Manfaat Nilai Abnormalitas Ankle Brachial Index (ABI) DALAM Mendeteksi Jumlah Stenosis Arteri Koroner Pada Penderita Sindroma Koroner Akut Di RSHAM Medan

(1)

MANFAAT NILAI ABNORMALITAS ANKLE BRACHIAL INDEX (ABI)

DALAM MENDETEKSI JUMLAH STENOSIS ARTERI KORONER PADA

PENDERITA SINDROMA KORONER AKUT DI RSHAM MEDAN

TESIS MAGISTER

Oleh

RINELIA MINASWARY

NIM : 097115005

PEMBIMBING: 1. dr. ZULFIKRI MUKHTAR, SpJP(K)

2. dr, NIZAM AKBAR, SpJP(K)

DEPARTEMEN KARDIOLOGI DAN KEDOKTERAN VASKULAR

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN


(2)

ABSTRAK

MANFAAT ABI ( ANKLE-BRACHIAL INDEX ) ABNORMAL DALAM MENDETEKSI

JUMLAH STENOSIS ARTERI KORONER PADA PENDERITA SINDROMA

KORONER AKUT DI RS. H. ADAM MALIK MEDAN

Latar Belakang : Penyakit arteri perifer pada penderita Sindroma Koroner Akut telah diketahui berhubungan dengan kejadian kardiovaskular yang berat. Namun sayangnya kebanyakan pasien tidak memiliki gejala sehingga menjadi kurang terdiagnosa. Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) merupakan metode sederhana, pemeriksaan non-invasif dalam mendiagnosa penyakit arteri perifer bila dijumpai hasilnya ≤ 0,9. Beberapa penelitian sebelumnya telah membuktikan bahwa ABI memiliki sensitifitas dan nilai prediksi positif yang tinggi dalam memprediksi luas stenosis arteri koroner pada penderita Sindroma Koroner Akut (SKA).

Tujuan : Untuk menentukan peran ABI dalam mendeteksi luasnya keterlibatan arteri koroner yang mengalami stenosis pada penderita SKA.

Metode : Penelitian ini merupakan studi potong lintang yang melibatkan penderita SKA yang dirawat pada periode September sampai November 2012 dan dilakukan tindakan angiografi koroner. Penderita dengan hasil angiografi koroner menunjukkan stenosis pada lebih dari satu arteri koroner didiagnosa dengan multivessel disease. Hubungan antara nilai ABI yang abnormal dengan banyaknya stenosis arteri koroner dianalisis dengan uji Chi-square.

Hasil : Penelitian ini mencakup 65 penderita SKA, dimana 53 orang (81,5%) diantaranya dengan hasil angiografi koroner menunjukkan multivessel disease. Dibandingkan dengan penderita yang hanya dengan one-vessel disease, pasien dengan multivessel disease memiliki nilai ABI


(3)

Kesimpulan : Penelitian ini memperlihatkan bahwa nilai ABI abnormal berhubungan erat dengan resiko multivessel disease pada penderita SKA.


(4)

ABSTRACT

USEFULNESS OF AN ABNORMAL ANKLE- BRACHIAL INDEX (ABI) FOR

DETECTING MULTIVESSEL CORONARY DISEASE IN PATIENTS WITH ACUTE

CORONARY SYNDROME IN ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN

Background. The presence of peripheral artery disease in patients with coronary artery disease is associated with a poor cardiovascular outcome. However, the majority of affected patients are asymptomatic and the condition is underdiagnosed. The ankle-brachial index (ABI) provides a simple method, non-invasive measurement, shows high sensitivity and specificity in the diagnosis of PAD when its value is ≤ 0,9. Previous studies have shown that the ABI has a high specificity and good negative predictive power with respect to coronary artery disease in patients suspected of having severe coronary involvement.

Aim. The aim of the present work was to determine the role of pathological ABI value in the identification of multivessel coronary disease patients admitted for ACS.

Methods. We analyzed data on ACS patients who underwent catheterization during admission. Patients were diagnosed with multivessel coronary disease if two or more major epicardial vessel or the left main coronary artery, or both, were affected. An ABI ≤ 0, 9 or > 1,4 was considered abnormal. The relationship between abnormal ABI and severity coronary artery disease was analyzed.

Results. The study included 65 patients with a mean age 55,05 years. Of these, 53 had multivessel disease (81,5%). Compared with those without multivessel disease, these patients had abnormal ABI's value ( 56,67% vs 16,67%, p value 0,012 OR= 6,52; 95% confidence interval 1,3-32,7) and lower EF ( 46,9% vs 57,01%, p value 0,004). Multivariat analysis showed that the presence of an abnormal ABI was associated with an increase risk of multivessel disease


(5)

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji syukur kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala berkat yang telah diberikanNya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis magister ini.

Tesis magister ini dibuat untuk memenuhi persyaratan dan merupakan tugas akhir Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan.

Pada kesempatan ini perkenankanlah penulis menyatakan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Rektor Universitas Sumatera Utara, Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, dan Ketua TKP PPDS I Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara

2. Prof.Dr.Abdullah Afif Siregar, SPJP(K), SpA(K), selaku Ketua Departemen Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara/RSUP Haji Adam Malik Medan di saat penulis melakukan penelitian yang telah memberikan penulis kesempatan untuk mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

3. Dr.Zulfikri Mukhtar, SpJP(K) serta Dr.Nizam Akbar, SpJP(K) selaku Ketua dan Sekretaris Program Studi PPDS Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara disaat penulis melakukan penelitian dan juga sekaligus sebagai pembimbing penulis dalam penyusunan tesis magister ini, yang dengan penuh kesabaran dan ketelitian membimbing, mengoreksi, dan memberikan masukan-masukan berharga kepada penulis sehingga tulisan ini dapat diselesaikan.


(6)

SpJP(K); Dr.Maruli T Simanjuntak SpJP(K); Dr.Nora C Hutajulu SpJP(K); Dr.Zulfikri Mukhtar SpJP(K); Dr.Isfanuddin Nyak Kaoy, SpJP(K); Dr.P.Manik, SpJP(K); Dr.Refli Hasan, SpPD, SpJP(K); Dr.Amran Lubis, SpJP(K); Dr.Nizam Akbar, SpJP(K); Dr.Zainal Safri, SpPD, SpJP; Dr.Andre Ketaren, SpJP(K); Dr.Andika Sitepu SpJP(K); Dr.Anggia Chairudin Lubis SpJP; Dr.Ali Nafiah Nasution, SpJP; Dr.Cut Aryfa Andra, SpJP, serta guru lainnya yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu, yang telah banyak memberikan masukan selama mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh darah

5. Direktur Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan kesempatan, fasilitas dan suasana kerja yang baik sehingga penulis dapat mengikuti Program Pendidikan Spesialis Ilmu Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah

6. Dr.M.Sopiyuddin Dahlan, M.Epid, selaku pembimbing statistik yang telah membantu membimbing penulis dalam pembuatan tesis ini

7. Ketiga sahabat karib penulis dr.Rosmaliana, dr Tengku Winda Ardhini dan dr.Yuke Sarastri yang telah banyak memberikan dukungan moril dan bantuan tenaga dalam pengerjaan tesis magister ini

8. Rekan-rekan sejawat anggota Kelakar Medan (dr.Hilfan, dr.Artha, dr.Andi, dr.Evi, dr.Halim, dr.Indah, dr.Vivi, dr.Blessdova, dr.Zulfahmi, dr.Bob, dr.Erwin, dr.Hasinah, dr.Novia, dr.Ary, dr.Tina, dr.Hadi, dr.Realsyah, dr.Yuri, dr.Joy, dr.Sany, dr.Harfian, dr.Syaiful, dr.Dika, dr.Junaedi, dr.Efrida, dr.Riri, dr.Komaria, dr.Jaya, dr.Yani, dr.Kartika, dr Zulfan, dr Marwan, dr Theresia dan dr Masta), yang telah memberikan dukungan dalam hal pengumpulan subjek penelitian dan pemantauan klinis serta laboratorium selama subjek dirawat di rumah sakit.


(7)

11.Kedua orang tua penulis, dr. H. Thamrin Manap dan Hj. Erlyna Syafei, yang selama ini telah memberikan dukungan moril dan materi serta doa dan nasihat yang tulus agar penulis tetap semangat, sabar dan tegar dalam mengikuti pendeidikan sampai selesai. 12.Kepada adik kandung penulis, dr. Rio Alfin Maulana; serta selurh keluarga besar penulis

yang tidak dapat disebutkan satu persatu, yang telah memberikan dukungan doa, moril dan materi sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan.

Semoga Tuhan Yang Maha Pengasih membalas semua jasa dan budi baik mereka yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penelitian ini.

Akhirnya penulis mengharapkan agar penelitian dan tulisan ini kiranya dapat bermanfaat bagi kita semua. Amin Ya Rabbal Alamin.

Medan, 23 Desember 2013


(8)

DAFTAR ISI

Halaman

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ………... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian………3

1.3 Hipotesis………....3

1.4 Tujuan Penelitian……….. 4

1.5 Manfaat Penelitian……… 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut ...5

2.2 Definisi dan eoidemiologi PAD ...5

2.3 Faktor resiko PAD ...7

2.4 Patogenesis disfungsi endothel sebagai penanda atherosklerptik ...7

2.5 Ankle-Brachial Index (ABI) 2.5.1 Definisi ABI………. 10

2.5.2 Fisiologi ABI………...10

2.5.3 Nilai ABI sebagai penanda progresivitas PAD…………...12

2.5.4 ABI sebagai penanda resiko kardiovaskular……… .12

2.5.5 Peranan ABI sebagai predictor kejadian kardiovaskular………...13

2.6 Cara pengukuran ABI 2.6.1 Keadaan yang berkaitan dengan pengukuran ABI………....14

2.6.2 Langkah-langkah pengukuran ABI………...15

2.7 Kerangka Teori ...………19

2.8 Kerangka Konsep ...20

BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Desain ...21


(9)

3.9 Identifikasi variabel………...25

3.10 Definisi operasional………..26

3.11 Pengolahan dan analisis data………28

3.12 Rincian biaya penelitian………29

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Karakteristik subjek penelitian………. 28

4.2 Hubungan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah stenosis arteri Koroner penderita sindroma koroner akut……… .30

4.3 Analisis multivariate nilai ABI yang abnormal dengan jumlah stenosis arteri koroner penderita SKA……… 31

BAB V PEMBAHASAN……….. 33

BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN………...35


(10)

ABSTRACT

USEFULNESS OF AN ABNORMAL ANKLE- BRACHIAL INDEX (ABI) FOR

DETECTING MULTIVESSEL CORONARY DISEASE IN PATIENTS WITH ACUTE

CORONARY SYNDROME IN ADAM MALIK HOSPITAL MEDAN

Background. The presence of peripheral artery disease in patients with coronary artery disease is associated with a poor cardiovascular outcome. However, the majority of affected patients are asymptomatic and the condition is underdiagnosed. The ankle-brachial index (ABI) provides a simple method, non-invasive measurement, shows high sensitivity and specificity in the diagnosis of PAD when its value is ≤ 0,9. Previous studies have shown that the ABI has a high specificity and good negative predictive power with respect to coronary artery disease in patients suspected of having severe coronary involvement.

Aim. The aim of the present work was to determine the role of pathological ABI value in the identification of multivessel coronary disease patients admitted for ACS.

Methods. We analyzed data on ACS patients who underwent catheterization during admission. Patients were diagnosed with multivessel coronary disease if two or more major epicardial vessel or the left main coronary artery, or both, were affected. An ABI ≤ 0, 9 or > 1,4 was considered abnormal. The relationship between abnormal ABI and severity coronary artery disease was analyzed.

Results. The study included 65 patients with a mean age 55,05 years. Of these, 53 had multivessel disease (81,5%). Compared with those without multivessel disease, these patients had abnormal ABI's value ( 56,67% vs 16,67%, p value 0,012 OR= 6,52; 95% confidence interval 1,3-32,7) and lower EF ( 46,9% vs 57,01%, p value 0,004). Multivariat analysis showed that the presence of an abnormal ABI was associated with an increase risk of multivessel disease


(11)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar belakang

Aterosklerosis merupakan suatu proses perjalanan penyakit yang mulai terjadi pada fase awal kehidupan dan berlanjut secara progresif sehingga menimbulkan manifestasi klinis beberapa dekade kemudian. Progresifitas dari aterosklerosis ini dapat memberikan efek pada bantalan pembuluh darah pada lokasi yang berbeda sehingga memungkinkan terjadinya tumpang tindih antara pembuluh darah koroner, serebral dan perifer (Shah dkk, 2008). Hal ini dibuktikan dengan tingginya prevalensi penyakit jantung koroner (PJK) pada populasi penderita penyakit arteri perifer (PAD) dan sebaliknya, sehingga penyakit yang didasari oleh kejadian aterosklerotik diyakini menjadi penyebab kematian terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2020 (Murray dkk, 1997)

Sebuah review yang sistematik tentang studi potong lintang, retrospektif dan prospektif melaporkan bahwa 62-90% pasien dengan PAD ternyata juga memiliki keterlibatan koroner (Golomb dkk, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 50% dari pasien PAD memiliki gejala yang mengarah pada PJK dan 90% diantaranya memiliki kelainan pada rekaman EKG (Tierney, 2000).

Kondisi yang serupa juga ditemukan pada populasi penderita PJK, ternyata 40% diketahui memiliki bukti gejala PAD yang signifikan (Dieter dkk, 2003). Penelitian lain memperlihatkan bahwa 42% pasien PJK diketahui memiliki keterlibatan PAD walaupun separuh diantaranya ternyata tidak bergejala (Poredos dkk, 2007).


(12)

Prevalensi kejadian PAD sangat bervariasi tergantung dari populasi yang diteliti, metode diagnostik yang digunakan dan gejala yang muncul. PAD dijumpai sekitar 4% pada populasi usia di atas 40 - 65 tahun, namun prevalensinya meningkat menjadi 15-20% pada populasi usia di atas 65 tahun dan lebih sering diderita pria dari pada wanita. Penelitian Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis (MESA) menunjukkan bahwa golongan kulit hitam memiliki kecenderungan 1,5 kali lebih besar untuk terkena PAD dibandingkan golongan kulit putih ( Creager dkk, 2009 )

Beberapa penelitian terdahulu membuktikan bahwa terdapat hubungan antara PAD dengan resiko tinggi kejadian kardiovaskular dan kematian pada pasien dengan atau tanpa penyakit jantung koroner (PJK) terlepas dari berapa banyak faktor resiko kardiovaskular yang dimiliki. Proses disfungsi endothel diyakini sebagai penyebab utama yang dapat menjelaskan fenomena tersebut ( Heald dkk, 2006 ; Diehm, 2006; Marso, 2006 ).

Berbeda dengan PJK yang memiliki gejala dan tanda yang khas dan ditunjang oleh pemeriksaan pendukung yang cepat dan mudah dilakukan, PAD sering tidak terdiagnosis dan akibatnya tidak mendapatkan tata laksana yang tepat. Walaupun beberapa studi menunjukkan bahwa 10% sampai 30% pasien PAD memiliki keluhan klaudikasio intermitten, namun ternyata hanya 1% sampai 4,5% dari populasi usia di atas 40 tahun yang memberikan gejala tersebut ( Norgren dkk, 2007 ). Mayoritas pasien dengan PAD bahkan tidak memiliki gejala sehingga menjadi tidak terdiagnosis dengan benar. Insidensi klaudikatio intermitten akan cenderung meningkat seiring dengan bertambahnya usia.

Pengukuran Ankle Brachial Index (ABI) merupakan suatu metode pemeriksaan yang sederhana, non-invasif yang membandingan antara tekanan darah


(13)

memiliki sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi untuk mendiagnosa PAD. Nilai ABI yang rendah ini juga merupakan indikator yang kuat terhadap kejadian atherosklerotik sistemik terutama pada area pembuluh darah yang lain dan juga dapat memprediksi angka morbiditas dan mortalitas kardiovaskular ( Chang dkk, 2006 ; Bertomeu dkk, 2008 )

Penelitian-penelitian sebelumnya telah memperlihatkan bahwa nilai ABI memiliki spesifisitas yang tinggi dan negative predictive value terhadap keterlibatan arteri koroner pada pasien-pasien dengan sangkaan PJK ( Resnick dkk, 2004(a) ; Otah dkk, 2004 (b); Lamina dkk, 2006). Namun begitu, hingga saat ini kegunaan dari nilai ABI yang abnormal dalam mendeteksi jumlah stenosis arteri koroner terutama pada pasien sindroma koroner akut, di RS. H. Adam Malik Medan masih belum diketahui.

1.2Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian dalam latar belakang tersebut di atas, maka penelitian ini diperlukan untuk mengetahui :

Apakah nilai ABI yang abnormal dapat menjadi penanda untuk mendeteksi jumlah ( banyaknya stenosis ) arteri koroner pada penderita Sindroma Koroner Akut ?

1.3Hipotesis

Terdapat hubungan antara nilai ABI yang rendah dengan banyaknya keterlibatan arteri koroner yang mengalami stenosis pada penderita Sindroma Koroner Akut. 1.4Tujuan Penelitian


(14)

Untuk mengetahui langkah-langkah pengukuran ABI yang benar dan mengaplikasikannya untuk mendeteksi jumlah stenosis arteri koroner pada penderita Sindroma Koroner Akut.

1.4.2 Tujuan Khusus

Untuk mengetahui peranan dan kegunaan nilai ABI yang abnormal dalam mendeteksi jumlah stenosis arteri koroner pada penderita Sindroma Koroner Akut di RS. H. Adam Malik Medan.

1.5Manfaat Penelitian

1.5.1 Kepentingan Akademik

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang pengukuran ABI yang benar serta dapat dijadikan prosedur tetap pemeriksaan pada penderita Sindroma Koroner Akut mengingat peranan dan kegunaannya dalam mendeteksi jumlah keterlibatan arteri koroner yang mengalami stenosis.

1.5.2 Kepentingan Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat ilmiah tentang peranan ABI dalam mendeteksi jumlah stenosis arteri koroner, sehingga dapat meningkatkan kewaspadaan terhadap resiko kejadian penyakit jantung koroner pada umumnya dan Sindroma Koroner Akut pada khususnya.


(15)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi dan Klasifikasi Sindroma Koroner Akut

Sindroma koroner akut adalah istilah yang digunakan untuk mendeskripsikan simptom yang disebabkan oleh iskemik miokard akut. Sindroma koroner akut (SKA) yang menyebabkan nekrosis miokardium disebut dengan infark miokard (Thygensen dkk, 2007; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).

SKA secara klinis dapat bermanifestasi sebagai angina pektoris tak stabil, IMA NSTE maupun IMA STE (Bender dkk, 2011).

Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut, yaitu ; adanya nyeri dada khas infark, dijumpai elevasi segmen ST yang persisten atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin), serta dijumpainya abnormalitas wall motion regional yang baru pada pemeriksaan ekokardiografi (Van de Werf dkk, 2008)

SKA yang tidak disertai dengan elevasi segmen ST digolongkan ke dalam angina pektoris tak stabil dan IMA NSTE. Apabila dijumpai peningkatan enzim jantung, maka penderita digolongkan ke dalam IMA NSTE, sedangkan jika enzim jantung normal maka kondisi ini disebut angina pektoris tak stabil (Van de Werf dkk, 2008; Bender dkk, 2011; Antmann dkk, 2008).


(16)

Terminologi peripheral arterial disease (PAD) secara umum merujuk kepada gangguan yang merusak atau menghambat aliran darah ke ekstremitas atas maupun bawah yang biasanya disebabkan oleh proses atherosklerosis namun dapat juga akibat proses thrombosis, emboli, vaskulitis dan displasia fibromuskular (Greager dkk, 2009)

Prevalensi PAD cukup bervariasi tergantung kepada populasi penelitian, metode diagnostik yang digunakan serta keluhan dan gejala yang muncul. Diagnosa PAD ditegakkan sekitar 4% pada populasi usia sama atau lebih dari 40 tahun dan meningkat menjadi 15 sampai 20% pada kelompok usia di atas 65 tahun dan lebih sering diderita oleh jenis kelamin laki-laki dibandingkan perempuan.

Sebuah review yang sistematik tentang studi potong lintang, retrospektif dan prospektif melaporkan bahwa 62-90% pasien dengan PAD ternyata juga memiliki keterlibatan koroner (Golomb dkk, 2006). Penelitian lain juga menunjukkan bahwa 50% dari pasien PAD memiliki gejala yang mengarah pada PJK dan 90% diantaranya memiliki kelainan pada rekaman EKG (Tierney, 2000).

Kondisi yang serupa juga ditemukan pada populasi penderita PJK, dimana ternyata 40% diketahui memiliki bukti gejala PAD yang signifikan (Dieter dkk, 2003). Penelitian lain memperlihatkan bahwa 42% pasien PJK diketahui memiliki keterlibatan PAD walaupun separuh diantaranya ternyata tidak bergejala (Poredos dkk, 2007).


(17)

2.3 Faktor resiko PAD

Faktor-faktor resiko yang dapat dimodifikasi yang telah lama dihubungkan dengan proses atherosklerosis pada koroner ternyata juga memberikan kontribusi terhadap kejadian atherosklerosis pada sirkulasi perifer. Merokok, DM, hipertensi, dan dislipidemia meningkatkan resiko kejadian PAD. Data yang diambil dari studi-studi observasional ( mencakup the Edinburg Artery Study, the Framingham Heart Study, dan the Cardiovascular Heart Study) membuktikan peningkatan resiko PAD sebesar dua hingga tiga kali lipat pada kelompok perokok. Merokok bahkan terbukti meningkatkan resiko terkena PAD lebih besar dari pada PJK.

Pasien dengan DM sering memiliki obstruksi PAD yang luas dan berat serta kecenderungan yang tinggi untuk mengalami kalsifikasi arteri terutama di area distal seperti arteri peroneal dan tibialis. Resiko terkena PAD meningkat dua sampai empat kali lipat pada penderita DM dengan kecenderungan amputasi yang lebih tinggi.

Kelainan metabolisme lipid juga dikaitkan dengan prevalensi PAD dimana peningkatan kolesterol total dan LDL menimbulkan keluhan klaudikatio intermitten dan gejala PAD. Analisa dari Framingham Heart Study menyimpulkan bahwa rasio


(18)

timbulnya gejala klaudikasio meningkat seiring dengan kenaikan 40 mg/dl total kolesterol.

PAD memiliki korelasi yang kuat terhadap resiko kejadian kardiovaskular mayor karena sering dikaitkan dengan proses atherosklerosis baik di serebral maupun koroner.

2.4 Patogenesis disfungsi endothel sebagai penanda resiko atherosklerotik

Pada kondisi normal, lapisan endothel berfungsi untuk mempertahankan keadaan homeostasis pembuluh darah melalui rangkaian interaksi kompleks dengan sejumlah sel di dinding dan lumen pembuluh darah. Secara spesifik, lapisan endothel mengatur tonus pembuluh darah dengan cara menjaga keseimbangan produksi vasodilator (termasuk didalamnya NO (Nitric Oxide)) dan vasokonstriktor. Di samping itu, lapisan endothel juga mengatur kekentalan darah dan sistem pembekuan darah dengan cara menghasilkan faktor-faktor penting yang mengatur aktivitas platelet, kaskade pembekuan darah dan sistem fibrinolitik (Vita dkk, 2002 a; Gokce dkk, 2002 b; Libby dkk, 2002 c)

Tabel 2. Fungsi normal lapisan endothel dalam mempertahankan homeostasis pembuluh darah


(19)

Namun, adanya faktor-faktor resiko tradisional penyakit kardiovaskular seperti merokok, hipertensi, hiperkolesterolemia, diabetes dan penuaan terbukti berkaitan dengan produksi berlebihan dari Reactive Oxygen Species (ROS) atau stress oksidatif yang dapat mengurangi ketersediaan NO yang dapat mencetus kerusakan di tingkat sel. Akibatnya efek vasodilatasi endothel akan menghilang sehingga dimulailah proses inflamasi kronik yang ditandai dengan berkurangnya faktor-faktor antitrombotik dan meningkatnya produk vasokonstriktor sehingga lapisan endothel berubah menjadi lapisan yang pro-trombotik (Tomasian dkk, 2000 a;Cai dkk, 2000 b)

Munculnya disfungsi endothel dapat dianggap sebagai sindroma klinis yang dapat meramalkan angka kejadian kardiovaskular (Zeiher dkk, 1991).


(20)

Terminologi disfungsi endothel merujuk kepada gangguan luas pada fenotip endothel yang memberikan kontribusi terhadap perkembangan dan gejala klinis atherosklerosis. Disfungsi endothel, yang ditandai dengan terganggunya ketersediaan NO, dapat dianggap berperan dalam kejadian iskemik otot jantung. Disfungsi endothel memegang peranan penting dalam pathogenesis sindroma koroner akut (SKA). Ketidak stabilan plak merupakan proses yang dapat mempermudah pecahnya plak yang akan diikuti dengan rangkaian efek inflamasi yang kompleks yang mencakup komponen plak di tingkat seluler dan berbagai mediator inflamasi. Berkurangnya efek anti inflamasi akibat kerusakan lapisan endothel akan memperberat ketidak stabilan plak ( Libby, 2001 ). Sehingga dapat disimpulkan keadaan disfungsi endothel memiliki kontribusi dalam meningkatkan kerapuhan plak, yang dapat mencetuskan pecahnya plak tersebut dan cenderung membentuk thrombus yang pada akhirnya menjadi faktor penting yang bertanggung jawab dalam patofisiologi SKA.


(21)

2.5 Ankle Brachial Index (ABI)

2.5.1 Definisi ABI

Ankle Brachial Index (ABI) merupakan rasio atau perbandingan antara tekanan darah sistolik yang diukur pada pergelangan kaki dengan arteri brachialis. Pertama kali diperkenalkan oleh Winsor pada tahun 1950 yang kemudian diusulkan sebagai metode diagnosis PAD yang bersifat non-invasif. Kemudian dari studi-studi yang terus dikembangkan dalam beberapa dekade terakhir telah berhasil membuktikan bahwa ABI bukan hanya sekedar metode diagnostik, namun juga sebagai salah satu indikator atherosklerotik sistemik dan juga sebagai penanda prognostik untuk kejadian kardiovaskular dan gangguan fungsional walaupun tanpa disertai gejala klinis PAD (Aboyans, 2012)

Walaupun masih dijumpai beberapa kontroversi yang memperdebatkan batas nilai ABI yang dapat digunakan untuk mendiagnosa PAD, namun nilai ABI ≤ 0,9 terbukti memiliki sensitivitas dan spesifisitas > 90% untuk mendiagnosa PAD dibandingkan dengan angiografi sehingga direkomendasikan oleh American Heart Association (AHA) untuk mendeteksi proses atherosklerosis pada pembuluh darah sistemik ( Michael dkk, 2012).

2.5.2 Fisiologi ABI

Gelombang tekanan darah akan menjadi semakin kuat dan berbanding lurus dengan jauhnya jarak dari jantung, sehingga menyebabkan peningkatan tekanan darah sistolik yang progresif dan sebaliknya akan menurunkan tekanan darah diastolik. Hal ini dikarenakan pantulan mundur gelombang dari tahanan arteriol distal yang memperkuat gelombang antegrade. Beberapa bukti penelitian menunjukkan bahwa pantulan gelombang terjadi pada tempat yang berbeda di sepanjang bantalan pembuluh darah, dengan beberapa tahanan di sepanjang pembuluh darah arteri (Safar


(22)

Pada ekstremitas bawah, proses remodeling yang terjadi pada struktur pembuluh darah akan menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal yang ditandai dengan meningkatnya ketebalan dinding tetapi tanpa perubahan diameter lumen. Penebalan pada dinding ini yang dihasilkan dari peningkatan tekanan hidrostatik pada ekstremitas bawah saat berjalan ( posisi vertikal ) sudah mulai terjadi pada tahun kedua kehidupan dan dapat menerangkan kenapa nilai ABI < 1 pada bayi baru lahir dan meningkat secara bertahap mencapai nilai ABI usia dewasa pada umur 2 atau 3 tahun (Katz dkk, 1997). Dan oleh karena itu, baik gelombang pantulan maupun perubahan ketebalan dan kekakuan dinding pembuluh darah memberikan kontribusi pada peningkatan tekanan darah sistolik.

Beberapa variabel seperti usia, tinggi badan, kelompok etnis dan bahkan urutan pengukuran diketahui dapat mempengaruhi hasil ABI. Pada dua kelompok studi didapati bahwa nilai ABI pada kaki kanan rata-rata 0,03 lebih tinggi dibandingkan kaki kiri. Hasil ini mungkin disebabkan oleh urutan pengukuran ( biasanya kaki kanan diukur terlebih dahulu) dan mengakibatkan pengurangan sementara tekanan sistemik dari waktu ke waktu. Nilai ABI diperkirakan meningkat seiring pertambahan usia sebagai akibat kekakuan arteri. Beberapa studi potong lintang menunjukkan bahwa nilai ABI menurun seiring pertambahan usia, kemungkinan karena meningkatnya prevalensi dan progresivitas PAD (Smith dkk, 2005).

Pada populasi tanpa adanya bukti klinis keterlibatan kardiovaskular, dijumpai hubungan yang searah antara tinggi badan dan nilai ABI. Kelompok orang dengan tinggi badan yang lebih akan memiliki nilai ABI yang lebih besar sebagai


(23)

2.5.3 Nilai ABI sebagai penanda progresivitas PAD

Perjalanan alami PAD mencakup penurunan nilai ABI seiring perjalanan waktu. Dari serangkaian pemeriksaan pasien yang dilakukan di laboratorium vaskular, nilai ABI mengalami penurunan rata-rata 0,06 tiap 4,6 tahun. Tingkatan ABI juga dapat digunakan untuk memprediksi kejadian yang mengenai ekstremitas bawah dimana tekanan darah sistolik di bawah atau sama dengan 50 mmHg sering dihubungkan dengan angka amputasi yang tinggi (Norgren dkk, 2007).

Pasien PAD memiliki ketahanan untuk latihan berjalan dan tingkat aktivitas fisik yang lebih rendah dibandingkan kelompok pasien tanpa PAD. Hal ini dibuktikan oleh beberapa penelitian yang menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah dikaitkan dengan gangguan fungsional dan penurunan kapasitas latihan fisik yang lebih besar dibandingkan populasi dengan nilai ABI yang tinggi.

2.5.4 ABI sebagai penanda resiko kardiovaskular.

Pengukuran ABI dapat memberikan nilai yang melambangkan kejadian atherosklerosis sistemik dan dikaitkan dengan faktor-faktor resiko atherosklerotik dan prevalensi penyakit kardiovaskular pada bantalan pembuluh darah yang lain. Nilai ABI yang rendah telah lama dihubungkan dengan banyak faktor resiko tradisional kardiovaskular seperti hipertensi, DM tipe 2, dislipidemia, riwayat merokok dan faktor resiko kardiovaskular yang baru dikembangkan seperti C-Reactive Protein, homosistein, interleukin-6 dan penyakit ginjal kronik (Allison dkk, 2006).

Hubungan yang kuat dan konsisten antara nilai ABI yang rendah dengan prevalensi CAD dan CVD telah dibuktikan pada beberapa populasi studi prospektif yang melibatkan individu dengan keterlibatan penyakit kardiovaskular. Prevalensi


(24)

kejadian CAD diantara pasien-pasien PAD berkisar antara 10,5 sampai 71% dibandingkan dengan 5,3 sampai 45,4% pada populasi tanpa PAD.

Disamping korelasinya dengan nilai ABI yang rendah beberapa penelitian juga telah mengevaluasi hubungan antara nilai ABI yang tinggi, sebagai indikator kalsifikasi pembuluh darah, dengan faktor-faktor resiko tradisional kardiovaskular. Allison dan kawan-kawan membuktikan bahwa nilai ABI > 1,4 dihubungkan dengan kejadian stroke dan gagal jantung kongestif namun tidak dengan kejadian angina maupun infark miokard (Allison dkk, 2008).

2.5.5 Peranan ABI sebagai prediktor kejadian kardiovaskular

Walaupun ABI merupakan pengukuran yang menggambarkan derajat keparahan atherosklerotik pada ekstremitas bawah, namun dapat juga digunakan sebagai indikator atherosklerotik di bagian lain sistem pembuluh darah. Sehingga nilai ABI telah diinvestigasi menjadi salah satu alat predictor pada beberapa kelompok studi di Eropa dan Amerika Utara. Hasil dari studi-studi ini telah menunjukkan bahwa nilai ABI yang rendah berkaitan erat dengan meningkatnya resiko infark miokard, stroke dan penyebab kematian kardiovaskular (Leng dkk, 1996; Van der Meer dkk, 2004 (a); Resnick dkk, 2004 (b)) Disini terlihat bahwa nilai ABI yang rendah, sebagai indikator atherosklerotik, dapat mempertajam tingkat akurasi prediktor resiko bila dikombinasikan dengan sistem penilaian stratifikasi resiko yang telah ada.

Sebuah meta analisis yang membandingkan 16 populasi studi prospektif menelusuri bahwa nilai ABI memberikan informasi tentang resiko kejadian


(25)

wanita. Sebagai contoh wanita dengan resiko rendah (FRS< 10%) atau resiko menengah ( FRS 10-19%), namun dengan nilai ABI yang abnormal, menyebabkan wanita tersebut dikelompokkan menjadi resiko tinggi.

Penderita dengan diagnosa penyakit kardiovaskular yang telah ditegakkan namun memiliki nilai ABI yang rendah, memiliki resiko kejadian kardiovaskular dan mortalitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan kelompok dengan nilai ABI normal (Aboyans dkk, 2005; Agnelli dkk, 2006).

Pada studi HOPE ( Heart Outcomes Prevention Evaluation) yang melibatkan pasien dengan CAD, stroke dan DM tipe 2, ABI dengan nilai pada kisaran 0,6 sampai 0,9 dihubungkan pada resiko infark miokard (RR 1,4), dan kematian akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,6) dibandingkan dengan kelompok nilai ABI normal (Albert dkk, 2009). Studi yang lain yaitu Cardiovascular Heart Study membuktikan bahwa pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 memiliki peningkatan resiko kejadian gagal jantung kongestif ( RR 1,3) dan moralitas akibat penyakit kardiovaskular (RR 1,5). Lebih lanjut pada pasien PAD, penurunan nilai ABI > 0,15 dihubungkan dengan peningkatan 2 kali lipat angka mortalitas (Criqui dkk, 2008).

Nilai ABI paska latihan juga memiliki nilai prediktor yang kuat, dimana pada pasien dengan nilai ABI normal saat istirahat namun dengan nilai ABI abnormal setelah latihan dikaitkan dengan peningkatan angka mortalitas ( Sheikh dkk, 2011). 2.6 Cara pengukuran ABI

2.6.1 Keadaan yang berkaitan dengan pengukuran ABI

a) Kondisi pasien

Posisi tubuh dan kondisi lutut atau pinggang yang tertekuk ternyata mempengaruhi hasil pengukuran ABI. Penelitian yang dilakukan oleh Gornik dan kawan-kawan membuktikan bahwa tekanan pada lengan tidak berbeda pada saat pasien dalam keadaan berbaring atau duduk selama lengan berada pada posisi


(26)

pergelangan kaki karena bila pasien berada pada posisi duduk maka tekanan di pergelangan kaki akan menjadi lebih tinggi karena posisi pergelangan kaki yang lebih rendah dari pada jantung. Nilai ABI pada posisi duduk rata-rata lebih tinggi 0,35 dibandingkan pada posisi berbaring.

Sebelum pemeriksaan ABI dilakukan, pasien hendaknya diistirahatkan selama 5 hingga 10 menit. Masa rehat yang lebih lama tidak dianjurkan pada pengaturan klinis pemeriksaan ABI. Walaupun setelah masa istirahat, pengukuran pada anggota gerak yang pertama cenderung memberikan tekanan sistolik yang lebih tinggi dibandingkan anggota gerak selanjutnya. Selain posisi pasien dan jeda istirahat, merokok juga mempengaruhi hasil pengukuran ABI, dimana bila pasien merokok 10 menit sebelum pemeriksaan dapat menurunkan nilai ABI dibandingkan bila nilai ABI diukur setelah 12 jam tidak merokok (Yataco dkk, 1998).

b) Ukuran manset

Penelitian tentang pengukuran tekanan darah di arteri brachialis menyoroti pentingnya ukuran manset yang memadai untuk mencegah ketidak-akuratan pemeriksaan. Namun informasi tentang ukuran manset yang tepat untuk pengukuran tekanan sistolik pada pergelangan kaki masih belum tersedia. Jika mengacu pada konsep yang sama dimana manset pada lengan juga digunakan pada pergelangan kaki, maka lebar dari manset harus setidaknya 40% dari lingkar pergelangan kaki. Manset harus berada dalam keadaan beersih dan kering. Cara melilit manset ( spiral atau parallel ) juga mempengaruhi tekanan darah sistolik pergelangan kaki dimana cara melilit secara spiral memberikan hasil yang lebih


(27)

pengembangan manset harus dihindari pada bekas luka graft karena berpotensi meningkatkan resiko thrombosis pada graft.

2.6.2 Langkah-langkah pengukuran ABI ( Aboyans dkk, 2012 )

• Pasien harus diistirahatkan setidaknya 5-10 menit dalam kondisi berbaring di dalam ruangan yang nyaman dan temperatur yang cukup.

• Pasien tidak boleh merokok sekurang-kurangnya 2 jam sebelum pengukuran. • Pemilihan ukuran manset mancakup minimal 40% dari diameter lingkar

pergelangan kaki.

• Manset tidak boleh diletakkan pada bagian distal graft ( dapat meningkatkan resiko thrombosis ) atau bila dijumpai luka ulserasi.

• Sama halnya dengan pengukuran tekanan darah di lengan, manset harus membungkus pergelangan kaki. Batas bawah manset diletakkan 2 cm di atas malleolus medialis.

• Sebuah alat handheld Doppler 8-10 MHz digunakan dan pada probe Doppler diberikan gel sebagai sensor.

• Setelah alat Doppler diaktifkan, probe diletakkan pada daerah pulsasi dengan membentuk sudut kemiringan 45-600

• Manset kemudian dikembangkan secara perlahan sampai 20 mmHg di atas batas aliran sinyal menghilang ( tidak terdengar lagi ) dan kemudian manset dikempeskan perlahan untuk mendeteksi tingkat tekanan dimana sinyal aliran muncul kembali.

terhadap permukaan kulit. Probe dapat digerakkan di sekitar area pulsasi sampai bunyi sinyal yang paling jelas terdengar.

• Deteksi aliran darah brachial selama pengukuran tekanan sistolik di lengan juga harus menggunakan alat Doppler.

• Urutan yang sama dalam pengukuran tekanan darah sistolik pada tiap anggota gerak harus diberlakukan dengan urutan yang dianjurkan adalah lengan kanan, arteri tibialis posterior kanan, arteri dorsalis pedis kanan, arteri tibialis posterior


(28)

• Pada akhir pemeriksaan, pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan harus diulang kembali dan tekanan darah sistolik pada pengukuran pertama dan kedua diambil reratanya. Jika terdapat perbedaan hasil pengukuran tekanan darah sistolik di lengan kanan > 10 mmHg, maka hasil pengukuran yang kedua lah yang digunakan.

• Tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan digunakan sebagai pembagi ( denominator ) sedangkan tekanan darah sistolik tertinggi antara tibialis posterior

dan dorsalis pedis tiap ekstremitas bawah digunakan sebagai pembilang ( numerator ).

• Nilai ABI pada setiap pergelangan kaki dihitung dengan membagi tekanan darah sistolik tertinggi antara tekanan darah sistolik arteri tibialis posterior atau arteri dorsalis pedis dengan tekanan darah sistolik tertinggi dari kedua lengan.

• Ketika nilai ABI digunakan untuk alat diagnostik untuk menilai pasien dengan keluhan mengarah kepada PAD, maka nilai ABI harus dilaporkan secara terpisah pada tiap pergelangan kaki.

• Jika nilai ABI digunakan sebagai penanda prognostik kejadian dan mortalitas kardiovaskular, maka yang dipakai adalah nilai ABI terendah dari kedua pergelangan kaki.

• Nilai normal ABI berkisar pada 0,9 sampai 1,4 sehingga bila hasil pengukuran menunjukkan kisaran ≤ 0,9 maka dapat dipertimbangkan sebagai penegakan diagnosa PAD.

• Pasien dengan nilai ABI ≤ 0,9 atau ≥ 1,4 harus dipertimbangkan memiliki peningkatan resiko kejadian dan mortalitas kardiovaskular walaupun tanpa adanya keluhan dan gejala PAD serta faktor resiko kardiovaskular.


(29)

(30)

(31)

2.7 Kerangka Teori

Hipetensi, DM, Merokok, Hiperlipidemia

Disfungsi Endothel

Atherosklerosis

Perifer (PAD) Koroner (SKA)

Penanda atherosklerotik sistemik  pemeriksaan ABI

ABI normal ABI abnormal

Angiografi Koroner


(32)

One Vessel Disease Multivessel Disease 2.8 Kerangka konseptual

Sindroma Koroner Akut ( STEMI, NSTEMI, UAP )

Pemeriksaan ABI

ABI Normal Variabel ABI abnormal Independen : ABI

Angiografi koroner

Variabel Konfounding : Hipertensi, DM, Merokok, EF,


(33)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain

Penelitian ini merupakan studi retrospektif yang menunjukkan peranan nilai ABI yang abnormal untuk mendeteksi jumlah keterlibatan arteri koroner yang mengalami stenosis pada penderita Sindroma KoronerAkut.

3.2 Tempat dan waktu

Penelitian ini dilakukan terhadap penderita Sindroma Koroner Akut (InfarkMiokardAkut ST Elevasi (IMA STE) , Infark Miokard Akut Non ST Elevasi (IMA NSTE), Angina PektorisTidakStabil(APTS)}yang dirawat di CVCU RumahSakit Haji Adam Malik Medan mulaiperiodeOktober 2012 sampaidenganMaret 2013.

3.3 Populasi dan sampel

• Populasi target adalah penderita dengan diagnosa Sindroma Koroner Akut baik IMA STE, IMA NSTE maupun APTS.

• Populasi terjangkau adalah penderita Sindroma Koroner Akut yang dirawat di CVCU RSHAM Medan.

• Sampel adalah populasi terjangkau yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.


(34)

Besar sampel dihitung dengan menggunakan rumus besar sampel untuk uji hipotesis untuk 1 populasi, yaitu :

n = { Zα√PoQo + Zβ√PaQa} { Po – Qo }

2

n = jumlah subyek penelitian Zα = nilai baku normal = 1,96

Zβ = nilai baku normal = 0,802

Po = proporsi kejadian stenosis multivessel arteri koroner pada populasi  52,6% = 0,526

Pa = proporsi penelitian 20%  32,6% = 0,326 Qo = 1 – Po = 1 - 0,526 = 0,474

Qa = 1 – Pa = 1 – 0,326 = 0,674

Dengan menggunakan rumus tersebut di atas, maka didapat jumlah sampel minimal untuk penelitian adalah 46 orang.

3.5 Kriteria inklusi dan eksklusi

3.5.1 Kriteria Inklusi


(35)

1. Pasien dengan riwayat penyakit arteri perifer ( PAD ) sebelumnya.

2. Pasien yang menolak atau tidak memungkinkan untuk dilakukan tindakan angiografi koroner.

3. Pasien yang memiliki kontraindikasi untuk dilakukan tindakan angiografi koroner.

3.6 Persetujuan / Informed Consent

Semua subyek penelitian dan keluarga dekat akan diminta persetujuan setelah dilakukan penjelasan terlebih dahulu mengenai kondisi penyakit yang dialami, pemeriksaan ABI yang dilakukan dan tindakan angiografi koroner untuk mengetahui jumlah arteri koroner yang mengalami stenosis pada penderita sindroma koroner akut. 3.7 Etika penelitian

Penelitian ini akan diajukan ke Komite Etis Kesehatan dari Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara untuk disetujui.

3.8 Cara kerja dan alur penelitian

Peneliti melakukan pengumpulan sampel berdasarkan rekam medis dimana data dasar berupa anamnesis, pemeriksaan fisik, elektrokardiogram, foto thoraks dan laboratorium untuk menegakkan diagnosis Sindroma Koroner Akut dicatat secara lengkap.

Sampel yang memenuhi criteria inklusi telah dilakukan pemeriksaan ABI dengan menggunakan handheld Doppler 8 MHz pada saat perawatan di CVCU. Nilai ABI yang normal berkisar pada range 0,9 sampai 1,4 sehingga hasil pengukuran ABI < 0,9 atau> 1,4 dikategorikan abnormal.

Pengumpulan sampel menggunakan metode kuota (consecutive) dimana setiap penderita yang memenuhi kriteria inklusi dijadikan sampel penelitian dengan


(36)

jumlah sampel minimal berdasarkan rumus perhitungan sampel adalah sebanyak 46 orang. Seluruh sampel diberikan terapi tatalaksana Sindroma Koroner akut yang sesuai standar, mulai dari pemberian antiplatelet, antikoagulan, beta blocker, ACE-inhibitor, nitrat, statin, diuretik serta analgesik intravena golongan opioid.

Setelah selesai pemberian antikoagulan atau setelah kondisi pasien stabil, tindakan angiografi koroner dilakukan dan stenosis > 70% didefinisikan sebagai stenosis yang bermakna. Jika stenosis hanya mengenai satu arteri koroner epikardial maka pasien dikelompokkan kedalam kategor iOne vessel disease, tetapi jika dijumpai stenosis > 70% pada lebih dari satu arteri koroner epikardi al atau pembuluh darah Left Main, maka pasien dikategorikan Mutivessel disease.

ALUR PENELITIAN

SKA

ABI

KRITERIA EKSKLUSI

Normal

Abnormal


(37)

3.9 Identifikasi variabel

Variabel bebas Skala

Nilai ABI kategorik

Variabel tergantung Skala Jumlah stenosis arteri koroner kategorik

3.10 Definisi operasional

1. Diagnosis IMA STE ditegakkan apabila dijumpai kriteria berikut : adanya nyeri dada khas infark (durasi nyeri lebih dari 20 menit, tidak respon sepenuhnya dengan nitrat, nyeri dapat menjalar ke leher, rahang bawah atau lengan kiri, dapat disertai dengan gejala aktivasi sistem syaraf otonoms eperti mual, muntah serta keringat dingin), dijumpai elevasi segmen ST yang persisten ( lebih dari 2 mm pada lead V2-V3, atau lebih dari 1mm pada lead lainnya), atau adanya left bundle branch block (LBBB) yang baru atau yang dianggap baru, peningkatan marker (enzim jantung) serial akibat nekrosis miokard (CKMB dan troponin) (Thygensendkk, 2007; Van de Werfdkk, 2008).

2. Diagnosis IMA NSTE ditegakkan bila dijumpai pasien dengan nyeri dada akut namun tanpa elevasi segmen ST yang persisten pada sadapan EKG. Pasien-pasien dengan criteria ini biasanya menunjukkan gambaran depresi segmen ST atau gelombang T yang terbalik, mendatar atau bahkan tanpa adanya perubahan EKG sekalipun dan didukung dengan bukti peningkatan enzim jantung (Guideline NSTEMI-ESC, 2011). 3. Diagnosa APTS ditegakkan bila dijumpai presentasi klinis sebagai berikut :

Nyeri dada khas angina dengan durasi lebih dari 20 menit pada saat istirahat

Angina dengan onset yang baru ( Kelas III atau IV pada klasifikasi CCS )


(38)

Angina paska infark

Jika salah satu dari keempat criteria tersebut terpenuhi dan tidak terdapat bukti peningkatan enzim jantung, maka diagnosis APTS dapat ditegakkan.

4. Merokok didefinisikan sebagai riwayat merokok aktif (sampai dengan subjek menderita IMA STE) atau subjek baru berhenti merokok dalam 6 bulan terakhir (ACSM coronary artery disease risk factor thresholds, 2008).

5. Riwayat hipertensi didefinisikan apabila memenuhi minimal salah satu criteria berikut ini (Karlsberg dkk, 2011) ;

• Riwayat pernah didiagnosis oleh dokter menderita hipertensi dan telah diberikan terapi obat anti hipertensi serta advis diet dan olahraga

• Pada anamnesis dijumpai riwayat pemakaian obat anti hipertensi 6. Diabetes didefinisikan sebagai berikut ;

Subjek selama ini telah atau pernah menggunakan obat hipoglikemik oral atau insulin, atau hasil pemeriksaan kadar gula darah selama perawatan di rumah sakit memenuhi salah satu dari kriteria berikut ;kadar HBA1C ≥ 6,5%, kadar gula darah puasa ≥ 126mg/dl, atau kadar gula darah postprandrial ≥ 200 mg/dl (Karlsberg dkk, 2011)

7. Dislipidemia didefinisikan apabila dijumpai minimal salah satu dari criteria pemeriksaan kadar profil lipid (Karlsberg dkk, 2011, NCEP-ATP III, 2002), selama perawatan di rumah sakit sebagai berikut ;

• Kadar total kolesterol > 200mg/dl • Kadar LDL > 130mg/dl

• Kadar HDL < 40 mg/dl pada laki-laki, atau < 50 mg/dl pada perempuan


(39)

10.Definisi penyakit jantung koroner adalah jika dijumpai salah satu dari hal berikut (Karlsberg dkk, 2011) :

• Dijumpai stenosis arteri koroner ≥ 50% dari hasil angiografi koroner atau dari hasil modalitas pencitraan lainnya

• Riwayat operasi bedah pintas koroner • Riwayat intervensi koroner perkutan • Riwayat infark jantung

3.11 Pengolahan dan analisis data

Pengolahan dan analisis data statistic menggunakan SPSS versi 17. Variabel kategorik dipresentasikan dengan jumlah atau frekuensi (n) dan persentase (%). Variabel numerik dipresentasikan dengan nilai mean (rata-rata) dengan standar deviasi untuk data yang terdistribusi normal, sedangkan data numerik yang tidak terdistribusi normal menggunakan median (nilai tengah).

Untuk menilai hubungan antara nilai ABI yang normal ataupun abnormal dengan hasil angiografi koroner dilakukan dengan uji chi square. Untuk analisa multivariat dilakukan uji multiple regression logistic.

Analisa multivariat dari variable bebas kategorik dengan variabel tergantung kategorik diuji dengan regresi logistik.

3.12 Rincian biaya penelitian

Pengadaan alat Handheld Doppler 8 MHz Rp 6.000.000

Pengadaan alat tulis dan fotokopi Rp 500.000

Pengelolaan hasil statistik Rp 1.000.000


(40)

BAB IV

HASIL PENELITIAN

4.1 Karakteristik Subjek Penelitian

Dari 65 orang subjek dalam penelitian ini 48 orang dengan diagnosis IMA-STE, 10 orang dengan diagnosis IMA-NSTE dan 7 orang dengan diagnosis APTS dengan usia rata-rata 55,05 tahun dan didominasi oleh jenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 54 orang (83%). Merokok menjadi faktor resiko yang paling banyak dijumpai pada sampel penelitian yaitu sebanyak 41 orang (63,07%) diikuti dengan hipertensi sebanyak 33 orang (50,77%), DM sebanyak 18 orang (27,69%) dan terakhi radalah hiperkolesterolemia sebanyak 7 orang (10,77%). 32 orang ABI yang abnormal dan 36 orang dengan fungsi sistolik ventrikel kiri (LVEF) < 50% dari hasil pemeriksaan ekokardiografi.

Dari hasil angiografi koroner didapati 12 pasien dengan keterlibatan satu arteri koroner epikardial ( one vessel disease ) dan 55 orang dengan keterlibatan lebih dari satu arteri koroner ( multi vessel disease ). Usia rata-rata subjek penelitian dalam kelompok multi vessel disease lebih tua yaitu 55,56 tahun dibandingkan dengan kelompokone vessel disease yaitu 52,75 tahun. Subjek berjenis kelamin laki-laki pada kelompok one vessel disease sebanyak 11 orang (91,67%) dan hanya satu orang


(41)

Subjek pada kelompok multi vessel disease diketahui memiliki faktor resiko yang lebih besar yaitu hipertensi sebanyak 28 orang (52,83%) dan merokok sebanyak 32 orang (60,38%). Hasil yang berbeda dijumpai pada faktor resiko DM dan hiperkolesterolemia dimana 38 orang yang tidak menderita DM lebih banyak dibandingkan dengan yang menderita DM sebanyak 15 orang (28,30%) pada kelompok multi vessel disease. Sementara yang menderita hiperkolesterolemia sebanyak 7 orang (13,71%) dan yang tidak hiperkolesterolemia sebanyak 46 orang pada kelompok multi vessel disease. Namun semua perbedaan faktor-faktor resiko penyakit jantung koroner baik pada kelompok one vessel disease maupun kelompok multivessel disease tidak berbeda bermakna secara statistik.

Hasil pemeriksaan ABI pada saat subjek dirawat di CVCU RSHAM menunjukkan 30 orang atau 56,67% subjek pada kelompok multi vessel disease memiliki nilai ABI yang abnormal, jauh lebih besar dibandingkan kelompok one vessel disease yaitu sebanyak 2 orang (16,6%) dan kondis iini berbeda bermakna secara statistik ( p value 0,012 ).

Dari data ekokardiografi didapati 33 subjek (62,26%) memiliki LVEF < 50% pada kelompok multi vessel disease, jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok one vessel disease yang hanya dijumpai pada 3 subjek (25%) dan perbedaan ini juga bermakna secara statistik ( p value 0,019 ).


(42)

Gambar 4.Distribusisubjekpenelitianberdasarkan diagnose saatmasuk RSHAM

Tabel 4.1 KarakteristikDasarSubjekPenelitian

Variabel Total ( n=65 )

1 vessel ( n=12)

Multivessel ( n=53 )

P value

Usia, rata-rata 55,05 tahun 52,75 tahun 55,56 tahun 0,226 Jeniskelaminpria

(%)

54 (83%) 11 (91,67%) 43 (81,13%) 0,347

Hipertensi (%) 33 (50,77%) 5 (41,67%) 28 (52,83%) 0,485 DM tipe 2 (%) 18 (27,69%) 3 (25%) 15 (28,30%) 0,564 Hiperkoleserolemia

(%)

7 (10,77%) 0 (0%) 7 (13,71%) 0,221

74%

15% 11%

0%


(43)

4.2 Hubungan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah stenosis arteri koroner penderita sindroma koronera kut.

Dari hasil penelitian ini dijumpai bahwa 30 pasien (56,60%) dengan nilai ABI abnormal memiliki stenosis pada lebih dari satu arteri koroner pada pemeriksaan angiografi koroner, sementara hanya 2 pasien (16,67%) dengan nilai ABI abnormal dijumpai stenosis pada satu arteri koroner. Dijumpai hubungan yang signifikan antara nilai ABI yang abnormal dengan jumlah stenosis arteri koroner dari pemeriksaan angiografi ( p value = 0,012 ).

Hasil penelitian ini juga memperlihatkan ternyata EF yang rendah berhubungan juga dengan jumlah stenosis arteri koroner dimana terdapat 33 pasien (62,26%) dengan EF abnormal memiliki stenosis pada lebih dari satu arteri koroner, sementara ada 3 pasien (25%) dengan EF abnormal memiliki stenosis pada satu arteri koroner dan hasil ini memiliki hubungan yang bermakna secara statistic ( p value = 0,019)

0

5

10

15

20

25

30

One Vessel

Multi Vessel

Normal ABI

Abn. ABI


(44)

Gambar 4.1 Diagram BulatPerbedaanHasilAngiografitentangJumlah Stenosis

ArteriKoronerAntaraKeduaKelompokSubjek.

4.3 Analisis Multivariat Nilai ABI yang abnormal dengan Jumlah Stenosis Arteri Koroner Pada Penderita Sindroma Koroner Akut.

Dari hasil analisis bivariat dari karakteristik klinis subjek penelitian, dijumpai ada dua variabel yang bermakna secara statistik dengan jumlah stenosis arteri koroner pada pemeriksaan angiografi koroner yaitu nilai ABI yang abnormal dan nilai EF yang rendah.

Oleh karena itu dilakukan analisis multivariat dengan metode uji regresi logistik multipel terhadap kedua variabel tersebut. Nilai ABI yang abnormal merupakan variabel yang paling dominan untuk mengetahui jumlah stenosis arteri koroner. Sehingga subjek penelitian yaitu penderita sindroma koroner akut dengan nilai ABI abnormal memiliki resiko untuk dijumpai stenosis pada lebih dari satu arteri koroner pada pemeriksaan angiografi koroner sebanyak 6,52 kali lebih tinggi dibandingkan subjek dengan nilai ABI yang normal ( 95% KI; OR 1,3-32,71).

Tabel 4.2 HasilAnalisisMultivariatantaraNilai ABI Abnormal denganJumlah Stenosis ArteriKoronerPenderitaSindromaKoronerAkut.


(45)

BAB V

PEMBAHASAN

Pada penelitian ini dijumpai hubungan yang bermakna antara nilai ABI yang abnormal pada penderita Sindroma Koroner Akut dengan hasil angiografi koroner yang menunjukkan adanya stenosis pada lebih dari satu arteri koroner (multi vessel disease ) dengan nilai p=0,023 (OR = 6,52, 95% KI = 1,3-32,71 ). Sehingga dari penelitian ini menunjukkan bahwa subjek penelitian dengan nilai ABI abnormal bila kemudian dilakukan tindakan angiografi koroner, memiliki resiko untuk mendapat hasil multivessel disease sebanyak 6,52 lebih besar bila dibandingkan dengan subjek dengan nilai ABI yang normal.

Penelitian yang dilakukan oleh Papamichael dkk pada tahun 2000 menyimpulkan bahwa nilai ABI ≤ 0,9 dihubungkan dengan luasnya penyakit jantung koroner, perubahan proses atherosklerosis pada pembuluh darah ekstra koroner serta dapat meramalkan pasien yang dicurigai penyakit jantung koroner yang manjalani prosedur angiografi koroner. ( Papamichael dkk, 2000 ).

Studi-studi yang dilakukan sebelumnya membuktikan bahwa merokok dan DM merupakan prediktor independen terhadap kejadian penyakit jantung koroner dan secara signifikan berhubungan dengan nilai ABI. Hubungan antara DM dan nilai ABI yang rendah dibuktikan dengan adanya bukti klinis bahwa DM menyebabkan proses atherosklerotik yang multisegmental dan menyebabkan lesi yang berlokasi lebih distal. Sementara merokok telah lama diketahui merupakan faktor resiko utama dalam kejadian penyakit arteri perifer. Namun kedua variabel tersebut dalam penelitian ini


(46)

tidak terbukti secara signifikan memberikan gambaran angiografi koroner multivessel disease. Hal ini mungkin dikarenakan jumlah sampel yang masih sedikit.

Studi PAMISCA yang dilakukan pada tahun 2010 membuktikan bahwa penderita sindroma koroner akut dengan nilai ABI abnormal memiliki penyakit arteri koroner yang lebih luas dengan prevalensi kejadian multivessel disease yang lebih besar (Nunez dkk, 2010). Hasil tersebut sejalan dengan hasil penelitian ini yang memperlihatkan bahwa hasil pemeriksaan ABI yang abnormal pada pasien sindroma koroner akut memiliki stenosis pada lebih dari satu arteri koroner.

Chang dan kawan-kawan pada tahun 2006 menyimpulkan bahwa nilai ABI < 0,9 bermanfaat untuk meramalkan luasnya dan tingkat kompleksitas lesi koroner pada tindakan angiografi koroner. Penelitian ini juga menyebutkan tingginya angka kejadian stenosis pada level ostial dan segmen yang lebih proksimal, lesi kalsifikasi yang difus dan irregular pada pasien dengan nilai ABI abnormal dibandingkan dengan nilai ABI normal. (Chang dkk, 2006).

Studi lain yang dilakukan oleh Sukhija memperlihatkan bahwa hubungan yang erat antara nilai ABI yang abnormal dengan keterlibatan pembuluh darah kiri utama (left main) dan tingginya prevalensi kejadian stenosis pada ketiga arteri koroner. (Sukhijadkk, 2003).


(47)

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan

Berdasarkan analisa data yang diperoleh pada penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa :

1. Penderita Sindroma Koroner Akut yang memiliki nilai ABI abnormal diketahui sebanyak 32 orang (49,23%).

2. Hasil angiografi koroner penderita Sindroma Koroner Akut yang memiliki nilai ABI abnormal lebih banyak menunjukkan stenosis pada lebih dari satu arteri koroner( multivessel disease ) dibandingkan dengan penderita yang memiliki nilai ABI dalam batas normal, dengan nilai p = 0,012.

3. Dari hasil analisis multivariate dijumpai bahwa hanya nilai ABI yang abnormal yang bermakna secara statistic terhadap hasil angiografi koroner menunjukkan multivessel disease, dengan nilai p = 0,023 ( OR=6,52, 95% KI = 1,3-32,71).

6.2 KeterbatasanPenelitian

1. Metodepenelitianbersifatretrospektifsehinggafaktor bias tidakdapatdihindari, 2. Sampelpenelitiankecil.

3. Durasipenelitian yang relatifsingkat.

6.3 Saran

Sebaiknya penelitian dilakukan dengan metode potong lintang dengan durasi penelitian yang lebih lama serta jumlah sampel yang jauh lebih besar sehingga dapat memberikan hasil yang lebih representatif.


(48)

DAFTAR PUSTAKA

Aboyans V, Criqui MH, Abraham P, Allison MA, Creager MA, Diehm C dkk. Measurement and Interpretation of the Ankle_Brachial Index.Circulation. 2012;126:2890-2909.

Aboyans V, Lacroix P, Tran MH, Salamagne C, Galinat S dkk. Subclinical peripheral arterial disease and incompressible ankle arteries are both long-term prognostic factors in patients undergoing CABG. JAmColl Cardiol.2005;46:815-20.

Agnelli G, Cimminniello C, Meneghetti G. Low Ankle-Brachial Index predicts an adverse 1-year outcome after acute coronary and cerebrovascular events. Journal of Thrombosis and Haemostasis. 2006;4:2599-2606.

Alberts MJ, Bhatt DL, Mas JL, Ohman EM, Hirsch AT dkk. Reduction of atherothrombosis for continued Health Registry Investigators. Eur Heart J.2009;30:2318-26.

Allison MA, Criqui MH, McClelland RL, Scott JM, McDermott MM dkk.The effect of novel cardiovascular risk factors on the etnic –specific odds for peripheral arterial disease in the MESA.J Am Coll Cardiol.2006;48:1190-7.

Allison MA, Hian WR, Hirsch AT, Coll JR, Criqui MH. A High Ankle-Brachial Index is associated with increased Cardiovascular Disease morbidity and lower quality of life. J Am CollCardiol. 2008;51:1292-8.

Al-Thani HA, El-Menyar A, Zubaid M, Rashed WA, Ridha M dkk. Peripheral Arterial Disease in Patients Presenting with Acute Coronary Syndrome in Six Middle Eastern Countries.International Journal of Vascular Medicine. 2011;1-8.


(49)

Bender JR, Russel KS, Rosenfeld LE, Chaundry S. 2011. “Coronary artery disease.” OxfordAmericanhandbookofCardiology. Edisi pertama. New York : Oxford University Press.

Bertomeu V, Morillas P, Gonzalez-Juanatey JR, Quiles J, Guindo J dkk. Prevalence and prognostic influence of peripheral arterial disease in patients 40 years old admitted into hospital following an acute coronary event. Eur J VascEndovasc Surg. 2008;36:189-96.

Bhatt DL, Peterson ED, Harrington RA, Ou FS, Cannon CP dkk. Prior polyvasculardisease : risk factor for adverse ischaemic outcomes in acute coronary syndromes. European Heart Journal. 2009;30:1195-1202.

Bonetti PO, Lerman LO, Lerman A. Endothelial Dysfunction : A Marker of Atherosclerotic Risk. ArteriosclerThrombVasc Biol. 2003;23:168-75.

Cai H, Harrison DG. Endothelial dysfunction in cardiovascular disease : the role of oxidant stress. Circ Res. 2000;87:840-4.

Chang ST, Chen CL, Chu CM, Chung CM, Hsu JT dkk.Ankle-arm index as a predictor of lession morphology and risk classification for coronary artery disease undergoing angioplasty.Int J Cardiol. 2006;113:385-90.

Creager MA, Dzau VJ, Loscalzo J. The epidemiology of peripheral arterial disease.Elsevier. 2006:223-238.

Criqui MH, Ninomiya JK, Wingard DL, Ji M, Fronek A. Progression of peripheral arterial disease predicts cardiovascular disease morbidity and mortality. J Am Coll Cardiol.2008;52:1736-42.

Criqui MH, McClelland RL, McDermott MM, Allison MA, Blumenthal RS dkk. The Ankle-Brachial Index and Incident Cardiovascular Events in the MESA ( Multi-Ethnic Study of Atherosclerosis ). J Am CollCardiol. 2010;56:1506-12.

Dieter RS, Tomasson J, Gudjonsson T, Brown RL dkk.Lower extremity peripheral arterial disease in hospitalized patients with coronary artery disease.Vasc Med. 2003;8:233-6.

Diehm C, Lange S, Darius H, Pittrow D, von Stritzky B, Tepohl G dkk. Association of low ankle brachial index with high mortality in primary care.Eur Heart J. 2006;27:1743-9.


(50)

DoobayAV, Anand SS. Sensitivity and Specificity of the Ankle-Brachial Index to Predict Future Cardiovascular Outcomes : A Systematic Review. ArteriosclerThrombVasc Biol. 2005;25:1463-9.

Enrique G, Flammer AJ, Lerman LO, Eligaza J, Lerman A dkk.Endothelial Dysfunction over the Course of Coronary Artery Disease.European HeartJournal. 2010;31:2741-8.

Espinola-Klein C, Rupprecht HJ, Bickel C, Lackner K, Savvidis S dkk. Different Calculations of Ankle Brachial Index and Their Impact on Cardiovascular Risk Presiction.Circulation. 2008;118:961-7.

Fathi R, Haluska B, Isbel H, Short L, Marwick TH. The Relative Importance of Vascular Structure and Function in Predicting Cardiovascular Events.J AmCollCardiol. 2004;43:616-23.

Fichtlscherer S, Rosenberger G, Walter DH, Breuer S, Dimmeler S dkk. Elevated C-Reactive Protein Levels and Impaired Endothelial Vasoreactivity in Patients With Coronary Artery Disease. Circulation. 2000;102:1000-6.

Fowkes GR, Low LP, Tuta S, Kozak J. Ankle -Brachial Index and Extent of Atherothrombosis in 8891 patients with or at risk of Vascular Disease : results of the international AGATHA Study. European Heart Journal. 2006;27:1861-7.

Franklin HE, Ross R. Atherosclerosis : An Inflammatory Disease. Review Article. N Engl J Med. 1999;340:115-26.

Frick M, Suessenbacher A, Alber HF, Pachinger O. Endothelial Dysfunction and Peripheral Arterial Disease. European Heart Journal. 2005;26:363-8.

Golomb BA, Dang TT, Criqui MH. Peripheral arterial disease : morbidity and mortality implications. Circulation.2006;114:688-99.


(51)

Gregorio B, Silvestro A, Sciano V, Chiariello M. Endothelial Dysfunction and Cardiovascular Risk Prediction in Peripheral Arterial Disease : Additive value of Flow-Mediated Dilation to Ankle-Brachial Index. Circulation. 2003;108:2093-8.

Heald CL, Fowkes FG, Murray GD, Price JF. Risk of mortality and cardiovascular disease associated with the ankle-brachial index :Sistematic review. Atherosclerosis. 2006;189:61-9.

Karlsberg RP, Tcheng JE, Boris JR, Buxton AE, Dove JT, Fonarow GC, dkk. ACCF/AHA 2011 Key data elements and definitions of a base cardiovascular vocabulary for electronic health records. J Am Coll Cardiol. 2011;58(2):202-222.

Katz S, Globerman A, Avitzour M, Dolfin T. Ankle-brachial index in normal neonates and infants is significantly lower than in older children and adults. J Pediatr Surg.1997;32:269-71.

Kownator S, Cambou JP, Cacoub P, Leger P, Luizy F dkk. Prevalence of unknown Peripheral Arterial Disease in patients with Coronary Artery Diseae : Data in Primary Care from the IPSILON study. Archives of Cardiovascular Disease. 2009;102:625-31.

Lamina C, Meisinger C, Heid IM, Lowel H, Rantner B dkk. Association of ankle-brachial index and plaques in the carotid and femoral arteries with cardiovascular events and total mortality.Eur Heart J. 2006;27:2580-7.

Lee AJ, Price JF, Russel MJ, Smith FB, van Wijk MCW dkk. Improved Prediction of Fatal Myocardial Infarction Using the Ankle Brachial Index in Addition to Conventional Risk Factor : The Edinburgh Artery Study. Circulation. 2004;110:3075-80.

Leng GC, Fowkes FG, Lee AJ, Donbar J, Housley E dkk. Use of Ankle-Brachial Pressure index to predict cardiovascular events and death: a cohort study. BMJ. 1996;313:1440-4.

Libby P, Creager MA. 2009. ”Peripheral Arterial Disease” . Braunwald's HeartDisease, a textbook of cardiovascular.Edisi ke-8. Philadelphia. Saunders Elsevier.

Libby P. Current consepts of the pathogenesis of the acute coronary syndromes. Circulation.2001;104:365-72.


(52)

Libby P, Ridker PM, Maseri A. Inflammation and atherosclerosis.Circulation. 2002;105:1135-43.

Loffredo L, Marcoccia A, Pignatelli P, Andreozzi P, Borgia MC dkk. Oxidative-stress-mediated arterial dysfunction in patients with peripheral arterial disease.European Heart Journal. 2007;28:608-12.

Marso SP, Hiatt WR. Peripheral arterial disease patients with diabetes.J Am CollCardiol. 2006;47:921-9.

McKee PA, Castell WP, McNamara PM, Kannel WB. The naturalhistory of congestive heart failure: the Framingham Study. NEnglJMed. 1971:285

Morillas P, Quiles J, Cordero A, Guindo J, Sorio F dkk. Impact of Clinical and Subclinical Peripheral Arterial Disease in Mid-term Prognosis of Patients With Acute Coronary Syndrome.Am J Cardiol. 2009;104:1494-8.

Mukherjee D, Eagle KA, Kline-Rogers E dkk.Impact of prior peripheral arterial disease and stroke on outcomes of acute coronary syndromes and effect of evidence-based therapies (from GRACE Study).Am J Cardiol. 2007;100:1-6. Mundt KA, Chambless LE, Burnham CB, Heiss G. Measuring ankle systolic blood

pressure. Angiology.1992;43:555-66.

Murray CJ, Lopez AD. Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020: Global Burden of Disease Study. Lancet.1997;349:1498-504. Newman AB, Shemanski L, Manolio TA, Cushman M, Mittelmark M dkk. Ankle

-Arm Index as a Predictor of Cardiovascular Disease and Mortality in the Cardiovascular Health Study.ArteriosclerThrombVasc Biol. 1999;19:538-45. Ninomiya JK, Criqui MH, Wingard DL, Ji M, Fronek A. Progression os Peripheral

Arterial Disease Predicts Cardiovascular Disease Morbidity and Mortality. J Am CollCardiol. 2008;52:1736-42.


(53)

O'Hare AM, Katz R, Shlipak MG, Cushman M, Newman AB. Mortality and Cardiovascular Risk Across the Ankle-Arm Index Spectrum. Circulation. 2006;113:388-93.

Otah KE, Madan A, Otah E, Badero O, Clark LT dkk. Usefulness of an abnormal ankle-brachial index to predict presence of coronary artery disease in Africans-Americans.Am J Cardiol. 2004;93:481-3.

Papamichael CM, Lekakis JP, Stamatelopoulos KS, Papaioannou TG, Alevizaki MK dkk. Ankle-Brachial Index as a Predictor of the Extent of Coronary Atherosclerosis and Cardiovascular Events in Patients With Coronary Artery Disease. Am J Cardiol. 2000;86:615-8.

Pasqualini L, Marchesi S, Vaudo G dkk.Association between endothelial dysfunction and major cardiovascular events in peripheral arterial disease.Vasa. 2003;32:139-43.

Poredos P, Jug B. The Prevalence of peripheral arterial disease in high risk subjects and coronary or cerebrovascular patients.Angiology. 2007;58:309-15.

ResnickHE, Lindsay RS, McDermott MM, Devereux RB, Jones KL dkk. Relationship of High and Low Ankle Brachial Index to All-Cause and Cardiovascular Disease Mortality : The Strong Heart Study. Circulation. 2004;109:733-9.

Rizvi S, Kamran H, Salciccioli L, Saiful F, Lafferty J dkk. Relation of the Ankle Brachial Index to Left Ventricular Ejection Fraction.Am J Cardiol. 2010;105:129-32.

Rossi E, Biasucci LM, Citterio F, Pelliccioni S, Monaco C dkk. Risk of Myocardial Infarction and Angina in Patients With Severe Peripheral Vascular Disease : Predictive Role of C-Reactive Protein. Circulation. 2002;105:800-3.

Sadeghi M, Heidari R, Mostanfar B, Tavassoli A, Roghani F dkk. The Relation between Ankle-Brachial Index (ABI) and Coronary Artery Disease severity and risk factors : an angiographic study. ARYA Atherosclerosis. 2011;7(2):68-73.

Safar ME, Protogerou AD, Blacher J. Statins, central blood pressure, and blood pressure amplification.Circulation.2009;119:9-12.


(54)

Shah AM, Banerjee T, Mukherjee D. Coronary, Peripheral and Cerebrovascular Disease : a Complex Relationship. Herz. 2008;33:475-80.

Sheikh MA, Bhatt DL, Li J, Lin S, Bartholomew JR. Usefulness of postexercise Ankle-Brachial Index to predict all cause mortality. Am J Cardiol. 2011;107:778-82.

Siscovick DS, Newman AB, Manolio TA, Polak J, Fried LP dkk. Ankle-Arm Index as a marker of Atherosclerosis in the Cardiovascular Health Study. Circulation. 1993;88:837-45.

Smith FB, Lee AJ, Price JF, van Wijk MC, Fowkes FG. Changes in ankle brachial index in symptomatic and asymptomatic subjects in general populations.J Vasc Surg.2003;38:1323-30.

Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Borger, badano LP, dkk. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST segment elevation. Eur Heart J. 2012;10:1-51

Thygensen K, Alpert JS, White HD. Universal definition of myocardial infarction. EurHeartJ. 2007;28:2525-2538

Tierney S, Fennessy F, Hayes DB. ABC of arterial and vascular disease: Secondary prevention of peripheral vascular disease. BMJ. 2000;320:1262-5.

Tomasian D, Keaney JF Jr, Vita JA. Antioxidant and the bioactivity of endothelium-derived nitric oxide.Cardiovasc Res.2000;47:426-35.

Vascular Disease Foundation. Ankle-Brachial Index : a Diagnostic Tool for

Peripheral Arterial Disease. 2008.

Diunduhdar

Van Kuijk JP, Flu WJ, Welten GMJM, Hoeks SE, Chonchol M dkk.Long term Prognosis of patients with Peripheral Arterial Disease with or without


(55)

Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstorm-Lundgvista C, Crea F dkk. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST segmen elevation, the task force on the management of ST segment elevation acute myocardial infarction of European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2909-45.

Vita JA, Keaney JF Jr. Endothelial function: a barometer for cardiovascular risk? Circulation. 2002;106:640-2.

Widlansky ME, Gokce N, Keaney JF, Vita JA. The Clinical Implications of Endothelial Dysfunction.J Am CollCardiol. 2003;42:1149-60.

Yataco AR, Gardner AW.Acute reduction in ankle brachial index following smoking in chronic smokers with peripheral arterial occlusive disease.Angiology.1990;50:355-60.

Zeiher AM, Drexler H, Wollschlager H, Just H. Endothelial dysfunction of the coronary microvasculature is associated with impaired coronary blood flow regulation in patients with early atherosclerosis. Circulation.1991;84:1984-92.


(1)

DoobayAV, Anand SS. Sensitivity and Specificity of the Ankle-Brachial Index to Predict Future Cardiovascular Outcomes : A Systematic Review. ArteriosclerThrombVasc Biol. 2005;25:1463-9.

Enrique G, Flammer AJ, Lerman LO, Eligaza J, Lerman A dkk.Endothelial Dysfunction over the Course of Coronary Artery Disease.European HeartJournal. 2010;31:2741-8.

Espinola-Klein C, Rupprecht HJ, Bickel C, Lackner K, Savvidis S dkk. Different Calculations of Ankle Brachial Index and Their Impact on Cardiovascular Risk Presiction.Circulation. 2008;118:961-7.

Fathi R, Haluska B, Isbel H, Short L, Marwick TH. The Relative Importance of Vascular Structure and Function in Predicting Cardiovascular Events.J AmCollCardiol. 2004;43:616-23.

Fichtlscherer S, Rosenberger G, Walter DH, Breuer S, Dimmeler S dkk. Elevated C-Reactive Protein Levels and Impaired Endothelial Vasoreactivity in Patients With Coronary Artery Disease. Circulation. 2000;102:1000-6.

Fowkes GR, Low LP, Tuta S, Kozak J. Ankle -Brachial Index and Extent of Atherothrombosis in 8891 patients with or at risk of Vascular Disease : results of the international AGATHA Study. European Heart Journal. 2006;27:1861-7.

Franklin HE, Ross R. Atherosclerosis : An Inflammatory Disease. Review Article. N Engl J Med. 1999;340:115-26.

Frick M, Suessenbacher A, Alber HF, Pachinger O. Endothelial Dysfunction and Peripheral Arterial Disease. European Heart Journal. 2005;26:363-8.

Golomb BA, Dang TT, Criqui MH. Peripheral arterial disease : morbidity and mortality implications. Circulation.2006;114:688-99.

Gokce N, Vita JA. Clinical manifestations of endothelial dysfunction.Thrombosis and Hemorrhage. 2002:685-706.

Gokce N, Keaney JF, Hunter LM, Watkins MT, Nedeljkovic ZS dkk.Predictive Value of Noninvasively Determined Endothelial Dysfunction for Long-Term Cardiovascular Events in Patients with Peripheral Vascular Disease.J AmCollCardiol. 2003;41:1769-75.


(2)

Gregorio B, Silvestro A, Sciano V, Chiariello M. Endothelial Dysfunction and Cardiovascular Risk Prediction in Peripheral Arterial Disease : Additive value of Flow-Mediated Dilation to Ankle-Brachial Index. Circulation. 2003;108:2093-8.

Heald CL, Fowkes FG, Murray GD, Price JF. Risk of mortality and cardiovascular disease associated with the ankle-brachial index :Sistematic review. Atherosclerosis. 2006;189:61-9.

Karlsberg RP, Tcheng JE, Boris JR, Buxton AE, Dove JT, Fonarow GC, dkk. ACCF/AHA 2011 Key data elements and definitions of a base cardiovascular vocabulary for electronic health records. J Am Coll Cardiol. 2011;58(2):202-222.

Katz S, Globerman A, Avitzour M, Dolfin T. Ankle-brachial index in normal neonates and infants is significantly lower than in older children and adults. J Pediatr Surg.1997;32:269-71.

Kownator S, Cambou JP, Cacoub P, Leger P, Luizy F dkk. Prevalence of unknown Peripheral Arterial Disease in patients with Coronary Artery Diseae : Data in Primary Care from the IPSILON study. Archives of Cardiovascular Disease. 2009;102:625-31.

Lamina C, Meisinger C, Heid IM, Lowel H, Rantner B dkk. Association of ankle-brachial index and plaques in the carotid and femoral arteries with cardiovascular events and total mortality.Eur Heart J. 2006;27:2580-7.

Lee AJ, Price JF, Russel MJ, Smith FB, van Wijk MCW dkk. Improved Prediction of Fatal Myocardial Infarction Using the Ankle Brachial Index in Addition to Conventional Risk Factor : The Edinburgh Artery Study. Circulation. 2004;110:3075-80.

Leng GC, Fowkes FG, Lee AJ, Donbar J, Housley E dkk. Use of Ankle-Brachial Pressure index to predict cardiovascular events and death: a cohort study. BMJ. 1996;313:1440-4.

Libby P, Creager MA. 2009. ”Peripheral Arterial Disease” . Braunwald's HeartDisease, a textbook of cardiovascular.Edisi ke-8. Philadelphia. Saunders Elsevier.

Libby P. Current consepts of the pathogenesis of the acute coronary syndromes. Circulation.2001;104:365-72.


(3)

Libby P, Ridker PM, Maseri A. Inflammation and atherosclerosis.Circulation. 2002;105:1135-43.

Loffredo L, Marcoccia A, Pignatelli P, Andreozzi P, Borgia MC dkk. Oxidative-stress-mediated arterial dysfunction in patients with peripheral arterial disease.European Heart Journal. 2007;28:608-12.

Marso SP, Hiatt WR. Peripheral arterial disease patients with diabetes.J Am CollCardiol. 2006;47:921-9.

McKee PA, Castell WP, McNamara PM, Kannel WB. The naturalhistory of congestive heart failure: the Framingham Study. NEnglJMed. 1971:285

Morillas P, Quiles J, Cordero A, Guindo J, Sorio F dkk. Impact of Clinical and Subclinical Peripheral Arterial Disease in Mid-term Prognosis of Patients With Acute Coronary Syndrome.Am J Cardiol. 2009;104:1494-8.

Mukherjee D, Eagle KA, Kline-Rogers E dkk.Impact of prior peripheral arterial disease and stroke on outcomes of acute coronary syndromes and effect of evidence-based therapies (from GRACE Study).Am J Cardiol. 2007;100:1-6. Mundt KA, Chambless LE, Burnham CB, Heiss G. Measuring ankle systolic blood

pressure. Angiology.1992;43:555-66.

Murray CJ, Lopez AD. Alternative projections of mortality and disability by cause 1990-2020: Global Burden of Disease Study. Lancet.1997;349:1498-504. Newman AB, Shemanski L, Manolio TA, Cushman M, Mittelmark M dkk. Ankle

-Arm Index as a Predictor of Cardiovascular Disease and Mortality in the Cardiovascular Health Study.ArteriosclerThrombVasc Biol. 1999;19:538-45. Ninomiya JK, Criqui MH, Wingard DL, Ji M, Fronek A. Progression os Peripheral

Arterial Disease Predicts Cardiovascular Disease Morbidity and Mortality. J Am CollCardiol. 2008;52:1736-42.

Norgren L, Hiatt WR, Dormandy JA dkk. Inter-Society Consensus for the Management for Peripheral Arterial Disease (TASC II).J Vasc Surg. 2007. 45:S5.

Nunez D, Morillas P, Quiles J, Cordero A, Guindo J dkk. Usefulness of an Abnormal Ankle-Brachial Index for detecting Multivessel Coronary Disease in Patients with Acute Coronary Syndrome.Rev EspCardiol. 2010;63(1):54-9.


(4)

O'Hare AM, Katz R, Shlipak MG, Cushman M, Newman AB. Mortality and Cardiovascular Risk Across the Ankle-Arm Index Spectrum. Circulation. 2006;113:388-93.

Otah KE, Madan A, Otah E, Badero O, Clark LT dkk. Usefulness of an abnormal ankle-brachial index to predict presence of coronary artery disease in Africans-Americans.Am J Cardiol. 2004;93:481-3.

Papamichael CM, Lekakis JP, Stamatelopoulos KS, Papaioannou TG, Alevizaki MK dkk. Ankle-Brachial Index as a Predictor of the Extent of Coronary Atherosclerosis and Cardiovascular Events in Patients With Coronary Artery Disease. Am J Cardiol. 2000;86:615-8.

Pasqualini L, Marchesi S, Vaudo G dkk.Association between endothelial dysfunction and major cardiovascular events in peripheral arterial disease.Vasa. 2003;32:139-43.

Poredos P, Jug B. The Prevalence of peripheral arterial disease in high risk subjects and coronary or cerebrovascular patients.Angiology. 2007;58:309-15.

ResnickHE, Lindsay RS, McDermott MM, Devereux RB, Jones KL dkk. Relationship of High and Low Ankle Brachial Index to All-Cause and Cardiovascular Disease Mortality : The Strong Heart Study. Circulation. 2004;109:733-9.

Rizvi S, Kamran H, Salciccioli L, Saiful F, Lafferty J dkk. Relation of the Ankle Brachial Index to Left Ventricular Ejection Fraction.Am J Cardiol. 2010;105:129-32.

Rossi E, Biasucci LM, Citterio F, Pelliccioni S, Monaco C dkk. Risk of Myocardial Infarction and Angina in Patients With Severe Peripheral Vascular Disease : Predictive Role of C-Reactive Protein. Circulation. 2002;105:800-3.

Sadeghi M, Heidari R, Mostanfar B, Tavassoli A, Roghani F dkk. The Relation between Ankle-Brachial Index (ABI) and Coronary Artery Disease severity and risk factors : an angiographic study. ARYA Atherosclerosis. 2011;7(2):68-73.

Safar ME, Protogerou AD, Blacher J. Statins, central blood pressure, and blood pressure amplification.Circulation.2009;119:9-12.


(5)

Shah AM, Banerjee T, Mukherjee D. Coronary, Peripheral and Cerebrovascular Disease : a Complex Relationship. Herz. 2008;33:475-80.

Sheikh MA, Bhatt DL, Li J, Lin S, Bartholomew JR. Usefulness of postexercise Ankle-Brachial Index to predict all cause mortality. Am J Cardiol. 2011;107:778-82.

Siscovick DS, Newman AB, Manolio TA, Polak J, Fried LP dkk. Ankle-Arm Index as a marker of Atherosclerosis in the Cardiovascular Health Study. Circulation. 1993;88:837-45.

Smith FB, Lee AJ, Price JF, van Wijk MC, Fowkes FG. Changes in ankle brachial index in symptomatic and asymptomatic subjects in general populations.J Vasc Surg.2003;38:1323-30.

Steg PG, James SK, Atar D, Badano LP, Borger, badano LP, dkk. ESC guidelines for the management of acute myocardial infarction in patients presenting with ST segment elevation. Eur Heart J. 2012;10:1-51

Thygensen K, Alpert JS, White HD. Universal definition of myocardial infarction. EurHeartJ. 2007;28:2525-2538

Tierney S, Fennessy F, Hayes DB. ABC of arterial and vascular disease: Secondary prevention of peripheral vascular disease. BMJ. 2000;320:1262-5.

Tomasian D, Keaney JF Jr, Vita JA. Antioxidant and the bioactivity of endothelium-derived nitric oxide.Cardiovasc Res.2000;47:426-35.

Vascular Disease Foundation. Ankle-Brachial Index : a Diagnostic Tool for

Peripheral Arterial Disease. 2008.

Diunduhdar

Van Kuijk JP, Flu WJ, Welten GMJM, Hoeks SE, Chonchol M dkk.Long term Prognosis of patients with Peripheral Arterial Disease with or without polyvascular atherosclerotic disease.European Heart Journal. 2010;31:992-9. Van der Meer IM, Hofman A, ML Bots, del Sol AI, van der Kuip DA dkk. Predictive

value of noninvasive measures of atherosclerosis for incident myocardial infarction : the Rotterdam Study. Circulation. 2004;109:1089-94.


(6)

Van de Werf F, Bax J, Betriu A, Blomstorm-Lundgvista C, Crea F dkk. Management of acute myocardial infarction in patients presenting with persistent ST segmen elevation, the task force on the management of ST segment elevation acute myocardial infarction of European Society of Cardiology. Eur Heart J. 2008;29:2909-45.

Vita JA, Keaney JF Jr. Endothelial function: a barometer for cardiovascular risk? Circulation. 2002;106:640-2.

Widlansky ME, Gokce N, Keaney JF, Vita JA. The Clinical Implications of Endothelial Dysfunction.J Am CollCardiol. 2003;42:1149-60.

Yataco AR, Gardner AW.Acute reduction in ankle brachial index following smoking in chronic smokers with peripheral arterial occlusive disease.Angiology.1990;50:355-60.

Zeiher AM, Drexler H, Wollschlager H, Just H. Endothelial dysfunction of the coronary microvasculature is associated with impaired coronary blood flow regulation in patients with early atherosclerosis. Circulation.1991;84:1984-92.