Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988

masyarakat dibandingkan iklan obat produsen lain, sehingga masyarakat tertarik untuk memilih produknya. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Sufa dan Munas 2012 bahwa frekuensi penayangan iklan berpengaruh positif dan signifikan terhadap efektivitas iklan.

B. Evaluasi Iklan Obat Menurut WHO Tahun 1988

Iklan bertujuan untuk menarik minat masyarakat untuk membeli produk yang dibutuhkan. Masyarakat kerap menggunakan iklan sebagai sumber untuk memutuskan barang mana yang akan dipiih sebagai terapi kesembuhan penyakitnya. Durasi iklan yang terbatas, merupakan halangan masyarakat untuk menerima informasi sebanyak-banyaknya mengenai barang yang akan dipilih. Produsen akan lebih mengutamakan kreatifitas iklan untuk menarik perhatian masyarakat, sedangkan informasi iklan obat yang seharusnya diutamakan, akan dikesampingkan. Masyarakat yang tertarik pada iklan obat dengan tingkat kreatifitas yang tinggi, akan meningkatkan penjualan produk produsen farmasi Arfianto, 2010. Produsen pun akan mencapai keuntungan yang besar tanpa memperhatikan akibat yang ditimbulkan pada konsumen jika konsumen tidak mendapatkan informasi yang cukup. Peran iklan yang pada awalnya sebagai sumber informasi obat, menjadi tidak efektif Yunari, 2007. Evaluasi iklan obat pada penelitian ini dilakukan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO World Health Organization tahun 1988. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut WHO bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut WHO World Health Organization tahun 1988 ditampilkan pada tabel VI. Tabel VI. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut WHO Tahun 1988 Anonim No. Informasi dalam Iklan Obat 1. Zat aktif 2. Merek 3. Indikasi 4. Peringatan perhatian precaution 5. Kontraindikasi 6. Nama dan alamat produsen atau distributor Hasil penelitian evaluasi kelengkapan informasi iklan obat menurut WHO World Health Organization dapat dilihat pada lampiran 7. Lampiran 7 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi menurut WHO. Iklan obat yang tidak memenuhi kriteria kelengkapan informasi, dapat dikatakan belum mencukupi untuk dijadikan dasar pemilihan obat karena tidak banyak informasi yang dapat diberikan kepada masyarakat. Semakin lengkap informasi yang terdapat pada iklan obat, masyarakat dapat semakin menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka Turisno, 2012. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi, lebih dipercaya oleh masyarakat dalam pelaksanaan swamedikasi. Menurut Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO World Health Organization tahun 1988, iklan obat harus mencantumkan informasi sebagai berikut: zat aktif; merek; penyampaian indikasi; kontraindikasi; peringatan perhatian precaution; dan nama dan alamat produsen atau distributor. Informasi tersebut sangat dibutuhkan masyarakat dalam menentukan pilihan terapi yang terbaik baik dirinya, sehingga mereka dapat melakukan pengobatan mandiri yang aman dan efektif. Hal itu disebabkan semakin lengkap informasi yang diberikan, konsumen semakin dapat menilai apakah obat yang diiklankan tersebut sesuai atau tidak untuk penyakit dan kondisi kesehatan tubuhnya Yunari, 2007. Informasi dalam iklan obat yang paling sering tidak ditampilkan yaitu kontraindikasi; nama dan alamat industri farmasi atau distributor; peringatan perhatian precaution; zat aktif; indikasi. Kontraindikasi adalah keadaan dimana terapi tertentu tidak dianjurkan karena dapat memberikan dampak buruk bagi pasien. Suatu obat yang cocok untuk seseorang, belum tentu obat tersebut cocok untuk orang lain, misalnya penggunaan aspirin kontraindikasi dengan penderita asma karena dapat memicu terjadinya asma Lee dan Stevenson, 2011. Tidak terdapat iklan obat dalam penelitian ini yang mencantumkan kontraindikasi. Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Yunari 2007 bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan kontraindikasi karena dengan ditampilkannya kontraindikasi obat, dapat muncul ketakutan masyarakat secara berlebih. Hal tersebut dapat menurunkan minat masyarakat dalam memilih suatu produk, sehingga produk tersebut tidak laku di pasaran. Berdasarkan hasil penelitian Purwanto 2007, pihak yang bertanggung jawab atas kualitas kerja atau keberhasilan suatu obat adalah industri farmasi. Menurut Yunari 2007, produsen bertanggung jawab atas kelengkapan sebuah iklan obat sehingga nama dan alamat industri farmasi perlu dicantumkan dalam iklan obat. Iklan obat pada penelitian ini tidak ada yang mencantumkan alamat industri farmasi, tetapi sebagian besar iklan obat telah mencantumkan nama industri farmasi. Informasi peringatan perhatian precaution adalah informasi yang disampaikan oleh industri farmasi tentang kejadian yang dapat timbul setelah mengkonsumsi produknya. Adanya informasi peringatan perhatian precaution, dapat meningkatkan kewaspadaan masyarakat dalam mengkonsumsi obat. Masyarakat dapat mempertimbangkan kejadian yang tidak diinginkan setelah mengkonsumsi obat tertentu, misal masyarakat yang mempunyai aktivitas mengendarai kendaraan bermotor, dapat memilih untuk menghindari obat yang mengandung Chlorpheniramine Maleate CTM. Penyakit yang diderita pun dapat teratasi dan aktivitas tetap berlangsung lancar. Iklan obat yang tidak mencantumkan informasi peringatan perhatian precaution sebesar 91,3. Beberapa contoh iklan obat tersebut yaitu Fatigon ® , Fungiderm ® , Hufagrip ® , Kalpanax K ® , Mextril ® , dan lain –lain. Zat aktif adalah zat dalam obat yang mempunyai khasiat pengobatan akibat dari efek farmakologis yang ditimbulkan. Pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat saat swamedikasi. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitan Supardi 2009, sebesar 93 responden menyatakan bahwa pencantuman zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat sewaktu sakit. Iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif sebesar 71,7. Beberapa contoh iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif yaitu Albothyl ® , Bodrex ® versi nelayan dan ibu rumah tangga, Combantrin ® , Cooling 5 ® , Counterpain ® , dan lain-lain. Berdasarkan hasil penelitan Supardi 2009, dapat disimpulkan bahwa iklan obat tersebut tidak bermanfaat bagi masyarakat saat pemilihan obat. Indikasi menggambarkan kegunaan obat secara spesifik dalam pengobatan penyakit. Penyampaian indikasi pada iklan obat yang tidak tepat atau salah, mengakibatkan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar sehingga dapat mengancam jiwa Turisno, 2012. Masyarakat harus mencermati indikasi yang disampaikan pada iklan obat untuk menghindari penggunasalahan obat. Penggunasalahan obat yang kerap terjadi di masyarakat yaitu penggunaan obat tidak sesuai indikasi, misal penggunaan obat antihistamin yang efek sampingnya dapat meningkatkan nafsu makan untuk menambah berat badannya Purwanto, 2007. Sebagian besar iklan obat dalam penelitian ini telah mencantumkan indikasi atau kegunaannya, sehingga diharapkan penggunasalahan obat yang masih sering terjadi di masyarakat dapat berkurang. Terdapat 2,2 iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi, yaitu iklan obat Promag ® . Berdasarkan pernyataan Turisno 2012, iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi tersebut dapat menyebabkan penggunasalahan obat dan masyarakat terlambat mendapat pelayanan kesehatan yang benar. Hal ini dapat membahayakan konsumen karena menurut Yunari 2007 tidak semua masyarakat Indonesia memiliki pengetahuan dan informasi tentang obat-obatan. Tidak tercantumnya indikasi juga dapat menyebabkan gagalnya kerasionalan terapi, khususnya dari faktor tepat indikasi Direktur Jenderal Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011 karena masyarakat kurang mendapatkan informasi mengenai obat mana yang sesuai dengan kondisi penyakitnya. PT. Kalbe Farma sebagai produsen Promag ® dan masyarakat sebagai konsumen akan menerima dampak buruk, jika indikasi kedua iklan tersebut tetap tidak dijabarkan. Produk tersebut tidak akan digunakan masyarakat luas karena masih belum jelas indikasinya, sehingga dapat dikatakan iklan tersebut tidak lengkap dan menyesatkan Turisno, 2012. Hal tersebut akan merugikan kedua industri farmasi tersebut. Dilihat dari pihak konsumen, konsumen tidak akan mendapatkan informasi yang cukup untuk menunjang kesehatannya. Nama dagang atau nama merek harus dicantumkan dalam iklan obat karena banyaknya obat yang beredar di pasaran yang memiliki zat aktif yang sama, misalnya zat aktif parasetamol memiliki 70 nama dagang Ping, Lim, Evaria dan Amiths, 2014. Adanya nama dagang ini, diharapkan masyarakat tidak mudah tertukar antara obat yang satu dengan obat lain yang sejenis. Pernyataan tersebut sesuai dengan Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek, yang menyatakan bahwa nama dagang berfungsi sebagai pembeda dengan barang lain yang sejenis. Nama dagang juga dapat memudahkan masyarakat mengingat nama obat yang mengandung beberapa macam zat aktif sekaligus Yunari, 2007. Iklan obat dalam penelitian ini yang telah mencantumkan nama dagang atau merek sebesar 100 dan berdasarkan teori yang ada, dapat disimpulkan bahwa seluruh iklan obat dalam penelitian ini, dapat dibedakan dan mudah diingat masyarakat. Tabel VII. Persentase Kelengkapan Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut WHO Tahun 1988 No. Informasi dalam Iklan Obat Ada Tidak Ada Total n n n 1. Kontraindikasi 46 100 46 100 2. Nama dan alamat produsen atau distributor 46 100 46 100 3. Peringatan perhatian precaution 4 8,7 42 91,3 46 100 4. Zat aktif 13 28,3 33 71,7 46 100 5. Indikasi 45 97,8 1 2,2 46 100 6. Merek 46 100 46 100 Keterangan : n = jumlah iklan, = persentase Kriteria Etik Promosi Obat oleh WHO tahun 1988 dapat dikatakan ideal untuk kriteria penilaian iklan obat karena sudah ada pembagian kriteria berdasarkan target iklan dan klasifikasi informasi iklan obat yang harus dicantumkan dalam iklan juga jelas Yunari, 2007. Tidak ada iklan obat dalam penelitian ini yang memenuhi seluruh kriteria dari WHO. Hasil evaluasi iklan obat ini, menunjukkan bahwa seluruh iklan obat dikatakan tidak lengkap 100 menurut aturan WHO. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang beredar di Indonesia selama periode Juni, Juli dan Agustus tahun 2014 tidak mencantumkan informasi iklan obat yang lengkap menurut WHO tahun 1988. Informasi iklan obat berupa nama dagang, indikasi, dan zat aktif, telah dicantumkan pada sebagian besar iklan obat. Informasi yang tidak dicantumkan pada sebagian besar iklan obat yaitu peringatan perhatian precaution; kontraindikasi; dan nama dan alamat industri farmasi atau distributor. Beberapa penyebab tidak lengkapnya informasi iklan obat yaitu durasi iklan yang singkat Yunita, 2007 dan mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain Fajryah, 2009.

C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994