92 tebangan hutan pinus dan spruce. Kelompok pertama, termasuk berbagai
Coleoptera, jumlah yang tersisa sedikit setelah kebakaran, meskipun yang dewasa dapat bertahan pada daerah yang tersembunyi. Pengurangan stok
makanan pada daerah tersebut setelah kebakaran menyebabkan turunnya jumlah larva serangga ini. Kelompok kedua terdiri dari spesies yang
kelimpahannya menunjukan osilasi yang luas pada lahan terbakar, seperti pada Collembola. Kelompok ketiga termasuk serangga seperti larva Diptera yang
pasti menurun setelah kebakaran dan setelah beberapa tahun kembali pada jumlah seperti saat hutan belum terbakar Szujecki, 1987.
Dampak kebakaran terhadap beberapa jenis invertebrata pada tanah dapat dilihat berikut ini :
1 Semut Menurut Anderson et al.1989 dalam DeBano et al.1998 kebakaran
dapat meningkatkan populasi semut. Suatu studi di Australia terhadap vegetasi sclerophyllou
s menunjukkan bahwa semut menkonsumsi biji yang banyak dihasilkan pada awal suksesi tanaman setelah kebakaran.
2 Belalang Kebakaran di padang rumput Illionois menurunkan jumlah fauna tanah dan
populasi serangga permukaan termasuk belalang DeBano et al., 1998. Kerapatan belalang dewasa dan nimpa di Arizona selatan menurun lebih dari
60 pada plot yang dibakar dibandingkan dengan plot yang tidak terbakar pada tahun pertama setelah kebakaran, menurut Bock 1991 dalam DeBano et
al
.1998. Perbedaan ini hilang setelah tahun kedua. 3 Cacing tanah
Cacing tanah sejak lama sudah dikenal sebagai salah satu invertebrata yang penting pada komponen tanah. Cacing tanah berperan dalam dekomposisi
serasah, mineralisasi C pada tanah dan lapisan permukaan. Efek pemanasan tanah pada cacing tanah tidak diketahui secara pasti. Satu studi di padang
rumput yang cukup tinggi menunjukkan dampak tidak langsung dari kebakaran kemungkinan lebih penting daripada dampak langsung terhadap
populasi cacing tanah DeBano et al., 1998.
Peningkatan aktivitas cacing tanah berasal dari perbedaan produktivitas tanaman setelah kebakaran, dengan tanah pada lahan terbakar benar-benar
dipenetrasi oleh akar dan rhizoma tumbuhan. Cacing tanah ditemukan pada 10-20 cm di bawah permukaan tanah, jadi kemungkinan cacing tanah terhindar
dari efek langsung kebakaran atau pemanasan tanah, kecuali pada kasus dimana kebakaran yang cukup parah terjadi dalam waktu yang lama pada
bagian bawah log atau sisa tanaman.
6. Fire Severity
93 Menurut Simard 1991 dalam De Bano et al.998 Fire severity adalah
suatu penilaian yang menggambarkan respon ekosistem terhadap kebakaran, dapat digunakan untuk mendeskripsikan efek kebakaran pada sistem air dan tanah,
ekosistem flora dan fauna, atmosfer dan manusia. Fire severity sangat tergantung pada bahan bakar alami yang tersedia dan perilaku api saat bahan bakar dibakar.
Fire severity dapat diklasifikasikan berdasarkan hal-hal di bawah ini
De Bano et al., 1998: a. Dimensi vertikal dan horizontal kebakaran :
- Low fire severity : Pemanasan tanah rendah terjadi jika permukaan terbakar tapi serasah yang tersisa banyakutuh. Mineral tanah tidak berubah
Moderate fire severity : Terjadi dimana permukaan hutan terbakar dan serasah
terbakar dalam tetapi mineral tanah di bawah permukaan tidak terlihat perubahan. Terdapat abu yang berwarna terang. Sebagian besar sisa-sisa kayu
terbakar kecuali log-log yang yang terbakar dalam. Pada semak atau rumput, terdapat abu berwarna abu-abu atau putih dan hangus terlihat pada kedalaman
1 cm pada mineral tanah, tetapi tanahnya tidak berubah. Temperatur tanah pada kedalaman 1 cm dapat mencapai 100-200°C. Suhu letal bagi organisme
tanah terjadi pada kedalaman kurang dari 3-5 cm. - High fire severity : Terjadi dimana serasah seluruhnys terbakar dan mineral
tanah bagian atas terlihat kemerahanorange pada lahan yang terbakar parah. Warna tanah pada kedalaman 1 cm lebih hitam daripada bahan organic.
Lapisan yang hangus dapat mencapai kedalaman ≥10 cm. Log-log terbakar atau terbakar dalam. Tekstur tanah pada lapisan permukaan berubah dan
melebur, ditandai adanya arang yang dapat diamati secara lokal. Semua batang semak terbakar dan terlihat sisa-sisa yang mengarang dalam jumlah besar.
Temperatur tanah 1 cm lebih dari 250°C. Temperatur letal untuk organisme tanah terjadi pada kedalaman ≤ 9-16 cm.
b. Persentase dari total areal yang terbakar : - Low- severity burn : 2 areal terbakar berat, 15 terbakar sedang dan
sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar. - Moderate-severity burn : 10 areal terbakar berat, tapi 15 areal terbakar
sedang dan sisanya terbakar ringan ataupun tidak terbakar.
94 - High-severity burn : 10 mempunyai titik-titik yang terbakar sangat parah,
80 terbakar berat atau sedang dan sisanya terbakar ringan. c. Kerusakan pada pohon yang teramati :
- Low fire severity : Minimal 50 Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat,dengan sisa kebakaran berupa terbakarnya tajuk,matinya tunas
bagian atas mati tapi berkecambah, atau matinya akar, 80 pohon-pohon yang rusak terbakar dapat bertahan.
- Moderate fire severity : 20-50 Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak terlihat, dengan sisa kebakaran; 40-80 pohon-pohon yang rusak terbakar
dapat bertahan. - High fire severity : 20 Pohon-pohon menunjukkan kerusakan yang tak
terlihat, sisa kebakaran sebagian besar berupa kematian akar, 40 Pohon- pohon yang rusak terbakar dapat bertahan.
Forest Health Monitoring FHM
Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumberdaya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam
lingkungannya, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan UU RI No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dalam Nuhamara 2004.
Menurut Helans 1998 dalam Nuhamara 2004 hutan adalah ekosistem yang dicirikan oleh adanya penutupan pohon yang agak rapat dan luas, sering
terdiri dari tegakan yang memiliki berbagai karakteristik seperti komposisi jenis, struktur, kelas umur, serta proses-proses terkait dan umumnya meliputi pula
padang rumput, perairan ikan dan satwa liar. Sebagai suatu ekosistem yang luas maka hutan mempunyai pengaruh yang
sangat signifikan dalam kehidupan manusia. Fungsi-fungsi hutan seperti konservasi tanah dan air, habitat makhluk hidup, sumber makanan, carbon
storage dan sebagainya sangat diperlukan untuk menjaga lingkungan hidup.
Selama suatu areal hutan dapat melaksanakan fungsi-fungsinya dengan baik maka hutan tersebut bisa dikatakan ‘sehat’. Secara umum, hutan yang sehat
memperlihatkan keseimbangan antara pertumbuhan, kematian dan regenerasi;
95 diversity biologi; dan kemampuan untuk bertahan dan pulih dari dampak yang
ditimbulkan oleh gangguan yang bervariasi, seperti serangga atau penyakit, iklim yang tidak mendukung dan polusi udara NASF 2002a dalam Putra 2004.
Parameter yang dapat digunakan dalam pengukuran kesehatan hutan adalah luasan total hutan, luas tiap bagian hutan, laju pertumbuhan pohon dan
tanaman lainnya, jumlah pohon yang mati alami setiap tahunnya, kondisi dan diversitas tanaman di bawah lapisan kanopi hutan, dan jumlah spesies hewan yang
didukung oleh ekosistem. Parameter pengukuran lain melibatkan transparansi tajuk, persentase mati pucuk pada tajuk pohon dan kerapatan tajuk MDNR-FS
2002 dalam Putra 2004. Informasi tentang sehat atau tidaknya kondisi hutan sangat diperlukan di
Indonesia sebagai dasar yang kuat dalam pengelolaan hutan di Indonesia yang dikatakan sudah rusak. Forest Health Monitoring FHM merupakan salah satu
cara yang berusaha diterapkan di Indonesia untuk memperoleh informasi yang akurat tentang kondisi hutan secara kontinyu. FHMPemantauan Kesehatan Hutan
ini terutama dikembangkan dengan kegiatannya adalah pengembangan program, pengelolaan program, pelatihan, membangun plot, pengumpulan data dan analisis,
pelaporan penaksiran dan pengembangan indikator Nuhamara,2004.
1. Tujuan FHM