612 .612 1 .802** .802** .813**
Sig. (2-tailed) .060 .077 .060 .242 .005 .060 .060 .005 .005 .004
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P9 Pearson Correlation .764* .802** .764* .509 1.000** .764* .764* .802** 1 .524 .905**
Sig. (2-tailed) .010 .005 .010 .133 .000 .010 .010 .005 .120 .000
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
P10 Pearson Correlation .764* .356 .764* .509 .524 .764* .764* .802** .524 1 .786**
Sig. (2-tailed) .010 .312 .010 .133 .120 .010 .010 .005 .120 .007
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
PTotal Pearson Correlation .941** .757* .941** .673* .905** .941** .941** .813** .905** .786** 1
Sig. (2-tailed) .000 .011 .000 .033 .000 .000 .000 .004 .000 .007
N 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed). *. Correlation is significant at the 0.05 level (2-tailed).
(6)
Case Processing Summary
N %
Cases Valid 10 100.0
Excludeda 0 .0
Total 10 100.0
a. Listwise deletion based on all variables in the procedure.
Reliability Statistics
Cronbach's
Alpha N of Items