Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

3. Pasal 5: Perbuatan yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran atau menggunakan Harta kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1. Ketentuan di Pasal 5 ayat 1 UU No. 82010 dikecualikan bagi pihak pelapor yang melaksanakan kewajiban pelaporan. 89 Untuk delik tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud di dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 UU No. 82010 dilakukan oleh Korporasi, maka pidana dijatuhkan terhadap Korporasi danatau Personil Pengendali Korporasi. 90 Di luar pengaturan Pasal 2, Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 terdapat pasal-pasal lain yang mengatur mengenai tindak pidana yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang. Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang diatur pada Pasal 11, Pasal 12, Pasal 14, Pasal 15, dan Pasal 16 UU No. 82010.

3. Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan

Pada tanggal 17 April 2002, Indonesia telah mengundangkan UU No. 15 Tahun 2002 yang kemudian diubah dengan UU No.25 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, dan selanjutnya diubah dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Dengan 89 Ibid ., Pasal 5 ayat 2. 90 Ibid., Pasal 6 ayat 1. Universitas Sumatera Utara adanya UU ini maka terjadi perubahan besar dalam cara memandang kegiatan pencucian uang di Indonesia. Selain pencucian uang dianggap sebagai tindak pidana, perubahan lainnya ialah dibentuknya Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan PPATK yang merupakan lembaga independen yang akan berperan dalam pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia. Secara kelembagaan PPATK dibentuk dengan diundangkannya UU No. 15 Tahun 2002, sesuai dengan ketentuan pada pasal 18 ayat 1 yang menyatakan: “Dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang, dengan Undang-undang ini dibentuk PPATK” Dengan dibentuknya PPATK ini, maka Indonesia telah memenuhi salah satu dari The Forty Recommendations yang diusulkan oleh Financial Action Task Force On Money Laundering FATF, dalam usaha pemberantasan tindak pidana pencucian uang di Indonesia 91 . Dalam pasal ke 16 The Forty Recommendations dari FATF disebutkan mengenai pembentukan Financial Intelligent Unit yang secara umum bertugas menganalisis transaksi-transaksi keuangan untuk mencegah adanya transaksi yang merupakan kegiatan pencucian uang, dan lembaga yang memiliki kewenangan seperti Financial Intelligent Unit di Indonesia ini adalah PPATK 92 91 Penyebutan PPATK secara internasional adalah INTRAC Indonesian Transaction Report and Analysis Centre . 92 Financial Intelligent Unit di AS diberi nama FinCen Financial Crime Enforcement Network, Thailand menyebutnya AMLO Anti Money Laundering Office, di Kanada FINTRAC Financial Transaction Report Anaysis Centre, dan AUATRAC Australian Transaction and Analysis Centre Universitas Sumatera Utara PPATK ini memiliki kelembagaan yang independen, yang bebas dari campur tangan yang bersifat politik seperti Lembaga Negara, Penyelenggara Negara dan pihak lainnya. PPATK dalam melaksanakan tugasnya diwajibkan untuk menolak campur tangan dari pihak manapun. Prinsip ini dapat ditafsirkan dari ketentuan pasal 18 ayat 2 dan pasal 25 ayat 1 UU No. 15 Tahun 2002 yang menyatakan: Pasal 18 ayat 2: “PPATK…adalah lembaga yang independen dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya.” Pasal 25 ayat 1: “Setiap pihak tidak boleh melakukan segala bentuk campur tangan terhadap pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK.” Pada penjelasan pasal 25 ayat 2 UU No. 15 Tahun 2002 menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “independen” adalah bebas dari intervensi pihak manapun. Sifat independen dari PPATK ini juga ditegaskan dalam ayat berikutnya bahwa PPATK, yang diwakili oleh kepala dan wakil kepalanya, untuk menolak campur tangan pihak lain 93 Dengan adanya ketentuan-ketentuan ini maka tidak dimungkinkan adanya campur tangan eksternal dalam pelaksanaan tugas dan kewenangan PPATK. . PPATK yang merupakan lembaga independen yang bertanggungjawab kepada Presiden merupakan Financial Intelligent Unit dengan model administratif 93 Indonesia D, Undang-undang Tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, UU No 15 Tahun 2002, LN No. 30 Tahun 2002, TLN No. 4191, pasal 25 ayat 2 Universitas Sumatera Utara administrative model 94 Suatu financial intelligent unit biasanya melakukan beberapa tugas dan wewenang, yaitu tugas pengaturan sebagai regulator, melakukan kerjasama dalam rangka penegakkan hukum, bekerjasama dengan sektor keuangan, menganalisa laporan yang masuk, melakukan pengamanan terhadap seluruh data dan aset yang ada, melakukan kerjasama internasional dan fungsi administrasi umum. PPATK sebagai suatu financial intelligent unit juga melaksanakan fungsi yang demikian . Model administratif ini lebih banyak berfungsi sebagai perantara antara masyarakat atau industri jasa keuangan dengan institusi penegak hukum. Laporan yang masuk dianalisis dahulu oleh lembaga ini kemudian dilaporkan ke institusi penegak hukum, yaitu Kepolisian dan Kejaksaan. 95 Untuk melaksanakan perannya sebagai financial intelligent unit dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia, PPATK diberikan tugas dan wewenang oleh UU No. 82010 sebagaimana yang diatur dalam Pasal 39, UU No. 82010 tugas utama PPATK adalam mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Sedangkan fungsi PPATK sebagaimana diatur dalam Pasal 40 UU No. 82010 antara lain adalah: . a. Pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang; b. Pengelolaan data dan informasi yang diperoleh PPATK; 94 Administrative model , dengan variasi: merupakan lembaga independen di bawah pemerintahan, seperti AUSTRAC, FINTRAC, FINCEN atau di bawah Bank Sentral seperti di Malaysia. 95 Yunus Husein, “PPATK: Tugas, Wewenang dan Peranannya dalam Memberantas Tindak Pidana Pencucian Uang,” Makalah disampaikan pada Seminar Sehari Memahami UU RI No.15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, Jakarta, 6 Mei 2003 Universitas Sumatera Utara c. Pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor; dan d. Analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi Transaksi Keuangan yang berindikasi tindak pidana pencucian uang danatau tindak pidana lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1. Pada ketentuan Pasal 41 UU No. 82010, PPATK dalam melaksanakan fungsi pencegahan dan pemberantasana tindak pidana pencucian uang, PPATK berwenang: a. meminta dan mendapatkan data dan informasi dari instansi pemerintah danatau lembaga swasta yang memiliki kewenangan mengelola data dan informasi, termasuk dari instansi pemerintah danatau lembaga swasta yang menerima laporan dari profesi tertentu; b. menetapkan pedoman identifikasi Transaksi Keuangan Mencurigakan; c. mengoordinasikan upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang dengan instansi terkait; d. memberikan rekomendasi kepada pemerintah mengenai upaya pencegahan tindak pidana Pencucian Uang; e. mewakili pemerintah Republik Indonesia dalam organisasi dan forum internasional yang berkaitan dengan pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang; f. menyelenggarakan program pendidikan dan pelatihan antipencucian uang; dan g. menyelenggarakan sosialisasi pencegahan dan pemberantasan tindak pidana Pencucian Uang. Universitas Sumatera Utara Dalam melaksanakan fungsi pengelolaan data dan informasi, sesuai dengan ketentuan Pasal 42 UU No. 82010, PPATK berwenang menyelenggarakan sistem informasi. Yang dimaksud dengan sistem informasi sebagaimana dijabarkan dalam penjelasan Pasal 42 UU No. 82010 antara lain: a. Membangun, mengembangkan, dan memelihara sistem aplikasi; b. Membangun, mengembangkan, dan memelihara infrastruktur jaringan komputer dan basis data; c. Mengumpulkan, mengevaluasi data dan informasi yang diterima oleh PPATK secara manual dan elektronik; d. Menyimpan, memelihara data dan informasi ke dalam basis data; e. Menyajikan informasi untuk kebutuhan analisis; f. Memfasilitasi pertukaran informasi dengan instansi terkait baik dalam negeri maupun luar negeri; dan g. Melakukan sosialisasi penggunaan sistem aplikasi kepada pihak pelapor. Dalam melaksanakan fungsi pengawasan terhadap kepatuhan pihak pelapor sebagaimana diatur di dalam Pasal 43 UU No. 82010, PPATK berwenang: a. Menetapkan ketentuan dan pedoman tata cara pelaporan bagi pihak pelapor; b. Menetapkan kategori pengguna jasa yang berpotensi melakukan tindak pidana pencucian uang; c. Melakukan audit kepatuhan atau audit khusus; d. Menyampaikan informasi dari hasil audit kepada lembaga yang berwenang melakukan pengawasan terhadap pihak pelapor; Universitas Sumatera Utara e. Memberikan peringatan kepada pihak pelapor yang melanggar kewajiban pelaporan; f. Merekomendasikan kepada lembaga yang berwenang mencabut izin usaha pihak pelapor; dan g. Menetapkan ketentuan pelaksanaan prinsip mengenali pengguna jasa bagi pihak pelapor yang tidak memiliki lembaga pengawas dan pengatur. Dalam melaksanakan fungsi analisis atau pemeriksaan laporan dan informasi, dalam ketentuan Pasal 44 UU No. 82010 diatur bahwa PPATK dapat: a. Meminta dan menerima laporan dan informasi dari pihak pelapor; b. Meminta informasi kepada instansi atau pihak terkait; c. Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan pengembangan hasil analisis PPATK; d. Meminta informasi kepada pihak pelapor berdasarkan permintaan dari instansi penegak hukum atau mitra kerja di luar negeri; e. Meneruskan informasi danatau hasil analisis kepada instansi peminta, baik di dalam maupun di luar negeri; f. Menerima laporan danatau informasi dari masyarakat mengenai adanya dugaan tindak pidana pencucian uang; g. Meminta keterangan kepada pihak pelapor dan pihak lain yang terkait dengan dugaan tindak pidana pencucian uang; Universitas Sumatera Utara h. Merekomendasikan kepada instansi penegak hukum mengenai pentingnya melakukan intersepsi atau penyadapan atas informasi elektronik danatau dokumen elektronik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan; i. Meminta penyedia jasa keuangan untuk menghentikan sementara seluruh atau sebagian transaksi yang diketahui atau dicurigai merupakan tindak pidana; j. Meminta informasi perkembangan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh penyidik tindak pidana asal dan tindak pidana pencucian uang; k. Mengadakan kegiatan administratif lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sesuai dengan ketentuan undang-undang ini; dan l. Meneruskan hasil analisis atau pemeriksaan kepada penyidik. Dari tugas dan wewenang yang di atur dalam ketentuan tersebut di atas, terdapat dua tugas PPATK yang sangat menonjol dalam kaitannya dengan usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang di Indonesia. Tugas pertama adalah untuk mendeteksi terjadinya tindak pidana pencucian uang, dan yang kedua adalah tugas untuk membantu penegakan hukum yang berkaitan dengan kegiatan pencucian uang dan juga tindak pidana yang melahirkannya predicate crimes. Dalam pelaksanaan tugasnya sebagai lembaga independen yang bertujuan untuk mencegah dan memberantas kegiatan pencucian uang di Indonesia, PPATK akan bekerja sama dengan banyak pihak. Selain dengan Kepolisian dan kejaksaan sebagai penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan dan penuntutan dalam tindak pidana pencucian uang, PPATK juga akan bekerjasama dengan Bank Indonesia, Dirjen Pajak, Dirjen Bea Cukai, Badan Pengawas Pasar Modal, Universitas Sumatera Utara Departemen Keuangan, masyarakat dan lembaga-lembaga lain baik dari dalam maupun luar negeri. Melihat begitu banyaknya pihak yang terlibat dalam usaha pencegahan dan pemberantasan pencucian uang ini, dapat disadari bahwa kegiatan pencucian uang merupakan suatu ancaman yang sangat berbahaya sehingga dibutuhkan kerjasama dari banyak pihak untuk dapat menghadapinya.

E. Unsur Unsur Pokok Tindak Pidana Pencucian Uang Dalam UU NO 8 Tahun 2010

Berdasarkan ketentuan Pasal – Pasal 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9 dan 10 UU No 8 Tahun 2010, yang termasuk ke dalam unsur unsur tindak pidana pencucian uang adalah : Pertama, Setiap orang baik orang perseorangan maupun korporasi dan personil pengendali korporasi. Kedua, menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010. Ketiga, menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UUN0 8 Tahun 2010. Universitas Sumatera Utara Keempat, bertujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 UU No 8 tahun 2010 Adapun sanksi hukum yang dapat dikenakan kepada pelakau Tindak Pidana Pencucian Uang berupa pidana penjara dan pidana denda diatur dalam ketentuan Pasal 3, Pasal 4, Pasal 5 ayat 1, Pasal 6 ayat 1 dan 2, Pasal 7 ayat 1 dan 2, Pasal 8, Pasal 9 ayat 1 dan 2 dan Pasal 10 UU No 8 tahun 2010. Pasal 3 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Setiap Orang yang menempatkan, mentransfer, mengalihkan, membelanjakan, membayarkan, menghibahkan, menitipkan, membawa ke luar negeri, mengubah bentuk, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga atau perbuatan lain atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dengan tujuan menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp10.000.000.000,00 sepuluh miliar rupiah. Pasal 4 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Setiap Orang yang menyembunyikan atau menyamarkan asal usul, sumber, lokasi, peruntukan, pengalihan hak-hak, atau kepemilikan yang sebenarnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana karena tindak pidana Pencucian Uang dengan pidana penjara paling lama 20 dua puluh tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 lima miliar rupiah. Pasal 5 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Setiap Orang yang menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah, sumbangan, penitipan, penukaran, atau menggunakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana Universitas Sumatera Utara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 1 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun dan denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 satu miliar rupiah. Pasal 6 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Dalam hal tindak pidana Pencucian Uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5 dilakukan oleh Korporasi, pidana dijatuhkan terhadap Korporasi danatau Personil Pengendali Korporasi. Pasal 6 ayat 2 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Pidana dijatuhkan terhadap Korporasi apabila tindak pidana Pencucian Uang: a. dilakukan atau diperintahkan oleh Personil Pengendali Korporasi; b. dilakukan dalam rangka pemenuhan maksud dan tujuan Korporasi; c. dilakukan sesuai dengan tugas dan fungsi pelaku atau pemberi perintah; dan d. dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi Korporasi. Pasal 7 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 seratus miliar rupiah. Pasal 7 ayat2 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Selain pidana denda sebagaimana dimaksud pada ayat 1, terhadap Korporasi juga dapat dijatuhkan pidana tambahan berupa: a. pengumuman putusan hakim; b. pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; c. pencabutan izin usaha; d. pembubaran danatau pelarangan Korporasi; e. perampasan aset Korporasi untuk negara; danatau f. pengambilalihan Korporasi oleh negara. Pasal 8 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Universitas Sumatera Utara Dalam hal harta terpidana tidak cukup untuk membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5, pidana denda tersebut diganti dengan pidana kurungan paling lama 1 satu tahun 4 empat bulan. Pasal 9 ayat 1 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Dalam hal Korporasi tidak mampu membayar pidana denda sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat 1, pidana denda tersebut diganti dengan perampasan Harta Kekayaan milik Korporasi atau Personil Pengendali Korporasi yang nilainya sama dengan putusan pidana denda yang dijatuhkan. Pasal 9 ayat 2 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Dalam hal penjualan Harta Kekayaan milik Korporasi yang dirampas sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak mencukupi, pidana kurungan pengganti denda dijatuhkan terhadap Personil Pengendali Korporasi dengan memperhitungkan denda yang telah dibayar. Pasal 10 UU No 8 Tahun 2010 berbunyi : Setiap Orang yang berada di dalam atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang turut serta melakukan percobaan, pembantuan, atau Permufakatan Jahat untuk melakukan tindak pidana Pencucian Uang dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3, Pasal 4, dan Pasal 5. Universitas Sumatera Utara BAB III PROSES PEMBUKTIAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG DALAM UU NO 8 TAHUN 2010 TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

A. Sistem Pembuktian

Sistem pembuktian adalah pengaturan tentang macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti dan dengan cara-cara bagaimana alat-alat bukti itu dipergunakan dan cara bagaimana hakim harus membentuk keyakinannya. 96 Tujuan dan guna pembuktian bagi para pihak yang terlibat dalam proses pemeriksaan persidangan adalah: Pembuktian tentang benar tidaknya terdakwa melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting acara pidana. Dalam hal ini pun hak asasi manusia dipertaruhkan. Bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwakan dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai keyakinan hakim, padahal tidak benar. Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiil, berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal. 97 a. Bagi penuntut umum, pembuktian adalah merupakan usaha untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan seorang terdakwa bersalah sesuai dengan surat atau catatan dakwaan. 96 Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung. 2003. Hal. 11 97 Ibid. hal. 13 Universitas Sumatera Utara b. Bagi terdakwa atau penasehat hukum, pembuktian merupakan usaha sebaliknya, untuk meyakinkan hakim yakni berdasarkan alat bukti yang ada, agar menyatakan terdakwa dibebaskan atau dilepaskan dari tuntutan hukum atau meringankan pidananya. Untuk itu terdakwa atau penasihat hukum jika mungkin harus mengajukan alat-alat bukti yang menguntungkan atau meringankan pihaknya. Biasanya bukti tersebut disebut bukti kebalikan. c. Bagi hakim, atas dasar pembuktian tersebut yakni dengan adanya alat-alat bukti yang ada dalam persidangan baik yang berasal dari penuntut umum atau penasihat hukum terdakwa dibuat dasar untuk membuat keputusan. Sejarah perkembangan hukum acara pidana menunjukkan bahwa ada beberapa sistem atau teori untuk membuktikan perbuatan yang didakwakan. Sistem atau teori pembuktian ini bervariasi menurut waktu dan tempat negara. 1. Sistem atau Teori Pembuktian berdasarkan Undang-undang secara Positif Positief wetterlijk Bewijstheori Pembuktian yang didasarkan melulu kepada alat-alat pembuktian yang disebut undang-undang, disebut sistem atau teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara positif positief wettelijk bewijstheorie. Dikatakan secara positif, karena hanya didasarkan kepada undang-undang melulu. Artinya jika telah terbukti suatu perbuatan sesuai dengan alat-alat bukti yang disebutkan oleh undang-undang, maka keyakinan Universitas Sumatera Utara hakim tidak diperlukan sama sekali. 98 Apabila dalam hal membuktikan telah sesuai dengan apa yang telah ditentukan terlebih dahulu dalam undang-undang, baik mengenai alat-alat buktinya maupun cara-cara mempergunakannya, maka hakim harus menarik kesimpulan bahwa kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana telah terbukti. Keyakinan hakim sama sekali tidak penting dan bukan menjadi bahan yang boleh dipertimbangkan dalam hal menarik kesimpulan tentang kesalahan terdakwa melakukan tindak pidana. Sistem ini disebut juga teori pembuktian formal formele bewijstheorie. 99 Sistem ini mendasarkan kepada bahwa hakim hanya boleh menentukan kesalahan tertuduh, bila ada bukti minimum yang diperlukan oleh undang-undang. Jika bukti itu terdapat, maka hakim wajib menyatakan bahwa tertuduh itu bersalah dan dijatuhi hukuman, dengan tidak menghiraukan keyakinan hakim. Pokoknya: kalau ada bukti walaupun sedikit harus disalahkan dan dihukum. 100 Sistem ini bertentangan dengan hak-hak asasi manusia, yang pada zaman sekarang sangat diperhatikan dalam hal pemeriksaan tersangka atau terdakwa oleh negara. Juga system ini sama sekali mengabaikan perasaan nurani hakim. 98 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2005, Hal. 247 buku 2 99 Adami Chazawi, Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Penerbit P.T Alumni, Bandung, 2008, Hal. 27 buku 1 100 Wantjik Saleh, Tindak Pidana Korupsi Dan Suap. Ghalia Indonesia, Jakarta, 1983, Hal. 70 Universitas Sumatera Utara Hakim bekerja menyidangkan terdakwa seperti robot yang tingkah lakunya sudah deprogram melalui undang-undang. 101 Sistem pembuktian ini menyandarkan diri pada alat bukti saja, yakni alat bukti yang telah ditentukan oleh undang-undang. Sistem ini yang dicari adalah kebenaran formal, sehingga sistem ini dipergunakan dalam hukum acara perdata.

2. Sistem atau Teori Pembuktian Berdasarkan Keyakinan Hakim Melulu