Kata Deiksis bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992.

25 Deiksis adalah bentuk bahasa yang referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara atau penulis, dan tergantung pada waktu dan tempat bentuk itu dituturkan. Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora. Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti aku „saya‟, kene „di sini‟, saiki „sekarang‟, mau „tadi‟ adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata aku „saya‟, kene „sini‟, saiki „sekarang‟ baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

1.6.2 Jenis-jenis Deiksis

Kaswanti Purwo 1984 membagi deiksis menjadi tiga, yaitu i deiksis persona, ii deiksis ruang, dan iii deiksis waktu. 26

1.6.2.1 Deiksis Persona

Deiksis persona adalah salah satu jenis deiksis persona yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan. Dalam penelitian ini, dipilih istilah persona. Kata lain persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani prosopon , yang artinya „topeng‟ topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara, dan juga berarti peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama. Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar maka ia berganti memakai „topeng‟ yang disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan tetapi menjadi bahan pembicaraan, atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan itu sendiri secara aktif diberi „topeng‟ yang disebut persona ketiga. Ada dua bentuk kata ganti persona pertama: aku dan saya, masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling mengenal atau sudah akrab hubungannya. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal misalnya, dalam suatu ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling mengenal, tetapi dapat pula dipakai dalam situasi informal; kata saya dapat dipergunakan dalam konteks pemakainya „sama‟ dengan kata aku. Oleh karena itu,