Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin dan Asetanilida

digunakan ialah asetanilida. Asetanilida dipilih sebagai standar internal karena dapat terpisah sempurna dengan peak analit, tidak terdapat di sampel rokok, dan memiliki kemiripan struktur kimiawi dengan analit sehingga diharapkan dapat menyerupai perilaku analit di setiap tahap preparasi sampel. Seri konsentrasi baku nikotin yang dibuat yaitu 20, 40, 60, 80, dan 100 µgmL dengan penambahan asetanilida sebesar 10 µgmL.

C. Penentuan Panjang Gelombang Pengamatan Nikotin dan Asetanilida

Penentuan panjang gelombang nikotin dan asetanilida dilakukan untuk memperoleh panjang gelombang pengamatan yang memberikan serapan maksimum λmaksimum. Panjang gelombang nikotin ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV, secara teoritis nikotin memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 260 nm. Nikotin dapat memberikan serapan pada daerah sinar ultraviolet karena memiliki kromofor pada bagian cincin piridinnya. Pen gukuran λmaksimum nikotin menggunakan tiga seri konsentrasi nikotin, yaitu 20, 30, dan 40 µgmL dengan scanning panjang gelombang dari 200-300 nm. Gambar 10. Kromofor pada nikotin dan asetanilida Kromofor Nikotin Kromofor Asetanilida Gambar 11. Spektra λmaksimum nikotin pada tiga tingkat konsentrasi, 20, 30, dan 40 µgmL. Keterangan : A = konsentrasi 20 µgmL, absorbansi 0,291, λmaksimum 260,5; B = konsentrasi 30 µgmL, absorbansi 0,53791, λmaksimum 260,5; C = konsentrasi 40 µgmL, absorbansi 0,655, λmaksimum 260 Pada gambar di atas menunjukkan bentuk spektra nikotin. Bentuk spektra nikotin ini dapat digunakan sebagai analisis kualitatif, karena setiap senyawa memiliki bentuk spektra yang berbeda-beda. Hasil scanning panjang gelombang nikotin menunjukkan bahwa nikotin memiliki λmaksimum yang berbeda untuk tiap konsentrasi. Pada konsentrasi 20 dan 30 µgmL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 260,5 nm. Sedangkan pada konsentrasi 40 µgmL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 260 nm. Hasil pengukuran yang didapatkan ini masih memenuhi persyaratan toleransi pengukuran λmaksimum. Menurut Departemen Kesehatan Republik Indonesia 1995, toleransi pengukuran λmaksimum untuk suatu senyawa ialah 2 nm dari panjang gelombang yang ditentukan. A B C Panjang gelombang asetanilida juga ditentukan dengan menggunakan spektrofotometer UV, secara teoritis asetanilida memiliki serapan maksimum pada panjang gelombang 239 nm. Asetanilida memiliki kromofor pada cincin benzenanya sehingga dapat memberikan serapan pada daerah sinar ultraviolet. Pengukuran λmaksimum asetanilida menggunakan tiga seri konsentrasi asetanilida, yaitu 1, 5, dan 10 µgmL dengan scanning panjang gelombang dari 200-300 nm. Gambar 12. Spektra λmaksimum asetanilida pada tiga tingkat konsentrasi, 1, 5, dan 10 µgmL. Keterangan : A = konsentrasi 1 µgmL, absorbansi 0,239 , λmaksimum 240; B = konsentrasi 5 µgmL, absorbansi 0,361 , λmaksimum 240,5; C = konsentrasi 10 µgmL, absorbansi 0,776 , λmaksimum 240,5 Gambar 12 di atas menunjukkan bentuk spektra asetanilida. Hasil scanning panjang gelombang asetanilida menunjukkan bahwa asetanilida memiliki λmaksimum yang berbeda untuk tiap konsentrasi. Pada konsentrasi 1 µgmL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 240 nm. Sedangkan pada konsentrasi 5 dan 10 µgmL, λmaksimum dari hasil pengukuran ialah 240,5 nm. Hasil A B C pengukuran yang didapatkan ini masih memenuhi persyaratan toleransi pengukuran λmaksimum. Penentuan panjang gelombang pengamatan berdasarkan analisis hasil pengukuran λmaksimum nikotin dan asetanilida. Panjang gelombang pengamatan yang dipilih ialah 260 nm. Pemilihan ini berdasarkan λmaksimum dari nikotin. Menurut Gandjar dan Rohman 2010, pada λmaksimum, kepekaan yang didapatkan juga maksimum karena perubahan absorbansi untuk setiap satuan konsentrasi adalah yang paling besar. Pada penelitian ini, nikotin merupakan analit yang diukur di dalam sampel sehingga konsentrasinya dapat berubah-ubah, oleh karena itu untuk meningkatkan kepekaan pengukuran nikotin digunakan λmaksimum nikotin, yaitu 260 nm. Sedangkan asetanilida pada penelitian ini digunakan sebagai standar internal, konsentrasi asetanilida diketahui dan tidak berubah-ubah sehingga tidak masalah apabila tidak digunakan λmaksimum asetanilida.

D. Proses Ekstraksi Sampel

Dokumen yang terkait

Pengembangan Metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Pada Penetapan Kadar Simvastatin Tablet Menggunakan Fase Gerak Asetonitril : Air

6 110 114

Penetapan Kadar Simvastatin Dalam Sediaan Tablet Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi Dengan Fase Gerak Metanol–Air

23 164 114

Penetapan Kadar Amoxicilin Dalam Tablet Secara Kromatografi Cair Kinerja Tinggi

27 162 26

Validasi metode kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau pada rokok ``Merek X``.

0 3 131

Optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok `merek X` menggunakan standar internal asetanilida.

0 2 135

Validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau rokok ``Merek X`` dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan standar internal asetanilida.

4 21 116

Optimasi komposisi dan kecepatan alir fase gerak sistem Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) fase terbalik pada penetapan kadar nikotin dalam rokok `merek X` menggunakan standar internal asetanilida

0 17 133

Persetujuan Pembimbing VALIDASI METODE KROMATOGRAFI CAIR KINERJA TINGGI (KCKT) FASE TERBALIK PADA PENETAPAN KADAR NIKOTIN DALAM EKSTRAK ETANOLIK DAUN TEMBAKAU

0 1 116

Optimasi metode Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) pada penetapan kadar nikotin dalam ekstrak etanolik daun tembakau - USD Repository

0 2 116

Validasi metode dan penetapan kadar nikotin dalam ekstrak tembakau rokok ``Merek X`` dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi (KCKT) menggunakan standar internal asetanilida - USD Repository

0 0 114