Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994

iklan obat yaitu peringatan perhatian precaution; kontraindikasi; dan nama dan alamat industri farmasi atau distributor. Beberapa penyebab tidak lengkapnya informasi iklan obat yaitu durasi iklan yang singkat Yunita, 2007 dan mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain Fajryah, 2009.

C. Evaluasi Iklan Obat Menurut Kepmenkes No. 386 Tahun 1994

Tentang Pedoman Periklanan Iklan obat tidak hanya dievaluasi berdasarkan aturan dari WHO tahun 1988, tetapi juga berdasarkan aturan dari Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan. Evaluasi iklan obat dikatakan sesuai menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 bila semua informasi ditampilkan dalam iklan dan dikatakan tidak sesuai jika terdapat salah satu informasi yang tidak ditampilkan. Informasi yang harus ditampilkan dalam iklan obat menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan ditampilkan pada tabel VIII. Hasil penelitian evaluasi kelengkapan informasi iklan obat menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 dapat dilihat pada lampiran 8. Lampiran 8 tersebut menunjukkan bahwa dari 46 iklan obat, tidak ada yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Iklan obat yang memenuhi kriteria kelengkapan informasi, dapat membantu masyarakat untuk menilai apakah obat tersebut sesuai atau tidak dengan kebutuhan dan keadaaan tubuh mereka Turisno, 2012. Tabel VIII. Informasi Iklan Obat yang Harus Ditampilkan Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 Anonim No. Informasi dalam Iklan Obat 1. Zat aktif 2. Nama dagang 3. Indikasi utama obat 4. Informasi keamanan obat 5. Nama industri farmasi 6. Tidak terdapat Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium 7. Terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER untuk obat atau BACA ATURAN PAKAI untuk vitamin dengan durasi selama 3 detik 8. Kesesuaian klaim indikasi Menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, iklan obat harus mencantumkan zat aktif; nama dagang; indikasi utama obat; nama industri farmasi; tidak diperankan oleh tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium; dan spot peringatan berdurasi 3 detik. Klaim indikasi suatu iklan obat juga harus sesuai dengan aturan dari Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa informasi dalam iklan obat yang paling sering tidak ditampilkan yaitu spot peringatan dengan durasi 3 detik; informasi keamanan obat; zat aktif; kesesuaian klaim indikasi; nama industri farmasi; indikasi; tidak diperankan oleh tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium. Spot peringatan BACA ATURAN PAKAI. JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER untuk iklan obat harus dicantumkan. Hal tersebut berlaku pula pada vitamin. Vitamin harus mencantumkan spot peringatan BACA ATURAN PAKAI. Spot peringatan tersebut seharusnya minimal ditayangkan selama 3 detik. Kenyataannya, banyak iklan obat yang mencantumkan spot peringatan kurang dari 3 detik, sehingga masyarakat tidak dapat mencermati spot peringatan tersebut. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan spot peringatan selama 3 detik. Iklan obat pada penelitian ini, pada umumnya hanya mencantumkan spot peringatan selama 1 detik bahkan terdapat beberapa iklan obat yang tidak mencantumkan spot peringatan. Iklan obat yang tidak mencantumkan spot peringatan selama 3 detik, dapat dikatakan tidak mempunyai tanggung jawab moral untuk mengingatkan konsumen agar membaca aturan pakai untuk vitamin dan periksa ke dokter jika penyakit yang diderita tidak kunjung reda untuk obat. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Purwanto 2007 yang menyatakan bahwa spot peringatan berguna untuk mengingatkan konsumen jika penyakit yang diderita tidak kunjung reda, segera periksa ke dokter untuk mendapatkan diagnosa dan terapi yang tepat. Informasi keamanan obat juga perlu dicantumkan dalam iklan obat. Selain dapat menyembuhkan, obat ternyata juga memiliki efek yang dapat merugikan kesehatan Turisno, 2012. Misal vitamin C jika dikonsumsi berlebih, dapat membahayakan ginjal. Masyarakat mempunyai hak untuk mengetahui apakah suatu obat aman atau tidak bagi kondisi patologisnya. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada iklan obat yang mencantumkan informasi keamanan obat. Informasi keamanan obat yang dimaksud dalam penelitian ini yaitu gambaran mengenai suatu obat yang aman bagi organ tubuh tertentu selama mengkonsumsi obat tersebut. Penggunaan kata kunci “aman” bagi organ tubuh tertentu, sebenarnya belum tentu menggambarkan obat tersebut memenuhi aturan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. K ata “aman” tersebut bisa saja terkesan melebih-lebihkan keunggulan suatu produk, sehingga dibutuhkan penjabaran yang jelas tentang definisi informasi keamanan obat yang tercantum pada Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hal tersebut dapat membantu industri farmasi dan biro periklanan dalam memproduksi iklan obat agar sesuai dengan aturan Kepmenkes No. 386 tahun 1994. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif sebesar 71,7 yaitu Albothyl ® , Bodrex ® versi nelayan dan ibu rumah tangga, Combantrin ® , Cooling 5 ® , Counterpain ® , dan lain-lain. Zat aktif bermanfaat dalam pemilihan obat sewaktu sakit Supardi, 2009, sehingga dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan zat aktif, tidak bermanfaat bagi masyarakat saat pemilihan obat. Klaim indikasi iklan obat yang ditampilkan dalam iklan juga harus dievaluasi. Aturan klaim indikasi yang digunakan berdasarkan Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994. Indikasi yang disampaikan dalam iklan obat disampaikan baik secara lisan maupun tertulis. Gejala-gejala suatu penyakit juga ditampilkan dalam iklan obat agar masyarakat dapat lebih mengerti kegunaan suatu obat. Informasi indikasi mempengaruhi masyarakat dalam pemilihan obat, sehingga terdapat produsen obat yang melebih-lebihkan indikasi suatu obat, atau bahkan tidak sesuai dengan indikasi yang sebenarnya Purwanto, 2007. Hal tersebut bertujuan untuk membuat iklan obat semenarik mungkin di mata masyarakat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa 13,1 klaim indikasi iklan obat tidak sesuai dengan Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994. Beberapa iklan obat yang tidak sesuai dengan klaim indikasi Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 akan dijelaskan dibawah ini. Indikasi yang ditampilkan pada iklan Hansaplast ® Koyo , hanya “untuk pijatan yang lebih mantap ”. Menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994, klaim indikasi yang seharusnya ditampilkan yaitu “meringankan gejala-gejala otot kaku dan nyeri”. Iklan Fatigon ® , Neurobion ® , Sakatonik Liver ® dan Sangobion ® juga tidak menampilkan klaim indikasi sesuai Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994. Klaim indikasi pada iklan Neurobion ® yaitu “memperbaiki sel saraf tepi sehingga kebas dan kesemutan dapat dicegah ”. Hal tersebut dapat dikatakan berlebihan karena menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 untuk multivitamin seharusnya indikasi yang disampaikan “mencegah dan mengatasi kekurangan vitamin dan mineral, misalnya sesudah operasi, sakit, wanita hamil dan menyusui, anak dalam masa pertumbuhan serta lansia ”. Hal tersebut berlaku pula bagi iklan multivitamin lainnya. Berdasarkan hasil penelitian ini, banyak iklan multivitamin yang mengklaim indikasi dapat mengatasi pegal, capek, kram dan kesemutan; membantu memelihara daya tahan tubuh; dan memperbaiki stamina tubuh. Seharusnya aturan klaim indikasi untuk multivitamin diperbaharui lagi karena jenis multivitamin yang beredar di pasaran semakin banyak. Hasil evaluasi klaim indikasi iklan obat dicantumkan pada lampiran 9. Hasil penelitian ini juga menunjukkan bahwa terdapat 8,7 iklan obat yang tidak mencantumkan nama industri farmasi, yaitu Cooling 5 ® , Dermatix ® , Dulcolax ® , Hansaplast ® Koyo. Produsen bertanggung jawab atas kelengkapan sebuah iklan obat sehingga nama industri perlu dicantumkan dalam iklan obat Yunari, 2007. Berdasarkan pernyataan Yunari 2007 tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang tidak mencantumkan nama industri, tidak bertanggung jawab atas kelengkapan iklan obat. Iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi sebesar 2,2 yaitu iklan obat Promag ® . Iklan obat yang tidak mencantumkan indikasi dapat menyebabkan gagalnya kerasionalan terapi Direktur Jendral Bina Kefarmasian dan Alat Kesehatan, 2011. Iklan obat tersebut juga akan dikatakan tidak lengkap dan menyesatkan Turisno, 2012. Hasil penelitian Nurmala 2008, menunjukkan bahwa pemeran yang membintangi iklan obat dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan obat. Terlebih lagi jika terdapat tenaga kesehatan yang memerankan iklan tersebut. Tenaga kesehatan yang dimaksud adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan serta memiliki pengetahuan danatau ketrampilan melalui pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan Anonim, 2014a, contohnya dokter. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Spillane 2010, bahwa perusahaan farmasi berpendapat dokter dapat menarik emosi atau perhatian konsumen, sehingga dapat mempengaruhi penjualan obat. Berdasarkan pernyataan tersebut, dapat disimpulkan konsumen akan berpendapat bahwa obat tersebut merupakan pilihan tenaga kesehatan, sehingga konsumen cenderung percaya dan memilih obat tersebut untuk menyembuhkan penyakitnya. Menurut Notoadmodjo dalam Arifin 2012, sebuah iklan dapat ditunjang dengan hasil pengujian di laboratorium, agar menimbulkan rasa percaya calon pembeli. Berdasarkan teori tersebut, dapat disimpulkan bahwa iklan obat yang memiliki setting di laboratorium juga dapat mempengaruhi konsumen dalam pemilihan obat. Hal tersebut yang melatarbelakangi Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 386 tahun 1994 melarang penggunaan setting laboratorium, karena dapat mempengaruhi emosi masyarakat dalam swamedikasi tanpa melihat lebih jauh lagi apakah sesuai indikasi atau tidak. Hasil penelitian ini menunjukkan sebesar 2,2 iklan dari 46 iklan telah melanggar ketentuan ini. Iklan Kalpanax K ® telah melanggar ketentuan tersebut karena memiliki setting di laboratorium. Berdasarkan hasil penelitan ini dan teori yang sudah ada, dapat disimpulkan bahwa iklan obat Kalpanax K ® dengan sengaja telah melanggar aturan yang ada agar dapat mempengaruhi rasa percaya calon pembeli. Nama dagang telah ditampilkan dalam seluruh iklan obat yang diteliti. Hal tersebut menunjukkan bahwa iklan obat dalam penelitian ini telah dapat dibedakan dan mudah diingat masyarakat. Berikut akan ditampilkan persentase kelengkapan iklan obat yang telah diteliti menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 tentang Pedoman Periklanan. Tabel IX. Persentase Kelengkapan Iklan Obat Periode Juni, Juli, Agustus 2014 Menurut Kepmenkes No. 386 tahun 1994 No. Informasi dalam Iklan Obat Ada Tidak Ada Total n n n 1. Terdapat spot peringatan BACA ATURAN PAKAI JIKA SAKIT BERLANJUT, HUBUNGI DOKTER untuk obat atau BACA ATURAN PAKAI untuk vitamin dengan durasi selama 3 detik 46 100 46 100 2. Informasi keamanan obat 46 100 46 100 3. Zat aktif 13 28,3 33 71,7 46 100 4. Kesesuaian klaim indikasi 40 86,9 6 13,1 46 100 5. Nama industri farmasi 42 91,3 4 6,9 46 100 6. Indikasi utama obat 45 97,8 1 2,2 46 100 7. Tidak terdapat Tenaga kesehatan atau aktor dan atau setting yang beratribut profesi kesehatan dan laboratorium 45 97,8 1 2,2 46 100 8. Nama dagang 46 100 46 100 Keterangan : n = jumlah iklan, = persentase Berdasarkan hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa masih banyak iklan obat, yang dapat menyebabkan kegagalan terapi karena klaim indikasi yang diberikan kurang dan menyesatkan. Hal tersebut sesuai dengan hasil penelitian Purwanto 2007 bahwa penyampaian klaim indikasi yang tidak sesuai pada iklan obat seperti indikasi yang berlebihan, kurang spesifik bahkan tidak terdapat indikasi sama sekali, dapat menyebabkan kegagalan terapi. Iklan obat yang memiliki klaim indikasi tidak sesuai harus diperbaiki agar tidak merugikan masyarakat akibat memberikan informasi yang kurang dan menyesatkan. Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 juga dapat dikatakan ideal untuk kriteria penilaian iklan obat karena tidak hanya mengatur informasi yang harus dicantumkan, tetapi juga mengatur teknis pelaksanaan iklan Yunari, 2007. Misalkan mengatur durasi spot peringatan iklan obat. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa iklan obat yang beredar di Indonesia selama periode Juni, Juli dan Agustus tahun 2014 tidak mencantumkan informasi iklan obat yang lengkap menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994. Informasi iklan obat berupa nama dagang, indikasi, zat aktif, nama industri farmasi, klaim indikasi yang sesuai, telah dicantumkan pada sebagian besar iklan obat. Informasi yang tidak dicantumkan pada sebagian besar iklan obat menurut Kepmenkes Keputusan Menteri Kesehatan No. 386 tahun 1994 yaitu informasi keamanan obat dan spot peringatan selama 3 detik. Durasi spot peringatan yang terdapat pada iklan obat, rata-rata hanya berdurasi 1 detik. Tidak lengkapnya penampilan informasi iklan obat dan singkatnya durasi spot peringatan, disebabkan karena durasi iklan yang singkat Yunita, 2007 yaitu 15 detik atau 30 detik per iklan. Mahalnya biaya iklan televisi dibandingkan media lain Fajryah, 2009, juga salah satu faktor yang menyebabkan industri farmasi tidak dapat menampilkan informasi yang lengkap dan menayangkan spot peringatan selama 3 detik. Bagaimanapun juga, iklan obat harus tetap mencantumkan informasi yang lengkap karena jika tidak lengkap, iklan obat tersebut dikatakan menyesatkan. Turisno 2012 menyatakan bahwa iklan yang dengan sengaja menyembunyikan fakta tertentu tentang suatu produknya, yang apabila diketahui oleh konsumen, dapat mengakibatkan tidak dibeli dan tidak digunakan produk tersebut lagi. Kurangnya informasi iklan obat tersebut menunjukkan bahwa iklan obat belum dapat memberikan informasi yang memadai, sehingga tidak dapat dijadikan masyarakat sebagai pedoman untuk melakukan swamedikasi atau pengobatan mandiri. Ada baiknya jika masyarakat juga memperhatikan informasi yang terdapat pada kemasan obat. Tidak hanya informasi yang terdapat pada iklan obat saja, sehingga masyarakat dapat mengetahui kontraindikasi, efek samping dan aturan pakai obat yang tidak ditampilkan pada iklan. Kesalahan dalam penggunaan obat pun dapat dihindari Purwanto, 2007. Sayangnya masyarakat masih enggan membaca informasi yang terdapat pada kemasan obat. masyarakat hanya mengandalkan informasi yang terdapat pada media massa untuk melakukan swamedikasi Dimara, 2012. Media elektronik berupa televisi dipandang sebagai sumber berita utama oleh 70 responden. Media cetak berupa koran atau surat kabar juga merupakan sumber berita utama setelah televisi Lane, 2009. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, disarankan untuk penelitian selanjutnya mengevaluasi iklan obat di koran atau surat kabar. Masyarakat juga kerap membeli obat secara eceran sehingga obat yang mereka beli tidak disertai kemasan karena berdasarkan pengalamannya cukup satu kali mengkonsumsi obat saja, mereka sudah merasa sembuh Purwanto, 2007. Hal tersebut menyebabkan masyarakat tidak dapat mengetahui informasi terkait penggunaan obat yang tertera pada kemasan. Pemerintah harus mengambil langkah dalam mengatasi permasalahan iklan obat di Indonesia. Salah satunya dengan selalu meninjau iklan obat, sehingga masyarakat tidak akan disesatkan oleh iklan karena tidak semua masyarakat memiliki pengetahuan tentang obat-obatan Yunari, 2007. Peran masyarakat juga diperlukan dalam mengatasi permasalahan ini. Hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 174 yang menyatakan bahwa masyarakat berperan serta, baik secara perorangan maupun terorganisasi dalam rangka mempercepat pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya. Masyarakat dapat mempercepat pencapaian derajat kesehatan dengan bersikap kritis mencermati informasi yang tertera dalam iklan obat dan kemasan. Masyarakat diharapkan melapor ke BPOM atau LPKSM Lembaga Perlindungan Konsumen Swadaya Masyarakat jika merasa ada iklan obat yang kurang sesuai dengan aturan yang ada Supardi, 2009.

D. Evaluasi Iklan Obat Menurut DPI Tahun 2005