Implikasi Perubahan Bentuk Perumka Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia

(1)

IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI

PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN

PT. KERETA API INDONESIA

TESIS

Oleh

SUPARDI 077005134/HK

S

E K O L A H

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI

PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN

PT. KERETA API INDONESIA

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Magister Humaniora

dalam Program Studi Ilmu Hukum pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

SUPARDI 077005134/HK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUMKA MENJADI PERSERO TERHADAP HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA

Nama Mahasiswa : Supardi

Nomor Pokok : 077005134

Program Studi : Ilmu Hukum

Menyetujui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH) Ketua

(Dr. Sunarmi, SH, M.Hum) (Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum) Anggota Anggota

Ketua Program Studi D i r e k t u r

(Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH)(Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B., MSc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal 19 Agustus 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Bismar Nasution, SH, MH Anggota : 1. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum

2. Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum 3. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum


(5)

ABSTRAK

Perubahan status Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) terjadi pada tahun 1999 berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero). Perubahaan bentuk ini didasarkan pada keinginan ideal untuk mewujudkan perusahaan kereta api yang mandiri dan mampu menghasilkan laba dengan pengelolaan yang lebih profesional dan berbasis pada prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Terwujudnya keinginan tersebut dengan sendirinya akan membawa pengaruh yang lebih baik terhadap karyawan berupa peningkatan kesejahteraan karyawan. Namun pada kenyataannya perubahan bentuk perusahaan tersebut menimbulkan sejumlah persoalan, tidak terkecuali persoalan yang menyangkut pada kejelasan status dan kesejahteraan karyawan.

Penelitian tentang implikasi perubahan bentuk Perumka menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia ini dilakukan dengan mempergunakan metode penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif. Bahan-bahan hukum yang dikumpulkan dengan tehnik studi pustaka (library

research) dianalisis dengan menggunakan metode analisis normatif kualitatif

dengan mengacu pada kerangka teoritis yang relevan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa perubahaan status Perum Kereta Api menjadi PT. Kereta Api Indonesia (Persero) tidak diiukti dengan kesiapan untuk menyelesaikan masalah status karyawan dan hak-hak karyawan. Pada periode Perusahaan Jawatan status karyawan perusahaan kereta api adalah pegawai negeri sipil. Berdasarkan PP No. 57 Tahun 1990 status Perusahaan Jawatan Kereta Api diubah menjadi Perumka dan status karyawan lebih lanjut akan ditetapkan dengan Surat Keputusan Bersama antara Menteri Perhubungan, Menteri Keuangan dan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara sesuai tuntutan Pasal 15 PP No. 57 Tahun 1990. Pada tahun 1992 Menteri Perhubungan RI mengeluarkan Surat Keputusan No. 18/KP/601/Phb-1992 yang terkesan mengarahkan secara sepihak pilihan karyawan PJKA untuk melepaskan status PNS mereka dengan dalih pilihan tersebut atas permintaan sendiri. Sementara itu SKB sesuai Pasal 15 PP No. 57 Tahun 1990 sampai saat ini belum dikeluarkan yang berarti bahwa masalah status dan hak-hak karyawan eks PJKA belum terselesaikan sepenuhnya, kemudian diundangkan PP No. 19 Tahun 1998 yang membatalkan PP No. 57 Tahun 1990, sehingga menambah rumit permasalahan dikarenakan perusahaan kereta api berubah status lagi menjadi Perusahaan Persero. Seiring perjalan waktu ternyata janji peningkatan tingkat kesejahteraan dan hak-hak karyawan semakin jauh dari kenyataan. Hal ini terbukti dari besaran gaji pokok dasar pensiun dan tunjangan hari tua pegawai Perum maupun PT. Kereta Api Indonesia (Persero) lebih kecil dibandingkan PNS, pelayanan kesehatan pegawai tidak memadai


(6)

dan berada dibawah pelayanan yang diterima PNS, serta tidak adanya kepastian kelangsungan dana pensiun akibat ketidak mampuan perusahaan dalam mengelola dana pensiun. Berdasarkan hal tersebut disimpulkan bahwa perubahan status perusahaan dari perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum dan selanjutnya menjadi perusahaan persero lebih didasarkan pada dorongan eksternal dan pengurangan beban anggaran pemerintah bukan didasarkan pada analisis kelayakan terhadap kondisi perusahaan dan kesejahteraan pegawai. Dengan kata lain, perubahan status yang lebih mengarah pada melepaskan perusahaan kereta api sepenuhnya pada mekanisme pasar tersebut pada dasarnya belum tepat untuk dilakukan, apalagi mengingat jasa yang diselenggarakan oleh perusahaan kereta api adalah layanan publik untuk memenuhi tuntutan rakyat atas transportasi yang terjangkau oleh seluruh lapisan masyarakat. Berdasarkan hasil penelitian tersebut sangat diharapkan agar Pemerintah Republik Indonesia segera menyelesaikan masalah pekerja kereta api agar tidak berlarut-larut seperti saat ini dan dengan tetap mengupayakan peningkatan kesejahteraan dan hak-hak pegawai kerta api tersebut.

Kata Kunci : Implikasi Perum, Perubahan menjadi Persero, Hak – hak Karyawan


(7)

ABSTRACT

Change of Public Company status (Perum) Train become PT. Train Indonesia (Persero) happened in the year 1999 pursuant to Regulation of Government of No. 19 Year 1998 about Transfer Of Form of Perum Train Become Company Of Copartnership (Persero). Perubahaan this form of relied on ideal desire to realize company of self-supporting train and can yield profit with more professional management and base on principles arrange good company management. Its form of the desire by itself will bring better influence to employees in the form of make-up of prosperity of employees. But practically transformation of the company generate a number of problem, do not aside from problem which concerning at clarity of status and prosperity of employees. Research about implication transformation of Perumka become Persero to employees rights of this PT. Train Indonesia is conducted by utilizing method research of law of normatif having the character of is descriptive. collected Law materialss technicsly book study (research library) analysed by using method analyse normatif qualitative by relate [at] relevant theoretical framework.

Result of research find that Transformation of status of Perum Train become PT. Train Indonesia (Persero) do not follow with readiness of to finish the problem of employees status and employees rights. At period of Company of Post employees status company of train is public servant of civil. Pursuant to PP No. 57 Year 1990 status Company of Railroads turned into Perumka and furthermore employees status will be specified by letter Decision With between Minister of Communication, Minister for Finance and Minister Utilization of State Aparatus according to demand Section 15 PP No. 57 Year 1990. In the year 1992 Minister of Communication of RI release Decree of No. 18/KP/601/Phb-1992 impressing instruct unilaterally employees choice of PJKA to discharge status of PNS their under the cloak of the choice by request of by self. Meanwhile SKB according to Section 15 PP No. 57 Year 1990 till now not yet been released meaning that the problem of employees rights and status of[is ex PJKA not yet been finished fully, is later;then invited by PP No. 19 Year 1998 canceling PP No. 57 Year 1990, so that growing complicatedly of problems because of company of train change status again become Company of Persero. Along time road;street in the reality promise the make-up of prosperity storey;level and employees rights progressively far from fact. This matter [is] proven from fundamental salary besaran of retired base and old day subsidy of officer of Perum and also of PT. Train Indonesia (compared to Smaller Persero) of PNS, service of health of officer is not adequate and reside in below/ under accepted by service is PNS, and also certainty inexistence of[is continuity of pension fund effect of company unmanageable in managing pension fund. Pursuant to the mentioned concluded that change of company


(8)

status of company of post become public company and hereinafter become company of persero more relied on is motivation of eksternal and mitigation of governmental budget non relied on elegibility analysis to condition of company and prosperity of officer. Equally, change of more status is flange at discharging company of train fully at the market mechanism basically not yet precisely to be conducted, more than anything else remember service carried out by company of train is public service to fulfill people demand of transportation reached by all walks of life. Pursuant to result of the research very expected Republic Government To Indonesia immediately finish the problem of worker of train in order not to long draw out like in this time and fixed strive the make-up of rights and prosperity officer of Train.

Key words : Public Company, Company Of Persero, PT. Train Indonesia (Persero), Rights Employees.


(9)

KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis Panjatkan kepada ALLAH SWT atas segala karunia-Nya, rahmat dan hidayah-Nya sehingga Tesis ini dapat diselesaikan dengan baik dan tepat pada waktunya.

Tesis ini ditulis dalam rangka memenuhi syarat untuk mencapai gelar Magister Humaniora pada Program Studi Ilmu Hukum, Sekolah Pascasarjana Univesitas Sumatera Utara, Medan.

Adapun judul proposal penelitian ini adalah: “ Implikasi Perubahan Bentuk PERUMKA Menjadi Persero Terhadap Hak-Hak Karyawan PT. Kereta Api Indonesia” Di dalam menyelesaikan Tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan baik berupa pengajaran, bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu Penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya kepada yang terhormat para pembimbing: Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum. dan Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum. Dimana di tengah-tengah kesibukannya masih tetap meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan mendorong semangat penulis untuk menyelesaikan penulisan Tesis ini.

Perkenankanlah juga, penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang terlibat dalam penyelesaian studi ini, kepada:

1. Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumetera Utara, Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B, M.Sc, atas kesempatan menjadi mahasiswa


(10)

Program Magister Ilmu Hukum Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Prof. Dr. H. Bismar Nasution, S.H., M.H., sebagai Ketua Program studi Magister Ilmu Hukum sekaligus sebagai Pembimbing Utama penulis, yang telah meluangkan waktunya untuk membimbing penulis dalam penulisan Tesis ini, serta dorongan dan masukan yang penulis pikir merupakan hal yang sangat penting sehingga Tesis ini selesai di tulis. 3. Dr. Sunarmi, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing dengan penuh

perhatian memberikan dorongan, bimbingan dan saran kepada penulis. 4. Dr. Mahmul Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Komisi Pembimbing,

dengan penuh perhatian memberikan arahan serta dorongan dalam penulisan Tesis ini.

5. Kedua Orang Tua tercinta yang mendidik dengan penuh rasa kasih sayang, menanamkan budi pekerti yang luhur serta iman dan taqwa kepada ALLAH SWT.

6. Kepada Istri dan Anak-anakku, Saudara-saudara ku, Kakak dan Adik Penulis sayangi, atas kesabaran dan pengertiannya serta memberikan do’a dan semangat kepada penulis dalam menyelesaikan penulisan Tesis ini.

7. Kepada Rekan-rekan di Sekolah pascasarjana, dan rekan-rekan kerja saya yang tidak dapat disebutkan satu persatu.


(11)

Semoga ALLAH SWT membalas jasa, amal dan budi baik tersebut dengan pahala yang berlipat ganda.

Akhirnya penulis berharap semoga Tesis ini dapat memberi manfaat dan menyampaikan permintaan yang tulus jika seandainya dalam penulisan ini terdapat kekurangan dan kekeliruan di sana-sini, penulis juga menerima kritik dan saran yang bertujuan serta bersifat membangun untuk menyempurnakan penulisan Tesis ini.

Medan, Juli 2009 Penulis,


(12)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Supardi

Tempat/Tanggal Lahir : Lubuk Pakam, 24 September 1962 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Pekerjaan : BUMN PT. Kereta Api (Persero)

Alamat : Jalan. Bilal Gg Karya No. 294 B Medan Pendidikan : SD Negeri Lubuk Pakam Tamat Tahun 1976

ST Negeri Lubuk Pakam Tamat Tahun 1980 STM Swasta Lubuk Pakam Tamat Tahun 1983 Strata Satu (S1) Universitas Dharmawangsa Tamat Tahun 2001

Strata Dua (S2) Sekolah Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Tamat Tahun 2009


(13)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... v

RIWAYAT HIDUP ... viii

DAFTAR ISI ... ix

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 21

C. Tujuan Penelitian ... 22

D. Manfaat Penelitian ... 23

E. Keaslian Penulisan ... 24

F. Kerangka Teori dan Konsepsi ... 24

G. Metode Penelitian ... 33

BAB II LATAR BELAKANG PERUBAHAN BENTUK PERUSAHAAN KERETA API DARI PERUSAHAAN UMUM (PERUM) MENJADI BADAN PERUSAHAAN PERSERO... 39

A. Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance. 39 B. Good Governance dan Implementasi Kebijakan Sumber Daya Manusia (SDM) SPKA PT KA (Persero) ... 48

1. Upaya Pemerintah Untuk Menerapkan Prinsip-Prinsip Good Governance... 49

2. Transparansi Dalam Keuangan Berdasarkan Good Governance ... 52


(14)

4. Implementasi GCM dalam Kebijakan Pengelolaan

Sumber Daya Manusia (SDM) ... 59

5. Latar Belakang Perubahan bentuk Perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi Perusahaan Persero... 64

BAB III IMPLIKASI PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO TERHADAP STATUS KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA ... 70

A. Dampak Pengalihan Bentuk Perusahaan... 70

B. Frekuensi Tuntutan Meninggi ... 84

C. Santunan Purna Jabatan ... 89

D. Masukan Untuk RUPS ... 93

BAB IV HAK-HAK KARYAWAN PT. KERETA API INDONESIA SETELAH TERJADINYA PERUBAHAN BENTUK PERUM MENJADI PERSERO ... 101

A. Perjanjian Kerja Bersama (PKB) ………..101

B. Hak-Hak Karyawan PT KA (Persero) ... 115

C. Hak-Hak Pekerja Perum Kereta Api... 125

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 128

A. Kesimpulan ... 128

B. Saran ... 132


(15)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Perkeretaapian sebagai salah satu moda transportasi memiliki karakteristik dan keunggulan khusus, terutama dalam kemampuannya untuk mengangkut, baik orang maupun barang secara massal, menghemat energi, menghemat penggunaan ruang, mempunyai faktor keamanan yang tinggi, memiliki tingkat pencemaran yang rendah, serta lebih efisien dibandingkan dengan moda transportasi jalan untuk angkutan jarak jauh dan untuk daerah yang padat lalu lintasnya, seperti angkutan perkotaan.

Berdasarkan keunggulan dan karakteristik perkeretaapian tersebut, peran perkeretaapian perlu lebih ditingkatkan dalam upaya pengembangan sistem transportasi nasional secara terpadu. Untuk itu, penyelenggaraan perkeretaapian yang dimulai dari pengadaan, pengoperasian, perawatan, dan pengusahaan perlu diatur dengan sebaik-baiknya sehingga dapat terselenggara angkutan kereta api yang menjamin keselamatan, aman, nyaman, cepat, tepat, tertib, efisien, serta terpadu dengan moda transportasi lain. Dengan demikian, terdapat keserasian dan keseimbangan beban antarmoda transportasi yang mampu meningkatkan penyediaan jasa angkutan bagi mobilitas angkutan orang dan barang.1

1

Suryo Hapsoro Tri Utomo, “Sejarah Transportasi Kereta Api”, Dikutip dari http://sipilugm.wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-api-indonesia/, Diakses tanggal 12 Februari 2009.


(16)

Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Perkeretaapian, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, kondisi perkeretaapian nasional yang masih bersifat monopoli dihadapkan pada berbagai masalah, antara lain kontribusi perkeretaapian terhadap transportasi nasional masih rendah, prasarana dan sarana belum memadai, jaringan masih terbatas, kemampuan pembiayaan terbatas, tingkat kecelakaan masih tinggi, dan tingkat pelayanan masih jauh dari harapan.2

Memperhatikan hal-hal tersebut, peran Pemerintah dalam penyelenggaraan perkeretaapian perlu dititikberatkan pada pembinaan yang meliputi penentuan kebijakan, pengaturan, pengendalian, dan pengawasan dengan mengikutsertakan peran masyarakat sehingga penyelenggaraan perkeretaapian dapat terlaksana secara efisien, efektif, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan.

Secara de-facto hadirnya kereta api di Indonesia dimulai dengan dibangunnya jalan rel sepanjang 26 km pada lintas Kemijen-Tanggung yang dibangun oleh NV. Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij (NIS). Pembangunan jalan rel tersebut dimulai dengan penyangkulan pertama pembangunan badan jalan rel oleh Gubernur Jenderal Belanda Mr. L.A.J. Baron Sloet Van De Beele pada hari Jum’at tanggal 17 Juni 1864. Jalur kereta api lintas Kemijen-Tanggung mulai dibuka untuk umum pada hari Sabtu, 10

2 Ibid.


(17)

Agustus 1867. Sedangkan landasan de-jure pembangunan jalan rel di Jawa ialah disetujuinya undang-undang pembangunan jalan rel oleh pemerintah Hindia Belanda tanggal 6 April 1875.3

Sejarah perjuangan Bangsa Indonesia mencatat pengambilalihan kekuasaan perkereta-apian dari pihak Jepang oleh Angkatan Moeda Kereta Api (AMKA) pada peristiwa bersejarah tanggal 28 September 1945. Pengelolaan kereta api di Indonesia telah ditangani oleh institusi yang dalam sejarahnya telah mengalami beberapa kali perubahan. Institusi pengelolaan dimulai dengan nasionalisasi seluruh perkereta-apian oleh Djawatan Kereta Api Indonesia (DKARI), yang kemudian namanya dipersingkat dengan Djawatan Kereta Api (DKA), hingga tahun 1950. Institusi tersebut berubah menjadi Perusahaan Negara Kereta Api (PNKA) pada tahun 1963 dengan PP. No. 22 tahun 1963, kemudian dengan PP. No. 61 tahun 1971 berubah menjadi Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA).

Perubahan kembali terjadi pada tahun 1990 dengan PP. No. 57 tahun 1990 status perusahaan jawatan diubah menjadi perusahaan umum sehingga PJKA berubah menjadi Perusahaan Umum Kerata Api (Perumka). Perubahan besar terjadi pada tahun 1998, yaitu perubahan status dari Perusahaan Umum Kereta Api menjadi PT Kereta Api (Persero), berdasarkan PP. No. 19 tahun 1998.

3 Ibid.


(18)

Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang didirikan dengan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 1990 dialihkan bentuknya menjadi Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 1969 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 1 Tahun 1969 (Lembaran Negara Tahun 1969 No. 16; Tambahan Lembaran Negara No. 2890) tentang Bentuk-Bentuk Usaha Negara Menjadi Undang-Undang.4

Pengalihan bentuk Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api dinyatakan bubar pada saat pendirian Perusahaan Perseroan (PERSERO) tersebut dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum (PERUM) Kereta Api yang ada pada saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (PERSERO) yang bersangkutan.5

Maksud dan tujuan Perusahaan Perseroan (PERSERO) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 adalah untuk menyelenggarakan usaha sebagai berikut:

a. Usaha pengangkutan orang dan barang dengan kereta api; b. Kegiatan perawatan prasarana perkeretaapian;

c. Pengusahaan prasarana kereta api;

d. Pengusahaan usaha penunjang prasarana dan sarana kereta api.6

4

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero), Pasal 1 angka (1).

5

Ibid., Pasal 1 angka (2) 6


(19)

Peralihan status PT Kereta Api Indonesia (KAI) yang semula berbentuk perum menjadi PT Persero mengakibatkan beban yang karena harus digolongkan dalam kelompok harus dapat untung.7 Meskipun pemberian status PT (perseroan terbatas) Persero itu merupakan pemberian "gengsi" yang lebih baik daripada status sebagai perusahaan umum (perum) atau perusahaan jawatan (Perjan). Bahkan status Persero membuat manajemen mengalami kesulitan sebab kalau ingin untung harus dengan pengetatan di berbagai pos sehingga mengurangi mutu layanan. Tetapi, kalau memberi layanan wajar berarti harus merugi.

Setelah perubahan PT KAI memang berkembang menjadi perusahaan yang kurang efisien, produktivitas per pegawainya sangat rendah. Dengan pendapatan tahun 2000 sekitar Rp 2,2 trilyun dan 32.000 pegawai, maka produktivitas per pegawai cuma Rp 68,7 juta dan untung perusahaan sekitar Rp 10,7 milyar. Bandingkan dengan PT Telkom yang pendapatannya sekitar Rp 10 trilyun, 38.000 pegawai, produktivitas mencapai sekitar Rp 263 juta, untungnya sekitar Rp 3,4 trilyun.8

Dilihat dari biaya operasi dan perawatan yang sangat tinggi, maka ada dua yang dikorbankan, biaya pegawai dan biaya perawatan. Biaya operasi tinggi karena memang komponen-komponen produksinya juga tinggi. Tanpa dihitung

7

Moch S. Hendrowijono, “PT KA Menerima Beban Begitu Berat”, Dikutip dari http://www.hendrowijono.com/index.php?option=com_content&view=article&id=473:pt-kereta-api-indonesia-menerima-beban-terlalu-berat&catid=34:perhubungan, Diakses tanggal 12 Februari 2009.

8 Ibid.


(20)

harga pokok kereta dan lokomotif saja, biaya operasi langsung sudah sangat besar. Misalnya harga BBM yang naik terus, tarif listrik (khususnya untuk KRL) juga tinggi karena PT KAI masuk dalam kelompok usaha.

Permasalahannya adalah PT KAI masih menanggung beban penugasan pemerintah tanpa mendapat kompensasi, sehingga sangat memberatkan keuangannya. Dari hitungan PSO (public service obligation) sebagai pelaksana tugas dari pemerintah, seharusnya tahun 2000 pemerintah membayar Rp 434,5 milyar, ditambah biaya pemeliharaan dan operasi prasarana

(IMO-Infrastructure Maintenance & Operation) Rp 399 milyar, tetapi harus

mengembalikan ke pemerintah sewa track dan aksesnya (TAC-Track Access

Charge) sebesar Rp 592 milyar. Alhasil, mestinya PT KAI menerima bersih

dari pemerintah sekitar Rp 241 milyar. Berapa yang diterima tahun lalu, cuma Rp 59,2 milyar, karena kemampuan pemerintah memang sebesar itu.9 Padahal, utamanya kereta-kereta kelas ekonomi tingkat biaya perawatannya lebih tinggi, antara lain karena selalu dipadati penumpang sehingga mudah aus, juga akibat kejahilan masyarakat. Misalnya pencurian kelengkapan kereta, pelemparan kaca jendela, atau naik KA tidak bayar.

Apabila di perhatikan, PT KAI sebenarnya mempunyai peluang besar dalam meraih penumpang kelas-kelas eksekutif, yang hasilnya bisa digunakan untuk menutup biaya operasinya. Apalagi pemerintah sudah memberi peringatan akan makin sedikitnya dana APBN untuk sektor transportasi. Menurut mantan ketua

9 Ibid.


(21)

Komisi V, Burhanuddin Napitupulu, hanya Rp 6,5 trilyun di tahun 2002, yang untuk Jawa saja sudah kurang. Padahal PT KAI berambisi membangun jalur ganda baik Jakarta-Surabaya maupun Kroya-Surabaya yang biayanya bisa trilyunan. Menurut Dirjen Perhubungan Darat Susmono Soesilo, biaya double

track kalau dari APBN pasti murah, sementara dari pos bantuan luar negeri

(BLN) sangat mahal.10 PT KAI, ingin tarif KA ekonomi naik untuk menutup kekurangan PSO. Selain itu, dipikirkan juga untuk menutup trayek-trayek KA yang sangat merugi, dengan dampak mengurangi beban lintas dan beban perawatan prasarana. Yang jadi masalah, apakah pemerintah punya keberanian politik untuk menaikkan tarif kelas ekonomi.11

Kereta api termasuk salah satu sarana angkutan tua di Indonesia. Dibangun dan dioperasikan oleh pemerintah Belanda dan ”dikembangkan” oleh Indonesia setelah merdeka. Banyak stasiun kereta api buatan Belanda sampai sekarang masih dioperasikan, baik di Jakarta maupun di kota-kota lainnya. Tapi banyak pula stasiun kereta api yang ditinggalkan alias tidak dioperasikan lagi tanpa alasan yang jelas.

Dilihat dari regulasi yang mengatur perkeretaapian Indonesia, dapatlah disimpulkan sarana angkutan massal itu sejak diambil alih dari Belanda hingga kini telah mengalami perubahan status yang luar biasa. Pada mulanya perusahaan Negara terdiri atas tiga bentuk badan usaha, yaitu perusahaan

10 Ibid. 11


(22)

jawatan (Perjan), perusahaan umum (Perum) dan perusahaan perseroan (Persero). Setelah keluarnya UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN maka perubahan Negara terdiri atas Perum dan Persero.

Perkeretaapian Indonesia pada awal kemerdekaan hanyalah berstatus sebagai salah satu bagian dari Departemen Perhubungan dengan nama jawatan kereta api Indonesia. Dalam perkembangannya instansi ini kemudian diubah menjadi perusahaan jawatan. Sejak itulah badan-badan usaha milik negara di Indonesia terkelompok dalam apa yang disebut Perjan, Perum dan Persero.

Perkeretaapian Indonesia pada mulanya berstatus Perjan. Di sini campur tangan pemerintah 100 persen. Semua hal yang menyangkut manajemen, perencanaan dan keuangan, diatur dan ditetapkan pemerintah. Dengan berbagai alasan, statusnya kemudian ”ditingkatkan” menjadi Perum. Di sini unsur-unsur bisnis mulai dilekatkan dalam manajemen perusahaan. Tidak lama setelah itu statusnya ”dinaikkan” lagi menjadi Persero dengan embel-embel PT (Perseroan Terbatas), yang tak sama dengan PT swasta murni.

Tapi bagaimana hasil dari semua ”peningkatan” itu? Apakah telah terjadi perbaikan yang signifikan akibat perubahan status itu? Jawabannya tidak. PT KAI masih merugi. Memang terjadi perbaikan dan pengembangan, tapi secara keseluruhan perbaikan itu belumlah seimbang dengan pelayanan yang masih jauh dari bagus. Keluhan calon penumpang dan penumpang, masih terdengar di sana sini. Penumpang naik di atap kereta api masih jadi tontonan biasa. Penumpang tak berkarcis masih sangat banyak, dan petugas yang


(23)

menerima bayaran di atas kereta, yang menyimpang dari ketentuan, juga masih bebas melakukan aksinya seolah tak takut dengan sanksi administrasi. Kesemuanya mencerminkan pengelolaan perkeretaapian Indonesia masih semrawut kalau tak mau dikatakan amburadul.12

Sepintas, menyangkut aturan-aturan perjalanan kereta api barangkali menjadi wewenang Departemen perhubungan telekomunikasi sedang mengenai penggajian atau kesejahteraan wewenang BUMN.13

Tahun 1996, Bank Dunia memberikan utang berupa Railway Efficiency

Project atau Proyek Efisiensi Perkeretaapian (PEP) kepada Pemerintah

Indonesia. PEP merupakan proyek ketiga yang diberikan Bank Dunia untuk moda transportasi kereta api sampai tahun 1996. PEP sendiri diberikan setelah

the first railway project di tahun 1974 dan The Railway Technical Assistance

Project yang diberikan pada tahun 1987. Proyek pertama untuk kereta api

bertujuan “to arrest the decline in the railway’s share in land transport and to increase its capacity and efficiency through a program of rehabilitation and modernization, including a substantial amount of technical assistance and

practical training”14 Proyek utang kemudian dilanjutkan dengan The Railway

Technical Assistance Project yang menurut laporan Bank Dunia dianggap

berhasil. Proyek Bantuan Teknis untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia telah mengubah struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia dari Perusahaan

12 Ibid. 13

Ibid.


(24)

Jawatan Kereta Api (PJKA) menjadi Perusahaan Umum Kereta Api (PERUMKA) tahun 1990. Dua proyek ini yang mendorong Bank Dunia memberikan utang ketiga untuk pengelolaan perkeretaapian Indonesia melalui PEP.

Tujuan utama yang diharapkan dari PEP ini sendiri seperti yang tertuang dalam dokumen Staff Appraisal Report Bank Dunia15 meliputi : a) reformasi sektor perkeretaapian melalui hubungan antara pengelola kereta api (operator) dengan pemerintah, sekaligus membangun landasan dalam mendorong partisipasi swasta, b) rasionalisasi investasi modal sektor perkeretaapian, c) pengembangan manajemen dan operasional perkeretaapian, dan d) peningkatan kapasitas fisik pada koridor utama kereta api. Kalau dibandingkan dengan pemberian utang Bank Dunia untuk sektor transportasi lainnya terutama pengembangan infrastruktur angkutan jalan raya yang berbasis pada otomotif, proyek Bank Dunia untuk kereta api relatif sedikit di mana sampai pada tahun 1996 utang Bank Dunia untuk jalan raya sudah mencapai 15 proyek.

PEP terdiri atas lima komponen yang terdiri atas:

a) Policy reform involving restructuring of Perumka into a persero and

reform of government corporate interfaces;


(25)

b) Improvements to the railway between Jakarta and Bandung (170 km) to expand capacity, shorten passenger journey times, and improve safety in this important passenger and freight corridor;

c) Implementation of a modern track maintenance system on Java;

d) Implementation of e diesel electric locomotive unit exchange

maintenance system on Java;

e) Strengthening of Perumka’s management16

Secara keseluruhan, besarnya anggaran Proyek Efisiensi Perkeretaapian ini mencapai US$ 207.3 juta yang ditanggung oleh tiga pihak yaitu Pemerintah Indonesia, PT Kereta Api, dan Bank Dunia. Bank Dunia berkomitmen akan memberikan utang sebesar US$ 105 juta, meskipun kemudian implementasinya hanya mencapai US$ 85,2 juta dengan alasan proyek tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan alias tidak memuaskan17. Pada bulan Agustus 1998 terjadi pembatalan US$ 20 juta dari yang direncanakan oleh Bank Dunia, sehingga pinjaman yang diterima tinggal US$ 85 juta, terdiri atas pinjaman pemerintah US$ 65,2 juta dan pinjaman PT KAI US$ 19,8 juta. Pinjaman pemerintah digunakan untuk pengembangan koridor Jakarta-Bandung, perbaikan dan pemeliharaan track. Pinjaman PT KAI digunakan untuk reformasi kebijakan/restrukturisasi perkeretaapian, pemeliharaan lokomotif,

16 Ibid


(26)

dan penguatan kelembagaan18. Penjelasan mengenai jalannya proyek pada beberapa laporan yang diulas oleh Bank Dunia (2008), PEP berjalan tidak sesuai dengan target yang diharapkan atau unsatisfactory. Hal yang sama juga diungkap dalam laporan pelaksanaan proyek yang dirilis tahun 2005, di mana PEP dianggap tidak sesuai terutama dengan tujuan pertama proyek ini yaitu reformasi sektor perkeretaapian. Menurut Bank Dunia, sampai hari ini belum ada perubahan secara signifikan dalam struktur perkeretaapian yang memberikan ruang bagi masuknya swasta.

Adapun penyebab utama tidak tercapainya tujuan tersebut adalah adanya resistensi internal perkeretaapian terhadap perubahan itu sendiri, terutama masuknya peran swasta dalam perkeretaapian Indonesia. Selain juga karena kondisi obyektif yang terjadi di tahun 1997 yaitu adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia, sehingga berdampak pada terhambatnya beberapa rencana pengembangan sistem perkeretaapian yang sudah direncanakan dalam PEP. Pertanyaan mendasar adalah benarkah penyebab utama gagalnya PEP ini disebabkan oleh faktor internal perkeretaapian itu sendiri, atau karena kondisi obyektif yang tengah terjadi di Indonesia? Kemungkinan lain rekomendasi yang tertuang dalam proyek itu sendiri tidak sesuai dengan kehendak masyarakat perkeretaapian yang meliputi para pengambil kebijakan (regulator), operator (PT KA), atau kehendak masyarakat sebagai pengguna kereta api? Lebih tragis lagi bilamana rekomendasi tersebut lebih mencerminkan


(27)

kepentingan Bank Dunia sendiri terhadap sistem perkeretaapian di Indonesia. Nyatanya, situasi perkeretaapian di Indonesia hingga kini belum menunjukkan peningkatan kualitas layanan secara berarti. Sebaliknya, yang terjadi justru semakin menurunnya kualitas pelayanan kereta api terutama kereta api ekonomi dan juga masih tingginya angka kecelakaan kereta api. Menurut Bank Dunia, kerugian yang harus ditanggung kereta api sangat memberatkan pemerintah dengan pemberian subsidi yang besar. Juga terjadi inefisiensi dalam pengelolaan sistem perkeretaapian akibat sistem ketenagakerjaan yang tidak efisien. Itu sebabnya, perlu ada restrukturisasi dalam pengelolaan kereta api di Indonesia. Belum lagi beban anggaran yang sangat besar yang harus ditanggung untuk merawat dan mengembangkan infrastruktur perkeretaapian yang sebagian besar sudah tua.

Bahkan hingga kini masih digunakan infrastruktur kereta api yang dibangun di masa Belanda. Alasan inilah yang dipakai Bank Dunia untuk menyatakan bahwa kereta api harus melakukan efisiensi dengan menerapkan prinsip-prinsip bisnis untuk meraih keuntungan, sehingga ke depan kereta api seyogyanya tidak mendapatkan subsidi pemerintah. Berkaitan dengan hal tersebut, Bank Dunia mendorong diterapkannya sistem pembiayaan melalui sistem public service obligation (PSO), infrastructure maintenance and

operation (IMO), dan track access charge (TAC) yang diharapkan transparan

dan akuntabel. Saran Lembaga Keuangan Multilateral itu, swasta perlu diberi peranan untuk mengurangi monopoli perkeretaapian di Indonesia yang selama


(28)

ini dipegang oleh PT Kereta Api (PT KA). Saran tersebut dibarengi dengan saran agar diadakan rasionalisasi buruh PT KA yang selama ini strukturnya dianggap terlalu “gemuk”. Termasuk juga pengembangan beberapa koridor dengan tingkat beban, baik penumpang maupun barang, yang lebih menjanjikan seperti pengembangan koridor Jakarta - Bandung.

Perubahan kondisi kereta api tidak hanya terjadi di sarana dan prasarana, melainkan juga dalam struktur manajemen. Melalui Peraturan Pemerintah (PP) No. 61/1971, struktur pengelolaan perkeretaapian Indonesia diubah menjadi PJKA yang memiliki tujuan penuh bagi pelayanan publik. Status badan hukum ini mengalami perubahan seiring dengan keluarnya PP No. 57/1990 tentang pengalihan bentuk usaha dari PJKA ke PERUMKA.

Lahirnya PP ini merupakan hasil rekomendasi Proyek Bantuan Teknis untuk Perkeretaapian yang didanai utang Bank Dunia. Pada saat inilah pengelolaan kereta api didorong untuk meraih keuntungan dengan menerapkan prinsip-prinsip efisiensi dan efektivitas. Dorongan untuk meraih keuntungan kemudian diperteguh dalam PP No. 19/1998 tentang pengalihan bentuk usaha dari PERUM menjadi persero (PT) yang tunduk pada aturan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD).19

Sejarah gerakan buruh kereta api juga berjalan seiring dengan perkembangan perkeretaapian di Indonesia, baik perkembangan maupun

19


(29)

kemundurannya. Gerakan buruh kereta api di Indonesia memiliki sejarah yang panjang seiring dengan sejarah perkeretaapian. Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh pertama di Indonesia dengan berdirinya Staats Spoor

Bond (SS-Bond) yang dibentuk oleh para amtenar dan pegawai perusahaan

pemerintah tahun 1905, kemudian diikuti berdirinya Vereniging van Spoor – en

Tramweg Personeel (VSTP) yang dibentuk oleh buruh kereta api di Semarang

tahun 190820. VSTP inilah yang menjadi kekuatan buruh paling progresif di masanya dan menjadi cikal bakal gerakan yang terorganisasi melawan kolonialisme Belanda dan melahirkan organisasi perlawanan rakyat seperti Sarikat Islam di bawah kepemimpinan Semaoen.

Serikat buruh kereta api merupakan serikat buruh yang secara aktif memperjuangkan nasib para anggotanya mulai dari tuntutan jam kerja delapan jam sehari, upah yang layak, tunjangan dan penyelesaian perselisihan perburuhan.

Ketentuan-ketentuan yang digunakan dalam hal proses pengalihan status pegawai Perumka menjadi pegawai PT KA:

a) Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1998 tentang Pendirian Perusahaan Perseroan. Isi Pasal 1 ayat (2) berbunyi; Pendirian perusahaan perseroan dengan ketentuan bahwa segala hak dan kewajiban, kekayaan serta pegawai Perusahaan Umum Kereta Api yang

20


(30)

saat pembubarannya beralih kepada Perusahaan Perseroan (Persero) yang bersangkutan.

b) Pasal 38 PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) berbunyi; Pegawai Persero merupakan pekerja persero yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan.

Berdasarkan isi Pasal 6 PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan bentuk (Perum) Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) berbunyi; terhitung sejak berdirinya Perusahaan perseroan, maka PP No. 57 Tahun 1990 dinyatakan tidak berlaku lagi. Masalahnya kemudian adalah penyelesaian status kepegawaian belum tuntas, karena belum dikeluarkannya SKB menteri sesuai isi Pasal 57 PP No. 57 Tahun 1990 dan sudah dinyatakan tidak berlaku lagi sesuai isi Pasal 6 PP No. 16 Tahun 1998. Sehubungan dengan itu ada 2 (dua) kemungkinan proses yang dapat dilaksanakan dalam rangka penyelesaian persoalan status kepegawaian yaitu:

(1) PNS PJKA dialihkan menjadi pegawai Perumka lalu dialihkan pula menjadi pegawai PT. Kereta Api (Persero);

(2) PNS PJKA langsung dialihkan menjadi pegawai PT K (Persero), karena PP No. 57 Tahun 1990 sudah dinyatakan tidak berlaku lagi.

PT. Kereta Api (Persero) Didirikan berdasarkan PP No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perum Kereta Api menjadi Perusahaan Perseroan


(31)

(Persero). Akte Notaris Imas Fatimah, SH No. 2 Tahun 1999 tanggal 1 Juni 1999 tentang Pendirian Perusahaan (Perseroan) PT Kereta Api (Persero).Masa status perusahaan mulai dari 1 Juni 1999 sampai saat ini. Kemudian pada era PT Kereta Api (Persero), status pegawai adalah Pegawai Persero. Adapun mengenai Pembinaan Kepegawaiannya PT Kereta Api (Persero)Tunduk pada UU Ketenagakerjaan.

Pasal 38 PP No. 12 Tahun 1998 tentang Perusahaan Perseroan (Persero) menyebutkan “Pegawai persero merupakan pekerja persero yang pengangkatan dan pemberhentian, kedudukan, hak serta kewajibannya ditetapkan berdasarkan perjanjian kerja sesuai dengan perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan. Pada bagian Penjelasan disebutkan “dengan status ini maka peraturan mengenai kesejahteraan pegawai seperti jaminan kesehatan, kecelakaan, kematian ataupun hari tua diatur oleh persero baik melalui program jamsostek maupun dana pensiun. Pembinaan kepegawaian juga bisa dilakukan melalui Peraturan perusahaan yang disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk dan pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Kemudian dapat pula diatur dalam Surat kesepakatan bersama antara pengelola perusahaan dengan serikat pekerja.

Proses perubahan status kepegawaian itu sendiri diarahkan sedemikian rupa agar pegawai memilih opsi tertentu. Keputusan Mentri Perhubungan RI No. 18/KP/.601/Phb-1992 tersebut antara lain didasarkan pada kesepakatan antara Kepala Biro Kepegawaian Departemen Perhubungan dengan Direktur


(32)

Personalia Perumka. Kesepakatan itu antara lain berisi: (1) Pegawai (PNS) yang telah berusia di atas 50 tahun tetap sebagai Pegawai Negeri Sipil yang diperbantukan di Perumka; (2) Pegawai (PNS) yang berusia di bawah 50 tahun otomatis berubah menjadi Pegawai Perumka dengan melepaskan statusnya sebagai Pegawai Negeri Sipil.21

Opsi ini pula kemudian mengarahkan pegawai seolah-olah menjatuhkan pilihan atas permintaan sendiri (APS). Secara praktis peraturan atau opsi ini memang terkesan akal-akalan. Karena pembuat peraturan pasti sudah menghitung berapa banyak mereka yang telah berusia 50 tahun dan yang masih berada di bawah 50 tahun. Logikanya tanpa opsi yang demikian maka bisa saja mayoritas pegawai PJKA saat itu memilih tetap berstatus Pegawai Negeri Sipil. Dan bila itu yang terjadi maka dapat dibayangkan betapa beratnya beban pemerintah untuk mendukung perusahaan kereta api saat itu.

Lagipula kalau saja pekerja/ karyawan harus keluar dari Perumka, lalu akan kemana harus dipindahkan. Kalau pun ada tempat atau formasi yang bisa menampung, tidak kecil. Banyak faktor yang akan membebani pekerja/ karyawan, apalagi harus pindah tempat tinggal, pindah keluarga, memindahkan pendidikan anak-anak.

Pada akhirnya, peraturan dan ketentuan tentang alih status kepegawaian itu secara formal memang menawarkan alternatif atau opsi. Namun secara

21

Jainul A. Dalimunthe, Dari Jalan Hingga Istana, Serikat Pekerja Kereta Api, Bergerak dan Menggebrak, (Jakarta: TIOPS, 2006), hal. 2.


(33)

praktis dan psikologis pegawai PJKA pada waktu itu, digiring untuk menanggalkan status PNS-nya menjadi pegawai Perumka. Terlepas apakah proses itu dipandang sebagai proses yang berjalan mulus atau bermasalah, nyatanya peralihan status kepegawaian tersebut tetap berlangsung. Hasilnya mayoritas pegawai PJKA yang berstatus PNS saat itu beralih menjadi pegawai Perumka.

Pada mulanya ada semacam keyakinan di kalangan pegawai yang beralih status tersebut bahwa masa depan mereka akan lebih cerah. Kesejahteraan mereka akan menjadi lebih baik. Keyakinan itu tentu didasarkan pada kenyataan bahwa pendapatan karyawan/pegawai BUMN pada umumnya lebih baik dibanding PNS. Namun demikian sejalan dengan perputaran waktu, keyakinan tersebut ternyata mengalami degradasi. Apa yang menjadi keyakinan tersebut ternyata tidak terwujud.22 Ternyata yang terjadi justru pendapatan pegawai Perumka lebih rendah dibanding PNS. Tentu saja hal ini menjadi sangat ironis.

Tuntutan SPKA tampak pada kesepakatan bersama antara Direksi PT Kereta Api (Persero) dengan SPKA pada 28 Agustus 2001 pukul 16.20 WIB. Ada dua poin yang disepakati ketika itu, antara lain:

(1)Gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) naik menjadi 100% gaji pokok PNS baru sesuai Keppres No.64 Tahun 2001, terhitung mulai tanggal 1 Juni sampai dengan 1 Desember 2001;

22


(34)

(2)Terhitung mulai 1 Januari 2002 gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) naik 10 % (menjadi 110% gaji pokok PNS baru sesuai Keppres No.64 Tahun 2001) diproses melalui RUPS RKAP 2002. Kesepakatan yang ditandatangani oleh Direktur Utama PT Kereta Api (Persero) Badar Zaenie dan Ketua Umum SPKA Soedarmo Ramadhan itu menunjukkan bahwa tingkat kesejahteraan pegawai PT Kereta Api (Persero) masih berada di bawah standar pendapatan PNS pada umumnya.23

Konsisten dengan tuntutan dan kesepakatan tersebut, SPKA kemudian mengeluarkan pernyataan sikap pada tanggal 16 Januari 2002. Intinya mengingatkan Direksi tentang kesepakatan yang ditandatangani sebelumnya. Tiga poin yang menjadi substansi pernyataan sikap ini adalah:

(1)Menunjuk surat kesepakatan bersama tanggal 28 Agustus 2001 pukul 16.20 WIB antara Direksi PT Kereta Api (Persero) dengan SPKA;

(2)SPKA menuntut dilaksanakan segera kenaikan gaji pokok sebesar 10% dari gaji pokok pegawai PT Kereta Api (Persero) yang berlaku saat itu (dengan dasar perhitungan gaji pokok sesuai dengan Keppres No. 64 Tahun 2001 mengenai Gaji Pokok Pegawai Negeri Sipil);

(3)Pelaksanaan pembayaran kenaikan gaji pokok dimaksud paling lambat 1 Februari 2002 (tmt 1 Januari 2002). Kenyataan seperti ini menunjukkan bahwa pendapatan pegawai PT Kereta Api (Persero) ternyata belum juga

23


(35)

beranjak naik di atas gaji pokok PNS sebagaimana yang diharapkan sebelumnya.

Hingga kemudian SPKA berkesimpulan bahwa sesuatu yang salah telah terjadi terkait proses peralihan status pegawai PNS-PJKA menjadi Perumka. Dan sumber masalah munculnya permasalahan tersebut diyakini SPKA adalah Keputusan Menteri Perhubungan RI No. 18/KP.601/Phb-1992 yang dianggap telah merugikan hak-hak pegawai kereta api.24

Sepintas, menyangkut aturan-aturan perjalanan kereta api barangkali menjadi wewenang Dephubtel sedang mengenai penggajian atau kesejahteraan wewenang BUMN.25

Manfaat penyelesaian PSL (past service liability) Eks PNS PJKA, yaitu: Menciptakan ketenangan karyawan menghadapi masa pensiun sehingga mendorong kegairahan kerja dan memberi peluang kepada PT. Kereta Api (persero) untuk meningkatkan kesejahteraan pegawai karena tidak dibebani oleh angsuran dana pensiun eks PNS yang belum terselesaikan.26

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dari latar belakang tersebut di atas, selanjutnya dapat dirumuskan permasalahan-permasalahan sebagai berikut:

24

Ibid., hal. 5. 25

Ibid. 26


(36)

1. Pertimbangan apa yang melatarbelakangi perubahan bentuk perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi badan Perusahaan Persero?

2. Bagaimanakah implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap status karyawan PT. Kereta Api Indonesia?

3. Bagaimana hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia setelah terjadinya perubahan bentuk Perum menjadi Persero?

C. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari pembahasan dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui Pertimbangan-pertimbangan yang melatarbelakangi perubahan bentuk perusahaan Kereta Api dari Perusahaan Umum (Perum) menjadi perusahaan perseroan terbatas (PT. Persero).

2. Untuk mengetahui implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia.

3. Untuk mengetahui pengaruh perubahan bentuk Perum menjadi Perusahaan Persero tersebut dengan kesejahteraan karyawan dan upaya-upaya yang dilakukan PT. Kereta Api Indonesia untuk memenuhi kesejahteraan karyawan.


(37)

D. Manfaat Penelitian

Manfaat penulisan yang diharapkan dapat diperoleh dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Secara Teoritis

Dapat mengetahui peraturan hukum apa yang dipakai pemerintah untuk tercapainya kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Mengacu pada UU No. 3 Tahun 1992 tentang Kesejahteraan Jamsostek, yaitu terbagi dalam dua hal:

a. Untuk pegawai Perum Eks PNS mengacu pada PP No. 64 Tahun 2007;

b. Untuk pegawai PT Kereta Api (Persero) murni mengacu pada UU No. 13 Tahun 2003 dan JHT harus membuat Perjanjian Kerja Bersama antara PT Kereta Api (Persero) dengan asuransi jiwasraya (AJS), karena masih mengacu gaji pokok 2001 dan tahun 2009 serta mengacu pada Perjanjian Kerja Bersama.

2. Secara Praktis

Dapat menjadi masukan bagi pihak-pihak yang ingin mengetahui lebih lanjut mengenai implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Sehingga dengan adanya penulisan ini pemerintah dapat mengatur upaya peningkatan kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia.


(38)

E. Keaslian Penulisan

Proposal penelitian yang berjudul “Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia”, ini sengaja penulis angkat menjadi judul penelitian ini merupakan karya ilmiah yang sejauh ini belum pernah ditulis di lingkungan Sekolah Pascasarjana Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), terutama yang berkaitan dengan Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia. Penulis menyusun penelitian ini berdasarkan referensi buku-buku, media cetak dan media elektronik, juga melalui bantuan dari berbagai pihak.

F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori

Di antara hiruk pikuk dan berita-berita seputar masalah suprastruktur Badan Usaha Milik Negara (BUMN), tampaknya ada masalah lain yang cukup mendesak untuk disikapi oleh seluruh jajaran manajemen BUMN. Masalah itu adalah bagaimana menciptakan good corporate governance (selanjutnya disingkat dengan GCG) di masing-masing BUMN, mengingat bahwa GCG adalah sebuah sistem yang cukup strategis di dalam pengolahan sebuah entitas bisnis semacam BUMN.

Dari sisi lain keinginan pemerintah untuk menciptakan clean


(39)

membangun kepercayaan masyarakat dunia, memperkuat struktur ekonomi dan jaringan investasi yang ditandai seringnya presiden beserta rombongan mengunjungi luar negeri. Jika langkah strategis presiden tersebut tidak ditindaklanjuti dalam tahapan operasional, seperti halnya penciptaan clean government dan GCG pada tingkatan entitas bisnis yang ada, maka akan terpupuslah harapan seluruh masyarakat Indonesia yang mendambakan pemulihan perekonomian dalm waktu dekat ini.

Sudah selayaknya semua pihak memahami bahwa tanpa adanya satu langkah konkret dari jajaran manajemen masing-masing BUMN untuk mengimplementasikan GCG, tentu tidak akan ada jaminan bahwa suatu perusahaan akan dikelola dengan memperhatikan kepentingan seluruh

stakeholder secara optimal. Selama ini dampak bagi sebagian BUMN juga

telah dirasakan. Yaitu lemahnya suatu perusahaan untuk mempertahankan diri dari intervensi berbagai pihak.

Dengan demikian timbul kesan kalau roda organisasi dikelola secara tidak profesional dan lebih bernuansa kekerabatan atau politik belaka. Bahkan akronim baru bagi BUMN mulai merebak. Bukan lagi BUMN tetapi bergeser menjadi “Bagi-bagi Uang Milik Negara” atau “Bagian Upaya Mencari Nafkah”.


(40)

Kegamangan dari beberapa jajaran top manajemen BUMN, sepertinya tidak terlepas dari situasi belum dilakukannya GCG secara konsisten dan full

commited.27

Selain itu, teori yang menyatakan bahwa hukum sebagai sarana pembangunan dapat diartikan, bahwa hukum sebagai penyalur arah kegiatan manusia kearah yang dikehendaki oleh pembangunan atau pembaharuan. Teori ini dikemukakan oleh Roscoe Pound, yakni “Law as A Tool of Social

Engineering”28. Dimana hukum harus diusahakan bersifat antisipatif, sehingga

tidak menghambat laju perkembangan efisiensi ekonomi nasional, mewujudkan iklim usaha yang kondusif melalui peningkatan kesejahteraan karyawan PT. Kereta Api Indonesia.

Secara umum terdapat dua faham tentang pelayanan publik. Pertama, yang didasarkan pada prinsip negara kesejahteraan (welfare state); Kedua, yang menganggap pelayanan publik merupakan usaha untuk mendapatkan keuntungan. Konsepsi negara kesejahteraan (welfare state) menempatkan layanan publik sebagai tanggung jawab negara dan digunakan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyatnya. Prinsip ini dianut oleh sebagian besar negara Eropa terutama negara-negara Skandinavia di mana welfare state dipahami sebagai berikut:

27

Dibyo Soemantri Priambodo, Refleksi BUMN 1993-2003, (Yogyakarta: Media Presindo, 2004), hal. 65-66.

28

Roscoe Pound, “Social Control Through Law: Jurnal Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, (Jakarta: Universitas Indonesia, 2001), hal. 578-579, dikutip dari Pound, Jurisprudence, Vol.3, hal.8-10, dikutip dari Stone, Human Law and Human Justice (1965), hal.280.


(41)

Political system under which the state (rather than the individual or the private sector) has responsibility for the welfare of its citizens, providing a guaranteed minimum standart of life, and insurance against the interruption or earning through sickness, injury, old age, or unemployment. They take the forms of unemployment and sickness benefits, family allowances, and incomes also include health and education, financed typically through taxation, and the provision of subsidized “social housing”. Subsidized public transport, leisure facilities, and public libraries, with special discounts for the elderly, unemployment, and disabled, are other noncore elements of a

welfare state”29

Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa pelayanan publik bagi negara

welfare state adalah tanggung jawab negara, termasuk di dalamnya transportasi

publik. Pendanaan pelayanan publik oleh negara disediakan baik melalui asuransi sosial yang diterapkan di Jerman maupun melalui pajak seperti yang dilakukan oleh Inggris.30

Pilihan para pendiri (founding fathers) Indonesia pada sejarah awal pembebasan dari kolonialisme meletakkan landasan konsep Indonesia sebagai negara kesejahteraan. Pendirian para pendiri bangsa ini bisa dilihat dalam amanat konstitusi Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pada Pasal 33 yang menyatakan bahwa:

1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;

2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara;

29 Infid, Working Paper No. 1, 2008, Proyek Efisiensi Perkeretaapian, hal.2 30


(42)

3) Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat.

Dalam penjelasan Pasal 33 terdapat penegasan bahwa “Hanya perusahaan yang tidak menguasai hajat hidup orang banyak boleh ada di tangan orang-seorang.” Sebagai bagian agenda liberalisasi pasar global yang didorong oleh IMF dan Bank Dunia, para legislator melakukan amandemen terhadap UUD 1945 sampai empat kali, dimulai tahun 1999 setelah Indonesia mengalami krisis ekonomi. Amandemen keempat UUD 1945 yang ditetapkan tahun 2002, secara eksplisit menghilangkan kewajiban negara dalam pengelolaan sumber daya yang penting dan menguasai hajat hidup orang banyak dan tidak lagi membatasi aktor-aktor ekonomi mana yang akan terlibat. Pasal 34 ayat 3 amandemen keempat hanya menegaskan bahwa “Negara bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak”.

Berangkat dari amanat konstitusi di atas, negara berkewajiban menyediakan layanan transportasi yang mampu menjawab kebutuhan mobilitas warga. Untuk daerah dengan penduduk yang padat, kereta api merupakan sarana transportasi massal dengan daya angkut yang besar, memiliki tingkat keselamatan yang lebih tinggi dibanding dengan sarana transportasi darat lainnya seperti jalan tol, juga merupakan sarana transportasi yang ramah lingkungan. Dengan demikian, penyediaan dan pengelolaan sarana dan


(43)

prasarana angkutan kereta api seyogyanya menjadi tanggung jawab negara. Sebagai fasilitas publik yang menjadi kebutuhan sebagian besar rakyat Indonesia dan merupakan badan usaha vital bagi peri kehidupan rakyat, negara bertanggungjawab dalam penyediaan dan pengelolaan kereta api.31

Dalam pembahasan mengenai Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia, teori utama yang digunakan adalah teori kedaulatan negara (staats-souvereiniteit)

yang dikemukakan oleh Jean Boudin dan George Jellinek. Menurut teori kedaulatan negara, kekuasaan tertinggi ada pada negara dan negara mengatur kehidupan anggota masyarakatnya. Negara yang berdaulat melindungi anggota masyarakatnya terutama anggota masyarakat yang lemah. Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 merupakan ketentuan dasar yang mengatur tentang susunan perekonomian Indonesia.32 Dalam penjelasan pasal tersebut diuraikan ketentuan dasar mengenai demokrasi ekonomi Indonesia. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan yang bercorak kolektivistis dengan tidak mengabaikan prinsip hak individu.

Secara umum, semua orang adalah sama kedudukannya dalam hukum, berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Hak perseorangan dilindungi oleh hukum. Hak perseorangan adalah relatif, sifat

31

Ibid. hal.4. 32

Mahfud MD, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1999), hal. 69., Lihat Buku Imam Kabul, MH, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hal. 7.


(44)

perseorangan dalam hukum perjanjian menimbulkan gejala-gejala hukum sebagai akibat hubungan hukum antara persoon dengan persoon lainnya. Konsep hukum dan teori hukum dalam sistem mendekatkan hukum pada permasalahan peran sekaligus fungsi hukum. Orang (termasuk dalam pengertian kelembagaan) dapat melakukan sesuatu kehendak melalui pemanfaatan hukum.33

2. Kerangka Konsepsi

Penelitian tesis ini menggunakan sejumlah konsep hukum yang terkandung dalam variabel penelitian maupun dalam rumusan permasalahan penelitian. Agar tidak terjadi kesalahahaman mengenai konsep-konsep tersebut, maka perlu diuraikan defenisi operasional sebagai berikut:

a. Perkeretaapian adalah satu kesatuan sistem yang terdiri atas prasarana, sarana, dan sumber daya manusia, serta norma, kriteria, persyaratan, dan prosedur untuk penyelenggaraan transportasi kereta api;34

b. Kereta api adalah sarana perkeretaapian dengan tenaga gerak, baik berjalan sendiri maupun dirangkaikan dengan sarana perkeretaapian lainnya, yang akan ataupun sedang bergerak di jalan rel yang terkait dengan perjalanan kereta api;35

33 Ibid. 34

Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Pasal 1 angka 1. 35


(45)

c. Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas serta peraturan pelaksanaannya.36

d. Perusahaan Perseroan, yang selanjutnya disebut Persero, adalah BUMN yang berbentuk perseroan terbatas yang modalnya terbagi dalam saham yang seluruh atau paling sedikit 51 % (lima puluh satu persen) sahamnya dimiliki oleh Negara Republik Indonesia yang tujuan utamanya mengejar keuntungan.37

Saham kepemilikan Persero sebagaian besar atau setara 51% harus dikuasai oleh pemerintah. Karena Persero diharapkan dapat memperoleh laba yang besar, maka otomatis persero dituntut untuk dapat memberikan produk barang maupun jasa yang terbaik agar produk

output yang dihasilkan tetap laku dan terus-menerus mencetak

keuntungan. Organ Persero yaitu direksi, komisaris dan RUPS/rapat umum pemegang saham. Contoh persero yaitu: PT Jasamarga, Bank BNI, PT Asuransi Jiwasraya, PT PLN, PT Kereta Api dan lain sebagainya.

36

Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Pasal 1 angka 1. 37


(46)

e. Perusahaan umum atau disingkat Perum adalah perusahaan unit bisnis negara yang seluruh modal dan kepemilikan dikuasai oleh pemerintah dengan tujuan untuk memberikan penyediaan barang dan jasa publik yang baik demi melayani masyarakat umum serta mengejar keuntungan berdasarkan prinsip pengolahan perusahaan. Organ Perum yaitu dewan pengawas, menteri dan direksi. Contoh perum/perusahaan umum yakni: Perum Peruri/PNRI (Percetakan Negara RI), Perum Perhutani, Perum Damri, Perum Pegadaian, dll.38

f. Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat.39

g. Kesejahteraan pekerja/buruh adalah suatu pemenuhan kebutuhan dan/atau keperluan yang bersifat jasmaniah dan rohaniah, baik di dalam maupun di luar hubungan kerja, yang secara langsung atau tidak langsung dapat mempertinggi produktivitas kerja dalam lingkungan kerja yang aman dan sehat.40

h. Hak-hak Karyawan sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2007 tentang

38

“Jenis BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Persero dan Perum (Perusahaan Umum)”, Dikutip dari http://organisasi.org/macam-jenis-bumn-badan-usaha-milik-negara-persero-dan-perum-perusahaan-umum, Diakses tanggal 16 Februari 2009.

39

Republik Indonesia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 2.

40

Republik Indonesia, Undang-undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, Pasal 1 angka 31.


(47)

Penyesuaian Pensiun Eks Pegawai Negeri Sipil Departemen Perhubungan Pada PT Kereta Api Indonesia (Persero), yang menyebutkan bahwa:

Pegawai berhak menerima: a) Pensiun;

b) Tunjangan keluarga; c) Tunjangan pangan;

d) Tunjangan pajak penghasilan pensiun.41

G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif. Metode penelitian normatif disebut juga sebagai penelitian doktrinal (doctrinal

research) yaitu suatu penelitian yang menganalisis hukum baik yang tertulis di

dalam buku (law as it is written in the book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law it is decided by the judge through

judicial process)42 Penelitian hukum normatif berdasarkan data sekunder dan

menekankan pada langkah-langkah spekulatif-teoritis dan analisis normatif-kualitatif.43

41

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah Nomor 64 Tahun 2007 tentang Penyesuaian Pensiun Eks Pegawai Negeri Sipil Departemen Perhubungan Pada PT Kereta Api Indonesia (Persero), Pasal 2.

42

Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Grafitti Press, 2006), hal. 118.

43

J. Supranto, Metode Penelitian Hukum dan Statistik, (Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003), hal. 3.


(48)

1. Jenis dan Sifat Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif, yakni penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma dalam hukum positif. Penelitian ini bersifat deskriptif yang ditujukan untuk menggambarkan secara tepat, sifat individu, suatu gejala, keadaan atau kelompok tertentu.44 Berdasarkan hal tersebut penelitian ini menggambarkan suatu peraturan hukum dalam konteks teori-teori hukum dan pelaksanaanya, serta menganalisis fakta secara cermat tentang implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia.

2. Pendekatan Masalah

Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan perundang-undangan

(statute approach). Penelitian ini menggunakan pendekatan tersebut karena

yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian.45 Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan, akan menghasilkan suatu penelitian yang akurat. Pendekatan tersebut melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT Kereta Api Indonesia.

44

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta : Prenada Media, 1997), hal. 42.

45


(49)

3. Sumber Data Penelitian

Sumber-sumber penelitian dapat dibedakan menjadi sumber-sumber penelitian yang berupa bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder serta bahan hukum tersier, yang digunakan dalam penelitian ini.

a. Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif, artinya mempunyai otoritas. Terdiri dari perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. Bahan hukum primer yang dipergunakan, antara lain: Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU BUMN, UU Ketenagakerjaan, PP No. 45 tahun 2005, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta

Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero) atau peraturan suatu badan

hukum atau lembaga negara lainnya, serta Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT. KAI.

b. Bahan Hukum Sekunder

Berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen- dokumen resmi. Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan komentar-komentar atas putusan pengadilan. Bahan hukum sekunder terutama adalah buku teks karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar ilmu hukum


(50)

dan pandangan-pandangan klasik para sarjana yang mempunyai klasifikasi tinggi.46

c. Bahan hukum tersier

Berupa bahan hukum penunjang yang memberi petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum sekunder seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah.47

Jadi penelitian ini menggunakan bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai sumber penelitian.

4. Tehnik Pengumpulan Data

Tehnik pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik Studi kepustakaan. Studi kepustakaan dilakukan untuk mengumpulkan data sekunder melalui pengkajian terhadap peraturan perundang-undangan, literatur-literatur, tulisan-tulisan para pakar hukum, bahan kuliah, dan putusan-putusan pengadilan yang berkaitan dengan penelitian ini. Studi pustaka dalam penelitian ini bertujuan untuk:

(1)Memperdalam pengetahuan peneliti tentang masalah yang diteliti;

(2)Menegaskan kerangka teoritis dan konseptual yang menjadi landasan kajian;

46

Petter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005), hal 141. 47

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta : Grafitti Press, 1990), hal. 14.


(51)

(3)Menghindarkan terjadi duplikasi;

(4)Melalui studi pustaka dibangun konsep-konsep dan teori-teori yang relevan dengan masalah yang diteliti.48

Selain dengan menggunakan Teknik Pengumpulan data dengan cara studi kepustakaan, juga dilakukan wawancara, wawancara dilakukan dengan pihak-pihak yang dianggap memiliki kompetensi dan ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini, teknik wawancara dilakukan dengan cara melakukan wawancara mendalam.

5. Analisis Data

Pengolahan, analisis dan konstruksi data penelitian hukum normatif dapat dilakukan dengan cara melakukan analisis terhadap kaedah hukum dan kemudian konstruksi dilakukan dengan cara memasukkan pasal-pasal ke dalam kategori-kategori atas dasar pengertian-pengertian dasar dari sistem hukum tersebut.49 Data yang diperoleh melalui studi kepustakaan yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan-putusan pengadilan, diolah dan dianalisis berdasarkan metode kualitatif, yaitu dengan melakukan:

a. Menemukan konsep-konsep yang terkandung dalam bahan-bahan hukum (konseptualisasi) yang dilakukan dengan cara memberikan interpretasi terhadap bahan hukum tersebut ;

48

Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung. Mandar Maju, 2008) hal.101 49


(52)

b. Mengelompokkan konsep-konsep atau peraturan-peraturan yang sejenis atau berkaitan. Kategori-kategori dalam penelitian ini adalah Implikasi perubahan bentuk Perum menjadi Persero terhadap hak-hak karyawan PT. Kereta Api Indonesia;

c. Menemukan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan kemudian diolah ;

d. Menjelaskan dan menguraikan hubungan di antara pelbagai kategori atau peraturan perundang-undangan, kemudian dianalisis secara deskriptif kualitatif. Sehingga mengungkapkan hasil yang diharapkan dan kesimpulan atas permasalahan.


(53)

BAB II

LATAR BELAKANG PERUBAHAN BENTUK PERUSAHAAN KERETA API DARI PERUSAHAAN UMUM (PERUM) MENJADI BADAN

PERUSAHAAN PERSERO

A. Peranan Birokrasi Dalam Mengupayakan Good Governance 1. Etos Kerja dan Mutu Kepemimpinan

Etos kerja dalam konteks birokrat atau sebagai administrator pemerintahan, administrator pembangunan, dan administrator kemasyarakatan diharapkan memiliki sikap-sikap yang baik, sekaligus menyangkut moralitas. Artinya, sikap-sikap tersebut memiliki etos kerja bersadarkan tanggung jawab. Beratus tahun yang lalu Aristoles dalam bukunya The Nicomachean Ethics

mengatakan, bahwa pelajaran tentang kebaikan hanya dapat diberikan kepada orang yang sudah tahu apa itu “baik”. Pendapat itu relevan dengan adanya pendapat yang mengatakan, bahwa kalau orang sama sekali tidak tahu apa itu adil, percuma kita menjelaskan kepadanya kewajiban untuk memperlakukan orang lain dengan adil.50

Begitu pula dengan hal berkenaan dengan tanggung jawab, orang sudah mesti merasakan apa itu tanggung jawab, bahkan orang tersebut, mesti ingin menjadi manusia yang bertanggung jawab, baru masuk akal ia diberi pegertian tentang tanggung jawab tersebut. Oleh karena itu, ajaran yang berisi

50

Bismar Nasution, Disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara, hal. 1-2.


(54)

mengenai kewajiban manusia untuk bertanggung jawab hanya akan efektif pada seseorang apabila ia sudah bersedia bertanggung jawab.

Namun, perlu juga diingat bahwa masalah dasar pembangunan sebenarnya bukan hanya masalah etos kerja masyarakat, jajaran birokrat dan sebagainya, melainkan mutu kepemimpinan di semua tingkat kehidupan masyarakat. Bukan mutu masyarakat pada umumnya yang perlu diragukan, melainkan mutu para pemimpinnya yang ditantang. Kalau para pemimpin jujur, terbuka, rendah hati, adil, berdedikasi tinggi, bebas pamrih, bertanggung jawab, berorientasi pada prestasi dan pada pelayanan masyarakat, dapat dipercaya dan bersedia untuk memimpin dan mendahului juga dalam berbuat kebajikan atau pengorbanan, maka etos kerja mereka yang dipimpin dengan sendirinya akan terangkat.

Dengan demikian mutu kepemimpinan untuk mewujudkan good

governance, penting diformulasikan dengan penegakan hukum atau peraturan

perundang-undangan yang memuat prinsip-prinsip yang dapat mendukung pemerintahan tersebut, agar kualitas pengelolaannya dapat mendorong jalannya fungsi utama pemerintahan tersebut, sekaligus untuk menjaga kepercayaan masyarakat, dimana prinsip-prinsip tersebut harus berdasarkan pada keadilan, keterbukaan, pertanggungjawaban dan tanggung jawab.


(55)

2. Prinsip Keadilan

Peraturan berkenaan dengan pengelolaan atau pemerintahan harus menentukan jaminan yang cukup secara tegas dengan sanksi yang cukup, dimana pelaksanaan pemerintahan dikelola dengan adil. Di samping itu, tata pemerintahan itu harus menentukan secara cukup antisipasi terhadap kemungkinan praktik pemerintahan yang dapat merugikan. Selanjutnya peraturan tersebut harus menentukan secara cukup bahwa setiap kebijakan publiknya harus dapat dilaksanakan secara efektif.51

Formulasi prinsip keadilan tersebut, juga harus melakukan pendekatan pada prinsip pengawasan, dimana kepemimpinanya mempunyai peran yang cukup untuk mengawasi pemerintahan. Alasan dilakukan pengawasan itu berkaitan dengan upaya menjaga kepercayaan masyarakat. Pemeliharaan kepercayaan masyarakat terhadap integritas sistim pemerintahan diupayakan, oleh karena kepercayaan masyarakat merupakan faktor yang sangat krusial dalam pemerintahan.52

Alasan lainnya, tanpa pengawasan akan berfotensi membuat kekuasaan tidak terkontrol, akibatnya akan membuat kekuasaan menjadi korup. Oleh karena itu, perlu menciptakan struktur-struktur yang mengarahkan seluruh aparatur pemerintahan ke pola pekerjaan yang diharapkan masyarakat..

51

Ibid hal 3 52


(56)

Selanjutnya, perlu juga diadakan mekanisme-mekanisme kontrol terhadap setiap pelaksanaan kekuasaan.53

3. Prinsip Transparansi

Prinsip transparansi dalam pemerintahan berkaitan dengan prinsip keadilan sebagaimana diuraikan di muka. Oleh karena jalannya prinsip keadilan harus didukung oleh transparansi keadaan pemerintahan. Oleh karena prinsip transparansi tersebut dapat berfungsi untuk menciptakan pemerintahan yang efisien. Barry A.K. Rider mengatakan, “sun light is the best disinfectant

and electric light the best policeman.” 54

4. Prinsip Tanggung Jawab

Peraturan itu juga harus menentukan antisipasi persoalan antara pemerintah dan stakeholders yang muncul karena adanya perbedaan pendapat kepentingan antara Pemerintah dan stakeholders. Di samping itu, ditentukan secara cukup dan jelas fungsi, hak, wewenang dan tanggung jawab masing-masing jajaran birokrat dalam pengelolaan atau pemerintahan.

Prinsip tanggung jawab dan transparansi termasuk pula publikasi yang akurat dan arti tanggung jawab terhadap seseorang adalah kunci dari sebuah keputusan.55

53

Ibid., hal. 2-3. 54

Ibid 55

Reginal Herbold Green, “Bureaucracy and Law and Order”, dalam Julio Faundez, Good Government and Law Legal and Institution Reform in Developing Countries, The British Council, 1977, hal. 54.


(57)

5. Prinsip Pertanggungjawaban

Peraturan perundang-undangan harus membuat ketentuan secara cukup, agar pengelola atau pemerintahan selalu patuh terhadap ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan pelaksanaan pemerintahan. Untuk itu, perlu diciptakan kondisi-kondisi sistematis yang menghukum kelakukan yang menyeleweng dari etos kerja yang diharapkan dan menganjari kelakukan yang sesuai.

6. Perlu Penekanan Moral

Ada yang sangat menarik untuk disimak pada konstitusi negara-negara lain, dimana pengaturan hukum dasarnya berpedoman pada pola pikir hukum yang bermuatan moral. Hal itu menunjukkan budaya hukum (legal culture) yang dianut tidak hanya memandang hukum an sich atau hukum adalah hukum. Pandangan hukum an sich ini dalam konteks pranata hukum yang didasarkan pada teori hukum itu untuk mencari pola pranata hukum yang tepat dan efektif. Jadi maksudnya adalah untuk mencari sintesis antara pola pikir hukum dan pranata hukum lainnya. Seperti pranata hukum yang mengandung moral, agar hukum yang menanggulangi masalah hukum menjadi bermakna. Karena hukum yang bermuatan moral ini sesuai dengan rasa keadilan. Hal ini sejalan dengan salah satu dari tujuan teori keadilan John Rawls. Di dalam “A Theory of

Justice” (1971) Rawls mengatakan, untuk mengartikulasikan konsep keadilan


(58)

membuat sesuatu hukum, kebijaksanaan, dan tindakan pelaksanaan pencapaian keadilan.

Pandangan hukum yang bermuatan moral ini terasa tidak terbantah dan tidak boleh diabaikan demi tegaknya hukum. Mengapa tidak, oleh karena sudah sejak lama dikenal oleh kerajaan-kerajaan masa lalu, pada masa kekaisaran Roma telah terdapat pepatah “Quid leges sine moribus” ? “Apa artinya undang-undang, kalau tidak disertai moralitas ? Berdasarkan pepatah ini atau tidak, Konstitusi Jepang yang diperlakukan pertama kali abad ke-7 oleh Ratu Shotoko telah sarat muatan moral, Pasal 1 Konstitusi ini menyebutkan, “diatas segala kebanggaan apapun, lakukanlah lebih dahulu kewajiban untuk menghindarkan ketidakbanggaan”.

Walaupun pada permulaan Restorasi Meiji tahun 1868 pada saat Jepang berhubungan dengan Barat, secara efektif telah memakai sitem hukum barat dan hukum Tokugawa secara formal dihapuskan. Namun pengelolaan hukumnya tetap saja berdasarkan nilai-nilai kebiasaannya dengan penekanan pada keindahan dalam kehidupan, memelihara teguh struktur sosialnya, penyerapan nilai-nilai moral manusia dan menghormati kebijaksanaan seseorang yang sudah matang. Pasca Restorasi Meiji, sejak tahun 1895 Jepang telah menjadi negara modern dan hukumnya berjalan dengan baik, suara-suara yang muncul pada jalannya hukum bermakna positif.


(59)

Sekarang setelah melalui kekalahan pada Perang Dunia II mereka telah masuk pada tahap negara kesejahteraan. Tentunya tahap negara kesejahteaan ini merupakan jaminan jalannya hukum seperti yang diinginkan masyarakatnya. Wajarlah, oleh karena etika masyarakat Jepang tetap mendorong penegakan hukum dan suara hati (consciences) mereka masih memancarkan moral yang memberi penekanan bahwa masuk ke pengadilan dianggap suatu hal yang memalukan.56

Dalam dunia akademisi pandangan hukum yang berkaitan dengan moral ini juga telah lama menjadi pembicaraan. H.L.A. Hart dengan sangat simpatik menyebutkan, “hukum harus mengandung aspek internal yang terdiri dari moral dan ketentuan sosial.”57 Konsep hukum Hart ini telah menyita perhatian para ahli hukum dan mereka berusaha memahaminya, bahkan membuat komentar, diantaranya komentar Howard Davies dan David Holdcroft58, yang paling menarik untuk dikaji dalam konsep hukum Hart adalah mengenai moral yang terkandung dalam hukum itu, oleh karena memang setiap hukum harus mempunyai perasaan terhadap suatu perbuatan. Mereka mengatakan, keadaan sekarang ini sangat membutuhkan tuntutan moral dalam memperlakukan hukum.

56

Bismar Nasution, Op Cit. Hal.5. 57

H.L.A Hart, The Concept of Law, (Oxford : The Clarendon Press, 1988). 58


(60)

Filsafat hukum yang memandang keterkaitan hukum dan moral serta komentar tuntutan moral dalam memperlakukan hukum sangat terasa kebenarannya. Karena hukum yang mengandung pertimbangan moral sangat relevan untuk menjawab tuntutan masuknya moral dalam hukum dan kondisi hukum yang memprihatinkan sekarang ini, maka perlu mengangkat topik internalisasi moral dalam hukum ke permukaan.59

Artinya ide-ide tentang baik dan buruk dan moralitas penting dipakai untuk menjelaskan tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku pejabat publik. Untuk keperluan ini pengamatan harus tertuju pada filsafat hukum yang memandang adanya hubungan yang sangat kuat antara hukum dan moral. Hal ini dapat dimulai dari pendapat Hart yang memandang moral sebagai “nature

of a rule”, seterusnya menjadi aspek internal dari suatu ketentuan, seperti yang

dikatakannya bahwa suatu hukum harus mengandung unsur eksternal dan internal, aspek internalnya adalah moral dan ketentuan sosial.

Cara internalisasi prinsip-prinsip moral dalam hukum dapat dilakukan pada saat pembuatan hukum. Di sini hukum diberikan masukan, seperti ide-ide baik dan buruk, atau moralitas, dan legitimasi, yaitu upaya untuk menjelaskan tingkah laku manusia, khususnya tingkah laku pejabat publik. Sebagai percobaan dapat dilakukan pada internalisasi dimensi moral pejabat publik

59


(61)

dalam pembuatan hukum, agar mempunyai moralitas melaksanakan pemerintahan.

Tepatlah pengamatan Lawrence M. Friedman dalam “The Republic of

Choice: Law, Authority and Culture (1990), dimana tegaknya hukum

tergantung pada budaya hukum (legal culture) masyarakatnya, seperti berbagai gagasan, sikap dan harapan rakyat tentang hukum serta proses hukum. Selanjutnya Ia mengatakan, budaya hukum masyarakat tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikannya, lingkungan, budaya, posisi atau kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan.60

Dari budaya hukum hakim inilah mengalir barisan-barisan kekuatan, tekanan-tekanan dan tuntuntan-tuntutan yang membungkus pranata-pranata hukum yang mengandung moral dan pada akhirnya menentukan bentuknya. Pentingnya budaya hukum dalam konstruksi pranata hukum itu sejalan dengan ilustrasi Friedman, apabila “sistem hukum” diibaratkan untuk memproduksi suatu barang, maka kedudukan “substansi hukum” diibaratkan sebagai barang apa yang diproduksi, dan “struktur hukum” diibaratkan sebagai mesin-mesin pengelola barang. Sedangkan “budaya hukum” diibaratkan sebagai orang-orang yang menjalankan mesin dan berkewajiban untuk menghidupkan, menjalankan

60


(1)

(b) Pelayanan kesehatan bagi pegawai aktif tidak memadai dan jauh dibawah layanan yang diterima PNS pada umumnya yang dilayani oleh Asuransi Kesehatan, serta terhentinya layanan kesehatan pegawai ketika memasuki masa pensiun.

(c) tidak ada kepastian kelangsungan dana pensiun akibat ketidakmampuan perusahaan mengelola dana pensiun dan post service liabilities yang tidak dipenuhi perusahaan.

(d) banyak pegawai yang merasa teraniaya secara psikologis akibat menghadapi ketidakpastian masa depan yang berdampak pada buruknya kinerja/ semangat kerja di perusahaan.

(e) kesempatan berkarir dari pegawai yang memiliki kompetensi di bidang perkeretaapian menjadi hilang akibat perubahan status kepegawaian tersebut.

(f) Tidak ada kenaikan uang pensiun seperti yang dialami oleh pensiunan PNS lain.

(g) Tidak ada fasilitas kenaikan gaji/ gaji ke-13;

(h) Pada saat pengambilan pensiun di PT. Taspen, ternyata yang dipakai masih NIP (Nomor Induk Pegawai) untuk PNS bukan NIPP (Nomor Induk Pegawai Perusahaan).


(2)

B. Saran

Berdasarkan rumusan kesimpulan tersebut, selanjutnya disarankan hal-hal sebagai berikut :

1. Sebaiknya pertimbangan perubahan bentuk perusahaan jawatan menjadi perusahaan umum atau menjadi perusahaan persero tidak semata-mata didasarkan pertimbangan yang didasarkan pada peluang perusahaan untuk menghasilkan laba, tetapi juga diperhatikan kemampuan perusahaan untuk mensejahterakan pegawainya. Hal ini sejalan dengan fungsi BUMN yang bukan semata-mata menjalankan fungsi bisnis untuk menghasilkan laba, tetapi juga fungsi sebagai agen pembangunan yang salah satunya adalah meningkatkan kesejahteraan dan kelayakan hidup para pegawainya.

2. Karyawan PT. Kereta Api meminta kepada Pemerintah agar segera menyelesaikan persoalan perubahan status pagawai PNS di lingkungan PT. Kereta Api Indonesia (Persero) agar tidak berlarut-larut sampai saat ini; 3. Karyawan PT. Kereta Api meminta kepada pemerintah untuk turut serta

dalam mengupayakan peningkatan kesejahteraan pegawai PT. Perusahaan Kereta Api (Persero), agar tidak membawa pengaruh yang lebih buruk pada kinerja perusahaan.


(3)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Amiruddin, Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Grafitti Press, 2006.

Dalimunthe, Jainul A., Dari Jalan Hingga Istana, Serikat Pekerja Kereta Api, Bergerak dan Menggebrak, Jakarta: TIOPS, 2006.

Davies, Howards, and David Holdcroft, Jurisprudence : Texts and Commentary, 1991.

Ernst & Young, Privatization : Investing in State Owned Enterprises Around the World, New York : Jhon Wiley & Sons, Inc, 1994.

Green, Reginal Herbold, “Bureaucracy and Law and Order”, dalam Julio Faundez, Good Government and Law Legal and Institution Reform in Developing Countries, The British Council, 1977.

Hart, H.L.A, The Concept of Law, Oxford : The Clarendon Press, 1988.

Hartono, Sunaryati, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Bandung: Rineka Cipta, 1994.

Ibrahim, Johnny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bandung : Citra Aditya Bakti, 2007.

Kabul, Imam, Paradigma Pembangunan Hukum di Indonesia, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005.

Koentjaraningrat, Metode-Metode Penelitian Masyarakat, Jakarta : Prenada Media, 1997.

Marzuki, Petter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta : Pradnya Paramitha, 2005.


(4)

MD, Mahfud, Pergulatan Politik dan Hukum di Indonesia, Jakarta: Gramedia, 1999

Nasution, Bahder Johan, Metode Penelitian Hukum, Bandung. Mandar Maju, 2008.

Priambodo, Dibyo Soemantri, Refleksi BUMN 1993-2003, Yogyakarta: Media Presindo, 2004.

Ramanadham, V.V, Privatization : A Global Perspective, London and New York: Routledge, 1993.

Riduan, Metode & Teknik Menyusun Tesis, Bandung : Bina Cipta, 2004. Soekanto, Soerjono, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta : Grafindo, 2006. --- dan Sri Mamudi, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat,

Jakarta : Grafindo, 1990.

Supranto, J., Metode Penelitian Hukum dan Statistik, Jakarta: Pradnya Paramitha, 2003.

Upper, Jack L., and George B. Baldwin, Public Enterprises: Restructuring and Privatization, International Development and Negotiation: International Law Institute, 1996.

Widjaja, Gunawan. Risiko Hukum sebagai Direksi, Komisaris & Pemilik PT

(Jakarta: Forum Sahabat, 2008

Jurnal, Media, Makalah

Clarke, George R.G., dan Robert Cull, Political and Economics Determinants of The Likelihood of Privatizing Argentina Public Bank, Jurnal of Law and economics, (Vol. XLV, April 2002), The University of Chicago.


(5)

Hardjasoemantri, Koesnadi, “Good Governance Dalam Pembangunan Berkelanjutan Di Indonesia,” makalah disampaikan pada Lokakarya Pembangunan Hukum Nasional ke VIII di Bali, tanggal 15 Juli 2003, hal. 2003.

Nasution, Bismar, Disampaikan pada Diseminasi Policy Paper Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia “Reformasi Hukum di Indonesia Melalui Prinsip-prinsip Good Governance”, yang diadakan oleh Komisi Hukum Nasional Republik Indonesia berkerjasama dengan Program Studi Magister Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, tanggal 1-2 Oktober 2003, Medan, Sumatera Utara. PT Kereta Api (Persero), Petunjuk Pelaksanaan GCG di Lingkungan PT. KA

(Persero) (Good Corporate Manajemen), April 2006.

Pound, Roscoe, “Social Control Through Law: Jurnal Postulets”, Cet.1, dikutip dalam Filsafat Hukum dari Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta: Universitas Indonesia, 2001

---, Jurisprudence, Vol.3.

Sitompul, Zulkarnain, “Pembatasan Kepemilikan Bank : Gagasan Untuk Memperkuat Sistem Perbankan,” Jurnal Hukum Bisnis, Volume 22, No. 6, Tahun 2003.

Stone, Human Law and Human Justice, 1965.

Theberge, Leonard J., “Law and Economic Development”, Journal of International Law and Policy, Vol. 9, 1980.

Perundang-undangan

Republik Indonesia, Undang-undang No. 23 Tahun 2007 tentang

Perkeretaapian.

Republik Indonesia, Undang-undang No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.


(6)

Republik Indonesia, Undang-undang No. 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara.

Republik Indonesia, Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1998 tentang

Pengalihan Bentuk Perusahaan Umum (Perum) Kereta Api Menjadi Perusahaan Perseroan (Persero).

Perjanjian Kerjasama antara Perum Kereta Api dengan PT Taspen (persero) No.KP/503/IX/4/KA-95/JAN-603/DIR/1995, tertanggal 28 September 1995 tentang Penyelenggaraa dan Pengelolaan Program Pensiun, Program Tabungan Hari Tua, dan Program Jaminan Kecelakaan Kerja Pegawai Perumka.

Perjanjian Kerja Bersama antara PT Kereta Api Persero dengan Serikat Pekerja Kereta Api, Periode 2006-2008.

Internet

Hendrowijono, Moch S., “PT KA Menerima Beban Begitu Berat”, Dikutip dari http://www.hendrowijono.com/index.php?option=com

_content&view=article&id=473:pt-kereta-api-indonesia-menerima-beban-terlalu-berat&catid=34:perhubungan, Diakses tanggal 12 Februari 2009.

“Jenis BUMN (Badan Usaha Milik Negara), Persero dan Perum (Perusahaan Umum)”, Dikutip dari http://organisasi.org/macam-jenis-bumn-badan-usaha-milik-negara-persero-dan-perum-perusahaan-umum, Diakses tanggal 16 Februari 2009.

Taj, “Dilema PT KA”, Artikel Berita Koran Sinar Harapan, terbit 27 Desember 2005, Dikutip dari http://www.sinarharapan.co.id/berita/ 0112/27/taj01.html, Diakses tanggal 12 Februari 2009.

Utomo, Suryo Hapsoro Tri, Sejarah Transportasi Kereta Api, Dikutip dari http://sipilugm.wordpress.com/2008/08/11/sejarah-kereta-api-indonesia/, Diakses tanggal 12 Februari 2009.