lxxxvii 4.
setiap tindakan diarahkan oleh hubungan pribadi dan politik. Tujuan-tujuan pribadi penguasa merupakan hal yang pokok dalam sepak terjang
pemerintahan kendatipun mereka dibatasi oleh fungsi-fungsi sebagai seorang pemimpim.
3. Penerapanya dalam kehidupan sehari-hari
Rukun dan sikap hormat adalah dua prinsip utama dalam kehidupan sehari- hari orang Jawa, kedua prinsip tersebut merupakan kerangka normatif yang
menentukan bentuk-bentuk kongkret semua interaksi. Dalam kehidupan sehari-hari, kedua prinsip memberikan aturan hidup yang mampu menjaga keselarasan dan
keteraturan bagi diri mereka dan juga orang di sekitar tempat tinggal mereka. Tata krama yaitu aturan tindak tanduk yang layak dalam situasi tertentu.
Interaksi antara dua orang dalam hubungan sosial ditempatkan berdasarkan pernyataan hormat sesuai kedudukan yang dimilikinya. Keluarga Jawa mengenal
jenjang-jenjang turunan dengan perincian kasepuhan orang yang lebih tua dan kanoman orang yang lebih muda berdasarkan urutan silsilah
Seorang Jawa pada masa kecilnya diajarkan beberapa hal agar kedua prinsip tersebut tertanam dalam diri mereka, seperti wedi takut, isin malu, sungkan
segan. Wedi, isin, dan sungkan merupakan suatu kesinambungan perasaan-perasaan yang mempunyai fungsi sosial untuk memberi dukungan psikologis terhadap
tuntutan-tuntutan prinsip hormat. Prinsip kerukunan secara pasti melarang pengambilan posisi yang bisa menimbulkan konflik, sedangkan prinsip hormat
melarang pegambilan posisi-posisi yang tidak sesuai degan sikap-sikap hormat yang dituntut.
Dalam pandangan dunia Jawa realitas tidak dibagi dalam berbagai bidang yang terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sama lain, melainkan bahwa realitas
dilihat sebagai suatu kesatuan menyeluruh Sikap hormat ini, menurut Geertz merupakan unsur yang bagi orang Jawa terdapat dalam berbagai situasi sosial. Yang
lebih rendah dari itu misalnya Krama Inggil, Krama, atau Ngoko yang bisa terdengar sehari-hari dalam pergaulan di masyarakat Jawa. Setiap kali orang etnis Jawa
berbicara dalam bahasanya, mau tidak mau ia merasa seperti dipaksa untuk mengakui
lxxxviii kedudukan orang lain dan menunjukkan sikap hormat. sikap hormat tidak
ditimbulkan oleh kepribadian, melainkan oleh status orang yang bersangkutan. Akan tetapi karena kewajiban untuk memberi hormat itu begitu ditekankan, maka situasi
yang menuntut sikap hormat itu seringkali menimbulkan tekanan emosional. Konsep rukun menjadi dasar utama bagi masayarakat Jawa untuk selalu
menjaga hubungan baik dengan sesama. Ketentraman yang mereka jaga juga tidak terlepas dari rasa penghindaran konflik oleh sesama mereka atau orang lain disekitar
mereka tinggal. Supeno mengungkapkan bahwa orang Jawa pada umumnya masih mengenal ungkapan wong urip mung mampir ngombeI yang artinya orang hidup
hanya singgah untuk minum. dari ungkapan makna tersebut bahwa kehidupan mereka orang Jawa tidak terlepas dari rasa saling mengormati dan juga perbuatan baik,
saling rukun antar sesama orang lain. Dalam pemaknaanya konsep-konsep tersebut diatas masih digunakan dalam
kehidupan sehari-hari mereka. Konsep-konsep yang masih mereka gunakan mereka jadikan pedoman hidup untuk mereka menjalani kehidupan mereka ditengah-tengah
masyarakat umum. Penggunaan kata-kata dan aturan, mereka gunakan dari mulai tatanan terkecil yaitu keluarga, kemudian berlanjutan ke kehidupan masyarakat
disekitar mereka. Dengan tidak mengganggu orang lain dan menjaga diri, berarti mereka juga telah menjalankan apa yang diajarkan oleh para orang tua mereka
tentang hidup saling menghormati dan rukun antar sesama manusia.
D. BUDAYA POLITIK JAWA
Kaidah dasar dalam kehidupan masyarakat jawa seperti prinsip rukun dan hormat tidak hanya tertuang dalam kehidupan sehari- hari masyarakat jawa. Sikap
seperti ini juga tercermin di dalam bidang politik. Sehingga konsep budaya politik jawa, muncul sebagi sebuah identitas pribadi etnis jawa. Yahya Muhaimin dalam
tulisannya “Persoalan Budaya Politik Indonesia” mengutarakan tentang sikap-sikap masyarakat Jawa terkait dengan pelaksanaan politik di Indonesia. Adapun sikap-sikap
itu antara lain:
lxxxix
Konsep “Halus”
Masyarakat Jawa cenderung untuk menghindarkan diri atau cendrung untuk tidak berada pada situasi konflik dengan pihak lain dan bersamaan dengan itu mereka
juga cendrung selalu mudah tersinggung. Ciri-ciri ini berkaitan erat dengan konsep “halus” alus dalam konteks Jawa, yang secara unik bisa diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris dengan kata subtle, smooth, refined, sensitive, polite dan civilized.
Konsep ini telah ditanamkan secara intensif dalam masyarakat Jawa sejak masa kanak-
kanak. Ia bertujuan membentuk pola “tindak-tanduk yang wajar”, yang perwujudannya berupa pengekangan emosi dan pembatasan antusiasme serta ambisi.
Menyakiti dan menyinggung orang lain dipandang sebagai tindakan kasar, rough, crude, vulgar, coarse, insensitive, impolite dan uncivilized ora njawa. Nilai-nilai
semacam ini menyebabkan orang Jawa kelihatan cendrung mempunyai konsepsi tentang “diri” yang dualistis.
Sebagai manifestasi tingkah laku yang halus, kita mengenal dua konsep yang bertautan, yaitu “malu” dan “segan”. Yang pertama berkonotasi dari perasaan
discomfort sampai ke perasaan insulted atau rendah diri karena merasa berbuat salah. Yang kedua, “segan”, mirip dengan yang pertama tapi tanpa perasaan bersalah. Rasa
segan sungkan. Ini merupakan perpaduan antara malu dan rasa hormat kepada “atasan” atau pihak lain yang setara namun belum dikenalnya dengan baik.
Dari tema-tema kultural seperti di atas, kita dapat memahami mengapa orang Jawa mempunyai kesulitan untuk berlaku terus terang. Ini terjadi karena ia ingin
selalu menyeimbangkan penampilan lahiriah dengan suasana batinnya sedemikian rupa sehingga dianggap tidak kasar dan tidak menganggap keterbukaan
keterusterangan sebagai suatu yang terpuji kalau menyinggung pihak lain. Untuk itu seorang lawan bicara counterpart mesti memiliki sensitivitas tertentu karena
ketiadaan sensitivitas akan sering mengakibatkan suatu hasil yang jauh dari yang dimaksudkan.
Menjunjung Tinggi Ketenangan Sikap
xc Sikap ini merupakan refleksi tingkah laku yang halus dan sopan. Pola ini
merupakan pencerminan kehalusan jiwa yang diwujudkan dengan pengendalian diri dan pengekangan diri. Kewibawaan ini bisa tercapai dengan bersikap tenang di muka
umum, yaitu dengan memusatkan kekuatan diri. Ini berarti bahwa pribadi yang berwibawa adalah pribadi yang tenang, tidak banyak tingkah dan karenanya tidak
akan selalu mulai melakukan manufer. Sebagai seorang yang berwibawa, dalam tingkat pertama, ia merasa tidak akan membutuhkan orang lain, sebaliknya orang lain
yang selalu membutuhkannya. Karena itu, ia akan selalu merasa perlu membuat jarak dengan orang lain. Karakteristik inilah yang merupakan pola kultural bahwa tindakan
dan tingkah laku akan mengakibatkan resiko tertentu yang tidak baik bila tindakan tersebut tidak didasarkan pada ketenangan jiwa atau didasarkan pada pamrih,
ketidaktulusan dan penuh emosi. Pola ini mengindikasikan bahwa masyarakat Jawa menganggap orang yang
berwibawa tidak perlu berarti orang yang aktif atau orang yang memecahkan berbagai persoalan rutin sehari-hari atau orang orang yang terlibat dalam pembuatan
keputusan sehari-hari, bukan a man of action. Orang yang berwibawa adalah orang memiliki status tertentu sehingga merupakan objek loyalitas dan kepatuhan pada
orang lain. Bertalian dengan pola ini, maka terdapat suatu kecenderungan pada orang Jawa agar kelihatan lebih penting menghargai simbol daripada subtansi dan
menghargai status daripada fungsi seseorang. Letak status yang sentral ini mendapatkan penjabaran yang cukup unik dalam
kaitannya dengan kekuasaan. Dalam konteks ini, harta merupakan sumber kekuasaan, sebab kekayaan merupakan sumber status, tapi sepanjang kekuasaan itu dirasakan
juga oleh orang lain. Bila orang lain bisa menikmati kekayaan itu, maka kesetiaan dan ketaatan akan timbul secara otomatis dari mereka yang berada di sekelilingnya.
Hal yang demikian berlaku pula pada sumber-sumber status yang lain, misalnya ilmu pengetahuan, jabatan dan sebagainya. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
dalam tradisi ini kekayaan tidak secara otomatis membawa kewibawaan atau kekuasaan, bila kekayaan itu tidak dibagi-bagikan, tidak dinikmati bersama-sama.
Kekayaan seperti akan bersifat destruktif, sebab dilandasi pamrih.
xci
Konsep Kebersamaan
Dalam kebudayaan Jawa, kebersamaan ini secara operasional tidak sekedar diaktualisasikan dalam aspek-aspek yang materialistis, tapi juga dalam aspek-aspek
yang non materialistis atau yang menyangkut dimensi moral. Implikasi dimensi yang sangat luas ini ialah kaburnya hak dan kewajiban serta tanggung jawab seseorang.
Jika seseorang mempunyai hak atas sesuatu, maka dalam kerangka ini, orang lain akan cendrung berusaha menikmati hak tersebut. Pihak yang secara intrinsik
mempunyai hak juga cendrung membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Karena itu, kalau seseorang memiliki kewajiban atau tanggung jawab, maka orang tersebut
cenderung ingin membagi kewajiban itu pada orang lain. Dengan demikian, tatkala suatu pihak dituntut untuk mempertanggung jawabkan kewajibannya, maka secara
tidak begitu sadar ia seringkali bersikap agar pihak lain juga bersama-sama memikul tanggung jawab itu. Bahkan seluruh anggota masyarakat diinginkan agar sama-sama
mengemban tanggung jawab. Implikasi selanjutnya ialah adanya kecenderungan bahwa ketika diperingatkan dikritik agar bertanggung jawab, ia cenderung
mengabaikan peringatan kritik tersebut sebab orang lain atau anggota masyarakat selain dia dirasakannya tidak dimintai pertanggung jawaban, padahal mereka telah
ikut menikmati haknya tadi. Sedemikian jauh sifat pengabaian itu sehingga sering sampai pada titik “tidak ambil pusing”. Pada titik inilah masyarakat Jawa kelihatan
kontradiktif, yakni pada satu segi, selalu berusaha bersikap dan berlaku halus serta
bertindak tidak terus terang, tetapi pada segi lain sering bersikap “tidak ambil pusing”
tebal muka terhadap kritik yang langsung sekalipun serta bersikap “menolak” secara terus terang.
Dari kualitas kultural yang tergambar secara singkat di atas, kita dapat menyimpulkan bahwa sesungguhnya hubungan-hubungan sosial merupakan basis dan
sumber hubungan politik. Dalam hubungan sosial politik masyarakat Jawa bersifat sangat personal. Di samping itu, terdapat suatu kecenderungan yang amat kuat bahwa
dalam masyarakat terdapat watak ketergantungan yang kuat pada atasan serta ketaatan yang berlebihan pada kekuasaan, sebab status yang dipandang sebagai
xcii kewibawaan politik dijunjung begitu tinggi. Semua kecenderungan sosio kultural ini
memperkental sistem patron klien yang sangat canggih dalam masyarakat. Dengan sistem seperti ini, keputusan-keputusan dalam setiap aspek diambil untuk menjaga
harmoni dalam masyarakat yang dipimpin para “orang bijak” tersebut, yang menurut banyak orang, disebabkan oleh warisan kultural masyarakat pemerintahan tradisional
yang bersifat sentralistik
49
1. PANDANGAN