commit to user 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori 1. Anak Tunagrahita
a. Pengertian Anak Tunagrahita
Istilah tunagrahita dahulu dalam bahasa Indonesia disebut dengan istilah bodoh, tolol, dungu, bebal, cacat mental, tunamental, terlambat mental,
dan sejak dikeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Luar Biasa Nomor 72 Tahun 1991 digunakan istilah Tunagrahita. Istilah tunagrahita
berasal dari bahasa Sansekerta tuna yang artinya rugi, kurang; dan grahita artinya berpikir. Namun disini peneliti mengemukakan berbagai pendapat
menurut para ahli tentang anak tunagrahita adalah sebagai berikut : Definisi anak tunamental menurut Nurhadi 2009: 7 adalah :
“Keadaan gangguan maupun hambatan dalam perkembangan mental sedemikian rupa sehingga seseorang tidak dapat mengambil manfaat
sebagaimana mestinya dari pendidikan dan pengalaman biasa”. Sedangkan menurut Moh. Amin dengan Nurhadi 2009: 7
menyebutkan : Anak tunagrahita ringan adalah mereka yang kecerdasannya di bawah
rata-rata. Di samping itu mereka mengalami keterbelakangan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan mereka kurang cakap dalam
memikirkan hal-hal yang abstrak, yang sulit-sulit dan yang berbelit-belit. Mereka kurang atau terbelakang atau tidak berhasil bukan untuk sehari
dua hari, atau sebulan dua bulan, tetapi untuk selama-lamanya dan bukan hanya dalam satu atau dua hal tetapi hampir segala hal, lebih-
lebih dalam pelajaran seperti : mengarang, menyimpulkan isi bacaan, menggunakan simbol-simbol, berhitung, dan dalam semua pelajaran
bersifat teoritis. Dan kurangterlambat dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
commit to user 7
Definisi menurut American Association an Mental Deficiency AAMD dengan menyebutkan retardasi mental adalah :
“Yang meliputi fungsi intelektual umum di bawah rata-rata sub average, yaitu IQ 84 ke bawah berdasarkan tes individual, muncul sebelum usia 16
tahun, dan menunjukkan hambatan pad a perilaku adaptif” Nurhadi, 2009:8.
Anak tunagrahita sebagai salah satu jenis penyandang cacat, dampak dari kecacatannya dapat berpengaruh dalam kehidupan termasuk dalam
pendidikan. Dalam proses belajar mengajar misalnya, tidak sedikit anak tunagrahita yang mengalami hambatan dalam beradaptasi, baik secara
akademis, sosial maupun psikologis Murniati Sulastri dalam Siti Mahmudah JRR, Tahun 13, No. 1 Juni 2003.
“Prevalensi tunagrahita adalah 20 per 1000, ini berarti 2 dari populasi adalah tunagrahita Ingals dalam Siti Mahmudah JRR, Tahun 13, No.
1 Juni 2003. Sedang angka kejadian retardasi mental berat sekitar 3 dari seluruh populasi, dan hampir 3 mempunyai IQ dibawah 70” Soetjiningsih
dalam Siti Mahmudah JRR, Tahun 13, No. 1 Juni 2003. Menurut Ingals dalam Siti Mahmudah JRR, Tahun 13, No. 1 Juni
2003 : Sebanyak 86,7 anak tunagrahita adalah tunagrahita ringan, 10
tunagrahita sedang dan 3,3 tunagrahita berat. Dari sejumlah tunagrahita belum seluruhnya dapat ditampung oleh pendidikan formal. Di Surabaya
jumlah penyandang cacat usia sekolah yang sedang memperoleh layanan pendidikan formal sebanyak 1.586 anak dan hanya 328 anak yang
tunagrahita, selebihnya 474 anak tunanetra, 256 anak tuna runguwicara, 528 anak tuna daksa cacat fisik Dinas Sosial Kota Surabaya,
19992000.
Pendapat ahli tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah rendahnya intelegensi IQ seseorang dibandingkan dengan
rata-rata anak pada umumnya. Anak tunagrahita memiliki hambatan-hambatan tertentu, maka mereka membutuhkan pendidikan dan bimbingan khusus serta
layanan khusus agar dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya.
b. Klasifikasi Anak Tunagrahita