Hubungan Pekerjaan Ibu dan Ayah dengan TBABS Hubungan Pendapatan Keluarga dengan TBABS

b. Hubungan Pekerjaan Ibu dan Ayah dengan TBABS

Hasil penelitian menunjukkan bahwa proporsi anak dengan TBABS kategori stuntet diketahui 61,9 berasal dari ayah yang bekerja dan 57,6 juga terdapat pada ibu yang bekerja. Hasil uji chi square menunjukkan ada hubungan signifikan antara pekerjaan ayah dan ibu dengan TBABS p0,05. Pekerjaan dalam penelitian ini adalah aktivitas ibu sehari-hari yang menghasilkan pendapatan untuk pemenuhan kebutuhan zat gizi keluarga. Menurut Arisman 2002, jenis pekerjaan ibu berhubungan dengan bahan makanan dan pemenuhan kecukupan zat gizi keluarga. Adanya hubungan pekerjaan dengan TBABS, karena orang tua yang mempunyai anak usia sekolah tersebut lebih dominan mempunyai aktivitas pekerjaannya di luar rumah. Berdasarkan data profil Kecamatan kecamatan Parbuluan, umumnya masyarakat mempunyai pekerjaan sebagai petani, sehingga aktivitas mereka cenderung lebih banyak di sawah dan diladang, sementara pemenuhan kebutuhan zat gizi untuk keluarga khususnya anak cenderung relatif kurang diperhatikan.

c. Hubungan Pendapatan Keluarga dengan TBABS

Hasil uji chi square menunjukkan tidak ada hubungan signifikan antara pendapatan keluarga dengan TBABS dengan nilai signifikansi sebesar 0,277, artinya Universitas Sumatera Utara seberapapun pendapatan keluarga dalam sebulan tidak menunjukkan hubungan dengan TBABS anak dalam keluarga. Fenomena ini menggambarkan bahwa kondisi di kecamatan Parbuluan merupakan daerah pertanian, sehingga umumnya masyarakat mempunyai penghasilan yang minim, sehingga untuk memenuhi kebutuhan yang lebih cenderung tidak dapat dipenuhi. Namun makanan yang bergizi tersebut secara umum terdapat di wilayah pertanian, kemudahan mereka mendapatkan jenis bahan makanan hijau dan bergizi cenderung lebih mudah. Berbeda dengan penelitian Norliani 2005, hasilnya menunjukkan bahwa faktor sosial ekonomi memberikan hubungan selisih tinggi badan sebesar 10 – 12 cm dibandingkan faktor genetika yang hanya menyumbang sedikit 2 – 3 cm terhadap kenaikan pertumbuhan tinggi badan anak. Sejalan dengan penelitian Reinhard and Wijayaratne, 2001 bahwa stunting berkaitan dengan kemiskinan dan kondisi sosial ekonomi yang rendah dan sudah berlangsung lama merupakan efek kumulatif. Sependapat juga dengan Aritonang 1994 yang menyatakan bahwa status sosial ekonomi berpengaruh langsung terhadap kemampuan keluarga untuk memenuhi kebutuhan akan makanan, terhadap praktek pemberian makanan pada bayi, praktek pemeliharaan kesehatan dan sanitasi lingkungan yang akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan, dan dampaknya secara keseluruhan adalah adanya gangguan pertumbuhan pada anak. Menurut Sulistijani, 2001 pendapatan keluarga yang memadai akan menunjang tumbuh kembang anak, karena orang tua dapat menyediakan semua kebutuhan anak baik yang primer maupun yang sekunder. Universitas Sumatera Utara

5.5. Hubungan Intake Zat Gizi dengan Tinggi Badan Anak Baru Masuk