BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Persentase Kandungan Zat Ekstraktif
Hasil proses ekstraksi didapatkan padatan ekstraktif kulit kayu kihiyang sebesar 23,02 gram atau setara dengan 2,24 dan padatan ekstraktif kulit kayu
meranti sebesar 19,91 gram atau setara dengan 2,02 Tabel 1. Persentase berat padatan ekstrak aseton merupakan total berat padatan ekstrak dari proses
fraksinasi secara bertingkat. Menurut klasifikasi kelas komponen kimia kayu Indonesia Lestari dan Pari, 1990, apabila kandungan zat ekstraktif yang larut
dalam pelarut aseton lebih dari 2, maka kandungan zat ekstraktif tergolong tinggi. Sehingga, hasil ekstraksi kulit kayu kihiyang dan meranti dapat dikatakan
memiliki kandungan zat ekstraktif yang tinggi. Tabel 1. Kandungan Zat Ekstraktif Fraksi Terlarut Kulit Kayu Kihiyang dan
Meranti Kulit Kayu
Fraksi Terlarut Berat Padatan
Zat Ekstraktif gr
Kandungan dalam Ekstrak
Aseton Kandungan
Ekstraktif Fraksi
N-Heksan 7,32
31,80 0,71
Etil eter 7,81
33,93 0,76
Etil asetat 4,64
20,16 0,45
Residu 3,25
14,19 0,32
Kihiyang
Ekstrak aseton 23,02
100 2,24
N-Heksan 5,09
25,57 0,52
Etil eter 6,02
30,24 0,61
Etil asetat 3,23
16,22 0,33
Residu 5,57
27,98 0,57
Meranti
Ekstrak aseton 19,91
100 2,02
Pelarut-pelarut organik yang digunakan dalam proses fraksinasi cukup dapat melarutkan ekstrak aseton terutama dari kulit kayu kihiyang. Hal ini dapat
dilihat dari lebih sedikitnya residu yang dihasilkan yaitu sebesar 3,25 gram atau 14,12 dari total zat ekstraktif yang larut dalam aseton untuk kulit kayu kihiyang
dan untuk kulit kayu meranti sebesar 5,57 gram atau 27,98 Tabel 1. Pelarut Etil eter merupakan pelarut yang paling banyak melarutkan ekstrak
aseton kulit kayu kihiyang dan meranti yaitu sebesar 7,81 gram atau 33,93 untuk kulit kayu kihiyang dan 6,02 gram atau 30,24 untuk kulit kayu meranti.
Hasil fraksinasi dengan pelarut n-heksan sedikit di bawah pelarut etil eter yaitu sebesar 7,32 gram atau 31,80 untuk kulit kayu kihiyang dan 5,09 gram atau
25,57 untuk kulit kayu meranti. Sedangkan hasil fraksinasi dengan pelarut etil asetat adalah yang paling sedikit, yaitu sebesar 4,64 gram atau 20,16 untuk kulit
kayu kihiyang dan 3,23 gram atau 16,22 untuk kulit kayu meranti Tabel 1. Perbedaan kandungan zat ekstraktif kayu maupun kulit kayu dapat
disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain jenis kayu, jenis pelarut yang digunakan, ukuran serbuk, frekuensi pengadukan dalam perendaman dan kadar air
serbuk. Kandungan zat ekstraktif setiap jenis kayu tidak sama. Beberapa hasil penelitian menunjukkan setiap jenis kayu memiliki kandungan ekstrak aseton
yang berbeda-beda. Pelarut aseton digunakan dalam penelitian ini dengan pertimbangan bahwa
pelarut ini memiliki sifat baik yaitu dapat dicmpur dengan air dalam berbagai perbandingan. Selain itu, pelarut aseton memiliki nilai polaritas dan konstanta
dielektrik yang tinggi, sehingga zat ekstraktif yang terlarut cenderung bersifat polar.
Ukuran serbuk yang digunakan dalam penelitian ini adalah 40-60 mesh. Ukuran ini sudah cukup efektif dalam proses adsorbsi pelarut ke dalam seluruh
bagian sel, terutama dinding sel. Pada ukuran ini, dinding sel kayu sudah mulai terbuka sehingga lebih memudahkan meresapnya pelarut ke dalam dinding sel.
Apabila ukuran serbuk terlalu besar, maka daya resap pelarut kurang maksimal. Sedangkan serbuk yang terlalu halus, kondisi dinding selnya terbuka, hal ini dapat
mengakibatkan semakin cepat menguapnya zat ekstraktif pada masa penyimpanan sebelum direndam.
Pengadukan pada saat perendaman berguna dalam menyeragamkan penetrasi pelarut dalam serbuk. Dengan seragamnya penetrasi, pelarut dapat
memberikan hasil ekstrak yang lebih banyak dibandingkn penetrasi yang tidak seragam. Kadar air serbuk juga sangat berpengaruh terhadap banyak sedikitnya
ekstraktif yang diperoleh. Semakin besar kadar air suatu serbuk maka semakin sedikit hasil ekstrak yang diperoleh, hal ini diduga karena penetrasi pelarut
terhalang oleh adanya air dalam serbuk.