Hubungan Sosial Ekonomi Dan Intake Zat Gizi Dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) Pada Daerah Endemis Gaky Di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008

(1)

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

TESIS

Oleh

Rr. GAYATRI LINDRI SARASWATI

047023024/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

2009


(2)

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

T E S I S

Diajukan sebagai salah satu syarat

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

Rr. GAYATRI LINDRI SARASWATI

047023024/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATRA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

Nama Mahasiswa : Rr.Gayatri Lindri Saraswati Nomor Pokok : 047023024

Program Studi : Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

Konsentrasi : Administrasi Kesehatan Komunitas/Epidemiologi

Menyetujui, Komisi Pembimbing:

(Prof. Dr. Ida Yustina, MSi) Ketua

(Dra. Jumirah Apt, MKes) (Ros Idah Rohna Berutu, SKM, MKes) Anggota Anggota

Ketua Program Studi, Direktur,

(Dr. Drs.Surya Utama, MS) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, MSc)


(4)

Telah diuji pada Tanggal 24 Juni 2009

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof. Dr. Ida Yustina, MSi. Anggota :1. Dra. Jumirah, Apt.M.Kes.

2. Ros Idah Rohna Berutu, SKM, M.Kes. 3. Dr.Ir.Evawani Y. Aritonang, MSi. 4. Dr.Drs.R.Kintoko Rochadi, MKM.


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN SOSIAL EKONOMI DAN INTAKE ZAT GIZI DENGAN

TINGGI BADAN ANAK BARU MASUK SEKOLAH (TBABS) PADA

DAERAH ENDEMIS GAKY DI KECAMATAN PARBULUAN

KABUPATEN DAIRI TAHUN 2008

TESIS

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2009


(6)

ABSTRAK

Tinggi Badan Anak Usia Baru Sekolah (TBABS) masih menjadi masalah kesehatan pada daerah endemik Gangguan Akibat Kekurang Iodium (GAKY). Energi, protein dan iodium adalah unsur gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Survei awal di daerah endemis GAKY yaitu Kecamatan Parbuluhan Kabupaten Dairi pada Januari 2008, terdapat 56,5% anak termasuk stunted.

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan case control study yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi dan intake zat gizi dengan TBABS pada daerah endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak sekolah dasar (Anak SD kelas 1) di Kecamatan Parbuluan di Kabupaten Dairi sebanyak 444 orang, dan sampel terpilih sebanyak 62 anak terdiri dari 31 kasus dan 31 kontrol. Analisis data menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan variabel pendidikan ibu, pekerjaan ayah, dan pekerjaan ibu, variabel intake energi, intake protein, dan intake yodium dengan TBABS pada daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel intake iodium dan intake protein merupakan variabel prediktor terhadap TBABS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi mengupayakan secara intensif penanggulangan penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada anak SD melalui penganekaragaman makanan, pemberian Suplemen Iodium ke sekolah-sekolah serta peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakat.


(7)

ABSTRACT

Body Height of School Age Child still becomes a health problem in the endemic area of GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium/ Iodine Deficiency Disorder). Energy, protein and iodine are the element of nutrient influencing the child’s growth and development. The survey conducted in Parbuluan Sub-district, a GAKI endemic area in Dairi District in 2008 shows that 56,5% of the children were stunted.

The purpose of this analytical survey with case control approach is to analyze the relationship of socio-economy and nutrient intake with the body height of school age children in Parbuluan Sub-district. The population were the families which have children in grade 1 of Primary School and have lived in study area for at least 6 months. Of the 444 children, 62 of the children (31 for case group and 31 for control group) are selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through Chi-square (bivariate analysis) and multiple logistic regression (multivariate analysis) test at the level of confidence of 95 %.

The result of this study shows that there are significant relationship between the variables of mother’s education, father’s occupation, mother’s occupation, energy intake, protein intake and iodine intake with the height of school age children in Parbuluan Sub-district. The result of multiple logistic regression test shows that the variables energy intake iodium and protein intake are predictors to the height of school age children.

It is expected that the District Health Office of Dairi to do some efforts to manage the iodine lack-caused disorder in the Elementary School students through food diversification, distribution of food supplement to the schools, increasing the frequency of community health extension activities.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karuniaNya sehingga penulis telah dapat menyusun dan menyelesaikan Tesis dengan judul "Pengaruh Sosial Ekonomi dan Intake Zat Gizi Terhadap Tinggi Badan Anak Usia Sekolah pada Daerah Endemik di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi". Shalawat dan salam kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW beserta keluarga dan para sahabatnya yang telah membawa kita ke alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Kepada Bapak Prof. Chairuddin P. Lubis, DTM&H,Sp.A(K) selaku Rektor Universitas Sumatera Utara dan Ibu Prof. Dr. Ir. T.Chairun Nisa B,M.Sc. selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara yang telah menyediakan fasilitas perkuliahan.

Kepada Prof. Dr. Ida Yustina, MSi selaku Sekretaris Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan Sekolah Pascsarjana USU sekaligus sebagai komisi pembimbing, ibu Dra Jumirah, Apt. M.Kes, ibu Ros Idah Rohna Berutu, SKM M.Kes selaku komisi pembimbing yang mau meluangkan waktu dan membimbing penulis dengan ikhlas dan penuh kesabaran dalam penyusunan tesis ini. Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada komisi pembanding yang telah banyak membantu dan meluangkan waktu dan memberi masukan serta kritikan demi kesempurnaan tesis ini.


(9)

Selanjutnya penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr.Drs Surya Utama, MS selaku Ketua Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan yang telah banyak memberikan arahan dan bimbingan penulis selama menempuh pendidikan dan penyusunan tesis.

Terima kasih penulis ucapkan yang tak terhingga kepada suami saya Dr.Dinamika Chandra Bimantara, SpOG dan anak-anak tercinta, Tika Citra Ayu Lestari, Amalia Puspita Dewi yang telah memberikan motivasi untuk kuliah magister, dan dukungan doa dan dana dalam menyelesaikan perkuliahan dan terima kasih juga kepada keluarga yang telah memberikan dorongan bagi penulis untuk meniti karir dan motivasi untuk kuliah magister, dan kepada semua pihak yang telah membantu proses penyusunan tesis ini hingga selesai.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih terdapat banyak kekurangan dan kelemahan, untuk itu kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan demi kesempurnaan tesis ini.

Medan, Juni 2009 P e n u l i s


(10)

RIWAYAT HIDUP

Nama : Rr.Gayatri Lindri Saraswati Tempat/Tgl Lahir : Surabaya, 12 juli 1964

Suami : Dr.Dinamika Chandra Bimantara, SpOG.

Anak : 1 dari 2 bersaudara

Riwayat Pendidikan :

1. Tahun 1976 SD Negri Kapas Krampung Wetan I, Surabaya 2. Tahun 1980 SMP Negeri IX Surabaya

3. Tahun 1983 SMA Negeri V Surabaya

4. Tahun 1986 D3 Akademi Gizi Malang, Jawa Timur

5. Tahun 1999 S1 Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara, Medan

Riwayat Pekerjaan :

1. Tahun 1988 s/d 1995 : Staf Dinas Kesehatan Kabupaten Gunung Kidul Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... x

DAFTAR LAMPIRAN ... xi

BAB 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 6

1.3 Tujuan Penelitian... 6

1.4 Hipotesis ... 7

1.5 Manfaat Penelitian ... 7

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1 Pertumbuhan ... 8

2.2 Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 20

2.3 Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) ... 29

2.4 Landasan Teori ... 42

2.5 Kerangka Konsep... 43

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 44

3.1. Jenis Penelitian ... 44

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 44

3.3. Populasi dan Sampel ... 44

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 46

3.5. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 48

3.6. Metode Pengukuran ... 49

3.7. Metode Analisis Data ... 52

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 54

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 54

4.2. Deskripsi Sosial Ekonomi Keluarga ... 55

4.3. Intake zat Gizi ... 56

4.4. Hubungan Sosial Ekonomi dengan Tinggi Badan Anak Usia Sekolah... 63


(12)

4.5. Pengaruh antara beberapa variabel terhadap TBABS... 67

BAB 5 PEMBAHASAN... 70

5.1.Hubungan Hubungan Sosial Ekonomi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 70

5.2.Hubungan Hubungan Intake Zat Gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS)... 74

5.3.Keterbatasan Penelitian ... 78

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 79

6.1. Kesimpulan ... 79

6.2. Saran ... 79


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

2.1. Rata-rata kandungan Iodium dalam Bahan Makanan (mg/Kg)... 31 2.2. Kadar sianida (CN) dalam sayuran dan umbi-umbian dengan berbagai

Cara pengolahan (mg/100 gr bahan)... 33 3.1. Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas ... 47

4.1. Distribusi Frekuensi Sosial Ekonomi Keluarga Responden……….. 56 4.2. Distribusi Frekuensi makanan Sumber Asupan Energi pada Anak Baru

Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 57 4.3. Distribusi Frekuensi Asupan Energi pada Anak Baru Masuk Sekolah di

Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 57 4.4. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Protein pada Kasus dan Kontrol

pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 58 4.5. Distribusi Frekuensi Asupan Protein pada Anak Baru Masuk Sekolah di

Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 59 4.6. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Yodium pada Kasus dan Kontrol

pada Anak Baru Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 60 4.7. Distribusi Frekuensi Asupan Yodium pada Anak Baru Masuk Sekolah

di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 61 4.8. Distribusi Frekuensi Makanan Sumber Goitrogenik pada Anak Baru

Masuk Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 61 4.9. Hasil pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah……… 62 4.10. Gambaran TB anak stunted dan tidak stunted Anak Baru masuk sekolah 63 4.11. Hubungan Tinggi Badan Anak Usia Sekolah Berdasarkan Sosial

Ekonomi di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008 ... 65


(14)

4.12. Hubungan Pola Makan dengan Tinggi Badan Anak Usia Sekolah di Daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Tahun 2008... 66 4.13. Hasil Analisis Multivariat Kandidat Model Regresi Logistik Ganda... 68 4.14. Hasil Analisis Regresi Logistik Ganda... 68


(15)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

1. Bagan Hubungan Defisiensi Yodium dengan Pertumbuhan... 28

2. Metabolisme Iodium dan Goitrogen dalam thiroid... 36

3. Bagan Kerangka Teori Penelitian ... 42


(16)

ABSTRAK

Tinggi Badan Anak Usia Baru Sekolah (TBABS) masih menjadi masalah kesehatan pada daerah endemik Gangguan Akibat Kekurang Iodium (GAKY). Energi, protein dan iodium adalah unsur gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak. Survei awal di daerah endemis GAKY yaitu Kecamatan Parbuluhan Kabupaten Dairi pada Januari 2008, terdapat 56,5% anak termasuk stunted.

Penelitian ini merupakan penelitian survei analitik dengan pendekatan case control study yang bertujuan untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi dan intake zat gizi dengan TBABS pada daerah endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Populasi dalam penelitian ini adalah keluarga yang mempunyai anak sekolah dasar (Anak SD kelas 1) di Kecamatan Parbuluan di Kabupaten Dairi sebanyak 444 orang, dan sampel terpilih sebanyak 62 anak terdiri dari 31 kasus dan 31 kontrol. Analisis data menggunakan uji chi square dan regresi logistik ganda pada taraf kepercayaan 95%.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan variabel pendidikan ibu, pekerjaan ayah, dan pekerjaan ibu, variabel intake energi, intake protein, dan intake yodium dengan TBABS pada daerah Endemis GAKY di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi. Hasil uji regresi logistik menunjukkan variabel intake iodium dan intake protein merupakan variabel prediktor terhadap TBABS.

Diharapkan kepada Dinas Kesehatan Kabupaten Dairi mengupayakan secara intensif penanggulangan penyakit Gangguan Akibat Kekurangan Iodium pada anak SD melalui penganekaragaman makanan, pemberian Suplemen Iodium ke sekolah-sekolah serta peningkatan penyuluhan kesehatan masyarakat.


(17)

ABSTRACT

Body Height of School Age Child still becomes a health problem in the endemic area of GAKI (Gangguan Akibat Kekurangan Iodium/ Iodine Deficiency Disorder). Energy, protein and iodine are the element of nutrient influencing the child’s growth and development. The survey conducted in Parbuluan Sub-district, a GAKI endemic area in Dairi District in 2008 shows that 56,5% of the children were stunted.

The purpose of this analytical survey with case control approach is to analyze the relationship of socio-economy and nutrient intake with the body height of school age children in Parbuluan Sub-district. The population were the families which have children in grade 1 of Primary School and have lived in study area for at least 6 months. Of the 444 children, 62 of the children (31 for case group and 31 for control group) are selected to be samples for this study. The data obtained were analyzed through Chi-square (bivariate analysis) and multiple logistic regression (multivariate analysis) test at the level of confidence of 95 %.

The result of this study shows that there are significant relationship between the variables of mother’s education, father’s occupation, mother’s occupation, energy intake, protein intake and iodine intake with the height of school age children in Parbuluan Sub-district. The result of multiple logistic regression test shows that the variables energy intake iodium and protein intake are predictors to the height of school age children.

It is expected that the District Health Office of Dairi to do some efforts to manage the iodine lack-caused disorder in the Elementary School students through food diversification, distribution of food supplement to the schools, increasing the frequency of community health extension activities.


(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang

Departemen Kesehatan (2000) menyebutkan bahwa masalah gizi di Indonesia masih didominasi oleh kekurangan zat gizi yang disebabkan banyak faktor, di antaranya adalah tingkat sosial ekonomi keluarga. Krisis ekonomi yang dimulai tahun 1997 lalu memberi dampak berupa penurunan kualitas hidup keluarga yang menyebabkan rendahnya daya beli sehingga jumlah keluarga miskin dan anak-anak kekurangan gizi bertambah.

Atmarita (2004), mengatakan akumulasi akibat krisis ekonomi di Indonesia tergambar dari tingginya angka prevalensi gangguan pertumbuhan pada anak. Hasil pengukuran TBABS secara nasional 1999 menunjukkan prevalensi anak baru masuk sekolah usia 6 – 9 tahun yang tergolong pendek/stunted sebesar 36,1 % (Jahari, 1999). Hasil penelitian di beberapa daerah juga menunjukkan prevalensi anak pendek/stunted masih cukup tinggi, antara lain di Kalimantan Tengah tahun 2004 sebesar 50 – 54 % (Norliani, 2005)

Tinggi Badan merupakan antropometri yang menggambarkan keadaan pertumbuhan skeletal. Dalam keadaan normal, tinggi badan tumbuh bersamaan dengan pertambahan umur. Pertumbuhan TB tidak seperti BB, relatif kurang sensitif terhadap defisiensi gizi jangka pendek. Pengaruh defisiensi zat gizi terhadap TB baru akan tampak dalam tempo yang lama. Indeks TB/U lebih menggambarkan status gizi


(19)

masa lalu. Indeks TB/U di samping dapat menggambarkan tentang status gizi masa lampau juga lebih erat kaitannya dengan masalah sosial ekonomi. Oleh karena itu indeks TB/U di samping digunakan sebagai indikator Status Gizi, dapat pula digunakan sebagai indikator perkembangan keadaan sosial ekonomi masyarakat. (Jahari, 1990)

Gagal tumbuh (growth retardation) merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak terjadi pada negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Penelitian yang dilakukan Abunain (1988), menunjukkan status gizi khususnya prevalensi gangguan pertumbuhan badan di daerah endemis GAKI berkaitan erat dengan keadaan sosial ekonomi suatu daerah. Energi dan zat-zat gizi, seperti protein, vitamin A, zat besi dan yodium, diketahui sebagai unsur-unsur gizi yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak.(Atmarita, 2004)

Salah satu zat gizi yang paling berpengaruh terhadap pertumbuhan adalah konsumsi iodium. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) merupakan masalah gizi khususnya di daerah endemis GAKI dengan kategori berat. Penyebab utama GAKI adalah kekurangan iodium. Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan manusia, walau relatif sedikit (normal 100-150µ g/hr) untuk mensintesis hormon tiroksin (WHO, 2001). Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh ; berperan pada metabolisme umum ( metabolisme energi, lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan syaraf pusat dan hormon pertumbuhan (Granner, 2003).


(20)

Menurut WHO (2001) bila di suatu daerah ditemukan jumlah penderita gondok (Total Goiter Rate /TGR ≥5% dari jumlah penduduk, maka daerah itu disebut daerah endemik. TGR dilakukan dengan pemeriksaan kelenjar gondok (tiroid) dengan metode palpasi. Adapun klasifikasi tingkat endemisitas adalah : daerah non endemik jika TGR < 5%, endemik ringan jika TGR 5,0 – 19,9% , daerah endemik sedang jika TGR 20,0 -29,9 dan daerah endemik berat jika TGR ≥30 %.

Jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di daerah endemik GAKI masih cukup tinggi. Berdasarkan survey GAKI tahun 2003 diperkirakan 18,8 % penduduk hidup di daerah endemik ringan, 4,2 %, di daerah endemik sedang dan 4,5 % di daerah endemik berat. Dari 28 Propinsi, 17 propinsi tergolong endemik ringan (60,8%), 2 propinsi tergolong endemik sedang ( 7,1 %), dan 2 propinsi tergolong endemik ringan (7,1 %). Dari 342 kabupaten/kota yang ada di Indonesia, 122 kabupaten dalam kategori endemik ringan (35,7%), 42 kabupaten endemik sedang (12,2 %) dan 30 kabupaten endemik berat (8,8%).

Propinsi Sumatera Utara termasuk yang dalam kategori endemik GAKI ringan, yakni dengan TGR 5,3%, ; TGR tingkat nasional sebesar 11,1 % ( Depkes, 2003). Namun demikian, di wilayah Kabupaten Dairi (TGR 18,1%), terdapat dua dari 15 kecamatannya yang tergolong endemik GAKI berat, yakni Kecamatan Parbuluan dengan TGR-nya tercatat sebesar 36,2 %, dan Kecamatan Siempat Nempu dengan TGR 33,9%. Berdasarkan persentase ini, kedua kecamatan tersebut termasuk dalam kategori endemik GAKI berat, karena angka TGR-nya ≥30 %.


(21)

Kondisi wilayah di Kecamatan Parbuluan sebagian besar terdiri dari perbukitan dan dataran tinggi, terletak 1.066 meter diatas permukaan laut, dengan jumlah penduduk 276.489 jiwa.

Menurut teori yang ada dan ditunjang dengan penelitian yang dilakukan (Djokomoeljanto, 1994 ; Kodyat 1996) pada umumnya penderita gondok banyak ditemukan di daerah perbukitan/dataran tinggi karena daerah–daerah ketinggian/pegunungan merupakan daerah endemis di mana kandungan iodium dalam bahan pangan (sayuran) yang tumbuh di daerah tersebut, serta air minum yang dikonsumsi penduduk setempat kadar iodiumnya memang rendah. Hal ini disebabkan seringnya terjadi erosi, banjir, hujan lebat yang membawa iodium hanyut ke laut. Akibatnya tanah, air, tanaman dan binatang yang hidup di wilayah tersebut sedikit mengandung iodium, sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemis berisiko mengalami kekurangan iodium jika hanya tergantung pada hasil tanaman daerah tersebut (Hetzel, 1996).Keadaan tersebut yang mendorong masalah gondok sering dihubungkan dengan rendahnya konsumsi iodium.

Kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (<50

μ

g/h) menyebabkan produksi hormon tiroid kurang, metabolisme zat-zat gizi terganggu. Akibatnya pembentukan organ dan fungsi organ-organ penting terganggu, proses tumbuh kembang terganggu, sehingga terjadi hambatan tumbuh kembang dan kretin. Pada anak dan remaja menyebabkan pertumbuhan fisik terhambat, tubuh terlihat pendek/stunted (Hetzel, 1996).


(22)

Hasil survey awal yang dilakukan peneliti di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi pada Januari 2008, terdapat sejumlah 444 anak SD yang duduk di kelas 1. Dari hasil pengukuran yang dilakukan terhadap Tinggi Badan (TB) anak kelas 1 SD didapatkan sebanyak 56,5% anak (251 orang) yang tergolong stunted atau pendek, sedangkan yang tergolong TB normal sebanyak 193 (43,5 %).

Selanjutnya hasil penelitian Hanung (1996) di Kabupaten Purworejo pada 32 SD, menunjukkan bahwa prevalensi TBABS dan prevalensi gangguan pertumbuhan TBABS 6 – 9 tahun, lebih tinggi dibanding tinggi badan anak Indonesia, rata-rata TBABS anak laki-laki 114,3 cm, perempuan 112,5 cm dan prevalensi gangguan 35,8%, lebih tinggi dibanding angka nasional 30,1 %.

Penelitian Amigo et al, (2000) mengidentifikasi faktor risiko defisit pertumbuhan pada anak baru masuk sekolah yang orang tuanya bertubuh pendek dibanding dengan anak-anak yang orang tuanya bertubuh tidak pendek di distrik miskin di Santiago, Chile. Hasilnya bahwa faktor utama yang berhubungan dengan rendahnya tinggi badan anak sekolah pada populasi dengan tingkat sosial ekonomi yang rendah adalah pendeknya tubuh orang tua, penghasilan rendah dan kekurangan gizi.

Penelitian Norliani (2005), menunjukkan tingkat sosial ekonomi, tinggi badan orang tua dan panjang badan lahir dengan TBABS di Palangkaraya berhubungan dengan kondisi anak badan anak waktu lahir dengan TBABS yang stunted dan tidak stunted. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pendapatan keluarga, tingkat pendidikan orang tua yang rendah, tinggi badan ayah dan ibu yang pendek


(23)

meningkatkan risiko terjadinya stunted pada anak baru masuk sekolah. Demikian juga terdapat hubungan antara panjang badan lahir dengan TBABS. Anak yang stunted waktu lahir akan berisiko stunted pula pada usia masuk sekolah dan faktor yang berhubungan dengan kejadian stunted pada anak baru masuk sekolah yang paling dominan dan berpengaruh adalah tingkat pendidikan ibu.

Akibat pengaruh kekurangan iodium di daerah endemis dan dampak adanya krisis ekonomi yang terjadi, dikhawatirkan jumlah anak baru masuk sekolah dasar yang mengalami gangguan atau hambatan tumbuh kembang meningkat. Berdasarkan latar belakang tersebut maka perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui hubungan sosial ekonomi, dan intake zat gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.2.Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang di atas apakah ada hubungan antara sosial ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan), dan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein dan konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi tahun 2008.

1.3. Tujuan Penelitian

Untuk menganalisis hubungan sosial ekonomi keluarga (pendapatan, pendidikan, pekerjaan), dan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein,


(24)

konsumsi iodium) dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) dengan endemisitas GAKI di daerah endemis GAKI di Kecamatan Parbuluan Kabupaten Dairi Propinsi Sumatera Utara 2008.

1.4. Hipotesis Penelitian

1. Ada hubungan sosial ekonomi (pendapatan, pendidikan, pekerjaan) dengan TBABS

2. Ada hubungan intake zat gizi (konsumsi energi, konsumsi protein, konsumsi iodium) dengan TBABS.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat untuk pemecahan masalah terhadap upaya penurunan prevalensi GAKI pada daerah endemis.

2. Upaya untuk memperbaiki pola makan masyarakat di Kabupaten Dairi.

3. Masukan bagi Dinas Kesehatan dan Lintas Sektoral dalam perencanaan program penanggulangan GAKI.


(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Pertumbuhan

Pertumbuhan (growth) adalah hal yang berhubungan dengan perubahan jumlah, ukuran atau dimensi tingkat sel, organ maupun individu yang dapat di ukur dengan ukuran berat (gram, pound, kilogram), ukuran panjang (cm, meter), umur tulang dan keseimbangan metabolic (retensi kalsium dan nitrogen tubuh). Jadi dapat disimpilkan bahwa pertumbuhan mempunyai dampak terhadap aspek fisik ( Soetjiningsih, 1995).

2.1.1. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan

Faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ada dua faktor yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Yang termasuk dalam faktor internal adalah genetik, obstetrik dan seks, yang termasuk faktor eksternal adalah lingkungan, gizi, obat-obatan dan penyakit (Supariasa,2002).

1. Genetik.

Faktor genetik dikaitkan dengan adanya kemiripan anak-anak dengan orang tuanya dalam hal bentuk tubuh,proporsi tubuh dan kecepatan perkembangan. Diasumsikan bahwa selain aktivitas nyata dari lingkungan yang menentukan pertumbuhan, kemiripan ini mencerminkan pengaruh gen yang dikontribusi oleh orang tuanya kepada keturunanannya secara biologis. Namun gen tidak secara langsung menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan, tetapi ekspresi gen yang


(26)

diwariskan kedalam pola pertumbuhan dijembatani oleh beberapa sistem biologis yang berjalan dalam suatu lingkungan yang tepat untuk bertumbuh. Misalnya gen dapat mengatur produksi dan pelepasan hormon seperti hormon pertumbuhan dari glandula endokrin dan menstimulasi pertumbuhan sel dan perkembangan jaringan terhadap status kematangannya (matur state). Sistem endokrin juga merespon pengaruh faktor-faktor lingkungan yang berefek terhadap perkembangan, dan mungkin berfungsi sebagai suatu mekanisme yang menyatukan interaksi antara gen dan lingkungan untuk membentuk pola pertumbuhan tiap-tiap manusia(Bogin, 1988).

Bock pada tahun 1986 (cit Bogin 1988), melakukan penelitian secara longitudinal tentang pengaruh genetik terhadap pertumbuhan dan perkembangan anak laki-laki dan anak perempuan yang hidup dalam lingkungan keluarga dengan status sosial ekonomi menengah dan latar belakang kultur ethiopian. Hasil penelitian tersebut menunjukkan adanya variasi pertumbuhan yang diwarisi dari orang tuanya dalam pola pertumbuhan seorang anak. Variasi tersebut mengindikasikan suatu Major genetik component dalam penentuan ukuran dan kecepatan pertumbuhan seseorang.

Rogol, Clark, and Roemmich (2000) mengatakan bahwa pertumbuhan pada beberapa dimensi menunjukkan sebuah gabungan kemiripan keluarga yang signifikan. Bentuk tubuh orang dewasa, kecepatan pertumbuhan, waktu dan rata-rata perkembangan seksual, kematangan tulang belulang dan perkembangan gigi geligi kesemuanya dipengaruhi oleh faktor genetik. Estimasi kemiripan faktor genetik berkisar antara 41 % sampai 71 %. Bentuk tubuh orang dewasa paling baik berkorelasi dengan perhitungan tinggi tubuh midparental (perbedaan dalam rata-rata


(27)

tinggi badan dari orang tua), namun model polygenic dari pewarisan tinggi tubuh mengahasilkan variasi yang semakin banyak terhadap ukuran anak-anak yang lahir dari orang tua yang mempunyai tinggi tubuh tidak mirip dibandingkan pada anak dari orang tua yang keduanya bertinggi tubuh medium. Tinggi maksimal dapat diprediksi berdasarkan tinggi midparental. Tinggi midparental yang telah disetel (ditargetkan) dapat dihitung dengan rumus dengan menambahkan 13 cm (perbedaan antara persentil ke – 50 untuk dewasa laki-laki dan perempuan) terhadap tinggi tubuh ibu (untuk anak laki-laki) atau mengurangi 13 cm dari tubuh ayah(untuk anak perempuan) lalu ambil rata-rata selisih tinggi tubuh orang dewasa.

Penambahan 8,5 cm diatas dan dibawah titik tengah target tinggi badan(akan mengarahkan tentang tinggi badan target dari presentil ke -3 sampai ke – 97 untuk tinggi tubuh orang dewasa yang akan diprediksi untuk anak yang disetel dengan bentuk tubuh midparental nya (potensial genetik). Ada juga model lain untuk memprediksi bentuk tubuh dewasa seseorang berdasarkan rumus matematis yang diturunkan dari riwayat pertumbuhan anak atau dari pencapaian ’height and bone age’ anak itu dari hasil perhitungan tabel spesifik (Rogol et al,2000).

Perkiraan tinggi akhir sesuai potensial genetik berdasarkan TB orang tua dengan asumsi semua tumbuh optimal sesuai dengan potensinya juga dapat dihitung dengan rumus berikut :

TB anak perempuan = TBayah cm TBibu 8,5cm 2

) )

13 (

± +


(28)

TB anak laki-laki = TBibu cm TBayah 8,5cm 2

) 13 (

± +

(13 cm adalah rata-rata selisih tinggi badan antara orang dewasa laki-laki dan perempuan di Inggris, dan 8,5 cm adalah nilai absolut tentang tinggi badan)(Soetjiningsih,1995).

2.Lingkungan.

Yang termasuk dalam faktor lingkungan dalam hal ini adalah lingkungan bio-fisik dan psiko-sosial yang mempengaruhi individu setiap hari dan sangat berperan dalam menentukan tercapainya potensial bawaan. Menurut Soetjiningsih (1995) secara garis besar lingkungan dibagi menjadi lingkungan pra natal dan lingkungan post natal.

a. Lingkungan Pra-Natal.

Lingkungan pra natal adalah terjadi pada saat ibu sedang hamil, yang berpengaruh terhadap tumbuh kembang janin mulai dari masa konsepsi sampai lahir seperti gizi ibu pada saat hamil menyebabkan bayi yang akan dilahirkan menjadi BBLR (Berat Badan Lahir Rendah) dan lahir mati serta jarang menyebabkan cacat bawaan. Selain dari pada itu kekurangan gizi dapat menyebabkan hambatan pertumbuhan pada janin dan bayi lahir dengan daya tahan tubuh yang rendah sehingga mudah terkena infeksi, dan selanjutnya akan berdampak pada terhambatnya pertumbuhan tinggi badan.


(29)

Selain itu faktor lingkungan pada masa pra natal lainnya yang berpengaruh adalah mekanis yaitu trauma dan cairan ketuban yang kurang dapat menyebabkan kelainan bawaan pada bayi yang akan dilahirkan. Faktor toksin atau zat kimia yang disengaja atau tanpa sengaja dikonsumsi ibu melalui obat-obatan atau makanan yang terkontaminasi dapat menyebabkan kecacatan, kematian atau bayi lahir dengan berat lahir rendah.

Faktor hormon yaitu hormon endokrin yang juga berperan pada pertumbuhan janin adalah somatotropin(growth hormon), yang disebut juga hormon pertumbuhan. Hormon ini berperan mengatur pertumbuhan somatic terutama pertumbuhan kerangka. Pertambahan tinggi badan sangat dipengaruhi oleh hormon ini. Growth hormon merangsang terbentuknya somatomedin yang kemudian berefek pada tulang rawan, dan aktivitasnya meningkat pada malam hari pada saat tidur, sesudah makan, sesudah latihan fisik, perubahan kadar gula darah dan sebagainya.

Hal lainnya yang dapat mempengaruhi kehidupan pada masa pra natal adalah stress ibu saat hamil, infeksi, immunitas yang rendah dan anoksia embrio atau menurunnya jumlah oksigen janin melalui gangguan plasenta juga dapat menyebabkan kurang gizi dan berat badan bayi lahir rendah (BBLR) (Soetjiningsih,1995).

b. Lingkungan Post-Natal

Lingkungan post natal mempengaruhi pertumbuhan bayi setelah lahir antara lain lingkungan biologis, seperti ras/suku bangsa, jenis kelamin, umur, gizi,


(30)

perawatan kesehatan, kepekaan terhadap penyakit infeksi & kronis, adanya gangguan fungsi metabolisme dan hormon. Selain itu faktor fisik dan biologis, psikososial dan faktor keluarga yang meliputi adat istiadat yang berlaku dalam masyarakat turut berpengaruh (Soetjiningsih, 1995).

3. Penyakit Infeksi.

Pada kondisi status gizi yang baik, tubuh mempunyai kemampuan untuk mempertahankan diri terhadap penyakit infeksi. Namun jika keadaan gizi memburuk maka reaksi kekebalan tubuh akan menurun, yang berarti kemampuan tubuh untuk mempertahankan diri terhadap serangan infeksi menjadi menurun. Oleh karena itu setiap bentuk gangguan gizi sekalipun dengan gejala defisiensi tingkat ringan merupakan pertanda awal bagi terganggunya kekebalan tubuh terhadap penyakit infeksi.(Aritonang, 1996).

Sebaliknya status gizi yang buruk berdampak terhadap menurunnya produksi zat anti bodi dalam tubuh. Penurunanan zat anti ini mengakibatkan mudahnya bibit penyakit masuk kedalam dinding usus dan mengganggu produksi beberapa enzim pencernaan makanan dan selanjutnya penyerapan zat-zat gizi yang penting menjadi terganggu, keadaan ini dapat memperburuk status gizi anak. Seperti penyakit infeksi dan kurang energi protein (KEP) adalah dua hal yang mempunyai hubungan sinergis atau saling berhubungan. Walaupun sulit untuk mengatakan apakah terjadinya gizi buruk akibat adanya diare ataukah kejadian diare yang disebabkan gizi buruk (Aritonang,1996).


(31)

Seorang anak yang mengalami kekurangan gizi mempunyai daya tahan tubuh yang rendah dan mudah terkena penyakit, suhu tubuh meningkat sebagai akibat adanya infeksi dan terjadi pembakaran jaringan tubuh yang berlebihan, anak mengalami kesulitan makan dan nafsu makananya akan menurun. Kemampuan fungsi pencernaandan penyerapan zat-zat gizi yang dibutuhkan selama masa pertumbuhan menurun selanjutnya anak akan mengalami malnutrisi (King and Burgees, 1993).

Jika selama masa tersebut anak tidak mendapatkan makanan yang cukup untuk memenuhi kebutuhan dan memulihkan kesehatan serta status gizinya maka dampaknya akan terjadi penurunan jaringan otot dan lemak. Anak akan kehilangan BB, kurus dan pertumbuhannya akan terhenti.

Diantara penyakit infeksi, diare merupakan penyebab utama gangguan pertumbuhan anak balita. Penelitian di Bangladesh dan Guatemala menunjukkan bahwa diare menyebabkan berkurangnya konsumsi makanan anak sekitar 20 – 40 %. Disamping itu kebiasaan orang tua mencegah pemberian makanan pada anak yang menderita diare ikut memeperjelek keadaan dan setiap episode diare berhubungan dengan 0,56 cm reduksi pertumbuhan linier.

Di Northeas Brazil, anak-anak umur 1 hinga 2 tahun yang rata-rata menderita diare selama 3 bulan dan kenaikan panjang badannya 41 % kurang jika dibandingkan dengan anak-anak tanpa diare pada periode yang sama (Jalal dan Soekirman, 1990.


(32)

4. Pertumbuhan dan Status Sosial Ekonomi.

Beberapa hal yang juga sebagai penyebab timbulnya masalah gizi yang mempengaruhi pertumbuhan seseorang adalah faktor sosial ekonomi yang meliputi : pendidikan orang tua, pekerjaan dan pendapatan, teknologi, budaya dan lain-lain. Keterbatasan sosial ekonomi ini juga berpengaruh langsung terhadap pendapatan keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, berpengaruh pada praktek pemberian makanan pada bayi berpengaruh pula pada praktek pemeliharaan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang akhirnya mempengaruhi daya beli dan asupan makanan untuk memenuhi kebutuhan akan pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta pencegahan terhadap penyakit infeksi yang kesemuanya berakibat pada gangguan pertumbuhan (Aritonang, 1994).

Penelitian di India Selatan, bahwa pola pembelanjaan makanan pada masyarakat yang miskin dan kaya tercermin dari kebiasaan pengeluaran mereka. Masyarakat miskin akan menghabiskan 80 % uangnya untuk membeli makanan dan apabila ada peningkatan pendapatan maka makanan yang akan dipilih adalah yang kaya akan protein. Sedangkan di negara-negara maju hanya 45 % uangnya dibelanjakan untuk makanan dan uang yang berlebih biasanya susunan hidangan menjadi lebih baik. Dengan demikian tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang akan dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Jadi jelas bahwa ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi yang didorong oleh pengaruh yang menguntungkan dari pendapatan yang meningkat bagi perbaikan kesehatan dan masalah-masalah kesehatan yang berkaitan dengan gizi keluarga (Berg dan Sayogo, 1986).


(33)

Matrolell et al.(cit Thaha,2000), melaporkan hasil studi longitudinal terhadap 1000 anak dibawah usia 7 tahun di Honduras dan menemukan adanya korelasi yang positif antara ukuran antropometri z-score tinggi badan, z-score berat badan, area otot lengan atas dan lingkar lengan atas (LLA) dengan indikator sosial ekonomi keluarga. Makin tinggi skor sosial ekonomi, maka makin baik ukuran antropometri tersebut. Analisa lebih lanjut menyimpulkan bahwa populasi yang tingkat sosial ekonominya rendah dan gambaran keadaan lingkungan lebih jelas menerangkan adanya perbedaan ukuran antropometri dalam populasi tersebut dibanding faktor genetik.

Matrorell et al.(cit. Jalal dan Soekirman, 1990), membandingkan peran faktor genetik dengan sosial ekonomi keluarga terhadap rata-rata kenaikan tinggi badan pada anak laki-laki usia 7 tahun dari berbagai bangsa dengan latar belakang sosial ekonomi yang berbeda, ternyata bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga kaya pertumbuhannya berkisar pada presentil ke 50 referensi international (WHO-NCHS). Namun jika dibedakan pola pertumbuhan anak-anak pada keluarga kaya dan miskin dari bangsa yang sama terlihat ada perbedaan. Perbedaan tinggi badan anak dari keluarga kaya kerana faktor genetik berkisar 2 – 3 cm, sedangkan perbedaan yang disebabkan karena faktor sosial ekonomi adalah sekitar 10 – 12 cm.

5. Faktor Gizi.

Beberapa faktor gizi yang juga berpengaruh terhadap pertumbuhan tinggi badan adalah : kalori, protein, Iodium dan zat gizi mikro seperti vitamin A, zink (zn).


(34)

a.Kalori.

Jumlah intake kalori berpengaruh terhadap pertumbuhan dan perkembangan seseorang. Intake kalori yang cukup akan menjamin pertumbuhan yang normal, namun sebaliknya intake yang kurang dan terjadi pada masa pertumbuhan serta berlangsung lama, akan berdampak pada pertumbuhan fisik dan kerentanan terhadap penyakit infeksi. Manifestasi dalam jangka panjang akan nampak pada tinggi badan yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang intake kalorinya cukup.

Bailey, et al.(19840 (CIT.Bogin, 1988) melakukan studi pertumbuhan terhadap anak-anak di bagian utara Thailand di mana anak-anak yang tinggal di desa mengalami hambatan pertumbuhan, namun kejadian penyakit dan infestasi parasit dan kematian tidak berhubungan secara signifikan terhadap pertumbuhan. Bailey menyimpulkan bahwa terhambatnya pertumbuhan bukan disebabkan oleh penyakit atau kekurangan zat gizi spesifik seperti vitamin A atau besi melainkan karena defisiensi dalam jumlah total asupan kalori.

b. Protein

Somatotropin berperan dalam mempertahankan tingkat sintesa protein dalam tubuh dan menghalangi sintesa lemak dan oksidasi karbohidrat pada pertumbuhan tinggi badan yaitu terhadap perkembang biakan sel-sel tulang rawan, sedang pada perkembangan kesempurnaan tulang pengaruhnya kecil.


(35)

Rendahnya sintesis protein karena rendahnya pengaruh somatotropin yang berakibat berkurangnya protein, kekurangan protein ini merupakan masalah yang serius di seluruh dunia, dan menjadi faktor utama terjadinya kwashiorkor.

Golden (1988) (cit. Hadju,1998) mempelajari studi-studi terdahulu tentang efek suplementasi makanan terhadap pertumbuhan TB. Hasil studi tersebut menunjukkan bahwa protein dan faktor yang berhubungan dengan protein dalam makanan perlu untuk pertumbuhan TB.

c. Iodium

Telah banyak disebutkan bahwa iodium merupakan unsur essensill sangat berperan terhadap pembentukan hormon pertumbuhan dan perkembangan yaitu thyroid, thyroxine (T4) dan Triodothyronine (T3). Peranan thyroxine sebagai permissive dalam arti kadar thyroxine yang cukup menjadikan sel-sel tubuh berfungsi secara normal dan sebaliknya bila kadar thyroxine kurang, maka sebagian besar dari sel-sel tubuh menjadi tidak efektif (Jalal dan Atmojo, 1998).

Kekurangan Iodium yang dikenal dengan GAKI mengakibatkan terjadinya pembesaran kelenjar thyroid. Dan dalam spektrum yang telah luas dapat menimbulkan gangguan pertumbuhan, baik pertumbuhan fisik maupun mental dan kecerdasan. Gangguan pertumbuhan fisik tampak pada ukuran tinggi badan yang tidak normal jika dibandingkan dengan umur. Hasil penelitian di Guatemala menyimpulkan bahwa anak yang ukuran tinggi badan per umur (TB/U) lebih rendah dari normal, memiliki kompetensi ’intersensori integratif’ yang rendah pula dalam


(36)

menyelesaikan test geometri, kekurangan kapasitas ini bersifat permanen, (Kodyat, 1998).

d. Zat Gizi Mikro

Zat gizi mikro yang sering dihubungkan dengan pertumbuhan fisik adalah vitamin A, seng dan besi. Berbagai penelitian yang dilakukan di beberapa tempat memperlihatkan hasil intervensi salah satu atau ketiga zat gizi tersebut terhadap pertumbuhan fisik. Penelitian lain yang dilakukan pada anak-anak prasekolah di Indonesia memperlihatkan adanya kenaikan tinggi dan berat badan pada anak yang pernah menerima kapsul vitamin A dibanding anak yang hanya menerima plasebo (Hadinet et al, 1997). Umur, status vitamin dan musim terlihat berpengaruh terhadap hubungan ini. Pada anak yang mempunyai serum retinol < 10 meg/dl, mereka menerima kapsul vitamin A, mempunyai kenaikan tinggi dan berat badan yang lebih besar secara nyata dibanding anak yang hanya menerima plasebo. Dan pada penelitian itu kenaikan tinggi badan anak sangat tinggi pada akhir musim kering di mana pada saat ini konsumsi vitamin A dan prevalensi infeksi pernafasan akut dan diare rendah.

Pemberian seng (12,5 mg/hr) dan besi (12 mg/hr Fe) memperlihatkan kenaikan tinggi badan secara nyata dibanding anak yang anya menerima seng dan plasebo. Di lain pihak pemberian seng dan besi akan mempengaruhi status vitamin A pada anak balita di Meksiko (Munoz, et al.,1997). Terlihat bahwa zat gizi mikro sangat diperlukan untuk pertumbuhan fisik yang maksimal.


(37)

2.2. Tinggi Badan Anak Baru Masuk Sekolah (TBABS) 2.2.1. Arti dan manfaat pengukuran TBABS

Salah satu indikator gizi untuk menilai peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah ukuran pertumbuhan fisik yang dapat dilakukan melalui pengukuran Tinggi Badan Anak Baru Sekolah (TBABS). Dengan penilaian pencapaian tinggi badan secara periodik khususnya pada anak baru masuk sekolah, akan memberikan informasi yang sangat penting bagi para penentu kebijakan setempat, dalam perencanaan dan intervensi upaya peningkatan status gizi, juga sebagai indikator pembangunan (Depkes, 1999).

Manfaat pengukuran TBABS menurut Abunain (1988) antara lain : 1) cukup teliti digunakan sebagai suatu alat untuk memperoleh gambaran status gizi pada tingkat kabupaten /kota dan tingkat kecamatan; 2) Data TBABS dapat digunakan sebagai dasar untuk pemetaan daerah menurut status gizi dan sekaligus juga memberi gambaran perbedaan sosial ekonomi antar wilayah; 3) Pengukuran TBABS dapat merupakan alternatif alat pemantau status gizi masyarakat dengan biaya relatif murah dan sederhana, sehingga dapat dikembangkan secara luas (nasional, atau regional).

TBABS dapat memberi gambaran tentang pertumbuhan yang diderita anak bersangkutan pada umur-umur sebelumnya. Keadaan tinggi badan anak pada usia sekolah 7 tahun dapat menggambarkan status gizi pada masa balita mereka (Atmarita, 2004). Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pada penderita kurang kalori protein (KKP) terutama KKP berat yang bersifat menahun selalu terlihat gangguan pertumbuhan, yang dapat diamati pada tinggi badan. Anak-anak tersebut sulit untuk


(38)

mengejar ketinggalan pertumbuhannya dalam waktu singkat guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umurnya (Desmita, 2005).

TBABS di suatu wilayah yang ada di bawah baku pada tingkat tertentu dapat memberi petunjuk adanya gangguan pertumbuhan pada anak sebagai gambaran taraf kesehatan dan gizi penduduk di wilayah bersangkutan. Ada korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi masyarakat daerah yang bersangkutan. TBABS tersebut merupakan refleksi pertumbuhan anak pada umur di bawah lima tahun dan sekaligus menjadi petunjuk bagi perbaikan kesehatan dan gizi dalam masa tersebut (Abunain, 1988).

TBABS dapat merupakan salah satu indikator status gizi dan kesehatan masyarakat suatu daerah, yang erat pula hubungannya dengan tingkat sosial ekonomi masyarakat di daerah yang bersangkutan. Hal ini disebabkan perubahan dalam status gizi dan kesehatan berkaitan erat dengan perubahan dalam tingkat sosial ekonomi penduduk. Oleh karena itu pengukuran TBABS sebaiknya dilakukan secara berkala, misalnya setiap 3 – 5 tahun sekali, sehingga perubahan-perubahan kualitas fisik dan keadaan sosial ekonomi masyarakat di berbagai daerah dapat dipantau secara berkesinambungan (Jahari, 1999).

2.2.2. Alasan Pengukuran TBABS

Abunain (1988) menyebutkan beberapa alasan digunakannya pengukuran tinggi badan anak baru sekolah (TBABS) adalah atas dasar :


(39)

1. Tinggi badan merupakan indikator yang paling baik untuk pertumbuhan tubuh dan juga tidak terbatas hanya pada golongan masa kanak-kanak saja.

2. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa penderita KKP, terutama KKP berat dan yang bersifat menahun, selalu ditandai oleh gangguan pertumbuhan.

3. Tinggi badan pada umur tertentu merupakan hasil kumulatif pertumbuhan semenjak lahir, sehingga menggambarkan riwayat status gizi di masa lalu.

4. Tinggi badan tidak mudah dipengaruhi oleh perubahan keadaan-keadaan yang terjadi dalam waktu singkat seperti halnya ukuran-ukuran yang berhubungan dengan massa jaringan.

5. Tinggi badan pada umur masuk sekolah dasar dapat merupakan refleksi status gizi pada umur-umur sebelumnya atau pada masa balita. Anak-anak dengan riwayat KKP berat dan menahun sukar mengejar ketinggalan pertumbuhan guna mencapai tinggi normal sesuai dengan umur mereka. Karena itu TBABS di suatu daerah dapat memberi gambaran prevalensi gangguan pertumbuhan yang dialami anak-anak di daerah tersebut.

6. Anak baru masuk Sekolah Dasar relatif mudah dicapai dibandingkan dengan anak balita atau golongan rawan gizi lain. Dengan demikian pengukuran dalam skala luas dapat dilakukan serentak di semua tempat.

7. Anak sekolah merupakan sasaran penduduk, yang dapat memberi gambaran status kesehatan dan gizi penduduk, yang secara operasional dapat dicapai dengan mudah dalam jumlah besar dan dapat mencakup wilayah luas dalam waktu relatif singkat.


(40)

8. Pengukuran tinggi badan di sekolah-sekolah bukanlah merupakan hal baru di Indonesia, sudah banyak dilakukan baik melalui UKS atau kegiatan lain.

9. Alat ukur tinggi badan relatif cukup teliti, dapat diperoleh dengan mudah dalam jumlah banyak dengan harga relatif murah dibanding harga timbangan berat badan.

10.Pengukuran dapat dilakukan oleh guru dan dapat dilakukan dengan menggunakan buku petunjuk yang sudah diuji tanpa melakukan pelatihan secara khusus.

11.Penelitian menunjukkan adanya korelasi yang baik antara tinggi badan anak sekolah dengan keadaan sosial ekonomi penduduk daerah yang bersangkutan. 12.Jika pengukuran tinggi badan anak baru masuk SD dilakukan secara periodik,

akan dapat diamati perubahan-perubahan dalam tinggi badan anak pada umur yang sama dan perbaikan pertumbuhan anak juga merupakan petunjuk peningkatan status kesehatan dan gizi serta sekaligus memberi gambaran perbaikan dalam bidang sosial ekonomi masyarakat setempat.

2.2.3. Survei Nasional TBABS

Di Indonesia pengukuran TBABS pertama kali dilakukan pada tahun 1986/1987 oleh Pusat Penelitian dan Pengembangan Gizi Bogor bekerja sama dengan Kantor Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Jakarta di tiga Propinsi : Sumatera Barat, Jawa Tengah dan Nusa Tenggara Barat, meliputi 3450 sekolah dasar (652 kecamatan). Pengukuran tinggi badan dilakukan guru sekolah yang bersangkutan berdasarkan buku pedoman. Hasil penelitian menunjukkan


(41)

pengukuran TBABS dengan cara tersebut memberi harapan untuk dilaksanakan secara luas, dapat digunakan untuk pemetaan gangguan pertumbuhan anak, status gizi, dan pencapaian tinggi pada umur tertentu. Dari penelitian ini berdasarkan analisis data potensi desa bahwa TBABS dapat digunakan sebagai indikator tingkat sosial ekonomi penduduk antar wilayah (Abunain, 1988).

Pada tahun 1994, untuk pertama kalinya dilaksanakan pemantauan TBABS di seluruh Indonesia, yang memberikan gambaran rata-rata tinggi badan dan prevalensi gangguan pertumbuhan anak usia sekolah. Secara nasional rata-rata TBABS adalah 114,9 cm (91,0% terhadap standar WHO – NCHS) untuk laki-laki, sementara untuk anak perempuan 114,0 cm (90,6 % terhadap standar WHO-NCHS). Adapun n prevalensi gangguan pertumbuhan adalah 32% untuk wilayah pedesaan, dan 18% untuk wilayah perkotaan. Prevalensi gizi kurang menurut tinggi badan anak usia 6 – 9 tahun anak pendek adalah 38,8 %. Informasi ini dapat dijadikan sebagai data dasar evaluasi kecenderungan pertumbuhan berikutnya (Depkes, 1999).

Pada tahun 1999 pengukuran TBABS secara nasional kedua dilakukan. Hasil penelitian menunjukkan tidak terlihat perubahan perbaikan gizi yang bermakna dari hasil pengukuran tersebut. Prevalensi hasil pengukuran TBABS menjadi 36,1 % Rata-rata TBABS hasil survey tahun 1999 adalah :

1. umur 6 tahun, laki-laki 108,9 cm; perempuan 107,8cm 2. umur 7 tahun, laki-laki 111,0 cm; perempuan 110,0 cm 3. umur 8 tahun, laki-laki 113,2; perempuan 112,1 cm


(42)

Hasil penelitian TBABS tahun 1999 menyimpulkan bahwa anak Indonesia yang baru masuk sekolah keadaan gizinya masih jauh dibandingkan dengan rujukan. Masih sekitar 30 – 40 % anak dikategorikan pendek, dan masih dijumpai sekitar 9 – 10 % anak dikategorikan sangat pendek. Hanya sedikit sekali peningkatan status gizi yang terjadi (Atmarita, 2004)

Rata-rata tinggi badan anak baru masuk sekolah (umur 7 – 9 tahun) hasil perhitungan 2003 yang dilakukan Abbas Basuni Jahari dan Idrus Jus’at dari berbagai literatur dan hasil penelitian TBABS untuk penentuan AKG 2004 adalah perempuan 118,1 cm (SD : 4,86); laki-laki 119,2 cm (SD : 3,95) (Jahari, 2004).

Dalam menginterpretasikan hasil pengukuran TBABS,dipakai baku rujukan WHO-NCHS yang membedakan jenis kelamin. Cutt off point (ambang batas) untuk klasifikasi status gizi berdasarkan TB/U adalah:Baku rujukan WHO-NCHS , dengan cara % dari median. Klasifikasi : Normal jika ≥ 90 % median; Stunted/malnutrisi kronis jika ≤ 90 % median. Dengan cara Standar Deviasi (SD) : Klasifikasi : Normal jika ≥-2 SD TB/U; Stunted/pendek jika < -2 SD TB/U.

2.2.5. Faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Anak Baru Masuk Sekolah

Di seluruh dunia, penyebab tersering dari postur tubuh pendek adalah kemiskinan dan efek-efeknya. Jadi nutrisi yang buruk, higiene yang buruk dan kesehatan yang buruk berefek pada pertumbuhan, baik sebelum maupun sesudah dilahirkan. Sering terdapat perbedaan postur tubuh antara kelas-kelas sosial dari kelompok etnis yang sama di area geografi yang sama akibat pengaruh-pengaruh


(43)

tersebut. Prinsip-prinsip ini telah dibuktikan pada tinggi badan orang-orang Jepang di Amerika yang bertinggi badan lebih tinggi dibandingkan dengan tinggi badan orang-orang Jepang yang lahir di Jepang. Sebaliknya, jika keadaan sosial ekonomi sama, perbedaan tinggi rata-rata antara bermacam-macam kelompok etnik hanya disebabkan genetik (Styne, 2000).

Faktor sosial ekonomi yang memengaruhi pertumbuhan antara lain pendapatan atau penghasilan, pendidikan, dan pekerjaan orang tua.Ada hubungan yang erat antara pendapatan dan gizi. Tingkat pendapatan menentukan pola makan dan apa yang dibeli baik kualitas maupun kuantitasnya. Pendapatan yang meningkat mendorong pengaruh yang menguntungkan bagi perbaikan gizi keluarga.Martorell et al.cit dalam Soekirman (2000),Sosial ekonomi ini berpengaruh langsung terhadap kemampuan keluarga dalam memenuhi kebutuhan akan makanan, sehingga memengaruhi pertumbuhan dan pemeliharaan tubuh serta mencegah penyakit infeksi (Sediaoetama, 2004).

Penyebab utama GAKI adalah kekurangan yodium. Yodium merupakan unsur zat gizi mikro yang sangat dibutuhkan manusia, walaupun relatif sedikit (normal 100-150

μ

g/h) untuk mensintesis hormon tiroksin (WHO,2001). Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi,lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan saraf pusat dan hormon pertumbuhan (Granner, 2003)


(44)

Asupan iodium dalam makanan sehari-hari kurang dari 50 µg/hari dan berlangsung lama, akan menyebabkan kandungan iodium dalam intratiroid rendah, akibatnya hipotalamus merangsang pituari anterior mensekresi TSH, sehingga terjadi peningkatan TSH untuk merangsang kelenjar tiroid mensekresi T4 , akibatnya timbul hipertrofi pada kelenjar tiroid, kelenjar gondok membesar (gondoken/goiter) dan hipotiroidisme. Dampak dari penurunan fungsi tiroid, bila terjadi pada ibu hamil maka akan melahirkan anak kretin, ditandai dengan gangguan pertumbuhan fisik, bayi lahir dengan panjang dan berat badan lahir rendah, anak cebol (Hetzel, 1996).

Di sisi lain, kekurangan iodium tersebut menyebabkan gangguan fungsi hormon tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi, menyebabkan pembentukan organ dan fungsi organ-organ penting terganggu, akibatnya proses tumbuh kembang terganggu, sehingga terjadi gangguan pertumbuhan fisik dan kretin (Grannspan, 2000). Pada bayi melahirkan BBLR dan PB Lahir rendah, pada balita anak menjadi cebol, dan pada anak ditandai dengan anak pendek/stunted pada usia masuk sekolah (Almatsier, 2004). Mekanisme hubungan defisiensi iodium dengan pertumbuhan seperti pada gambar 1.


(45)

Daerah Defisiensi Yodium ( < 50

μ

g/hari ) Endemis

GAKY

Produksi hormon thyroid kurang

Kandungan Iodium intratiroid rendah

Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T4

Fungsi Thyroid menurun Terjadi gondok

Metabolisme zat terganggu

Terjadi Hipotiroidisme Pembentukan Fungsi organ-organ

Organ terganggu penting terganggu

Proses tumbuh kembang terganggu Hambatan Pertumbuhan Fisik dan kretin

Bayi : BBLR, PB lahir- Anak Baru Sekolah : Rendah : Balita : Cebol TBABS Pendek/ Stunted Sumber : Hetzel (1996), Greenspan, (2000); Almatsier, (2004).


(46)

2.3. Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI) 2.3.1. Pengertian GAKI dan faktor penyebabnya

Istilah GAKI adalah singkatan dari Gangguan Akibat Kekurangan Iodium, sejak tahun 1970-an disepakati untuk menggantikan istilah Gondok Endemik (GE), dan digunakan untuk mencakup semua akibat kekurangan yodium terhadap pertumbuhan dan perkembangan yang dapat dicegah dengan pemulihan kekurangan yodium (Djokomoeljanto, 2002). GAKI adalah sekumpulan gejala klinis yang timbul karena tubuh seseorang kekurangan (defisiensi) unsur yodium secara terus menerus dalam jangka waktu yang cukup lama (WHO, 2001).

Pengertian defisiensi yodium saat ini tidak terbatas pada gondok dan kretinisme saja, tetapi defisiensi yodium berpengaruh terhadap kualitas sumber daya manusia secara luas, meliputi tumbuh kembang, termasuk perkembangan otak. Defisiensi yodium dinyatakan sebagai gangguan akibat kekurangan yodium (GAKI) yang menunjukkan luasnya pengaruh defisiensi yodium tersebut (Almatsier, 2004).

Iodium merupakan unsur zat gizi mikro yang dibutuhkan manusia relatif sedikit (kebutuhan normal : 100 – 150

μ

g/hari) untuk mensintesis hormone tiroksin. Hormon tiroksin berfungsi mengatur proses kimiawi yang terjadi pada sel-sel organ tubuh; berperan pada metabolisme umum (metabolisme: energi, lemak, protein, kalsium, vitamin A, kolesterol); sistem kardiovaskular; sistem pencernaan; sistem otot; susunan saraf pusat dan hormon pertumbuhan (Granner, 2003).


(47)

Penyebab utama GAKI adalah kekurangan Iodium. Kekurangan iodium dalam makanan sehari-hari (< 50

μ

g/hari) akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid, sehingga fungsi tiroksin dalam metabolisme zat-zat gizi akan terganggu, efeknya terhadap pertumbuhan lebih nyata terutama pada masa pertumbuhan anak-anak. Penderita hipotiroidisme, kecepatan pertumbuhannya menjadi sangat tertinggal (Djokomoeljanto, 2001).

Kadar iodium dalam bahan makanan bervariasi dan dipengaruhi oleh letak geografis, musim, dan cara memasaknya. Bahan makanan laut mengandung kadar iodium lebih banyak. Kadar iodium berbagai bahan makanan misalnya ikan tawar (basah) 30 µg/kg bahan, ikan tawar (kering) 116 µg/kg, ikan laut (basah) 812 µg/kg, ikan laut (kering) 3.715 µg/kg, cumi-cumi (basah) 798 µg/kg, cumi-cumi (kering) 3.866 µg/kg, daging (basah) 50 µg/kg, susu 47 µg/kg, telur 93 µg/kg, sayur 29 µg/kg, cereal 47 µg/kg, (Harsono, 1994)

Kadar iodium pada pengelolaan makanan akan berkurang tergantung cara memasaknya. Ikan yang digoreng kadar iodiumnya berkurang 25 %, bila di bakar berkurang 25 % dan bila di rebus (tanpa ditutupi) akan berkurang hingga 56 . Sebaliknya iodium bisa disenyawakan dengan berbagai zat misalnya dengan NaCl pada iodisasi garam dapur, dilarutkan dalam air dalam senyawa Kl, dilarutkan dalam minyak (lipiodol) dll. (Harsono, 1994). Kandungan rata-rata iodium dalam bahan makanan disajikan pada tabel.1


(48)

Tabel 2.1. Rata-rata kandungan Iodium dalam Bahan Makanan (mg/kg)

Segar Kering

Bahan Makanan

Rata-rata (mg)

Range (mg)

Rata-rata (mg)

Range (mg)

Ikan air tawar 30 17 - 40 116 68 – 194

Ikan laut 832 163 -3180 3715 4781 - 4591

Minyak ikan 798 308 -1300 3866 1292 – 4987

Daging 50 27 - 97 - -

Susu 47 35 - 56 - -

Telur 93 - - -

Padi-padian 47 22 - 72 65 34 – 92

Buah-buahan 18 10 – 29 154 62 – 277

Kacang-kacangan 30 23 - 36 234 23 – 245

Sayuran 29 12 - 201 385 204 – 1636

Sumber : WHO, 1996

2.3.2. Goitrogenik

Goitrogenik adalah suatu zat yang menghambat produksi atau penggunaan hormon tiroid. Keberadaan zat goitrogenik akan menjadi nyata jika terjadi kekurangan iodium (Kartono, 2004). Berdasarkan sumbernya goitrogenik terdiri dari goitrogenik alami dan goitrogenik non alami. Goitrogenik alami seperti pada singkong, rebung, kol, ubi jalar, buncis besar, kacang-kacangan, bawang merah dan bawang putih. Sedangkan yang non alami seperti bahan polutan akibat kelebihan pupuk urea, pestisida dan bakteri coli (Thaha, 2002).

Berdasarkan mekanisme kerjanya zat goitrogenik alami dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu : 1) kelompok tiosianat atau senyawa mirip tiosianat bekerja menghambat mekanisme transport aktif iodium ke dalam kelenjar tiroid. Bahan makanan yang kaya sumber tiosianat antara lain ubi kayu, hasil olah ubi kayu, lobak, kol, rebung, ubi jalar dan buncis besar, 2) kelompok tioure bekerja


(49)

menghambat prosesorganifikasi iodium dan penggabungan iodotirosin dalam pembentukan hormon tiroid aktif. Bahan makanan yang mengandung tiourea seperti sorgum, kacang-kacangan, kacang tanah, bawang merah, dan bawang putih.

Bahan makanan goitrogen yang populer dan banyak dikonsumsi di banyak negara berkembang adalah singkong. Kadar sianida dalam singkong bervariasi sekitar 70 mg-400 mg/kg. Bila kadar sianida singkong sekitar 400 mg/kg, singkong itu disebut singkong pahit, sedang bila 70 mg/kg disebut singkong manis. Menurut FAO/WHO batas aman sianida adalah 10 mg/kg berat kering (Murdiana,2001). Bahan makanan lain yang mengandung goitrogenik adalah kol, kedelai mentah (Setiadi,1980).

Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN) Goitrogenik tiosianat berasal dari prekusor tiosianat yaitu sianogenik glikosida, sianohidrin dan asam sianida (sianida bebas). Perubahan sianida menjadi tiosianat terjadi ketika bahan makanan goitrogen dicerna dengan bantuan enzim glikosidase serta enzim sulfur transferase. Tiosianat merupakan hasil detoksifikasi sianida makanan di dalam tubuh yang diekskresikan dalam urin.

Murdiana, dkk (2001) melakukan penelitian untuk mengurangi kadar goitrogenik jenis tiosianat di daerah gondok endemik yaitu Pundong Yogyakarta dan Srumbung Magelang. Rata-rata kadar sianida bahan makanan mentah bekisar 2 – 18 mg/100 gram bahan mentah. Setelah dilakukan pengolahan pada jenis sayuran dengan cara rebus dan tumis kadar sianida masih berkisar 50 %. Sedangkan pada umbi-umbian setelah direbus berkisar 2 – 38 % dan bila ditumis masih berkisar 40 – 70 %.


(50)

Selain cara diatas penurunan kadar sianida juga bisa dilakukan dengan fermentasi dan perendaman. Kadar sianida pada bahan makanan disajikan pada tabel 2.

Tabel 2.2 Kadar sianida (CN) dalam sayuran dan umbi-umbian dengan berbagai cara Pengolahan (mg/100 gr bahan)

Kadar Cianida

No Nama Bahan

Mentah Rebus Tumis

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 Bayam Bunga kol Sawi hijau Cabe hijau

Daun kacang panjang Daun bawang merah Daun bawang bakung Daun melinjo Daun singkong Daun pepaya Jagung muda Kulit tangkil Kol Kangkung Koro Sawi putih Seledri Buncis Gambas Pare Slada air Terong ungu Ubi Singkong Ganyong Gatot Talas 3,84 5,64 2,52 3,99 9,32 5,45 8,47 12,97 1,64 9,18 5,89 19,58 12,09 6,85 2,54 4,75 3,66 6,42 5,11 6,15 18,54 4,09 3,88 7,8 5,58 5,22 4,68 1,87 4,50 0,41 0,62 0,0 2,24 5,40 6,67 0,0 0,0 0,73 14,90 3,95 0,0 1,35 1,96 0,0 3,70 0,0 0,37 6,74 1,09 1,04 0,20 1,75 2,02 0,37 0,65 4,03 2,41 0,55 0,78 3,33 8,09 7,83 0,90 8,69 3,54 14,90 4,28 0,97 0,67 0,36 3,27 2,11 0,0 2,99 8,58 3,56 2,80 1,38 2,28 2,57 2,54 Sumber : Murdiana dan Sukati (2001) : PGM, Kadar Sianida dalam sayuran dan


(51)

2.3.3. Hubungan Goitrogenik dengan GAKI

Goitrogenik pada umumnya berperan sebagai penghambat transpor aktif ion iodida (I) ke dalam kelenjar tiroid sehingga menghambat fungsi tiroid. Salah satu jenis goitrogenik ini adalah golongan tiosianat (SCN). Tiosianat ini akan berkompetisi dengan iodida ketika memasuki sel tiroid karena volume molekul dan muatannya sama. Tiosianat masuk ke dalam darah dan membentuk ion-ion goitrogen dan akan mengikat ion-ion iodium. Akibatnya iodida yang akan digunakan untuk pembentukan hormon-hormon mono (T1) dan diiodothyronine (T2) sebagai precursor hormon triiodothyronine (T3) dan tyroksin (T4) berkurang, sehingga pembentukan hormon T3 dan T4 akan menurun. Karena iodium kurang atau tidak sesuai dengan kebutuhan, untuk memenuhi kebutuhan hormon maka kelenjar tiroid akan bekerja keras, mengakibatkan sel-sel akan membesar dan secara visual leher akan membesar yang disebut dengan GAKI

Penelitian-penelitian yang berhubungan dengan goitrogenik yaitu di Nigeria Timur dan Ubangi Zaire Barat yang makanan pokoknya adalah singkong diperoleh hasil terjadi peningkatan kadar tiosianat serum dan urine. Hasil percobaan pada tikus dan kelinci yang diberi singkong dan kol, terjadi pembesaran kelenjar tiroid dan penurunan kadar monoiodotirosin (MIT) dan diiodotirosin (DIT) dalam darah.(Setiadi, 1980).

Van der Laan menemukan efek tiosianat terhadap kelenjar tiroid bahwa tiosianat menghambat uptake iodium oleh kelenjar tiroid dan mempercepat


(52)

pengeluaran iodida dari kelenjar tiroid. Jika kadar tiosianat darah melebihi 1 mg %, maka akan terjadi hambatan pompa iodium (iodine pump) pada intake iodium yang normal, sedangkan pada kadar tiosianat darah yang lebih tinggi lagi akan terjadi pula penghambatan pembentukan MIT, DIT, T3 dan T4.

Aritonang (2000) melakukan penelitian di Kabupaten Dairi yang TGR nya tinggi diperoleh hasil bahwa bahan makanan yang sering dikonsumsi adalah ubi kayu, daun singkong, kol. Beberapa penelitian bahan makanan ini bisa menyebabkan pembesaran kelenjar gondok. Bourdouk, dkk (1980) melakukan penelitian di Ubangi Zaire Barat Laut yang makanan pokoknya adalah singkong, terjadi peningkatan kadar tiosianat serum dan urine tetapi bila singkong diganti beras maka akan terjadi penurunan kadar tiosianat serum dan urine (Setiadi, 1980).

Zaleha, et al. (1996) cit Ali (1999) melakukan penelitian di Malaysia dengan pemberian pucuk ubi kayu rebus selama dua minggu, terjadi perubahan fungsi hormon tiroksin dan triiodotironin. Chesney menemukan bahwa kelinci yang diberi kol selama beberapa bulan menunjukkan pembesaran kelenjar tiroid ( Setiadi, 1980).

Hubungan metabolisme iodium, goitrogenik dengan status GAKI digambarkan di bawah ini :


(53)

DIIT Gastrointestinal : Tiosianat IODIUM (I) IODIDA (I−) (SCN−) rendah

Transpor Iodium

MIT DIT

Tiroglobulin

T3 T4

THYROID : I− rendah

Kandungan iodium intratiroid rendah

Meningkatkan TSH Serum Menurunkan sekresi T4

Fungsi thyroid menurun

Terjadi gondok, hipotiroidism, kretinisme, gangguan pertumbuhan Sumber : Ganong (1999), Greenspan (2000), Gand (1980), WHO (1996)


(54)

2.3.4. Dampak GAKI

Kekurangan iodium yang berlangsung lama akan mengganggu fungsi kelenjar tiroid. Sintesa hormon tiroid berkurang, akan menguras cadangan iodium serta mengurangi produksi tiroksin (T4 dan T3) bebas dalam plasma darah berkurang. Pengurangan produksi T4 dan T3 didalam darah memicu sekresi Tiroid Stimulating Hormon (TSH) yang selanjutnya menyebabkan kelenjar tiroid bekerja lebih giat, sehingga secara perlahan kelenjar ini membesar (hiperplasi) disebut gondok. Kekurangan yodium yang berlangsung lama pada masa kehamilan dapat menyebabkan abortus, lahir mati, cacat bawaan, gangguan perkembangan otak, melahirkan anak kretin dengan gejala gangguan pertumbuhan badan, cebol, perkembangan mental terganggu, perut buncit karena tonus abdominal yang kurang, lidahnya besar. Demikian juga jika terjadi kekurangan yodium pada anak dan remaja dapat menyebabkan gondok, hipotiroidisme, gangguan fungsi mental, pertumbuhan terhambat (Hetzel, 1996).

Kretin merupakan dampak terberat pada anak yang timbul manakala asupan yodium kurang dari 25

μ

g/hari dan berlangsung lama. Kretin ditandai dengan keterbelakangan mental disertai : a) satu atau lebih kelainan saraf seperti gangguan pendengaran, gangguan bicara, serta gangguan sikap tubuh dalam berdiri dan berjalan; atau b) gangguan pertumbuhan/cebol (Djokomoelyanto, 1996). Kretin dapat diderita oleh anak-anak dalam usia akil baliq (0 – 12 tahun ), dan tinggal di daerah endemik gondok; atau anak yang dilahirkan oleh ibu yang kekurangan yodium.


(55)

Makin muda usia anak makin rentan terhadap kretin jika menderita hipotiroid. Adanya satu saja penderita kretin di salah satu wilayah merupakan indikator beratnya masalah GAKY, dan dapat diasumsikan pada wilayah tersebut kualitas SDM rendah (Depkes, 2003).

Pengaruh defisiensi/kekurangan yodium nyata sekali terlihat pada perkembangan otak selama pertumbuhan berlangsung dengan cepat, yaitu masa janin, bayi, dan balita. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja akan menyebabkan pertumbuhan terhambat, ditandai dengan tubuh pendek/stunted. Pada saat baru masuk sekolah anak terlihat pendek (Sediaoetama, 2004). Dampak yang ditimbulkan GAKI cukup luas mulai pada masa janin sampai dewasa. Spektrum GAKI menurut WHO (2001), adalah sebagai berikut :

1. Bila kekurangan yodium terjadi pada janin, maka dampak kemungkinan yang terjadi: abortus, lahir mati, cacat bawaan, kematian, perinatal, kematian bayi, kretin neurologi (keterbelakangan mental, bisu tuli, mata juling, lumpuh spastic pada kedua tungkai), kretin myxoedematus (keterbelakangan mental, cebolan), hambatan psikomotor.

2. Bila kekurangan yodium terjadi pada neonatal, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok neonatus, hipotiroidisme neonatus, penurunan IQ.

3. Bila kekurangan yodium terjadi pada anak dan remaja, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok, hypotiroid (juvenile hipotiroidisme), gangguan fungsi mental, pertumbuhan terhambat.


(56)

4. Bila kekurangan yodium terjadi pada dewasa, maka dampak kemungkinan yang terjadi : gondok dan komplikasinya, hipotiroidisme, gangguan fungsi mental, Iodine Induced Hipotiroidism (IIH). Pada tingkat ringan kekurangan iodium akan berakibat menurunnya produktivitas, libido, kesuburan dan immunitas. 5. Bila kekurangan yodium terjadi pada semua umur, maka dampak yang terjadi

adalah : Gondok, Hypothyroidisme, gangguan fungsi mental dan pertumbuhan, bertambahnya kerentanan terhadap radiasi nuklir.

2.3.5. Endemisitas GAKI

Tingkat endemisitas GAKI memengaruhi defisiensi iodium. Suatu daerah disebut daerah endemik kekurangan iodium bila tanah dan airnya sangat kekurangan iodium. Daerah-daerah pegunungan merupakan daerah endemik GAKI. Hal ini terjadi karena daerah-daerah ini sering mengalami kekurangan iodium disebabkan sering terjadinya erosi, banjir, hujan lebat yang membawa yodium hanyut ke laut. Akibatnya tanah, air, tanaman dan binatang yang hidup di wilayah tersebut sedikit mengandung yodium sehingga penduduk yang tinggal di daerah endemik ini berisiko mengalami kekurangan iodium jika hanya tergantung pada hasil tanaman daerah tersebut (Hetzel, 1996).

Indikator yang dapat digunakan untuk menentukan tingkat endemisitas GAKI pada suatu daerah adalah TGR. Menurut WHO (2001) apabila di suatu daerah ditemukan jumlah penderita gondok/TGR ≥ 5% dari jumlah penduduk, maka daerah tersebut disebut daerah endemis. Kriteria epidemiologis untuk menilai endemisitas


(57)

GAKI suatu daerah berdasarkan indikator TGR adalah non endemis jika TGR < 5% ; endemis ringan jika TGR 5,0 – 19,9 % ; endemis sedang jika TGR 20,0 – 29,9% ; dan endemis berat jika TGR ≥ 30 %.

Daerah endemis GAKI masih banyak di Indonesia. Dari 28 Propinsi ,7 propinsi (25%) merupakan daerah non endemis, 17 propinsi (60,8%) endemis ringan, 2 propinsi (&,1%) endemis sedang, dan 2 propinsi (7,1%) endemis berat. Dari 342 Kabupaten/kota 148(43,3%) Kabupaten non endemis, 122 (35,7%) Kabupaten endemis ringan, 42(12,2%) endemis sedang, dan 30 (8,8%) endemis berat.

2.3.6. Upaya Penanggulangan GAKI

Di Indonesia upaya penanggulangan GAKI sudah dilakukan sejak tahun 1970-an berupa program “Iodisasi garam”. Iodisasi garam merupakan strategi jangka panjang, yaitu fortifikasi garam dengan KIO3, tujuannya semua garam konsumsi harus mengandung iodium minimal 30 – 80 ppm Kalium Yodat tersedia di pasar/masyarakat. Program garam beryodium ini bertujuan Universal Salt Iodisation (USI) di mana 90 % masyarakat mengkonsumsi garam mengandung cukup yodium (30 ppm).

Program jangka panjang lainnya adalah Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), merupakan strategi memberdayakan masyarakat dan seluruh komponen terkait agar satu visi dan misi untuk menanggulangi GAKI melalui kegiatan pemasyarakatan informasi, advokasi, pendidikan / penyuluhan tentang ancaman GAKI bagi kualitas SDM, pentingnya mengkonsumsi garam beryodium, loew inforcement dan sosial


(58)

inforcement, hak memperoleh kapsul iodium bagi daerah endemik, dan penganeka ragaman konsumsi pangan (Depkes, 2004).

Tahun 1980 dilakukan program pengobatan dengan suntikan “lipiodol”. Pada tahun 1990-an suntikan ini diganti dengan suplemen “kapsul minyak beryodium”, dengan sasaran khusus ibu hamil, ibu menyusui, wanita usia subur, dan anak sekolah didaerah rawan GAKI. Pemberian kapsul minyak beryodium merupakan strategi jangka pendek untuk penanggulangan GAKI. Program ini dilakukan dalam rangka mempercepat perbaikan status iodium masyarakat khususnya daerah endemik sedang dan berat pada kelompok rawan. Kapsul minyak beryodium 200 mg diberikan pada kelompok sasaran wanita usia subur 2 kapsul/tahun ; 1 kapsul pertahun untuk ibu hamil, ibu meneteki, dan anak SD/MI (Depkes, 2000).

Sejak tahun 1997 dilakukan program penanggulangan GAKI secara intensif yang dibiayai oleh Bank Dunia melalui Proyek Intensifikasi Penanggulangan GAKI (IP-GAKI) yaitu iodisasi garam, pemberian kapsul minyak beryodium, komunikasi informasi edukasi (KIE), Monitoring dan Evaluasi. Namun masalah GAKI belum dapat dikatakan tuntas, karena secara nasional TGR masih di atas 5 % yaitu 11 % (sesuai ketentuan WHO, GAKI tidak menjadi masalah kesehatan masyarakat apabila TGR dalam populasi < 5 % ) (Depkes, 2003)

Hasil yang dicapai dalam program yodisasi garam menurut survey GAKI tahun 2003 adalah proporsi rumah tangga yang mengkonsumsi garam mengandung cukup yodium baru 61,4 % ; cakupan distribusi kapsul beryodium pada wanita usia subur (WUS) di daerah endemik sedang dan berat masih rendah (33%) dan pada anak


(59)

sekolah di daerah endemis berat juga rendah (48%). Jumlah produsen garam beryodium tahun 2003 sebanyak 376 tetapi baru 236 produsen yang memenuhi syarat Standar Nasional Indonesia (SNI) (Depkes, 2003).

2.4. Landasan Teori

Daerah endemis GAKI Sosial Ekonomi Keluarga

Intake zat Gizi : - Konsumsi Energi - Konsumsi Protein

Defisiensi Yodium - Konsumsi Yodium rendah Dalam bahan makanan - Konsumsi makanan yang mengandung zat goitrogenik

Gangguan Pertumbuhan Infeksi

TBABS

Sumber :Greenspan, (2000); Guyton (1997); Soekirman, (2000); Atmarita, (20004); Styne, (2000)


(60)

2.5. Kerangka Konsep

Variabel Independen Variabel Dependen

Tinggi Badan Anak Baru

Sosial Ekonomi Keluarga Masuk Sekolah (TBABS) - Pendidikan - Stunted

- Pekerjaan

- Pendapatan

Intake Zat Gizi :

1. Energi Tinggi Badan Anak Baru

2. Protein Masuk Sekolah (TBABS)

3.Iodium - Tidak stunted

Gambar 4 : Kerangka Konsep Penelitian


(61)

BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah survai analitik dengan pendekatan case control study. untuk mengetahui pengaruh sosial ekonomi keluarga, dengan intake zat gizi terhadap tinggi badan anak baru masuk sekolah di daerah endemis GAKI di Kabupaten Dairi tahun 2008.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan di Kecamatan Parbuluan, Kabupaten Dairi, Propinsi Sumatera Utara dengan pertimbangan wilayah ini merupakan daerah endemis GAKI. Di kecamatan ini diambil pada 1 SD, yakni SD Negeri Bangun karena dari 17 SD yang terdapat di Kecamatan Parbuluan dan berdasarkan dari hasil survei awal bahwa SD Negri Bangun merupakan salah satu SD dimana jumlah murid yang mengalami stunted lebih banyak dibanding dengan SD lainnya (terdapat 48 anak dari 85 anak yang ada di SD Negri Bangun). Waktu penelitian dilakukan pada bulan Agustus s/d Desember 2008.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi penelitian adalah keluarga yang mempunyai anak sekolah dasar (Anak SD kelas 1) di SD Bangun, Kecamatan Parbuluhan di Kabupaten Dairi.


(62)

3.3.2. Besar Sampel

Besar sampel dihitung menggunakan rumus : Lemenshow, (1997). 2 2 2 1 ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − ÷ = P z z n PQ β α Î ) 1 ( R R P +

= dan Q=(1−p)

Keterangan :

R= Perkiraan Odds Ratio = 3 (Norliani, 2004)

α = 0,05 Zα= 1,64

=

β

0,10 Zβ= 1,28 2 2 1 4 3 4 1 . 4 3 28 , 1 2 64 , 1 ⎥ ⎥ ⎥ ⎥ ⎦ ⎤ ⎢ ⎢ ⎢ ⎢ ⎣ ⎡ ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ − + = n 2 25 , 0 554 , 0 82 , 0 ⎥⎦ ⎤ ⎢⎣ ⎡ + = n 217 , 30 = n

Sehingga jumlah sampel minimal untuk kasus 31 dan untuk kontrol 31.Adapun kriteria inklusi sampel adalah :

a. Keluarga yang memiliki anak usia sekolah SD b. Sudah tinggal di daerah penelitian minimal 6 bulan

c. Bersedia untuk menjadi subyek selama penelitian berlangsung dengan menandatangani informed concent.

Kriteria eksklusinya adalah

1) Anak pindahan dari luar kecamatan lokasi penelitian 2) Tidak tinggal bersama orang tuanya.


(63)

3.4. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data diperoleh dengan dua cara :

3.4.1. Data Primer

Data primer dalam penelitian ini meliputi data TBABS, yaitu data TBABS dengan melakukan pengukuran TBABS dengan menggunakan “Mikrotoice”(baca : Mikrotoa) dengan ketelitian 0,1 cm, dengan mekanisme pengukuran adalah :

1. Mikrotoice diletakkan di lantai yang datar, pita ditarik sampai menunjukkan titik nol tepat di garis merah pada alat tersebut, ujung pita dipakukan pada dinding (bidang datar) atau tiang yang lurus dan rata, pita dalam keadaan tegang.

2. Alas kaki dilepas. Anak berdiri tegak membelakangi dinding/tiang, kaki sejajar alat pengukur, tumit, bokong, punggung dan kepala bagian belakang menempel ke dinding/tiang dalam posisi sikap tegak, muka memandang lurus ke depan. 3. Turunkan mikrotoice sampai rata pada kepala bagian atas. Kemudian tinggi

badan dapat dibaca pada angka skala yang tepat pada tanda garis merah dengan ketelitian 0,1 cm.

Selain itu data sosial ekonomi dan pola makan anak diperoleh dengan teknik wawancara yang dilakukan terhadap ibu anak SD kelas 1 dirumahnya dengan berpedoman kepada kuisioner. Kuesioner yang telah disusun terlebih dahulu dilakukan uji coba terhadap 20 responden guna memperoleh validitas dan reliabilitas alat ukur. Uji validitas dilakukan dengan cara mengukur korelasi setiap item pertanyaan dengan skor total variabel yang dilihat dari nilai corrected item total


(1)

Pendidikan Ayah * TBAS

Crosstab

16 20 36

25.8% 32.3% 58.1%

15 11 26

24.2% 17.7% 41.9%

31 31 62

50.0% 50.0% 100.0% Count

% of Total Count % of Total Count % of Total Tinggi

Rendah Pendidikan

Ayah

Total

Tidak Stunted Stunted TBAS

Total

Chi-Square Tests

1.060b 1 .303

.596 1 .440

1.063 1 .302

.440 .220

1.043 1 .307

62 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 13.00.

b.

Risk Estimate

.587 .212 1.625

.770 .471 1.260

1.313 .769 2.243 62

Odds Ratio for Pendidikan Ayah (Tinggi / Rendah) For cohort TBAS = Tidak Stunted For cohort TBAS = Stunted

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Confidence


(2)

Pendidikan Ibu * TBAS

Crosstab

19 9 28

30.6% 14.5% 45.2%

12 22 34

19.4% 35.5% 54.8%

31 31 62

50.0% 50.0% 100.0% Count

% of Total Count % of Total Count % of Total Tinggi

Rendah Pendidikan

Ibu

Total

Tidak Stunted Stunted TBAS

Total

Chi-Square Tests

6.513b 1 .011

5.275 1 .022

6.637 1 .010

.021 .010

6.408 1 .011

62 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 14.00.

b.

Risk Estimate

3.870 1.341 11.172

1.923 1.141 3.239

.497 .275 .899 62

Odds Ratio for Pendidikan Ibu (Tinggi / Rendah) For cohort TBAS = Tidak Stunted For cohort TBAS = Stunted

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Confidence


(3)

Pendapatan Responden * TBAS

Crosstab

19 23 42

30.6% 37.1% 67.7%

12 8 20

19.4% 12.9% 32.3%

31 31 62

50.0% 50.0% 100.0% Count

% of Total Count % of Total Count % of Total < Rp. 761.000/bulan

>= Rp. 761.000/bulan Pendapatan

Responden

Total

Tidak Stunted Stunted TBAS

Total

Chi-Square Tests

1.181b 1 .277

.664 1 .415

1.187 1 .276

.416 .208

1.162 1 .281

62 Pearson Chi-Square

Continuity Correctiona

Likelihood Ratio Fisher's Exact Test Linear-by-Linear Association N of Valid Cases

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Computed only for a 2x2 table a.

0 cells (.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10.00.

b.

Risk Estimate

.551 .187 1.624

.754 .463 1.229

1.369 .749 2.502 62

Odds Ratio for

Pendapatan Responden (< Rp. 761.000/bulan / >= Rp. 761.000/bulan) For cohort TBAS = Tidak Stunted

For cohort TBAS = Stunted

N of Valid Cases

Value Lower Upper 95% Confidence


(4)

Logistic Regression

Case Processing Summary

62 100.0

0 .0

62 100.0

0 .0

62 100.0 Unweighted Casesa

Included in Analysis Missing Cases Total

Selected Cases

Unselected Cases Total

N Percent

If weight is in effect, see classification table for the total number of cases.

a.

Dependent Variable Encoding

0 1 Original Value

Tidak Stunted Stunted

Internal Value

Block 0: Beginning Block

Classification Table a,b

0 31 .0

0 31 100.0

50.0 Observed

Tidak Stunted Stunted TBAS

Overall Percentage Step 0

Tidak Stunted Stunted

TBAS Percentage

Correct Predicted

Constant is included in the model. a.

The cut value is .500 b.

Variables in the Equation

.000 .254 .000 1 1.000 1.000 Constant

Step 0

B S.E. Wald df Sig. Exp(B)

Variables not in the Equation

1.620 1 .203

.051 1 .820

6.665 1 .010

6.798 1 .009

7.828 1 .005

7.045 1 .008

18.459 6 .005

KRJA_IBU DIDK.AYH DIDK.IBU PROTEIN ENERGI YODIUM Variables

Overall Statistics Step

0


(5)

Variables in the Equation

.527 .674 .612 1 .434 1.694 .452 6.349

1.704 .760 5.031 1 .025 5.494 1.240 24.348

.677 .719 .886 1 .347 1.969 .481 8.064

1.574 .742 4.498 1 .034 4.825 1.127 20.663

2.491 1.026 5.894 1 .015 12.069 1.616 90.144

.485 .793 .375 1 .541 1.624 .344 7.681

-5.122 1.420 13.014 1 .000 .006

KRJA_IBU KERJ.AYH DDIK.IBU PROTEIN IODIUM ENERGY Constant Step

1a

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: KRJA_IBU, KERJ.AYH, DDIK.IBU, PROTEIN, IODIUM, ENERGY. a.

Block 1: Method = Forward Stepwise (Conditional)

Omnibus Tests of Model Coefficients

8.177 1 .004

8.177 1 .004

8.177 1 .004

7.979 1 .005

16.155 2 .000 16.155 2 .000 Step

Block Model Step Block Model Step 1

Step 2

Chi-square df Sig.

Model Summary

77.774 .124 .165 69.795 .229 .306 Step

1 2

-2 Log likelihood

Cox & Snell R Square

Nagelkerke R Square

Classification Tablea

14 17 45.2

4 27 87.1

66.1

25 6 80.6

10 21 67.7

74.2 Observed

Tidak Stunted Stunted TBAS

Overall Percentage

Tidak Stunted Stunted TBAS

Overall Percentage Step 1

Step 2

Tidak Stunted Stunted

TBAS Percentage Correct Predicted

The cut value is .500 a.


(6)

Variables in the Equation

1.715 .646 7.052 1 .008 5.559 1.567 19.717

-1.253 .567 4.883 1 .027 .286

1.655 .617 7.196 1 .007 5.235 1.562 17.545

1.948 .698 7.786 1 .005 7.016 1.786 27.564

-2.443 .777 9.878 1 .002 .087

IODIUM Constant Step

1a

PROTEIN IODIUM Constant Step

2b

B S.E. Wald df Sig. Exp(B) Lower Upper

95.0% C.I.for EXP(B)

Variable(s) entered on step 1: IODIUM. a.

Variable(s) entered on step 2: PROTEIN. b.

Model if Term Removeda

-43.012 8.249 1 .004

-38.944 8.092 1 .004

-39.570 9.345 1 .002

Variable

ENERGI Step 1

PROTEIN ENERGI Step 2

Model Log Likelihood

Change in -2 Log

Likelihood df

Sig. of the Change

Based on conditional parameter estimates a.

Variables not in the Equation

1.064 1 .302

.235 1 .628

4.743 1 .029

7.743 1 .005

1.953 1 .162

12.405 5 .030

1.059 1 .303

.474 1 .491

2.092 1 .148

1.272 1 .259

4.976 4 .290

KRJA_IBU DIDK.AYH DIDK.IBU PROTEIN YODIUM Variables

Overall Statistics Step

1

KRJA_IBU DIDK.AYH DIDK.IBU YODIUM Variables

Overall Statistics Step

2