thesis Gravinda S011302006

(1)

MAKNA PESAN PADA VIDEO IKLAN POLITIK Versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK Untuk Keluarga Indonesia”

TESIS

Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Seni Rupa

Oleh :

Gravinda Putra Perdana

S011302006

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015


(2)

MAKNA PESAIY PAI}A YIDEO IKLAN POLITIK Yersi '6Pes&n Rem*dhan Jokowi-IK Untuk Kelu*rga Indoncsia,

TESIS

Oleh:

Gravind* Putr* Perdana s0u302006

Komisi Pembimbing

Pembimbing

I

Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. NrP. 19650220 199003 I 001

Tanda Tangan Tanggal

3 Feb 2015

Feb 2015 Nama

Pembimbing

II

Drs NIP

Ahmad Adib, M.Hum., Ph.D. t962W98199203 1 001

Telah dinyatakan memenuhi syarat pada taaggalO3 Februari 2015

' ',Kgqua

Proglam Studi Magister Seni Rupa :., 'B,4ggfam P*seasmiana UNS

Dr. NanangRizali, MSD. 19509709 198003 1 003


(3)

Jabatan

Ketua

MAKNA PESAI\I PADA YIDEO IKLAI\I POLITIK Versi 66Pe**p R*m*dh*n Jolc€wiJK Untuk Kelu*rg* Indonesi*tt

TESIS Olch:

Gravinda Putra Perdana sol139t006

TIM PENGUJI Na*ra

Prof. Dr. NanangRizali, MSD. NIP, 1950S709 198003 1 0+3

Tanda Tengan Tanggal

Sekretaris : Dr. Titis Srimuda Pitanq S.T., M.Tro)

MP. 19680609199402 1 001 fcb 2015

Anggota

Penguii Dr. Noorya*rB*#L M.Sn-MP. 19650220 1,99A06

t

00t

\

Feb 2015

Drs. Airmad Adib, M.Hum., Ph.D.

NrP 19620708 199203 1 001 Feb 2015

Telah dipertahankan di depan Penguji. Telah dinyatakan memenuhi syarat

pada tanggal ... Februari 2015.

Ketua

Program Studi Magister Seni Rupa

t

t/tfuwn

f

Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD. NIP. 1950S709 198003 1 0S3

lH

{fu-%

o/Rexru$of. .IrAhmad

Yunus, MS 19610717 198601 I 001


(4)

PERI\TYATAAI\ KEASLIAN DAI{ PERSYARATAI\ PI}BLIKASI

Saya menyatakan dengan sebenamya bahwa :

1. Tesis yeng berjudul

:

MAKNA PESAN PADA VIDEO IKTAN POLITIK

Versi

o'Pesan Ramadhan Jokowi-JK

Untuk

Keluarga Indonesia''

id

adalah kary* penelitian saya se,ndiri dan beb*s plagia!

serta tidak adakarya ilmiah yang pemah diajukan oleh orang lain untuk memperoleh gelar akademik serta tidak terdapat k*rya at*u pendapat yang pernah ditulis atau di terbitkan orang lain kecuali secara tertulis digunakan se,bagai ac;uerl dal*nr nask*r fu* darr disebu&an dal*m sumber acuan serta daftar pustaka. Apabila di kemudian hari terdapat terbukti terdap*t pl*gi*t dalam karya ilmiah ini, maka sya bersedia mcncrima sanksi sesuai ketentuan perundang-undangan (Permendiknas no17, tahun ?(}10'}

2. Publikasi sebagian atau keseluruhan isi Tesis pada jurnal atau forum ikniah 'lain hanrs seijin dan menyertakan tim pemlrimbing sebagai author dan PPs-UNS sebagai institusinya. Apabila dalam waktu sekmang-km*ngnya satu se{rcster (enam bula* sej*k pengesalrsn Te.si+ saya tidak melakukan publikasi dari sebagian atau keseluruhan Tesis ini, maka Prodi Seni Rup* UNS berhak mempublikasikamya pada jurn+l ilmiah yang diterbitkan oleh prodi Seni Rupa. Apabila saya melakukan

dari

kertnan

publikmi ffi1, maka s&ya basedia

mendapatkan sanksi akademik yang berlaku.

Surakarta, 17 Februari 2015

tv

-

^,5rv-Gravinda Putra Perdana

ssl1302006


(5)

v

ABSTRAK

Perdana, Gravinda P. S011302006. 2015: MAKNA PESAN

PADA VIDEO IKLAN POLITIK Versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK

Untuk Keluarga Indonesia”. Tesis Program Studi Magister Seni Rupa Universitas Sebelas Maret Surakarta. Pembimbing I Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. dan Pembimbing II Drs. Ahmad Adib, M.Hum, Ph.D.

Tujuan pokok video iklan politik adalah mempersuasi khalayak untuk memperhatikan pesan yang sampaikan. Pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna yang berbeda yaitu makna yang dikemukakan secara denotasi di permukaan dan makna yang dikemukakan secara konotasi dibalik tampilan iklan. Video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK Untuk Keluarga Indonesia” senantiasa melibatkan tanda dan kode. Tanda pada setiap bagian iklan secara mendasar berarti sesuatu yang memproduksi makna.

Teknik analisis data dilakukan berdasarkan teori yang

dikemukakan oleh Roland Barthes yaitu “The Second Order

Signification”. Mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kajian dapat dilakukan melalui sistem tanda dalam video iklan. Video iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas teks verbal maupun visual pendekatan semiotika digunakan sebagai sebuah metodologi untuk mengupas dan mengurai unsur pemaknaan tanda yang terkandung dalam iklan dan menafsirkannya.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa ada sebuah usaha penciptaan citra Jokowi-JK, penonton dapat menyaksikan bagaimana Jokowi mencoba mendekatkan diri pada rakyat. Dalam pesannya Jokowi berpesan bahwa keluarga memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah kehidupan. Masyarakat juga akan melihat kehidupan Jokowi sebagai kepala keluarga, suami, bapak, manusia biasa dan kemesraan hubungan mereka sekeluarga yang disuguhkan dalam suasana ramadhan.

Kata kunci: iklan, video, politik, verbal, nonverbal, semiotika, pesan, makna.


(6)

vi

ABSTRACT

Perdana Gravinda P. S011302006. 2015: THE MEANING OF POLITICAL ADVERTISING MESSAGE ON VIDEO Version "Ramadhan Message Jokowi-JK For Indonesian Family". Thesis : Advisor Dr. Nooryan Bahari, M.Sn. and Co-Advisor Drs. Ahmad Adib, M. Hum., Ph.D. The Graduate Program in Fine Art, Sebelas Maret University, Surakarta.

The main purpose of political advertising video is to persuade the audience to convey the message. Messages in advertising has two different levels of meaning is the meaning set forth in denotation on the surface and the meaning set forth in the connotation behind the display advertising. Political advertising video version of "Message of Ramadhan Jokowi-JK For Indonesian Family" always involves signs and codes. Sign on every part ad basically means something that produce meaning.

The data analysis technique based on the theory proposed by Roland Barthes called "The Second Order signification". Assessing ads in semiotic perspective, the study can be done through a system of signs in the video ad. Video ads using the sign system consisting of verbal and visual text semiotics approach is used as a methodology to peel and break down the elements of meaning contained in the advertisement signs and interpret them.

The results of this study indicate that there is an image of business creation Jokowi-JK, the audience can see how Jokowi trying to get closer to the people. In his message Jokowi advised that the family has a very important role in a life. Communities will also see Jokowi life as head of the family, husband, father, ordinary people and affection of their family relationships are presented in an atmosphere of Ramadan.

Keywords: advertising, video, politics, verbal, nonverbal, semiotics, message, meaning.


(7)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan segala kemudahan dan kelancaran dalam penyusunan Tesis ini. Penghargaan dan terimakasih penulis kepada Dr. Nooryan Bahari, M.Sn., Selaku pembimbing akademik yang selalu memberikan kemudahan dan dorongan untuk menyelesaikan tanggung jawab akademis di Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Rasa terimakasih juga penulis sampaikan kepada juga kepada Drs. Ahmad Adib, M.Hum. Ph.D, yang telah memberikan koreksi serta saran-saran untuk penelitian ini.

Penghargaan dan rasa terimakasih penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir Ahmad Yunus, MS. selaku Direktur Pascasarjana UNS yang telah memberi kesempatan kepada penulis untuk mengenyam, dan meneruskan jenjang pendidikan pada program pascasarjana Universitas Sebelas Maret. Penghargaan dan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Nanang Rizali, MSD., selaku Ketua Program Studi Seni Rupa Pascasarjana UNS Rasa terimakasih yang dalam juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Program Studi Seni Rupa Pascasarjana UNS Indonesia Surakarta yang telah memberikan ilmu, wawasan, dan referensi yang bermanfaat.

Kepada teman-teman Program Studi Seni Rupa Pascasarjana UNS dari berbagai daerah dan latarbelakang, terimakasih telah dan selalu bersedia menjadi teman yang saling mendukung, berbagi ilmu, berbagi wawasan, pengalaman, serta berimajinasi bersama. Rasa terimakasih tidak lupa diberikan kepada sahabat, para praktisi dan pengajar audio visual Program Studi Televisi dan Film ISI Surakarta yang telah bersedia berdiskusi, berbagi perasaan dan pemikiran kritisnya.

Kebahagiaan dan rasa syukur mendalam yang tak terbatas, penulis sampaikan kepada keluarga; Mama dan Papa yang telah memberikan segalanya sebagai bekal untuk menyelesaikan tanggung jawab yang menjadi


(8)

viii

awal untuk menjalani jenjang berikutnya. kepada istri tercinta terimakasih telah setia menemani di kala senang dan duka.

Akhir kata, retaknya sebuah keramik Dinasti Ming bukan menjadi cacat suatu peradaban, melainkan membuka celah pengetahuan tersembunyi dan bermanfaat bagi generasi berikutnya. kekurangan Tesis ini bukan untuk dibiarkan tetapi di harapkan menggugah kritik usulan dan saran yang semakin membuka pengetahuan bagi penulis dan pembaca sekalian. Terima Kasih.

Surakarta, Februari 2015

Gravinda Putra Perdana


(9)

ix DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL i

HALAMAN PERSETUJUAN ii

HALAMAN PENGESAHAN iii PERNYATAAN iv

ABSTRAK v

ABSTRACT vi KATA PENGANTAR vii

DAFTAR ISI ix

DAFTAR GAMBAR xi

DAFTAR TABEL xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah 1

B. Pembatasan Masalah 8

C. Perumusan Masalah 9

D. Tujuan Penelitian 9

E. Manfaat penelitian 9

BAB II LANDASAN TEORI

A. Tinjauan Pustaka 11

1. Semiotika 11

a. Ferdinand de Saussure 15

b. Charles Sander Pierce 19

c. Roland Barthes 23

1) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama

(Denotatif) 24

2) Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama

(Denotatif) 26

2. Semiotika Film 34

a. Film 37

b. Genre Film 40

c. Struktur Film 45


(10)

x

d. Unsur-unsur pembentuk Film 46

1). Unsur Naratif 46

2). Unsur Sinematik 46

3. Semiotika Komunikasi Visual 55

4. Unsur Semiotika Komunikasi Visual 58

a. Tanda 58

b. Kode 59

c. Makna 59

5. Iklan 63

a. Elemen-Elemen Iklan Televisi 66

b. Iklan Politik 67

6. Komunikasi 69

a. Pesan 70

b. Verbal 71

c. Nonverbal 71

B. Penelitian yang Relevan 74

C.Kerangka Berpikir 81

BAB III METODE PENELITIAN

A.Paradigma Penelitian 82

B.Teknik Pengumpulan Data 82

C.Teknik Keabsahan Data 90

D.Teknik Analisis Data 90

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian 92

1. Profil Joko Widodo 92

2. Jokowi Dalam Video Iklan Politik 93

3. Identifikasi Tanda 94

a. Tanda Verbal 96

b. Tanda Visual 97

B. Pembahasan Analisis Semiotika Roland Barthes 98

1. Adegan satu (scene 1) 98


(11)

xi

3. Adegan tiga (scene 3) 108

4. Adegan empat (scene 4) 113

5. Adegan lima (scene 5) 118

6. Adegan enam (scene 6) 130

7. Adegan tujuh (scene 7) 136

8. Adegan delapan (scene 8) 143

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan 154

B. Saran 156

DAFTAR PUSTAKA 157


(12)

xii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Peta tanda Saussure 16

Gambar 2. Tipologi Pierce 20

Gambar 3. Peta Tanda Roland Barthes 24

Gambar 4. Konsep Konotasi dan Denotasi 27

Gambar 5. Teknik Pengambilan Jarak Gambar 49

Gambar 6. Skema Kerangka Berpikir 81


(13)

xiii

DAFTAR TABEL

Tabel 1. Tipologi Pierce 20 Tabel 2. Sudut pandang (angle) Pengambilan Gambar 51

Tabel 3. Ukuran Gambar (type of shot) 51

Tabel 4. Fokus Pengambilan Gambar (focussing) 52 Tabel 5. Pergerakan Kamera (camera moving) 52 Tabel 6. Pencahayaan (lighting) Pengambilan Gambar 53 Tabel 7. Tipe Lensa (focal lenght) Pengambilan Gambar 53 Tabel 8. Pewarnaan (color temp) Pengambilan Gambar 53 Tabel 9. Penelitian Terdahulu (Rizky Rachdian S, 2012) 74 Tabel 10. Penelitian Terdahulu (Elara Karla N, 2014) 75 Tabel 11. Penelitian Terdahulu (Fajar Aji, 2014) 76 Tabel 12. Penelitian Terdahulu (Nidya Fitri, 2011) 77 Tabel 13. Penelitian Terdahulu (I Wayan Mulyawan, 2008) 78 Tabel 14. Penelitian Terdahulu (Deddi Duto Hartanto, 1999) 79 Tabel 15. Penelitian Terdahulu (Muslikh Madiyant, 2003) 80 Tabel 16. Tema Video Iklan Politik “ Jokowi For President ” 83 Tabel 17. Video Iklan Politik “ Jokowi Adalah Kita ” 84 Tabel 18. Unit Identifikasi Unsur Naratif 96

Tabel 19. Unit Identifikasi Unsur Visual 97

Tabel 20. Unit Analisis Scene 1, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 98

Tabel 21. Unit Analisis Scene 1, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 99

Tabel 22. Unit Analisis Scene 1, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 99

Tabel 23. Unit Analisis Scene 1, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 100

Tabel 24. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 1 (Pantai) 100


(14)

xiv

Tabel 25. Unit Analisis Scene 2, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 104

Tabel 26. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 2 (Pasar tradisional) 104

Tabel 27. Unit Analisis Scene 3, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 108

Tabel 28. Unit Analisis Scene 3, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 109

Tabel 29. Unit Analisis Scene 3, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 109

Tabel 30. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 3 (Masjid) 110

Tabel 31. Unit Analisis Scene 4, Shot 1 Unsur Sinematik

(sinematografi) 113

Tabel 32. Unit Analisis Scene 4, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 113

Tabel 33. Unit Analisis Scene 4, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 114

Tabel 34. Unit Analisis Scene 4, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 114

Tabel 35. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 3 (Sahur bersama keluarga) 115

Tabel 36. Unit Analisis Scene 5, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 118

Tabel 37. Unit Analisis Scene 5, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 118

Tabel 38 Unit Analisis Scene 5, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 119

Tabel 39. Unit Analisis Scene 5, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 119

Tabel 40. Unit Analisis Scene 5, Shot 5 : Unsur Sinematik


(15)

xv

Tabel 41. Unit Analisis Scene 5, Shot 6 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 120

Tabel 42. Unit Analisis Scene 5, Shot 7 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 121

Tabel 43. Unit Analisis Scene 5, Shot 8 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 121

Tabel 44. Unit Analisis Scene 5, Shot 9 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 122

Tabel 45. Unit Analisis Scene 5, Shot 10 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 122

Tabel 46. Unit Analisis Scene 5, Shot 11 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 123

Tabel 47. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes Scene 5

(Rutinitas pagi di sebuah pedesaan) 123 Tabel 48. Unit Analisis Scene 6, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 130

Tabel 49. Unit Analisis Scene 6, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 130

Tabel 50. Unit Analisis Scene 6, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 131

Tabel 51. Unit Analisis Scene 6, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 131

Tabel 52. Unit Analisis Scene 6, Shot 5 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 132

Tabel 53. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 6 (Kota) 132

Tabel 54. Unit Analisis Scene 7, Shot 1 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 136

Tabel 55. Unit Analisis Scene 7, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 136

Tabel 56. Unit Analisis Scene 7, Shot 3 : Unsur Sinematik


(16)

xvi

Tabel 57. Unit Analisis Scene 7, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 137

Tabel 58. Unit Analisis Scene 7, Shot 5 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 138

Tabel 59. Unit Analisis Scene 7, Shot 6 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 138

Tabel 60. Unit Analisis Scene 7, Shot 7 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 139

Tabel 61. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes

Scene 7 (Aktifitas sore hari) 139

Tabel 62. Unit Analisis Scene 8, Shot 1: Unsur Sinematik

(sinematografi) 143

Tabel 63. Unit Analisis Scene 8, Shot 2 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 143

Tabel 64. Unit Analisis Scene 8, Shot 3 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 144

Tabel 65. Unit Analisis Scene 8, Shot 4 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 144

Tabel 66. Unit Analisis Scene 8, Shot 5 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 145

Tabel 67. Unit Analisis Scene 8, Shot 6 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 145

Tabel 68. Unit Analisis Scene 8, Shot 7 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 146

Tabel 69. Unit Analisis Scene 8, Shot 8 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 146

Tabel 70. Unit Analisis Scene 8, Shot 9 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 147

Tabel 71. Unit Analisis Scene 8, Shot 10 : Unsur Sinematik

(sinematografi) 147

Tabel 61. Unit Analisis Semiotika Roland Barthes


(17)

1 BAB I PENDAHULUAN

A.Latar Belakang Masalah

Bangsa Indonesia kini memiliki Joko Widodo (Jokowi) sebagai presiden baru. Tepat tanggal 20 Oktober 2014 Joko Widodo dan Jusuf Kalla dilantik sebagai presiden dan wakil presiden periode 2014-2019. Meskipun masih menyisakan problem politik yang terkait dengan penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2014. Namun secara faktual, rangkaian pelaksanaan pemilihan presiden tahun 2014 telah menghasilkan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla yang didukung oleh kabinet kerja sebagai pemegang tampuk kekuasaan sampai dengan tahun 2019.

Figur Joko Widodo dinilai menjadi daya tarik tersendiri dalam realitas politik Indonesia dewasa ini, Jokowi bertingkah laku dengan sederhana sebagaimana yang ada di pikiran rakyat kebanyakan. Dalam sejarah akhir-akhir ini, jarang ditemui tokoh sederhana semacam itu. kemudian dengan kemunculan Jokowi mengenakan pakaian rakyat keba-nyakan, bukan memakai safari seperti kebiasaan pejabat ketika menyambangi rakyatnya (detiknews, 2014). Gaya kepemimpinannya yang melawan mainstream menjadi daya magnet luar biasa yang kemudian melambungkan nama Jokowi yang memperkenalkan cara blusukan sebagai konsep pemimpin yang dekat dengan rakyat. Semua adegan dalam kehidupannya telah menjadi konsumsi khalayak, bahkan ketika dirinya sedang tidak bertugas sebagai pejabat negara sekalipun. Isu-isu semacam ini yang pada akhirnya diangkat menjadi tema iklan-iklan video politik Jokowi pada masa kampanye pilpres 2014 yang lalu.

Masa kampanye pilpres 2014 telah membawa fenomena baru dalam media massa Indonesia. Sebelum masa kampanye, media massa umumnya menayangkan iklan produk dan jasa, saat masa kampanye berlangsung media massa khususnya televisi diramaikan dengan berbagai commit to user


(18)

video iklan politik. Video Iklan-iklan politik dengan biaya milyaran rupiah ini dikemas dalam berbagai format (www.iklancapres.org/iklan). Pada umumnya iklan para para calon presiden cenderung lebih bersifat “malu-malu dan tidak langsung”. Publik disajikan iklan berupa film berdurasi beberapa puluh detik yang menampilkan cuplikan “kehidupan keseharian” sang kandidat, dan secara konsisten menayangkan sisi positif para calon presiden (Loisa, 2009;62-72).

Tujuan pokok seorang kandidat dengan adanya video iklan politik adalah mempersuasi khalayak untuk memperhatikan pesan yang mereka sampaikan tentang identitas pribadi kandidat. Khalayak dituntut untuk bisa memahami persuasi tersebut, membedakan dengan identitas kandidat yang lain, dan memutuskan bahwa mereka memang memiliki identitas pribadi yang layak dipercaya masyarakat. Para kandidat tersebut memperkenalkan identitas pribadinya dengan menggunakan slogan untuk membuat pembedaan karakteristik serta melalui pemberian pesan dan tampilan iklan yang menarik perhatian masyarakat. Para kandidat mengikat masyarakat pada janji-janji yang disertakan dengan membujuk partisipasi masyarakat dalam penciptaan makna iklan dan menjamin bahwa masyarakat mempertimbangkan kredibilitas sang kandidat.

Berdasar uraian diatas mengiklankan produk politik juga menuntut keterampilan seperti layaknya mengiklankan produk komersial. Kreativitas adalah faktor penting dalam trend iklan sekarang ini. Tentu bukan hal mudah untuk memunculkan ide kreatif dalam sebuah iklan, dibutuhkan olah pikir yang serba ekstra untuk mendapatkan saripati ide yang bisa dituangkan ke dalam iklan sehingga menghasilkan iklan yang tidak hanya kreatif tetapi juga bermanfaat secara kualitatif untuk kepentingan para kandidat. Sangat penting untuk mengemas pesan-pesan yang akan ditampilkan menjadi sederhana dan mudah diingat, bahkan bisa terlontar begitu saja dalam percakapan sehari-hari. Kesederhanaan pesan inilah yang menjadi kunci dalam iklan politik. Pengelolaan pesan yang baik akan menentukan berbagai makna yang terkandung di dalamnya, terlebih tema isi pesannya menyangkut isu-isu yang commit to user


(19)

menyangkut suasana kebersamaan dalam kelompok ras, agama, dan suku bangsa.

Masa kampanye pemilihan Presiden dan Wakil Presiden tahun ini bertepatan dengan bulan ramadhan 1435 hijriah, bagi para kandidat kehadiran bulan suci ramadhan menjadi momentum politik yang penting dan sayang jika dilewatkan untuk berkompetisi dalam upaya menyakinkan sebagai poros paling religius melalui bentuk iklan politik. Bentuk video iklan dengan pendekatan seperti ini memang sudah lumrah dilakukan oleh para kandidat, tidak mengherankan bila pendekatan kampanye seperti ini menuai banyak opini-opini negatif dari masyarakat, salah satu opini negatif tersebut datang dari artikel berjudul “politikus

memolitisasi ramadhan” yang menuliskan, bahwa ramadhan seperti

panggung fashion show yang menampilkan model-model para politikus dengan jargon-jargon politik yang diimbuhi kata-kata berbau ramadhan (Solopos, 2013). Suara senada datang dari Baharuddin, bulan yang dimanfaatkan untuk kampanye politik dimana ucapan selamat berpuasa dibungkus dengan nuansa kepentingan politik yang sangat pragmatis (kompasiana.com, 2013).

Model pendekatan garap video iklan politik yang lebih halus ditunjukkan dari kubu Jokowi-JK dalam video iklan politiknya versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. Dalam jangka pendek model iklan dengan pendekatan seperti ini memang tidak dapat langsung mempengaruhi khalayak, tidak pula menjamin bisa menghilangkan atau mengurangi komentar-komentar bernada miring yang datang dari masyarakat, namun setidaknya video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” yang

menyisipkan ucapan “selamat menunaikan ibadah puasa” didalam isi

iklannya. Hadir dengan format yang berbeda dan konsep yang lebih tertata. Mengapa dikatakan demikian, alasannya adalah satu, format tayangan video iklan ini tergolong panjang untuk ukuran sebuah iklan televisi yaitu berdurasi satu menit tiga puluh detik. Ke-dua, tampilan gambarnya tergolong sangat prima dan berkesan commit to user filmis. Ke-tiga, ada


(20)

sebuah alur cerita dan bentuk dramatisasi layaknya sebuah konsep dalam film fiksi, dan yang terakhir ada peran yang memainkan karakter protagonis layaknya sebuah film cerita, karakter tersebut tentunya Jokowi. Model-model video iklan semacam ini tentunya diharapkan dapat menanamkan citra atau image yang baik ke dalam benak masyarakat.

Melihat dari aspek visual yang dihasilkan video iklan politik televisi ini mengingatkan khalayak pada iklan-iklan komersial milik perusahaan-perusahaan rokok yang memang sejak dulu iklan-iklannya dibuat sangat menarik. Melalui tata pengambilan gambar yang bagus, objek-objek gambar yang indah serta warna yang prima, objek gambar yang diambil menggambarkan keindahan alam Indonesia dengan alur cerita yang dibuat sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan. Begitu pula dengan model iklannya, dipilih karakter yang sesuai dengan target audiensnya. Iklan tersebut dianggap bagus karena dikemas dengan gaya yang membumi. Unsur-unsur ini sesuai dengan karakter pasarnya, yaitu: laki-laki, usia muda, orang-orang sederhana, menghargai kebersamaan, tingkat sosial yang tinggi, berjiwa petualang(djarumbeasiswaplus.org).

Kesan yang sama muncul ketika khalayak menyaksikan video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”, secara visual video iklan ini tidak kalah prima dengan video iklan-iklan komersial perusahaan rokok tersebut. Video Iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ini mengangkat realitas sosial dalam masyarakat sebagai ide utamanya, disuguhkan dalam suasana ramadhan dengan Jokowi sebagai tokoh sentralnya. Dalam video iklan politik versi“pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”, ada sebuah usaha penciptaan citra bahwa Jokowi-JK digambarkan sebagai representasi masyarakat Indonesia sesungguhnya dengan slogannya “Jokowi-JK adalah kita”. dibubuhi narasi yang terdengar seperti bait puisi, “saya adalah kamu. kami adalah kita, dan kita adalah bangsa Indonesia.” Selain itu, Jokowi dalam iklan ini berusaha memposisikan dirinya sebagai pelayan dan pengabdi commit to user


(21)

masyarakat yang baik. Sebagaimana Jokowi berpesan: “Hikmah Ramadan adalah mensyukuri kehidupan yang telah dianugrahkan kepada kita. Keluarga adalah tempat pertama untuk mempelajari semua itu, agar kita menjadi manusia, keluarga, dan bangsa yang lebih baik”. Mengedepankan unsur kreatif dan mengoptimalkan aspek visualnya, secara sepintas memang tampilan video ini tidak dikenali sebagai iklan, namun lebih dikenali seperti cuplikan film bedurasi pendek atau dikenal sebagai trailer.

Tampilan video iklan senantiasa melibatkan tanda dan kode. Setiap bagian iklan pun menjadi “tanda” atau (signs), yang secara men-dasar berarti video iklan adalah sesuatu yang memproduksi makna. Tanda berfungsi mengartikan atau merepresentasikan (menggambarkan) serangkaian konsep, gagasan atau perasaan sedemikian rupa yang memungkinkan seorang penonton untuk men-decode atau meng-interpretasikan maknanya. Jika tanda adalah material atau tindakan yang menunjuk sesuatu, kode adalah sistem di mana tanda-tanda diorganisasikan dan menentukan bagaimana tanda lain. Bahari (2008;110) “....dalam film, antara gambar dan kata-kata, pada dasarnya berasal dari sistem tanda yang berbeda, tetapi bekerjasama. Dalam iklan kode-kode yang secara jelas dapat dibaca adalah bahasa berupa narasi atau unsur tekstual, audio, dan audio visual.

Pada konteks “pembacaan” video iklan, mempertalikan video iklan dan semiotika nampaknya dapat menjadi satu bahan penelitian yang menarik. Iklan televisi sebagai sebuah teks adalah satu sistem tanda terorganisir yang merefleksikan sikap, keyakinan dan nilai-nilai tertentu. Hal ini didasari oleh pemikiran Guy Cook (1994) dalam bukunya berjudul The Discourse of Advertising, London and New York, Routledge, yang mendefinisikan teks sebagai semua bentuk bahasa, bukan hanya yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi, ucapan, musik, gambar, efek suara, citra, dan sebagainya. Bentuk video iklan telah menjadi satu bagian kebudayaan populer yang memproduksi dan merepresentasikan nilai, keyakinan, dan commit to user


(22)

bahkan ideologi. Menariknya, video iklan-iklan politik televisi kemudian tidak luput dari perannya sebagai arena komodifikasi, dimana pesan video iklan bukan lagi sekadar mengenalkan seorang kandidat dan mempersuasi masyarakat, melainkan juga menjadi semacam alat untuk menanamkan makna simbolik.

Guna memahami pesan yang ada pada sebuah video iklan. Diperlukan sebuah pendekatan semiotika yang meliputi analisis tanda, simbol, dan makna yang memungkinkan untuk menggali lebih dalam makna pesan yang terkandung dalam video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna, yaitu makna yang dikemukakan secara ekplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik tampilan iklan (Noviani dalam Kusrianti, 2004;1). Semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Semiotika, atau dalam istilah Roland Barthes adalah semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things) (Sobur, 2009). Guna mengkaji iklan dalam perspektif semiotika, kajian dapat dilakukan melalui sistem tanda dalam video iklan. Video iklan menggunakan sistem tanda yang terdiri atas teks verbal maupun nonverbal (visual). Iklan juga menggunakan tiruan indeks, terutama dalam iklan radio, televisi, dan film (Sobur, 2003;116).

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989;1260) bahwa bahasa verbal adalah unsur-unsur lingual yang diucapkan secara lisan melalui artikulasi setiap manusia, baik berupa bunyi maupun tulisan yang dapat dimengerti oleh setiap lawan tutur. Selain itu, tanda nonverbal merupakan visualisasi berupa gambar, lambang, dan logo. Pada bab-bab selanjutnya istilah tanda “nonverbal” di ganti dengan istilah “visual”.

Iklan kampanye menarik untuk dicermati dan dikaji secara mendalam dengan pendekatan semiotika karena sebagaimana layaknya pariwara, kampanye memerlukan strategi dan metode beriklan yang tepat untuk memasarkan diri. Penggunaan bahasa oleh para kandidat bukan hanya persoalan linguistik, tetapi ekspresi ideologi untuk membentuk commit to user


(23)

pendapat umum dengan membenarkan pendapat satu pihak dan menyalahkan pihak lain (Jufri, 2005;1). Dengan ini, pendekatan semiotika digunakan sebagai sebuah metodologi untuk mengupas dan mengurai unsur pemaknaan tanda yang terkandung dalam iklan dan menafsirkannya.

Video iklan memiliki konsep yang beragam, salah satunya adalah video iklan yang memiliki jalan cerita layaknya drama. Video iklan tersebut merupakan karya seni multidimensional, karena di dalamnya terdapat dua unsur sekaligus yaitu film dan musik. Dyer (2009;75) menyebutkan unsur visual adalah sesuatu yang dapat dilihat oleh mata sedangkan narasi dalam video merupakan unsur verbal. Kedua hal tersebut merupakan tanda yang dapat dikaji menggunakan semiotika.

Penelitian ini bertujuan untuk mencari makna pesan yang terkandung dalam video iklan dengan menganalisa unsur naratif dan unsur sinematik melalui cuplikan narasi dan video yang telah dipilah menjadi potongan-potongan kalimat serta gambar. Video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” menghasilkan satu rangkaian kalimat narasi, beberapa adegan pada setiap gambar dan narasi akan mewakili durasi video satu detiknya, dengan penggunaan unsur naratif dan unsur sinematik sebagai aspek utama pembentukan makna pesan pada video iklan politik versi “pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” menjadi fokus dalam penelitian ini.


(24)

B.Pembatasan Masalah

Pertama, untuk memecahkan masalah-masalah yang dihadapi dalam penelitian ini, Dibuat beberapa batasan masalah agar penelitian memiliki arah dan fokus yang jelas. Penelitian ini diarahkan pada pembacaan pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual melalui analisa unsur naratif dan unsur sinematik yang terdapat pada iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.

Kedua, pemaknaan pesan yang terkandung dalam tanda verbal dan visual menggunakan analisa denotasi-konotasi Roland Barthes dengan menggunakan cuplikan potongan gambar / shot.

Ketiga, tahap intrepretasi makna pesan yang terkandung dalam tanda verbal dan visual pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.

Pendekatan yang digunakan memakai pendekatan Semiotika. Pertama, berpijak pada teori Ferdinand de Saussure ( sign-signifier-signifield. Tanda adalah sesuatu selalu memiliki penanda (signifier) dan petanda (signified) (Piliang, 2003;43–44). Bentuk fisik gambar dan Bunyi-bunyi pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” disebut Signifier, dan konsep-konsep dari bunyi-bunyian dan gambar pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. disebut Signified.

Bergulir menuju aksi selanjutnya yang memuat pembacaan makna dengan melakukan tafsir denotatif pada tiap tanda yang disajikan dan kemudian melakukan interpretasi makna pada tataran konotatif. Untuk mempermudah segala macam tanda yang tampak dan disajikan baik itu verbal maupun visual, dilakukan pembagian scene (potongan adegan) agar dapat memahami pola, fokus, “nyawa”, dan kejelasan, yang dapat membantu khalayak memahami cerita (Seger, 1987:4).


(25)

C.Perumusan Masalah

Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah tersebut di atas, maka perumusan masalah pokok dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut.

1. Apakah pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ?

2. Bagaimana tanda verbal dan visual direpresentasikan secara denotasi dan konotasi pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ?

3. Bagaimana makna yang hendak disampaikan pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia” ?

D.Tujuan Penelitian

1. Mendeskripsikan pesan yang terdapat pada tanda verbal dan visual pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.

2. Mendeskripsikan lebih mendalam tanda verbal dan visual yang direpresentasikan secara denotasi dan konotasi pada video iklan politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. 3. Mendeskripsikan makna yang hendak disampaikan pada video iklan

politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”.

E. Manfaat Penelitian

Dari hasil penelitian ini diharapkan akan dapat diperoleh manfaat sebagai berikut.

1. Secara teoritis, penelitian ini ditujukan untuk memperkaya khasanah penelitian tentang tanda verbal dan tanda visual pada video iklan politik di televisi melalui analisis semiotika, terutama di bidang perfilman dan desain komunikasi visual.

2. Secara praktis, penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan gambaran tentang makna pesan yang terkandung dalam video iklan commit to user


(26)

politik versi “Pesan Ramadhan Jokowi-JK untuk keluarga Indonesia”. Kepada semua pihak yang ingin mengetahui atau terkait dengan iklan, baik pengiklan maupun pemirsa iklan. Selain itu hasil penelitian ju-ga dapat dipakai sebaju-gai referensi bagi para peneliti yang ingin melanjutkan penelitian tentang semiotika.

3. Secara akademis, penelitian ini ditujukan sebagai salah satu syarat untuk memperolah derajat Derajat Magister Program Studi Seni Rupa, Universitas Sebelas Maret Surakarta.


(27)

11 BAB II

LANDASAN TEORI A.Tinjauan Pustaka

Terdapat kecenderungan yang penting dalam kajian-kajian seni rupa dan ilmu-ilmu seni di akhir abad ke-20 di Indonesia, yaitu berpalingnya sejumlah ahli teori kepada semiotika sebagai teori dasar untuk mengupas dunia kesenirupaan. Seni rupa dan desain yang sementara dikelompokkan dalam format budaya, kemudian mengalami pergeseran, yaitu seni rupa dipandang sebagai suatu bahasa yang secara lebih spesifik dikenal sebagai bahasa rupa. Karya seni dapat dipandang sebagat sebuah “prosa” atau “puisi” yang sarat akan pesan dan tanda konotatif maupun denotatif. Cara memandang karya seni rupa sebagai bahasa, kemudian membuka berkembangnya teori-teori semiotika

sebagai alat “pembedah” karya-karya tersebut.

Meskipun kehadirannya belum semantap dalam wilayah kajian linguistik ataupun sastra, namun kajian-kajian semiotika telah menjadi kecenderungan di berbagai perguruan tinggi khususnya seni di Indonesia sebagai sebuah metodologi baru dalam memaparkan nilai-nilai estetik. Gagasan pemikir semiotika sendiri mengalami proses pengembangan seperti pada Pierce, Levi Strauss, Roland Barthes, Umberto Eco hingga Vihma.

1. Semiotika

Secara etimologis, semiotika berasal dari bahasa yunani: semeion yang berarti tanda. Kata semiotik telah digunakan pertama kalinya oleh ahli filsafat Jerman Lambert pada abad XVIII (Zoest, 1992;2). Secara terminologis, Van Zoest (dalam Sobur, 2009;95) mengartikan semiotik sebagai ilmu tanda (sign) dan segala yang berhubungan dengannya: cara berfungsinya, hubungannya dengan kata lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya. Sedangkan menurut Tinarbuko (2009;12) semiotika commit to user


(28)

adalah ilmu yang mempelajari tanda (sign), berfungsinya tanda dan memproduksi makna.

Semiotika telah digunakan sebagai salah satu pendekatan dalam menelaah sesuatu yang berhubungan dengan tanda, misalnya karya sastra dan teks video iklan dalam media televisi. Tanda terdapat dimana-mana. Kata adalah tanda, demikian juga gerak isyarat, lampu lalu lintas, bendera dan sebagainya. Struktur karya sastra, struktur film, bangunan dan nyanyian burung dapat dianggap sebagai tanda. Semiotika menurut Berger (dalam Tinarbuko, 2009;11) memiliki dua tokoh yakni Ferdinand de Saussure (1857-1913) dan Charles Sander Pierce (1839-1914). Kedua tokoh tersebut mengembangkan ilmu semiotika secara terpisah dan tidak mengenal satu sama lain. Saussure di Eropa dan Pierce di Amerika. Saussure menyebut ilmu yang dikembangkannya semiologi. Hidayat (dalam Tinarbuko, 2009;12) mengemukakan bahwa di mana ada tanda, disana ada sistem.

Pada tahun 1956, Roland Barthes yang membaca karya Saussure: Cours de linguistique générale melihat adanya kemungkinan menerapkan semiotika ke bidang-bidang lain. Barthes mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan Saussure mengenai kedudukan linguistik sebagai bagian dari semiotika. Menurutnya, semiotika merupakan bagian dari linguistik karena tanda-tanda dalam bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang mengungkapkan gagasan (artinya, bermakna), merupakan unsur yang terbentuk dari penanda - petanda, dan terdapat di dalam sebuah struktur.

Berdasar uraian di atas, tanda menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif, tanda mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan. Untuk menganalisis teks dan kode visual, metode semiotik bersifat kualitatif-interpretatif, Kusumarini (2006) Metode semiotika secara prinsip bersifat kualitatif-interpretatif dan dapat diperluas sehingga bersifat kualitatif-empiris. Metode kualitatif-interpretatif lebih berfokus kepada teks dan kode yang nampak secara visual sedang metode kualitatif-empiris membahas pada commit to user


(29)

subyek pengguna teks. Video iklan sebagai sebuah teks adalah sistem tanda terorganisir menurut kode-kode yang merefleksikan nilai-nilai tertentu, sikap dan juga keyakinan tertentu.

Noviani (dalam Kusrianti, 2004;1) Setiap pesan dalam iklan memiliki dua tingkatan makna yang dinyatakan secara eksplisit di permukaan dan makna yang dikemukakan secara implisit di balik permukaan iklan. Dengan demikian, semiotika menjadi metode yang sesuai untuk mengetahui kontruksi makna yang terjadi dalam video iklan dengan menekankan peran sistem tanda dengan konstruksi realitas, maka melalui semiotika ideologi-ideologi di balik iklan bisa dibongkar. Semiotika adalah suatu bentuk strukturalisme, karena ia berpandangan bahwa manusia tidak bisa mengetahui dunia melalui istilah-istilahnya sendiri, melainkan hanya melalui struktur-struktur konseptual dan linguistikdalam kebudayaan.

Semiotika adalah usaha untuk menganalisis signifikasi tanda-tanda. Salah satu refleksi signifikasi tanda adalah iklan. Signifikasi tanda digunakan untuk menyampaikan pesan kepada pembaca atau penonton. Menurut Pierce, sebuah tanda itu mengacu pada suatu acuan, dan representasi adalah fungsi utamanya. Hal ini sesuai dengan definisi dari tanda itu sendiri, yaitu sebagai sesuatu yang memiliki bentuk fisik, dan harus merujuk pada sesuatu yang lain dari tanda tersebut. Dalam pengertian semiotik, termasuk tanda adalah kata-kata, citra, suara, bahasa tubuh atau gesture dan juga obyek. (Noviani, 2002;77).

Karya audio visual (film, video iklan, video musik, animasi) merupakan bidang kajian yang amat relevan bagi analisis struktural atau semiotik. Seperti dikemukakan oleh Van Zoest (1992) film dibangun dengan tanda. Tanda-tanda itu termasuk berbagai sistem tanda yang bekerja sama dengan baik untuk mencapai efek yang diharapkan. Rangkaian gambar dalam film menciptakan imaji dan sistem penandaan. Karena itu menurut Van Zoest, bersamaan dengan tanda-tanda pada film terutama digunakan tanda-tanda ikonis, yakni tanda-tanda yang menggambarkan sesuatu. Memang, ciri gambar-gambar film dan karya commit to user


(30)

audio visual adalah persamaannya dengan realitas yang ditunjukan. Gambar yang dinamis dalam film ikonis bagi realitas sosial (Noviani 2002;128).

Menurut Tinarbuko (2010) dalam bukunya Semiotika Komunikasi Visual, unsur semiotika dalam desain komunikasi visual adalah tanda, kode, dan makna. Tanda menurut Saussure merupakan kesatuan dari penanda dan petanda. Walaupun penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen dari tanda. Tandalah yang merupakan fakta dasar dari bahasa. Artinya kedua hal dari tanda itu tidak dapat dipisahkan, jika pemisahan berlaku maka hanyalah akan menghancurkan “kata” tersebut. Selanjutnya tanda kebahasaan menurut Saussure bersifat arbitrair, atau semena-mena. Artinya tidak ada hubungan alami dari petanda dan penanda. Sebagai contoh tentang ini bahwa orang tidak dapat mengerti mengapa istilah blusukkan dipahami sebagai bahasa Indonesia sedangkan kata blusukkan adalah sebuah kata dalam bahasa Jawa. Tanda kebahasaan tersebut tidak dapat dipikirkan sebabnya, tetapi semua orang dapat mengerti bahwa “blusukkan” adalah istilah untuk keluar masuk pada tempat yang jarang dilewati atau didatangi orang tanpa harus memperdebatkannya.

Menurut Roland Barthes, semiotika adalah suatu ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda-tanda adalah seperangkat yang dipakai dalam rangka upaya berusaha mencapai jalan di dunia ini, di tengah-tengah manusia dan bersama-sama manusia. Ia pun membedakan dua pengertian (signification) dari semiotika yaitu denotasi dan konotasi. Denotasi adalah level deskriptif dan harfiah makna yang disepakati seluruh anggota budaya. Pada level konotasi, makna dihasilkan oleh hubungan antara signifier dan budaya secara luas yang mencakup kepercayaan-kepercayaan, tingkah laku, kerangka kerja dan ideologi dari sebuah formasi sosial. Semiotika, atau dalam istilah Barthes, semiologi, pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memakai hal-hal (commit to user things), memaknai (to signify)


(31)

dalam hal ini tidak dapat dicampur adukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate). Memaknai berarti bahwa objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda. (Sobur, 2003;15).

Sedangkan menurut Pierce, tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu. Jika sesuatu misalnya A adalah baju kotak-kotak, maka ia dapat mewakili B, yaitu misalnya pendukung Jokowi (pengalaman). Tanda semacam itu dapat disebut sebagai indeks, yakni antara A dan B ada keterkaitan (contiguity). Sebuah foto atau gambar adalah tanda yang disebut ikon. Tanda juga bisa merupakan lambang, jika hubungan antara tanda itu dengan yang diwakilinya didasarkan pada perjanjian (convention), misalnya lampu merah yang mewakili larangan (gagasan) berdasarkan perjanjian yang ada dalam masyarakat. Ketika semua bentuk komunikasi adalah tanda, maka dunia ini penuh dengan tanda. Ketika berkomunikasi, pada saat itu juga menciptakan tanda sekaligus makna. Dalam perspektif semiologi atau semiotika, pada akhirnya komunikasi akan menjadi suatu ilmu untuk mengungkapkan pemaknaan dari tanda yang diciptakan oleh proses komunikasi itu sendiri.

a. Ferdinand de Saussure

Sebagai seorang ahli linguistik, Saussure tertarik pada bahasa. Dia lebih memperhatikan cara tanda-tanda terkait dengan tanda lain dan bukannya cara tanda terkait dengan objeknya seperti yang dikemukakan Pierce. Saussure hanya benar-benar menaruh perhatian pada simbol karena kata-kata merupakan simbol. Saussure sangat tertarik pada relasi penanda dengan petanda dan satu tanda dengan tanda-tanda yang lain.

Istilah “petanda” dari Saussure mirip dengan interpretant dari Pierce, tapi Saussure tak pernah menggunakan kata “efek‟ untuk mengaitkan penanda dengan petanda. Ada lima pandangan dari Saussure yang kemudian menjadi peletak dasar dari strukturalisme Levi Strauss, diantaranya:


(32)

1). Signified dan Signifier

Bagi Saussure tanda merupakan objek fisik dengan sebuah makna atau untuk menggunakan istilahnya sebuah tanda terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda (Signifier) adalah citra tanda seperti yang dipersepsikan. Signifier adalah bunyi bermakna atau coretan yang bermakna yakni apa yang dikatakan dan apa yang ditulis atau dibaca. Sedangkan signified adalah gambaran mental yakni pikiran atau konsep mental dari bahasa (Sobur, 2009;125). Menurut Saussure, bahasa itu merupakan suatu sistem tanda. Suara-suara baik suara manusia, binatang, atau bunyi-bunyian hanya bisa dikatakan sebagai bahasa atau berfungsi sebagai bahasa apabila suara atau bunyi tersebut mengekspresikan, menyatakan atau menyampaikan ide-ide, pengertian-pengertian tertentu. Meskipun antara penanda dan petanda tampak sebagai entitas yang terpisah namun keduanya hanya ada sebagai komponen tanda. Saussure menggambarkan tanda yang terdiri dari signifier dan signified itu sebagai berikut.

Gambar 1. Peta Tanda Saussure

Sumber: Sobur, Analisis Teks Media. (2009;125)

Hubungan antara keberadaan fisik tanda konsep mental dinamakan signification. Dengan kata lain, Fiske (dalam Sobur, 2009;125) menyatakan bahwa signification adalah upaya dalam memberi makna terhadap dunia. Hubungan diantara signifier dan signified bersifat arbitrer (manasuka) dan hanya berdasarkan konvensi, kesepakatan, dan commit to user


(33)

peraturan dari kultur pemakai bahasa tersebut. Bagi Saussure, sifat arbitrer tanda merupakan inti bahasa manusia. Artinya tidak ada relasi pasti antara penanda dan petanda. Relasinya ditentukan berdasarkan konvensi aturan atau kesepakatan diantara penggunanya.

2). Form and Content

Saussure membandingkan form and content dengan permainan catur. Dalam permainan catur, papan dan biji catur tidak terlalu penting. Yang penting adalah fungsinya yang dibatasi dan aturan-aturan permainannya. Jadi bahasa berisi sistem nilai, bukan koleksi unsur yang ditentukan oleh materi, tetapi ditentukan oleh perbedaannya (Sobur, 2009;48). Contoh lainnya adalah kata “padi” dalam bahasa Indonesia umpamanya tidak sama persis dengan kata “rice” dalam bahasa inggris karena kata Indonesia tersebut terpisah dari kata atau dibedakan dengan kata rice. Artinya kata “padi” tidak masuk dalam differensiasi sistem arti dalam bahasa inggris.

3). Langue and Parole

Saussure membedakan tiga istilah dalam bahasa Prancis: langage, langue (sistem bahasa), dan parole (kegiatan ujaran). Langage mengacu kepada bahasa pada umumnya yang terdiri dari langue dan parole. Sobur (2009;49) mengungkapkan langage adalah kemampuan berbahasa yang ada pada setiap manusia yang sifatnya pembawaan, namun pembawaan ini mesti dikembangkan dengan lingkungan dan stimulus yang menunjang.

Pengertian umum langue adalah abstraksi dan artikulasi bahasa pada tingkat sosial budaya, sedangkan parole adalah ekspresi bahasa pada tingkat individu (Sobur, 2009;50). Dalam konsep Saussure, langue dimaksudkan bahasa sejauh merupakan milik bersama dari suatu golongan bahasa tertentu. Kleden dan Probonegoro (dalam Sobur, 2009;50) mengungkapkan langue sebagai cabang linguistik yang menaruh perhatian pada tanda-tanda bahasa atau pada kode bahasa. Kode bahasa ini terdiri atas fonem dan morfem. Jika langue mempunyai objek studi sistem atau tanda atau kode maka commit to user parole adalah living speech yaitu


(34)

bahasa yang hidup atau bahasa sebagaimana terlihat dalam penggunaannya (Sobur, 2009;51). Parole lebih memperhatikan faktor pribadi pengguna bahasa.

4). Synchronic and Diachronic

Kedua istilah ini berasal dari kata Yunani “khronos” yang berarti waktu dan dua awalan “syn” dan “dia”, masing-masing berarti

“bersama” atau “melalui”, yang dimaksud dengan studi sinkronis sebuah bahasa menurut Lyons (dalam Sobur, 2009:53) adalah deskripsi tentang keadaan tertentu bahasa tersebut pada suatu masa. Sinkronis mempelajari bahasa tanpa mempersoalkan urutan waktu. Sedangkan yang dimaksud dengan diakronis menurut Barthes (dalam Sobur, 2009;53) adalah menelusuri waktu. Jadi studi diakronis atas bahasa tertentu adalah deskripsi tentang perkembangan sejarah melalui waktu. Misalnya studi diakronis bahasa Inggris mungkin mengalami perkembangan dimasa catatan-catatan kita yang paling awal sampai sekarang ini.

5). Syntagmatic dan Associative

Satu lagi struktur bahasa yang dibahas dalam konsepsi dasar Saussure tentang sistem pembedaan diantara tanda-tanda adalah mengenai syntagmatic dan associative atau antara sintagmatik dan associative. Hubungan-hubungan ini terdapat pada kata-kata sebagai rangkaian bunyi-bunyi maupun kata-kata sebagai konsep. Cobley dan Jansz (dalam Sobur 2009;55) memberi contoh sederhana. Jika kita mengambil sekumpulan tanda “seekor kucing berbaring diatas karpet”. Maka satu elemen tertentu, kata “kucing” misalnya, menjadi bermakna sebab ia memang bisa dibedakan dengan “seekor”, “berbaring” atau

“karpet”. Sekarang kita lihat bagaimana kemudian kata “kucing” dikombinasikan dengan elemen-elemen lainnya. Kini digabungkan

dengan “seekor”, “berbaring”, “di”, “atas”, “karpet”. Kata “kucing” menghasilkan rangkaian yang membentuk sebuah sintagma (kumpulan tanda yang berurut secara logis). Melalui cara ini, “kucing” bisa memiliki hubungan paradigmatik (hubungan yang saling menggantikan) dengan


(35)

b. Charles Sander Pierce

Filsuf Amerika ini terkenal dengan pemikiran pragmatisnya yang menyatakan bahwa tidak ada objek atau konsep yang memiliki secara inheren keabsahannya. Kebermaknaannya hanya ada apabila objek atau konsep tersebut diterapkan dalam praktik. Peirce dikenal dengan konsep triadik dan trikotominya. Prinsip dasar dari tanda triadik tersebut bersifat representatif. Berdasarkan prinsip ini, tanda menjadi wakil yang menjelaskan sesuatu.

Peirce called the perceivable part of the sign a representamen

(literally “something that does the representing”) and the concept that it encodes the object (literally”something cast

outside for observation”). He termed the meaning that someone gets from the sign the interpretant (Danesi dan Perron, Analizyng Culture. 1999;73)

Rumusan ini mengimplikasikan bahwa makna sebuah tanda dapat berlaku secara pribadi, sosial atau bergantung pada konteks khusus tertentu. Representamen berfungsi sebagai tanda (Saussure menamakannya signifier). Perlu dicatat bahwa secara teoritis, Peirce menggunakan istilah representamen dengan merujuk pada triadik secara keseluruhan. Namun secara terminologis, ia kadang-kadang menggunakan istilah sign alih-alih representamen. Object adalah sesuatu yang di-wakili oleh representamen yang berkaitan dengan acuan. Object dapat berupa representasi mental (ada dalam pikiran), dapat juga berupa sesuatu yang nyata di luar tanda.

Interpretant merupakan makna dari tanda. Pada beberapa kesempatan, ia menggunakan istilah significance, signification, atau interpretation. Tanda sendiri tidak dapat mengungkapkan sesuatu. Tanda hanya menunjukkan. Tugas penafsir memberi makna berdasarkan pengalamannya (Nöth, Hanbook of Semiotics. 1995;42,43). Tipologi dasar dari Peirce dapat dilihat pada gambar berikut.


(36)

Gambar 2. Tipologi Pierce

Sumber : Danesi dan Perron, Analizyng Culture. (1999;74-75)

Ketiga unsur tersebut diperinci menjadi tiga trikotomi seperti terlihat pada tabel berikut.

Tabel 1. Tipologi Pierce

Sumber : Danesi dan Perron, Analizyng Culture. (1999;74-75)

Mode Of Representation. Hal tersebut berkenaan dengan tingkat keberlakuan tanda yang berkaitan dengan upaya manusia memahami dunianya.

1. Dikatakan firstness karena ikon adalah bentuk representamen yang paling lekat dengan objek yang diwakilinya sehingga tanda dikenali pada tahap awal. Selain contoh yang telah tertera pada tabel, urutan sekuen yang commit to user


(37)

normal dalam narasi juga merupakan ikon dari sekuen suatu peristiwa, contoh: kalimat Julius Caesar: veni, vidi, vici. Ada ikon yang terbentuk dalam konteks kultural. Oleh karena itu, manifestasinya dalam setiap budaya dapat berbeda.

2. Dikatakan secondness karena index merupakan sebab akibat atau ada kontiguitas antara tanda sekunder yang memperingatkan adanya tanda lain yang utama. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman berhadapan dengan kenyataan, ada pertemuan dengan dunia luar. Pada tingkat ini, tanda masih ditandai secara individual.

3. Dikatakan thirdness karena representamen yang tidak dapat terlepas dari konteks sejarah/sosial suatu masyarakat adalah simbol yang terbentuk berdasarkan kesepakatan; antara simbol dan interpretant tidak ada kaitan apa pun. Tingkat keberlakuan tanda dan pemahaman penafsir bersifat sebagai aturan, hukum, atau yang sudah berlaku umum.

4. Dari sudut pandang interpretant, sebuah teks adalah rheme apabila teks tersebut tidak lengkap, teks didominasi dengan fungsi ekspresif, atau struktur teks memungkinkan berbagai interpretasi. Contoh: teks sastra, puisi.

5. Teks deskriptif, baik fiksi maupun nonfiksi memiliki ciri dicisign karena bersifat informatif.

6. Teks ilmiah dan hukum sarat dengan argument.

Sudut pandang pragmatik teks dapat memiliki berbagai interpretant, bergantung pada pengaruhnya terhadap penafsir. Hoed (Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. 2004;55) mengemukakan bahwa, berbeda dengan Saussure, Peirce melihat tanda tidak sebagai suatu struktur, tetapi sebagai suatu proses pemaknaan tanda yang disebutnya semiosis. Semiosis merupakan proses tiga tahap dan dapat terus berlanjut. Artinya, interpretant pada gilirannya dapat menjadi representamen, dan seterusnya. Peirce menyatakan bahwa proses commit to user


(38)

semiosis tidak terbatas, bergantung pada pengalaman. Berikut ini uraian proses semiosis.

a. Pencerapan representamen (R) yang dilihat oleh manusia (ini

yang disebut dengan “tanda”).

b. Perujukan representamen pada objek (O) yang merupakan konsep yang dikenal oleh pemakai tanda.

c. Penafsiran makna interpretant (I) oleh pemakai tanda, setelah representamen dikaitkan dengan objek.

• Contoh semiosis pada gambar : O : Diponegoro

R : (Gambar) seorang laki-laki I/O : Komandan pasukan

R : Pejuang melawan Belanda I/O : Pahlawan

R : Orang yang membela kebenaran I/O : Pemberani, dst

• Contoh semiosis pada bahasa :

O : Makanan pokok di Maluku

R : (Kata) Sagu I : Makanan tradisional

• Contoh semiosis pada emoticon : O : Wajah tersenyum

R :

I : Gembira

Sumber : Irzanti Susanto “Metode Semiotika”

( perkuliahan Prof. Dr.B.H.Hoed “Teori dan Metode Penelitian” )


(39)

c. Roland Barthes

Salah seorang pengikut Saussure, Roland Barthes membuat sebuah model sistematis dalam menganalisis makna dari tanda-tanda. Semiotika atau dalam istilah Barthes, semiologi pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity) memaknai hal-hal (things). Memaknai (to signify) dalam hal ini tidak dapat dicampuradukkan dengan mengkomunikasikan (to communicate).

Bertolak dari prinsip-prinsip Saussure, Barthes menggunakan konsep sintagmatik dan paradigmatik untuk menjelaskan gejala budaya, seperti sistem busana, menu makan, arsitektur, lukisan, film, iklan, dan karya sastra. Ia memandang semua itu sebagai suatu bahasa yang memiliki sistem relasi dan oposisi. Beberapa kreasi Barthes yang merupakan warisannya untuk dunia intelektual adalah (1) konsep konotasi yang merupakan kunci semiotik dalam menganalisis budaya, dan (2) konsep mitos yang merupakan hasil penerapan konotasi dalam berbagai bidang dalam kehidupan sehari-hari.

Barthes (dalam Sobur, 2009;15) mengungkapkan memaknai berarti bahwa objek-objek tidak hanya membawa informasi, dalam hal mana objek-objek itu hendak berkomunikasi, tetapi juga mengkonstitusi sistem terstruktur dari tanda.

Menurut Barthes (dalam Sobur, 2009:63) bahasa adalah sebuah sistem tanda yang mencerminkan asumsi-asumsi dari suatu masyarakat tertentu dalam waktu tertentu. Salah satu area penting yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran pembaca (the reader). Konotasi walaupun merupakan sifat asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar dapat berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada. Sistem pemaknaan kedua ini oleh Barthes disebut dengan konotatif, sedangkan pemaknaan tataran pertama ia sebut denotatif.


(40)

Fokus perhatian Barthes lebih tertuju kepada gagasan tentang signifikasi dua tahap (two order of signification) seperti terlihat pada gambar berikut.

Gambar 3. Peta Tanda Roland Barthes

Sumber: Sobur, Semiotika Komunikasi, 2009

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Akan tetapi pada saat yang bersamaan, tanda denotatif adalah juga penanda konotatif (4). Hanya jika

kita mengenal tanda “singa” barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan dan keberanian menjadi mungkin.

1). Sistem Pemaknaan Tingkat Pertama (Denotatif)

Signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi yaitu makna paling nyata dari tanda. Jadi dalam konsep Barthes, tanda konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tandacommit to user denotatif yang


(41)

melandasi keberadaannya. Dalam hal ini, denotasi justru diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2009;70).

Menurut Lyons (dalam Sobur, 2009;263) denotasi adalah hubungan yang digunakan dalam tingkat pertama pada yang secara bebas memegang peranan penting didalam ujaran. Kridalaksana (dalam Sobur, 2009;263) mendefinisikan denotasi sebagai makna kata atau kelompok kata yang didasarkan atas penunjukkan yang lugas pada sesuatu di luar bahasa atau yang didasarkan atas konvensi tertentu dan sifatnya objektif.

Denotasi dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang sesungguhnya bahkan kadang juga dirancurkan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Makna denotasi bersifat langsung yaitu makna khusus yang terdapat pada sebuah tanda pada dasarnya meliputi hal-hal yang ditunjuk oleh kata-kata yang disebut sebagai makna referensial, makna yang biasa ditemukan dalam kamus. Keraf (dalam Sobur, 2009;265) mengungkapkan bahwa makna denotasi (denotative meaning) disebut juga dengan beberapa istilah seperti makna denotasional, makna kognitif, makna konseptual atau ideasional, makna referensial atau makna proposisional. Disebut makna denotasional, referensial, konseptual atau ideasional karena makna itu menunjuk pada (denote) kepada suatu referen, konsep, atau ide tertentu dari sebuah referen. Disebut makna kognitif karena makna itu bertalian dengan kesadaran atau pengetahuan, dan makna ini disebut juga makna proposisional karena ia bertalian dengan informasi-informasi atau pernyataan-pernyataan yang bersifat faktual.

Ketika mengucapkan sebuah kata yang mendenotasikan suatu hal tertentu, maka itu berarti kata tersebut menunjukkan, mengemukakan dan menunjuk pada hal itu sendiri. Misalnya kata “ayam” mendenotasikan atau merupakan sejenis unggas tertentu yang memiliki ukuran tertentu, berbulu, berkotek dan menghasilkan telur. commit to user


(42)

2). Sistem Pemaknaan Tingkat Kedua (Konotatif)

Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subjektif atau paling tidak intersubjektif. Dengan kata lain, Fiske (dalam Sobur, 2009;128) mengatakan bahwa denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap sebuah objek sedangkan konotasi adalah bagaimana menggambarkannya.

Konotasi menempatkan denotasi sebagai penanda terhadap petanda atau Signified baru sehingga melahirkan makna konotasi (second order signification). Penanda dalam pemaknaan konotasi terbentuk melalui tanda denotasi yang digabungkan dengan petanda baru atau tambahan sehingga tanda denotasi akan sangat menentukan signifikasi selanjutnya. Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Konotasi mengacu pada makna yang menempel pada suatu kata karena sejarah pemakainnya. Jika denotasi sebuah kata adalah objketif kata tersebut, maka konotasi sebuah kata adalah makna subjektif atau emosionalnya.

Barthes merumuskan tanda sebagai sistem yang terdiri dari expression (E) yang berkaitan relation (R) dengan content (C). Ia berpendapat bahwa E-R-C adalah sistem tanda dasar dan umum. Teori tanda tersebut dikembangkannya dan ia menghasilkan teori denotasi dan konotasi. Menurutnya, content dapat dikembangkan. Akibatnya, tanda pertama (E1 R1 C1) dapat menjadi E2 sehingga terbentuk tanda kedua: E2 (=E1 R1 C1) R2 C2. Tanda pertama disebutnya sebagai denotasi; yang kedua disebutnya semiotik konotatif. Barthes menggambarkan hubungan kedua makna tersebut sebagai berikut:


(43)

Gambar 4. Konsep Konotasi dan Denotasi

Denotasi merupakan makna yang objektif dan tetap; sedangkan konotasi sebagai makna yang subjektif dan bervariasi. Meskipun berbeda, kedua makna tersebut ditentukan oleh konteks. Makna yang pertama, makna denotatif, berkaitan dengan sosok acuan, misalnya kata merah bermakna “warna seperti warna darah” (secara lebih objektif, makna dapat digambarkan menurut tata sinar). Konteks dalam hal ini untuk memecahkan masalah polisemi; sedangkan pada makna konotatif, konteks mendukung munculnya makna yang subjektif. Konotasi membuka kemungkinan interpretasi yang luas. Dalam bahasa, konotasi dimunculkan melalui: majas (metafora, metonimi, hiperbola, eufemisme, ironi, dsb), presuposisi, implikatur. Secara umum (bukan bahasa), konotasi berkaitan dengan pengalaman pribadi atau masyarakat penuturnya yang bereaksi dan memberi makna konotasi emotif misalnya halus, kasar/tidak sopan, peyoratif, akrab, kanak-kanak, menyenangkan, menakutkan, bahaya, tenang, dsb. Jenis ini tidak terbatas. Pada contoh di atas: MERAH bermakna konotatif emotif. Konotasi ini bertujuan membongkar makna yang terselubung. Salah satu karya besarnya yang merupakan hasil dari penerapan metode analisis struktural, konsep sintagmatik, dan paradigmatik adalah sistem berbusana. Ia mengana-logikan dikotomi dari Saussure: langue - parole dengan tata busana (unsur-unsur mode dan aturannya) aktualisasi individual. Tata busana menentukan mode pada masa tertentu. Di negara yang memiliki empat musim, ada tata busana untuk setiap musim. Sistem ini disebutnya commit to user


(44)

sebagai denotasi, misalnya, warna gelap (hitam, abu-abu, biru, hijau tua) dan model tertutup untuk musim dingin, warna cerah dan untuk musim semi; model terbuka untuk musim panas. Di samping hal tersebut, majalah mode, pada umumnya, menambahkan keterangan tentang waktu, tempat pakaian dengan model tertentu bisa dikenakan, tentang gaya pero- rangan, tentang efek sosial yang ditimbulkan. Ini semua termasuk ke dalam sistem konotasi mode.

Arthur Asa Berger (dalam Sobur, 2009;263) mengemukakan bahwa konotasi melibatkan simbol-simbol, historis dan hal-hal yang berhubungan dengan emosional. Makna konotatif bersifat subjektif dalam pengertian bahwa ada pergeseran dari makna umum (denotatif) karena sudah ada penambahan rasa dan nilai tertentu. Kalau makna denotatif hampir bisa dimengerti banyak orang, maka makna konotatif hanya bisa dicerna oleh mereka yang jumlahnya lebih kecil.

Keraf (dalam Sobur, 2009;266) mengungkapkan bahwa konotasi atau makna konotatif disebut juga makna konotasional, makna emotif atau makna evaluatif. Makna konotatif adalah suatu jenis makna dimana stimulus dan respons mengandung nilai-nilai emosional. Makna konotatif sebagian terjadi karena pembicara ingin menimbulkan perasaan setuju tidak setuju, senang-tidak senang dan sebagainya pada pihak pendengar.

Konotasi sebagai makna kedua dari tanda dapat juga ditampilkan melalui teknik-teknik visual. Dalam video maupun gambar terkandung level produksi yang berbeda (Framing, layout, technical treatment, choice). Untuk memunculkan sebuah makna konotasi, Barthes (2010;6) menyusun tahap-tahap konotasi. Agar dipahami dengan jelas, tiga tahap pertama (trick effect, pose dan object) harus dibedakan dengan tiga tahap terakhir (photogenia, aesthetisicm, dan sintax). Tahap-tahap ini sudah sering didengar dan tidak dijelaskan dengan detail, tetapi hanya diposisikan secara struktural.


(45)

a). Trick effect (efek tiruan)

Trick effect memanfaatkan kredibilitas yang dimiliki oleh foto. Trick effect merupakan syarat konotasi yang melihat melalui teknik-teknik visual yang terdapat dalam shot. Seperti dapat dilihat merupakan kekuatan luar biasa denotasi untuk mengelupas pesan yang seolah-olah hanya bersifat denotatif belaka, tetapi sarat dengan dengan muatan konotatif.

Metode ini memanipulasi kontek komunikasi, salah satunya dengan menambah atau meniadakan beberapa hal atau mengubah latar warna. Trick effects bisa mengubah hal penting dalam suatu scene atau mungkin hanya berperan minor seperti mengganti pencahayaan atau kontras warna.

b). Pose (sikap)

Ketika berbicara tentang pose, otomatis langsung teringat kepada objek tubuh. Pose merupakan komunikasi nonverbal yang dilihat melalui bahasa tubuhnya. Metodenya misalnya dilakukan dengan cara menampilkan gambar setengah tubuh, tatapan mata ke atas, kedua tangan menyatu. Gerakan-gerakan diatas jika ditampilkan akan terlihat sosok seseorang yang seolah-olah sedang berdoa.

c). Object (objek)

Pengaturan sikap atau posisi objek mesti sungguh-sungguh diperhatikan karena makna akan diserap dari objek yang diambil. Daya tarik akan semakin besar apabila objek yang digunakan bisa merujuk pada jejaring ide tertentu (rak buku merujuk pada intelektualitas) atau kalau mau lebih rumit lagi, simbol-simbol berkesan dalam masyarakat (pintu kamar gas yang menjadi tempat eksekusi mati seorang tahanan merujuk pada pintu gerbang pemakaman dalam mitologi kuno). Objek-objek ini bisa menjadi elemen luar biasa bagi proses pertandaan.

Contoh lainnya adalah “komposisi” objek-objek yang terdiri dari jendela yang terbuka kearah kebun anggur dan atap terbuat dari genteng; di depan jendela tersebut terdapat kaca mata tua, album foto, commit to user


(46)

dan pot bunga yang diletakkan di atas meja. Komposisi ini merujuk pada lokasi sekitar kira-kira sebelah selatan Loire ( yang khas dengan kebun anggur dan atap genteng), di rumah seorang kalangan borjuis (bunga-bunga diatas meja) dan berusia lanjut (kacamata tua) yang sedang mengenang tahun-tahun hidupnya (album foto).

Konotasi “menyeruak” keluar dari semua unit pertandaan, namun seolah scene dalam gambar tersebut direkam secara langsung dan spontan atau tanpa proses pertandaan.

d). Photogenia (fotogenia)

Teori tentang photogenia merupakan aspek-aspek teknis dalam produksi foto dan video seperti pada pencahayaan dan pencetakan hasil (Barthes, 2010;10). Dalam photogenia, pesan konotatif adalah gambar itu sendiri yang “diperhalus” dengan teknik-teknik pencahyaan dan pengurangan bias cahaya. Melalui “permainan” pencahayaan sebuah adegan bisa ditampilkan secara lebih dramatis atau romantis.

e). Aesthetisicm (estetis)

Aestheticism erat kaitannya dengan “seni”. Aestheticism berhubungan dengan keindahan. Dalam suatu adegan (scene) bisa ditemukan gambaran yang sudah diatur sedemikian rupa hingga tampak seperti lukisan. Ide-ide yang terkandung dalam aestheticism mirip dengan seni lukis. Aestheticism melihat pada makna keseluruhan makna gambar layaknya lukisan. Jika gambar biasa hanya menampilkan sosok, benda, dan menawarkan fakta saja tetapi aestheticism melihat secara keseluruhan. Gambar pedesaan di sore hari ketika matahari terbenam misalnya bisa diartikan sebagai ketenangan atau kedamaian.

f). Sintax (sintaksis)

Sintax adalah gabungan yang membentuk makna. Jika kelima syarat di atas hanya melihat adegan per-adegan maka sintax melibatkan beberapa scene untuk melihat makna konotasi yang terkandung di dalamnya. Makna konotasi identik dengan operasi ideologi yang disebutnya sebagai mitos dan berfungsi untuk mengungkapkan dan


(47)

memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.

Kata “mitos” berasal dari bahasa Yunani myhtos yang berarti

“kata”, “ujaran”, “kisah tentang dewa-dewa”. Sebuah mitos adalah narasi yang karakter-karakter utamanya adalah para dewa, para pahlawan dan makhluk mistis, plotnya berputar disekitar asal muasal benda-benda atau di sekitar makna benda-benda, dan settingnya adalah dunia metafisika yang dilawankan dengan dunia nyata. Pada tahap awal kebudayaan manusia, mitos berfungsi sebagai teori asli mengenal dunia. Seluruh kebudayaan telah menciptakan kisah-kisah untuk menjelaskan asal-usul mereka (Danesi, 2010;207). Menurut Urban (dalam Sobur, 2009;222), mitos adalah cara utama yang unik untuk memahami realitas. Menurut Molinowski (dalam Sobur, 2009;222) mitos adalah pernyataan purba tentang realitas yang lebih relevan.

Mitos dari Barthes mempunyai makna yang berbeda dengan konsep mitos dalam arti umum. Sebaliknya dari konsep mitos tradisional, mitos dari Barthes memaparkan fakta. Mitos adalah murni sistem ideografis. Hoed (ibid.59) menguraikan perjalanan konotasi menjadi mitos dari Barthes. Bagi Barthes, mitos adalah bahasa: le mythe est une parole. Konsep parole yang diperluas oleh Barthes dapat berbentuk verbal (lisan dan tulis) atau nonverbal: n’importe quelle matière peut être dotée arbitrairement de signification” materi apa pun dapat dimaknai secara arbitrer. Seperti kita ketahui, parole adalah realisasi dari langue. Oleh karena itu, mitos pun dapat sangat bervariasi dan lahir di dalam lingkup kebudayaan massa. Mitos merupakan perkembangan dari konotasi. Konotasi yang menetap pada suatu komunitas berakhir menjadi mitos. Pemaknaan tersebut terbentuk oleh kekuatan mayoritas yang memberi konotasi tertentu kepada suatu hal secara tetap sehingga lama kelamaan menjadi mitos: makna yang membudaya. Barthes membuktikannya dengan melakukan pembongkaran (dé montage sémiologique). Ciri-ciri mitos (Barthes, 1957;122-130) :


(48)

a). Deformatif. Barthes menerapkan unsur-unsur Saussure menjadi form (signifier), concept (signified). Ia menambahkan signification yang merupakan hasil dari hubungan kedua unsur tadi. Signification inilah yang menjadi mitos yang mendistorsi makna sehingga tidak lagi mengacu pada realita yang sebenarnya: The relation which unites the concept of the myth to its meaning is essentially a relation of deformation (Tallack, 1995;36). Pada mitos, form dan concept harus dinyatakan. Mitos tidak disembunyikan; mitos berfungsi mendistorsi, bukan untuk menghilangkan. Dengan demikian, form dikembangkan melalui konteks linear (pada bahasa) atau multidimensi (pada gambar). Distorsi hanya mungkin terjadi apabila makna mitos sudah terkandung di dalam form.

b). Intensional. Mitos merupakan salah satu jenis wacana yang dinyatakan secara intensional. Mitos berakar dari konsep historis. Pembacalah yang arus menemukan mitos tersebut. Contoh: Ketika ia berjalan-jalan di Spanyol, ia melihat kesamaan arsitektur rumah-rumah di sana dan ia mengenali arsitektur itu sebagai produk etnik: gaya basque. Secara pribadi, ia tidak merasa terdorong untuk menyebutnya dengan sebuah istilah. Namun, ketika ia berjalan-jalan di Paris dan ia melihat sebuah rumah yang, berbeda dengan sekitarnya, berbentuk villa kecil, rapi, bergenting merah, berdinding setengah kayu berwarna cokelat tua, beratap asimetris, secara spontan, ia menyebutnya sebagai villa bergaya basque.

c). Motivasi. Bahasa bersifat arbitrer, tetapi, kearbitreran itu mempunyai batas, misalnya melalui afiksasi, terbentuklah kata-kata turunan : baca-membaca-dibaca-terbaca-pembacaan. Sebaliknya, makna mitos tidak arbitrer, selalu ada motivasi dan analogi. Penafsir dapat menyeleksi motivasi dari beberapa kemungkinan motivasi. Mitos bermain atas analogi antara makna dan bentuk. Analogi ini bukan sesuatu yang alami, tetapi bersifat historis. Berikut ini beberapa contoh mitosnya. Hal minuman anggur di Prancis: denotasi dari anggur adalah minuman beralkohol yang bisa memabukkan. Barthes mengamatinya commit to user


(1)

DAFTAR PUSTAKA

Ardianto & Erdinaya, Lukiati Komala. 2007. Komunikasi massa: suatu pengantar. Bandung: Simbiosa Rekatama Media.

Bahari, Nooryan. 2008 . Kritik Seni Wacana, Apresiasi dan kreasi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Barthes, Roland. 1957. Mythologies. Paris: Seuil.

Barthes, Roland. 2010. Imaji, Musik, Teks. Yogyakarta: Jalasutra.

Barthes, Roland. 2011. Mitologi. Terj. Inyak Ridwan. Bantul: Kreasi Wacana.

Berger, Arthur. 2010. Pengantar Semiotika: Tanda-tanda Dalam Kebudayaan Kontemporer. Yogyakarta: Tiara Wacana.

Bungin, Burhan. 2008. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana Renada Media Group.

Budiman, Kris. 1999. Kosa Semiotika. Yogyakarta: LkiS.

Brutto, Vincent. 2002. The Filmmaker’s Guide to Production Design. New York: Allworth Press.

Classe, Oliver (Ed.). 2000. Encyclopedia of Literary Translation into English. (Vol.2). London: Fitzroy Dearborn Publishers.

Danesi, Marcel. 2010. Pesan, Tanda dan Makna. Yogyakarta: Jalasutra

Danesi, Marcel. 2010. Pengantar Memahami Semiotika Media. Yogyakarta: Jalasutra.

Danesi & Perron. 1999. Analyzing Cultures: An Introduction and Handbook (Advances in Semiotics). Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press.

Darwanto, S. 2007. Televisi Sebagai Media Pendidikan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Dyer, G. 2009. Advertising as Communication. London: Metheun & Co. Ltd.

Departemen Pendidikan Nasional. 2007. Kamus Besar BahasaIndonesia. Jakarta : Balai Pustaka.


(2)

Eco, Umberto. 2009. Teori Semiotika:Signifikasi Komunikasi, Teori kode, Serta Teori Produksi-Tanda. Terjemahan oleh Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Fiske, John. 2010. Cultural And Communication Studies: Sebuah Pengantar Paling Komprehensif. Terj. Yosal Iriantara dan Idi Subandy Ibrahim. Yogyakarta: Jalasutra.

Hoed, B.H. 2004. Bahasa dan Sastra dalam Tinjauan Semiotik dan Hermeneutik. di dalam Semiotika Budaya. Ed. T. Christomy dan Untung Yuwono. Depok: Pusat Pe-nelitian Kemasyarakatan dan Budaya, Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat, Universitas Indonesia.

Hoed, B.H. 2008. Semiotik dan Dinamika Sosial Budaya. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Unversitas Indonesia

Jefkins, Frank. 1997. Periklanan. Jakarta: Erlangga.

John, Little. 2009. Teori Komunikasi. Terjemahan oleh Moh. Yusuf Hamdan. Jakarta : Salemba Humanika.

John, Little., Stephen W. 1996. Theories of Human Communication. Fifth Edition. Belmont, California: Wasdsworth

Publishing Company.

Kaid, L. L. & Bacha, C. H. 2006. The SAGE Handbook of Political Advertising. California: SAGE Publications.

Kasali, Rhenald. 1992. Manajemen Periklanan. Jakarta : Sinar Grafika.

Kusrianti, Anik. 2004. Wacana Iklan Pigeon Two Way Cake Kajian Kohesi Tekstual dan Kontekstual. Analisis Wacana. Bandung: Pakar Raya.

Kothari, C.R. 2004. Research Metodology, Methods And Technique. New Delhi: New Age International Publisher.

Kotler, Philip. 1991. Marketing. Jakarta: Penerbit Erlangga.

Kotler, Philip. 2003. Marketing Insight A to Z, 80 Concepts Manager Need to Know. John Willey & Sons inc.

Madjadikara, Agus S. 2005. Bagaimana Biro Iklan Memproduksi Iklan. Gramedia: PT Gramedia Pustaka Utama.

Masak, Tanete Pong. 2002. Semiotik dalam Sinematografi: Teori Film Christian Metz. dalam E.K.M Masinambow & Rahayu S. Hidayat, Semiotik Kumpulan Makalah commit to user Seminar. Depok : Pusat


(3)

Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.

Metz, Christian. 1974. Film Language a Semiotics of The Cinema. Transl. Michael Taylor. Chicago: The University of Chicago Press.

Miles, Matthew B. & A. Michael Huberman. 1994. An Expanded Sourcebook Qualitative Data Analysis. California: SAGE Publication Inc.

Mulyana, Dedy. 2007. Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Cetakan ke11. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Noviani, Ratna. 2002. Jalan Tengah Memahami Iklan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Nöth, Winfried. 1995. Handbook of Semiotics. Bloomington dan Indianapolis: Indiana University Press.

Rakhmat, Jalaludin. 2005. Psikologi Komunikasi. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Ratna, Nyoman Kutha. 2010. Metodologi Penelitian Kajian Budaya dan Ilmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2012. Metodologi Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima Nusantara.

Saussure, Ferdinand de. 1916. Course in General Linguistics . Ed Charles Bally dan Albert Sechehaye. Trans Wade Baskin. New York: Philosophical Library.

Seger, Linda. 1987. Making a Good Script Great. Hollywood: Samuel French.

Selby, Keith dan Coedery, Ron. 1995. How to Study Television. London : Mc Millisan.

Shimp, Terence A. 1997. Advertising, promotion, and supplemental aspect of IMC. Orlando : Dreyden press.

Sobur, Alex. 2001. Etika Pers Profesionalisme dengan Nurani. Bandung: Humaniora Utama Pers.


(4)

Sobur, Alex. 2003. Semiotika Komunikasi. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Sobur, Alex. 2009. Analisis Teks Media:Suatu pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotika, dan Analisis Framing. Cetakan ke-5. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.

Suyanto, M. 2003. Multimedia: untuk meningkatkan keunggulan bersaing. Yogyakarta: Penerbit Andi.

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Iklan Politik Dalam Realitas Media. Yogjakarta: Jala Sutra.

Tinarbuko, Sumbo. 2009. Semiotika Komunikasi Visual. Cetakan ke-3. Yogyakarta: Jalasutra.

Picken, Jonathan D. 2007 Literature, Metaphor, and the Foreign Language Learner. Hampshire: Palgrave Macmillan.

Piliang, Yasraf Amir. 1998. Sebuah Dunia yang Dilipat, Realitas Kebudayaan Menjelang Milenium Ketiga dan Matinya Modernisme. Bandung : Penerbit Mizan.

Pratista, Himawan. 2008. Memahami Film. Cetakan ke-2. Yogyakarta: Homerian Pustaka.

Van Zoest, Aart. 1996. Semiotika. Jakarta: Yayasan Sumber Agung.

Wibowo, Indiwan. 2011. Semiotika Komunikasi-Aplikasi Praktis bagi Penelitian dan Skripsi Komunikasi. Jakarta : Mitra Wacana Media.

Wibowo, Wahyu. 2003. Sihir Iklan Format Komunilkasi Mondial dalam Kehidupan Urban Kosmopolit. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Widyatama, Rendra. 2007. Pengantar Periklanan, Yogyakarta Pustaka Book Publisher.


(5)

Sumber Tesis dan Jurnal

Aji, Fajar, 2014. Struktur dramatik film Nagabonar Jadi2. Tesis Program Pascasarjana Pengkajian Seni.

Fitri, Nidya. 2011. Eksplorasi dan Signifikasi tanda dalam iklan rokok A Mild. Tesis Program Pascasarjana Studi Lingustik.

Hartanto D Duto, 1999. Peranan Keyword (kata kunci) dalam iklan, Jurnal Nirmana Vol. 1, No. 2, Juli 1999 : hal 79 – 94.

Jufri. 2005. Penggunaan Kosa Kata dalam Wacana Berita tentang SBY

Sekitar Pemilu 2004”. Jurnal Wacana Kritis, Vol. 10,

Januari 2005, hal. 1-11.

Karla N, Elara. 2014. Mitos tembang durma Kuntilanak dalam film horor Kuntilanak. Tesis Program Pascasarjana Pengkajian Seni. Loisa, Riris. 2009. Alat-alat Propaganda di Dalam Iklan Para Calon

Presiden, Jurnal Komunikasi Universitas Tarumanagara, Tahun I/01/2009 hal 62-72.

Madiyant, Muslikh. 2003. Sinemasastra: Mencari bahasa didalam teks visual. Jurnal Humaniora Vol 15 No. 2 Juni 2003 Halaman 163 171.

Mulyawan, I Wayan, 2008. Makna dan Pesan iklan media cetak; Kajian Hipersemiotika, Jurnal Linguistika. Vol. 15, No. 28, Maret 2008.

Rachdian S, Rizky. 2012. Indonesia, Nasionalisme, dan Iklan (Analisis resepsi tiga iklan televisi dengan tema ke-Indonesian). Tesis Universita Indonesia.


(6)

Sumber Internet

Milkhan. 8 Juli 2013. Politikus memolitisasi ramadhan. solopos.com diakses, 28 Nopember 2014.

Baharudin. 24 Juli 2013. Ramadhan bukan bulan politik. Kompasiana.com. diakses, 28 Nopember 2014.

Rais, Taufig. Melihat Lebih Dekat Keindahan Alam Indonesia di Iklan Djarum Super. djarumbeasiswaplus.org. diakses, 28

Nopember 2014.

Damarjati , Danu. 14 Maret2014. Daya Tarik Joko Widodo. detikNews. diakses, 28 Nopember 2014.

www.iklancapres.org/iklan. Belanja iklan Jokowi-JK. diakses, 28

Nopember 2014.