Teori Yang Digunakan TINJAUAN PUSTAKA

13 Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dengan orang tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita, antara murid dan guru, dan sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berpakaian berbusana, cara berbuat bertindak dan cara bertutur berbahasa.” Untuk dapat menyampaikan maksud dan tujuan kepada mitra tuturnya, seorang penutur harus dapat memilih dan menggunakan bahasa dengan tepat, yaitu dengan bentuk kalimat.Ketepatan pemilihan ragam bahasa sangat berpengaruh terhadap kelancaran komunikasi. Dari kalimat-kalimat yang diucapkan oleh seorang penutur dapat diketahui apa yang dibicarakan dan diinginkan penutur sehingga dapat dipahami oleh mitra tutur. Dengan demikian, mitra tutur akan dapat menanggapi kalimat yang dibicarakan oleh penutur. Adapun penelitian penulis yang berjudul tindak tutur, tidak sama dengan karya ilmiah yang tersebut di atas, penulis mengkaji tentang , “Tindak tutur dalam bahasa Melayu Tanjung Balai” yang masih sedikit dilakukan penelitiannya.

2.2 Teori Yang Digunakan

Untuk mengumpulkan data yang akurat dan memiliki landasan yang kuat maka dipandang perlu menggunakan teori yang nantinya akan digunakan dalam meneliti dilapangan. Yang menjadi masalah adalah bagaimana kita menganalisis sebuah ujaran yang berupa frase atau kalimat yang mempunyai makna tuturan.Sehubungan dengan hal tersebut penulis menggunakan teori tindak tutur Searle 1983. Levinson 1983 dalam Rahardi 2005:48, mendefinisikan pragmatik sebagai studi bahasa yang mempelajari relasi bahasa dengan konteksnya.Konteks yang dimaksud 14 tergramatisasi dan terkodifikasi sehingga tidak dapat dilepaskan dari struktur bahasanya.Batasan Levinson itu, selengkapnya, dapat dilihat pada kutipan berikut. Pragmatics is the study of those relations between language and context that are grammaticalized, or encoded in the structure of a language Levinson, 1983: 9 Dalam berinteraksi dengan menggunakan bahasaterdapat kesantunan berbahasa, atau disebutdengan kesantunan saja. Teori kesantunan banyakdiperoleh dari Brown dan Levinson 1987, yangmemberi batasan kesantunan itu sendiri sebagai upaya sadar seseorang dalam menjaga keperluanmuka orang lain. Istilah muka, dalam hubunganini, oleh Brown dan Levinson dalam Peccei 1999dan Yule 1996 dimaknai sebagai citra diriseseorang dalam masyarakat. Teori tindak tutur bermula pada karya buku Austin dan Searle dalam Ibrahim 1993:108. Bertolak dari pendapat tersebut, buku How to do things with word bagaimana melakukan sesuatu dengan kata-kata dengan pengarang Austin dan Searle yang menyajikan makalah- makalah tindak tutur. Dari pendapat di atas, Ibrahim 1993:109 menguraikan definisi tindak tutur, tindak tutur adalah suatu tuturan yang berfungsi pikologis dan sosial di luar wacana yang sedang terjadi.Definisi Ibrahim berbeda dengan Yule 2006:82 tindak tutur adalah tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan.Dengan demikian, dapat disimpulkan tindak tutur memiliki fungsi psikologis dan sosial saat berkomunikasi dan sebagai sarana untuk melakukan sesuatu melalui tindakan-tindakan yang diucapkan lewat lisan. Austin 1962:1-11 membedakan tuturan yang kalimatnya bermodus deklaratif menjadi dua yaitu konstatif dan performatif. Tindak tutur yang menyatakan sesuatu yang kebenarannya dapat diuji, benar atau salah dengan menggunakan pengetahuan tentang dunia,misalnya sesorang 15 mengatakan “Jakarta ibu kota Indonesia”. Sedangkan tindak tutur performatif adalah tindak tutur yang pengutaraannya digunakan untuk melakukan sesuatu, pemakai bahasa tidak dapat mengatakan bahwa tuturan itu salah atau benar, tetapi benar atau tidak. Austin 1962 menyebutkan bahwa pada dasarnya pada saat seseorang mengatakan sesuatu, dia juga melakukan sesuatu, misalnya, ketika seseorang menggunakan kata-kata kerja promise ‘berjanji’, apologize ‘minta maaf’, name ‘menamakan’, pronounce ‘menyatakan’ misalnya dalam tuturan I promise i will come on time, I apologize for coming late dan I name this ship Elizabeth, maka yang bersangkutan tidak hanya mengucapkan tetapi juga melakukan tindakan berjanji, meminta maaf dan menamakan. Tuturan-tuturan tersebut dinamakan tuturan performatif, sedangkan kata kerjanya juga disebut kata kerja performatif. Menurut Austin 1962, ada 3 syarat agar tuturan performatif dapat terlaksana felicity conditions, yaitu : 1. The persons and circumstances must be appropriatepelaku dan situasi harus sesuai misalnya tuturan yang sering disampaikan kepada seorang pengantin I pronounce you man and wife “saya nyatakan saudara-saudara sebagai suami istri” hanya dapat dipenuhi bila yang mengucapkan adalah seseorang yang memang berwenang untuk mengucapkan tuturan tersebut. 2. The act must be executed completely and corretly by all participants “tindakan harus dilaksanakan dengan lengkap dan benar oleh semua pelaku. Misalnya, seseorang pemimpin yang mengatakan you are totally wrong “anda betul-betul salah” kepada bawahannya namun tidak mampu menunjukkan kesalahannya ataupun peraturan apa yang membuatnya dianggap salah merupakan tuturan yang tidak valid. 3. The participants must have the appropriate intensions “pelaku harus mempunyai maksud yang sesuai”, misalnya tuturan I’ll see you on the office at three, sedangkan sebetulnya pukul tiga penutur tersebut tidak mengadakan janji lain dengan pihak tertentu, maka tuturan tersebut tidak valid. Dari pemikiran austindiatas, Searle 1975 mengembangkan hipotesis bahwa pada hakekatnya semua tuturan mengandung arti tindakan, dan bukan hanya tuturan yang mempunyai kata kerja performatif. 16 Searle 1975 berpendapat bahwa unsur yang paling kecil dalam komunikasi adalah tindak tutur seperti menyatakan, membuat pertanyaan, memberi perintah, menguraikan, menjelaskan, minta maaf, berterima kasih, mengucapkan selamat, dan sebagainya. Tuturan I’am sorry for coming late bukanlah sekedar tuturan yang menginformasikan penyesalan bahwa seseorang menyesal karena sudah datang terlambat, melainkan tindakan minta maaf itu sendiri. Searle 1975 memberi contoh tindak tutur promise ada 5 syarat agar tindakan melalui tuturan tersebut dikatakan valid, yaitu : 1. The speaker must intend to do what he promise“penutur harus sungguh-sungguh bermaksud melakukan apa yang dijanjikan”. Seseorang mungkin saja mengatakan I’ll lend you this dictionary tomorrow, namun kalau yang bersangkutan tidak sungguh- sungguh ingin meminjamkan kamus tersebut kepada lawan tuturnya besok maka tuturannya bukanlah suatu janji yang benar. 2. The speaker must believe that the hearer believes that the actions is in the hearer’s best interset “penutur harus percaya bahwa lawan tutur percaya tindakan tersebut adalah yang terbaik untuk pihak lawan tutur”. Misalnya tuturan I promise I will hit you if you don’t lend me the book, bukan tuturan yang benar karena penutur tidak berjanji untuk kebaikan lawan tutur tindak tutur yang mengancam daripada janji. 3. The speaker must believe that he can perform the action “penutur harus percaya bahwa dia mempunyai kemampuan untuk melakukan tindakan tersebut” misalnya tuturan dari seseorang yang sakit kepada temannya yang berkunjung kepadanya I promise I will be well tomorrow tidak dapat dikatakan valid karena siswa tersebut tidak dalam posisi mempunyai kemampuan untuk mengontrol kesehatannya sendiri. 4. The speaker must predicate a future action “penutur harus menyatakan tindakan di masa yang akan datang”. Suatu tuturan yang mengandung janji dengan bentuk lampau tidak dapat dianggap valid, misalnya I promise I did not lend the book to him. Tindak tutur menjanjikan haruslah memprediksikan suatu tindakan dimasa yang akan datang. 5. The speaker must be predicate an act of himself “penutur harus menyatakan tindakannya sendiri. Seorang anak yang mengatakan I promise my mother will give you a lovely birthday present, tidak dapat dikatakan sebagai membuat janji yang baik karena yang bersangkutan tidak dapat mewakili ibunya untuk membuat janji. . Leech Wijana, 1996 menyatakan bahwa konteks yang semacam itu dapat disebut dengan konteks situasi tutur speech situational contexts.Konteks situasi tutur, menurutnya, mencakup aspek-aspek berikut, 17 1. Penutur dan lawan tutur 2. Konteks tuturan 3. Tujuan tuturan 4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas 5. Tuturan sebagai produk tindak verbal Secara singkat masing masing aspek situasi tutur itu dapat diuraikan sebagai berikut : 1. Penutur dan lawan tutur di dalam beberapa literatur, khususnya dalam Searle 1983, lazim dilambangkan dengan S speaker yang berarti ‘pembicara atau penutur’ dan H hearer yang dapat diartikan ‘pendengar atau mitra tutur’. Digunakannya lambang S dan H itu tidak dengan sendirinya membatasi cakupan pragmatik semata-mata hanya pada bahasa ragam lisan saja, melainkan juga dapat mencakup ragam bahasa tulis. 2. Konteks tuturan telah diartikan bermacam-macam oleh para linguis. Konteks dapat mencakup aspek-aspek tuturan yang relevan baik secara fisik maupun nonfisik. Konteks dapat pula diartikan sebagai semua latar belakang pengetahuan yang diasumsikan sama- sama dimiliki penutur dan mitra tutur serta yang mendukung interpretasi mitra tutur atas apa yang dimaksudkan penutur itu di dalam proses bertutur. Berkenaan dengan hal itu Leech 1983 telah menyatakan sebagai berikut. I shall consider context to be any background knowledge assumed to be shared by S and H and which contributes to H’s interpretation of what S means by a given utterance. 3. Tujuan tutur berkaitan erat dengan bentuk tuturan seseorang. Dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan itu terwujud karena dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tutur yang jelas dan tertentu sifatnya. Secara pragmatik, satu bentuk tutur dapat memiliki 18 maksud dan tujuan yang bermacam-macam. Demikian sebaliknya, satu maksud atau tujuan tutur dapat diwujudkan dengan bentuk tuturan yang berbeda-beda. Di sinilah dapat dilihat perbedaan mendasar antara pragmatik yang berorientasi fungsional dengan tata bahasa yang berorientasi formal atau struktural. 4. Tuturan sebagai bentuk tindakan atau aktivitas merupakan bidang yang ditangani pragmatik. Karena pragmatik mempelajari tindak verbal yang terdapat dalam situasi tutur tertentu,dapat dikatakan bahwa yang dibicarakan di dalam pragmatik itu bersifat konkret karena jelas keberadaan siapa peserta tuturnya, dimana tempat tuturnya, kapan waktu tuturnya, dan seperti apa konteks situasi tuturnya secara keseluruhan. 5. Tuturan dapat dipandang sebagai sebuah produk tindak verbal. Dapat dikatakan demikian, karena pada dasarnya tuturan yang ada di dalam sebuah pertuturan itu adalah hasil tindak verbal para peserta tutur dengan segala pertimbangan konteks yang melingkupi dan mewadahinya. Skala kesantunan Leech dalam Kunjana 2005:66 mengatakan teorinya sebagai berikut : 1 Skala Kerugian dan Keuntungan Cost-benefit Scale, menunjuk kepada besar kecilnya kerugian dan keuntungan yang diakibatkan oleh sebuah tindak tutur pada sebuah pertuturan. 2 Skala Pilihan Optionality Scale, menunjuk kepada banyak atau sedikitnya pilihan Option yang disampaikan si penutur kepada si mitra tutur didalam kegiatan bertutur. 3 Skala Ketidaklangsungan Indirecness Scale, menunjuk kepada peringkat langsung atau tidak langsungnya maksud sebuah tuturan. 19 4 Skala Keotoritasan Authority Scale, menunjuk kepada hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam pertuturan. 5 Skala Jarak Sosial Social Scale, menunjuk kepada peringkat hubungan sosial antara penutur dan mitra tutur yang terlibat dalam sebuah pertuturan. Dengan kata lain, tingkat keakraban hubungan antara penutur dengan mitra tutur sangat menentukan peringkat kesantunan tuturan yang digunakan dalam bertutur. Adapun teori yang digunakan penulis adalah Searle dalam Rahardi, 2005:35, dalam bukunya speech acts: an essay in the philosophy of language menyatakan bahwa dalam praktikpenggunaan bahasa terdapat setidaknya tiga macam tindak tutur. Ketiga macam tindak tutur itu berturut-turut dapat disebutkan sebagai berikut : 1 tindak lokusioner locutionary acts,2 tindak ilokusioner illocutionary acts, dan 3 tindak perlokusioner perlocutionary acts. 1 Tindak lokusioner adalah tindak bertutur dengan kata, frasa, dan kalimat sesuai dengan makna yang dikandung oleh kata, frasa, dan kalimat itu. Tindak tutur ini dapat disebut sebagai the act of saying something. Dalam tindak lokusioner tidak dipermasalahkan maksud dan fungsi tuturan yang disampaikan oleh si penutur. Contoh :aku lapar Maksud dari contoh tersebut, ‘aku’ sebagai orang pertama tunggal si penutur, dan ‘lapar’ mengacu pada ‘perut kosong dan perlu diisi’, tanpa bermaksud untuk meminta makanan, semata-mata hanya dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dimunculkannya tuturan itu, perut penutur sedang dalam keadaan lapar. 20 2 Tindak ilokusioner adalah tindak melakukan sesuatu dengan maksud dan fungsi tertentu pula. Tindak tutur ini dapat dikatakan sebagai the act of doing something. Contoh :sudah hampir jam tujuh Maksud dari contoh tersebut, yang diucapkan penutur bukan semata-mata dimaksudkan untuk memberitahu si mitra tutur bahwa pada saat dituturkannya tuturan itu, waktu yang menunjukkan hampir pukul tujuh, namun lebih dari itu bahwa penutur menginginkan mitra tutur melakukan tindakan tertentu berkaitan dengan waktu yang menunjukkan hampir pukul tujuh. Kalimat di atas bila dituturkan oleh seseorang suami kepada istrinya di pagi hari, selain memberi informasi tentang waktu, juga berisi tindakan yaitu mengingatkan si istri bahwa si suami harus segera berangkat kekantor, jadi minta disediakan sarapan. 3 Tindak perlokusioner adalah tindak menumbuhkan pengaruh effect kepada mitra tutur. Tindak tutur ini dapat disebut dengan the act of affecting someone. Contoh :tanganku gatal Maksud dari contoh tersebut, yang penutur ucapkan, dapat digunakan untuk menumbuhkan pengaruh effect rasa takut kepada mitra tutur. Rasa takut itu muncul, misalnya, karena yang menuturkan tuturan itu berprofesi sebagai seorang tukang pukul yang pada kesehariannya sangat erat dengan kegiatan memukul dan melukai orang lain. Untuk mengklasifikasikan fungsi tindak tutur didalam bahasa Melayu Tanjung Balai mengacu pada pendapatSearle dalam Rahardi, 2005:36, yaitu : 1 Asertif assertives, yakni bentuk tutur yang mengikat penutur pada kebenaran proposisi yang diungkapkan, misalnya menyatakan stating, menyarankan suggesting, membual boasting, mengeluh complaining, dan mengklaim claiming. 21 2 Direktif directives, yakni bentuk tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk membuat pengaruh agar simitra tutur melakukan tindakan, misalnya memesan ordering, memerintahcommanding, memohon requesting, menasehati advising, dan merekomendasi recommending. 3 Ekspresif expressives, adalah bentuk tuturan yang berfungsi untuk menyatakan atau menunjukkan sikap psikologis penutur terhadap suatu keadaan, misalnya berterima kasih thanking, memberi selamat congratulating, meminta maaf pardoning, menyalahkan blaming, memuji praising, dan berbelasungkawa condoling. 4 Komisif commissives, yakni bentuk tutur yang berfungsi untuk menyatakan janji atau penawaran, misalnya berjanji promising, bersumpahvowing, dan menawarkan sesuatu offering. 5 Deklarasi declarations, yakni bentuk tutur yang menghubungkan isi tuturan dengan kenyataannya, misalnya berpasrah resigning, memecat dismissing, membabtis christening, memberi nama naming, mengangkat appointing, mengucilkan excommunicating, dan menghukumsentencing. 22

BAB III METODE PENELITIAN