Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia.

(1)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan mengetahui profil dan kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi. Penelitian non eksperimental (observasional) ini dikerjakan dengan rancangan deskriptif non analitik.

Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung iklan selama dua minggu meliputi jenis acara, waktu tayang, jenis produk, jenis iklan, frekuensi, serta kelengkapan informasi dan klaim indikasi iklan obat tanpa resep. Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988) digunakan sebagai dasar evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan, sedangkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/1994 untuk kerasionalan kelengkapan informasi iklan dan kerasionalan klaim indikasi iklan bersama mekanisme kerja zat aktif. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6,4% iklan obat tanpa resep yang paling banyak ditayangkan pada acara sinetron (64,7%). Iklan tersebut lebih banyak terdiri dari golongan obat bebas terbatas (78,8%), kelas terapi obat analgesik (sakit kepala, demam) (23,6%), jenis obat Mixagrip Flu & Batuk® (8,6%), obat untuk konsumen dewasa (92,5%), dan obat produksi Konimex (16,5%). Dari 53 jenis obat, tidak ada yang kelengkapan informasi iklannya rasional berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988), tetapi 18,9% rasional menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/1994. Semua iklan mencantumkan nama dagang dan indikasi, zat aktif (22,6%), peringatan-perhatian (92,4%), nama industri farmasi (88,7%), efek samping (20,8%), tetapi tidak ada yang mencantumkan kontraindikasi dan alamat industri farmasi. Iklan yang klaim indikasinya rasional sebanyak 58,5%.


(2)

ABSTRACT

This research aims to identify the profile and the rationality of non-prescription drug advertisement on ladies’ program broadcast in four television stations. This non-experimental (observational) research is conducted by using non-analytical descriptive design.

Data collection is conducted by using direct observation on the advertisement for two weeks, including the types of program, product, advertisement, presentation time, frequency, as well as information completeness and indication claim of non-prescription drug advertisement. The WHO Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion (1988) is used as the base of evaluating the rationality of advertisement information completeness, while the Decree of Health Minister No. 386/1994 is used to evaluate the rationality of advertisement indication claim as well as working mechanism of active substance. Data is analyzed by using a descriptive statistic method.

The results of research show that there are 6.4% non-prescription drug advertisement mostly broadcasted in electronic cinema (64.7%). That advertisement more consisted of limited over-the-counter drugs (78.8%), the therapeutic class of analgesic drugs (headache, fever) (23.6%), drug of Mixagrip Flu & Batuk® (8.6%), drug to adult consumers (92.5%), and drug produced by Konimex (16.5%). Among 53 non-prescription drugs, there is no drug whose advertisement information completeness is rational based on the WHO Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion (1988), but 18.9% of it are rational according to the Decree of Health Minister No. 386/1994. All the advertisements include trademark and indication, an active substance (22.6%), precaution-warning (92.4%), the name of pharmaceutical industry (88.6%), side effect (20.8%), but there is no advertisement including contraindication and the address of pharmaceutical industry. Advertisements whose indication claims rational are 58.5%.


(3)

EVALUASI KERASIONALAN IKLAN OBAT TANPA RESEP PADA TAYANGAN ACARA UNTUK IBU-IBU DI EMPAT STASIUN

TELEVISI SWASTA NASIONAL INDONESIA

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.)

Program Studi Ilmu Farmasi

Oleh :

Kartikaningtyas Yunari NIM : 998114029

FAKULTAS FARMASI UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2007


(4)

(5)

(6)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.

( QS : 58 : 11) Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

(QS : 94 : 5) Hidup tidak akan pernah bebas dari tantangan, tetapi kemampuan kita untuk menghadapi tantangan akan terus berkembang.

(John Gray) Kusadari bahwa Allah membuat segala sesuatunya indah tepat pada waktunya. Kumengerti bahwa aku dan segala sesuatu yang melekat dalam diriku, hidupku dan semua peristiwa dalam perjalanan menuju masa sekarang, adalah yang terbaik dari Allah. Aku selalu berbahagia untuk keberhasilan dalam hidup orang lain, dan aku tidak perlu iri dengan diri dan hidup orang lain, karena aku menyukai diri dan pribadiku, juga menyukai hidup dan kisah hidupku, yang kuyakini unik, indah, dan penuh makna.

(Kartika, terinspirasi dari beberapa karya)

Kupersembahkan untuk: Bapak – Ibuku sebagai tanda hormat dan baktiku,

Kakak – kakakku yang selalu kusayang, Almamaterku tercinta


(7)

(8)

INTISARI

Penelitian ini bertujuan mengetahui profil dan kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi. Penelitian non eksperimental (observasional) ini dikerjakan dengan rancangan deskriptif non analitik.

Pengambilan data dilakukan dengan observasi langsung iklan selama dua minggu meliputi jenis acara, waktu tayang, jenis produk, jenis iklan, frekuensi, serta kelengkapan informasi dan klaim indikasi iklan obat tanpa resep. Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988) digunakan sebagai dasar evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan, sedangkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/1994 untuk kerasionalan kelengkapan informasi iklan dan kerasionalan klaim indikasi iklan bersama mekanisme kerja zat aktif. Analisis data menggunakan metode statistik deskriptif.

Hasil penelitian menunjukkan terdapat 6,4% iklan obat tanpa resep yang paling banyak ditayangkan pada acara sinetron (64,7%). Iklan tersebut lebih banyak terdiri dari golongan obat bebas terbatas (78,8%), kelas terapi obat analgesik (sakit kepala, demam) (23,6%), jenis obat Mixagrip Flu & Batuk® (8,6%), obat untuk konsumen dewasa (92,5%), dan obat produksi Konimex (16,5%). Dari 53 jenis obat, tidak ada yang kelengkapan informasi iklannya rasional berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988), tetapi 18,9% rasional menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/1994. Semua iklan mencantumkan nama dagang dan indikasi, zat aktif (22,6%), peringatan-perhatian (92,4%), nama industri farmasi (88,7%), efek samping (20,8%), tetapi tidak ada yang mencantumkan kontraindikasi dan alamat industri farmasi. Iklan yang klaim indikasinya rasional sebanyak 58,5%.


(9)

ABSTRACT

This research aims to identify the profile and the rationality of non-prescription drug advertisement on ladies’ program broadcast in four television stations. This non-experimental (observational) research is conducted by using non-analytical descriptive design.

Data collection is conducted by using direct observation on the advertisement for two weeks, including the types of program, product, advertisement, presentation time, frequency, as well as information completeness and indication claim of non-prescription drug advertisement. The WHO Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion (1988) is used as the base of evaluating the rationality of advertisement information completeness, while the Decree of Health Minister No. 386/1994 is used to evaluate the rationality of advertisement indication claim as well as working mechanism of active substance. Data is analyzed by using a descriptive statistic method.

The results of research show that there are 6.4% non-prescription drug advertisement mostly broadcasted in electronic cinema (64.7%). That advertisement more consisted of limited over-the-counter drugs (78.8%), the therapeutic class of analgesic drugs (headache, fever) (23.6%), drug of Mixagrip Flu & Batuk® (8.6%), drug to adult consumers (92.5%), and drug produced by Konimex (16.5%). Among 53 non-prescription drugs, there is no drug whose advertisement information completeness is rational based on the WHO Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion (1988), but 18.9% of it are rational according to the Decree of Health Minister No. 386/1994. All the advertisements include trademark and indication, an active substance (22.6%), precaution-warning (92.4%), the name of pharmaceutical industry (88.6%), side effect (20.8%), but there is no advertisement including contraindication and the address of pharmaceutical industry. Advertisements whose indication claims rational are 58.5%.


(10)

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunianya-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Evaluasi Kerasionalan Iklan Obat Tanpa Resep pada Tayangan Acara untuk Ibu-ibu di Empat Stasiun Televisi Swasta Nasional Indonesia”.

Skripsi ini disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Farmasi (S.Farm.) Program Studi Ilmu Farmasi di Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Dengan selesainya penulisan skripsi ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Ibu Rita Suhadi, M.Si., Apt. selaku Dekan Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma, sekaligus sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan semangat, bimbingan, arahan, dan petunjuk selama penulisan skripsi.

2. Ibu Yustina Sri Hartini, M.Si., Apt. selaku dosen pembimbing yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan petunjuk selama penulisan skripsi.

3. Bapak Drs. Sulasmono, Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik yang membangun untuk skripsi ini.

4. Ibu Aris Widayati, M.Si., Apt. selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan, saran, dan kritik yang membangun untuk skripsi ini.

5. Seluruh dosen pengajar Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma yang telah membimbing penulis selama kuliah, dan seluruh karyawan terkait atas bantuan yang diberikan untuk kelancaran penyelesaian skripsi.


(11)

(12)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN JUDUL………...

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING………. HALAMAN PENGESAHAN………. HALAMAN PERSEMBAHAN………. PERNYATAAN KEASLIAN KARYA………. INTISARI………

ABSTRACT ……….

PRAKATA……….. DAFTAR ISI………... DAFTAR TABEL………... DAFTAR GAMBAR……….. DAFTAR LAMPIRAN………... BAB I. PENGANTAR………...

A. Latar Belakang………..

B. Permasalahan………

C. Keaslian Penelitian………

D. Manfaat Penelitian………

1. Manfaat teoritis………...

2. Manfaat praktis………

E. Tujuan………...

BAB II. PENELAAHAN PUSTAKA……… i ii iii iv v vi vii viii x xiii xviii xx 1 1 5 5 6 6 7 7 8


(13)

A. Pengobatan Sendiri dan Masalah Informasi Obat Tanpa Resep………... B. Pengobatan Rasional dengan Obat Tanpa Resep………..

C. Obat Tanpa Resep……….

D. Televisi Sebagai Salah Satu Media Iklan……….. E. Tinjauan tentang Iklan dan Promosi……….

1. Perbedaan iklan dengan promosi………

2. Promosi menurut WHO………..

3. Definisi iklan………...

4. Media iklan……….

5. Tujuan iklan………

6. Fungsi iklan……….

F. Peraturan Periklanan Bidang Obat……… G. Perilaku Konsumen terhadap Iklan………... H. Wanita sebagai Penanggung Jawab Pemilihan Obat untuk Keluarga…...

I. Keterangan Empiris………...

BAB III. METODOLOGI PENELITIAN……….. A. Jenis dan Rancangan Penelitian……… B. Definisi Operasional……….

C. Subyek Penelitian………..

D. Tata Cara Penelitian………..

1. Tahap perencanaan………..

2. Tahap pengambilan data………. 3. Tahap penyelesaian data……….

8 11 13 17 19 19 19 20 20 21 21 21 26 27 28 29 29 29 32 33 33 33 34


(14)

E. Tata Cara Analisis Hasil………... F. Kesulitan Penelitian……….. BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN………... A. Profil Jenis Iklan………... 1. Distribusi frekuensi jenis iklan pada masing-masing stasiun televisi 2. Distribusi frekuensi jenis iklan pada keempat stasiun televisi……… B. Profil Iklan Obat Tanpa Resep………..

1. Jenis acara………...

2. Kelas terapi……….

3. Golongan obat……….

4. Jenis obat……….

5. Sasaran konsumen obat………...

6. Produsen………..

C. Evaluasi Kerasionalan Kelengkapan Informasi Iklan Obat Tanpa Resep D. Evaluasi Kerasionalan Klaim Indikasi Iklan Obat Tanpa Resep………..

E. Rangkuman Pembahasan………..

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN………

A. Kesimpulan………... B. Saran……….. DAFTAR PUSTAKA………. LAMPIRAN……… BIOGRAFI PENULIS……… 34 36 37 37 37 38 40 41 43 45 46 50 51 54 72 88 94 94 95 96 101 151


(15)

DAFTAR TABEL

Halaman Tabel I. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan jenis acara………... Tabel II. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan kelas terapi……….. Tabel III. Distribusi frekuensi iklan obat bebas pada tayangan acara

untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan jenis obat………. Tabel IV. Distribusi frekuensi iklan obat bebas terbatas pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan jenis obat………. Tabel V. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan jenis obat………. Tabel VI. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan produsen…….. Tabel VII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

analgesik (nyeri otot dan tulang) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel VIII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

analgesik (sakit kepala, demam) tanpa resep pada tayangan 41

43

47

48

49

53


(16)

acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel IX. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat gizi

dan darah tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Tabel X. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran cerna (diare) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XI. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran cerna (maag) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran nafas (asma) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XIII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran nafas (batuk) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XIV. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran nafas (batuk, pilek) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XV. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

saluran nafas (flu) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XVI. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

57

58

59

59

59

60

60


(17)

saluran nafas (flu, batuk) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XVII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

topikal kulit (infeksi jamur) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XVIII. Evaluasi kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

topikal mata tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XIX. Persentase kelengkapan informasi iklan obat tanpa resep

pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………. Tabel XX. Persentase kerasionalan kelengkapan informasi iklan obat

tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)... Tabel XXI. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat analgesik

(nyeri otot dan tulang) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XXII. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat analgesik

(sakit kepala, demam) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XXIII. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat gizi dan

darah tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Tabel XXIV. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

cerna (diare) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu 62

63

63

69

70

73

74


(18)

di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XXV. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

cerna (maag) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XXVI. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

nafas (asma) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Tabel XXVII. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

nafas (batuk) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)... Tabel XXVIII. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

nafas (batuk, pilek) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XXIX. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

nafas (flu) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Tabel XXX. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat saluran

nafas (flu, batuk) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XXXI. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat topikal kulit (infeksi jamur) tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……….. Tabel XXXII. Evaluasi kerasionalan klaim indikasi iklan obat topikal

78

78

79

80

81

82

84


(19)

mata tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)... Tabel XXXIII. Persentase kerasionalan klaim indikasi iklan obat tanpa

resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Tabel XXXIV. Kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara

untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………..

86

87


(20)

DAFTAR GAMBAR

Halaman Gambar 1. Prinsip-prinsip kerasionalan pengobatan sendiri dengan obat

tanpa resep……….. Gambar 2. Distribusi frekuensi jenis iklan pada tayangan acara untuk

ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)………. Gambar 3. Distribusi frekuensi jenis iklan pada tayangan acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)……… Gambar 4. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan jenis acara………... Gambar 5. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan kelas terapi………... Gambar 6. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan golongan obat………. Gambar 7. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

12

38

39

42

44


(21)

acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan golongan obat………... Gambar 8. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada masing-masing stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan sasaran konsumen………... Gambar 9. Distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan

acara untuk ibu-ibu pada keempat stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006) berdasarkan sasaran konsumen………...

46

50


(22)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman Lampiran 1. Jadwal tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A

selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 2. Jadwal tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi B

selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 3. Jadwal tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi C

selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 4. Jadwal tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi D

selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 5. Data distribusi frekuensi iklan pada tayangan acara untuk

ibu-ibu di stasiun televisi A selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 6. Data distribusi frekuensi iklan pada tayangan acara untuk

ibu-ibu di stasiun televisi B selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 7. Data distribusi frekuensi iklan pada tayangan acara untuk

ibu-ibu di stasiun televisi C selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 8. Data distribusi frekuensi iklan pada tayangan acara untuk

ibu-ibu di stasiun televisi D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 9. Data distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada

101

103

104

106

108

115

119


(23)

tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 10. Data distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada

tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi B selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 11. Data distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada

tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi C selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 12. Data distribusi frekuensi iklan obat tanpa resep pada

tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi D selama dua minggu (periode Juli 2006)………... Lampiran 13. Data kelengkapan informasi dan klaim indikasi iklan obat

tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)... Lampiran 14. Komposisi zat aktif 53 jenis obat tanpa resep...

131

137

140

143

148 150


(24)

BAB I PENGANTAR

A. Latar Belakang

Pengobatan sendiri didefinisikan sebagai suatu tindakan mengobati sendiri dengan obat tanpa resep yang dilakukan secara tepat dan bertanggung jawab (Holt dan Hall, 1990). Sekarang ini, masyarakat berusaha mengatasi sendiri masalah kesehatannya yang bersifat sederhana dan umum diderita dengan obat tanpa resep yang banyak tersedia di pasaran. Faktor penyebabnya karena lebih murah dan lebih praktis, selain itu masyarakat sering merasa kondisi sakitnya belum memerlukan pemeriksaan tenaga kesehatan (Anonim, 2005). Harga obat yang melambung tinggi dan biaya pelayanan kesehatan yang semakin mahal, juga meningkatkan pengobatan sendiri di kalangan masyarakat (Anonim, 2002a).

Obat tanpa resep adalah obat-obat yang termasuk golongan obat bebas, obat bebas terbatas , serta obat wajib apotek yaitu obat keras yang dapat diperoleh tanpa resep dokter dan diserahkan oleh apoteker di apotek (Anonim, 2005). Obat wajib apotek memang dapat diserahkan tanpa resep dokter, tetapi termasuk obat keras atau obat daftar G (gevaarlijk), oleh karena itu tidak termasuk dalam

penelitian ini. Obat tradisional yaitu bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik) atau campuran dari bahan tersebut yang secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan berdasarkan pengalaman (Anonim, 1992), oleh WHO juga dimasukkan dalam pelayanan kesehatan umum. Obat tradisional diserahkan tanpa resep karena sulit


(25)

diresepkan oleh dokter, akibat selalu bersandar pada kaidah alamiah. Keberadaan obat tradisional masih diperdebatkan akibat tidak sedikit yang keamanan dan khasiatnya hanya berdasarkan pengalaman turun temurun tanpa dibuktikan secara ilmiah (Marlinda, 2003a). Obat tradisional tidak termasuk obat tanpa resep dalam penelitian ini. Iklan obat tradisional memiliki pedoman tersendiri dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, terpisah dari pedoman periklanan obat bebas yang mengatur iklan obat bebas dan obat bebas terbatas.

Obat tanpa resep yang termasuk dalam penelitian ini adalah obat bebas dan obat bebas terbatas. Kriteria obat dalam kategori ini antara lain adalah telah terbukti secara ilmiah menunjukkan manfaat klinis, sangat diperlukan untuk menanggulangi kesakitan yang banyak dijumpai di masyarakat, dan relatif aman. Penggunaan secara benar obat-obat golongan ini seharusnya bisa sangat membantu masyarakat dalam melakukan pengobatan sendiri yang aman dan efektif, namun seringkali pengobatan sendiri menjadi sangat boros karena mengkonsumsi obat-obat yang sebenarnya tidak dibutuhkan, atau malah bisa berbahaya karena penggunaan yang tidak sesuai aturan pakai. Obat bebas dan obat bebas terbatas tidak berarti bebas efek samping, sehingga pemakaiannya harus sesuai dengan indikasi, dosis, lama pemakaian yang benar, disertai dengan pengetahuan pengguna tentang risiko efek samping dan kontraindikasinya (Suryawati, 1997).

Masyarakat perlu dibantu dengan informasi obat tanpa resep yang obyektif, lengkap dan tidak menyesatkan untuk melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif. Iklan merupakan bentuk informasi bersifat komersial dari


(26)

industri farmasi, yang paling banyak dijumpai oleh masyarakat. Perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengendalikan informasi komersial, agar informasi yang disediakan benar atau dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, tidak menyembunyikan risiko pengobatan, serta tidak menyesatkan atau mengarahkan pengguna kepada persepsi keliru yang mengakibatkan penggunaan obat secara keliru (Suryawati,1997).

Survei oleh Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) tahun 1992 menunjukkan iklan obat melalui media televisi menduduki peringkat pertama dalam mempengaruhi konsumen obat (Anonim,1997a). Hal ini terjadi karena setiap hari masyarakat banyak menghabiskan waktu untuk menonton televisi, yaitu 60% responden sebuah penelitian menonton televisi dalam sehari antara 1-5 jam bahkan hingga lebih dari 5 jam pada 30% responden (Widanenci, 2007). Iklan televisi juga lebih besar pengaruhnya terhadap konsumen karena mengandung unsur hiburan, serta gambar yang disajikan lebih menarik (Wiwik,1993). Kondisi ini diperkuat lagi dengan sifat iklan televisi yang disajikan berulang-ulang (Ashaf, 1995). Dinyatakan oleh Anief (1985) bahwa frekuensi iklan juga berpengaruh terhadap konsumsi obat oleh masyarakat.

Televisi swasta nasional merupakan salah satu sarana yang digunakan produsen obat untuk mengiklankan produknya, karena memiliki jaringan pemirsa yang sangat luas (Yulia, 1993). Berdasarkan survei Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tahun 2002, pendapatan iklan televisi terbanyak masih dipegang oleh RCTI, Indosiar, SCTV, dan TPI. Menyusul kemudian Trans TV, Metro TV, Global TV, TV 7, ANTV, dan Lativi (Anonim, 2002b). Empat


(27)

stasiun televisi swasta nasional Indonesia dalam penelitian ini memiliki pendapatan iklan yang tinggi menurut data tahun 2002, program acaranya sudah sangat dikenal oleh pemirsa karena lebih awal berdiri, dan banyak menayangkan acara untuk ibu-ibu. Data terbaru dari Nielsen Media Research, setelah penelitian

ini dilakukan, menunjukkan bahwa selama tahun 2006 telah terjadi perubahan besar urutan belanja iklan di televisi, dari yang paling tinggi adalah kelompok RCTI, TPI, Global TV, kelompok Trans TV dan TV 7, kelompok ANTV dan Lativi, diikuti stasiun-stasiun televisi yang masih berdiri sendiri yaitu SCTV, Indosiar, serta Metro TV (Harto, Ratnasari, Saragih, dan Mudjiono, 2006).

Berdasarkan pemantauan dan evaluasi Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) tahun 2003, iklan obat di televisi dinilai banyak yang tidak layak tayang karena memberikan informasi yang berlebihan dan menyesatkan (Danto, 2004). Kondisi tersebut sangat disayangkan, karena tingkat pengetahuan kaum ibu dalam pengobatan sendiri belum menunjang keamanan dan keefektifan pengobatan, sehingga dalam pemilihan obat tanpa resep masih sangat mudah dipengaruhi oleh informasi dari produsen obat yang disebarkan melalui iklan di berbagai media (Marlinda, 2003b). Sehubungan dengan hal itu, idealnya wanita (kaum ibu) yang menjadi penanggung jawab dalam pemilihan obat untuk keluarga sebaiknya selalu menambah pengetahuan mengenai obat-obatan agar dalam memilih obat tidak mudah terpengaruh oleh iklan (Marlinda, 1995). Apalagi terdapat kecenderungan di masyarakat bahwa wanita lebih suka menggunakan obat tanpa resep daripada laki-laki (Holt dan Hall, 1990).


(28)

Berkaitan dengan hal- hal tersebut, perlu dilakukan suatu penelitian tentang evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia.

B. Permasalahan

1. Seperti apa profil iklan pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia yang meliputi jenis iklan dan frekuensi iklan?

2. Seperti apa profil frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia berdasarkan klasifikasi jenis acara, kelas terapi, golongan obat, jenis obat, sasaran konsumen obat, dan produsen?

3. Bagaimana kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia yang meliputi kerasionalan kelengkapan informasi iklan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988) dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, serta kerasionalan klaim indikasi iklan berdasarkan mekanisme kerja zat aktif dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994?

C. Keaslian Penelitian

Sejauh informasi yang diterima penulis, telah terdapat beberapa penelitian tentang iklan obat di televisi, seperti Penilaian Iklan Obat Flu di Televisi dan Pengaruh terhadap Pemilihan Obat di Kalangan Siswa SMF dan


(29)

SMU di Kotamadya Surakarta (Saragih, 2000), Pengaruh Iklan Obat Sakit Kepala di Televisi terhadap Pemilihan Obat Sakit Kepala di Kalangan Mahasiswa Angkatan 1997-2000 Kampus III Universitas Sanata Dharma Yogyakarta (Primantana, 2001), Penilaian Iklan Obat Selesma di Televisi dan Peranannya dalam Pemilihan Obat Selesma di Kalangan Pengunjung Apotek di Pusat Kota Magelang (Papilaya, 2003), dan Hubungan antara Penilaian Iklan Obat Selesma di Televisi dengan Pemilihan Obat Selesma di Kalangan Pengunjung 11 Apotek di Kota Yogyakarta Periode Maret-April Tahun 2004 (Sulistiyawati, 2004).

Meskipun demikian, penelitian ini belum pernah dilakukan dan berbeda dengan penelitian-penelitian tersebut baik dalam hal subyek penelitian, metode pengambilan data, maupun titik berat permasalahan. Subyek penelitian ini adalah iklan obat di televisi, tidak menggunakan responden. Pengambilan data dengan observasi langsung, tidak menggunakan kuisioner. Titik berat permasalahan mengenai evaluasi kerasionalan iklan obat di televisi, tidak mengenai penilaian responden terhadap iklan obat di televisi dan pengaruhnya terhadap perilaku mereka dalam pemilihan obat. Selain itu, pengamatan iklan obat dilakukan pada semua kelas terapi, tidak hanya pada satu kelas terapi saja.

D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis

Menambah kepustakaan bagi perkembangan ilmu farmasi, khususnya mengenai evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep di televisi.


(30)

2. Manfaat praktis

a. Agar hasil penelitian ini dapat membantu farmasis dalam memberikan pelayanan informasi tentang pemilihan obat tanpa resep berdasarkan evaluasi kerasionalan iklannya di televisi kepada masyarakat khususnya ibu-ibu.

b. Agar hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak-pihak yang terkait untuk meningkatkan kerasionalan iklan obat tanpa resep di televisi.

c. Agar ibu-ibu dapat lebih kritis dalam menghadapi iklan obat tanpa resep di televisi.

E. Tujuan

1. Mengetahui profil iklan pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia yang meliputi jenis iklan dan frekuensi iklan.

2. Mengetahui profil frekuensi iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia berdasarkan klasifikasi jenis acara, kelas terapi, golongan obat, jenis obat, sasaran konsumen obat, dan produsen.

3. Mengetahui kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia yang meliputi kerasionalan kelengkapan informasi iklan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988) dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, serta kerasionalan klaim indikasi iklan berdasarkan mekanisme kerja zat aktif dan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994.


(31)

BAB II

PENELAAHAN PUSTAKA

A. Pengobatan Sendiri dan Masalah Informasi Obat Tanpa Resep Sakit merupakan fenomena subyektif yang ditandai dengan perasaan tidak enak, sehingga dapat mengganggu aktivitas seseorang. Ketika seseorang sakit, akan timbul berbagai macam perilaku menuju ke arah penyembuhan, salah satunya dengan pengobatan sendiri (Sarwono, 2003). Dalam waktu satu tahun, dapat diperkirakan bahwa lebih dari 65% jumlah penduduk di Indonesia yang menderita sakit melakukan pengobatan sendiri, sedangkan yang pergi ke dokter kurang dari 25% (Sartono, 1993).

Perilaku pengobatan sendiri merupakan bagian dari upaya masyarakat untuk menjaga kesehatannya sendiri (Sukasediati, 1996). Pengobatan sendiri juga merupakan bagian dari kebijakan pemerintah Republik Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam UU No. 23 tahun 1992 pasal 5, yaitu bahwa setiap orang berkewajiban untuk ikut serta dalam memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan perseorangan, keluarga, dan lingkungannya (Anonim, 1992).

Pengobatan sendiri telah ada di masyarakat seusia dengan masyarakat itu sendiri dan menyatu dengan kehidupan mereka, dilakukan untuk mengatasi keluhan yang dapat dikenali sendiri dan umumnya merupakan tanda atau gejala penyakit sederhana yang dapat sembuh dalam waktu singkat, antara lain demam, sakit kepala, dan batuk. Pengobatan sendiri dapat dilakukan dengan obat tanpa


(32)

resep (Sukasediati, 1996). Pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep hendaknya dilakukan secara tepat dan bertanggung jawab, biasanya untuk kasus-kasus: 1. perawatan simtomatik minor, misalnya: rasa tidak enak badan, cidera ringan 2. penyakit self-limiting atau paliatif: flu, sakit kepala

3. pencegahan dan penyembuhan penyakit ringan: mabuk perjalanan, kutu air 4. penyakit kronis, yang sebelumnya sudah pernah didiagnosis dokter atau

tenaga medis profesional lainnya: arthritis, asma

5. keadaan yang mengancam jiwa dan memerlukan penanganan dengan segera (Holt dan Hall, 1990).

Covington (2000) berpendapat bahwa perawatan sendiri dipengaruhi oleh empat faktor utama, yaitu keyakinan dan sikap, karakteristik demografi, status ekonomi, dan pendidikan atau pengetahuan konsumen. Sukasediati (1996) menyatakan bahwa beberapa faktor penentu yang berperan pada tindakan pengobatan sendiri antara lain adalah persepsi sakit, ketersediaan informasi tentang obat dan pengobatan, serta ketersediaan obat di masyarakat.

Terjadinya kecenderungan masyarakat untuk melakukan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep, antara lain disebabkan:

1. masyarakat merasa penyakit dengan gejala-gejala umum dan ringan belum memerlukan bantuan tenaga medis atau dokter

2. pengatasan penyakit dengan pergi ke dokter memerlukan biaya relatif mahal 3. begitu banyaknya obat tanpa resep dengan berbagai merek yang mudah

ditemui di pasaran, baik di apotek maupun warung-warung kecil


(33)

5. begitu gencarnya iklan mempromosikan keampuhan obat-obat tanpa resep, yang mudah diamati di berbagai media (televisi, radio, maupun media cetak) (Zahir, 1996).

Penggunaan obat tanpa resep masih sering menimbulkan masalah bagi kesehatan, karena masih rendahnya tingkat pendidikan masyarakat tentang obat dan permasalahannya. Hal ini mengakibatkan dasar penentuan obat tanpa resep untuk pengobatan sendiri sering tidak rasional, yaitu umumnya bersumber pada pengalaman menggunakan obat tertentu pada waktu lampau, karena diberitahu orang lain (keluarga, tetangga, teman), atau bersumber dari iklan obat di media cetak maupun media elektronik (Sudarwanto, 1996).

Diperlukan informasi-informasi mengenai pengetahuan dan ketrampilan memilih obat, untuk dapat melakukan pengobatan sendiri secara aman dan efektif. Informasi yang ideal adalah informasi yang obyektif, lengkap, dan tidak menyesatkan. Kenyataannya informasi yang ideal masih jarang dijumpai. Informasi yang paling banyak dijumpai masyarakat adalah informasi dari industri farmasi yang bersifat komersial, dengan bentuk utamanya yaitu iklan (Suryawati, 1997). Iklan-iklan obat yang ada pada umumnya hanya memunculkan keampuhan dan kegunaan obat, yang kadangkala terkesan berlebihan dan tidak rasional. Pencantuman tanda peringatan pada akhir penayangan iklan hampir tidak berarti apa-apa karena begitu cepatnya (Zahir, 1996).

Ketidakseimbangan arus informasi komersial dan non komersial menjadi masalah kesehatan yang begitu mengkhawatirkan, karena tidak semua masyarakat mampu menelaah informasi secara kritis (Suryawati, 1997). Sebuah


(34)

survei menunjukkan iklan obat dianggap 81% responden bermanfaat bagi konsumen, dan diakui 73,5% responden berperan cukup besar dalam pemilihan obat yang akan digunakan konsumen. Melihat betapa tergantungnya konsumen pada iklan obat, maka produsen dan pembuat iklan obat dituntut untuk menciptakan iklan yang baik. Khasiat obat menjadi pilihan informasi yang paling diharapkan masyarakat dari sebuah iklan obat, juga informasi efek samping obat apabila digunakan secara berlebihan. Peringatan dan kontraindikasi sebaiknya juga disampaikan dalam iklan (Zahir, 1996). Secara teknis, sedikitnya terdapat lima jenis informasi yang dibutuhkan dalam menerapkan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep, yaitu: susunan zat aktif, indikasi, dosis dan aturannya, efek samping, serta kontraindikasi (Marlinda, 2003).

Dalam Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen pasal 4c , dinyatakan bahwa konsumen mempunyai hak atas informasi yang benar, jelas, dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa (Anonim, 1999). Sangat dibutuhkan keikutsertaan pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga pendidikan tinggi, maupun produsen obat untuk menyediakan informasi yang benar tentang obat tanpa resep dan masalahnya, demi tercapainya keberhasilan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep (Sudarwanto, 1996).

B. Pengobatan Rasional dengan Obat Tanpa Resep

Obat tanpa resep mempunyai batas keamanan yang cukup baik, tetapi pemakaiannya yang tidak mendapatkan pengawasan ketat sangat memungkinkan


(35)

terjadinya kesalahan dalam penggunaan (Sudarwanto, 1996). Berkaitan dengan hal tersebut, pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep harus tetap memperhatikan prinsip-prinsip penggunaan obat yang rasional (Anonim, 2002a). Prinsip pengobatan rasional meliputi indikasi tepat, penilaian kondisi pasien tepat, pemilihan obat tepat (efektif, aman, dan ekonomis) dan sesuai dengan kondisi pasien, dosis dan cara pemberian obat secara tepat, informasi untuk pasien secara tepat, serta evaluasi dan tindak lanjut dilakukan secara tepat (Anonim, 2000).

Penilaian kerasionalan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep, dapat ditinjau dari komponen rasional dan tidak rasional di bawah ini:

Gambar 1. Prinsip-prinsip kerasionalan pengobatan sendiri dengan obat tanpa resep

Tepat indikasi, obat yang digunakan didasarkan pada diagnosis penyakit yang akurat. Tepat penderita yaitu tidak ada kontraindikasi. Tepat obat, pemilihan obat didasarkan pada pertimbangan rasio keamanan-kemanjuran yang terbaik. Tepat dosis, yaitu takaran, jalur, saat dan lama pemberian sesuai dengan kondisi penderita. Boros, misalnya menggunakan obat yang mahal padahal tersedia obat lebih murah dengan keamanan dan kemanjuran yang sebanding. Berlebihan, misalnya menggunakan obat yang tidak diperlukan atau dosis yang terlalu besar. Kurang, misalnya obat yang diperlukan tidak digunakan dalam jumlah yang cukup

RASIONAL

(4 asas tepat + 1 waspada)

1. Tepat indikasi 2. Tepat penderita 3. Tepat obat 4. Tepat dosis

5. Waspada efek samping obat

TIDAK RASIONAL

1. Boros 2. Berlebihan 3. Kurang 4. Salah


(36)

atau dosis tidak cukup. Salah yaitu bila pilihan obat kurang tepat dengan indikasi. Majemuk (polifarmasi), misalnya dua obat atau lebih digunakan padahal satu atau dua obat sudah memberikan efek yang sama (Donatus, 1997).

Upaya penggunaan obat tanpa resep secara rasional tentunya harus melibatkan peran aktif tenaga farmasi, yang terutama berfungsi untuk memberikan informasi serinci mungkin mengenai obat-obat yang dibutuhkan oleh masyarakat (Anonim, 2002a). Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 1027/MENKES/SK/IX/2004, disebutkan bahwa dalam rangka pemberdayaan masyarakat, apoteker harus berpartisipasi secara aktif dalam promosi dan edukasi. Apoteker ikut membantu diseminasi informasi, antara lain dengan penyebaran leaflet/brosur, poster, penyuluhan, dan lain-lainnya.

C. Obat Tanpa Resep

Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 72 tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan, pasal 1 ayat 1, disebutkan bahwa obat adalah bahan atau paduan bahan yang digunakan untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam rangka penetapan diagnosa, pencegahan penyakit, penyembuhan penyakit, pemulihan, dan peningkatan kesehatan termasuk kontrasepsi dan sediaan biologis.

Obat bebas dan obat bebas terbatas merupakan golongan obat tanpa resep, yang dapat dibeli secara bebas (tanpa resep) di apotek dan toko obat berijin. Obat bebas terbatas berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 6355/Dir.Jen/SK/1969, harus dicantumkan tanda peringatan berwarna hitam pada


(37)

wadah atau kemasannya, dengan ukuran panjang 5 cm dan lebar 2 cm atau disesuaikan kemasannya, dan memuat pemberitahuan dengan huruf berwarna putih. Sesuai obatnya, pemberitahuan tersebut adalah:

P. no. 1. Awas! Obat keras. Bacalah aturan pemakaiannya di dalam. Contoh: Decolgen tablet, Inza® tablet

P. no. 2. Awas! Obat keras. Hanya untuk kumur, jangan ditelan. Contoh: Betadine® kumur

P. no. 3. Awas! Obat keras. Hanya untuk bagian luar badan. Contoh: Betadine® untuk antiseptik lokal

P. no. 4. Awas! Obat keras. Hanya untuk dibakar. Contoh: rokok anti asma

P. no. 5. Awas! Obat keras. Tidak boleh ditelan. Contoh: Dulcolax® supositoria

P. no. 6. Awas! Obat keras. Obat wasir, jangan ditelan. Contoh: Anusol® supositoria

(Sartono, 1993) Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 2380/A/SK/VI/83 tentang Tanda Khusus untuk Obat Bebas dan Obat Bebas Terbatas, pasal 3 ayat (1) dan (2), menyatakan bahwa tanda khusus untuk obat bebas adalah lingkaran berwarna hijau dengan garis tepi berwarna hitam dan obat bebas terbatas lingkaran berwarna biru dengan garis tepi berwarna hitam.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 919/MENKES/PER/X/1993 tentang Kriteria Obat yang Dapat Diserahkan Tanpa Resep, pasal 2, obat yang dapat diserahkan tanpa resep harus memenuhi kriteria:

a. Tidak dikontraindikasikan untuk penggunaan pada wanita hamil, anak di bawah usia 2 tahun dan orang tua di atas 65 tahun.

b. Pengobatan sendiri dengan obat dimaksud tidak memberikan risiko pada kelanjutan penyakit.

c. Penggunaanya tidak memerlukan cara dan atau alat khusus yang harus dilakukan oleh tenaga kesehatan.

d. Penggunaanya diperlukan untuk penyakit yang prevalensinya tinggi di Indonesia.

e. Obat dimaksud memiliki rasio khasiat keamanan yang dapat dipertanggungjawabkan untuk pengobatan sendiri.


(38)

Obat tanpa resep memiliki perbandingan risiko dan manfaat yang menguntungkan pemakainya. Pada umumnya, obat golongan ini mempunyai batas keamanan cukup baik dengan indeks terapi lebar. Obat tanpa resep juga tidak boleh bersifat adiktif, penggunaannya sederhana (tidak menggunakan injeksi) dan tidak membutuhkan pemantauan, tidak mendorong terjadinya penyalahgunaan obat, serta tidak menimbulkan efek samping yang terlalu membahayakan seandainya terjadi kesalahan dalam penggunaan (Sudarwanto, 1996).

Terdapat beberapa obat tanpa resep yang sering digunakan masyarakat. 1. Obat pereda rasa sakit dan penurun demam (analgesik-antipiretik)

Obat-obat yang dapat digunakan adalah parasetamol, asetosal, dan ibuprofen (200 mg). Contoh: Saridon® tablet, Inzana® tablet, Neo Rheumacyl® tablet (Anonim, 1997b).

2. Obat influenza (flu)

Obat flu merupakan kombinasi dari beberapa zat berkhasiat yaitu antihistamin untuk mengurangi rasa gatal di tenggorokan dan bersin-bersin atau reaksi alergi lain yang menyertai influenza (misalnya klorfeniramin maleat, deksklorfeniramin maleat), dekongestan hidung untuk mengurangi keluhan hidung tersumbat atau berair (misalnya pseudoefedrin hidroklorida, fenilpropanolamin hidroklorida), analgesik-antipiretik, ekspektoran, dan antitusif. Contoh: Inza® tablet, Procold® kaplet (Anonim, 1997b).

3. Obat batuk

Obat batuk terbagi menjadi dua kelompok. Ekspektoran (pengencer dahak) untuk batuk berdahak, misalnya gliseril guaiakolat (guaifenesin), amonium


(39)

klorida. Antitusif (penekan batuk) untuk batuk tidak berdahak (batuk kering), misalnya dekstrometorfan hidrobromida, difenhidramin hidroklorida. Contoh: OBH Tropica® sirup, Vicks Formula 44® sirup (Anonim, 1997b).

4. Obat asma

Obat asma yang dapat diperoleh tanpa resep dokter adalah bronkhodilator (teofilin, efedrin, kombinasi teofilin-efedrin) dan beberapa ekspektoran. Contoh: Neo Napacin® tablet (Anonim, 1997b).

5. Obat sakit perut (diare)

Obat untuk mengatasi diare mengandung obat yang dapat menyerap racun misalnya atapulgit, kaolin. Bisa disertakan juga obat yang bekerja sebagai protektan usus, misalnya pektin. Contoh: Neo Entrostop® tablet (Sartono, 1993).

6. Obat gangguan pencernaan (antasida)

Obat antasida menetralkan asam berlebih dalam cairan lambung, dipergunakan dalam pengobatan penyakit tukak peptik, dan umumnya diproduksi dalam bentuk kombinasi. Obat antasida antara lain adalah aluminium hidroksida, magnesium hidroksida, kalsium karbonat, simetikon. Contoh: Mylanta® tablet, Neosanmag® tablet (Sartono, 1993).

7. Obat mata (tetes mata)

Obat tetes mata umumnya mengandung obat dekongestan mata yang bekerja sebagai vasokonstriktor (misalnya tetrahidrozolin hidroklorida), dan bahan pengawet (misalnya benzalkonium klorida). Contoh: Insto®, Visine® (Sartono, 1993).


(40)

8. Obat jamur kulit

Obat antijamur yang digunakan dalam obat jamur kulit, misalnya klotrimazol, tolnaftat. Contoh: Canesten® krim, Neo Ultrasiline® krim (Anonim, 1997b).

D. Televisi sebagai Salah Satu Media Iklan

Hingga awal tahun 1992, diperkirakan pemilik televisi di Indonesia sudah mencapai 60% dari total penduduk, itu artinya televisi berpotensi untuk mencapai sasaran yang sangat luas (jaringan dan kelompok sasarannya luas). Potensi ini dimanfaatkan para kalangan bisnis untuk mendukung peningkatan pemasaran produk. Dalam beberapa tahun kemudian, iklan di stasiun televisi swasta mampu merebut sebagian porsi iklan di media cetak (Puspadewi, 1993).

Iklan dengan media televisi dianggap sangat efektif untuk memacu konsumen dalam melakukan tindakan pembelian. Anggapan tersebut tentu saja beralasan, sebab karakteristik televisi yang bisa dinikmati secara pandang dengar membuatnya mampu membawa pemirsa kepada realitas yang “seolah-olah ada”, diperkuat dengan sifatnya yang disajikan berulang-ulang dan kemampuannya menjalankan fungsi persuasi (Ashaf, 1995). Televisi menggabungkan gambar, suara, dan gerakan, sehingga mampu merangsang indera dan menarik perhatian tinggi dari pemirsa (Kotler, 2003b). Melalui iklan televisi, produsen dapat mendemonstrasikan bagaimana suatu produk bekerja dan betapa produk tersebut bermanfaat bagi konsumen, juga dapat memilih waktu beriklan yang tepat untuk menjangkau pasar yang luas maupun khalayak sasaran tertentu (Wiwiek, 1993). Media televisi juga memiliki jangkauan siaran (massa) dan frekuensi tayang yang


(41)

maksimum, serta pandai memilih demografis atau mengarahkan pesan ke segmen pemirsa tertentu, dan biayanya relatif efisien (Gilson dan Berkman, 1993).

Berdasarkan penelitian Dwyer, sebagai media audio visual, televisi mampu merebut 94% saluran masuknya informasi ke dalam jiwa manusia melalui mata dan telinga. Televisi juga mampu membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang didengar dan dilihat meskipun hanya sekali ditayangkan. Secara umum, orang akan mengingat 85% dari apa yang mereka lihat di televisi setelah tiga jam kemudian dan 65% setelah tiga hari (Ima, 2004).

Meskipun demikian, terdapat penurunan efektivitas akibat peningkatan kekacauan iklan (pengiklan menayangkan iklan yang lebih pendek dan lebih sering kepada audiens), peningkatan “gerakan cepat” iklan, dan menurunnya penonton akibat pertumbuhan TV kabel dan video. Selain itu, biaya iklan televisi naik lebih cepat daripada biaya media lain (Kotler, 2003b).

Catatan belanja iklan Persatuan Perusahaan Periklanan Indonesia (PPPI) tahun 2002 menunjukkan bahwa televisi menduduki peringkat pertama dengan meraup Rp 8,083 triliun (60,3%) dari belanja iklan Rp 13,406 triliun, dengan urutan pendapatan dari yang terbanyak adalah RCTI, Indosiar, SCTV, TPI, Trans TV, Metro TV, Global TV, TV 7, ANTV, dan Lativi (Anonim, 2002). Belanja iklan di televisi dari tahun ke tahun cenderung meningkat. Menurut data

Advertising Information Services dari Nielsen Media Research, belanja iklan di

media televisi, koran, majalah, dan tabloid pada tahun 2006 mencapai Rp 30,036 triliun. Televisi masih mendominasi perolehan dari keseluruhan belanja itu dengan nilai belanja iklan lebih dari Rp 20 triliun atau sekitar 69%, koran 27%,


(42)

majalah dan tabloid 4% (Anonim, 2007). RCTI, TPI, dan Global TV memperoleh 32,9% dari total belanja iklan tahun 2006, Trans TV dan TV 7 (23,2%), ANTV dan Lativi (15,7%), sisanya adalah SCTV, Indosiar, serta Metro TV (Harto, Ratnasari, Saragih, dan Mudjiono, 2006). Hasil survei kecil di berbagai wilayah Jakarta menunjukkan sebesar 97% responden mengakui bahwa televisi merupakan media paling sering ditemukannya iklan obat dibandingkan media lain (Zahir, 1996).

E. Tinjauan tentang Iklan dan Promosi 1. Perbedaan iklan dengan promosi

Periklanan (advertisement) merupakan bagian dari kegiatan bauran

promosi (promotion mix), sementara itu bauran promosi merupakan bagian dari

kegiatan bauran pemasaran (marketing mix). Iklan tidak boleh disamakan dengan

promosi, keduanya berasal dari kata dalam bahasa Latin yang berbeda, yaitu

advere untuk iklan (advertising) yang artinya mengoperkan pikiran dan gagasan

kepada pihak lain, dan promovere untuk promosi (promotion) yang berarti

meningkatkan atau menaikkan sesuatu. Perbedaan lain adalah bentuk sasarannya, yaitu iklan “mengubah jalan pikiran” (state of mind) calon konsumennya untuk

membeli, sedangkan promosi “merangsang kegiatan pembelian di tempat” (immediately stimulating purchase) (Widyatama, 2005).

2. Promosi menurut WHO

Promosi adalah semua kegiatan informasi dan persuasi oleh produsen dan distributor untuk menaikkan jumlah resep, suplai, pembelian, dan atau pemakaian


(43)

obat. Pernyataan yang digunakan dalam promosi harus dapat diandalkan, akurat, benar (jujur), informatif, seimbang, up to date, dapat dibuktikan klaimnya, serta

mempunyai warna dan selera yang baik. Pernyataan yang tidak diperbolehkan dalam promosi adalah pernyataan menyesatkan, tidak dapat dibuktikan kebenaran klaim, atau menghilangkan fakta untuk meningkatkan penggunaan obat. Ruang lingkup promosi meliputi iklan, medical representatives, free sample obat resep

untuk promosi, free sample obat tanpa resep untuk umum, simposium dan temu

ilmiah, studi purna jual dan kontrol, kemasan dan label, informasi untuk pasien (leaflets, booklets), serta promosi produk ekspor (Anonim, 1988).

3. Definisi iklan

Iklan menurut Komisi Periklanan Indonesia (1996) diartikan sebagai segala bentuk pesan tentang suatu produk yang disampaikan melalui suatu media, dibiayai oleh pemrakarsa yang dikenal, serta ditujukan kepada sebagian atau seluruh masyarakat. Sedangkan iklan obat adalah pesan yang disampaikan melalui komunikasi media massa oleh perusahaan farmasi tertentu untuk meningkatkan pemasaran (Anief, 1985).

4. Media iklan

Media yang digunakan iklan berdasarkan tipenya diklasifikasikan oleh Gilson dan Berkman (1993) menjadi: media cetak (surat kabar dan majalah), media siaran (radio dan televisi), media yang langsung dan khusus (katalog dan pemberian nama barang pada amplop dan kertas surat), serta media yang ditempatkan di tempat umum (plakat dan poster).


(44)

5. Tujuan iklan

WHO menyatakan bahwa tujuan iklan untuk masyarakat umum yaitu membantu pemakai dalam membuat keputusan rasional pada penggunaan obat yang telah ditetapkan sebagai obat tanpa resep (Anonim, 1988). Berdasarkan sasarannya, Kotler (2003b) menggolongkan tujuan iklan menjadi empat. Iklan informatif untuk menciptakan kesadaran dan pengetahuan tentang produk baru; iklan persuasif untuk menciptakan kesukaan, preferensi, keyakinan, dan pembelian suatu produk atau jasa; iklan pengingat untuk merangsang pembelian produk dan jasa kembali; serta iklan penguatan yang dimaksudkan untuk meyakinkan pembeli sekarang bahwa mereka telah melakukan pilihan yang tepat. 6. Fungsi iklan

Fungsi iklan meliputi: fungsi pemasaran (menjual produk), fungsi komunikasi (menyampaikan pesan), fungsi pendidikan (mendidik mengenai sesuatu), fungsi ekonomi (menjadi penggerak ekonomi) dan fungsi sosial (menimbulkan dampak sosial psikologis) (Bovee dan Arens, 1986).

F. Peraturan Periklanan Bidang Obat

Upaya pengendalian informasi komersial untuk meningkatkan kerasionalan pengobatan sendiri, dilakukan Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) dengan mengeluarkan Kriteria Etik Promosi Obat (Ethical Criteria for Medicinal

Drug Promotion) sejak tahun 1988. Dicantumkan di dalamnya bahwa informasi


(45)

1. komposisi zat aktif dengan nama INN (International Nonpropietary Names)

atau nama generik obatnya 2. merek dagang

3. indikasi utama

4. perhatian, kontraindikasi, dan peringatan 5. nama dan alamat produsen atau distributor

Diatur pula bahwa iklan obat untuk masyarakat dihimbau untuk membatasi indikasi, dan klaim obat dapat menyembuhkan, mencegah, atau meredakan penyakit, harus dapat dibuktikan.

Dengan mengacu pada Ethical Criteria for Medicinal Drug Promotion

WHO, pemerintah juga mengeluarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/MENKES/SK/IV/1994, khususnya tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas. Salah satu latar belakang dikeluarkannya pedoman ini adalah untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan penggunaan obat yang salah, tidak tepat dan tidak rasional akibat pengaruh promosi melalui iklan. Berdasarkan Pedoman Periklanan Obat Bebas, iklan obat harus mencantumkan informasi mengenai:

a. Komposisi zat aktif obat dengan nama INN (khusus untuk media cetak); untuk media lain, apabila ingin menyebutkan komposisi zat aktif, harus dengan nama INN.

b. Indikasi utama obat dan informasi mengenai keamanan obat. c. Nama dagang obat.

d. Nama industri farmasi.

e. Nomor pendaftaran (khusus untuk media cetak).

Dalam UU No. 23 tahun 1992 pasal 41 ayat (2), dinyatakan:

Penandaan dan informasi sediaan farmasi dan alat kesehatan harus memenuhi persyaratan obyektivitas dan kelengkapan serta tidak menyesatkan.


(46)

Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/MENKES/SK/IV/1994 tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas menyatakan bahwa informasi mengenai produk obat dalam iklan harus sesuai dengan kriteria yang ditetapkan dalam pasal 41 ayat (2) UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan sebagai berikut:

1. Obyektif: harus memberikan informasi sesuai dengan kenyataan yang ada dan tidak boleh menyimpang dari sifat kemanfaatan dan keamanan obat yang telah disetujui.

2. Lengkap: harus mencantumkan tidak hanya informasi tentang khasiat obat, tetapi juga memberikan informasi tentang hal-hal yang harus diperhatikan, misalnya adanya kontraindikasi dan efek samping.

3. Tidak menyesatkan: informasi obat harus jujur, akurat, bertanggung jawab serta tidak boleh memanfaatkan kekuatiran masyarakat akan suatu masalah kesehatan.

Disamping itu, cara penyajian informasi harus berselera baik dan pantas serta tidak boleh menimbulkan persepsi khusus di masyarakat yang mengakibatkan penggunaan obat berlebihan atau tidak berdasarkan pada kebutuhan.

Berdasarkan Surat Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan No. HK.00.05.3.02706 tahun 2002 tentang Promosi Obat, pasal 5, dinyatakan bahwa promosi obat melalui media audio visual dan elektronik hanya diperbolehkan untuk obat bebas dan obat bebas terbatas. Dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/MENKES/SK/IV/1994, tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas, juga dinyatakan bahwa obat yang dapat diiklankan kepada masyarakat adalah obat yang sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku tergolong dalam obat bebas atau obat bebas terbatas, kecuali dinyatakan lain. Peraturan Pemerintah RI No. 72 tahun 1998 pasal 32 menyatakan bahwa sediaan farmasi yang berupa obat untuk pelayanan kesehatan yang penyerahannya dilakukan berdasarkan resep dokter hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi. Dalam Undang-Undang RI


(47)

No. 5 tahun 1997 pasal 31 (1) disebutkan psikotropika hanya dapat diiklankan pada media cetak ilmiah kedokteran dan/atau media cetak ilmiah farmasi. Undang-Undang RI No. 22 tahun 1997 pasal 42 menyatakan narkotika hanya dapat dipublikasikan pada media cetak ilmiah kedokteran atau media cetak ilmiah farmasi.

Beberapa hal juga diatur dalam Keputusan Menteri Kesehatan No. 386/MENKES/SK/IV/1994, khususnya tentang Pedoman Periklanan Obat Bebas. 1. Iklan obat dapat dimuat di media periklanan setelah rancangan iklan tersebut

disetujui oleh Departemen Kesehatan RI.

2. Iklan obat tidak boleh memberikan pernyataan superlatif , komparatif tentang indikasi, kegunaan/manfaat obat.

3. Iklan obat harus mencantumkan spot peringatan perhatian (BACA ATURAN PAKAI. JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER), dan untuk media televisi spot iklan harus dicantumkan dengan tulisan yang jelas terbaca pada satu screen/gambar terakhir dengan ukuran minimal 30% dari screen dan ditayangkan minimal selama 3 detik.

4. Iklan suatu obat hanya boleh diindikasikan sesuai batasan yang ditetapkan. a. Vitamin

1) Iklan vitamin C

Untuk mengatasi kekurangan vitamin C seperti pada sariawan dan perdarahan gusi; dan untuk keadaan saat kebutuhan akan vitamin C meningkat seperti pada keadaan sesudah operasi, sakit, hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan, serta lansia.


(48)

2) Iklan multivitamin dan mineral

Untuk pencegahan dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan, serta lansia.

b. Obat pereda sakit dan penurun panas

Untuk meringankan rasa sakit misalnya: sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot, dan atau menurunkan panas.

c. Obat flu

Untuk meredakan gejala flu seperti demam, sakit kepala, hidung tersumbat, dan pilek.

d. Obat asma

Untuk meringankan gejala sesak napas karena asma. e. Obat batuk

1) Antitusif

Untuk meredakan batuk yang tidak berdahak.

2) Ekspektoran

Untuk meredakan batuk yang berdahak.

3) Kombinasi antitusif, ekspektoran, dan antihistamin Untuk meredakan batuk berdahak yang disertai pilek. f. Antasida

Untuk mengatasi gejala sakit maag seperti: perih, kembung, mual. g. Obat kulit (topikal)


(49)

h. Obat tetes mata

Untuk meredakan iritasi mata yang ringan.

G. Perilaku Konsumen terhadap Iklan

Perilaku konsumen dalam menilai tayangan iklan di televisi sangatlah beragam. Masyarakat berpendidikan tinggi mempunyai pandangan yang kritis dan tinggi terhadap iklan, sedangkan masyarakat berpendidikan rendah bersikap kurang kritis sehingga lebih mudah menggunakan obat-obat yang diiklankan (Anief, 1985). Perilaku pembelian konsumen dipengaruhi oleh faktor-faktor budaya, sosial, pribadi, dan psikologis (Kotler, 2003a).

Berdasarkan model hierarchy of effects, tahap-tahap yang dialami oleh

konsumen dalam pengambilan keputusan pembelian meliputi tahap awareness

(kesadaran), knowledge (pengetahuan), liking (kesukaan), preference (pilihan),

conviction (keyakinan), dan purchase (pembelian). Tahap pertama dan kedua

merupakan komponen kognitif mengenai pengumpulan informasi. Tahap ketiga dan keempat merupakan komponen afektif yang berkaitan dengan proses memformulasikan perasaan atau sikap. Dua tahap terakhir merupakan komponen konatif yang berkaitan dengan motivasi atau tindakan (Poerwanto, 1999).

Menyikapi iklan yang marak disiarkan di media massa cetak dan elektronik, konsumen seharusnya senantisa bijaksana dengan bersikap selalu berhati-hati dan cermat dalam membaca atau mendengarkan yang diiklankan. Konsumen tidak perlu mencoba-coba, tetapi lebih menyesuaikan keinginan


(50)

dengan kebutuhan. Selain itu, konsumen hendaknya menyadari kemampuan keuangannya (Sidabalok, 1999).

H. Wanita sebagai Penanggung Jawab Pemilihan Obat untuk Keluarga Sebagai ibu rumah tangga, wanita memegang posisi sentral dalam menentukan visi dan pola konsumsi keluarga. Posisi sentral inilah yang dengan jeli dimanfaatkan kalangan produsen untuk memasarkan produknya (Laksono, 1995). Kaum hawa menjadi obyek paling potensial untuk dijadikan sasaran beriklan, karena secara psikologis emosional perempuan jauh lebih gampang dibidik untuk mempromosikan berbagai barang, juga karena perempuan mempunyai peran terpenting saat berbelanja yang berpengaruh terhadap anak dan suami serta membawa domino effect bagi ibu yang lain (Abadi, 2003).

Mayoritas kaum wanita (ibu-ibu) di negara kita juga menjadi penanggung jawab dalam memilih obat untuk keluarga. Kondisi kesehatan keluarga di Indonesia memang lebih banyak ditentukan oleh wanita (Marlinda, 1995). Banyak kaum ibu yang lebih memilih menggunakan obat tanpa resep, motivasinya adalah untuk menghemat biaya (Marlinda, 2003b). Kaum ibu sebaiknya selalu menambah pengetahuan mengenai obat-obatan, supaya dalam memilih obat untuk keluarga tidak mudah terpengaruh oleh iklan (Marlinda, 1995).

Hasil survei di Yogyakarta tahun 1993 menunjukkan bahwa tingkat pengetahuan kaum ibu dalam pengobatan sendiri belum menunjang keamanan dan keefektifan pengobatan. Ibu-ibu responden yang mengerti susunan zat aktif sebanyak 4%, indikasi 45%, dosis dan aturan pakai 65%, serta efek samping dan


(51)

kontraindikasi masing-masing hanya 2%. Kurangnya informasi mendasar tentang obat menyebabkan kaum ibu memilih obat hanya berdasarkan merek obat yang tersedia di pasaran, tentunya karena mereka sangat mudah terpengaruh informasi dari produsen obat melalui iklan di berbagai media (Marlinda, 2003b).

I. Keterangan Empiris

Penelitian ini dilakukan untuk mengevaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia.


(52)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

A. Jenis dan Rancangan Penelitian

Jenis penelitian ini adalah non eksperimental (observasional), yaitu penelitian yang observasinya dilakukan terhadap sejumlah ciri (variabel) subyek menurut keadaan apa adanya (in nature) tanpa adanya manipulasi peneliti.

Rancangan penelitian deskriptif non analitik karena hanya melakukan eksplorasi deskriptif terhadap fenomena yang terjadi (Pratiknya, 2001). Pada penelitian ini dilakukan evaluasi, tetapi bukan mengenai bagaimana dan mengapa fenomena tersebut terjadi. Menurut Hasan (2002), penelitian deskriptif dimaksudkan untuk pengukuran yang cermat terhadap fenomena tertentu, peneliti mengembangkan konsep dan menghimpun fakta tetapi tidak melakukan pengujian hipotesis.

B. Definisi Operasional

1. Iklan obat tanpa resep di televisi adalah informasi obat tanpa resep dari produsen kepada konsumen melalui media elektronik televisi, untuk memperkenalkan produk dan memikat konsumen agar memakai produknya. 2. Obat tanpa resep dalam penelitian ini dibatasi hanya untuk obat bebas dengan

tanda lingkaran hijau bergaris tepi hitam dan obat bebas terbatas dengan tanda lingkaran biru bergaris tepi hitam pada masing-masing kemasannya.

3. Evaluasi kerasionalan iklan obat tanpa resep adalah penilaian rasional atau tidak rasionalnya iklan obat tanpa resep khusus media elektronik (televisi).


(53)

Dinyatakan rasional untuk setiap kategorinya bila semua informasi yang tercantum dalam aturan terpenuhi, dan tidak rasional bila ada yang tidak terpenuhi. Tiga kategori kerasionalan iklan obat tanpa resep dalam penelitian ini adalah:

a. kerasionalan kelengkapan informasi iklan berdasarkan Kriteria Etik Promosi Obat-WHO (1988), yang meliputi nama zat aktif, nama dagang, indikasi, peringatan-perhatian, kontraindikasi, nama dan alamat industri farmasi

b. kerasionalan kelengkapan informasi iklan berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, yang meliputi indikasi, informasi keamanan obat (diasumsikan meliputi peringatan-perhatian dan efek samping), nama dagang, dan nama industri farmasi

c. kerasionalan klaim indikasi iklan berdasarkan mekanisme kerja zat aktif dan menurut Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994.

4. Zat aktif: komponen obat yang mempunyai efek farmakologis, nama dagang: nama obat yang diberikan oleh pemilik produk untuk identitas produknya, indikasi: petunjuk kegunaan obat dalam pengobatan penyakit, kontraindikasi: petunjuk penggunaan obat yang tidak diperbolehkan karena berlawanan dengan kondisi tubuh pemakai, dan efek samping: efek yang timbul tetapi tidak diinginkan (dapat merugikan atau berbahaya).

5. Klaim indikasi adalah pernyataan tentang indikasi obat yang dicantumkan dalam iklan.

6. Tayangan acara untuk ibu-ibu adalah jenis acara sinetron, infotainmen, serial drama, film, telenovela, dan program memasak.


(54)

7. Empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia adalah stasiun televisi dalam negeri dengan jangkauan siaran berskala nasional yang dikelola oleh pihak swasta, meliputi stasiun televisi A, B, C, dan D.

8. Waktu tayang adalah setiap kurun waktu tayang acara untuk ibu-ibu yang dipakai dalam penelitian.

9. Frekuensi iklan adalah jumlah tayang (kemunculan) iklan.

10. Jenis iklan adalah macam-macam iklan berdasarkan penggolongan jenis produk yang diiklankan meliputi obat tanpa resep (obat bebas dan obat bebas terbatas); obat tradisional (jamu), obat herbal berstandar, fitofarmaka, dan obat quasi; vitamin, suplemen, obat wajib apotek, dan perbekalan kesehatan rumah tangga; makanan dan minuman; kosmetika; serta lain-lain. Obat dengan kandungan vitamin dan mineral yang terdapat tanda lingkaran hijau/biru bergaris tepi hitam pada kemasannya termasuk jenis iklan obat tanpa resep, sedangkan yang tidak terdapat tanda tersebut termasuk jenis iklan vitamin, suplemen, obat wajib apotek, dan perbekalan kesehatan rumah tangga. 11. Jenis produk adalah nama dagang produk yang diiklankan.

12. Klasifikasi kelas terapi adalah penggolongan obat tanpa resep yang diiklankan di televisi berdasarkan IONI (Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000) dan indikasi secara umum dengan memperhatikan mekanisme kerja obat, golongan obat berdasarkan golongan obat bebas dan obat bebas terbatas, jenis obat berdasarkan nama dagang obat, sasaran konsumen obat berdasarkan kelompok dewasa dan anak-anak, serta produsen yaitu berdasarkan nama produsen obat.


(55)

C. Subyek Penelitian

Subyek penelitian ini adalah iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia (A, B, C, D). Gay (cit., Hasan, 2002) menyatakan bahwa ukuran sampel minimum yang dapat

diterima untuk metode penelitian deskriptif minimal 10% dari populasi, dan untuk populasi yang relatif kecil minimal 20% dari populasi. Iklan yang ada di televisi sangat besar jumlahnya dan sulit diketahui dengan pasti berapa jumlahnya, oleh sebab itu pengambilan sampel ditentukan melalui jumlah stasiun televisi. Dari 10 buah stasiun televisi swasta nasional yang ada di Indonesia sekarang ini, penelitian ini menggunakan empat stasiun televisi untuk pengambilan data, yang diharapkan sudah dapat mewakili iklan obat tanpa resep di televisi. Empat stasiun televisi ini pendapatan iklannya tinggi menurut data tahun 2002, program acaranya sudah sangat dikenal oleh masyarakat karena lebih awal berdiri dibandingkan stasiun televisi swasta nasional lainnya, dan banyak menayangkan acara untuk ibu-ibu.

Subyek penelitian diambil dengan metode purposif. Menurut Hadi (2004), purposive sampling adalah pemilihan sekelompok subyek didasarkan atas

sifat-sifat tertentu yang mempunyai sangkut paut erat dengan sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Dalam teknik ini sampel ditetapkan secara sengaja oleh peneliti didasarkan kriteria atau pertimbangan tertentu (Faisal, 1989), atau menurut Nawawi (1998) pengambilan sampel disesuaikan dengan tujuan penelitian. Kriteria subyek penelitian adalah iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia (A, B, C,


(56)

D) pada periode Juli 2006 yang ditayangkan selama batas waktu pengamatan setiap hari: acara pertama diambil mulai pukul 06.30 dan acara terakhir diambil mulai pukul 21.00. Pada rentang waktu yang ditetapkan untuk pengambilan data tersebut banyak tayangan acara untuk ibu-ibu dan jumlah iklan obat tanpa resepnya lebih banyak, sedangkan di luar waktu tersebut tayangan acara untuk ibu-ibu lebih sedikit dan iklan yang tampil didominasi oleh iklan rokok. Waktu yang dipilih tersebut juga merupakan waktu pada saat banyak kaum ibu yang masih menonton televisi, sedangkan di luar waktu tersebut sebagian besar kaum ibu sudah beristirahat karena harus bangun pagi-pagi keesokan harinya untuk menyiapkan kebutuhan keluarga.

D. Tata Cara Penelitian 1. Tahap perencanaan

Tahap perencanaan dilakukan dengan analisis situasi dan penentuan masalah, yaitu melakukan pengamatan awal keseluruhan tayangan iklan di stasiun televisi swasta nasional Indonesia. Tahap ini dilakukan untuk menentukan stasiun televisi, jenis acara, dan waktu tayang yang digunakan dalam penelitian.

2. Tahap pengambilan data

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi langsung iklan pada tayangan acara untuk ibu-ibu di empat stasiun televisi swasta nasional Indonesia (A, B, C, D) selama dua minggu (tanggal 12–19 Juli dan 26 Juli–1 Agustus 2006), dengan batas waktu pengamatan setiap hari: acara pertama diambil mulai pukul 06.30 dan acara terakhir diambil mulai pukul 21.00. Data


(57)

yang dikumpulkan dan dicatat dalam penelitian ini meliputi jenis acara, waktu tayang, jenis produk, jenis iklan, dan frekuensi iklan, serta untuk iklan obat tanpa resep diamati kelengkapan informasi dan klaim indikasinya.

3. Tahap penyelesaian data

Data yang diperoleh dari tahap pencatatan data mengalami proses pengolahan yaitu dengan mengedit dan mengkodekan data. Kemudian dilakukan analisis data dengan membuat tabel atau gambar sesuai dengan susunan sajian data yang dibutuhkan dalam penelitian, dan melakukan penghitungan-penghitungan tertentu sesuai dengan metode statistik yang digunakan dalam penelitian. Selanjutnya data diinterpretasikan dan ditarik kesimpulannya.

E. Tata Cara Analisis Hasil

Analisis data pada penelitian ini dilakukan dengan metode statistik deskriptif, yaitu sebuah pengolahan statistik yang memungkinkan peneliti untuk melukiskan dan merangkum hasil pengamatan yang dilakukannya (Faisal, 1989). Metode statistik ini menggunakan teknik persentase, dan ditampilkan dalam bentuk tabel atau gambar. Data frekuensi dapat langsung dianalisis, sedangkan data kelengkapan informasi dan klaim indikasi iklan obat tanpa resep, dinyatakan dulu dalam bentuk rasional dan tidak rasional. Dari 56 jenis obat tanpa resep yang diiklankan pada keempat stasiun televisi, evaluasi kerasionalan hanya dilakukan untuk 53 jenis obat. Mixagrip®, Lafalos®, dan Vitamin IPI CPL® tidak dievaluasi, karena data kerasionalan iklannya tidak dapat disajikan dengan baik.


(1)

Mixagrip Flu & Batuk 2

Visine 1 Vicks Formula 44 1

Oskadon SP 1

Bodrex 3 Vitamin IPI A 1

Vitamin IPI B1 1 Vitamin IPI B12 1 Vitamin IPI B complex 1 Vitamin IPI C 1 Film

13.30-15.30

Vitamin IPI CPL 1 Bodrex Flu & Batuk 1 Infotainmen

15.30-16.00 Oskadon SP 1 Infotainmen

17.30-18.00 0

Sinetron

19.00-20.00 Asthma Soho 1

Neuralgin 1 Mixagrip Flu & Batuk 4

Visine 2

Asthma Soho 1

Paramex 2 Sinetron

20.00-21.30

Vicks Formula 44 2 Infotainmen

06.30-07.00 OBH Tropica Plus 1 P. Memasak

08.30-09.00 0

Film

09.00-10.30 Neo Entrostop 2 Infotainmen

10.30-11.00 Asthma Soho 1 Mixagrip Flu & Batuk 4 Sinetron

12.00-13.30 Visine 2

Infotainmen

15.30-16.00 Komix G 1 11.

Infotainmen

17.30-18.00 0

Sinetron

07.00-08.00 0

Sinetron

08.00-09.00 Komix G 2

Paramex 2 Infotainmen

09.00-10.00 Bodrex Flu & Batuk 1 Neo Entrostop 2 Sinetron

11.30-13.00 Poldan Mig 1 12.

Sinetron

17.30-18.00 OBH Tropica Plus 1

Sinetron

18.00-19.00 0

Sinetron

21.00-22.00 0

Poldan Mig 2

OBH Tropica Plus 1

Creobic 1 Infotainmen

06.30-07.00

Neosanmag Fast 1 Telenovela

07.00-08.00 0

Visine 1 Sinetron

08.00-09.00 Mixagrip Flu & Batuk 2 Sinetron

09.00-10.30 0

Paramex 2 Infotainmen

10.30-11.00 Asthma Soho 1

Paramex 1 Neo Entrostop 2

Bodrex Flu & Batuk 1 Sinetron

12.00-13.30

Vicks Formula 44 1 Sinetron

13.30-14.30 0

Sinetron

14.30-15.30 0

Neo Rheumacyl 2 Neosanmag Fast 1 Bodrex Flu & Batuk 1 Infotainmen

15.30-16.00

Paramex 1 Infotainmen

17.30-18.00 0

Sinetron

20.00-21.00 Asthma Soho 1 Mixagrip Flu & Batuk 2

Paramex 2

Asthma Soho 1

13.

Sinetron 21.00-22.30

Neo Entrostop 2

Creobic 1

Poldan Mig 1

OBH Tropica Plus 1 Infotainmen

06.30-07.00

Neosanmag Fast 1 Telenovela

07.00-08.00 Bodrex Flu & Batuk 1

Komix G 1

Sinetron

08.00-09.00 Visine 1

Sinetron

09.00-10.30 0

Obat Sakit Kepala Cap 19 1 14.

Infotainmen


(2)

Sinetron Komix G 2 12.00-13.30 OBH Combi Batuk Pilek 1 Sinetron

13.30-14.30 0

Sinetron

14.30-15.30 0

Infotainmen Asthma Soho 2

Oskadon SP 1

15.30-16.00

Bodrex Flu & Batuk 1 Infotainmen

17.30-18.00 0

Neuralgin 1 Sinetron

19.00-20.30 Mixagrip Flu & Batuk 1

Total 257

Keterangan tabel pada lampiran 9, 10, 11, dan 12:

Hr : Hari ke-

JA : Jenis Acara WT : Waktu Tayang JI : Jenis Iklan


(3)

Lampiran 13. Data kelengkapan informasi dan klaim indikasi iklan obat tanpa resep pada tayangan acara untuk ibu-ibu di stasiun

televisi A, B, C, D selama dua minggu (periode Juli 2006)

Kelengkapan Informasi Iklan Industri Farmasi

No Jenis Obat

ZA ND Indikasi KI PP

Nama Alamat ESO

Klaim Indikasi

1. Actifed Ekspektoran ─ + + ─ + + ─ ─ solusi yang dipercaya untuk pilek dan batuk berdahak

2. Anakonidin ─ + + ─ + + ─ + meredakan batuk, tenggorokan gatal, dan hidung tersumbat pada anak 3. Asthma Soho ─ + + ─ + + ─ ─ untuk sesak nafas ringan karena asma

4. Biogesic Anak ─ + + ─ + + ─ ─ efektif meredakan demam anak

5. Bodrex ─ + + ─ + + ─ ─ menghilangkan sakit kepala

6. Bodrex Flu & Batuk ─ + + ─ + + ─ + untuk flu dan batuk 7. Bodrex Migra + + + ─ + + ─ ─ untuk sakit kepala sebelah

8. Bodrexin ─ + + ─ + + ─ + penurun panas anak

9. Bodrexin Flu & Batuk ─ + + ─ + + ─ + meredakan flu dan batuk anak

10. Canesten + + + ─ + + ─ ─ atasi gatal jamur, cabut jamur sampai ke akar

11. Contrexyn ─ + + ─ + + ─ ─ untuk panas anak

12. Creobic + + + ─ + + ─ ─ untuk panu, kadas, kutu air

13. Decolgen ─ + + ─ + + ─ ─ hajar flu dengan tiga aksi jitu : pereda bersin, pereda hidung mampet, pereda sakit kepala 14. Fatigon ─ + + ─ ─ + ─ ─ menghilangkan rasa lelah, letih, dan lesu

15. Fungiderm ─ + + ─ + + ─ ─ untuk gatal jamur : kurap, kadas, panu, kutu air 16. Insto + + ─ + ─ ─ ─ meredakan mata merah karena iritasi ringan

17. Inza ─ + + ─ + + ─ + untuk flu

18. Inzana ─ + + ─ + + ─ ─ efektif turunkan panas demam anak

19. Komix G ─ + + ─ + + ─ ─ untuk mengeluarkan dahak

20. Laserin + + + ─ + + ─ ─ untuk batuk

21. Mixagrip Flu & Batuk + + + ─ + + ─ ─ efektif redakan flu dan batuk sekaligus

22. Mylanta ─ + + ─ + + ─ ─ untuk gejala maag : perih dan mual

23. Neo Entrostop ─ + + ─ + + ─ ─ untuk diare yang tak bisa berhenti 24. Neo Napacin ─ + + ─ + + ─ ─ untuk sesak nafas akibat asma


(4)

25. Neo Rheumacyl ─ + + ─ + ─ ─ ─ untuk nyeri otot, nyeri sendi, pegal dan linu 26. Neo Rheumacyl Neuro + + + ─ + + ─ ─ untuk nyeri saraf otot dan pegal

27. Neo Ultracap + + + ─ + + ─ ─ mengatasi letih, lesu, capek, pegal-pegal 28. Neo Ultrasiline ─ + + ─ + ─ ─ ─ efektif untuk panu dan kutu air

29. Neosanmag Fast + + + ─ + + ─ ─ obat maag : menetralkan asam lambung dan mengurangi asam lambung

30. Neuralgin ─ + + ─ + ─ ─ ─ obat sakit kepala

31. Obat Sakit Kepala Cap 19 ─ + + ─ + + ─ ─ untuk sakit kepala, sakit gigi, nyeri otot 32. OBH Combi Batuk Pilek ─ + + ─ + + ─ ─ efektif meredakan batuk dan pilek sekaligus 33. OBH Tropica Plus ─ + + ─ + + ─ + untuk batuk, flu, demam

34. Oskadon ─ + + ─ + + ─ + efektif redakan sakit kepala

35. Oskadon SP ─ + + ─ + + ─ ─ untuk nyeri otot pinggang, nyeri otot punggung, badan pegal linu 36. Panadol Extra ─ + + ─ + ─ ─ ─ efektif untuk sakit kepala tak tertahankan

37. Paramex + + + ─ + + ─ + untuk sakit kepala

38. Paramex Flu & Batuk ─ + + ─ + ─ ─ + meredakan flu dan batuk sekaligus

39. Poldan Mig ─ + + ─ ─ + ─ ─ untuk sakit kepala sebelah akibat migrain dan sakit kepala biasa

40. Procold + + + ─ + + ─ ─ untuk flu : atasi hidung tersumbat

41. Sanaflu + + + ─ + + ─ + efektif meredakan gejala flu : sakit kepala, demam, bersin-bersin, hidung tersumbat 42. Sanaflu Forte + + + ─ + + ─ + efektif meredakan gejala flu : sakit kepala, demam, bersin-bersin, hidung tersumbat

43. Saridon ─ + + ─ + + ─ ─ efektif untuk sakit kepala

44. Ultraflu ─ + + ─ + + ─ ─ meredakan flu

45. Vicks Formula 44 ─ + + ─ + + ─ ─ meredakan batuk dan membantu istirahat 46. Visine ─ + + ─ + + ─ ─ solusi mata merah karena iritasi ringan

47. Vitamin IPI A ─ + + ─ + + ─ ─ menyehatkan badan

48. Vitamin IPI B complex ─ + + ─ + + ─ ─ menyehatkan badan

49. Vitamin IPI B1 ─ + + ─ + + ─ ─ menyehatkan badan

50. Vitamin IPI B12 ─ + + ─ + + ─ ─ menyehatkan badan

51. Vitamin IPI C ─ + + ─ + + ─ ─ menyehatkan badan

52. Woods Antitusif ─ + + ─ ─ + ─ ─ untuk batuk tidak berdahak 53. Woods Ekspektoran ─ + + ─ ─ + ─ ─ untuk batuk berdahak


(5)

Lampiran 14. Komposisi zat aktif 53 jenis obat tanpa resep

No. Jenis Obat Komposisi Zat Aktif

1. Neo Rheumacyl tablet, Oskadon SP tablet

ibuprofen (sama 200 mg), parasetamol (sama 350 mg) 2. Neo Rheumacyl Neuro

kaplet

ibuprofen (200 mg); vitamin B1 (50 mg), B6 (100 mg), B12 (100 mcg) 3. Biogesic Anak sirup tiap5 ml: parasetamol (160 mg)

4. Bodrex tablet, Oskadon tablet, Panadol Extra kaplet

parasetamol (sama 500 mg), kofein (50 mg, 35 mg, 65 mg) 5. Bodrex Migra kaplet,

Saridon tablet

parasetamol (350 mg, 250 mg), propifenazon (sama 150 mg), kofein (sama 50 mg) 6. Bodrexin tablet, Contrexyn

tablet, Inzana tablet

asam asetilsalisilat (sama 80 mg)

7. Neuralgin kaplet parasetamol (350 mg), ibuprofen (200 mg), kofein (50 mg) 8. Obat Sakit Kepala Cap 19

puyer, Poldan Mig kaplet

asam asetilsalisilat (450 mg, 250 mg), parasetamol (351 mg, 400 mg), kofein (99 mg, 65 mg)

9. Paramex tablet parasetamol (250 mg), propifenazon (150 mg), deksklorfeniramin maleat (1 mg), kofein (50 mg)

10. Fatigon kaplet vitamin E (30 I.U.), B1(100 mg), B6 (50 mg), B12 (100 mcg); kalium-1-aspartat (100 mg), magnesium-1-aspartat (100 mg)

11. Neo Ultracap kapsul vitamin B1(100 mg), B6 (100 mg), B12 (200 mcg); kofein (50 mg) 12. Vitamin IPI A tablet vitamin A asetat (6000 I.U.)

13. Vitamin IPI B complex tablet

vitamin B1 (2 mg), B2 (2 mg), B6 (2 mg); kalsium pantotenat (10 mg), nikotinamida ( 20 mg)

14. Vitamin IPI B1 tablet vitamin B1(25 mg) 15. Vitamin IPI B12 tablet vitamin B12 (50 mcg) 16. Vitamin IPI C tablet vitamin C (50 mg)

17. Neo Entrostop tablet atapulgit (650 mg), pektin (50 mg)

18. Mylanta tablet aluminium hidroksida (200 mg), magnesium hidroksida (200 mg), simetikon (20 mg) 19. Neosanmag Fast tablet famotidin (10 mg), kalsium karbonat (800 mg), magnesium hidroksida (165 mg) 21. Asthma Soho kaplet, Neo

Napacin tablet

efedrin hidroklorida (12,5 mg, 25 mg), teofilin (125 mg, 130 mg) 22. Komix G sirup tiap 7 ml: gliseril guaiakolat (100 mg), dekstrometorfan hidrobromida

(15 mg), klorfeniramin maleat (2 mg)

23. Laserin sirup tiap 5 ml: herba Euphorbia hirta (0,15 g), rhizoma Zingiber officinale

(6 g), fruktus cardamom (0,15 g), caryophyllum (0,6 g), folium Piper betle (1,8 g), folium Abrus precatorius (0,3 g), folium Mentha arvensis (0,15 g), folium Hibiscus rosa-sinensis (0,15 g), oleum Mentha piperita (0,015 ml), succus liquiritiae (0,015 g) 24. Vicks Formula 44 sirup dekstrometorfan hidrobromida (5 mg), doksilamin suksinat (3 mg)

25. Woods Antitusif sirup tiap 5 ml: dekstrometorfan hidrobromida (7,5 mg), difenhidramin hidroklorida (12,5 mg)

26. Woods Ekspektoran sirup tiap 5 ml: bromheksin hidroklorida (4 mg), gliseril guaiakolat (100 mg)

27. Actifed Ekspektoran sirup tiap 5 ml: triprolidin hidroklorida (1,25 mg), pseudoefedrin hidroklorida (30 mg), gliseril guaiakolat (100 mg)

28. Anakonidin sirup dekstrometorfan hidrobromida (5 mg), gliseril guaiakolat (25 mg), pseudoefedrin hidroklorida (7,5 mg), klorfeniramin maleat (0,5 mg) 29. OBH Combi Batuk Pilek

sirup

tiap 7 ml: succus liquiritiae (167 mg), amonium klorida (50mg), efedrin hidroklorida (4 mg), klorfeniramin maleat (2 mg)

30. Decolgen tablet, Ultraflu kaplet

parasetamol (400 mg, 600 mg), fenilpropanolamin hidroklorida (12,5 mg, 15 mg), klorfeniramin maleat (1mg, 2 mg)

31. Inza tablet, Procold kaplet parasetamol (sama 500 mg), pseudoefedrin hidroklorida (sama 30 mg), klorfeniramin maleat (1 mg, 2 mg )

32. Sanaflu kaplet, Sanaflu Forte kaplet

parasetamol (500 mg, 650 mg), fenilpropanolamin hidroklorida (sama 15 mg)

33. Bodrex Flu & Batuk kaplet parasetamol (500 mg), fenilpropanolamin hidroklorida (15 mg), dekstrometorfan hidrobromida (10 mg)

34. Bodrexin Flu & Batuk sirup tiap 5 ml: parasetamol (80 mg), klorfeniramin maleat (0,4 mg), fenilpropanolamin hidroklorida (2 mg), gliseril guaiakolat (20 mg), sodium sitrat (60 mg)

35. Mixagrip Flu & Batuk kaplet

parasetamol (500 mg), dekstrometorfan hidrobromida (10 mg), pseudoefedrin hidroklorida (30 mg)

36. OBH Tropica Plus sirup tiap 5 ml: succus glycyrrhizae (166,70 mg), parasetamol (133,30 mg), amonium klorida (50,00 mg), efedrin hidroklorida (2,67 mg), klorfeniramin maleat (0,67 mg), minyak anis (4,00 mg)

37. Paramex Flu & Batuk tablet parasetamol (250 mg), propifenazon (150 mg), pseudoefedrin hidroklorida (30 mg), dekstrometorfan hidrobromida (15 mg)

38. Canesten krim, Fungiderm krim, Neo Ultrasiline krim

klotrimazol 1% b/b 39. Creobic krim tolnaftat 1% b/b

40. Insto tetes mata tetrahidrozolin hidroklorida (0,05% b/v), benzalkonium klorida (0,01% b/v) 41. Visine tetes mata tetrahidrozolin hidroklorida (0,05% b/v)


(6)

BIOGRAFI PENULIS

Penulis skripsi yang berjudul “Evaluasi Kerasionalan

Iklan Obat Tanpa Resep pada Tayangan Acara untuk

Ibu-ibu di Empat Stasiun Televisi Swasta Nasional

Indonesia” ini bernama Kartikaningtyas Yunari. Lahir

di Pati pada tanggal 31 Januari 1980 sebagai putri ketiga

dari tiga bersaudara, dari pasangan Bapak H. Karyono

dan Ibu Hj. Kadarwati. Penulis menyelesaikan

pendidikan Taman Kanak-kanak di TK Pertiwi Pati pada

tahun 1986, pendidikan Sekolah Dasar di SD Pati Lor II

Pati pada tahun 1992, pendidikan Sekolah Menengah Pertama di SMP Negeri 1

Pati pada tahun 1995, dan pendidikan Sekolah Menengah Umum di SMU Negeri

1 Pati pada tahun 1998. Sempat melanjutkan pendidikan di Fakultas Kedokteran

Hewan Universitas Gadjah Mada sebelum akhirnya melanjutkan pendidikan di

Fakultas Farmasi Universitas Sanata Dharma pada tahun 1999.