Deiksis bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992.

(1)

1

DEIKSIS BAHASA JAWA NGOKO

DALAM MAJALAH DJAKA LODANG EDISI MEI 1992

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia

Program Studi Sastra Indonesia

Oleh Albert Wempi NIM: 064114012

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS SASTRA

UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA


(2)

(3)

(4)

4

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini aku persembahkan Kepada

Kedua orang tua, kakak, dan adikku yang sangat aku cintai, terima kasih atas segala kasih sayang, perhatian,


(5)

5

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan dalam kutipan dan daftar pustaka layaknya karya ilmiah.

Yogyakarta, 29 Juli 2013 Penulis,


(6)

6

ABSTRAK

Wempi, Albert. 2013. “Deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Mei 1992”. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini dibahas tentang deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Mei 1992, tujuan untuk mengkaji deiksis dalam tuturan bahasa Jawa. Penelitian ini dilakukan melalui langkah sebagai berikut. Apa saja jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis-jenis deiksis bahasa Jawa ngoko.

Objek penelitian ini adalah deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Objek penelitian tersebut berada dalam data yang berupa tuturan yang mengandung deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Data tersebut diperoleh dari sumber majalah yaitu Djaka Lodang edisi Mei 1992.

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Yang disimak adalah tuturan-tuturan tertulis yang mengandung deiksis. Untuk melaksanakan metode simak digunakan teknik sadap dan teknik catat. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode padan. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik baca. Teknik padan diterapkan dalam menentukan jenis deiksis.

Hasil penelitian ini meliputi jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Kategori jenis deiksis yaitu deiksis persona yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan. Deiksis persona meliputi, aku„saya‟, kowe „kamu dan anda‟ dheweke„dia‟, awake dhewe„kita‟. Deiksis ruang meliputi, kono „di situ‟, kene „di sini”, kana „di sana‟, iki „ini‟, iku „itu‟, kuwi „itu‟, kae‟ itu‟. Deiksis waktu meliputi, mau‟tadi‟, sukemben „lain kali‟, saiki „sekarang‟, wingi„kemarin‟, mengko „nanti‟, sesuk„besok‟.


(7)

7

ABSTRACT

Wempi, Albert. 2013. “Deiksis in Javanese Ngoko Language on Djaka Lodang‟s Magazines Mei Edition 1992”. Essay for 1st

Strata (S1) Indonesian, Literature Study Program, Faculty of Indonesian Literature Sanata Dharma University.

This research is to study about Deiksis at Javanese Ngoko Language which contained in Djaka Lodang Magazines on May Edition year 1992. As for goals of this research is to reviewing deiksis in speech in the Javanese language. This research is done by a few steps, which are to define what kind of deiksis at Javanese ngoko language, which has purpose describing all those kinds of deiksis in Javanese ngoko language.

The object of this study is deiksis in Javanese ngoko language. That research object contained in datas which speech that include in deiksis persona (person), deiksis ruang (space), deikisis waktu (time). All of those datas was taken from the source which is Djaka Lodang magazines on May edition year 1992.

This study or research is trough by three stages, (I) to collect datas, (II) to analyze datas, and (III) to serve the presentation of the results of the analysis, collecting datas by using metode simak. There is something that had to be noted by this method namely the writen speech that contains deiksis. To implement “metode simak”, there are using “teknik sadap” (tapping technique) and “teknik catat” (technical note). For further, datas analyzed by “metode padan” (unified method), using the technical chimney (teknik baca). Unified method is applied to determine the kind of deiksis.

The results of this research include the types of deiksis in Javanes ngoko language. The categories type deiksis which are, deiksis persona (persona deiksis) which means: persona noun that has meaning of movings referent in accordance with the dialogue context, persona deiksis covers, aku „saya‟ (me), dheweke „dia‟ (you), awake dhewe „kita‟ (us). Space deiksis covers: kono „di situ‟ (there), kene „di sini‟ (here), kana „di sana‟ (there), iki „ini‟ (this), iku „itu‟ (that), kae „sana‟ (that). Time deiksis covers: mau „tadi‟ (was), sukemben „lain kali‟ (next time), saiki „sekarang‟ (now), wingi „kemarin‟ (yesterday), mengko„nanti‟ (later), sesuk„besok‟ (tomorrow).


(8)

8

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Albert Wempi

Nomor Mahasiswa : 064114012

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul

“Deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Mei 1992”

beserta perangkat yang diperlukan (bila ada).

Dengan ini, saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan dan mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan mempublikasikannya di internet atau media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta izin saya maupun memberikan saya royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta Pada tanggal 29 Juli 2013

Yang menyatakan,


(9)

9

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Mei 1992”. Skripsi ini disusun untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh gelar sarjana S-1 pada Program Studi Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.

Penulis menyadari bahwa selesainya skripsi ini tidak lepas dari dukungan dan bimbingan dari segala pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. I. Praptomo Baryadi, M.Hum., selaku dosen pembimbing I yang penuh kesabaran dan perhatian telah memberikan bimbingan, masukan dan semangat kepada penulis.

2. Bapak Dr. P. Ari Subagyo, M.Hum., selaku dosen pembimbing II yang telah membantu penulis dalam proses penyusunan skripsi dan memberikan petunjuk pada penulis.

3. Bapak Drs. Hery Antono, M.Hum., selaku dosen pembimbing akademik sekaligus Ketua Program Studi Sastra Indonesia.

4. Bapak Drs. F.X. Santosa, M.S., Bapak Drs. B. Rahmanto, M.Hum., Bapak Dr. Yoseph Yapi Taum, M.Hum., Ibu Dra. Fransisca Tjandrasih Adji, M.Hum., dan Ibu S.E. Peni Adji, S.S., M.Hum., atas bimbingan dan ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis selama menjalani studi di Universitas Sanata Dharma.


(10)

10

5. Staf Sekretariat Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma atas pelayanan dan kesabarannya membantu penulis mengurus urusan akademis.

6. Staf Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan berbagai sumber pustaka yang diperlukan selama perkuliahan.

7. Bapak Paulus Hartanto dan Mama Mellyaneri yang selalu memberi semangat, kasih sayang dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

8. Kakak David Okke Ardyan dan adikku Nico dan seluruh keluarga besarku yang selalu memberi semangat, kasih sayang dan doa kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

9. Yulita Maizia atas dukungan dan semangat yang diberikan kepada penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.

10.Sahabat-sahabatku yang telah memberikan doa dan semangatnya.


(11)

11

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PENGESAHAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN PENGUJI ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ... viii

KATA PENGANTAR ... ix

DAFTAR ISI ... xi

DAFTAR TABEL ... xiii

BAB I PENDAHULUAN 1.1Latar Belakang ... 1

1.2Rumusan Masalah ... 5

1.3Tujuan Penelitian ... 5

1.4Manfaat Penelitian ... 5

1.5Tinjauan Pustaka ... 6


(12)

12

1.6.1 Pengertian Deiksis ... 11

1.6.2 Jenis-jenis Deiksis ... 12

1.6.2.1 Deiksis Persona ... 13

1.6.2.2 Deiksis Ruang ... 15

1.6.2.3 DeiksisWaktu ... 17

1.7Metode Penelitian ... 18

1.7.1Metode dan Teknik Pengumpulan Data ... 18

1.7.2Metode dan Teknik Analisis Data ... 18

1.7.3Metode Pemaparan Hasil Analisis Data ... 20

1.8Sistematika Penyajian ... 21

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Jenis-jenis Deiksis ... 22

2.1.1 Deiksis Persona ... 22

2.1.2 Deiksis Ruang ... 27

2.1.3 Deiksis Waktu ... 38

BAB III PENUTUP 3.1 Kesimpulan ... 44

3.2 Saran ... 62

DAFTAR PUSTAKA ... 63

BIOGRAFI PENULIS ... 64


(13)

13

DAFTAR TABEL

Halaman

Tabel 1: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Persona ...24

Tabel 2: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Ruang ...32

Tabel 3: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Waktu ... 40


(14)

14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Manusia dilahirkan di dalam dunia sosial di mana mereka harus bergaul dengan manusia lain yang berada di sekitarnya. Sejak awal hidupnya dia sudah bergaul dengan orang-orang terdekatnya. Dalam perkembangan hidup selanjutnya, dia mulai memperoleh bahasa setapak demi setapak. Pada saat yang sama, dia juga sudah dibawa ke dalam kehidupan sosial dimana terdapat rambu-rambu perilaku kehidupan. Rambu-rambu ini diperlukan karena meskipun manusia itu dilahirkan bebas, tetapi dia harus hidup bermasyarakat. Oleh karena itu, dia harus pula menguasai norma-norma sosial budaya yang berlaku dalam masyarakat tersebut. Sebagian dari norma-norma ini tertanam dalam bahasa sehingga kompetensi anak tidak hanya terbatas pada apa yang dinamakan pemakaian bahasa tetapi juga penggunaan bahasa.

Suatu informasi pada dasarnya mensyaratkan kecukupan dalam struktur internal informasi itu sendiri sehingga orang yang diajak komunikasi dapat memahami pesan dengan tepat. Deiksis adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan keniscayaan hadirnya acuan ini dalam suatu informasi. Persoalan akan muncul, bagaimana jika informasi itu hanya dapat dipahami dari konteksnya. Menariknya, meski deiksis ini erat kaitannya dengan konteks berbahasa.


(15)

15

Kata deiksis berasal dari kata Yunani deiktikos, yang berarti „hal penunjukan secara langsung‟. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung (pada masa setelah Aristoteles) sebagai lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah pembuktian tidak langsung (The Compact Edition of the Oxford English Dictionary dalam Kaswanti Purwo, 1984: 2). Sebelumnya, istilah deiktikos dipergunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam pengertian yang sekarang kita sebut kata ganti demonstratif.

Deiksis adalah bentuk bahasa yang referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, atau penulis, dan tergantung pada waktu dan tempat bentuk itu dituturkan (Kaswanti Purwo, 1984: 1). Berikut ini contoh deiksis dalam bahasa Jawa Ngoko:

(1) Manut pengalaman sing uwis-uwis, kampanye Pemilu kaya mangkono iku

pancen nuwuhake gesrekan-gesrekan, malah bisa nuwuhake pasulayan, sing ora mokal njalari suhu politik dadi panas. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3). Menurut pengalaman yang pernah ada, kampanye pemilu seperti itu memang menimbulkan gesekan-gesekan, malah bisa menumbuhkan kecurigaan, dan hal-hal lainnya yang membuat suhu politik menjadi panas‟.

(2) Padha dene nuding kaluputaning liyan, nganggep awake dhewe utawa kelompoke dhewe sing bener. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

„Saling menunjukkan kelemahan pihak lain, dan menganggap diri sendiri atau kelompoknya yang paling benar‟.


(16)

16

(3) Strategi lan siasat wis diatur kanggo menangake Pemilu candhake yaiku Pemilu 1992 iki. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

Strategi dan siasat sudah ditata untuk memenangkan pemilu berikut yaitu pemilu 1992‟.

(4) Nanging kita ora perlu kuwatir, jalaran negara kita kang adhedhasar demokrasi Pancasila kuwi tansah ngayomi wargane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).

Tetapi kita tidak perlu khawatir, karena Negara kita berlandaskan demokrasi dan selalu mengayomi rakyatnya‟.

(5) Dene pamrihe panemu-panemu mau pengangkahe banjur bisa dingerteni sanak kadang sing mengko bakal kepilih dadi wakiling rakyat ing parlemen (DPR) utawa ing MPR. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).

Tujuan yang diungkapkan agar dapat dipahami oleh saudara-saudara yang nanti bakal terpilih menjadi wakil rakyat di parlemen DPR atau MPR‟.

(6) Jinis-jinis satwa kasebut uga jinis liyane kang ora disebutake ana kene.

(Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Jenis-jenis satwa yang disebut termasuk juga lainnya yang tidak disebutkan di sini‟.

(7) Nalika nglatih pemain kang padha mbandel aku pancen rada was-was aja-aja pentas gagal utawa asile kurang becik. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12). Ketika melatih para pemain yang bandel saya sempat was-was nanti pentas gagal atau hasilnya kurang baik‟.


(17)

17

(8) Nah, saiki Kim II-Sung ora bakal bisa mbantah. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 5).

Nah, sekarang kim II-Sung tidak akan bisa mengelak‟.

(9) “Lho,… kok manut le-dha-kandha iku apa kowe ora nungkuli? Ora ngawaki dhewe?”. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

“Lho… mengapa menurut saja yang dikatakan itu apa kamu tidak protes? Tidak percaya diri?”.

(10) Kaya adat sabene, ing warung kono aku sakanca nuli guneman maneka warna, sok-sok ora karuhan alang ujure, sineling guyonan, plesetan utawa glenyengan. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 16).

„Seperti adat yang sudah ada, diwarung itu aku dan teman-teman sering berdialog berbagai tema, terkadang tidak tahu ujung pangkalnya, bercandaan, plesetan‟.

(11) Mung emane, semono suwene sesambungane kok Anton ora gelem menehi fotone padhahal dheweke wis menehi foto telu cacahe. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 6).

„Hanya sayangnya, begitu lamanya berhubungan kok Anton tidak mau memberikan foto dirinya padahal Anton sudah diberi foto pacarnya sejumlah tiga‟.

Alasan peneliti memilih deiksis dalam bahasa Jawa sebagai objek penelitian, pertama yaitu karena belum ada tulisan- tulisan yang mengkaji secara khusus mengenai


(18)

18

deiksis dalam tuturan bahasa Jawa. Kedua, adanya keunikan deiksis dalam tuturan bahasa Jawa yang ditemukan oleh peneliti.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

 Apa saja jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang serta rumusan masalah di atas, melalui penelitian ini adalah:

 Mendeskripsikan jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini berupa deskripsi jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Deskripsi ini memberikan sumbangan teoritis dan praktis dalam bidang pragmatik, yang berkenaan dengan jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Selain itu, penelitian ini diharapkan bermanfaat untuk menambah pengetahuan peneliti dalam bidang pragmatik, terutama yang berkaitan dengan jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko.


(19)

19

Manfaat praktis dari hasil penelitian ini adalah dapat menghasilkan rumusan dalam penggunaan jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko yang dapat membantu penyusunan tata bahasa Jawa.

1.5 Tinjauan Pustaka

Topik tentang deiksis dalam bahasa Jawa ngoko telah dikemukakan oleh Kaswanti Purwo (1984). Kaswanti Purwo (1984) mengkaji deiksis bahasa Indonesia dengan buku yang berjudul Deiksis dalam Bahasa Indonesia. Deiksis adalah bentuk bahasa yang referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara, atau penulis, dan tergantung pada waktu dan tempat bentuk itu dituturkan.

Kaswanti Purwo mengkaji tentang jenis-jenis deiksis yaitu deiksis persona adalah salah satu jenis deiksis persona yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan.

Dalam penelitian ini, dipilih istilah persona. Kata lain persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya „topeng‟ (topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara), dan juga berarti peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama. Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar maka ia berganti memakai „topeng‟ yang disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan), atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan (tetapi tidak


(20)

20

terlibat dalam pembicaraan itu sendiri secara aktif) diberi „topeng‟ yang disebut persona ketiga.

Ada dua bentuk kata ganti persona pertama: aku dan saya, masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling mengenal atau sudah akrab hubungannya. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal (misalnya, dalam suatu ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling mengenal), tetapi dapat pula dipakai dalam situasi informal; kata saya dapat dipergunakan dalam konteks pemakainya „sama‟ dengan kata aku. Oleh karena itu, seseorang yang sedang mempelajari bahasa Indonesia akan merasa „aman‟ apabila selalu mempergunakan saya dalam situasi formal atau informal.

Bentuk persona kedua: engkau dan kamu hanya dapat dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah. Penutur bahasa Indonesia yang berbahasa pertama bahasa Batak akan cenderung memilih memakai bentuk engkau di antara peserta ujaran yang akrab hubungannya karena dalam bahasa Batak bentuk kamu merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua. Sebutan ketakziman untuk persona kedua dalam bahasa Indonesia ada banyak bentuk ragamnya, di antaranya anda, saudara, leksem kekerabatan seperti bapak, kakak, dan leksem jabatan seperti dokter, mantri.

Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara bentuk persona ketiga tunggal ia, dia, beliau (kata beliau dipakai dalam sebutan ketakziman), dan bentuk persona ketiga


(21)

21

jamak mereka. Karena itulah barangkali dalam bahasa Austronesia dikenal bentuk eksklusif (gabungan antara persona pertama dan ketiga) dan bentuk inklusif (gabungan antara persona pertama dan kedua). Bentuk eksklusif dalam bahasa Indonesia adalah kami sedangkan bentuk inklusifnya adalah kita. Dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang ada hanya bentuk eksklusif, dan itu dinyatakan dengan pengertian „saya semua‟ (Sunda: abdi sadaya) atau „badan sendiri‟ (Jawa: awake dhewe; Madura: aba „dibi‟). Bentuk eksklusifnya kami dalam bahasa tulisan dapat dipakai sebagai bentuk editorial; kata kami sebagai kata ganti kata saya juga dapat dijumpai dalam bahasa lisan (misalnya dalam pidato atau khotbah).

Bentuk jamak persona kedua dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan kamu sekalian (tidak ada bentuk*engkau sekalian), atau kalian. Kata sekalian juga dapat dirangkaikan dengan mereka: mereka sekalian.

Deiksis ruang tidak semua leksem ruang dapat bersifat deikstis dan tidak ada leksem ruang yang berupa nomina. Nomina baru dapat menjadi lokatif apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang. Leksem ruang dapat berupa adjektiva, adverbia , atau verba. Pembahasan mengenai leksem yang tidak deiktis didahulukan agar dengan demikian hal yang deiktis menjadi lebih jelas, dan agar tampak bahwa leksem yang tidak deiktis menjadi deiktis apabila dirangkaikan dengan leksem persona. Leksem ruang seperti dekat, jauh, tinggi, pendek tidak bersifat deiktis, seperti tampak pada contoh-contoh

 Sala dekat dengan Yogya.


(22)

22

 Menurut ukuran orang Indonesia si Du termasuk tinggi.

Dalam rangkaian dengan bentuk persona leksem ruang yang tidak deiktis itu menjadi deiktis.

 Rumah si Dul dekat dengan rumah saya.

 Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.

 Menurut saya si Dul itu pendek, tetapi menurut si Yem tinggi.

Hal ruang, seperti yang dapat ditunjukkan oleh preposisi dalam bahasa Indonesia, dapat bersifat statis (menggambarkan hal yang diam) dan dapat bersifat dinamis (menggambarkan hal yang bergerak). Untuk hal yang bergerak itu perlu dibedakan antara pengertian tempat asal gerakan (TA) dan tempat tujuan gerakan (TT). Atau, dengan memakai peristilahan dalam penelitian ini: ke- memasalahkan tempat tujuan (TT), sedangkan dari memasalahkan tempat asal (TA).

Ketiga preposisi itu disebut „dasar‟ karena dapat dirangkaikan dengan kata lain, dan bersama dengan kata itu juga merupakan preposisi. Kata penuntuk tempat sini, situ, sana masing-masing dapat dirangkaikan dengan preposisi di-, ke-, atau dari. Kata mari, yang apabila dirangkaikan dengan ke-, bersinonim dengan sini, tidak dapat dirangkaikan dengan di- atau dari (*di mari, ke mari*dari mari). Dalam banyak bahasa, preposisi hanya dapat diikuti oleh nomina. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia, kecuali dapat diikuti oleh nomina, preposisi juga dapat disusul adjektiva: dengan mudah, dengan baik, (meskipun tidak semua preposisi dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam rangkaian seperti ini).


(23)

23

Pronomina lokatif dalam bahasa Indonesia juga dapat dipergunakan sebagai kata ganti persona: sini, sebagai kata ganti persona pertama, situ kata ganti persona kedua, dan sana kata ganti persona ketiga. Contohnya:

Sini sudah setuju, tinggal situ bagaimana. Tentang pendapat sana nanti bagaimana, itu terserah kepada mereka.

Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa (Nababan, 1987:41).

Bentuk deiksis waktu yang ditemukan dalam penelitian ini ada dua, yaitu kata dan frase. Kata yang ditemukan yaitu kata monomorfemis. Frase yang ditemukan dibedakan menjadi dua, yaitu frase endosentrik dan frase eksosentrik.

a. Kata

Kata adalah satuan bebas yang paling kecil. Kata merupakan suatu bentuk yang dapat diujarkan tersendiri dan bermakna, yang kemudian tidak dapat dibagi-bagi atas bentuk-bentuk yang salah satu atau keduanya memiliki potensi untuk diujarkan tersendiri sebagai kata.

Bentuk deiksis waktu dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 berupa kata terdiri atas satu morfem. Kata yang berunsur satu morfem disebut kata monomorfemis. Data bentuk deiksis waktu berupa kata monomorfemis yang ditemukan dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 antara lain sebagai berikut.

(12) Kuwi mau iya kalebu penulisan sing malah bisa gawe kisruh. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).


(24)

24

(13) Nyatane dheweke kuwat nggedhang krang tekan saiki suwene 44 taun. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 5).

„Nyatanya dia kuat berkuasa sampai sekarang selama 44 tahun‟.

1.6 Landasan Teori

Dalam landasan teori ini, dipaparkan pengertian deiksis dan jenis deiksis.

1.6.1 Pengertian Deiksis

Kata deiksis berasal dari bahasa Yunani deiktikos, yang berarti „hal penunjukan secara langsung‟. Dalam logika istilah Inggris deictic dipergunakan sebagai istilah untuk pembuktian langsung (pada masa setelah Aristoteles) sebagai lawan dari istilah elenctic, yang merupakan istilah pembuktian tidak langsung (The Compact Edition of the Oxford English Dictionary dalam Kaswanti Purwo, 1984: 2). Sebelumnya, istilah deiktikos dipergunakan oleh tatabahasawan Yunani dalam pengertian yang sekarang kita sebut kata ganti demonstratif.

Menurut Kaswanti Purwo (1984: 1) sebuah kata dikatakan bersifat deiksis apabila rujukannya berpindah-pindah atau berganti-ganti, tergantung siapa yang menjadi pembicara, saat dan tempat dituturkannya kata-kata itu. Dalam bidang linguistik terdapat pula istilah rujukan atau sering disebut referensi, yaitu kata atau frasa yang menunjuk kata, frase atau ungkapan yang akan diberikan.


(25)

25

Deiksis adalah bentuk bahasa yang referennya berpindah-pindah tergantung pada siapa yang menjadi pembicara atau penulis, dan tergantung pada waktu dan tempat bentuk itu dituturkan.

Berdasarkan beberapa pendapat, dapat dinyatakan bahwa deiksis merupakan suatu gejala semantis yang terdapat pada kata atau konstruksi yang acuannya dapat ditafsirkan sesuai dengan situasi pembicaraan dan menunjuk pada sesuatu di luar bahasa seperti kata tunjuk, pronomina, dan sebagainya. Perujukan atau penunjukan dapat ditujukan pada bentuk atau konstituen sebelumnya yang disebut anafora. Perujukan dapat pula ditujukan pada bentuk yang akan disebut kemudian. Bentuk rujukan seperti itu disebut dengan katafora.

Fenomena deiksis merupakan cara yang paling jelas untuk menggambarkan hubungan antara bahasa dan konteks dalam struktur bahasa itu sendiri. Kata seperti aku „saya‟, kene„di sini‟, saiki „sekarang‟, mau „tadi‟ adalah kata-kata deiktis. Kata-kata ini tidak memiliki referen yang tetap. Referen kata aku„saya‟, kene„sini‟, saiki „sekarang‟ baru dapat diketahui maknanya jika diketahui pula siapa, di tempat mana, dan waktu kapan kata-kata itu diucapkan. Jadi, yang menjadi pusat orientasi deiksis adalah penutur.

1.6.2 Jenis-jenis Deiksis

Kaswanti Purwo (1984) membagi deiksis menjadi tiga, yaitu (i) deiksis persona, (ii) deiksis ruang, dan (iii) deiksis waktu.


(26)

26

1.6.2.1Deiksis Persona

Deiksis persona adalah salah satu jenis deiksis persona yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan.

Dalam penelitian ini, dipilih istilah persona. Kata lain persona ini merupakan terjemahan dari kata Yunani prosopon, yang artinya „topeng‟ (topeng yang dipakai oleh seorang pemain sandiwara), dan juga berarti peranan atau watak yang dibawakan oleh pemain drama. Referen yang ditunjuk oleh kata ganti persona berganti-ganti tergantung pada peranan yang dibawakan oleh peserta tindak ujaran. Orang yang sedang berbicara mendapat peranan yang disebut persona pertama. Apabila dia tidak berbicara lagi, dan kemudian menjadi pendengar maka ia berganti memakai „topeng‟ yang disebut persona kedua. Orang yang tidak hadir dalam tempat terjadinya pembicaraan (tetapi menjadi bahan pembicaraan), atau yang hadir dekat dengan tempat pembicaraan (tetapi tidak terlibat dalam pembicaraan itu sendiri secara aktif) diberi „topeng‟ yang disebut persona ketiga.

Ada dua bentuk kata ganti persona pertama: aku dan saya, masing-masing memiliki perbedaan dalam pemakaian. Kata aku hanya dapat dipakai dalam situasi informal, misalnya di antara dua peserta tindak ujaran yang saling mengenal atau sudah akrab hubungannya. Kata saya dapat dipergunakan dalam situasi formal (misalnya, dalam suatu ceramah, kuliah, atau di antara dua peserta tindak ujaran yang belum saling mengenal), tetapi dapat pula dipakai dalam situasi informal; kata saya dapat dipergunakan dalam konteks pemakainya „sama‟ dengan kata aku. Oleh karena itu,


(27)

27

seseorang yang sedang mempelajari bahasa Indonesia akan merasa „aman‟ apabila selalu mempergunakan saya dalam situasi formal atau informal.

Bentuk persona kedua: engkau dan kamu hanya dapat dipergunakan di antara peserta ujaran yang sudah akrab hubungannya, atau dipakai oleh orang yang mempunyai status sosial lebih tinggi untuk menyapa lawan bicara yang berstatus sosial lebih rendah. Penutur bahasa Indonesia yang berbahasa pertama bahasa Batak akan cenderung memilih memakai bentuk engkau di antara peserta ujaran yang akrab hubungannya karena dalam bahasa Batak bentuk kamu merupakan sebutan ketakziman untuk persona kedua. Sebutan ketakziman untuk persona kedua dalam bahasa Indonesia ada banyak bentuk ragamnya, di antaranya anda, saudara, leksem kekerabatan seperti bapak, kakak, dan leksem jabatan seperti dokter, mantri.

Dalam bahasa Indonesia dibedakan antara bentuk persona ketiga tunggal ia, dia, beliau (kata beliau dipakai dalam sebutan ketakziman), dan bentuk persona ketiga jamak mereka. Karena itulah barangkali dalam bahasa Austronesia dikenal bentuk eksklusif (gabungan antara persona pertama dan ketiga) dan bentuk inklusif (gabungan antara persona pertama dan kedua). Bentuk eksklusif dalam bahasa Indonesia adalah kami sedangkan bentuk inklusifnya adalah kita. Dalam bahasa Jawa, Sunda, dan Madura yang ada hanya bentuk eksklusif, dan itu dinyatakan dengan pengertian „saya semua‟ (Sunda: abdi sadaya) atau „badan sendiri‟ (Jawa: awake dhewe; Madura: aba „dibi‟). Bentuk eksklusifnya kami dalam bahasa tulisan dapat dipakai sebagai bentuk editorial; kata kami sebagai kata ganti kata saya juga dapat dijumpai dalam bahasa lisan (misalnya dalam pidato atau khotbah).


(28)

28

Bentuk jamak persona kedua dalam bahasa Indonesia dinyatakan dengan kamu sekalian (tidak ada bentuk*engkau sekalian), atau kalian. Kata sekalian juga dapat dirangkaikan dengan mereka: mereka sekalian.

1.6.2.2Deiksis Ruang

Deiksis ruang tidak semua leksem ruang dapat bersifat deikstis dan tidak ada leksem ruang yang berupa nomina. Nomina baru dapat menjadi lokatif apabila dirangkaikan dengan preposisi hal ruang. Leksem ruang dapat berupa adjektiva, adverbia , atau verba. Pembahasan mengenai leksem yang tidak deiktis didahulukan agar dengan demikian hal yang deiktis menjadi lebih jelas, dan agar tampak bahwa leksem yang tidak deiktis menjadi deiktis apabila dirangkaikan dengan leksem persona. Leksem ruang seperti dekat, jauh, tinggi, pendek tidak bersifat deiktis, seperti tampak pada contoh-contoh

 Sala dekat dengan Yogya.

 Bagi kereta api Indonesia jarak itu terlalu jauh.

 Menurut ukuran orang Indonesia si Du termasuk tinggi.

Dalam rangkaian dengan bentuk persona leksem ruang yang tidak deiktis itu menjadi deiktis.

 Rumah si Dul dekat dengan rumah saya.

 Tempat itu terlalu jauh baginya, meskipun bagimu tidak.


(29)

29

Hal ruang, seperti yang dapat ditunjukkan oleh preposisi dalam bahasa Indonesia, dapat bersifat statis (menggambarkan hal yang diam) dan dapat bersifat dinamis (menggambarkan hal yang bergerak). Untuk hal yang bergerak itu perlu dibedakan antara pengertian tempat asal gerakan (TA) dan tempat tujuan gerakan (TT). Atau, dengan memakai peristilahan dalam penelitian ini: ke- memasalahkan tempat tujuan (TT), sedangkan dari memasalahkan tempat asal (TA).

Ketiga preposisi itu disebut „dasar‟ karena dapat dirangkaikan dengan kata lain, dan bersama dengan kata itu juga merupakan preposisi. Kata penuntuk tempat sini, situ, sana masing-masing dapat dirangkaikan dengan preposisi di-, ke-, atau dari. Kata mari, yang apabila dirangkaikan dengan ke-, bersinonim dengan sini, tidak dapat dirangkaikan dengan di- atau dari (*di mari, ke mari*dari mari). Dalam banyak bahasa, preposisi hanya dapat diikuti oleh nomina. Akan tetapi, dalam bahasa Indonesia, kecuali dapat diikuti oleh nomina, preposisi juga dapat disusul adjektiva: dengan mudah, dengan baik, (meskipun tidak semua preposisi dalam bahasa Indonesia dapat dipakai dalam rangkaian seperti ini).

Pronomina lokatif dalam bahasa Indonesia juga dapat dipergunakan sebagai kata ganti persona: sini, sebagai kata ganti persona pertama, situ kata ganti persona kedua, dan sana kata ganti persona ketiga. Contohnya:

Sini sudah setuju, tinggal situ bagaimana. Tentang pendapat sana nanti bagaimana, itu terserah kepada mereka.


(30)

30

1.6.2.3Deiksis Waktu

Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa (Nababan, 1987:41).

Bentuk deiksis waktu yang ditemukan dalam penelitian ini ada dua, yaitu kata dan frase. Kata yang ditemukan yaitu kata monomorfemis. Frase yang ditemukan dibedakan menjadi dua, yaitu frase endosentrik dan frase eksosentrik.

a. Kata

Kata adalah satuan bebas yang paling kecil. Kata merupakan suatu bentuk yang dapat diujarkan tersendiri dan bermakna, yang kemudian tidak dapat dibagi-bagi atas bentuk-bentuk yang salah satu atau keduanya memiliki potensi untuk diujarkan tersendiri sebagai kata.

Bentuk deiksis waktu dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Mei 1992 berupa kata terdiri atas satu morfem. Kata yang berunsur satu morfem disebut kata monomorfemis. Data bentuk deiksis waktu berupa kata monomorfemis yang ditemukan dalam majalah Djaka Lodang edisi bulan Mei 1992 antara lain sebagai berikut.

(14) Lan pasaran mau saliyane ana DIY uga ana sing nate dikirim menyang Aceh Sumatra. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Dan dijual di pasar selain DIY pernah dikirim ke Aceh Sumatera‟.

(15) Akeh para winasis kang ngarani jaman saiki iki Jaman Globalisasi utawa Jaman Informasi. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 26).

„Banyak orang pandai yang menyebut bahwa saat ini adalah zaman Globalisasi atau zaman Informasi‟.


(31)

31

1.7 Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, dan (iii) pemaparan hasil analisis data.

1.7.1 Metode dan Teknik Pengumpulan Data

Objek penelitian ini adalah deiksis bahasa Jawa ngoko dalam Majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992. Objek penelitian ini berada dalam tuturan deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Dengan demikian, data penelitian ini tuturan-tuturan tertulis yang mengandung jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Data diperoleh dari majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992. Penyediaan data lisan dilakukan dengan metode simak. Metode simak adalah metode yang dilakukan dengan cara menyimak penggunaan bahasa (Sudaryanto, 1993:133).

Untuk melaksanakan metode simak digunakan teknik sadap dan teknik catat. Teknik catat adalah menuliskan atau menyalin apa yang sudah ditulis atau diucapkan orang lain, teknik sadap adalah mendengarkan (merekam) informasi (rahasia, pembicaraan) orang lain dengan sengaja tanpa sepengetahuan orangnya.

1.7.2 Metode dan Teknik Analisis Data

Metode padan adalah metode analisis data yang alat penentunya berada di luar bahasa, terlepas, dan tidak menjadi bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1993:13). Metode padan teknik pilah unsur penentu dengan daya pilah pembeda referen digunakan untuk membagi satuan lingual kata menjadi berbagai jenis. Perbedaan


(32)

32

referen yang dituju oleh kata itu harus diketahui lebih dahulu, untuk mengetahui perbedaan referen itu, daya pilah yang bersifat mental yang dimiliki oleh peneliti harus digunakan. Metode padan khusus referensial adalah kenyataan yang ditunjuk oleh bahasa atau referent bahasa dan metode padan pragmatis yang alat penentunya adalah mitra wicara.

Daya pilah itu dipandang sebagai alat, sedangkan penggunan alat yang bersangkutan dapat dipandang sebagai tekniknya. Contoh data deiksis waktu sebagai berikut:

(16) Satwa mau asale tuku apa hadhiah. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 6). „Asal satwa itu didapat dari membeli atau hadiah‟.

(17) Pak Tono saiki dilantik dadi lurah neng desane. „Pak Tono sekarang dilantik menjadi lurah di desanya‟. (18) Aku mengko lunggo neng Wonosari.

„Aku nanti pergi ke Wonosari‟.

Kata mau „tadi‟, saiki „sekarang‟ dan mengko „nanti‟ merupakan kata-kata yang memiliki jangkauan waktu yang berbeda-beda, berdasarkan satuan waktu kata mau termasuk dalam jenis waktu lampau dengan jangkauan dekat tidak pasti, kata saiki termasuk dalam jenis waktu kini dengan jangkauan peristiwa sedang berlangsung dan kata mengko „nanti‟ termasuk dalam jenis waktu akan datang dengan jangkauan dekat ke depan tidak pasti.


(33)

33

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data, yaitu mengatur dan mengurutkan data yang sudah terkumpul. Setelah data terumpul dilakukan analisis terhadap tiap-tiap data, dan dikelompokkan berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Data diklasifikasikan dana diseleksi berdasarkan kriteria-kriteria, yaitu data dianalisis berdasarkan pada kriteria bentuk deiksis waktu dan tempat berupa data dalam bentuk kata dan frase.

Adapun langkah-langkah yang dilakukan dalam menganalisis data, yaitu mengatur dan mengurutkan data yang sudah terkumpul. Setelah data terkumpul dilakukan analisis terhadap tiap-tiap data, dan dikelompokkan berdasarkan kategori yang telah ditentukan. Data diklasifikasikan berdasarkan kriteria-kriteria berikut ini.

 Data dianalisis berdasarkan pada kriteria bentuk deiksis waktu dan tempat berupa data dalam bentuk kata dan frase.

1.7.3 Metode Pemaparan Hasil Analisis Data

Metode pemaparan hasil analisis data yang digunakan adalah metode pemaparan hasil analisis data informaldan formal. Pemaparan hasil analisis data informal adalah pemaparan analisis data dengan menggunakan kata-kata (Sudaryanto, 1993: 145). Dalam pemaparan ini, penulis memaparkan rumus dan kaidah penggunaan deiksis bahasa Jawa ngoko dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 dengan menggunakan kata-kata. Pemaparan data formal yang digunakan dalam penelitian ini adalah pemaparan data dengan menggunakan tabel.


(34)

34

1.8 Sistematika Penyajian

Laporan hasil penelitian ini disusun dalam tiga bab, yaitu Bab I, Bab II, dan Bab III. Bab I berupa pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sisitematika penyajian, Bab II Pembahasan yang berisi jenis- jenis deiksis dan fungsi- fungsi deiksis, dan Bab III Penutup yang berisi simpulan.


(35)

35

BAB II

PEMBAHASAN

2.1Jenis-jenis Deiksis

Dalam bab ini dikemukakan tiga jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko, yaitu (i) deiksis persona, (ii) deiksis ruang, dan (iii) deiksis waktu.

2.1.1 Deiksis Persona

Deiksis persona adalah salah satu jenis deiksis yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan. Contohnya, aku „saya‟, kowe „kamu‟, awake dhewe „kita‟, dheweke „dia‟. Berikut ini dikemukakan contohnya.

(19) Lan cetha menawa njalari pengerahan massa sing kebangetan lan nuwuhake swasana sing kurang nyenengake, anane mung dadi poyok-poyokan, ngala-ala OPP liya, ngalem awake dhewe. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

Dan jelas apabila dilakukan pengerahan massa yang terlalu banyak dan menumbuhkan suasana yang tidak enak, yang akhirnya terjadi saling ejek, menjelek-jelekkan OPP lain, dan memuji diri sendiri‟.

(20) “Ing pagelaran drama mau, aku dadi sutradara serta pemain Gadis Ratna”,

tambahe kanthi mesem lan nerangake yen bapak lan ibune nyengkutung banget marang karir teatere. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).


(36)

36

“Dalam pergelaran drama itu, saya jadi sutradara merangkap pemain gadis Ratna”, tambahnya sambil tersenyum dan menjelaskan bahwa kedua orangtuanya sangat mendukung karirnya berteater”.

(21) Mula saka iku, dalem kabupaten iki dakborongake marang kowe. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 2).

„Pada waktu itu pas jam dua belas tengah malam‟.

(22) Mbaka siji pesenan pentas teka marang dheweke, kayata pesenan saka Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (nalika ulang taun ing taun 1987), PGRI Kaltim (pentas ing stadion Gelora Segiri Samarinda) nalika ngadani Ulang Tun PGRI lan liya-liyane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12). „Satu per satu pesanan untuk pentas datang, seperti pesanan dari Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (ketika berulang tahun di 1987), PGRI Kaltim (pentas di stadion Gelora Segiri Samarinda) ketika mengadakan perayaan ulang tahun PGRI dan lain-lain‟.

(23) Pungkasan iku dheweke mondhok ing kampong Ledok Prawirodirjan RT 60, cerak kali Code. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 10).

„Setelah itu dia tinggal dikampung Ledok Prawirodirjan RT 60, dekat sungai Code‟.

(24) Kowe saiki tambah lemu.


(37)

37

(25) “Sari, piye yen sesambungane awake dhewe diterusake ora mung nganggo layang,” kandhe Suryo alon karo nyawang Sari. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7).

“Sari, bagaimana bila hubungan kita diteruskan tidak hanya melalui surat saja”. Kata Suryo lirih sambil menatap Sari‟‟.

Deiksis orang ditentukan menurut peran peserta dalam peristiwa bahasa. Peran peserta itu dapat dibagi menjadi tiga. Pertama ialah orang pertama, yaitu kategori rujukan pembicara kepada dirinya atau kelompok yang melibatkan dirinya, misalnya aku „saya‟, kowe „kamu‟, awake dhewe „kita‟, dan dheweke „dia‟. Kedua ialah orang kedua, yaitu kategori rujukan pembicara kepada seorang pendengar atau lebih yang hadir bersama orang pertama, misalnya kamu, kalian, saudara. Ketiga ialah orang ketiga, yaitu kategori rujukan kepada orang yang bukan pembicara atau pendengar ujaran itu, baik hadir maupun tidak, misalnya dia dan mereka.

Tabel 1: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Persona

Jenis Deiksis Contoh Kata Contoh Kalimat

Deiksis Persona

aku „saya‟

“Ing pagelaran drama mau, aku dadi

sutradara serta pemain Gadis Ratna”, tambahe kanthi mesem lan nerangake yen bapak lan ibune nyengkutung banget marang karir teatere. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).


(38)

38

“Dalam pergelaran drama itu, saya jadi sutradara merangkap pemain gadis Ratna”, tambahnya sambil tersenyum dan menjelaskan bahwa kedua orangtuanya sangat mendukung karirnya berteater”.

kowe„kamu‟

Mula saka iku, dalem kabupaten iki dakborongake marang kowe. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 2).

„Pada waktu itu pas jam dua belas tengah malam‟.

Kowe saiki tambah lemu.

„Kamu sekarang tambah gemuk‟.

awake dhewe„kita‟

Lan cetha menawa njalari pengerahan massa sing kebangetan lan nuwuhake swasana sing kurang nyenengake, anane mung dadi poyok-poyokan, ngala-ala OPP liya, ngalem awake dhewe. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

Dan jelas apabila dilakukan pengerahan massa yang terlalu banyak dan menumbuhkan


(39)

39

suasana yang tidak enak, yang akhirnya terjadi saling ejek, menjelek-jelekkan OPP lain, dan memuji diri sendiri‟.

“Sari, piye yen sesambungane awake dhewe

diterusake ora mung nganggo layang,” kandhe Suryo alon karo nyawang Sari. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7).

“Sari, bagaimana bila hubungan kita diteruskan tidak hanya melalui surat saja”. Kata Suryo lirih sambil menatap Sari‟‟.

dheweke„dia‟

Pungkasan iku dheweke mondhok ing kampong Ledok Prawirodirjan RT 60, cerak kali Code. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 10).

„Setelah itu dia tinggal dikampung Ledok Prawirodirjan RT 60, dekat sungai Code‟. Mbaka siji pesenan pentas teka marang

dheweke, kayata pesenan saka Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (nalika ulang taun ing taun 1987), PGRI Kaltim (pentas ing stadion Gelora Segiri Samarinda) nalika ngadani Ulang Tun


(40)

40

PGRI lan liya-liyane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

„Satu per satu pesanan untuk pentas datang, seperti pesanan dari Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (ketika berulang tahun di 1987), PGRI Kaltim (pentas di stadion Gelora Segiri Samarinda) ketika mengadakan perayaan ulang tahun PGRI dan lain-lain‟.

Berdasarkan hasil penelitian jenis deiksis persona dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 ditemukan sebanyak 54 yang meliputi frase aku „saya‟ ditemukan sebanyak 3, frase kowe „kamu‟ ditemukan sebanyak 3, frase awake dhewe „kita‟ ditemukan sebanyak 3, dan frase dheweke„dia‟ ditemukan sebanyak 3.

2.1.2 Deiksis Ruang

Deiksis ruang atau deiksis tempat merupakan pemberian bentuk lingual kepada ruang atau tempat dalam peristiwa berbahasa. Contohnya, kono„di situ‟, kene „di sini‟, kana„di sana‟, iki„ini‟, iku„itu‟, kuwi„itu‟, kae„itu‟.

Berikut ini dikemukakan contohnya.

(26) Lan beda maneh karo sing dialami wong seje sing uga nate manggon ing


(41)

41

Dan beda lagi dengan yang dialami orang lain yang juga pernah tinggal di tempat itu‟.

(27) Andi sekolah neng kene. „Andi sekarang sekolah di sini‟.

(28) Isih akeh cara liya maneh sing bisa uga luwih jitu lan luwih ampuh tinimbang kampanye sing mung selawe dina suwene iku. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3). „Masih banyak cara lain yang lebih tepat dan jitu daripada kampanye yang hanya dua puluh lima hari lamanya‟.

(29) Kanthi kesadaran menawa kampanye mono dudu siji-sijining cara kanggo nggayuh kemenangan ing Pemilu mengko, kampanye mung minangka kanggo ganep-ganeping pangupaya kanggo “pengagalangan” massa, samesthine menawa kampanye ing wektu iki bakal lumaku kanthi aman tanpa nuwuhake perkara-perkara utawa pelanggaran sing memanas masyarakat, mligine OPP liya. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

„Tumbuh kesadaran bahwa kampanye bukan satu-satunya cara untuk meraih kemenangan di pemilu nanti, kampanye merupakan cara untuk melengkapi usaha penggalangan massa, seharusnya kampanye saat ini akan berjalan aman tanpa menimbulkan perkara-perkara atau pelanggaran yang memanasi masyarakat, khususnya OPP lain‟.

(30) Yen paugerane durung maton, kuwi sing sok mbingungake, jalaran negara Pancasila kuwi dudu negara polisi, utawa negara kekuasaan, kaya dene otokrasi. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).


(42)

42

„Bila tata tertibnya belum jelas, itu dapat membingungkan karena Negara pancasila bukan Negara polisi, atau Negara kekuaasan seperti otokrasi‟.

(31) Kae ono acara jathilan. „Di sana ada acara jathilan‟.

(32) Neng kana wis dipersiapke karo panitia pitulasan. „Di sana sudah dipersiapkan oleh panitia tujuh belasan‟.

(33) Luwih trep menawa kampanye ing wektu iki kanthi dialog, wawan rembug golek titik temuning ancas lan tujuan kang digayuh bebarengan majuning bangsa lan negara Indonesia sing adhedhasar Pancasila iki tanpa nglanggar paugeran kang wis katemtokake. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3)

„Lebih baik bila kampanye saat ini melaui dialog, musyawarah untuk menemukan solusi dan tujuan tepat yang akan dijalani bersama demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila itu tanpa melanggar peraturan yang telah ditentukan‟.

(34) Nanging kita ora perlu kuwatir, jalaran negara kita kang adhedhasar demokrasi Pancasila kuwi tansah ngayomi wargane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).

Tetapi kita tidak perlu khawatir, karena Negara kita berlandaskan demokrasi dan selalu mengayomi rakyatnya‟.

(35) Neng omah kono ono demite.


(43)

43 (36) Pemandangan neng kana sangat apik.

„Pemandangan di sana sangat bagus‟. (37) Kae anakke sopo?

„Itu anaknya siapa?‟

(38) Kampanye sejatine mung sebageyan saka cara kanggo golek massa panyengkuyung sing saakeh-akehe, nanging dudu mung cara iku sing digunakake. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

Kampanye sesungguhnya hanya salah satu cara untuk mencari masa pendukung yang sebanyak-banyaknya, namun itu bukan satu-satunya cara yang dapat dipakai‟.

(39) Laladan plato jembar 652.225 km2 iki rasa ne tutug karobah sarah bangke merga perang-perang sedulur. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 5).

Wilayah yang seluas 652.225 km2 menjadi terpecah-pecah karena perang saudara‟.

(40) Saliyane kuwi uga manuk Nuri abang, iwak Arwana, lan 74 jinis mamalia serta gadhing gajah. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 6).

Selain itu juga burung nuri merah, ikan arwana dan 74 jenis mamalia serta gading gajah‟.


(44)

44

(41) Samengko kita ulun dhawuhi nutugake anggon kita mertapa ana kene. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 15).

„Nanti kita datang untuk meminta izin dan melihat tempat kita bertapa di sini‟.

(42) Wengi kalima swara mau ora kaprungu cetha, nanging ing kono krasa banget ana srididing angin kaya katut kagawa wong mlaku rikat. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

Malam kelima suara tadi tidak terdengar jelas, tapi di sana sangat terasa hembusan angin yang terbawa ketika orang berjalan cepat‟.

(43) Mula aku kerep ngirim surat marang masku, njerone ana layangku kanggo kowe dak alamatke kana. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7).

„Makanya saya mengirim surat untuk kakakku, di dalamnya ada suratku untukmu yang kualamatkan di sana‟.

(44) Kae motore sopo? „Itu motornya siapa?‟

Berdasarkan data di atas, frase kono„di situ‟, kene„di sini‟, kana„di sana‟, iki „ini‟, iku „itu‟, kuwi „itu‟, dan kae „itu‟, merupakan bentuk deiksis ruang yang mempunyai makna yang berbeda-beda sesuai dengan situasi konteksnya. Frase kono„di situ‟ pada contoh (35) menunjukkan makna rumah angker. Frase kene „di sini‟ pada contoh (27) menunjukkan makna sekolahan. Frase iku „itu‟ pada contoh (28) menunjukkan makna persiapan kampanye. Frase iki „ini‟ pada contoh (29)


(45)

45

menunjukkan makna bukan satu-satunya untuk meraih kemenangan. Frase kuwi „itu‟ pada contoh (30) menunjukkan makna tata tertib. Frase kae „itu‟ pada contoh (31) menunjukkan bahwa di tempat itu ada sebuah acara. Frase kana „di sana‟ pada contoh (32) menunjukkan bahwa ada acara tujuh belasan.

Tabel 2: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Ruang

Jenis Deiksis Contoh Kata Contoh Kalimat

Deiksis Ruang

kono„di situ‟

Lan beda maneh karo sing dialami wong seje sing uga nate manggon ing kono. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

Dan beda lagi dengan yang dialami orang lain yang juga pernah tinggal di tempat itu‟.

Neng omah kono ono demite.

„Di rumah itu ada makhluk halusnya‟.

Wengi kalima swara mau ora kaprungu cetha, nanging ing kono krasa banget ana srididing angin kaya katut kagawa wong mlaku rikat. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

Malam kelima suara tadi tidak terdengar jelas, tapi di sana sangat terasa hembusan angin yang terbawa ketika orang berjalan cepat‟.


(46)

46 kene„di sini‟

Andi sekolah neng kene.

„Andi sekarang sekolah di sini‟.

Samengko kita ulun dhawuhi nutugake anggon kita mertapa ana kene. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 15).

„Nanti kita datang untuk meminta izin dan melihat tempat kita bertapa di sini‟.

kana„di sana‟

Neng kana wis dipersiapke karo panitia pitulasan.

„Di sana sudah dipersiapkan oleh panitia tujuh belasan‟.

Pemandangan neng kana sangat apik.

„Pemandangan di sana sangat bagus‟.

Mula aku kerep ngirim surat marang masku, njerone ana layangku kanggo kowe dak alamatke kana. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7).

„Makanya saya mengirim surat untuk kakakku, di dalamnya ada suratku untukmu yang


(47)

47

kualamatkan di sana‟.

iki„ini‟

Kanthi kesadaran menawa kampanye mono dudu siji-sijining cara kanggo nggayuh kemenangan ing Pemilu mengko, kampanye mung minangka kanggo ganep-ganeping pangupaya kanggo “pengagalangan” massa, samesthine menawa kampanye ing wektu iki

bakal lumaku kanthi aman tanpa nuwuhake perkara-perkara utawa pelanggaran sing memanas masyarakat, mligine OPP liya. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

„Tumbuh kesadaran bahwa kampanye bukan satu-satunya cara untuk meraih kemenangan di pemilu nanti, kampanye merupakan cara untuk melengkapi usaha penggalangan massa, seharusnya kampanye saat ini akan berjalan aman tanpa menimbulkan perkara-perkara atau pelanggaran yang memanasi masyarakat, khususnya OPP lain‟.

Laladan plato jembar 652.225 km2 iki rasa ne tutug karobah sarah bangke merga


(48)

perang-48

perang sedulur. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 5).

„Wilayah yang seluas 652.225 km2

menjadi terpecah-pecah karena perang saudara‟.

Luwih trep menawa kampanye ing wektu iki

kanthi dialog, wawan rembug golek titik temuning ancas lan tujuan kang digayuh bebarengan majuning bangsa lan negara Indonesia sing adhedhasar Pancasila iki tanpa nglanggar paugeran kang wis katemtokake. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3)

„Lebih baik bila kampanye saat ini melaui dialog, musyawarah untuk menemukan solusi dan tujuan tepat yang akan dijalani bersama demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila itu tanpa melanggar peraturan yang telah ditentukan‟.

iku„itu‟

Isih akeh cara liya maneh sing bisa uga luwih jitu lan luwih ampuh tinimbang kampanye sing mung selawe dina suwene iku. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).


(49)

49

„Masih banyak cara lain yang lebih tepat dan jitu dari pada kampanye yang hanya dua puluh lima hari lamanya‟.

Kampanye sejatine mung sebageyan saka cara kanggo golek massa panyengkuyung sing saakeh-akehe, nanging dudu mung cara iku

sing digunakake. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

Kampanye sesungguhnya hanya salah satu cara untuk mencari massa pendukung yang sebanyak-banyaknya, namun itu bukan satu-satunya cara yang dapat dipakai‟.

kuwi„itu‟

Yen paugerane durung maton, kuwi sing sok mbingungake, jalaran negara Pancasila kuwi dudu negara polisi, utawa negara kekuasaan, kaya dene otokrasi. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).

„Bila tata tertibnya belum jelas, itu dapat membingungkan karena Negara pancasila bukan Negara polisi, atau Negara kekuaasan


(50)

50

seperti otokrasi‟.

Nanging kita ora perlu kuwatir, jalaran negara kita kang adhedhasar demokrasi Pancasila

kuwi tansah ngayomi wargane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 4).

„Tetapi kita tidak perlu khawatir, karena Negara kita berlandaskan demokrasi dan selalu mengayomi rakyatnya‟.

Saliyane kuwi uga manuk Nuri abang, iwak Arwana, lan 74 jinis mamalia serta gadhing gajah. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 6).

Selain itu juga burung nuri merah, ikan arwana dan 74 jenis mamalia serta gading gajah‟.

kae„itu‟

Kae ono acara jathilan.

„Di sana ada acara jathilan‟.

Kae motore sopo?

„Itu motornya siapa?‟

Berdasarkan hasil penelitian bentuk deiksis ruang dalam Majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 ditemukan sebanyak 53 yang meliputi frase kono „di situ‟ ditemukan


(51)

51

sebanyak 4, frase kene „di sini‟ ditemukan sebanyak 4, frase kana „di sana‟ ditemukan sebanyak 3, frase iku„itu‟ ditemukan sebanyak 3, frase iki „ini‟ ditemukan sebanyak 4, frase kuwi„itu‟ditemukan sebanyak 4, dan frase kae„itu‟ ditemukan sebanyak 3.

2.1.3 Deiksis Waktu

Deiksis waktu ialah pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa, yaitu saiki „sekarang‟ dibandingkan wingi„kemarin‟, mau„tadi‟, sukemben „lain kali‟, sesuk„besok‟, mengko „nanti‟ Dalam tata bahasa, kata atau frase seperti ini disebut frase keterangan waktu (Nababan, 1987:41). Hal ini dapat dilihat pada contoh berikut ini.

(45) Ketoke saiki kowe uduk uwong miskin meneh, paling ora dibanding aku. „Kayaknya sekarang kamu bukan orang miskin lagi, paling tidak dibanding saya‟.

(46) “Dadi, dadi, dadi, wingi mas nganggone? Pas opo ora? Ya, pas tapi aku mung njupuk kopiah karo baju koko.”

“Jadi, jadi, jadi, kemarin mas memakainya? Pas atau tidak? Ya pas tapi aku hanya mengambil kopiah dan baju koko.”

(47) Awake dhewe ora gelem prihatin karo luwih seneng sego daripada inthil. Tapi mbiyen peceklik kowe tuku gaplek awakedhewe dari tengkulak karo regone duwur. Awake dhewe yo koyo saiki.


(52)

52

„Kita tak mau prihatin dan lebih suka nasi daripada inthil. Tapi ketika keceklik kamu beli kembali gaplek kalian dari tengkulak dengan harga tinggi. Kalian ya seperti ini‟.

(48) Wakito sarta Katiyo saiki isih ndhekem ing LP Wonogiri ngundhuh uwohing panggawe. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 11).

„Wakito dan Katiyo sekarang mendekam di LP Wonogiri, mempertanggung jawabkan perbuatannya‟.

(49) Wingi aku liburan neng Bantul. „Kemarin aku liburan di Bantul‟.

(50) Kewan-kewan mau sawuse teka ing omahe Sutopo banjur dikeleti dijupuk kulite utawa awak-awakane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Hewan-hewan tadi sesudah sampai di rumah Sutopo lalu dikuliti atau diambil bagian tubuh lainnya.

(51) Sukemben motor iki arep didol karo bapakku. „Lain kali motor ini akan dijual oleh bapakku‟. (52) Sesuk Senen neng desaku ono acara sekaten.

„Besok Senin di desaku ada acara sekaten‟. (53) Aku mengko arep neng sekolahan.

„Aku nanti mau ke sekolahan‟.

Berdasarkan data di atas, frase saiki „sekarang‟ pada contoh (45), (47) dan (48) menunjukkan pada saat pembicara mengucapkan kata (saat tuturan). Frase wingi


(53)

53

„kemarin‟ pada contoh (46) dan (49) menunjukkan satu hari sebelum saat tuturan. Frase mau menunjukkan waktu yang sudah berlangsung. Frase sukemben „lain kali‟ pada contoh (51) menunjukkan waktu yang akan datang. Frase sesuk „besok‟ pada contoh (52) menunjukkan pada satu hari setelah saat tuturan. Frase mengko„nanti‟ pada contoh (53) menunjukkan waktu yang akan datang.

Tabel 3: Jenis dan Contoh Kata dan Kalimat Deiksis Waktu

Jenis Deiksis Contoh Kata Contoh Kalimat

Deiksis Waktu saiki„sekarang‟

Ketoke saiki kowe uduk uwong miskin meneh, paling ora dibanding aku.

„Kayaknya sekarang kamu bukan orang miskin lagi, paling tidak dibanding saya‟.

Wakito sarta Katiyo saiki isih ndhekem ing LP Wonogiri ngundhuh uwohing panggawe. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 11).

„Wakito dan Katiyo sekarang

mendekam di LP Wonogiri, mempertanggungjawabkan

perbuatannya‟.


(54)

54

luwih seneng sego daripada inthil. Tapi mbiyen peceklik kowe tuku gaplek awakedhewe dari tengkulak karo regone duwur. Awake dhewe yo koyo

saiki.

„Kita tak mau prihatin dan lebih suka nasi daripada inthil. Tapi ketika keceklik kamu beli kembali gaplek kalian dari tengkulak dengan harga tinggi. Kalian ya seperti ini‟.

wingi„kemarin‟

“Dadi, dadi, dadi, wingi mas

nganggone? Pas opo ora? Ya, pas tapi aku mung njupuk kopiah karo baju koko.”

“Jadi, jadi, jadi, kemarin mas memakainya? Pas atau tidak? Ya pas tapi aku hanya mengambil kopiah dan baju koko.”

Wingi aku liburan neng Bantul.


(55)

55 mau„tadi‟

Kewan-kewan mau sawuse teka ing omahe Sutopo banjur dikeleti dijupuk kulite utawa awak-awakane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Hewan-hewan tadi sesudah sampai di rumah Sutopo lalu dikuliti atau diambil bagian tubuh lainnya.

sukemben „lain kali‟

Sukemben motor iki arep didol karo bapakku.

„Lain kali motor ini akan dijual oleh bapakku‟.

sesuk „besok‟

Sesuk Senen neng desaku ono acara sekaten.

„Besok Senin di desaku ada acara sekaten‟.

mengko„nanti‟

Aku mengko arep neng sekolahan.

„Aku nanti mau ke sekolahan‟.

Berdasarkan hasil penelitian bentuk deiksis ruang dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 ditemukan sebanyak 53 yang meliputi frase saiki „sekarang‟ ditemukan


(56)

56

sebanyak 6, wingi„kemarin‟ ditemukan sebanyak 2, mau„tadi‟ditemukana sebanyak 5, sukemben „lain kali‟ ditemukan 1, sesuk „besok‟ ditemukan 1, dan mengko „nanti‟ ditemukan 2.


(57)

57

BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hasil penelitian tentang deiksis bahasa Jawa ngoko dalam Majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992, dapat disimpulkan sebagai berikut. Jenis-jenis deiksis bahasa Jawa ngoko dalam majalah Djaka Lodang edisi Mei 1992 meliputi deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Deiksis persona merupakan salah satu jenis deiksis yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai konteks percakapan. Contohnya, aku „saya‟, kowe „kamu‟, awake dhewe „kita‟, dan dheweke „dia‟. Deiksis ruang merupakan pemberian bentuk lingual kepada ruang atau tempat dalam peristiwa berbahasa. Contohnya, kono„di situ‟, kene„di sini‟, kana„di sana‟, iki „ini‟, iku „itu‟, kuwi „itu‟, kae „itu‟. Deiksis waktu merupakan pemberian bentuk pada rentang waktu seperti yang dimaksudkan penutur dalam peristiwa bahasa. Contohnya, mau „tadi‟, saiki „sekarang‟ sesuk „besok‟, mengko „nanti‟, wingi „kemarin‟ dan sukemben„lain kali‟.

Tabel 4: Jenis-jenis Deiksis Bahasa Jawa ngoko Majalah Djaka Lodang

Edisi Mei 1992

No. Jenis Deiksis Contoh Kata Contoh Kalimat

1. Deiksis Persona aku„saya‟

Nalika nglatih pemain kang padha mbandel aku pancen rada was-was aja-aja pentas gagal utawa asile kurang becik.


(58)

58

(Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

Ketika melatih para pemain yang bandel saya sempat was-was nanti pentas gagal atau hasilnya kurang baik‟.

Pendhak dina aku nampa layang saka mas Pram. (Djaka Lodang, 23 Mei 1992: 6).

Setiap hari aku menerima surat dari mas Pram‟.

“Ing pagelaran drama mau, aku dadi sutradara serta pemain Gadis Ratna”, tambahe kanthi mesem lan nerangake yen bapak lan ibune nyengkutung banget marang karir teatere. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

“Dalam pergelaran drama itu, saya jadi sutradara merangkap pemain gadis Ratna”, tambahnya sambil tersenyum dan menjelaskan bahwa kedua orangtuanya sangat mendukung karirnya berteater”.

kowe„kamu‟

“Lho,… kok manut le-dha-kandha iku apa


(59)

59

dhewe?”. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

“Lho… mengapa menurut saja yang dikatakan itu apa kamu tidak protes? Tidak percaya diri?”.

Kowe saiki tambah lemu.

„Kamu sekarang tambah gemuk‟.

Mula saka iku, dalem kabupaten iki dakborongake marang kowe. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 2).

„Pada waktu itu pas jam dua belas tengah malam‟.

awake dhewe „kita‟

Padha dene nuding kaluputaning liyan, nganggep awake dhewe utawa kelompoke dhewe sing bener. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

„Saling menunjukkan kelemahan pihak lain, dan menganggap diri sendiri atau kelompoknya yang paling benar‟.

“Sari, piye yen sesambungane awake

dhewe diterusake ora mung nganggo layang,” kandhe Suryo alon karo nyawang


(60)

60

Sari. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7). “Sari, bagaimana bila hubungan kita diteruskan tidak hanya melalui surat saja,” kata Suryo lirih sambil menatap Sari.

dheweke „dia‟

Lan cetha menawa njalari pengerahan massa sing kebangetan lan nuwuhake swasana sing kurang nyenengake, anane mung dadi poyok-poyokan, ngala-ala OPP liya, ngalem awake dhewe. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).

„Dan jelas apabila dilakukan pengerahan massa yang terlalu banyak dan menumbuhkan suasana yang tidak enak, yang akhirnya terjadi saling ejek, menjelek-jelekkan OPP lain, dan memuji diri sendiri‟.

Mung emane, semono suwene

sesambungane kok Anton ora gelem menehi fotone padhahal dheweke wis menehi foto telu cacahe. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 6).


(61)

61

berhubungan kok Anton tidak mau memberikan foto dirinya padahal Anton sudah diberi foto pacarnya sejumlah tiga‟. Mbaka siji pesenan pentas teka marang

dheweke, kayata pesenan saka Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (nalika ulang taun ing taun 1987), PGRI Kaltim (pentas ing stadion Gelora Segiri Samarinda) nalika ngadani Ulang Tun PGRI lan liya-liyane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

„Satu per satu pesanan untuk pentas datang, seperti pesanan dari Kanwil Depdikbud Kaltim, perusahaan kayu PT. Sumalindo (ketika berulang tahun di 1987), PGRI Kaltim (pentas di stadion Gelora Segiri Samarinda) ketika mengadakan perayaan ulang tahun PGRI dan lain-lain‟.

Pungkasan iku dheweke mondhok ing kampong Ledok Prawirodirjan RT 60,


(62)

62

cerak kali Code. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 10).

„Setelah itu dia tinggal dikampung Ledok Prawirodirjan RT 60, dekat sungai Code‟.

2.

Deiksis Ruang

kono„di situ‟

Kaya adat sabene, ing warung kono aku sakanca nuli guneman maneka warna, sok-sok ora karuhan alang ujure, sineling guyonan, plesetan utawa glenyengan. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 16).

„Seperti adat yang sudah ada, diwarung itu aku dan teman-teman sering berdialog berbagai tema, terkadang tidak tahu ujung pangkalnya, bercandaan, plesetan‟.

Neng omah kono ono demite.

„Di rumah itu ada makhluk halusnya‟. Wengi kalima swara mau ora kaprungu cetha, nanging ing kono krasa banget ana srididing angin kaya katut kagawa wong mlaku rikat. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).


(63)

63

Malam kelima suara tadi tidak terdengar jelas, tapi di sana sangat terasa hembusan angin yang terbawa ketika orang berjalan cepat‟.

Lan beda maneh karo sing dialami wong seje sing uga nate manggon ing kono.

(Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

Dan beda lagi dengan yang dialami orang lain yang juga pernah tinggal di tempat itu‟.

kene„di sini‟

Jinis-jinis satwa kasebut uga jinis liyane kang ora disebutake ana kene. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Jenis-jenis satwa yang disebut termasuk juga lainnya yang tidak disebutkan di sini‟. Aku saiki manggon neng omah kene.

„Aku sekarang tinggal di rumah ini‟. Andi sekolah neng kene.

„Andi sekarang sekolah di sini‟.


(64)

64

anggon kita mertapa ana kene. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 15).

„Nanti kita datang untuk meminta izin dan melihat tempat kita bertapa di sini‟.

kana„di sana‟

Pemandangan neng kana sangat apik.

„Pemandangan di sana sangat bagus‟. Mula aku kerep ngirim surat marang masku, njerone ana layangku kanggo kowe dak alamatke kana. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 7).

„Makanya saya mengirim surat untuk kakakku, di dalamnya ada suratku untukmu yang kualamatkan di sana‟.

Neng kana wis dipersiapke karo panitia pitulasan.

„Di sana sudah dipersiapkan oleh panitia tujuh belasan‟.

iki„ini‟

Strategi lan siasat wis diatur kanggo menangake Pemilu candhake yaiku Pemilu 1992 iki. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3).


(65)

65

Strategi dan siasat sudah ditata untuk memenangkan pemilu berikut yaitu pemilu 1992‟.

Luwih trep menawa kampanye ing wektu

iki kanthi dialog, wawan rembug golek titik temuning ancas lan tujuan kang digayuh bebarengan majuning bangsa lan negara Indonesia sing adhedhasar Pancasila iki tanpa nglanggar paugeran kang wis katemtokake. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 3)

„Lebih baik bila kampanye saat ini melaui dialog, musyawarah untuk menemukan solusi dan tujuan tepat yang akan dijalani bersama demi kemajuan bangsa dan Negara Indonesia yang berlandaskan Pancasila itu tanpa melanggar peraturan yang telah ditentukan‟.

Laladan plato jembar 652.225 km2 iki

rasa ne tutug karobah sarah bangke merga perang-perang sedulur. (Djaka


(1)

102

Prabawa dan grup teater Bang Bung, mengajak Martha untuk bermain teater di Medan dan Pematang Siantar‟.

(167) Jalaran kang nerak paugeran mau bisa kena pidana kaya sing dipicak ing

Undang-undang RI No. 5 taun 1990 ngenani Konservasi Sumber Daya Alam

Hayati lan Ekosistem. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 6).

„Karena melanggar tata tertib bisa dikenai pidana sesuai undang-undang RI No. 5 tahun 1990 mengenai konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem‟. (168) Yen ana wong kang tetela nerak paugeran mau kena pidana kunjara paling

suwe 10 (sepuluh) taun lan dhendha paling akeh Rp 200 yuta. (Djaka Lodang, 9

Mei 1992: 7).

„Bila ada orang yang melanggar peraturan itu dikenai penjara paling lama 10 tahun dan denda paling banyak Rp 200 juta‟.

(169) Saliyane kuwi yen tetela satwa kang diayomi mau gawe rugine masarakat bisa

dicekel lan dipateni. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Selain itu yang menyakiti satwa yang dilindungi menimbulkan kerugian masyarakat dapat ditangkap dan dihukum mati‟.

(170) Kewan-kewan mau sawuse teka ing omahe Sutopo banjur dikeleti dijupuk kulite

utawa awak-awakane. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Hewan-hewan tadi sesudah sampai di rumah Sutopo lalu dikuliti atau diambil bagian tubuh lainnya‟.

(171) Lan pasaran mau saliyane ana DIY uga ana sing nate dikirim menyang Aceh


(2)

103

„Dan dijual di pasar selain DIY pernah dikirim ke Aceh Sumatera‟.

(172) Mula salliyane nyambi gawe kerajinan opset ing omahe Sutopo uga gawe

kerajinan kulit kayadene kalung-kalungan, totem fantasi saengga samben mau

bisa nguripi anake cacah loro. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 7).

„Selain membuat kerajinan di rumah Sutopo juga membuat kerajinan kulit seperti kalung, patung fantasi sehingga kegiatan itu bisa menghidupi kedua anaknya‟.

(173) Nyatane dheweke kuwat nggedhangkrang tekan saiki suwene 44 taun. (Djaka

Lodang, 16 Mei 1992: 5).

„Nyatanya dia kuat berkuasa sampai sekarang selama 44 tahun‟.

(174) Nah, saiki Kim II-Sung ora bakal bisa mbantah. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992:

5).

„Nah, sekarang kim II-Sung tidak akan bisa mengelak‟.

(175) Kanthi, mangkono dhaerah tetep bisa muter rekaman pidhato mau. (Djaka

Lodang, 16 Mei 1992: 6).

„Sampai, setiap daerah tetap bisa memutar rekaman pidato tadi‟.

(176) Nanging bareng pagelaran rampung, penonton padha keplok-keplok seneng

atiku bungah”, kandhane Kenya kang lair tanggal 17 Maret 1971 iki kanthi

nijen trehake yen Gadis Ratna kang dilakon ake dheweke ing Pengorbanan mau

cukup entuk kawigaten penonton. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

„“Ketika pergelaran selesai, para penonton bertepuk tangan, hatiku menjadi gembira”, kata gadis kelahiran tanggal 17 Maret 1971 sambil mengatakan bahwa


(3)

104

perannya menjadi Gadis Ratna dalam pentas itu mendapatkan perhatian dari penonton‟.

(177) Saploke pementasan drama mau, jenenge Martha banjur kondhang tekan

ngendi-endi. (Djaka Lodang, 9 Mei 1992: 12).

„Sesudah pementasan drama itu, nama Martha menjadi terkenal dimana-mana‟. (178) Akeh para winasis kang ngarani jaman saiki iki Jaman Globalisasi utawa

Jaman Informasi. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 26).

„Banyak orang pandai yang menyebut bahwa saat ini adalah zaman Globalisasi atau zaman Informasi‟.

(179) Mung ana kanca siji sing nganti saiki terus ngirim surat kanthi ajeg. (Djaka

Lodang, 16 Mei 1992: 6).

„Hanya ada satu orang teman yang sampai sekarang tetap terus mengirim surat‟. (180) “Rampung lomba, rampung urusan saenggala LAKA mau tanpa ana tabete sithik-sithik”, kandhane Martha kanthi nerangke yen artis kang melu lomba ana wong 62, sarta mbayar Rp10.000.000 saben wong siji. (Djaka Lodang, 9 Mei

1992: 12).

„“Setelah lomba, setelah urusan LAKA selesai tanpa meninggalkan kesan sedikitpun”, dikatakan Martha seraya menjelaskan bahwa pesertanya ada 62 orang dan masing-masing membayar Rp 10 juta per orang‟.

(181) Lan wektu iku pas jam rolas tengah wingi. (Djaka Lodang, 16 Mei 1992: 17).

„Pada waktu itu pas jam dua belas tengah malam‟. (182) Pak Tono saiki dilantik dadi lurah neng desane.


(4)

105

„Pak Tono sekarang dilantik menjadi lurah di desanya‟. (183) Aku mengko lunggo neng Wonosari.

„Aku nanti pergi ke Wonosari‟. (184) Wingi aku liburan neng Bantul.

„Kemarin aku liburan di Bantul‟.

(185) Sukemben motor iki arep didol karo bapakku.

„Lain kali motor ini akan dijual oleh bapakku‟. (186) Sesuk Senen neng desaku ono acara sekaten.


(5)

6 ABSTRAK

Wempi, Albert. 2013. “Deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang

Edisi Mei 1992”. Skripsi Strata 1 (S1). Program Studi Sastra Indonesia. Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma. Penelitian ini dibahas tentang deiksis Bahasa Jawa Ngoko dalam Majalah Djaka Lodang Edisi Mei 1992, tujuan untuk mengkaji deiksis dalam tuturan bahasa Jawa. Penelitian ini dilakukan melalui langkah sebagai berikut. Apa saja jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan jenis-jenis deiksis bahasa Jawa ngoko.

Objek penelitian ini adalah deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Objek penelitian tersebut berada dalam data yang berupa tuturan yang mengandung deiksis persona, deiksis ruang, dan deiksis waktu. Data tersebut diperoleh dari sumber majalah yaitu

Djaka Lodang edisi Mei 1992.

Penelitian ini dilakukan melalui tiga tahap, yaitu (i) pengumpulan data, (ii) analisis data, dan (iii) penyajian hasil analisis data. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode simak. Yang disimak adalah tuturan-tuturan tertulis yang mengandung deiksis. Untuk melaksanakan metode simak digunakan teknik sadap dan teknik catat. Selanjutnya, data dianalisis dengan metode padan. Teknik yang digunakan dalam analisis data adalah teknik baca. Teknik padan diterapkan dalam menentukan jenis deiksis.

Hasil penelitian ini meliputi jenis-jenis deiksis dalam bahasa Jawa ngoko. Kategori jenis deiksis yaitu deiksis persona yang berupa kata ganti persona yang memiliki referen berpindah-pindah sesuai dengan konteks percakapan. Deiksis persona meliputi, aku„saya‟, kowe „kamu dan anda‟ dheweke„dia‟, awake dhewe„kita‟. Deiksis ruang meliputi, kono „di situ‟, kene „di sini”, kana „di sana‟, iki „ini‟, iku „itu‟, kuwi

„itu‟, kae‟ itu‟. Deiksis waktu meliputi, mau‟tadi‟, sukemben „lain kali‟, saiki


(6)

7 ABSTRACT

Wempi, Albert. 2013. “Deiksis in Javanese Ngoko Language on Djaka Lodang‟s

Magazines Mei Edition 1992”. Essay for 1st

Strata (S1) Indonesian, Literature Study Program, Faculty of Indonesian Literature Sanata Dharma University.

This research is to study about Deiksis at Javanese Ngoko Language which contained in Djaka Lodang Magazines on May Edition year 1992. As for goals of this research is to reviewing deiksis in speech in the Javanese language. This research is done by a few steps, which are to define what kind of deiksis at Javanese ngoko

language, which has purpose describing all those kinds of deiksis in Javanese ngoko

language.

The object of this study is deiksis in Javanese ngoko language. That research object contained in datas which speech that include in deiksis persona (person), deiksis ruang (space), deikisis waktu (time). All of those datas was taken from the source which is Djaka Lodang magazines on May edition year 1992.

This study or research is trough by three stages, (I) to collect datas, (II) to analyze datas, and (III) to serve the presentation of the results of the analysis, collecting datas by using metode simak. There is something that had to be noted by this method namely the writen speech that contains deiksis. To implement “metode simak”, there are

using “teknik sadap” (tapping technique) and “teknik catat” (technical note). For

further, datas analyzed by “metode padan” (unified method), using the technical chimney (teknik baca). Unified method is applied to determine the kind of deiksis.

The results of this research include the types of deiksis in Javanes ngoko

language. The categories type deiksis which are, deiksis persona (persona deiksis) which means: persona noun that has meaning of movings referent in accordance with the dialogue context, persona deiksis covers, aku „saya‟ (me), dheweke „dia‟ (you),

awake dhewe „kita‟ (us). Space deiksis covers: kono „di situ‟ (there), kene „di sini‟

(here), kana „di sana‟ (there), iki „ini‟ (this), iku „itu‟ (that), kae „sana‟ (that). Time deiksis covers: mau „tadi‟ (was), sukemben „lain kali‟ (next time), saiki „sekarang‟