1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Yayasan sebenarnya telah dikenal cukup lama dengan berbagai bidang kegiatannya seperti pendidikan, kesehatan, keagamaan dan kegiatan sosial lainnya
yang belum tertangani oleh badan hukum lainnya. Namun demikian, keberadaan yayasan tersebut hanya berdasarkan pada kebiasaan, doktrin dan yurisprudensi.
Tidak terdapatnya aturan hukum yang secara khusus mengatur tentang yayasan ini mengakibatkan terjadinya berbagai penafsiran terkait misalnya status hukum,
hakikat dan tujuan suatu yayasan serta aspek-aspek lain dalam pengelolaan yayasan.
Yayasan di Indonesia setelah orde baru banyak didirikan oleh lembaga- lembaga atau instansi pemerintah baik pusat maupun daerah termasuk Badan
Usaha Milik Negara selanjutnya disebut BUMN maupun Badan Usaha Milik Daerah selanjutnya disebut BUMD serta pihak swasta yang bergerak dalam
banyak kegiatan bahkan ternyata telah berubah yang semula tujuan sosial mengarah ke tujuan komersil. Namun, pendirian yayasan oleh lembaga-lembaga
pemerintah termasuk BUMN dan BUMD pada umumnya memanfaatkan fasilitas, baik dalam bentuk sarana, prasarana ataupun kewenangan publik yang melekat
pada lembaga-lembaga pemerintah atau BUMN maupun BUMD tersebut yang diwakili oleh pejabat-pejabat sebagai pendiri yayasan. Demikian pula yayasan
yang didirikan oleh swasta, khususnya yayasan yang bergerak dalam bidang
pendidikan telah berubah arah dari tujuan sosial ke arah komersil, sehingga aparat pajak mulai mengincar yayasan pendidikan sebagai wajib pajak yang merupakan
salah satu target pemasukan pendapatan negara. Hal ini tidak sejalan dengan maksud dan tujuan yang tercantum dalam anggaran dasar yayasan, pada pihak lain
ada dugaan yayasan digunakan untuk menampung kekayaan yang berasal dari para pendiri atau pihak lain dengan cara melawan hukum.
1
Dasar atau jiwa dari setiap pendirian yayasan hakekatnya bermotif sosial yaitu bertujuan membantu masyarakat. Fungsi sosial inilah yang seharusnya
dominan dan dicantumkan dalam setiap akta pendirian yayasan. Walaupun pada hakekatnya yayasan ini tidak bertujuan untuk tidak mengejar keuntungan, tetapi
karena banyaknya kemudahan-kemudahan yang diberikan kepada yayasan, baik dari proses pendiriannya yang sederhana, maupun secara keseluruhan
operasionalnya, menyebabkan banyak orang atau badan yang sengaja mendirikan yayasan. Padahal, pendirian yayasan ini hanya merupakan kedok untuk
mendapatkan kemudahan-kemudahan atau fasilitas-fasilitas lain, seperti memperkaya diri organ, menimbun kekayaan pendiri serta untuk menghindari
pajak. Dengan kata lain, banyak yayasan yang melakukan bisnis terselubung dengan dalih untuk mencapai tujuan yayasan.
2
Pengaturan untuk menjamin kepastian dan ketertiban hukum maka dibentuklah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2004 tentang Yayasan selanjutnya disebut Undang-Undang Yayasan.
1
Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm. 54.
2
Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan Di Indonesia Jakarta: Kencana Prenada Media, 2010, hlm. 6.
Dasar hukum tentang yayasan lainnya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan selanjutnya
disebut PP No. 63 Tahun 2008. Dengan adanya pengaturan terhadap yayasan ini diharapkan dapat menertibkan yayasan yang semula didirikan oleh lembaga-
lembaga pemerintah dan kemudian dipimpin oleh mantan tokoh-tokoh pemerintah, seperti mantan Presiden Soeharto yang diduga sebagai sarang
Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Pengaturan terhadap yayasan ini juga ditujukan untuk melindungi
kekayaan yayasan yang berasal dari sebagian harta kekayaan pendiri yang dialihkan. Hal ini dikarenakan adanya kemungkinan permasalahan tentang
campur tangan pembina terhadap pengurus yayasan yang mengelola kekayaan. Memang dalam Undang-Undang Yayasan telah diatur juga peran dan fungsi dari
pembina. Namun perlu diingat, bahwa pembina juga mempunyai wewenang untuk mengevaluasi kekayaan, hak dan kewajiban yayasan. Ada kemungkinan bila
pengurus dalam mengelola kekayaan yayasan tidak memenuhi ‘kepentingan’ pembina dan selaku pendiri, maka pengurus tersebut bisa diberhentikan oleh
pembina. Dari uraian ini dapat diketahui bahwa masih ada peluang terjadinya bentrokan kepentingan antara pembina dan pengurus dalam mengelola kekayaan.
3
Undang-Undang Yayasan tidak membenarkan pengalihan atau pembagian harta kekayaan yayasan secara langsung atau tidak langsung kepada organ
yayasan kecuali untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan oleh organ. Hal ini bersifat kontradikif, mengingat pengelolaan yayasan diharapkan lebih profesional,
3
AB Susanto. et. al., Reformasi Yayasan Jogjakarta: Andi , 2002, hlm. 125.
tetapi organ yayasan tidak boleh diberi gaji ataupun upah yang berasal dari kekayaan yang dimiliki serta hasil kegiatan usaha oleh yayasan terutama
digunakan untuk menjalankan kegiatan operasional yayasan. Kekayaan yayasan digunakan untuk membayar berbagai macam biaya operasional yang terjadi, tidak
termasuk biaya-biaya yang harus dibayar untuk keperluan pembina, pengurus dan pengawas dalam rangka menjalankan yayasan. Hal tersebut merupakan salah satu
upaya melindungi yayasan dari tindakan-tindakan pembagian dan pengalihan harta kekayaan yayasan.
Yayasan yang memiliki kegiatan komersial bisnis, maka pendapatan dan biaya-biaya yang berkaitan dengan kegiatan bisnis tersebut perlu dicatat secara
terpisah. Bahkan yayasan dapat membentuk badan usaha tersendiri yang mengelola kegiatan bisnis dari yayasan. Kegiatan usaha dari badan usaha yang
dimiliki oleh yayasan dapat mencakup, antara lain, kesenian dan budaya, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu
pengetahuan. Kegiatan komersial tersebut sebaiknya diserahkan kepada orang yang memiliki kompetensi dan kapabilitas untuk mengelolanya, sehingga tidak
dirangkap oleh pembina, pengurus dan pengawas yayasan.
4
Keuntungan dari kegiatan komersial ini akan menjadi sumber tambahan penerimaan kas bagi yayasan, akan tetapi keuntungan ini tidak boleh dibagikan
kepada pembina, pengurus dan pengawas. Hal ini bertentangan dengan kebiasaan pengurus yayasan di masa lalu, seringkali hasil keuntungan ini menjadi milik
pribadi pengurus dan dapat menjadi obyek sengketa. Menurut Panggabean, di
4
AB Susanto. et. al., Op.Cit., hlm. 130-131.
masa lalu bahkan akta pendirian yayasan seringkali dijadikan alasan untuk mengalihkan harta kekayaan yayasan kepada para pengurus dan anak
keturunannya.
5
5
Ibid., hlm. 131.
Umumnya bentuk-bentuk badan usaha yang dijalankan yayasan adalah sekolah-sekolah, rumah sakit, panti-panti sosial, dan rumah ibadah. Pengelolaan
dan manajemen yang baik dari pengurus yayasan adalah faktor yang paling menetukan berhasilnya suatu yayasan dalam mencapai maksud dan tujuannya.
Dalam menjalankan bentuk-bentuk badan usaha tersebut, yayasan harus memiliki harta kekayaan yang memadai. Oleh karena itu dengan berhasil atau tidaknya
bentuk-bentuk badan usaha yayasan tersebut maka dapat berdampak bagi para simpatisan yang menyumbangkan sebagian hartanya untuk yayasan tersebut.
Sumbangan-sumbangan yang didapat yayasan baik dari orang perorang, Negara, maupun pihak swasta dapat meningkatkan kinerja organ yayasan dalam
mengelola yayasan tersebut. Ada yayasan yang semula mempunyai kegiatan yang nirlaba, bersifat
sosial, keagamaan dan kemanusiaan berubah menjadi profit motif unsur keuntungan karena besarnya keuntungan yang dihasilkan dari kegiatan badan
usahanya. Ada juga yayasan yang masih tetap eksis dengan maksud dan tujuannya yang nirlaba. Biasanya yayasan-yayasan yang demikian adalah suatu yayasan
yang dimiliki oleh suatu perkumpulan atau badan keagamaan misalnya pada organisasi Islam, badan gereja.
Pendiri dan para penyumbang yayasan harus benar-benar memahami bahwa kekayaan pribadinya yang telah diserahkannya kepada yayasan harus
dipisahkan dari kekayaan pribadinya yang dinyatakannya dalam “Surat Pernyataan Pemisahaan Harta Kekayaan” hal ini diatur pada Pasal 7 PP Nomor 63
Tahun 2008. Pemisahan harta kekayaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 PP Nomor 63 Tahun 2008 harus disertai surat pernyataan pendiri mengenai
keabsahan harta kekayaan yang dipisahkan yang artinya bahwa harta kekayaan yang diperoleh tidak dengan cara melawan hukum. Kekayaan tersebut harus
dipakai untuk mewujudkan tujuan yayasan yang mulia. Dilihat dari teori kekayaan, teori ini mengungkapkan tentang keterikatan kekayaan sebuah badan
hukum dengan tujuan dan maksud tertentu dari badan hukum yang bersangkutan. Teori ini menetapkan bahwa kekayaan haruslah dipisahkan dari pemiliknya dan
digunakan untuk pendirian sebuah badan hukum. Dan karena yayasan adalah badan hukum oleh sebab itu tujuan dari pendirian yayasan adalah masyarakat,
maka yayasan menjadi milik masyarakat sehingga kekayaannya pun harus digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
B. Perumusan Masalah