Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua Konotatif

26

2. Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua Konotatif

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, Fiske dalam Sobur, 2009;128 mengatakan bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya. Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap petanda atau Signified baru sehingga melahirkan makna konotasi second order signification. Penanda dalam pemaknaan konotasi terbentuk melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda baru atau tambahan sehingga tanda denotasi akan sangat menentukan signifikasi selanjutnya. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainnya. Jika denotasi sebuah kata adalah objketif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya. Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression E yang berkaitan relation R dengan content C. Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama E1 R1 C1 dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 =E1 R1 C1 R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut: perpustakaan.uns.ac.id commit to user 27 Gambar 4. Konsep Konotasi dan Denotasi Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna “warna seperti warna darah” secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar. Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui: majas metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, dsb, presuposisi, implikatur. Secara umum bukan bahasa, konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasartidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung. Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep sintagmatik, dan paradigmatik adalah sistem berbusana. Ia mengana- logikan dikotomi dari Saussure: langue - parole dengan tata busana unsur-unsur mode dan aturannya aktualisasi individual. Tata busana menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim, ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya commit to user 28 sebagai denotasi, misalnya, warna gelap hitam, abu-abu, biru, hijau tua dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim semi; model terbuka untuk musim panas. Di samping hal tersebut, majalah mode, pada umumnya, menambahkan keterangan tentang waktu, tempat pakaian dengan model tertentu bisa dikenakan, tentang gaya pero- rangan, tentang efek sosial yang ditimbulkan. Ini semua termasuk ke dalam sistem konotasi mode. Arthur Asa Berger dalam Sobur, 2009;263 mengemukakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum denotatif karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil. Keraf dalam Sobur, 2009;266 mengungkapkan bahwa konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar. Konotasi sebagai makna kedua dari tanda dapat juga ditampilkan melalui teknik-teknik visual. Dalam video maupun gambar terkandung level produksi yang berbeda Framing, layout, technical treatment, choice. Untuk memunculkan sebuah makna konotasi, Barthes 2010;6 menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas, tiga tahap pertama trick effect, pose dan object harus dibedakan dengan tiga tahap terakhir photogenia, aesthetisicm, dan sintax. Tahap-tahap ini sudah sering didengar dan tidak dijelaskan dengan detail, tetapi hanya diposisikan secara struktural. commit to user 29 a. Trick effect efek tiruan Trick effect memanfaatkan kredibilitas yang dimiliki oleh foto. Trick effect merupakan syarat konotasi yang melihat melalui teknik- teknik visual yang terdapat dalam shot. Seperti dapat dilihat merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, tetapi sarat dengan dengan muatan konotatif. Metode ini memanipulasi kontek komunikasi, salah satunya dengan menambah atau meniadakan beberapa hal atau mengubah latar warna. Trick effects bisa mengubah hal penting dalam suatu scene atau mungkin hanya berperan minor seperti mengganti pencahayaan atau kontras warna. b. Pose sikap Ketika berbicara tentang pose, otomatis langsung teringat kepada objek tubuh. Pose merupakan komunikasi nonverbal yang dilihat melalui bahasa tubuhnya. Metodenya misalnya dilakukan dengan cara menampilkan gambar setengah tubuh, tatapan mata ke atas, kedua tangan menyatu. Gerakan-gerakan diatas jika ditampilkan akan terlihat sosok seseorang yang seolah-olah sedang berdoa. c. Object objek Pengaturan sikap atau posisi objek mesti sungguh-sungguh diperhatikan karena makna akan diserap dari objek yang diambil. Daya tarik akan semakin besar apabila objek yang digunakan bisa merujuk pada jejaring ide tertentu rak buku merujuk pada intelektualitas atau kalau mau lebih rumit lagi, simbol-simbol berkesan dalam masyarakat pintu kamar gas yang menjadi tempat eksekusi mati seorang tahanan merujuk pada pintu gerbang pemakaman dalam mitologi kuno. Objek-objek ini bisa menjadi elemen luar biasa bagi proses pertandaan. Contoh lainnya adalah “komposisi” objek-objek yang terdiri dari jendela yang terbuka kearah kebun anggur dan atap terbuat dari genteng; di depan jendela tersebut terdapat kaca mata tua, album foto, commit to user 30 dan pot bunga yang diletakkan di atas meja. Komposisi ini merujuk pada lokasi sekitar kira-kira sebelah selatan Loire yang khas dengan kebun anggur dan atap genteng, di rumah seorang kalangan borjuis bunga-bunga diatas meja dan berusia lanjut kacamata tua yang sedang mengenang tahun-tahun hidupnya album foto. Konotasi “menyeruak” keluar dari semua unit pertandaan, namun seolah scene dalam gambar tersebut direkam secara langsung dan spontan atau tanpa proses pertandaan. d. Photogenia fotogenia Teori tentang photogenia merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi foto dan video seperti pada pencahayaan dan pencetakan hasil Barthes, 2010;10. Dalam photogenia, pesan konotatif adalah gambar itu sendiri yang “diperhalus” dengan teknik-teknik pencahyaan dan pengurangan bias cahaya. Melalui “permainan” pencahayaan sebuah adegan bisa ditampilkan secara lebih dramatis atau romantis. e. Aesthetisicm estetis Aestheticism erat kaitannya dengan “seni”. Aestheticism berhubungan dengan keindahan. Dalam suatu adegan scene bisa ditemukan gambaran yang sudah diatur sedemikian rupa hingga tampak seperti lukisan. Ide-ide yang terkandung dalam aestheticism mirip dengan seni lukis. Aestheticism melihat pada makna keseluruhan makna gambar layaknya lukisan. Jika gambar biasa hanya menampilkan sosok, benda, dan menawarkan fakta saja tetapi aestheticism melihat secara keseluruhan. Gambar pedesaan di sore hari ketika matahari terbenam misalnya bisa diartikan sebagai ketenangan atau kedamaian. f. Sintax sintaksis Sintax adalah gabungan yang membentuk makna. Jika kelima syarat di atas hanya melihat adegan per-adegan maka sintax melibatkan beberapa scene untuk melihat makna konotasi yang terkandung di dalamnya. Makna konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan commit to user 31 memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Kata “mitos” berasal dari bahasa Yunani myhtos yang berarti “kata”, “ujaran”, “kisah tentang dewa-dewa”. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal benda-benda atau di sekitar makna benda-benda, dan settingnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisah-kisah untuk menjelaskan asal- usul mereka Danesi, 2010;207. Menurut Urban dalam Sobur, 2009;222, mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut Molinowski dalam Sobur, 2009;222 mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih relevan. Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Hoed ibid.59 menguraikan perjalanan konotasi menjadi mitos dari Barthes. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal lisan dan tulis atau nonverbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification ” materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue. Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran dé montage sémiologique. Ciri-ciri mitos Barthes, 1957;122-130 : perpustakaan.uns.ac.id commit to user 32 a. Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form signifier, concept signified. Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation Tallack, 1995;36. Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan; mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear pada bahasa atau multidimensi pada gambar. Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form. b. Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang arus menemukan mitos tersebut. Contoh: Ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque. c. Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan : baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Berikut ini beberapa contoh mitosnya. Hal minuman anggur di Prancis: denotasi dari anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya perpustakaan.uns.ac.id commit to user 33 lebih dalam. Orang sangat menikmati anggur yang diminumnya bukan sekadar untuk bermabuk-mabukan. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh adanya pelabelan tahun bagi minuman tersebut. Anggur dengan merek tertentu dengan usiayang semakin tua semakin mahal harganya. Dalam menu makan, anggur mengambil bagian sintagmatik, yaitu anggur putih menyertai makanan dengan ikan, anggur merah dengan daging, dsb. Dengan demikian, konotasi anggur, yaitu kenikmatan, tertanam di dalam praktik kehidupan sehari-hari, memegang peranan dalam menu dan pada akhirnya menjadi mitos. Pada bukunya yang berjudul Mythologies, Barthes mengupas 28 teks dari berbagai bidang dalam konteks kehidupan sehari-hari: pertunjukan, novel, buku petunjuk, iklan, keadaan, makanan, boneka, foto, mobil, bahan baku plastik, film, dan otak manusia Einstein. Setelah melalui beberapa proses pencerapan guna membahas secara keseluruhan video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia ” ini, bahwa teori Barthes lebih sesuai karena dapat menyatukan makna unsur-unsurnya. walaupun teori Peirce juga dapat diterapkan pada tanda yang berupa gambar. Analisis video iklan diawali dengan pemahaman tanda verbal yang berupa kalimat-kalimat yang menyertai gambar visual Bagi Saussure, Peirce dan Barthes, tanda dapat dimaknai secara terbuka, tetapi dibatasi oleh konteks, baik teks itu sendiri maupun konteks sosial budaya, serta pengetahuanpengalaman pembaca. Tanda tidak memiliki makna yang stabil. Teori Saussure, Peirce dan Barthes memperlihatkan persamaan dan perbedaan dalam hal perincian pemaknaan. Saussure memaknai tanda terdiri dari signifier dan signified, Barthes dengan jelas membelah makna menjadi denotasi dan konotasi. Tidak demikian halnya dengan Peirce. Ia mengatasnamakan keduanya sebagai konsep interpretant. Baginya, yang penting adalah proses semiosis. Oleh karena itu, dalam analisis, objek amatan memegang peranan dalam menentukan alat yang lebih sesuai: objek berstruktur dan ada perubahan makna signifier dan signified, denotasi ke konotasi atau perpustakaan.uns.ac.id commit to user 34 merupakan ikon, indeks, simbol. Konsep ketiga tokoh bertemu pada titik interpretasi. signified saussure adalah Interpretant dari Peirce, sedangkan Interpretant sama dengan konsep konotasi dari Barthes. Ketiga teori dapat bergabung dalam suatu analisis dan saling melengkapi, terutama dalam analisis yang terdiri atas gambarnonverbal ikon dan simbol dan unsur verbal. Persamaan lain, yaitu makna bersifat dinamis, berubah sesuai waktu, tempat, dan penafsir.

2. Semiotika Film