Metode Kultivasi Ganggang Mikro pada Skala Lapang

Menurut Becker 1984, beberapa jenis ganggang mikro memiliki komponen fatty acids lebih dari 40. Komponen fatty acids inilah yang dapat diekstraksi dan diubah menjadi biodiesel sebagaimana yang diproduksi tumbuhan penghasil minyak lainnya seperti jarak pagar, sawit dan lain-lain.

2.2.2 Ganggang Mikro sebagai Sumber Nutrisi

Selain potensi ganggang mikro sebagai bahan baku biofuel, sejak tahun 1970 beberapa negara seperti India, Jepang, Perancis, Amerika dan Italia berusaha mengeksplorasi sumberdaya alam yang dapat digunakan sebagai sumber protein nonkonvensional. Hal ini didasarkan pada dua kepentingan yang berbeda. Pertama, negara-negara industri mencari pangan alami yang menyehatkan serta sumber-sumber komposisi kimia sel untuk keperluan industri. Kedua, kelompok negara berkembang memerlukan sumber protein dan mineral untuk mengatasi kekurangan gizi malnutrisi. Usaha-usaha tersebut mengarah pada penelitian ganggang mikro yang memang sudah sejak lama digunakan sebagai bahan pangan oleh masyarakat di sekitar danau Chad, Afrika Richmond 1988. Selain sebagai usaha diversifikasi pangan, eksplorasi ganggang mikro juga dimaksudkan untuk memanfaatkan lahan yang tidak layak untuk pertanian konvensional. Di kawasan tropika, banyak terdapat lahan tandus dengan suhu yang panas dan kering serta air berkadar garam tinggi. Kondisi ini sangat kondusif untuk beberapa spesies ganggang mikro. Menurut Kabinawa 2001, potensi pengembangan ganggang mikro di banyak negara berkembang cukup besar karena dapat dilakukan dengan teknologi sederhana yang dapat diadaptasikan dengan kondisi setempat.

2.3 Metode Kultivasi Ganggang Mikro pada Skala Lapang

Pada prinsipnya kultivasi ganggang mikro dapat dilakukan dengan kultur sistem terbuka raceway atau tertutup photobioreactor. Pengembangan konsep sistem terbuka atau raceway sebagai tempat kultivasi ganggang mikro pertama kali dikenalkan oleh Jerman setelah perang dunia ke-2 awal tahun 1970. Kemudian juga diikuti Israel dan Jepang. Pada awal pengembangannya, ganggang mikro selama beberapa periode lebih dikembangkan sebagai makanan sehat dan ditumbuhkan di kolam terbuka Ugwu et al. 2008. Kultivasi ganggang mikro secara fotobioreaktor bisa dikembangkan pada skala laboratorium maupun industri, tergantung tujuan yang dinginkan. Kultivasi ganggang mikro dengan metode ini mempunyai beberapa kelebihan antara lain: lebih mudah dikontrol, biomassa yang dihasilkan tinggi serta kemungkinan terjadinya kontaminasi oleh mikrob lain lebih kecil. Namun mempunyai beberapa kelemahan yaitu biaya produksi untuk pembuatan instalasi serta perawatan mekanisasinya cukup mahal bila akan dikembangkan dalam skala besar Ugwu et al. 2008. Kultivasi ganggang mikro secara fotobioreaktor dapat dibagi menjadi tiga bagian yaitu : 1 fotobioreaktor flat-plate, 2 fotobioreaktor vertikal-kolom dan 3 fotobioreaktor tubular. Fotobioreaktor flat-plate merupakan suatu sistem kultivasi ganggang mikro dengan memanfaatkan mikrob fotosintetik dan pertama kali dikembangkan oleh Miller pada tahun 1953. Selanjutnya Samson dan Leduy pada tahun 1985 mencoba melengkapi flat reaktor dengan penambahan cahaya fluorescence. Pada tahun selanjutnya, Ramos de Ortega dan Roux mengembangkannya untuk skala lapang. Fotobioreaktor tubular merupakan suatu sistem kultivasi yang bisa diterapkan pada skala lapang. Konstruksi fotobioreaktor tubular dibuat seperti tabung-tabung kaca atau tabung-tabung plastik dan untuk resirkulasinya digunakan pompa sirkulasi. Fotobioreaktor tubular bisa dimodifikasi dalam bentuk horizontal, vertikal atau gabungannya. Fotobioreaktor vertikal-kolom merupakan desain kultivasi ganggang mikro yang lebih baik dibandingkan dengan jenis fotobioreaktor lainnya. Hal ini dikarenakan biayanya yang lebih murah dan mudah dalam pengoperasian Sánchez et al. 2002. a b Gambar 2 Kultivasi ganggang mikro pada fotobioreaktor Sumber: Jonathan 2010 a dan Benemman 2008 b Metode kultivasi kedua yang banyak digunakan pada skala lapang adalah metode kolam raceway. Metode ini pertama kali dikenalkan oleh Raymond pada tahun 1981 berupa saluran resirkulasi rangkaian tertutup dengan kedalaman ±0.5 m. Proses pencampuran dan sirkulasi media diperoleh dari suatu roda penggerak seperti turbin. Sepanjang hari, biakan diberikan nutrisi secara kontinu di depan roda penggerak dan beroperasi sepanjang waktu untuk mencegah sedimentasi pengendapan. Pada kolam raceway, pendinginan diperoleh melalui penguapan. Suhu berfluktuasi seiring dengan siklus harian dan musiman. Sistem raceway dapat memanfaatkan karbon dioksida lebih efisien daripada fotobioreaktor. Kelemahan dari metode kultivasi ini adalah produktivitas ganggang mikro bisa dipengaruhi oleh kontaminasi dan mikrob pemakan ganggang. Namun, kelebihan dari metode kultivasi kolam raceway dianggap lebih ekonomis serta membutuhkan sedikit biaya untuk membangun dan mengoperasikannya. Gambar 3 Desain kolam raceway Sumber: Jonathan 2010

2.4 Faktor Utama yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ganggang Mikro