Hubungan Kondisi Kerja Dan Karakteristik Individual Dengan Stres Kerja Pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam 2008

(1)

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Oleh

TRI SUMARNI SIBORO

077010010/IKM

S

E K O L AH

P A

S C

A S A R JA

NA

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(2)

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan dalam Program Studi Magister Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara

Oleh

TRI SUMARNI SIBORO

077010010/IKM

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2009


(3)

Judul Tesis : HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLS II B LUBUK PAKAM 2008

Nama Mahasiswa : Tri Sumarni Siboro Nomor Pokok : 077010010

Program Studi : Ilmu Kesehatan Masyarakat

Kekhususan : Kesehatan Kerja

Mengetahui Komisi Pembimbing

(Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp. PD.K.Psi) Ketua

(Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi) Anggota

Ketua Program Studi Direktur,

(Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM) (Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc)


(4)

Telah diuji pada

Tanggal : 26 Mei 2009

PANITIA PENGUJI TESIS :

Ketua : Prof. Dr. Habibah. Nst, Sp.PD.K.Psi Anggota : 1. Ferry Novliadi, S.Psi. M.Psi

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM 3. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK


(5)

PERNYATAAN

HUBUNGAN KONDISI KERJA DAN KARAKTERISTIK

INDIVIDUAL DENGAN STRES KERJA PADA PEGAWAI

LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II B

LUBUK PAKAM 2008

TESIS

Dengan ini menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesarjanaan di suatu Perguruan Tinggi dan sepanjang pengetahuan saya tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain kecuali secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebut dalam daftar pustaka.

Medan, Mei 2009

Penulis,


(6)

ABSTRAK

Pada umumnya pekerja akan mengalami stress kerja bila mereka berfikir bahwa bahwa pekerjaan itu mengancam, terlebih bagi mereka yang tidak mempunyai banyak peluang untuk bekerja di tempat lain. Pegawai Lembaga Pemasyarakatan sangat berperan dalam pelayanan dan pembinaan kepada masyarakat dan warga Binaan itu sendiri. Setiap kegiatan di dalam ruang kerja dapat menjadi stressor bagi pegawai, di mana pegawai Lapas selalu berinteraksi dengan tahanan/narapidana yang hampir seluruhnya mempunyai temperamen keras didukung dengan situasi Lembaga Pemasyarakatan yang dikelilingi tembok yang tinggi mengakibatkan pegawai Lembaga Pemasyarakatan merasa terasing.

Penelitian ini bertujuan mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja pegawai Lapas klas II B L. Pakam.

Penelitian ini adalah penelitian crossectional dengan sampel terdiri 86 orang pegawai analisa data dengan menggunakan Chi-Square.

Hasil uji Chi-Square antara kondisi kerja dengan stress kerja menunjukkan terdapat hubungan yang bermakna di mana (P< 0,05) begitu juga dengan hubungan karakteristik individual masa kerja mempunyai hubungan yang bermakna dengan stres kerja sedangkan karakteristik Individual (umur, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja tidak menunjukkan hubungan yang bermakna.

Stres kerja perlu dikendalikan oleh pihak Lembaga Pemasyarakatan dan pegawai Lembaga Pemasyarakatan itu sendiri sebagai upaya pengendalian dengan pencegahan terhadap terjadinya penyakit akibat kerja.


(7)

ABSTRACT

Generally workers will experince work stress when they think that the work is theratening, especially for those who do not have many oppurtunities to work in the other places. The staff of Penitentiary (Lembaga Pemasyarakatan) do play their role in providing service and development for the community and the inmates that any activity occurs in their working places can be a stressor to them because the staff of Penitentiary always interact with the inmates who, almost all of them, are highly temperamental and situation in the Penitentiary which is surrounded by high wall makes the staff of Penitentiary feel isolated.

The purpose of the cross-sectional study is to analyze the relationship between work condition and individual characteristic (age, lenght of service, marital status, education) and the work stress esperienced by the staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam. The samples for study were 86 staff of the Penitentiary class IIB Lubuk Pakam and the data obtained were analyzed through Chi-square test.

The result of Chi-square test shows that there is a significant relationship between work condition and work stress (p<0,05) and in terms of the individual characteristic, lenght of service has a significant relationship with work stress while age, marital status, education do not have any significant relationship with work stress.

It is suggested that the management and the staff of the Penitentiary themselve need to control the existing work stress as and attempt to prevent the incident of any illness because of work stress.


(8)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, atas segala berkat dan kemurahan-NYA memberikan kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyusun tesis ini dengan judul Hubungan Kondisi Kerja dan Karakteristik Individual dengan Stres Kerja pada Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam 2008. Tesis ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Strata 2 pada Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada yang terhormat:

1. Prof. Dr. Ir. T. Chairun Nisa B, M.Sc selaku Direktur Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

2. Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, MKM selaku Ketua Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara dan sebagai Komisi Pembanding yang telah banyak memberi masukan dan saran untuk penyempurnaan tesis ini.

3. Prof. Dr. Habibah Hanum, Sp.PD-K.Psi selaku Ketua Komisi Pembimbing yang selalu bersedia meluangkan waktu untuk memberikan masukan dan pemikiran dengan penuh kesabaran di tengah-tengah kesibukannya.

4. Ferry Novliadi, S.Psi, M.Psi selaku Anggota Pembimbing yang telah memberikan saran-saran dan masukan serta dorongan dalam menyelesaikan tesis ini.

5. dr. Halinda Sari Lubis, MKKK selaku Komisi Pembanding yang banyak memberikan masukan dan saran untuk penyempurnaan penulisan tesis ini. 6. Kalapas Klas II B Lubuk Pakam, yang memberi izin penelitian ini atas

informasi yang dibutuhkan untuk menyelesaikan tesis ini.

7. Seluruh Staf Dosen dan Administrasi Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Kekhususan Kesehatan Kerja pada Sekolah Pascasarjana


(9)

8. Orang tua, suami dan kedua ananda tercinta yang senantiasa memberikan dukungan, dan memberi semangat belajar dan inspirasi serta mendoakan selama penulis mengikuti perkuliahan hingga selesai pendidikan di Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat pada Sekolah Pascasarjana Universitas Sumatera Utara.

9. Rekan-rekan Mahasiswa Ilmu Kesehatan Masyarakat Angkatan 2007 dan teman lainnya yang telah banyak memberikan dukungan dan doa kepada penulis dan penelitian ini.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, dengan demikian sumbangan saran untuk perbaikan sangat diharapkan.

Akhirnya penulis berharap tesis ini bermanfaat bagi kesehatan masyarakat, khususnya pada Lembaga Pemasyarakatan.

Medan, Mei 2009 Penulis,


(10)

RIWAYAT HIDUP

NAMA : TRI SUMARNI SIBORO

TEMPAT/TGL LAHIR : PADANG/23 SEPTEMBER 1971 AGAMA : KRISTEN

ALAMAT : JL. PERBATASAN NO. 53 A BAKARAN BATU

LUBUK PAKAM

RIWAYAT PENDIDIKAN

TAHUN 1978-1984 : SDN PEMATANG SIANTAR TAHUN 1984-1987 : SMPN 4 PEMATANG SIANTAR

TAHUN 1987-1990 : SMA RK BUDI MULIA PEMATANG SIANTAR

TAHUN 1990-2000 : FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS

METHODIST INDONESIA

TAHUN 2007-2009 : PROGRAM STUDI ILMU KESEHATAN

MASYARAKAT KEKHUSUSAN KESEHATAN KERJA SEKOLAH PASCASARJANA UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

RIWAYAT PEKERJAAN

TAHUN 2000-2003 : DOKTER PTT PUSKESMAS MAKARTI JAYA PALEMBANG


(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... i

ABSTRACT... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN... x

BAB I PENDAHULUAN... 1

1.1. Latar Belakang ... 1

1.2.Permasalahan ... 7

1.3.Tujuan Penelitian ... 7

1.4.Hipotesis Penelitian... 7

1.5.Manfaat Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA... 8

2.1. Stres Kerja... 8

2.1.1. Faktor-faktor yang Menimbulkan Stres Kerja ... 10

2.1.2. Proses Stres ... 16

2.1.3. Gejala Stres ... 18

2.1.4. Dampak Stres Kerja ... 21

2.2. Kondisi Kerja ... 23

2.3. Karakteristik Pekerja... 25

2.3.1. Umur ... 25

2.3.2. Masa Kerja ... 26

2.3.3. Pendidikan... 26

2.3.4. Status Perkawinan ... 27

2.4. Lembaga Pemasyarakatan... 27

2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi ... 28

2.5. Kerangka Konsep Penelitian.. ... 34

BAB III METODE PENELITIAN... 35

3.1. Jenis Penelitian ... 35

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 35

3.3. Populasi dan Sampel ... 35

3.3.1. Populasi ... 35


(12)

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 36

3.4.1. Data Primer ... 36

3.4.2. Data Sekunder ... 36

3.5. Cara Pengumpulan Data... 36

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional... 37

3.6.1. Variabel Penelitian... 37

3.6.2. Definisi Operasional.... ... 37

3.7. Metode Pengukuran... 38

3.7.1. Pengukuran variabel... ... 39

3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa... 41

3.8.1. Pengolahan Data... .. ... 41

3.8.2. Analisa Data ... 41

BAB IV HASIL PENELITIAN... 43

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian... 42

4.1.1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam... 44

4.2. Karakteristik Sampel... 46

4.2.1. Umur... 46

4.2.2. Pendidikan... 47

4.2.3. Status Perkawinan... 48

4.2.4. Masa Kerja... 49

4.2.5. Tingkat Kondisi Kerja... 50

4.2.6. Tingkat Stres Kerja... 51

4.3. Hubungan Umur dengan Stress Kerja... 53

4.4. Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja ... 54

4.5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55

4.6. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56

4.7. Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Stres Kerja ... 57

BAB 5 PEMBAHASAN... 59

5.1. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 59

5.2. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 60

5.3. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 62

5.4. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 63

5.5. Hubungan Kondisi Kerja dengan Stres Kerja... 65

BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN... 67

6.1. Kesimpulan... 67

6.2. Saran... 67


(13)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman

3.1. Pengukuran Variabel... 39

3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stres Kerja... 40

4.1. Distribusi Pegawai Berdasarkan umur ... 46

4.2. Distribusi Pegawai Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan... 47

4.3. Distribusi Pegawai Berdasarkan Status Perkawinan... 48

4.4. Distribusi Pegawai Berdasarkan Masa Kerja... 49

4.5. Distribusi Pegawai Berdasarkan Kondisi Kerja... 50

4.6. Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Stres Kerja... 51

4.7. Hubungan Umur dengan Stres Kerja... 53

4.8. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja... 54

4.9. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja... 55

4.10. Hubungan Status Perkawinan dengan Stres Kerja... 56


(14)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1. Kerangka Konsep Penelitian... 34

3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat... 40

4.1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam... 45

4.2. Karakteristik Sampel Berdasarkan Umur... 46

4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan... 47

4.4. Karakteristik Sampel Berdasarkan Status Perkawinan... 48

4.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Masa Kerja... 49

4.6. Skala Interval Kondisi Kerja pada Distribusi Normal... 50

4.7. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kerja... 51

4.8. Tingkat Stres Kerja... 52


(15)

DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Judul Halaman

1. Karakteristik Individu... 71

2. Kuesioner... 72

3. Kuesioner Stres Kerja... 74

4. Master Data... 76

5. Tabel Frekuensi... 82

6. Master Tabel... 88

7. Surat Izin Penelitian... 94

8. Surat Izin Telah Melakukan Penelitian... 95


(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pengertian sehat adalah keseimbangan yang mencakup empat aspek yaitu: fisik (badan), mental (jiwa), sosial dan ekonomi. Keempat dimensi tersebut saling mempengaruhi dalam mewujudkan tingkat kesehatan pada seseorang, kelompok, atau masyarakat dan menurut Undang-Undang Kesehatan No. 23 Tahun 1992, memberikan batasan kesehatan adalah keadaan sejahtera badan, jiwa, dan sosial dan ekonomi yang memungkinkan orang hidup produktif secara sosial dan ekonomi (Notoatmodjo, 2004).

Kondisi kerja merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap semangat bekerja dan memungkinkan banyaknya terjadi bahaya bagi pekerja itu sendiri. Kondisi kerja yang baik ditandai oleh peredaran udara yang baik, penerangan lampu yang terang, jauh dari kebisingan, tata ruang yang baik. Kondisi kerja mencakup lingkungan secara fisik dan sosial misalnya hubungan dengan teman sekerja, hubungan atasan dengan bawahan, dan rasa aman bagi pekerja itu sendiri saat melakukan pekerjaan (Anoraga, 2006).

Secara umum orang berpendapat bahwa jika seseorang dihadapkan pada tuntutan pekerjaan yang melampaui kemampuan individu tersebut, maka dikatakan individu itu mengalami stres kerja. Stres merupakan suatu keadaan di mana seseorang


(17)

mengalami gangguan emosi karena adanya kondisi yang mempengaruhi dirinya yang dapat diperoleh dari dalam maupun dari luar diri seseorang (Ulhaq, 2008).

Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) merupakan suatu institusi yang memiliki tujuan membentuk warga binaan pemasyarakatan agar menjadi manusia seutuhnya, menyadari kesalahan, memperbaiki diri dan tidak mengulangi tindak pidana sehingga dapat diterima kembali oleh lingkungan masyarakat, dapat aktif berperan dalam pembangunan dan hidup secara wajar sebagai warga yang baik dan bertanggung jawab. Untuk mewujudkan hal tersebut maka petugas Lapas harus dapat melaksanakan tugas pokok dan fungsinya secara optimal. Kelebihan tingkat hunian merupakan permasalahan utama yang dihadapi Lapas dan Rumah Tahanan (Rutan) di seluruh Indonesia. Tingkat hunian yang melebihi daya tampung ini sangat menyulitkan baik dalam segi pembinaan, pengawasan, maupun pemeliharaan sanitasi para warga binaan itu sendiri.

Menurut Dirjen Pemasyarakatan Untung Sugiono, jumlah narapidana di Indonesia mencapai 132.000 orang, sedangkan daya tampung maksimal Lapas sebanyak 80.000 orang, data dari Registrasi Statistik Ditjen Pemasyarakatan, bahwa sampai Januari 2007 kelebihan kapasitas Lapas/Rutan di Indonesia mencapai 54,73% yaitu kapasitas hunian Lapas/Rutan yang hanya mampu menampung 76.550 orang maka sampai Januari 2007 dihuni sebanyak 118.453 orang. Bahkan, beberapa Lapas/Rutan ada over kapasitas sampai melebihi 100% (Hukum HAM, 2007). Lembaga Pemasyarakatan Kls II B Lubuk Pakam mempunyai kapasitas 350 orang tetapi diisi 950 orang tahanan/narapidana.


(18)

Selain kapasitas yang melebihi daya tampung, maka usia dan lamanya hukuman serta latar belakang penghuni penjara yang sangat bervariasi seperti pencuri, perampok, penipu, pembunuh atau pemerkosa bahkan pengedar narkoba, penjudi, bandar judi serta koruptor, menyebabkan pengelolaan lapas menjadi sangat kompleks dan memerlukan penyesuaian ataupun perubahan. Permasalahan lain yang perlu juga diperhatikan adalah kondisi lingkungan kerja dari Lapas itu sendiri, di mana suasana kerja petugas pengaman yang monoton dan bergaul dengan penghuni Lapas dengan temperamen yang keras, disertai dengan lingkungan yang dikelilingi tembok yang tinggi, sehingga dengan cepat memicu terjadinya kebosanan. Tingginya tembok Lapas yang berukuran tinggi ± 3 meter, mengakibatkan sirkulasi udara tidak lancar menyebabkan temperatur udara yang panas dan pengap sehingga menimbulkan stres dan berefek kepada kesehatan pekerja.

Akibat kompleksnya permasalahan yang timbul dalam kondisi kerja lembaga pemasyarakatan dan rumah tahanan, berakibat pada tuntutan tugas yang melebihi kemampuan dari para Pegawai Lapas dan Pegawai Rutan tersebut. Pegawai Lapas mempunyai beban dan tanggung jawab yang tinggi dalam melaksanakan tugasnya, karena yang dibina para pelanggar hukum. Resiko kerja yang dialami oleh para pegawai sangat berat dan tidaklah seimbang dengan kesejahteraan yang diterima oleh pegawai Lapas, sehingga memungkinkan terjadinya pungutan liar oleh pegawai terhadap warga binaan atau masyarakat yang ingin menjenguk keluarganya (Rohimat, 2007).


(19)

Permasalahan tersebut menjadi pemicu dari peningkatan premanisme, pelarian, perkelahian, pemberontakan, kerusuhan, huru hara dan penyebaran penyakit menular di Lapas. Kurangnya jumlah pegawai Lapas secara kuantitatif dan kualitatif merupakan faktor pendukung terjadinya hal-hal tersebut di atas (Rachmayanthy, 2007). Beratnya beban kerja yang dialami pegawai Lapas terutama pegawai Lapas harus membina para tahanan dari segi fisik, psikis dan spiritual dapat menyebabkan timbulnya stres. Sesuai dengan penelitian Firmanto (2006) bahwa sebanyak 85% pegawai Lapas Klas I Surabaya mengalami stres kerja karena adanya ketidaksesuaian antara tuntutan yang berkaitan dengan tugas pokok pegawai dan peraturan yang berlaku serta situasi, kondisi dan fasilitas lingkungan kerja tersebut, sehingga memicu terjadinya stres fisiologis dan psikologis. Adapun gejala stres di tempat kerja meliputi kepuasan kerja yang rendah, kinerja yang menurun, semangat dan energi menjadi hilang, komunikasi tidak lancar pengambilan keputusan jelek dan kreativitas dan inovasi kurang serta bergulat pada tugas-tugas yang tidak produktif.

Keith Davis (1985) mengatakan bahwa stres sebagai suatu kondisi ketegangan yang mempengaruhi emosi, proses pikiran, dan kondisi fisik seseorang. Stres yang dialami seseorang tentunya akan mengganggu kesehatannya. Hasil Penelitian Plaut dan Friedman (1981), Baker (1985) menyatakan bahwa stres yang dialami seseorang akan menurunkan daya tahan tubuh terhadap serangan penyakit dengan cara menurunkan jumlah fighting desease cells, sehingga seseorang lebih mudah terinfeksi penyakit, terkena alergi dan untuk menyembuhkannya memerlukan waktu yang lama karena produksi sel-sel kekebalan tubuh menurun.


(20)

Penurunan status kesehatan ini tentunya akan menurunkan kinerja yang pada akhirnya juga menurunkan produktivitas kerja. Kondisi tersebut akan mempengaruhi perusahaan tempat bekerja, di mana perusahaan akan mengalami kerugian finansial karena tidak seimbangnya antara produktivitas dengan biaya yang dikeluarkan untuk membayar gaji, tunjangan dan fasilitas lainnya. Banyak karyawan yang tidak masuk kerja dengan berbagai alasan, atau pekerjaan tidak selesai pada waktunya karena kelambanan ataupun kesalahan yang berulang (Rini, 2002).

Pegawai Lapas kemungkinan besar mengalami stres kerja, stress kerja adalah suatu perasaan tertekan yang dialami karyawan dalam menghadapi pekerjaan yang disebabkan oleh stressor dari lingkungan kerja seperti faktor lingkungan fisik, faktor organisasional dan faktor individu (Sasono, 2008).

Kondisi lingkungan kerja fisik ini bisa berupa suhu yang terlalu panas, terlalu dingin, terlalu sesak, kurang cahaya, dan semacamnya. Ruangan yang terlalu panas menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya, begitu juga ruangan yang terlalu dingin. Panas tidak hanya dalam pengertian temperatur udara tetapi juga sirkulasi atau arus udara. Di samping itu, kebisingan juga memberi andil tidak kecil munculnya stres kerja, sebab beberapa orang sangat sensitif pada kebisingan dibanding yang lain (Margiati, 1999).

Hasil penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Tenaga Kerja Jepang terhadap 12.000 perusahaan yang melibatkan sekitar 16.000 pekerja di negara tersebut yang dipilih secara acak telah menunjukkan hasil bahwa ditemukan sebanyak 65% pekerja mengeluhkan kelelahan fisik akibat kerja rutin, sebanyak 48% mengeluhkan kelelahan mental dan sekitar 57% pekerja mengeluh stres berat dan


(21)

merasa tersisihkan (Rahmad, 2001). Faktor individual adalah mencakup faktor-faktor dalam kehidupan pribadi karyawan seperti persoalan keluarga, masalah ekonomi pribadi dan karakteristik kepribadian bawaan. Survei nasional secara konsisten menunjukkan bahwa orang menganggap hubungan pribadi dan keluarga sangat berharga. Kesulitan pernikahan, pecahnya suatu hubungan dan kesulitan disiplin pada anak-anak merupakan contoh masalah hubungan yang menciptakan stres bagi para karyawan dan terbawa ke tempat kerja (Sasono, 2008).

Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berjumlah 86 orang dengan 55 orang bagian penjagaan, 31 orang bagian administrasi, yaitu: bagian Register 12 orang, bagian perawatan 4 orang, bagian bimbingan kerja 4 orang, bagian Tata Usaha 11 orang. Penjagaan dibagi dalam tiga shif, yaitu: pagi dari jam 07.00 WIB s/d 13.30 WIB, siang dari 13.30 WIB s/d 19.00 WIB, malam dari jam 19.00 WIB s/d 07.00 WIB. Hal ini berlaku juga bila tahanan/narapidana ada yang dirawat di rumah sakit. Bila ada tahanan/narapidana dirawat di rumah sakit yang bertanggung jawab untuk keamanannya adalah petugas pengamanan sehingga petugas harus benar-benar waspada terhadap tahanan/narapidana yang terkadang mengambil kesempatan untuk melarikan diri. Hasil wawancara pada uji pendahuluan yang dilakukan pada petugas pengaman Lapas di klinik Lapas Klas II B Lubuk Pakam, di mana pegawai mengeluhkan mengalami gangguan tidur sebanyak 15%, menurunnya nafsu makan dan gangguan pencernaan sebanyak 40%, keseimbangan kadar gula darah bagi yang berusia 40- 45 tahun sebanyak 7%, keluhan lain-lain sebanyak 37%.


(22)

Untuk mencegah keluhan yang ada maka perlu adanya suatu penelitian yang berkaitan dengan hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual dengan stres kerja pegawai di Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam.

1.2. Permasalahan

Bagaimana hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan kelas II B Lubuk Pakam 2008.

1.3. Tujuan Penelitian

1. Mengetahui kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.

2. Mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.

1.4. Hipotesis Penelitian

Ada hubungan kondisi kerja dan karakteristik individu dengan stres kerja pada pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam 2008.

1.5. Manfaat Penelitian

1. Sebagai masukan pada Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam tentang kondisi kerja dan karakteristik individual pegawai Lapas dengan stres kerja. 2. Menambah wawasan bagi peneliti lain guna pengembangan ilmu pengetahuan


(23)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Stres Kerja

Stres Kerja (Hans Selye, 1950) adalah respon tubuh yang sifatnya non spesifik terhadap setiap tuntutan beban atasnya, misalnya bagaimana respon tubuh seseorang manakala yang bersangkutan mengalami pekerjaan yang berlebihan. Bila ia sanggup mengatasinya artinya tidak ada gangguan fungsi organ tubuh, maka dikatakan yang bersangkutan tidak mengalami stres. Tetapi sebaliknya bila ternyata ia mengalami gangguan pada satu atau lebih fungsi organ tubuh mengakibatkan seseorang tidak lagi dapat menjalankan tugasnya dengan baik, maka ia disebut distres (Hawari, 2004).

Stres kerja dikatagorikan apabila seseorang mengalami stres dan melibatkan pihak organisasi tempat orang yang bersangkutan bekerja (Rice, 1992). Setiap aspek dari lingkungan kerja dapat dirasakan sebagai stres oleh tenaga kerja, tergantung dari persepsi tenaga kerja terhadap lingkungannya, apabila ia merasakan adanya stres atau tidak.

Luthans (2000) mendefinisikan stres sebagai suatu tanggapan dalam menyesuaikan diri yang dipengaruhi oleh perbedaan individu dan proses psikologis, sebagai konsekuensi dari tindakan lingkungan, situasi atau peristiwa yang terlalu banyak mengadakan tuntutan psikologis dan fisik seseorang. Oleh karena itu dapatlah disimpulkan bahwa stres kerja timbul karena tuntutan lingkungan dan tanggapan setiap individu dalam menghadapinya dapat berbeda.


(24)

Stres sebagai stimulus merupakan pendekatan yang menitikberatkan pada lingkungan. Definisi stimulus memandang stres sebagai suatu kekuatan yang menekan individu untuk memberikan tanggapan terhadap stressor. Pendekatan ini memandang stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Pendekatan stimulus-respon mendefinisikan stres sebagai konsekuensi dari interaksi antara stimulus lingkungan dengan respon individu. Stres dipandang tidak sekedar sebuah stimulus atau respon, melainkan stres merupakan hasil interaksi unik antara kondisi stimulus lingkungan dan kecenderungan individu untuk memberikan tanggapan.

Pada kalangan para pakar sampai saat ini belum terdapat kata sepakat dan kesamaan persepsi tentang batasan stres. Baron dan Greenberg dalam Margiati, (1999), mendefinisikan stres sebagai reaksi-reaksi emosional dan psikologis yang terjadi pada situasi di mana tujuan individu mendapat halangan dan tidak bisa mengatasinya. Aamodt dalam Margiati (1999) memandang stres sebagai respon adaptif yang merupakan karakteristik individual dan konsekuensi dan tindakan eksternal, situasi atau peristiwa yang terjadi baik secara fisik maupun psikologis.

Berbeda dengan pakar di atas, Landy dalam Margiati (1999), memahami stres sebagai ketidakseimbangan keinginan dan kemampuan memenuhinya sehingga menimbulkan konsekuensi penting bagi dirinya. Robbins memberikan definisi stres sebagai suatu kondisi dinamis di mana individu dihadapkan pada kesempatan, hambatan dan keinginan dan hasil yang diperoleh sangatlah penting tetapi tidak dapat dipastikan (Robbins dalam Dwiyanti, 2001).


(25)

Stres kerja dapat terjadi karena adanya ketidakseimbangan antara karakteristik kepribadian karyawan dengan karakteristik aspek-aspek pekerjaannya dan dapat terjadi pada semua kondisi pekerjaan. Adanya beberapa atribut tertentu dapat mempengaruhi daya tahan stres seorang karyawan. Masalah Stres kerja di dalam organisasi perusahaan menjadi gejala yang penting diamati sejak mulai timbulnya tuntutan untuk efisien di dalam pekerjaan. Akibat adanya stres kerja tersebut yaitu orang menjadi nervous, merasakan kecemasan yang kronis, peningkatan ketegangan pada emosi, proses berfikir dan gangguan fisik individu. Selain itu, sebagai hasil dari adanya stres kerja karyawan mengalami beberapa gejala stres yang dapat mengancam dan mengganggu pelaksanaan kerja mereka, seperti : mudah marah dan agresif, tidak dapat relaks, emosi yang tidak stabil, sikap tidak mau bekerja sama, perasaan tidak mampu terlibat, dan kesulitan dalam masalah tidur.

2.1.1. Faktor-faktor yang Menimbulkan Stres Kerja

Faktor-faktor yang menimbulkan stres dapat dikelompokkan ke dalam lima kategori besar yaitu faktor-faktor intrinsik dalam pekerjaan, peran dalam organisasi, pengembangan karir, hubungan dalam pekerjaan, serta struktur dan iklim organisasi Hurrel (Munandar, 2001).

1. Faktor-faktor Intrinsik dalam Pekerjaan

Termasuk dalam kategori ini tuntutan fisik dan tuntutan tugas. Tuntutan fisik misalnya faktor kebisingan. Sedangkan faktor-faktor tugas mencakup: kerja malam, beban kerja, dan penghayatan dari resiko dan bahaya.


(26)

a. Tuntutan fisik:

Kondisi fisik kerja mempunyai pengaruh terhadap faal dan psikologis diri seorang tenaga kerja. Kondisi fisik dapat merupakan pembangkit stres (stressor). Suara bising selain dapat menimbulkan gangguan sementara atau tetap pada alat pendengaran kita, juga dapat merupakan sumber stres yang menyebabkan peningkatan dari kesiagaan dan ketidakseimbangan psikologis kita. Kondisi demikian memudahkan timbulnya kecelakaan, misalnya tidak mendengar suara-suara peringatan sehingga timbul kecelakaan, bising yang berlebih (sekitar 80 desibel) yang berulangkali didengar, untuk jangka waktu yang lama, dapat menimbulkan stres. Dampak psikologis dari bising yang berlebih ialah mengurangi toleransi dari tenaga kerja terhadap pembangkit stress yang lain, dan menurunkan motivasi kerja (Anonymous, 2008).

b. Tuntutan tugas:

Penelitian menunjukkan bahwa shift kerja malam merupakan sumber utama dan stres bagi para pekerja pabrik. Para pekerja shift malam lebih sering mengeluh tentang kelelahan dan gangguan perut daripada para pekerja pagi/siang dan dampak dari kerja shift terhadap kebiasaan makan yang mungkin menyebabkan gangguan sistem pencernaan. Beban kerja berlebih dan beban kerja terlalu sedikit merupakan pembangkit stres. Beban kerja dapat dibedakan lebih lanjut ke dalam beban kerja berlebih/terlalu sedikit kuantitatif, yang timbul sebagai akibat dari tugas-tugas yang terlalu banyak/sedikit diberikan kepada tenaga kerja untuk diselesaikan dalam waktu tertentu, dan beban kerja berlebih/terlalu sedikit kualitatif, yaitu jika orang merasa


(27)

tidak mampu untuk melakukan suatu tugas, atau tugas yang tidak menggunakan ketrampilan dan atau potensi dari tenaga kerja. Di samping itu beban kerja berlebih kuantitatif dan kualitatif dapat menimbulkan jam kerja yang berlebihan, yang merupakan sumber tambahan dari stress, di mana beban berlebih secara fisikal ataupun mental, yang harus melakukan terlalu banyak hal, memungkinan sumber stress dari pekerjaan tersebut.

Unsur yang menimbulkan beban berlebih kuantitatif ialah desakan waktu, yaitu setiap tugas diharapkan dapat diselesaikan secepat mungkin secara tepat dan cermat sehingga meningkatkan motivasi dan menghasilkan prestasi kerja yang tinggi. Karena desakan waktu menyebabkan banyaknya kesalahan dan menyebabkan kondisi kesehatan seseorang berkurang, maka ini merupakan cerminan adanya beban berlebih secara kuantitatif. Beban kerja terlalu sedikit kuantitatif juga dapat mempengaruhi kesejahteraan psikologis seseorang. Pada pekerjaan yang sederhana, di mana banyak terjadi pengulangan gerak akan timbul rasa bosan, rasa monoton. Kebosanan dalam kerja rutin sehari-hari, sebagai hasil dari terlampau sedikitnya tugas yang harus dilakukan, dapat menghasilkan berkurangnya perhatian. Hal ini, secara potensial membahayakan jika tenaga kerja gagal untuk bertindak tepat dalam keadaan darurat. Beban berlebihan kualitatif merupakan pckerjaan yang dilakukan oleh manusia makin beralih titik beratnya pada pekerjaan otak. Pekerjaan makin menjadi majemuk. Kemajemukan pekerjaan yang harus dilakukan seorang tenaga kerja dapat dengan mudah berkembang menjadi beban berlebihan kualitatif jika kemajemukannya


(28)

memerlukan kemampuan teknikal dan intelektual yang lebih tinggi daripada yang dimiliki.

Pada titik tertentu kemajemukan pekerjaan tidak lagi produktif, tetapi menjadi destruktif. Pada titik tersebut kita telah melewati kemampuan kita untuk memecahkan masalah dan menalar dengan cara yang konstruktif. Timbullah kelelahan mental dan reaksi-reaksi emosional dan fisik. Penelitian menunjukkan bahwa kelelahan mental, sakit kepala, dan gangguan pada sistem pencernaan merupakan hasil dari kondisi kronis dari beban berlebih kualitatif. Beban terlalu sedikit kualitatif merupakan keadaan di mana tenaga kerja tidak diberi peluang untuk menggunakan ketrampilan yang diperolehnya, atau untuk mengembangkan kecakapan potensialnya secara penuh. Beban terlalu sedikit disebabkan kurang adanya rangsangan akan mengarah ke semangat dan motivasi yang rendah untuk kerja. Tenaga kerja akan merasa bahwa ia tidak maju-maju, dan merasa tidak berdaya untuk memperlihatkan bakat dan ketrampilannya (Anonymous, 2008).

2. Peran Individu dalam Organisasi

Setiap tenaga kerja bekerja sesuai dengan perannya dalam organisasi, artinya setiap tenaga kerja mempunyai kelompok tugasnya yang harus dilakukan sesuai dengan aturan yang ada dan sesuai dengan yang diharapkan oleh atasannya. Tenaga kerja tidak selalu berhasil untuk memainkan perannya tanpa menimbulkan masalah. Kurang baik berfungsinya peran, yang merupakan pembangkit stres yaitu meliputi konflik peran dan ketatalaksanaan peran.


(29)

a. Konflik peran

Konflik peran timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya:

1) Pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab. 2) Tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan

merupakan bagian dari pekerjaannya.

3) Tuntutan-tuntutan yang bertentangan dari atasan, rekan, bawahannya, atau orang lain yang dinilai penting bagi dirinya.

4) Pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya.

b. Ketatalaksaan peran: jika seorang pekerja tidak memiliki cukup informasi untuk dapat melaksanakan tugasnya, atau tidak mengerti atau merealisasi harapan-harapan yang berkaitan dengan peran tertentu. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan ketatalaksanaan meliputi ketidakjelasan dari tujuan-tujuan kerja.

1) Kesamaran tentang tanggung jawab. 2) Ketidakjelasan tentang prosedur kerja.

3) Kesamaran tentang apa yang diharapkan oleh orang lain. 4) Kurang adanya ketidakpastian tentang produktivitas kerja.

Stres yang timbul karena ketidakjelasan sasaran akhirnya mengarah ketidakpuasan pekerjaan, kurang memiliki kepercayaan diri, rasa tak berguna, rasa harga diri menurun, tidak ada motivasi kerja, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi bertambah cepat, dan kecenderungan untuk meninggalkan pekerjaan, bila pekerja mangalami depresi (Anonymous, 2007).


(30)

3. Pengembangan karir

Unsur-unsur penting pengembangan karir meliputi:

1) Peluang untuk menggunakan ketrampilan jabatan sepenuhnya. 2) Peluang mengembangkan ketrampilan yang baru.

3) Penyuluhan karir untuk memudahkan keputusan yang menyangkut karir.

4) Pengembangan karir merupakan pembangkit stres potensial yang mencakup ketidakpastian pekerjaan, promosi berlebih, dan promosi yang kurang.

4. Hubungan dalam Pekerjaan

Hubungan kerja yang tidak baik terungkap dalam gejala-gejala adanya kepercayaan yang rendah, dan minat yang rendah dalam pemecahan masalah dalam organisasi. Ketidakpercayaan secara positif berhubungan dengan ketatalaksana peran yang tinggi, yang mengarah ke komunikasi antar pribadi yang tidak sesuai antara pekerja dan ketegangan psikologikal dalam bcntuk kepuasan pekerjaan yang rendah, penurunan dari kodisi kesehatan, dan rasa diancam oleh atasan dan rekan-rekan kerjanya (Munandar, 2001).

5. Struktur dan iklim organisasi

Faktor stres yang dikenali dalam kategori ini adalah terpusat pada sejauh mana tenaga kerja dapat terlihat atau berperan serta pada support sosial.

Kurangnya peran serta atau partisipasi dalam pengambilan keputusan berhubungan dengan suasana hati dan perilaku negatif (Anonymous, 2008).


(31)

2.1.2. Proses Stres

Dalam peristiwa terjadinya stres, ada tiga hal yang saling terkait satu dengan yang lainnya (Nasution, 2000) yakni:

1. Hal, peristiwa, keadaan, orang yang menjadi sumber stres (stressor) jika dipandang secara umum, hal-hal yang menjadi sumber stres dipahami sebagai rangsangan (stimulus).

2. Orang yang mengalami stres (the stressed), kita dapat memusatkan perhatian pada tanggapan (respons) orang tersebut terhadap hal-hal yang dinilai mendatangkan stres. Tanggapan orang tersebut terhadap sumber stres dapat dipengaruhi pada psikologis dan fisiologis. Tanggapan ini disebut strain, yaitu tekanan atau tanggapan yang dapat membuat pola pikir, emosi dan perilakunya kacau, dapat membuat gugup dan gelisah. Secara fisiologis kegugupan dan kegelisahan itu dapat menyebabkan denyut jantung yang cepat, perut mual, mulut kering, banyak keringat dan lain-lain.

3. Hubungan antara orang yang mengalami stres dengan hal yang menjadi penyebab (transaction). Hubungan itu merupakan proses, yaitu ada penyebab stres dan pengalaman individu yang terkena stres saling terkait.

Perbedaan cara, kemampuan dan keberhasilan seseorang dalam menanggapi hal-hal yang mendatangkan stres tersebut, maka orang dapat mengalami stres yang berbeda-beda (ada yang tidak terkena, ada yang terkena sedikit dan waktunya singkat, dan ada yang berat serta berkelanjutan).


(32)

Dadang Hawari (2001) menyatakan bahwa tahapan stres sebagai berikut: a. Stres tahap pertama (paling ringan), yaitu stres yang disertai perasaan nafsu

bekerja yang besar dan berlebihan, mampu menyelesaikan pekerjaan tanpa memperhitungkan tenaga yang dimiliki dan penglihatan menjadi tajam.

b. Stres tahap kedua, yaitu stres yang disertai keluhan, seperti bangun pagi tidak segar atau letih, lekas capek pada saat menjelang sore, lekas lelah sesudah makan, tidak dapat rileks, lambung atau perut tidak nyaman (bowel discomfort), jantung berdebar dan otot kaku. Hal tersebut karena cadangan tenaga tidak memadai.

c. Stres tahap ketiga, yaitu stres dengan keluhan seperti defekasi tidak teratur (kadang-kadang diare), otot kaku, emosional, insomnia, mudah dan sulit tidur kembali (middle insomnia), bangun terlalu pagi dan sulit tidur, gangguan pernafasan, sering berkeringat, gangguan kulit, kepala pusing, migran, kanker, ketegangan otot.

d. Stres tahap keempat, yaitu tahapan stres dengan keluhan, seperti tidak mampu bekerja sepanjang hari (loyo), aktivitas pekerjaan terasa sulit dan menjemuhkan, respon tidak adekuat, kegiatan rutin terganggu, gangguan pola tidur, sering menolak ajakan, konsentrasi dan daya ingat menurun, serta timbul ketakutan dan kecemasan.

e. Stres tahap kelima, yaitu tahapan stres yang ditandai dengan kelelahan fisik dan mental (physical and psyhological exhaustion), ketidakmampuan


(33)

menyelesaikan pekerjaan yang sederhana dan ringan, gangguan pencernaan berat, meningkatnya rasa takut dan cemas, bingung dan panik.

f. Stres tahap keenam (paling berat), yaitu tahapan stres dengan tanda-tanda seperti jantung berdebar keras, sesak nafas, badan gemetar, dingin dan banyak keluar keringat, loyo, pingsan atau kolaps.

Timbulnya stres kerja pada seorang tenaga kerja melalui tiga tahap (Nasution, 2000) yaitu:

a. Reaksi awal yang merupakan fase inisial dengan timbulnya beberapa gejala/ tanda, namun masih dapat diatasi oleh mekanisme pertahanan diri.

b. Reaksi pertahanan yang merupakan adaptasi maksimum dan pada masa tertentu dapat kembali kepada keseimbangan. Bila stres ini terus berlanjut dan mekanisme pertahanan diri tidak sanggup berfungsi lagi maka berlanjut ke fase ketiga.

c. Kelelahan yang timbul akibat mekanisme adaptasi telah kolaps (layu). 2.1.3. Gejala Stres

Herry Beehr dan Newman, 1987 membagi gejala dan tanda stres menjadi tiga gejala yakni: gejala fisik, gejala psikologis dan gejala perilaku.

a. Gejala fisik

Meningkatnya detak jantung dan tekanan darah, gangguan lambung, mudah lelah disebabkan meningkatnya sekresi adrenalin dan noradrenalin.


(34)

b. Gejala psikologis

Kecemasan, ketegangan, bingung, marah, sensitif, memendam perasaan, komunikasi tidak efektif, menurunnya fungsi intelektual, mengurung diri, ketidakpuasan kerja, kebosanan, lelah mental, mengasingkan diri, kehilangan konsentrasi, kehilangan spontanitas dan kreativitas, kehilangan semangat hidup, menurunnya harga diri dan rasa percaya diri merupakan gejala dari depresi.

c. Gejala perilaku

Menunda atau menghindari pekerjaan, penurunan prestasi dan produktivitas, minuman keras dan mabuk, perilaku sabotase, sering mangkir kerja, kehilangan nafsu makan, penurunan berat badan, ngebut dijalan, meningkatnya agresivitas dan kriminalitas, penurunan hubungan interpersonal dengan keluarga serta teman serta kecenderungan bunuh diri. Selama stres berlangsung, akan menimbulkan reaksi kimiawi dalam tubuh yang mengakibatkan perubahan-perubahan, antara lain meningkatnya tekanan darah dan metabolisme (Anoraga, 2006).

Hubungan stres dengan gangguan emosional yang mempengaruhi otak, melalui sistem neurohormonal menyebabkan gejala-gejala badaniah yang dipengaruhi oleh hormon adrenalin dan sistem saraf otonom. Adrenalin yang meningkat menimbulkan kadar asam lemak bebas meningkat dan ini merupakan persediaan sumber energi ekstra. Bilamana peningkatan ini tidak disertai kegiatan fisik, energi ekstra ini tidak dibakar habis, akan diproses hati menjadi lemak kolesterol dan trigliserid yang kemudian menimbun pada dinding pembuluh darah, termasuk pembuluh jantung koroner, terjadinya penyakit jantung koroner. Selanjutnya terjadi


(35)

kenaikan tekanan darah, denyut jantung yang bertambah, dan keduanya mengakibatkan gangguan pada kerja jantung bahkan mudah menimbulkan kematian mendadak atau serangan jantung (MCI) (Anonymous, 2008).

Gangguan sistem saraf otonom, menimbulkan gejala seperti keluarnya keringat dingin (keringat pada telapak tangan), badan terasa panas dingin, asam lambung yang meningkat (sakit maag), kejang lambung dan usus, mudah kaget, gangguan seksual dan lain-lain. Gejala stres yang berat dapat menyebabkan hilangnya kontak sama sekali dengan lingkungan sosial. Dalam perkembangan selanjutnya ternyata dampak stres tidak hanya mengenai gangguan fungsional berupa kelainan organ tubuh, tetapi juga berdampak pada bidang kejiwaan (psikiatrik) yaitu kecemasan atau depresi.

Lingkungan kerja, sebagaimana lingkungan lainnya, juga menuntut adanya penyesuaian diri dari individu yang menempatinya. Dalam lingkungan kerja ini individu memiliki kemungkinan untuk mengalami keadaan stres. Secara umum terdapat tiga buah pendekatan untuk membahas masalah stres dalam ruang lingkup organisasi. Pendekatan pertama berorientasi pada karakteristik obyektif dari berbagai situasi kerja yang dapat menimbulkan stres. Pendekatan kedua mengacu pada karakteristik individu sebagai penyebab utama stres. Pendekatan ketiga melalui acuan interaksi antara situasi obyektif dan karakteristik individu (Anonymous, 2008).


(36)

2.1.4. Dampak Stres Kerja a. Pada Perusahaan

Rini, (2002) mengidentifikasi beberapa perilaku negatif karyawan yang berpengaruh terhadap organisasi. Stres yang dihadapi oleh karyawan berkorelasi dengan penurunan prestasi kerja, peningkatan ketidakhadiran kerja serta tendesi mengalami kecelakaan. Secara singkat beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh stres kerja adalah:

1) Terhambatnya manajemen maupun operasional kerja. 2) Mengganggu kenormalan aktivitas kerja.

3) Menurunkan tingkat produktivitas.

4) Menurunkan pemasukan dan keuntungan perusahaan. b. Pada Karyawan

Pengaruh stres kerja ada yang menguntungkan maupun merugikan bagi perusahaan. Pada taraf tertentu pengaruh yang menguntungkan perusahaan diharapkan akan memacu karyawan untuk dapat menyelesaikan pekerjaan dengan sebaik-baiknya. Reaksi terhadap stres dapat merupakan gangguan bersifat psikis maupun fisik. Pekerja atau karyawan yang stres akan menunjukkan perubahan perilaku. Perubahan perilaku terjadi pada diri manusia sebagai usaha mengatasi stres. Usaha mengatasi stres dapat berupa perilaku melawan stres (flight) atau freeze (berdiam diri). Dalam kehidupan sehari-hari ketiga reaksi ini biasanya dilakukan secara bergantian, tergantung situasi dan bentuk stres.


(37)

Perubahan-perubahan ini di tempat kerja merupakan gejala-gejala individu yang mengalami stres antara lain (Margiati, 1999).

a. bekerja melewati batas kemampuan. b. Sering terlambat masuk kerja. c. Sering absen atau tidak hadir. d. Sulit membuat keputusan. e. Lalai menyelesaikan pekerjaan.

f. Lupa akan janji yang telah dibuat dan kegagalan diri sendiri. g. Sulit berhubungan dengan orang lain.

h. Risau tentang kesalahan yang dibuat.

i. Menunjukkan gejala fisik yaitu gangguan pada sistem pencernaan, sistem cardiovasculer, kulit lebih rentan dan gangguan sistem pernafasan.

Dewasa ini konsep tentang stres kerja telah menjadi perhatian nasional bahkan dunia, karena peningkatan jumlah klaim ketidakmampuan berdasarkan faktor-faktor terkait stres. Kemajuan teknologi tampaknya memperlambat kemampuan kita untuk mempertahankan produktivitas, dan merasa hanya memiliki sedikit kendali bahkan tidak memiliki kendali sama sekali. Pekerja menjadi lebih rentan terhadap bahaya stres kerja, karena menghabiskan sebagian besar waktu di tempat kerja dan stres kerja dengan cepat menjadi isu pelayanan kesehatan nasional, strategi managemen stres sangat penting untuk membantu menjaga kesehatan optimum pekerja di setiap sudut lapangan pekerjaan.


(38)

Stres mempengaruhi orang dengan cara yang berbeda dan jika dibiarkan tidak ditangani akan menimbulkan kegelisahan di tempat kerja. Kegelisahan itu terpendam jauh di dalam hati, seringkali tersembunyi, tetapi tetap ada dan membebani individu. Pengusaha seringkali membiarkan dan mengabaikannya. Stres dapat berasal dari peristiwa kehidupan pribadi kita atau ditempat kerja, yang pada akhirnya akan mempengaruhi kita ditempat kerja. Semakin lama hal itu diabaikan, semakin besar dampaknya. Stres kerja perlu sedini mungkin diatasi oleh pimpinan agar hal yang merugikan perusahaan dapat diatasi. Orang-orang yang mengalami stres menjadi nervous dan merasakan kekuatiran kronis. Sering menjadi marah-marah atau, agresif, tidak dapat rileks atau memperlihatkan sikap yang tidak kooperatif. Stres kerja dapat terjadi hampir pada semua pekerja, baik tingkat pimpinan maupun staff. Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk menimbulkan stres kerja (Anonymous, 2008).

2.2. Kondisi kerja a. Lingkungan kerja

Kondisi kerja yang buruk berpotensi menyebabkan pekerja mudah sakit, mudah stres, sulit berkonsentrasi menyebabkan menurunnya produktif kerja. Lingkungan kerja yang kurang nyaman, misalnya: panas, berisik, sirkulasi udara kurang, lingkungan kerja yang kurang bersih, membuat pekerja mudah menderita stres. Kondisi kerja meliputi variabel lingkungan fisik seperti distribusi jam kerja,


(39)

suhu, penerangan, suara dan ciri-ciri arsitektur tempat kerja. Dan dapat dijelaskan bahwa variabel tadi mempengaruhi sikap dan perilaku pekerja (Supardi, 2007).

Kondisi lingkungan kerja, dapat menyebabkan ketidaknyamanan seseorang dalam menjalankan pekerjaannya misalnya suhu udara dan kebisingan, karena beberapa orang sangat sensitif terhadap kondisi lingkungan (Margiati, 1999). Terdapat dua faktor penyebab atau sumber munculnya stres atau stres kerja, yaitu faktor lingkungan kerja dan faktor personal. Faktor lingkungan kerja dapat berupa kondisi fisik, manajemen kantor maupun hubungan sosial di lingkungan pekerjaan. Sedang faktor personal bisa berupa tipe kepribadian, peristiwa atau pengalaman pribadi maupun kondisi sosial ekonomi keluarga di mana pribadi berada dan mengembangkan diri. Faktor kedua tidak secara langsung berhubungan dengan kondisi pekerjaan, namun karena dampak yang ditimbulkan pekerjaan cukup besar, maka faktor pribadi ditempatkan sebagai sumber atau penyebab munculnya stres. (Dwiyanti, 2001).

Kondisi kerja yang lingkungannya tidak baik sangat pontesial untuk menimbulkan stres kerja. Stres di lingkungan kerja tidak dapat dihindari, yang dapat dilakukan adalah bagaimana mengelola, mengatasi atau mencegah terjadinya stres kerja tersebut, sehingga tidak mengganggu pekerjaan (Notoatmodjo, 2003).

b. Overload

Overload dapat dibedakan menjadi kuantitatif dan kualitatif. Overload secara kuantitatif, bila target kerja melebihi kemampuan pekerja yang bersangkutan akibatnya karyawan tersebut tersebut mudah lelah dan berada dalam emosional yang


(40)

tinggi. Overload kualitatif, bila pekerja memiliki tingkat kesulitan atau kerumitan yang tinggi. Overload pada pekerja merupakan hal paling utama karena over kapasitas dari lapas itu sendiri, di mana 1 petugas pengamanan mengawasi 93 tahanan atau narapidana (Supardi, 2007).

c. Pekerjaan yang sederhana

Pekerjaan yang tidak menantang dan kurang menarik bagi pekerja, pekerjaan yang rutinitas sehingga menimbulkan kebosanan, ketidakpuasan dan sebagainya. Perasaan bosan dan jenuh inilah yang membuat seorang pekerja tidak menyenangi pekerjaannya atau terasing dari kerja (Supardi, 2007).

d. Pekerjaan berisiko tinggi

Pekerjaan yang beresiko tinggi dan berbahaya bagi keselamatan jiwanya. Kebutuhan akan rasa aman merupakan faktor utama di dalam diri seseorang. Bila seseorang merasa dirinya tidak aman, maka timbul reaksi-reaksi kejiwaan seperti cemas, takut tanpa alasan dan sebagainya (Anoraga, 2006). Peneliti merasa pegawai lapas selalu berinteraksi dengan tahanan dan narapidana untuk mengawasi tahanan dan narapidana mempunyai pekerjaan yang beriko tinggi bagi keselamatannya dan pekerjaannya.

2.3. Karateristik Pekerja 2.3.1. Umur

Pekerja yang berusia muda mempunyai tingkat absensi tinggi hal ini disebabkan bukan karena penyakit tetapi karena adanya kesukaran beradaptasi


(41)

terhadap lingkungan sehingga dapat menurunkan produktivitas. Sedangkan pada pekerja usia tua sering terjadi gangguan fisik seperti tremor (tangan yang gemetar). Di mana tremor pada tenaga kerja dapat menurunkan produktivitas tenaga kerja perusahaan yang memerlukan produktivitas tenaga kerja perusahaan yang memerlukan ketrampilan tangan (Oslida, 2001).

2.3.2. Masa Kerja

Masa kerja berkaitan dengan kepuasan kerja. Berdasarkan tenaga kerja mempunyai kepuasan kerja yang terus meningkat sampai masa kerja lima tahun dan kemudian mulai terjadi penurunan sampai lama kerja delapan tahun. Tetapi kemudian setelah tahun kedelapan kepuasan kerja secara perlahan-lahan akan meningkat lagi. Selain itu tenaga kerja yang telah lama bekerja mempunyai dorongan untuk hadir lebih besar karena mempunyai harapan memperoleh keuntungan dari kesenioritasnya (Budiono, 1990).

2.3.3. Pendidikan

Pendidikan mempengaruhi seseorang dalam cara berpikir dan bertindak dalam menghadapi pekerja. Indonesia sebagian besar adalah tenaga pelaksana yang berada dalam keadaan sosial ekonomi lemah, yang disebabkan antara lain rendahnya tingkat pendidikan dan ketrampilan yang mereka miliki. Pekerja dengan dasar pendidikan dan ketrampilan yang sangat terbatas serta kondisi kesehatan yang buruk cenderung akan menurunkan produktivitas (Budiono, 1990).


(42)

2.3.4. Status Perkawinan

Adalah keterangan yang menunjukkan riwayat pernikahan tenaga kerja yang terdapat pada kartu identitas pekerja, dan dikategorikan atas kawin dan tidak kawin.

2.4. Lembaga Pemasyarakatan

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan (hukuman badan) berdasarkan keputusan pengadilan, dengan kata lain pelaku kejahatan tersebut terbukti telah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaaan terhadap orang-orang terhukum agar mereka dapat kembali ke dalam masyarakat dan diterima sebagaimana masyarakat lainnya maka proses pembinaan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya perlu dilihat relevansinya sesuai dengan pencapaian tujuan pembinaan itu sendiri.

Visi Lembaga Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan Makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia mandiri). Misi Lembaga Pemasyarakatan yaitu melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.


(43)

2.4.1. Tugas Pokok dan Fungsi Organisasi

Dasar pelaksanaan tugas pokok, fungsi dan struktur organisasi adalah Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor: M.05.PR.07.03 Tahun 2003 tentang Struktur Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan, yaitu:

Kepala Lembaga Pemasyarakatan (KALAPAS), tugas dan fungsi Kepala Lembaga Pemasyarakatan adalah menyelenggarakan tugas pokok pemasyarakatan antara lain: melakukan pembinaan terhadap narapidana, memberikan bimbingan, mempersiapkan sarana, pengolahan hasil kerja, melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Lembaga Pemasyarakatan dalam melaksanakan urusan tata usaha serta rumah tangga, melakukan bimbingan sosial atau rohani terhadap narapidana serta bertanggung jawab penuh pada keseluruhan aktivitas sehari-hari di Lembaga Pemasyarakatan baik yang meliputi kegiatan narapidana maupun kegiatan kepegawaian.

Berdasarkan struktur organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam bahwa Kepala Lembaga Pemasyarakatan sebagai pimpinan membawahi: 1) Kepala Sub Bagian Tata Usaha

Tugas dan fungsinya adalah melakukan urusan tata usaha dan rumah tangga Lembaga Pemasyarakatan yang dibantu oleh 2 sub urusan, yaitu:

a) Urusan Kepegawaian dan Keuangan mempunyai tugas melakukan urusan kepegawaian dan keuangan.

b) Urusan Umum mempunyai tugas melakukan urusan surat menyurat, perlengkapan dan rumah tangga.


(44)

2) Kepala Seksi Bimbingan Narapidana/Anak Didik dan Kegiatan Kerja

Tugas dan fungsinya adalah memberikan bimbingan pemasyarakatan Narapidana/Anak Didik dan Bimbingan Kerja. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dibantu 3 (tiga) kepala Sub Seksi, yaitu:

a) Kepala Sub Seksi Registrasi dan Bimbingan Kemasyarakatan mempunyai tugas melakukan pencatatan, membuat statistik, dokumentasi sidik jari, serta memberikan bimbingan, penyuluhan rohani, memberikan latihan olah raga, peningkatan pengetahuan, asimilasi, cuti dan pelepasan Narapidana/Anak Didik.

b) Kepala Sub Seksi Perawatan Narapidana/Anak Didik mempunyai tugas mengurus kesehatan dan memberikan perawatan bagi Narapidana/Anak Didik.

c) Kepala Sub Seksi Kegiatan Kerja mempunyai tugas memberikan bimbingan kerja, mempersiapkan fasilitas, sarana dan mengelola hasil kerja.

3) Kepala Seksi Administrasi Keamanan dan Tata Tertib

Mempunyai tugas dan fungsi mengatur jadwal tugas, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan, penerima laporan harian, dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta menyusun laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib. Untuk menyelenggarakan tugas tersebut dibantu dua Kepala Sub Seksi, yaitu:

a) Kepala Sub Seksi Kemanan mempunyai tugas mengatur jadwal, penggunaan perlengkapan dan pembagian tugas pengamanan.


(45)

b) Kepala Sub Seksi Pelaporan dan Tata tertib mempunyai tugas menerima laporan harian dan berita acara dari satuan pengamanan yang bertugas serta mempersiapkan laporan berkala di bidang keamanan dan menegakkan tata tertib.

4) Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan Mempunyai tugas dan fungsi:

a) Melakukan penjagaan dan pengawasan terhadap narapidana/anak didik. b) Melakukan pemeliharaan keamanan dan ketertiban.

c) Melakukan pengawalan, penerimaan, penempatan dan pengeluaran Narapidana/anak didik.

d) Melakukan pemeriksaan terhadap pelanggaran keamanan.

e) Membuat laporan harian dan Berita Acara Pelaksanaan Pengamanan.

Kepala Kesatuan Pengamanan Lembaga Pemasyarakatan bertanggung jawab langsung kepada Kepala Lembaga Pemasyarakatan dan membawahi tugas pengamanan Lembaga Pemasyarakatan.

Untuk melaksanakan tugas penjagaan, regu penjagaan melakukan tugas secara bergilir. Penggantian regu penjagaan diatur menurut keadaan dan keperluan setempat dan dalam pelaksanaannya, penggantian jaga regu lama tidak boleh meninggalkan Lapas sebelum timbang terima dengan regu baru selesai dengan sempurna. Tugas Penjagaan secara umum dapat dijelaskan antara lain harus datang selambat-lambatnya 15 menit sebelum jam dinasnya, jika berhalangan harus memberitahukan sebelumnya kecuali kalau sudah ada izin dilarang meninggalkan pos tanpa izin, dilarang menjadi


(46)

penghubung dari dan untuk penghuni Lapas untuk keperluan apapun secara tidak sah, dilarang bertindak sewenang-wenang terhadap penghuni Lapas, memahami dan mengerti cara menggunakan perlengkapan keamanan/ketertiban, merawat perlengkapan keamanan/ketertiban sebaik-baiknya, mempersiapkan buku jaga untuk mencatat kegiatan atau peristiwa, pergantian tugas jaga dengan menjaga narapidana dan tahanan dan jumlah keadaan senjata api serta situasi khusus yang perlu diketahui oleh petugas jaga berikutnya, harus selalu waspada dalam melaksanakan tugas penjagaan, terutama pada waktu malam hari atau pada waktu hujan, apabila terjadi pelarian narapidana, tahanan maka petugas bertanggung jawab dan segera melaporkan kepada atasannya. Atasan yang menerima laporan tersebut segera mengambil langkah/tindakan yang lebih lanjut, serta melakukan kewajiban-kewajiban lain menurut peraturan yang berlaku bagi Lapas.

Sasaran keamanan diarahkan pada: a. Segenap penghuni Lapas.

b. Pegawai dan para pengunjung Lapas. c. Bangunan dan perlengkapannya. d. Lingkungan sosial/masyarakat lainnya. e. Aspek ketatalaksanaan.

Selain itu, ditambah dengan Tenaga Pengamanan pada Pintu Gerbang (Portir) yang memiliki fungsi dan tugas:

a. Membuka/menutup pintu gerbang, dilarang membuka pintu satu dan pintu dua dalam waktu bersamaan.


(47)

b. Mengenali lebih dahulu (tamu, pegawai maupun penghuni) yang akan masuk Lapas.

c. Menjaga jangan ada penghuni Lapas keluar dari Lapas dengan tidak sah. d. Menerima penghuni Lapas yang masuk dan menyerahkan kepada Komandan

jaga.

e. Menjaga agar jumlah penghuni Lapas yang diterima di ruang portir seimbang dengan kekuatan penjagaan portir.

Mengingat tugas dan tanggung jawab pegawai Lembaga Pemasyarakatan cukup berat dan mengandung resiko, maka setiap pegawai diberikan tunjangan petugas Pemasyarakatan sesuai dengan Peraturan Presiden RI Nomor 21 Tahun 2006 tentang Tunjangan Petugas Pemasyarakatan. Besarnya tunjangan petugas Pemasyarakatan setiap bulannya sebagai berikut:

Golongan II sebesar Rp. 240.000,- Golongan III sebesar Rp. 265.000,-

Sesuai Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Nomor: M.02-KP.08.10 tahun 2006 tanggal 06 November 2006 tentang Tunjangan Resiko Bahaya Keselamatan dan Kesehatan dalam Penyelenggaraan Pegawai Negeri Sipil yang diangkat sebagai Petugas Pemasyarakatan. Selain itu, dengan pertimbangan besarnya resiko dari tugas-tugas yang dihadapi oleh Petugas Pemasyarakatan, Pemerintah juga memberikan tambahan tunjangan resiko sebagai akibat dari pelaksanaan tugas sehari-hari yang dibagi berdasarkan tingkat resiko bahaya yang dihadapi (Ring I, II dan III) dengan perincian:


(48)

1. Ring I di mana tingkat resiko besar karena petugas langsung berhadapan dengan Narapidana dan Tahanan, dan berada dalam lingkungan Narapidana dan Tahanan. Untuk tugas ini diberikan tunjangan resiko sebesar Rp. 600.000,- per bulan. Petugas Penjagaan berada dilingkup Ring I ini.

2. Ring II, tingkat resiko yang dihadapi oleh petugas tidak begitu besar dan hanya menghadapi tahanan di luar dari blok dan sel tahanan serta narapidana. Dalam hal ini, Petugas Lembaga Pemasyarakatan lebih banyak memerlukan data dan keterangan dari tahanan, serta berhubungan dengan data dan angka. Petugas pada sub Seksi Pembinaan, Pendidikan Narapidana/Tahanan dan Kegiatan Kerja berada pada ring kedua ini. Besarnya tunjangan resiko yang diberikan sebesar Rp. 450.000,- per orang per bulan.

3. Ring III. Petugas Lembaga Pemasyarakatan yang berada pada Ring III ini hampir dapat dikatakan jauh dari resiko kerja yang dihadapi, namun tidak mengurangi kemungkinan akan timbulnya bahaya dan resiko dari pekerjaan yang dihadapinya. Umumnya, Petugas pada bagian Ring III ini lebih sering berhadapan dengan Pegawai daripada berhubungan dengan tahanan dan narapidana. Besarnya tunjangan resiko yang diberikan sebesar Rp. 350.000,- per bulan.


(49)

2.5. Kerangka Konsep Penelitian

STRES KERJA

Karekteristik Pekerja

• Umur

• Masa kerja

• Pendidikan

• Status perkawinan Kondisi kerja

• F i s i k

• P s i k i s

Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian

Berdasarkan konsep di atas dapat dijelaskan bahwa definisi konsepnya adalah sebagai berikut:

1. Variabel independen adalah variabel bebas yaitu kondisi kerja dan karakteristik individual.


(50)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian berupa penelitian analitik dengan disain cross sectional (potong lintang) untuk mengetahui hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam.

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian 3.2.1. Lokasi Penelitian

Penelitian akan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam.

3.2.2. Waktu Penelitian

Penelitian direncanakan selama 6 bulan dari bulan September 2008 sampai dengan Maret 2009.

3.3. Populasi dan Sampel 3.3.1. Populasi

Populasi dalam penelitian adalah semua pegawai Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam yang berjumlah 86 orang.


(51)

3.3.2. Sampel

Sampel dalam penelitian adalah seluruh populasi dijadikan sampel sebanyak 86 orang.

3.4. Metode Pengumpulan Data 3.4.1. Data Primer

Data primer diperoleh langsung dari responden menggunakan alat bantu kuesioner. Data primer berupa data kondisi kerja dan data stres kerja dan karakteristik individual yaitu: umur, masa kerja, pendidikan, status perkawinan.

3.4.2. Data Sekunder

Data sekunder yaitu data-data yang mendukung data primer diperoleh dari dokumen yang ada di Lapas Klas II B Lubuk Pakam yaitu gambaran umum lokasi penelitian dan karakteristik individual responden dari masing-masing sampel penelitian.

Dalam pengumpulan data primer dan sekunder, peneliti dibantu oleh 2 orang enumerator yang telah dilatih dan mempunyai persepsi yang sama dalam penelitian ini.

3.5. Cara pengumpulan data

Dengan memberikan kuesioner atau daftar pertanyaan kepada responden untuk dijawab atau dicontreng yaitu karakteristik individual (Lampiran 2), kondisi kerja (Lampiran 3), stres kerja (Lampiran 4).


(52)

3.6. Variabel Penelitian dan Definisi Operasional 3.6.1. Variabel Penelitian

a. Variabel terikat yaitu keadaan stres kerja yang dialami oleh pegawai Lapas. b. Variabel bebas yaitu:

1) Kondisi kerja yaitu lingkungan kerja, overload, pekerjaan yang sederhana, pekerjaan yang beresiko tinggi.

2) Karakteristik individual (umur, masa kerja, pendidikan, status perkawinan).

3.6.2. Definisi Operasional

a. Stress Kerja adalah adalah suatu kondisi ketegangan yang menciptakan adanya ketidakseimbangan fisik dan psikis yang mempengaruhi emosi, proses berpikir dan kondisi seseorang pekerja.

b. Kondisi Kerja meliputi variabel lingkungan kerja, situasi kerja, kondisi yang ada baik fisik berupa kebisingan, penataan peralatan dan ruangan, maupun psikis berupa peraturan, keluhan dan tuntutan, serta hubungan sosial dan memakai alat bantu kuesioner yang terdiri dari 16 buah pertanyaan.

c. Karakteristik Individual meliputi umur, masa kerja, pendidikan, status perkawinan.


(53)

3.7. Metode Pengukuran a. Stres kerja

Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Nilai stres kerja diperoleh dari jawaban yang diberikan melalui 50 pertanyaan yang diajukan dan jawaban disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah dengan skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring dikategorikan sebagai berikut: modifikasi Rice, 1987 dan Davis, 1995.

1) Stres ringan artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan adanya sedikit tekanan, di mana rentang skor ≤ µ - SD.

2) Stres sedang artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan adanya tekanan dalam jumlah optimal dan dapat memacu dalam melaksanakan pekerjaan, di mana rentang skor ≤ µ ± SD.

3) Stres berat artinya jika seorang pekerja dalam melaksanakan pekerjaannya merasakan tekanan yang berada di luar kemampuannya untuk menghadapinya, di mana rentang skor ≥ µ + SD.

b. Kondisi kerja

Pembobotan (skoring) dengan menggunakan skala Likert. Diperoleh dari jawaban yang diberikan melalui 16 pertanyaan, di mana 5 pertanyaan untuk kondisi kerja secara fisik dan 11 pertanyaan untuk kondisi kerja secara psikis dan jawaban disusun denganbobot penilaian untuk setiap pertanyaan diberi nilai terendah dengan skor 1 dan nilai tertinggi dengan skor 5, selanjutnya nilai skoring dikategorikan sebagai berikut:


(54)

Hasil pengukuran dikelompokkan menjadi: Tidak Menyenangkan : ≤ µ - SD Kurang Menyenangkan : antara µ ± SD Menyenangkan : ≥ µ + SD 3.7.1. Pengukuran Variabel

Pengukuran variabel dilakukan dengan menggunakan skala likert, di mana responden hanya memberikan tanda (√) pada kolom angka pada masing-masing butir pertanyaan yang dianggap sesuai dengan responden.

Tabel 3.1. Pengukuran Variabel

Bobot Nilai Satu Indikator No Variabel Jlh.

Pertanyaan Tidak

pernah Jarang

Kadang-

kadang Biasanya Selalu

Bobot Nilai Satu variabel

1. Kondisi

kerja 16 1 2 3 4 5 16-80

2. Stress

Kerja 50 1 2 3 4 5 50-250

Selanjutnya skor-skor yang diperoleh dari setiap pertanyaan pada responden dikonversikan ke dalam tiga skala interval (ringan, sedang, berat) dengan menggunakan sebaran data pada kurva distribusi normal (Sudjana, 2002), yaitu:


(55)

Rendah Tinggi Sedang

µ µ + µ -

Gambar 3.1. Kurve Distribusi Normal untuk Interval Kategori Ringan, Sedang dan Berat

di mana = standar deviasi dengan rumus :

1 ) ( 2 2 − − =

n n x x σ

µ = rata-rata, dengan rumus :

n x

= μ

dari sebaran distribusi normal tersebut dilakukan pengkategorian untuk masing-masing variabel penelitian sebagai berikut:

Tabel 3.2. Pengkategorian Kondisi Kerja dan Stress Kerja

Variabel Kategori Rentang Skor

1 = Tidak menyenangkan ≤ µ - 2 = Kurang menyenangkan antara µ ± Kondisi kerja

3 = Menyenangkan ≥ µ + 1 = Ringan ≤ µ - 2 = Sedang antara µ ± Stress kerja


(56)

3.8. Tekhnik Pengolahan dan Analisa 3.8.1. Pengolahan data

Pengolahan data dilakukan dengan komputer memakai metode statistik dan dianalisa menggunakan uji chi-square untuk mengetahui adanya hubungan kondisi kerja dan karakteristik Individual (umur, masa kerja, status perkawinan, pendidikan) dengan stres kerja pada pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan menggunakan software SPSS.

3.8.2. Analisa data

Data yang diperoleh dianalisa melalui proses pengolahan data yang mencakup kegiatan-kegiatan sebagai berikut:

a. Editing, penyuntingan data yang dilakukan untuk menghindari kesalahan atau kemungkinan adanya kuesioner yang belum terisi.

b. Coding, pemberian kode dan scoring pada tiap jawaban untuk memudahkan proses entry data.

c. Entry Data, setelah proses coding dilakukan pemasukan data ke komputer. d. Cleaning, sebelum analisa data dilakukan pengecekan dan perbaikan terhadap

data yang sudah masuk.

e. Analisa data diperoleh dengan menggunakan perhitungan uji statistik memakai bantuan program komputer.

f. Analisa data Univariat, untuk melihat gambaran dan karakteristik setiap variabel independent (bebas) serta variabel dependen (terikat).


(57)

g. Analisa data Bivariat, untuk melihat hubungan antara variabel bebas dan variabel terikat, yaitu hubungan kondisi kerja dan karakteristik individual dengan stres kerja pegawai Lembaga Pemasyarakatan dengan uji Kai Kuadrat.


(58)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Secara umum Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) adalah tempat untuk melaksanakan pembinaan terhadap orang-orang yang dijatuhi hukuman penjara atau kurungan (hukuman badan) berdasarkan keputusan pengadilan, dengan kata lain pelaku kejahatan tersebut terbukti telah melakukan kejahatan atau pelanggaran. Lembaga Pemasyarakatan adalah tempat pembinaan terhadap orang-orang terhukum agar mereka dapat kembali ke dalam masyarakat dan diterima sebagaimana masyarakat lainnya maka proses pembinaan dan berbagai fasilitas penunjang lainnya perlu dilihat relevansinya sesuai dengan pencapaian tujuan pembinaan itu sendiri.

Visi Lembaga Pemasyarakatan adalah memulihkan kesatuan hubungan hidup, kehidupan dan penghidupan Warga Binaan Pemasyarakatan sebagai individu, anggota masyarakat dan makhluk Tuhan Yang Maha Esa (membangun manusia mandiri). Misi Lembaga Pemasyarakatan yaitu melaksanakan perawatan tahanan, pembinaan dan pembimbingan Warga Binaan Pemasyarakatan serta pengelolaan benda sitaan Negara dalam kerangka penegakan hukum, pencegahan dan penanggulangan kejahatan serta pemajuan dan perlindungan hak asasi manusia.


(59)

4.1.1. Gambaran Umum Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam

Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam didirikan pada tahun 1928 oleh Pemerintah Kolonial Belanda dengan daya tampung 250 orang dengan sebutan Rumah Penjara. Penjara ini diperuntukkan kepada terpidana dan juga sebagai tempat tahanan.

Pada tahun 1964 status Rumah Penjara berubah menjadi Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam dengan daya tampung 250 orang. Berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehakiman RI Nomor M.01.PR.07.03 Tahun 1985 tentang Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemasyarakatan. Pada tahun 1986 beralih Lembaga Pemasyarakatan Lubuk Pakam menjadi Rumah Tahanan Negara Lubuk Pakam. Kemudian terjadi perubahan kembali struktur organisasi Rumah Tahanan Negara Klas II B Lubuk Pakam menjadi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam sesuai dengan Surat Keputusan Menteri Kehakiman dan HAM RI Nomor M.05.PR.07.03 Tahun 2003 tanggal 16 April 2003.

Letak Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam berada di Jl. Sudirman No. 27 dan berdekatan dengan Kantor Kepolisian Resort Deli Serdang dengan luas tanah seluruhnya kurang lebih 16.550 M2.

1. Luas tanah untuk lingkungan : 6412 m2

2. Luas tanah kosong : 7303 m2


(60)

dengan batas-batas sebagai berikut:

Timur : Tanah Penduduk

Barat : Lapangan Tembak Pemasyarakatan Utara : Polres Deli Serdang

Selatan : Tali Air

SUB BAGIAN TATA USAHA

URUSAN UMUM URUSAN KEPEGAWAIAN DAN

KEUANGAN

SUB.SEKSI ADM. KAMTIB

STAF STAF SUB. SEKSI PELAPORAN

KEPALA LEMBAGA PEMASYARAKATAN KLAS II

B LUBUK PAKAM

KASI BINADIK & GIATJA

KASI KAMTIB STAF PENGAMANAN KPLP STAF SUB. SEKSI REGRISTRASI & BIMPAS STAF SUB. SEKSI PERAWATAN STAF SUB. SEKSI BIMKER

Gambar 4.1. Struktur Organisasi Lembaga Pemasyarakatan Klas II B Lubuk Pakam


(61)

4.2. Karakteristik Sampel 4.2.1. Umur

Tabel 4.1. Distribusi Pegawai Berdasarkan Umur

Umur Pegawai Jumlah (Orang) Jumlah (%)

20 - 29 34 39,5

30-39 16 18,6

≥40-36 36 41,9

Jumlah 86 100,0

Dari Tabel 4.1 di atas dapat diketahui tenaga pegawai lapas yang terbanyak adalah umur di atas 40 tahun yaitu sebanyak 36 orang (41,9%), umur 20-29 tahun sebanyak 34 orang (39,5%), serta jumlah yang terkecil umur 30-39 tahun sebanyak 16 orang (18,6%), hal ini menyatakan bahwa umur sampel masih tergolong usia produktif.

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan umur disajikan pada gambar berikut ini:

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45

Umur Pegawai 20 - 29 Umur Pegawai 30-39 Umur Pegawai ≥40 Jumlah (orang) Persen (%)


(62)

4.2.2. Pendidikan

Tabel 4.2. Distribusi Pegawai Berdasarkan Latar Belakang Pendidikan

Jumlah (%) Pendidikan Jumlah (Orang)

70,9 SMA 61 3,5 Diploma 3 25,6 Sarjana 22

100,0 Jumlah 86

Dari Tabel 4.2 tingkat pendidikan lebih dominan berpendidikan SMA yaitu sebanyak 61 orang (70,9%), pendidikan Diploma sebanyak 3 orang (3,5%) serta jumlah berpendidikan Sarjana sebanyak 22 orang. Hal ini menyatakan bahwa pendidikan Pegawai Lapas adalah tergolong masih tingkat pendidikan menengah (25,6%).

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan pendidikan disajikan pada gambar berikut ini:

0 10 20 30 40 50 60 70 80

SMA Diploma Sarjana

Jumlah ( orang ) Jumlah ( % )

Gambar 4.3. Karakteristik Sampel Berdasarkan Pendidikan


(63)

4.2.3. Status Perkawinan

Tabel 4.3. Distribusi Pegawai Berdasarkan Status Perkawinan

Status Perkawinan Jumlah %

Kawin 65 75.6

Tidak Kawin 21 24.4

Jumlah 86 100.0

Dari Tabel 4.3 di atas diketahui status perkawinan pada Pegawai Lapas lebih dominan adalah kawin yaitu sebesar 65 orang (75,6%), dan tidak kawin sebanyak 21 orang (24,4%).

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan status perkawinan disajikan pada gambar berikut ini:

0 10 20 30 40 50 60 70 80

Kawin Tidak kawin

Jumlah Persen


(64)

4.2.4. Masa Kerja

Tabel 4.4. Distribusi Pegawai Berdasarkan Masa Kerja

Masa Kerja Jumlah %

< 5 31 36.0

5-10 16 18.6

> 10 39 45.3

Jumlah 86 100.0 Dari Tabel 4.4 di atas diketahui bahwa masa kerja pada Pegawai Lapas lebih

dominan pada masa kerja di atas 10 tahun yaitu sebesar 39 orang (45,3%), dan masa kerja < 5 tahun sebanyak 31 orang (36,0%) dan masa kerja 5-10 tahun sebanyak 16 orang (18,6%).

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan Masa Kerja disajikan pada gambar berikut ini:

0 5 10 15 20 25 30 35 40 45 50

<5 5 s/d 10 >10

Jumlah Persen

Gambar 4.5. Karakteristik Sampel Berdasarkan Masa Kerja


(65)

4.2.5. Tingkat Kondisi Kerja

Kondisi kerja Pegawai Lapas di setiap ruang kerja di bagi tiga katagori, yaitu: Tidak menyenangkan, kurang menyenangkan, dan menyenangkan. Untuk menentukan kategori kondisi kerja digunakan skala interval dengan pengukuran data pada sebaran distribusi normal.

Hasil perhitungan skor kondisi kerja diperoleh:

x = 40,383 µ = 48,87 =7,35

dengan persamaan X− = µ ± maka diperoleh skala interval distribusi normal untuk kondisi kerja sebagai berikut:

Tidak Menyenangkan

Menyenangkan

Kurang Menyenangkan

41,52

48,87

56,22

Gambar 4.6. Skala Interval Kondisi Kerja Pada Distribusi Normal

Tabel 4.5. Distribusi Pegawai Berdasarkan Kondisi Kerja

Kondisi Kerja Jumlah (Orang) Jumlah (%)

Tidak Menyenangkan 11 12.8

Kurang Menyenangkan 61 70.9

Menyenangkan 14 16.3 Jumlah 86 100.0


(66)

Dari Tabel 4.5 di atas diketahui bahwa kondisi kerja yang paling banyak pada kategori kurang menyenangkan yaitu: 61 orang (70,9%) dan kategori menyenangkan 14 orang (16,3%) serta kategori tidak menyenangkan 11 orang (12,8%).

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan kondisi kerja disajikan pada gambar berikut ini:

0 10 20 30 40 50 60 70 80 Tidak Menyenangkan Kurang Menyenangkan Menyenangkan

Jumlah ( orang ) Jumlah ( % )

Gambar 4.7. Karakteristik Sampel Berdasarkan Kondisi Kerja 4.2.6. Tingkat Stres Kerja

Tabel 4.6. Distribusi Pegawai Berdasarkan Tingkat Stres Kerja Tingkat Stres Kerja Jumlah (Orang) Persentase (%)

Stres Ringan 16 18.6

Stres Sedang 56 65.1

Stres Berat 14 16.3

Jumlah 86 100.0

Distribusi sampel Pegawai Lapas Klas II B Lubuk Pakam berdasarkan stres kerja disajikan pada gambar berikut ini:


(67)

0 10 20 30 40 50 60 70

Stres Ringan Stres Sedang Stres Berat

Jumlah Persen

Gambar 4.8. Tingkat Stress Kerja

Gambar 4.8 menunjukkan bahwa pada Pegawai Lapas stres kerja sedang sebesar 56 orang (65,1%) tingkat stres kerja ringan sebesar 16 orang (18,6%), dan stres berat sebesar 14 orang (16,3%). Untuk menentukan kategori stres kerja digunakan skala interval dengan pengukuran data pada sebaran distribusi normal. Hasil perhitungan skor stres kerja diperoleh : x = 92,05 µ = 93,83 = 26,28.

Dengan persamaan X = µ ± maka diperoleh skala interval distribusi normal untuk stres kerja sebagai berikut:


(68)

Ringan Berat

Sedang

67,55

93,83 120,11

Gambar 4.9. Skala Interval Kondisi Kerja pada Distribusi Normal

4.3. Hubungan Umur dengan Stres Kerja

Bila dilihat dari hubungan antara umur dengan stres kerja maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.7. Hubungan Umur dengan Stres Kerja

Tingkat Stres Kerja

Klasifikasi Umur Total p

value

20 - 29 30 - 39 ≥ 40

Stres Ringan n 5 1 10 16

% 5,8% 1,1% 11.6% 18,5%

Stres Sedang n 26 13 17 56

% 30,3% 15,1% 19,8% 65,2%

Stres Berat n 3 2 9 14

% 3,4% 2.2% 10,4% 16,3%

Total n 34 16 36 86 0,054


(69)

Di mana Pegawai Lapas umur 20-29 tahun mengalami stres ringan sebanyak 5 orang (5,8%) stres sedang sebanyak 26 orang (30,3%) dan stres berat sebayak 3 orang (3,4%) dan umur 30-39 tahun mengalami stres ringan sebanyak 1 orang (1,1%) stres sedang sebanyak 13 orang (15,1%) dan stres berat sebanyak 2 orang (2,2%) dan umur > 40 tahun mengalami stres ringan 10 orang (11,6%) stres sedang sebanyak 17 orang (19,8%) dan stres berat ada 9 orang (10,4%). Dari uji statistik Chi-Square tidak dijumpai hubungan yang bermakna antara umur dengan stres kerja atau di mana P = 0.054 atau (P>0,05).

4.4. Hubungan antara Masa Kerja dengan Stres Kerja

Bila dilihat dari hasil tabulasi silang antara masa kerja dengan stres kerja maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.8. Hubungan Masa Kerja dengan Stres Kerja Tingkat

Stres Kerja

Klasifikasi Masa Kerja Total P

Value

< 5 5 - 10 >10

Stres Ringan n 3 6 7 16

% 3,4% 6,9% 7,1% 18,4%

Stres Sedang n 25 9 22 56

% 29,1% 10,5% 39,1% 65,2%

Stres Berat n 3 1 10 14

% 3,5% 1,7% 11,6% 16,4%

Total n 31 16 16 58 0,038


(70)

Di mana Pegawai Lapas yang mempunyai masa kerja < 5 tahun mengalami stres ringan sebanyak 3 orang (3,4%), stres sedang 25 orang (29,1%), dan stres berat sebanyak 3 orang (3,5%) dan Pegawai Lapas yang mempunyai masa kerja 5-10 tahun mengalami stres ringan sebanyak 6 orang (6,9%), stres sedang sebanyak 9 orang (10,5%), dan stres berat 10 orang (1,7%).

Pegawai Lapas yang mempunyai masa kerja di atas 10 tahun mengalami stres ringan sebanyak 7 orang (7,1%), stres sedang sebanyak 22 orang (39,1%), dan stres berat 10 orang (11,6%), dari uji statistik Chi-Square dijumpai hubungan yang signifikan antara masa kerja dengan stres kerja di mana p = 0.038 atau (p<0,05).

4.5. Hubungan antara Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja

Bila dilihat dari hasil tabulasi silang antara tingkat pendidikan dengan stres kerja maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.9. Hubungan Tingkat Pendidikan dengan Stres Kerja

Tingkat Stres Kerja

Pendidikan Total P

Value

SMA Diploma Sarjana

Stres Ringan n 8 2 6 16

% 9,3% 2,3% 6,9% 18,5%

Stres Sedang n 43 1 12 56

% 50% 1,16% 13,9% 65.0%

Stres Berat n 10 0 4 14

% 11,6% 4,6% 16,5%

Total n 61 3 22 86 0,123


(71)

Di mana Pegawai Lapas yang tingkat pendidikan SMA mengalami stres ringan sebanyak 8 orang (9,3%), stres sedang sebanyak 43 orang (50%), dan stres berat ada 10 orang (11,6 %) dan yang berpendidikan diploma stres ringan sebanyak 2 orang (2,3%) stres sedang sebanyak 1 orang (1,16%), stres berat tidak ada (0%) dan yang berpendidikan sarjana yang mengalami stres ringan sebanyak 6 orang (6,9%) stres sedang sebanyak 12 orang (13,9%) dan stres berat sebanyak 4 orang (4,6%). Dari uji statistik Chi-Square tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara tingkat pendidikan dengan stres kerja di mana p = 0.123 atau (p>0,05).

4.6. Hubungan antara Status Perkawinan dengan Stres Kerja

Bila dilihat dari hubungan antara status perkawinan dengan stress kerja maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.10. Hubungan Status Perkawinan dengan Stres Kerja Tingkat Stres

Kerja

Status Perkawinan Total P

Value

Kawin Tidak Kawin

Stres Ringan n 13 3 16

% 15.2% 3.5% 18,7%

Stres Sedang n 39 17 56

% 45.3% 19.8% 65.1%

Stres Berat n 13 1 14

% 15.1% 1.1% 16,2%

Total n 65 21 86 0,164

% 75.6% 24.4% 100.0%

Di mana Pegawai Lapas yang status perkawinan kawin mengalami stres ringan sebanyak 13 orang (15,2%), stres sedang sebanyak 39 orang (45,3%), dan stres


(72)

berat ada 13 orang (15,1%). Dan Pegawai Lapas yang tidak kawin mengalami stres ringan sebanyak 3 orang (3.5%), stres sedang sebanyak 17 orang (19.8%), stres berat sebanyak 1 orang (1,1%) Dari uji statistik Chi-Square tidak dijumpai hubungan yang signifikan antara status perkawinan dengan stres kerja di mana p = 0.164 atau (p>0,05).

4.7. Hubungan antara Kondisi Kerja dengan Stres Kerja

Bila dilihat dari hasil tabulasi silang antara kondisi kerja dengan stres kerja maka diperoleh hasil sebagai berikut:

Tabel 4.11. Hubungan Kondisi Kerja dengan Stres Kerja

Tingkatan Kondisi Kerja Tingkatan

Stres Kerja Tidak Menyenangkan

Kurang Menyenangkan

Menyenangkan Total

p Value

Stres Ringan n 5 10 1 16

% 5,8% 11,6% 1,3% 18,7%

Stres Sedang n 6 40 10 56

% 6,9% 46,5% 11,6% 6,50%

Stres Berat n 0 11 3 14

% 0 12,8% 3,5% 16,3%

Total n 11 61 14 86 0,04

% 12,8% 70,9% 16,3% 100%

Di mana Pegawai Lapas yang kondisi kerja yang tidak menyenangkan mengalami stres kerja ringan sebanyak 5 orang (5,8%), stres sedang sebanyak 6 orang (6,9%), dan stres berat tidak ada (0%), sedangkan pada kondisi kerja kurang menyenangkan mengalami stres kerja ringan sebanyak 10 orang (11,6%), stres sedang sebanyak 40 orang (46,5%) dan ada 11 orang (12,8%) yang mengalami stres berat. Sedangkan kondisi yang menyenangkan mengalami stres kerja ringan sebanyak


(73)

1 orang (1,3%) dan stres sedang sebanyak 10 orang (11,6%) dan mengalami stres berat sebanyak 3 orang (3,5%). Dari uji statistik Chi-Square menunjukkan ada hubungan yang signifikan antara kondisi kerja dengan stres kerja di mana p = 0.04 atau (p<0,05).


(74)

BAB 5 PEMBAHASAN

5.1. Hubungan Umur dengan Stres Kerja

Berdasarkan Tabel 4.8 menunjukkan bahwa responden yang paling banyak mengalami stres kerja adalah pada umur di atas 40 tahun yaitu mengalami stres ringan sebanyak 10 orang (11,6%), stres sedang sebanyak 17 orang (19,8%), dan stres berat ada 9 orang (10,4%). Selain itu tenaga kerja yang berumur lebih tua akan mengalami penurunan kekuatan otot yang berdampak terhadap kelelahan dalam melakukan pekerjaannya (Setyawati, 1994). Hal ini karena pada kelompok umur ini secara alamiah semakin lanjut usia semakin menurun kondisi fisiknya atau fungsi organ tubuh sudah mulai menurun sehingga beban kerja tidak sanggup dilaksanakan dengan baik, kemudian diikuti umur 20 -29 tahun yaitu yang mengalami stres ringan ada sebanyak 5 orang (5,8%) dan stres sedang 26 orang (30,3%) stres berat sebanyak 3 orang (3,4%). Hal ini karena kelompok umur ini merupakan kelompok umur berusia muda secara psikologis kelompok umur ini masih labil dan sukar beradaptasi dengan lingkungan kerja. Sedangkan pada umur 30-39 tahun yang mengalami stres kerja lebih sedikit jumlahnya dibandingkan dengan kelompok umur yang lainnya. Hal ini karena kelompok umur ini adalah kelompok umur produktif yang sangat stabil dan mantap mengambil keputusan serta merasa punya tanggung jawab sehingga bekerja secara bersungguh-sungguh.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)