Hermeneutika Paul Ricoeur Kerangka Teoritik

1.2.2 Kerangka Teoritik

1.2.2.1 Hermeneutika Paul Ricoeur

Ricoeur 1981:145 menggunakan definisi hermeneutika dilihat dari cara kerjanya sebagai berikut : hermeneutika adalah teori tentang bekerjanya pemahaman dalam menafsirkan teks. Jadi gagasan kuncinya adalah realisasi diskursus sebagai teks. Dalam hermeneutika akan dibahas pula mengenai pertentangan antara penjelasan explanation dengan pemahaman understanding, yang menurut Paul Ricoeur menimbulkan banyak persoalan. Menurut Ricoeur 1995:305, sejarah hermeneutika belakangan ini di dominasi oleh obsesi yakni cenderung memperluas tujuan hermeneutika dengan cara-cara tertentu sehingga hermeneutika regional digabungkan ke dalam sebuah hermeneutika umum. Usahanya untuk mencapai status ilmu pengetahuan ditempatkan dibawah obsesi ontologis sehingga pemahaman tidak lagi dipandang sekedar cara mengetahui tapi hendak menjadi cara mengada dan cara berhubungan dengan segala yang ada dan dengan ke-mengada-an. Sebagai salah seorang tokoh filsafat yang memusatkan perhatiannya pada hermeneutika, Ricoeur 1981:43 berpandangan bahwa hermeneutika merupakan suatu teori mengenai aturan-aturan penafsiran terhadap suatu teks atau sekumpulan tanda maupun simbol yang dipandangnya atau dikelompokkan sebagai teks juga. Ricoeur menganggap bahwa tidak ada pengetahuan langsung tentang diri sendiri, oleh sebab itu pengetahuan tentang diri sesungguhnya hanya diperoleh melalui kegiatan penafsiran. Melalui kegiatan ini, setiap hal yang melekat pada diri yang bisa dianggap sebagai teks harus dicari makna yang sesungguhnyaobjektif agar dapat diperoleh suatu kebenaran pengetahuan yang hakiki tentang diri tersebut. Hermeneutika bertujuan untuk menggali makna yang terdapat pada teks dan simbol dengan cara menggali tanpa henti makna-makna yang tersembunyi ataupun yang belum diketahui dalam suatu teks. Penggalian tanpa henti harus dilakukan mengingat interpretasi dalam teks bukanlah merupakan interpretasi yang bersifat mutlak dan tunggal, melainkan temporer dan multi interpretasi. Dengan demikian, tidak ada kebenaran mutlak dan tunggal dalam masalah interpretasi atas teks karena interpretasi harus selalu kontekstual dan tidak selalu harus tunggal. Dalam pengertian kontekstual, seorang interpreter dituntut untuk menerapkan hermeneutika yang kritis agar selalu kontekstual. Dalam konteks ini, barangkali interpreter perlu menyadari bahwa sebuah pemahaman dan interpretasi teks pada dasarnya bersifat dinamis. Sementara itu, dalam pengertian bahwa makna hasil dari interpretasi tidak selalu tunggal mengandung pengertian bahwa suatu teks akan memiliki makna yang berbeda ketika dihubungkan dengan konteks yang lainnya, sehingga akan membuat pengkayaan interpretasi dan makna.Ricoeur 1981:131. Hermeneutika tidak dimaksudkan untuk mencari kesamaan antara maksud pembuat pesan dan penafsir. Melainkan menginterpretasi makna dan pesan se- objektif mungkin sesuai dengan yang diinginkan teks yang dikaitan dengan konteks. Seleksi atas hal-hal di luar teks harus selalu berada dalam petunjuk teks. Suatu interpretasi harus selalu berpijak pada teks. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa proses penafsiran selalu merupakan dialog antara teks dan penafsir Ricoeur, 1981:197. Objektivitas interpretasi dapat dicapai melalui empat kategori metodologis yang meliputi objektivasi melalui struktur, distansiasi melalui tulisan, distansiasi melalui dunia teks, dan apropriasi. Dua yang pertama sangat penting sebagai prasyarat agar teks bisa “mengatakan” sesuatu. Objektivasi melalui struktur adalah suatu upaya yang menunjukkan relasi-relasi intern dalam struktur atau teks, hermeneutika berkaitan erat dengan analisis struktural. Analisis struktural adalah sarana logis untuk menafsirkan teks. Ricoeur, 2000:109. Namun begitu, analisis hermeneutik kemudian melampaui kajian struktural, karena hermeneutika melibatkan berbagai disiplin yang relevan sehingga memungkinkan tafsir menjadi lebih luas dan dalam. Bagaimanapun juga berbagai elemen struktur yang bersifat simbolik tidak bisa dibongkar dengan hanya melihat relasi antar elemen. Oleh sebab itu, penafsiran dalam perspektif hermeneutika juga mencakup semua ilmu yang dimungkinkan ikut membentuknya seperti sejarah psikologi, sosiologi, antropologi dan lain sebagainya. Apabila teks objek dipahami melalui analisis relasi antar unsurnya struktural, maka bidang-bidang lain yang belum tersentuh bisa dipahami melalui bidang-bidang ilmu dan metode lain yang relevan dan memungkinkan. Fenomena tersebut dalam hermeneutika disebut dengan distansiRicoeur, 2000:110. Posisi Ricoeur dalam hermeneutika dapat dikategorikan sebagai salah seorang tokoh hermeneutika fenomenologi, seperti halnya Heidegger dan Gadamer. Hermeneutika fenomenologi merupakan suatu teori interpretasi reflektif yang didasarkan pada perkiraan filosofis fenomenologi. Hermeneutika fenomenologi mempertanyakan hubungan subjek-objek, dari pertanyaan tersebut dapat diamati bahwa ide dari objektivitas merupakan sebuah hubungan yang mencakup objek yang tersembunyi. Ricoeur menyatakan bahwa setiap pertanyaan yang diajukan berkenaan dengan teks yang diinterpretasi adalah sebuah pertanyaan tentang arti dan makna teks. Arti dan makna teks itu diperoleh dari upaya pencarian dalam teks berdasarkan bentuk, sejarah, pengalaman membaca, dan refleksi diri dari inter-preter. Oleh karena itu, setiap teks selalu terbuka untuk diinterpretasi terus-menerus.Meskipun demikian, proses pemahaman dan interpretasi teks bukanlah merupakan suatu upaya menghidupkan kembali atau reproduksi, melainkan sesuatu hal yang bersifat rekreatif dan produktif. Oleh karena, peran subjek sangat menentukan dalam interpretasi teks sebagai pemberi makna, maka subjek sebagai interpreter harus dapat menampilkan keaktualitasan atau kekinian kehidupannya sendiri berdasarkan pesan yang dimunculkan oleh objek yang ditafsirkannyaRicoeur, 2004:21. Hermeneutik dan interpretasi tidak pernah lepas dari simbol-simbol. Salah satu simbol adalah bahasa. Di sini batasan pembahasannya terletak pada usaha menafsirkan bahasa tulisan yang tertuang dalam kata-kata. Kata-kata sebagai sebuah simbol memiliki makna dan intensi tertentu. Maka, tujuan hermeneutik adalah menemukan misteri yang terdapat dalam sebuah simbol kata-kata dengan cara membuka selubung daya-daya yang belum diketahui dan tersembunyi di dalam simbol-simbol tersebut. Adanya simbol, mengundang kita untuk berpikir sehingga simbol itu sendiri menjadi kaya akan makna dan kembali kepada maknanya yang asli. Hermeneutik membuka makna yang sesungguhnya, sehingga dapat mengurangi keanekaan makna dari simbol-simbol. Jadi, kekayaan sebuah simbol justru ditemukan dalam maknanya yang sejati sehingga tidak menimbulkan multi-tafsirRicoeur, 1995:35. Sebuah kata adalah juga sebuah simbol, sebab kedua-duanya sama-sama menghadirkan sesuatu yang lain. Setiap kata pada dasarnya bersifat konvensional dan tidak membawa maknanya sendiri secara langsung bagi pembaca atau pendengarnya. Lebih jauh lagi, orang yang berbicara membentuk pola-pola makna secara tidak sadar dalam kata-kata yang dikeluarkannya. Pola-pola makna ini secara luas memberikan gambaran tentang konteks hidup dan sejarah orang tersebut. Sebuah kata mengandung konotasi yang berbeda bergantung pada konteks pemakainya, misalnya kata “pohon” akan mempunyai makna yang bermacam-macam bergantung pada pembicaranya: apakah ia seorang penebang kayu, penyair, ekologist, petani dan sebagainya. Bahkan meskipun benar juga bahwa makna dapat diturunkan dari konteks yang terdapat dalam sebuah kalimat, namun konteks pun bermacam-macam menurut zamannya. Karena itu, istilah- istilah memiliki makna ganda. Dasarnya adalah tradisi dan kebudayaan setempat Rafiek, 2010:9. Menurut Ricoeur 2000:116, agar bisa sampai kepada penafsiran yang tepat, maka seorang penafsir harus mengambil jarak tertentu dengan obyek tafsiran. Inilah yang disebut oleh Ricoeur sebagai “perjuangan melawan distansi kultural”. Usaha ini tidak mudah. Acapkali seorang penafsir membawa juga struktur- struktur yang sudah “jadi” tentang obyek tafsir sehingga sebelum menafsir sudah ada “warna” yang diberikan kepada obyek tersebut. Kalau sampai pewarnaan itu terjadi maka ada kemungkinan usaha untuk mencapai makna yang sejati akan menemui kendala. Kita bisa tersesat dengan memberi makna bisa lain sama sekali kepada obyek dan bukannya memetik makna yang sudah ada dalam obyek tersebut. Bila hermeneutik didefinisikan sebagai interpretasi terhadap simbol- simbol, kiranya terlalu sempit. Ricoeur memperluas definisi tersebut dengan ajakan memberi “perhatian kepada teks”. Teks sebagai penghubung bahasa isyarat dan simbol-simbol dapat membatasi ruang lingkup hermeneutik karena budaya oral dapat dipersempitRicoeur, 1981:165. Ricoeur 2000:115 menyatakan bahwa tugas utama hermeneutik ialah di satu pihak mencari dinamika internal yang mengatur struktural kerja teks itu untuk memproyeksikan diri ke luar dan memungkinkan “hal”nya teks itu muncul ke permukaan. Dalam hal ini kita sebaiknya mengikuti definisi yang diajukan oleh Ricoeur tentang hermeneutik, yaitu teori pengoperasian pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap teks. Setiap kali kita membaca sebuah teks selalu berhubungan dengan masyarakat, tradisi ataupun aliran yang hidup dari bermacam-macam gagasan. Walaupun demikian, sebuah teks harus kita tafsirkan dalam bahasa yang tidak pernah tanpa pengandaian dan diwarnai dengan situasi kita sendiri dalam kerangka waktu yang khusus. Kesenjangan ini mendorong Ricoeur untuk mengatakan bahwa sebenarnya sebuah teks itu mempunyai tempat di antara penjelasan struktural dan pemahaman hermeneutik yang berhadapan satu dengan yang lain. Sebuah teks pada dasarnya bersifat otonom untuk melakukan “dekontekstualisasi” proses „pembebasan‟ diri dari konteks, baik dari sudut sosiologis maupun psikologis, serta untuk melakukan “rekontekstualisasi” proses masuk kembali ke dalam konteks secara berbeda didalam tindakan membaca. Dikotomi antara „penjelasan‟ dan „pemahaman‟ itu tajam, yaitu untuk memahami sebuah percakapan kita harus kembali pada struktur permulaannya. Kebenaran dan metode dapat menimbulkan proses dialektisRicoeur, 2004:96. Tugas hermeneutik menjadi sangat berat sebab hermeneutik harus membaca “dari dalam” teks tanpa masuk atau menempatkan diri dalam teks tersebut dan cara pemahamannya pun tidak dapat lepas dari kerangka kebudayaan dan sejarahnya sendiri. Maka, untuk dapat berhasil dalam usahanya, ia harus dapat menyingkirkan distansi yang asing, harus dapat mengatasi situasi dikotomis, serta harus dapat memecahkan pertentangan tajam antara aspek-aspek subyektif dan obyektifRicoeur, 1981:274. Otonomi teks ada tiga macam: intensi atau maksud pengarang, situasi kultural dan kondisi pengadaan teks, dan untuk siapa teks itu dimaksudkan. Atas dasar otonomi ini, maka yang dimaksudkan dengan “dekontekstualisasi” adalah bahwa materi teks “melepaskan diri” dari cakrawala intensi yang terbatas dari pengarangnya. Teks tersebut membuka diri terhadap kemungkinan dibaca secara luas, di mana pembacaannya selalu berbeda-beda, inilah yang dimaksudkan dengan “rekontekstualisasi”. Menurut Ricouer 1985 prosedur interpretasi terhadap gagasan simbol ada tiga langkah. Pertama, interpretasi dari simbol ke simbol. Kedua, pemberian makna gagasan simbol. Ketiga, filosofisnya: berpikir dengan menggunakan simbol-simbol sebagai titik tolaknya. Ketiga langkah tersebut menurut Ricoeur 1985:298;-2002:212 berhubungan dengan langkah-langkah interpretasi bahasa, yaitu semantik, reflektsif, dan eksistensial atau ontologis. Interpretasi semantik ialah interpretasi pada tingkat ilmu bahasa murni. Interpretasi refleksif ialah interpretasi pada tingkat yang lebih tinggi atau mendekati tingkat ontologi. Interpretasi eksistensial ontologis ialah interpretasi tingkat keberadaan being makna itu.

1.2.3 Kerangka Konseptual