Rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan studi kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

(1)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(2)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO Nrp: C.561020094

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(3)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul :

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Merupakan hasil karya sendiri, dengan pembimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diserahkan untuk pencapaian prestasi akademik apapun melalui perguruan tinggi manapun.

Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan dalam penyusunan disertasi ini, telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2009

Y.A BUDHI JATMIKO NRP. C.561020094


(4)

ABSTRACT

Y.A. BUDHI JATMIKO. DEVELOPMENT PATTERN DESIGN OF FISHERIES INDUSTRIAL PRODUCT, Case study : Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon. Under Supervision: JOHN HALUAN as the chief of the commission, with HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and MITA WAHYUNI as the members of the commission.

Fish processing unit activities is one of commodity industry which is potential to develop as a great source of national territorial waters. Nevertheless, there are many problems in developing this industry, such as raw material production aspect, sanitation and hygiene.

Purpose of the research were to design the development of fish industrial product, the research consisted of 3 main steps:

1. Identifying the production of captured fisheries as a source of raw material used for fish processing unit activities.

2. Determining the main product of captured fisheries.

3. Determining the development pattern design of fish processing unit activities.

Based on the analysis, potential commodities of Cilacap regency were multi species fish. Potential commodities of Pelabuhanratu – Sukabumi Regency were eaglerays fish. Potential commodities of DKI Jakarta Province were shark fish and potential commodities of Cirebon Regency were eaglerays fish.

Prime product of Cilacap Regency is surimi of multi species fish, surimi of eaglerays fish from Pelabuhanratu – Sukabumi Regency, surimi of shark fish from DKI Jakarta Province and surimi of eaglerays fish from Cirebon Regency. The financial feasibility of Cilacap Regency’s NPV is Rp 2.510.361.474,- Net B/C 2,24 and PBP 3,27 years, Pelabuhanratu – Sukabumi Regency’s NPV is Rp 282.620.155,- Net B/C 1,62 and PBP 6,61 years, DKI Jakarta Province’s NPV is Rp 2.601.926.215,- Net B/C 1,97 and PBP 3,76 years and Cirebon Regency’s NPV is Rp 4.788.037.931,- Net B/C 2,34 and PBP 3,15 years.

The development strategy of surimi processing industrial needs efforts from government, stakeholders and financial institution. The government, needs to support the surimi industrialist by giving the financial reinforcement, technical assistance, promotion, guidance for financial institution and lead to partnership with processing industry of fish jelly product and fish captured industries.


(5)

RINGKASAN

Y.A BUDHI JATMIKO. RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN, Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon, Dibimbing oleh JOHN HALUAN sebagai ketua komisi, dengan anggota HARTRISARI HARDJOMIDJOJO dan MITA WAHYUNI.

Usaha pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu jenis industri yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini mengingat potensi sumberdaya ikan dari perairan nasional sangat besar, terlebih sumberdaya ikan yang berasal dari laut juga potensial. Namun demikian masih banyak persoalan dan masalah yang menghambat perkembangannya, antara lain aspek produksi bahan baku untuk industri pengolahan, aspek sanitasi dan higiene di rantai penangkapan, pendaratan dan pada unit pengolahan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan khususnya ikan yang dihasilkan dari tangkapan laut, melalui tahapan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi produksi perikanan tangkap yang kontinyu didaratkan, (2) menentukan produk unggulan, (3) menentukan rancangan model pengembangan usaha pengolahan produk unggulan.

Rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan dirancang dalam suatu program komputer dengan nama SPK Perikanan, melalui subsistem kelayakan finansial untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan industri pengolahan hasil perikanan yang dirumuskan dengan kriteria Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Pay Back Period (PBP).

Berdasarkan hasil analisis, komoditas potensial Kabupaten Cilacap adalah ikan campuran (multi species). Komoditas potensial Pelabuhanratu adalah ikan pari. Komoditas potensial DKI Jakarta adalah ikan cucut dan komoditas potensial Kabupaten Cirebon adalah ikan pari.

Produk unggulan Kabupaten Cilacap surimi ikan campuran (multi species), produk unggulan DKI Jakarta adalah surimi ikan cucut, produk unggulan Pelabuhanratu surimi ikan pari dan produk unggulan Kabupaten Cirebon surimi ikan pari.

Dengan berkembangnya olahan produk surimi di suatu daerah akan berdampak positif terhadap meningkatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatnya keuntungan finansial para pelaku usaha baik terhadap pengolah itu sendiri maupun terhadap para nelayan sebagai pemasok bahan baku.

Analisis kelayakan finansial terhadap industri pengolahan surimi di Kabupaten Cilacap menggunakan bahan baku ikan campuran (multi species)

dengan kapasitas produksi sebesar 818.400 kg/th menghasilkan NPV Rp. 2.510.361.474,- ; Net B/C 2,24 dan PBP 3,27 tahun. Industri pengolahan

surimi di wilayah Pelabuhanratu menggunakan bahan baku ikan pari dengan kapasitas produksi sebesar 108.460 kg/th menunjukkan NPV Rp.


(6)

282.620.155,-; Net B/C 1,62 dan PBP 6,61 tahun. Industri pengolahan surimi dari ikan cucut untuk wilayah DKI Jakarta pada kapasitas produksi 1.141.700 kg/th menunjukkan NPV Rp. 2.601.926.215,- ; Net B/C 1,97 dan PBP 3,76 tahun. Industri pengolahan surimi di Kabupaten Cirebon menggunakan bahan baku ikan pari dengan kapasitas produksi 1.864.900 kg/th menunjukkan NPV Rp. 4.788.037.931,- ; Net B/C 2,34 dan PBP 3,15 tahun.

Keempat daerah penelitian menunjukkan NPV yang tinggi, Net B/C > 1 dan PBP antara 3,15 tahun sampai dengan 6,61 tahun, artinya proyek ini hanya memerlukan waktu pengembalian/menutup biaya investasi awal kurang dari 7 tahun. Dari analisis ini maka pengolahan surimi dari ikan potensial layak untuk dikembangkan di Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon.

Strategi pengembangan usaha pengolahan surimi dengan kerjasama yang sinergi antara pemerintah, pelaku usaha dan lembaga keuangan. Pihak pemerintah perlu memberikan dukungan penuh kepada pengolah surimi melalui penguatan modal, bimbingan teknis, promosi, pendampingan terhadap lembaga keuangan dan memfasilitasi terjadinya kemitraan dengan industri pengolahan

fish jelly product serta industri penangkapan sebagai pemasok bahan baku pengolahan surimi.

Kata kunci: Rancangan model, pengembangan usaha pengolahan, produk unggulan.


(7)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(8)

Persembahan untuk isteri dan kedua buah hati tercinta yang tiada lelah

mendoakan serta penuh keikhlasan mendukung dan berkorban :

M.G. Sri Sudarini S.pd

V. Adhisurya Rakasiwi S.E.Ak.

Monica Dhika Prameswari S.Farm.,Apt


(9)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN

HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(10)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup Tanggal 5 Februari 2008: 1. Prof. Dr. Ir. Musa Hubies, Dipl.Ing.DEA

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Tanggal 17 Maret 2009: 1. Dr. Agus Heri Purnomo, M.Sc


(11)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(12)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO Nrp: C.561020094

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar DOKTOR

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR 2009


(13)

PERNYATAAN

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul :

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA

PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Merupakan hasil karya sendiri, dengan pembimbingan komisi pembimbing dan belum pernah diserahkan untuk pencapaian prestasi akademik apapun melalui perguruan tinggi manapun.

Semua sumber data dan informasi yang dipergunakan dalam penyusunan disertasi ini, telah dinyatakan secara jelas dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka dibagian akhir disertasi ini.

Bogor, September 2009

Y.A BUDHI JATMIKO NRP. C.561020094


(14)

ABSTRACT

Y.A. BUDHI JATMIKO. DEVELOPMENT PATTERN DESIGN OF FISHERIES INDUSTRIAL PRODUCT, Case study : Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon. Under Supervision: JOHN HALUAN as the chief of the commission, with HARTRISARI HARDJOMIDJOJO and MITA WAHYUNI as the members of the commission.

Fish processing unit activities is one of commodity industry which is potential to develop as a great source of national territorial waters. Nevertheless, there are many problems in developing this industry, such as raw material production aspect, sanitation and hygiene.

Purpose of the research were to design the development of fish industrial product, the research consisted of 3 main steps:

1. Identifying the production of captured fisheries as a source of raw material used for fish processing unit activities.

2. Determining the main product of captured fisheries.

3. Determining the development pattern design of fish processing unit activities.

Based on the analysis, potential commodities of Cilacap regency were multi species fish. Potential commodities of Pelabuhanratu – Sukabumi Regency were eaglerays fish. Potential commodities of DKI Jakarta Province were shark fish and potential commodities of Cirebon Regency were eaglerays fish.

Prime product of Cilacap Regency is surimi of multi species fish, surimi of eaglerays fish from Pelabuhanratu – Sukabumi Regency, surimi of shark fish from DKI Jakarta Province and surimi of eaglerays fish from Cirebon Regency. The financial feasibility of Cilacap Regency’s NPV is Rp 2.510.361.474,- Net B/C 2,24 and PBP 3,27 years, Pelabuhanratu – Sukabumi Regency’s NPV is Rp 282.620.155,- Net B/C 1,62 and PBP 6,61 years, DKI Jakarta Province’s NPV is Rp 2.601.926.215,- Net B/C 1,97 and PBP 3,76 years and Cirebon Regency’s NPV is Rp 4.788.037.931,- Net B/C 2,34 and PBP 3,15 years.

The development strategy of surimi processing industrial needs efforts from government, stakeholders and financial institution. The government, needs to support the surimi industrialist by giving the financial reinforcement, technical assistance, promotion, guidance for financial institution and lead to partnership with processing industry of fish jelly product and fish captured industries.


(15)

RINGKASAN

Y.A BUDHI JATMIKO. RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN, Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon, Dibimbing oleh JOHN HALUAN sebagai ketua komisi, dengan anggota HARTRISARI HARDJOMIDJOJO dan MITA WAHYUNI.

Usaha pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu jenis industri yang sangat potensial untuk dikembangkan. Hal ini mengingat potensi sumberdaya ikan dari perairan nasional sangat besar, terlebih sumberdaya ikan yang berasal dari laut juga potensial. Namun demikian masih banyak persoalan dan masalah yang menghambat perkembangannya, antara lain aspek produksi bahan baku untuk industri pengolahan, aspek sanitasi dan higiene di rantai penangkapan, pendaratan dan pada unit pengolahan.

Penelitian ini bertujuan untuk membuat rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan khususnya ikan yang dihasilkan dari tangkapan laut, melalui tahapan sebagai berikut: (1) mengidentifikasi produksi perikanan tangkap yang kontinyu didaratkan, (2) menentukan produk unggulan, (3) menentukan rancangan model pengembangan usaha pengolahan produk unggulan.

Rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan dirancang dalam suatu program komputer dengan nama SPK Perikanan, melalui subsistem kelayakan finansial untuk mengetahui tingkat kelayakan produk unggulan industri pengolahan hasil perikanan yang dirumuskan dengan kriteria Net Present Value (NPV), Net Benefit Cost Ratio (Net B/C) dan Pay Back Period (PBP).

Berdasarkan hasil analisis, komoditas potensial Kabupaten Cilacap adalah ikan campuran (multi species). Komoditas potensial Pelabuhanratu adalah ikan pari. Komoditas potensial DKI Jakarta adalah ikan cucut dan komoditas potensial Kabupaten Cirebon adalah ikan pari.

Produk unggulan Kabupaten Cilacap surimi ikan campuran (multi species), produk unggulan DKI Jakarta adalah surimi ikan cucut, produk unggulan Pelabuhanratu surimi ikan pari dan produk unggulan Kabupaten Cirebon surimi ikan pari.

Dengan berkembangnya olahan produk surimi di suatu daerah akan berdampak positif terhadap meningkatnya penyerapan tenaga kerja, meningkatnya Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkatnya keuntungan finansial para pelaku usaha baik terhadap pengolah itu sendiri maupun terhadap para nelayan sebagai pemasok bahan baku.

Analisis kelayakan finansial terhadap industri pengolahan surimi di Kabupaten Cilacap menggunakan bahan baku ikan campuran (multi species)

dengan kapasitas produksi sebesar 818.400 kg/th menghasilkan NPV Rp. 2.510.361.474,- ; Net B/C 2,24 dan PBP 3,27 tahun. Industri pengolahan

surimi di wilayah Pelabuhanratu menggunakan bahan baku ikan pari dengan kapasitas produksi sebesar 108.460 kg/th menunjukkan NPV Rp.


(16)

282.620.155,-; Net B/C 1,62 dan PBP 6,61 tahun. Industri pengolahan surimi dari ikan cucut untuk wilayah DKI Jakarta pada kapasitas produksi 1.141.700 kg/th menunjukkan NPV Rp. 2.601.926.215,- ; Net B/C 1,97 dan PBP 3,76 tahun. Industri pengolahan surimi di Kabupaten Cirebon menggunakan bahan baku ikan pari dengan kapasitas produksi 1.864.900 kg/th menunjukkan NPV Rp. 4.788.037.931,- ; Net B/C 2,34 dan PBP 3,15 tahun.

Keempat daerah penelitian menunjukkan NPV yang tinggi, Net B/C > 1 dan PBP antara 3,15 tahun sampai dengan 6,61 tahun, artinya proyek ini hanya memerlukan waktu pengembalian/menutup biaya investasi awal kurang dari 7 tahun. Dari analisis ini maka pengolahan surimi dari ikan potensial layak untuk dikembangkan di Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon.

Strategi pengembangan usaha pengolahan surimi dengan kerjasama yang sinergi antara pemerintah, pelaku usaha dan lembaga keuangan. Pihak pemerintah perlu memberikan dukungan penuh kepada pengolah surimi melalui penguatan modal, bimbingan teknis, promosi, pendampingan terhadap lembaga keuangan dan memfasilitasi terjadinya kemitraan dengan industri pengolahan

fish jelly product serta industri penangkapan sebagai pemasok bahan baku pengolahan surimi.

Kata kunci: Rancangan model, pengembangan usaha pengolahan, produk unggulan.


(17)

© Hak cipta milik Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(18)

Persembahan untuk isteri dan kedua buah hati tercinta yang tiada lelah

mendoakan serta penuh keikhlasan mendukung dan berkorban :

M.G. Sri Sudarini S.pd

V. Adhisurya Rakasiwi S.E.Ak.

Monica Dhika Prameswari S.Farm.,Apt


(19)

RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN

HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

Y.A. BUDHI JATMIKO

Disertasi

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Doktor

pada

Program Studi Teknologi Kelautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2009


(20)

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Tertutup Tanggal 5 Februari 2008: 1. Prof. Dr. Ir. Musa Hubies, Dipl.Ing.DEA

Penguji Luar Komisi Pada Ujian Terbuka Tanggal 17 Maret 2009: 1. Dr. Agus Heri Purnomo, M.Sc


(21)

Judul Disertasi : RANCANGAN MODEL PENGEMBANGAN USAHA PENGOLAHAN HASIL PERIKANAN

Studi Kasus: Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon

N a m a : Y.A. Budhi Jatmiko

N R P : C.561020094

Program Studi : Teknologi Kelautan ( TKL )

Disetujui : Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc Ketua

Dr. Ir. Mita Wahyuni M.Sc Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA Anggota Anggota

Diketahui :

Ketua Program Studi Teknologi Dekan Sekolah Pascasarjana Kelautan

Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS


(22)

PRAKATA

Puji Tuhan, atas kuasa dan kehendak Tuhan jualah sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini. Karya ilmiah dalam bentuk disertasi merupakan salah satu syarat untuk mencapai gelar doktor di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari, bahwa tanpa bantuan pihak lain disertasi ini tidak akan dapat terselesaikan. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu , baik secara langsung maupun tidak langsung dalam penyelesaian disertasi ini.

Secara khusus penulis menyampaikan ucapan terima kasih dan penghargaan yang tulus kepada Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc selaku ketua komisi pembimbing dalam penyusunan disertasi ini. Hal yang sama penulis sampaikan kepada Dr. Ir. Hartrisari Hardjomidjojo, DEA dan Dr. Ir. Mita Wahyuni M.Sc selaku anggota komisi pembimbing sekaligus dosen sejak penulis mengikuti pendidikan pada program Pascasarjana (S3) pada tahun 2002, yang telah banyak memberikan bimbingan dan ilmu selama penulis menempuh pendidikan. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada para anggota tim penguji luar komisi, yang telah memberikan kritik sekaligus masukan konstruktif guna penyempurnaan disertasi ini.

Dalam kesempatan ini penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Bapak Prof. Dr. Martani Huseini selaku Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (P2HP) Departemen Kelautan dan Perikanan yang telah memberikan ijin dan kesempatan kepada penulis untuk menempuh pendidikan doktor di Institut Pertanian Bogor.

2. Bapak Rektor IPB, Dekan Sekolah Pascasarjana Prof. Dr. Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS, Bapak Ketua Program Studi Teknologi Kelautan, Prof. Dr. Ir. John Haluan M.Sc beserta seluruh staf pengajar dan staf administrasi pada program studi Teknologi Kelautan (TKL) atas semua


(23)

bantuan dan fasilitas yang disediakan sehingga penulis dapat mengikuti pendidikan dengan baik dan lancar.

3. Bapak Ir. Santoso M.Phil selaku Kepala Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk menyelesaikan pendidikan program S3 di Institut Pertanian Bogor.

4. Bapak Ir. Nazori Djazuli M.Sc selaku Direktur Standardisasi dan Akreditasi yang telah memberikan dorongan dan motivasi kepada penulis untuk dapat menyelesaikan pendidikan program S3 di Institut Pertanian Bogor ini.

5. Teman-teman seperjuangan dan seangkatan pada program S3 kelas khusus program studi Teknologi Kelautan angkatan 2002, mereka telah banyak memberikan bantuan, dorongan, kritik dan saran kepada penulis. Sayang, pada akhirnya penulis dan mereka sudah harus mulai berpisah untuk menentukan jalannya masing-masing dalam menjalani proses pengabdian selanjutnya.

Akhirnya penulis menyampaikan penghargaan dan terima kasih secara khusus kepada kakakku, Sri Hartiti dan Sugeng Priyadi yang tak henti-hentinya memberikan motivasi dan doa untuk keberhasilan dan kesuksesan penulis.

Sesungguhnya, ketika menjalani kehidupan masa kecil dulu di sebuah Desa Gemolong wilayah Solo Jawa Tengah yang penuh dengan kesulitan, penulis tidak pernah membayangkan apalagi bermimpi bahwa salah seorang diantara kami bisa sampai pada jenjang pendidikan Strata tiga (S3).

Penghargaan dan terima kasih khusus juga kami tujukan kepada istri, M.G. Sri Sudarini dan putra-putri kami, V. Adhi Surya Rakasiwi S.E. Ak. dan Monica Dhika Prameswari S.Farm. yang selama penulis menjalankan pendidikan program Pascasarjana di Institut Pertanian Bogor, selalu memberikan dukungan dan dorongan/motivasi serta menerima dengan penuh pengertian, sehingga penulis dapat menyelesaikan pendidikan ini.


(24)

Penulis menyadari bahwa disertasi ini masih ada kekurangannya, untuk itu kritik dan saran yang konstruktif dari semua pihak selalu penulis harapkan. Terima kasih.

Bogor, September 2009


(25)

RIWAYAT HIDUP

Y.A. BUDHI JATMIKO, lahir di Solo Jawa Tengah pada tanggal 8 Pebruari 1956 dari ayah bernama Yososumarto dan ibu bernama Sukasri yang saat ini sudah almarhum. Penulis merupakan anak ke 4 dari 5 bersaudara. Pendidikan dasar diselesaikan di SDN I Gemolong-Sragen pada tahun 1968, melanjutkan pendidikan di SMPN IV Solo dan tamat pada tahun 1971, pendidikan selanjutnya dijalani di SMAN II Solo hingga tamat pada tahun 1974. Pada tahun 1975 penulis melanjutkan belajar di PGSLP Solo dan lulus pada tahun yang sama.

Jenjang pendidikan Akademi, penulis selesaikan pada Akademi Usaha Perikanan (AUP) Jakarta dan lulus tahun 1980. Pada tahun 1987 penulis menyelesaikan pendidikan pada program Diploma IV di Pendidikan Ahli Usaha Perikanan (AUP) Jakarta, selanjutnya Penulis berkesempatan melanjutkan jenjang pendidikan S2 pada Magister Manajemen (MM) yang diselenggarakan oleh IPWI Jakarta dan lulus pada tahun 1997. Penulis mengakhiri pendidikan formal saat ini pada Institut Pertanian Bogor (IPB) Program Studi Teknologi Kelautan (TKL) Strata 3 sejak tahun 2002 sampai tahun 2009 ini.

Penulis mengawali karir dalam jabatan struktural sebagai Kepala Sub Seksi Sarana Pelabuhan pada Pelabuhan Perikanan Pantai Banjarmasin Kalimantan Selatan dari tahun 1980 sampai dengan tahun 1983 dan sejak tahun 1984 sampai dengan sekarang (2007) atau sekitar 23 tahun bekerja pada Balai Besar Pengembangan dan Pengendalian Hasil Perikanan (BBP2HP) direktorat Jenderal P2HP-Departemen Kelautan dan Perikanan. Saat ini penulis dipercaya mengemban jabatan Struktural pada BBP2HP sebagai Kepala Bidang Monitoring Mutu Hasil Perikanan.

Penulis menikah dengan Sri Sudarini pada tanggal 22 Mei 1982 di kota Solo dan sampai saat ini telah dikaruniai dua orang anak, yaitu Victor Adhi Surya Rakasiwi S.E.Ak. (26 tahun) dan Monica Dhika Prameswari S.Farm., Apt (24 tahun).


(26)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI... i DAFTAR ISTILAH……….. iii DAFTAR TABEL... vi DAFTAR GAMBAR... viii DAFTAR LAMPIRAN... ix 1 PENDAHULUAN... 1

1.1 Latar Belakang... 1 1.2 Rumusan Masalah ... 5 1.3 Formulasi Masalah... 7 1.4 Tujuan Penelitian ... 7 1.5 Ruang Lingkup Penelitian ... 8 1.6 Kerangka Pikir Penelitian... 8 1.7 Keluaran yang Diharapkan ... 11 1.8 Manfaat Penelitian ... 11

2 TINJAUAN PUSTAKA... 12 2.1 Potensi dan Produksi Perikanan ... 12 2.2 Sistem ... 15

2.2.1 Keunggulan pendekatan sistem... 17 2.2.2 Metode perbandingan eksponensial ... 18 2.2.3 Proses metode perbandingan eksponensial ... 19 2.3 Prinsip-prinsip Dasar Teknologi Pengolahan Modern ... 20 2.4 Berbagai Teknologi Pengolahan Tradisional... 22

2.4.1 Pengeringan... 22 2.4.2 Penggaraman ... 24 2.4.3 Fermentasi ... 28 2.4.4 Pengasapan... 30 2.4.5 Produk adonan... 30 2.4.6 Disposisi olahan produk tradisional hasil perikanan... 31 2.5 Surimi dan Fish Jelly Product... 32

2.5.1 Teknologi pengolahan surimi ... 32 2.5.2 Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap

mutu surimi ... 34 2.5.3 Teknologi pengolahan fish jelly product... 37 2.6 Tinjauan Studi Terdahulu yang Relevan ... 39 2.7 Sistem Penunjang Keputusan (Decision Support System)... 42


(27)

3 METODOLOGI PENELITIAN... 45 3.1 Tempat dan Waktu Penelitian ... 45 3.2 Metode Penelitian ... 45 3.2.1 Pemilihan komoditas potensial... 46 3.2.2 Pemilihan produk unggulan ... 46 3.3 Pengumpulan Data, Jenis dan Sumber Data ... 48 3.4 Jenis dan Sumber Data... 49 3.5 Analisis Data ... 51

4 HASIL DAN PEMBAHASAN... 56 4.1 Gambaran Umum Daerah Penelitian ... 56 4.2 Pemilihan Komoditas Potensial... 63 4.3 Pemilihan Produk Unggulan... 80 4.4 Analisis Kelayakan Finansial Produk Unggulan... 86

4.4.1 Asumsi kelayakan finansial di Kabupaten Cilacap... 87 4.4.2 Asumsi kelayakan finansial di Pelabuhanratu... 88 4.4.3 Asumsi kelayakan finansial di DKI Jakarta ... 89 4.4.4 Asumsi kelayakan finansial di Kabupaten Cirebon ... 90 4.5 Strategi Pengembangan Usaha Pengolahan Surimi... 91 4.6 Rancangan Model Pengembangan Usaha Pengolahan

Hasil Perikanan... 96

5 KESIMPULAN DAN SARAN... 98 5.1 Kesimpulan ... 98 5.2 Saran ... 100

DAFTAR PUSTAKA... 101 LAMPIRAN


(28)

DAFTAR ISTILAH

Definisi-definisi :

1). Pengertian Usaha Menengah, Kecil dan Mikro menurut :

(1) ADB

Usaha mikro adalah usaha-usaha non-pertanian yang mempekerjakan kurang dari 10 orang termasuk pemilik usaha dan anggota keluarga (ADB Report.op.cit.)

(2) Bank Dunia

Usaha mikro merupakan usaha gabungan (partnership) atau usaha keluarga dengan tenaga kerja kurang dari 10 orang, termasuk didalamnya usaha yang hanya dikerjakan oleh satu orang yang sekaligus bertindak sebagai pemilik (self-employed). Usaha mikro sering merupakan usaha tingkat survival (usaha mempertahankan

hidup-survival level activities) yang kebutuhan keuangannnya dipenuhi oleh tabungan dan pinjaman berskala kecil.

(http://web.worldbank.org/WBSITE/EKSTERNAL/NEWS/().contentMD:20 026975).

(3) BPS

Industri kerajinan rumah tangga yaitu perusahaan/usaha industri pengolahan yang mempunyai pekerja 1 – 4 orang, sedangkan industri kecil mempekerjakan 5 – 19 orang.

(4) Departemen Kelautan dan Perikanan (Peraturan No. 18/MEN/2006)

Perbedaan skala usaha pengolahan hasil perikanan ditetapkan berdasarkan parameter Omset, Asset, Jumlah tenaga kerja, Status hukum dan perijinan, teknis dan manajerial.

Usaha pengolahan hasil perikanan skala mikro memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 20-44; Skala kecil memiliki nilai kumulatif


(29)

parameter skala usaha antara 45-69; Skala Menengah memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 70-89; Skala Besar memiliki nilai kumulatif parameter skala usaha antara 90-100.

(5) Departemen Keuangan

Usaha mikro adalah usaha produktif milik keluarga atau perorangan WNI yang memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1000.000.000 per tahun, sedangkan usaha kecil memiliki hasil penjualan paling banyak Rp 1 milyar per tahun (SK Menteri Keuangan No.40/KMK.06/2003)

(6) Departemen Perindustrian dan Perdagangan

Industri kecil adalah kegiatan industri dengan nilai investasi kurang dari 200 juta rupiah dan industri menengah nilai investasinya kurang dari 10 milyar rupiah tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha.

(7) Farbman dan Lessik (1989)

Usaha mikro mempunyai karakteristika antara lain mempekerjakan paling banyak 10 orang pekerja, merupakan usaha keluarga dan menggunakan tenaga kerja keluarga, lokasi kerja biasanya di rumah, menggunakan teknologi tradisional, dan berorientasi pasar lokal.

(8) ILO

Usaha mikro di negara berkembang mempunyai karakteristik, antara lain usaha dengan maksimal 10 orang pekerja, berskala kecil, menggunakan teknologi sederhana, aset minim, kemampuan manejerial rendah dan tidak membayar pajak.

(9) Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah

Usaha mikro dan usaha kecil adalah suatu badan usaha milik WNI baik perorangan maupun berbadan hukum yang memiliki kekayaan bersih (tidak termasuk tanah dan bangunan) sebanyak-banyaknya Rp 200 juta dan atau mempunyai omzet/nilai output atau hasil penjualan rata-rata per tahun sebanyak-banyaknya Rp 1 milyar dan usaha tersebut berdiri sendiri.


(30)

(10) Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional

Pengusaha mikro adalah pemilik atau pelaku kegiatan usaha skala mikro di semua sektor ekonomi dengan kekayaan diluar tanah dan bangunan maksimum Rp 25 juta.

(11) USAID

Usaha mikro adalah kegiatan bisnis yang mempekerjakan maksimal 10 orang pegawai termasuk anggota keluarga yang tidak dibayar. Kadangkala hanya melibatkan 1 orang, yaitu pemilik yang sekaligus menjadi pekerja, kepemilikan aset dan pendapatannya terbatas (http://www.usaidmikro.org/About).

2). Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka edisi 3 tahun 2002 yang dimaksud dengan:

(1) Komoditas Potensial adalah barang dagangan utama berupa bahan mentah yang telah memenuhi kriteria tertentu dan mempunyai kemampuan untuk dapat dikembangkan.

(2) Produk Unggulan adalah barang/jasa yang dibuat dan ditambah nilai/ gunanya melalui proses produksi sehingga menjadi produk akhir yang mempunyai nilai lebih tinggi untuk dikembangkan.

3). Definisi dan pengertian industri menurut Departemen Perindustrian R.I melalui Surat Keputusan Menteri omor 78/M-IND/PER/9/2007 tanggal 28 September 2007, yang dimaksud dengan Industri adalah kegiata ekonomi yang mengolah bahan mentah, bahan baku, barang setengah jadi dan/atau barang jadi menjadi barang jadi dengan nilai yang lebih tinggi untuk penggunaannya, termasuk kegiatan rancang bangun dan perekayasan industri. Jenis/macam industri berdasarkan tempat bahan baku, perikanan merupakan industri ekstraktif yaitu industri yang bahan bakunya diambil langsung dari alam sekitar.


(31)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap

pada tahun 2000-2005 (dalam ton) ... 12 2. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap

pada tahun 2000-2005 (dalam ton) potensi dan produksi (103

ton/tahun) ... 14 3. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan

pantai di Jawa Tengah... 15 4. Perlakuan produksi perikanan tangkap tahun 2004 menurut cara

perlakuan berdasarkan wilayah pendaratan (dalam ton) ... 31 5. Cara dan tujuan aspek teknis produksi surimi ... 37 6. Jenis dan sumber data ... 49 7. Analisis kebutuhan para pelaku dengan kebutuhannya... 53 8. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan kabupaten/kota di

pantai utara dan selatan Provinsi Jawa Tengah (2002 – 2006)... 57 9. Produksi dan nilai hasil perikanan menurut kabupaten/kota di

pantai selatan Provinsi Jawa Barat tahun 2004 ... 59 10. Produksi dan nilai hasil perikanan menurut kabupaten/kota di

pantai utara Provinsi Jawa Barat Tahun 2004 ... 63 11. Produksi perikanan tangkap yang kontinyu didaratkan di

Kabupaten Cilacap (2002 – 2006)... 64 12. Ranking jenis ikan berdasarkan nilai ekonomi di Kabupaten

Cilacap... 65 13. Serapan industri dari produksi perikanan Cilacap ... 66 14. Pemilihan komoditas potensial dari jenis ikan yang belum diserap

Unit Pengolahan Ikan (UPI) modern ... 67 15. Produksi perikanan yang kontinyu didaratkan di Pelabuhanratu

(2002 – 2006) ... 68 16. Ranking jenis ikan berdasarkan nilai ekonomi di Pelabuhanratu... 69 17. Produksi perikanan tangkap Pelabuhanratu dan serapan industri... 70 18. Pemilihan komoditas potensial dari jenis ikan yang belum diserap

Unit Pengolahan Ikan (UPI) modern ... 71 19. Produksi perikanan yang kontinyudidaratkan di DKI Jakarta (2002

– 2006) ... 72 20. Ranking jenis ikan berdasarkan nilai ekonomi di DKI Jakarta ... 73 21. Produksi perikanan DKI Jakarta dan serapan industri ... 74 22. Pemilihan komoditas potensial dari jenis ikan yang belum diserap

Unit Pengolahan Ikan (UPI) ... 75


(32)

23. Produksi perikanan tangkap yang kontinyu didaratkan di

Kabupaten Cirebon (2002-2006) ... 76 24. Ranking jenis ikan berdasarkan nilai ekonomi di Kabupaten

Cirebon ... 77 25. Produksi perikanan Kabupaten Cirebon dan serapan industri... 78 26. Pemilihan komoditas potensial dari jenis ikan yang belum diserap

Unit Pengolahan Ikan (UPI) ... 79 27. Pemilihan produk potensial di Kabupaten Cilacap... 80 28. Mutu surimi ikan campuran (multi species) dalam teknologi

pengolahan surimi ikan hasil tangkapan samping (by catch)... 81 29. Pemilihan produk potensial di Pelabuhanratu... 82 30. Pemilihan produk potensial di DKI Jakarta ... 83 31. Pemilihan komoditas potensial di Kabupaten Cirebon... 86 32. Pembagian tugas dan tanggung jawab stakeholders pada strategi


(33)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Alur penelitian... 10 2. Tahapan pendekatan sistem (Eriyatno, 1998)... 17 3. Teknis penanganan dan pengolahan surimi (SNI 01-2694.2-1992) ... 34 4. Arsitektur model SPK Perikanan ... 54 5. Rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil

perikanan ... 96


(34)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Analisis finansial industri surimi di Kabupaten Cilacap ... 108 2. Analisis finansial industri surimi di Pelabuhanratu ... 115 3. Analisis finansial industri surimi di DKI Jakarta ... 122 4. Analisis finansial industri surimi di Kabupaten Cirebon ... 129 5. Kapasitas perusahaan pengolahan ikan di Cilacap, Pelabuhanratu,

DKI Jakarta dan Cirebon... 136 6. Petunjuk instalasi model SPK perikanan... 143 7. Identitas pakar/responden dalam penelitian... 146 8. Identifikasi jenis ikan yang tidak diserap industri besar/modern... 148 9. SNI produk surimi beku... 151 10. Uji coba pengolahan surimi dan bakso ikan gindara………... ….. 160 11. Rekapitulasi hasil uji coba pengolahan surimi dari beberapa jenis


(35)

1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Pada tahun 2004 total produksi perikanan sebesar 6,5 juta ton. Dari jumlah tersebut sebanyak 66,2% berasal dari laut. Produksi perikanan tersebut dimanfaatkan sebagai makanan dalam bentuk segar (56,16%), olahan tradisional (26,31%) dan olahan modern sebesar 17,53%. Dari jumlah total olahan tradisional, sebanyak 68,73 % diolah dalam bentuk ikan asin, sedangkan sisanya didistribusikan dalam bentuk produk pindang, fermentasi serta bentuk olahan lainnya. Produk yang dihasilkan tersebut sebagian besar mempunyai nilai dan tingkat mutu yang rendah (Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap 2004). Pada tahun yang sama, ekspor perikanan mencapai 902.358 ton dan hampir 80% didominasi produk olahan modern, sementara ekspor produk tradisional seperti ikan asin, ikan asap, ikan pindang dan produk fermentasi hanya 5,3% dari total ekspor. Jumlah ekspor produk tradisional tersebut hanya sebesar 3,6% berasal dari kegiatan usaha dengan skala rumah tangga.

Berdasarkan hasil pengkajian stock ikan yang dilakukan Badan Riset Kelautan dan Perikanan (BRKP) dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2001 sumberdaya ikan di perairan Indonesia yang memiliki nilai ekonomis dalam bidang perikanan dapat dikategorikan kedalam 5 kelompok yaitu ikan pelagis besar, ikan pelagis kecil, ikan karang, ikan hias dan ikan demersal. Ikan demersal adalah ikan yang hidup pada atau dekat dengan dasar laut antara lain ikan baronang, bawal hitam, bawal putih, beloso, bijinangka, cucut, ekor kuning, pisang-pisang, gulamah, tigawaja, gerot-gerot, ikan lidah, ikan merah, bambangan, jenaha, ikan nomei, ikan peperek, ikan sebelah, kakap putih, kerapu, kurisi, kuro, senangin, layur, lencam, manyung, ikan pari dan swanggi. Berbeda dengan ikan demersal, ikan pelagis hidupnya aktif di dekat permukaan laut seperti misalnya ikan tuna, layaran , hiu, setuhuk, alu-alu, bawal hitam, belanak, japuh, julung-julung, kembung, ikan kuwe, layang,


(36)

lemuru, parang-parang, selar, sunglir, talang-talang, tembang, teri, terubuk, tetengkek, tongkol, setuhuk, ikan layaran, ikan pedang, cakalang dan tenggiri.

.

Pengolahan ikan skala kecil menggunakan modal usaha yang relatif terbatas, teknik dan peralatan sederhana. Berbagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pengolah ikan skala usaha kecil menengah tersebut telah diupayakan pemerintah (DKP, 2002) antara lain sebagai berikut :

1) Perbaikan/pengadaan sarana penanganan ikan di atas kapal (palka, es, refrigerasi dll)

2) Pengadaan fasilitas para pengolah di sentra kegiatan pengolahan hasil perikanan.

3) Penyediaan sumber air bersih yang memenuhi persyaratan sanitasi dan hygiene.

4) Pengembangan Standard Operating Procedure (SOP) khusus olahan produk perikanan.

5) Penguatan modal usaha (“credit/loan scheme”) dan informasi pasar serta promosi produk perikanan.

6) Peningkatan intensitas pelatihan kepada para pengolah dan para pemasok bahan baku.

7) Penyebar luasan informasi tentang peraturan keamanan pangan (food safety) sekaligus membangun kesadaran para pengolah .

8) Penguatan jaringan pascapanen ASEAN (ASEAN FPHT Network)

Dengan adanya pasar bebas ASEAN, Indonesia telah membuka pasar bagi setiap produk perikanan dari luar sebagaimana perkembangan permintaan konsumen. Keadaan tersebut memberikan dampak pada persaingan dengan produk dalam negeri. Salah satu kunci agar suatu produk dapat bersaing dipasaran adalah tingginya daya kompetitif dengan melihat keunggulan komparatif. Keunggulan komparatif yang diperoleh dari produk perikanan antara lain tersedianya bahan baku yang cukup, tersedianya tenaga kerja lokal yang terampil dan dikuasainya teknologi pascapanen perikanan. Keunggulan komparatif tersebut dapat diubah menjadi daya kompetitif apabila dalam semua


(37)

aspek dapat dilakukan dengan efektif dan efisien. Kedekatan antara kegiatan produksi dengan ketersediaan bahan baku, tenaga kerja dan teknologi ditambah dengan permodalan merupakan dasar dalam menentukan keberhasilan pengembangan produk perikanan.

Dahuri (2002) dalam makalah Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kelautan dan Perikanan, menyatakan bahwa industri perikanan sebagai bagian dari sistem bisnis dan industri perikanan belum besar peranannya di dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan. Industri pengolahan produk perikanan kebanyakan belum mampu memperoleh bahan baku yang dibutuhkan guna mengoperasikan unit usahanya pada tingkat kapasitas terpasang secara kontinyu. Hal ini pada dasarnya karena belum terjalin keterkaitan antara industri pengolahan dengan pemasok bahan baku, sehingga mobilisasi pembangunan industri perikanan seperti industri pengolahan ikan belum dapat memberikan peranan yang lebih besar dalam meningkatkan kesejahteraan nelayan dan pembudidaya ikan.

Dalam perspektif ketahanan pangan, ikan dan produk perikanan memegang peranan penting sebagai penyedia bahan pangan sumber protein untuk pemenuhan gizi masyarakat. Selain itu kandungan asam lemak tidak jenuh omega tiga yang tinggi dalam minyak ikan dilaporkan dapat memberikan banyak keuntungan di bidang kesehatan khususnya dalam upaya pencegahan penyakit degeneratif seperti penyakit jantung koroner. Asam lemak omega tiga diketahui dapat menurunkan kolesterol dalam darah (Prameswari, 2006). Kandungan rataan asam lemak omega tiga pada minyak ikan lemuru dan tuna yang banyak ditemukan di Indonesia. Dengan meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengkonsumsi makanan sehat yang dicirikan oleh rendahnya kandungan kolesterol dan tingginya protein, telah memberikan kecenderungan permintaan atas produk perikanan yang semakin meningkat.

Data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) menggambarkan selama kurun waktu 2001 – 2003, kisaran proporsi pengeluaran rataan per kapita/bulan untuk kebutuhan konsumsi ikan adalah 5,17 – 6,3%. Dalam kurun waktu yang sama, persentase ini lebih besar dibanding persentase pengeluaran


(38)

sumber protein hewani lainnya, yaitu 2,29–3,43% serta telur dan susu 2,86 – 3,72 % (BPS, 2004). Indonesia sebagai negara kepulauan terdiri dari 13.677 pulau mempunyai garis pantai sekitar 81.000 km dan sebagian besar (62%) wilayah kedaulatan Indonesia berupa laut seluas 5,8 juta km2, terdiri dari 3,1 juta km2 perairan nusantara ditambah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) seluas 2,7 km2. Perairan Indonesia tersebut merupakan sumberdaya hayati perikanan yang potensial untuk memenuhi kepentingan penyediaan sumber pangan karena memiliki potensi lestari sumberdaya perikanan laut 6,5 juta ton pertahun yang terdiri dari 4,2 juta ton pada perairan wilayah nusantara dan sekitar 2,3 juta ton per tahun pada perairan ZEE Indonesia. Kekayaan sumberdaya laut yang relatif besar tersebut diharapkan Indonesia dapat mengoptimalkan pendayagunaan sumberdaya guna menunjang keberhasilan sektor perikanan yang selanjutnya dapat pula menunjang keberhasilan pembangunan perikanan. Potensi pengolahan dan pemasaran hasil perikanan meliputi (1) ketersediaan sumberdaya ikan untuk konsumsi manusia, (2) industri pengolahan hasil perikanan, (3) jumlah penduduk yang besar sebagai sasaran konsumen produk perikanan. Peluang pasar dalam negeri mempunyai prospek yang cukup baik. Tingkat konsumsi ikan perkapita penduduk Indonesia masih rendah yaitu 24,6 kg/kapita/tahun pada tahun 2004 dan tahun 2005 diperkirakan 25 kg/kapita/tahun. Nilai ini masih jauh dibawah tingkat konsumsi ikan perkapita masyarakat dinegara-negara maju seperti Jepang (110 kg), Korea selatan (85 kg), Hongkong (85 kg), AS (80 kg), Malaysia (45 kg) dan Thailand (35 kg). Mengingat masih rendahnya tingkat konsumsi ikan masyarakat Indonesia saat ini maka diperlukan upaya nyata untuk memotivasi agar masyarakat untuk lebih banyak mengkonsumsi ikan melalui gerakan memasyarakatkan makan ikan. Berbagai jenis ikan air tawar maupun ikan laut memiliki peluang cukup besar untuk mengisi pasar dalam negeri (Ditjen P2HP, 2005).

Dalam struktur perekonomian nasional, sektor perikanan memiliki peran strategis sebagai penyedia lapangan kerja dan sumber devisa bagi negara. Lapangan kerja yang terkait langsung dengan industri perikanan adalan usaha produksi/penangkapan, usaha budidaya, usaha penanganan/pengolahan dari


(39)

yang berskala kecil (rumah tangga) sampai industri besar/modern serta usaha pelayanan jasa yang mendukung usaha produksi dan pengolahan.

1.2 Rumusan Masalah

Meskipun sektor perikanan secara keseluruhan tumbuh cukup menggembirakan, tetapi masih terdapat permasalahan, baik dari sisi produksi maupun penanganan pasca panen. Dari sisi produksi hambatan yang sering ditemui dalam pengembangan kinerja penanganan dan pengolahan produk hasil perikanan secara umum adalah sifat ikan sebagai bahan pangan yang mudah rusak/busuk, sehingga tingkat kesegaran ikan yang menjadi prasyarat untuk pengolahan menjadi produk lanjutan sulit dipenuhi. Hasil tangkapan untuk beberapa jenis ikan bersifat musiman, sehingga mempersulit upaya untuk menjaga kontinuitas bahan baku yang diperlukan dalam usaha industri.

Kendala yang dihadapi pada kegiatan pengolahan tradisional di antaranya adalah (1) penguasaan dan penerapan teknologi pascapanen masih lemah, termasuk diantaranya kurangnya keterampilan untuk melakukan diversifikasi produk olahan guna memperoleh nilai tambah yang lebih besar, (2) rendahnya mutu bahan baku dan adopsi teknologi menyebabkan mutu produk sangat beragam dan cenderung rendah, (3) kurangnya kemampuan modal dan manajerial yang menyebabkan kegiatan pengolahan masih terbatas pada usaha kecil tradisional yang tersebar dengan target pemasaran lokal (Dahuri, 2004) sehingga usaha pengolahan tradisional ini agak menyulitkan dalam proses pembinaan dan pengembangan. Selain kontinuitas dan kualitas bahan baku, pengolahan perikanan modern juga tidak luput dari berbagai kendala, seperti (1) investasi yang dibutuhkan relatif besar, dan selama ini persepsi bisnis perikanan masih dianggap beresiko tinggi; (2) rendahnya kemampuan penanganan dan pengolahan hasil perikanan sesuai dengan selera konsumen dan standardisasi mutu produk secara internasional; (3) lemahnya kemampuan pemasaran produk perikanan, diantaranya dikarenakan lemahnya market intelligence yang meliputi penguasaan informasi tentang pesaing, segmen pasar dan selera, serta belum memadainya prasarana dan sarana system transportasi dan komunikasi untuk mendukung distribusi atau penyampaian


(40)

produk perikanan dari produsen ke konsumen secara tepat waktu. Kondisi semacam ini terutama sangat dirasakan didaerah terpencil di luar Jawa dan Bali ( Dahuri, 2003; DKP, 2004).

Sejak diberlakukannya UU mengenai otonomi daerah No.22/1999 setiap daerah dituntut kemampuannya untuk mengindentifikasi potensi kelautan dan perikanan serta nilai ekonomi yang dimiliki, serta mampu mengolah sumber daya perikanan dan kelautan secara tepat dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Keragaman kondisi tiap daerah dalam hal sosio-kultur tiap masyarakat, kuantitas dan mutu masyarakat, sarana dan prasarana, iklim serta heterogenitas ketersediaan sumberdaya alam menyebabkan pengembangan kelautan dan perikanan tidak dapat dilakukan secara terpusat. Implikasi dari kondisi tersebut adalah bahwa setiap daerah seharusnya mengembangkan komoditas perikanan sesuai dengan kondisi dan potensi yang dimilikinya.

Ikan merupakan kelompok utama biota laut yang memiliki jumlah spesies terbanyak kedua (lebih dari 2.000 spesies) dan beberapa spesies diketahui mempunyai nilai ekonomis penting, seperti ikan pelagis besar dan ikan pelagis kecil. Ikan pelagis kecil diperkirakan meliputi lebih dari 1.200 spesies seperti kembung, layang, lemuru, selar dan teri yang penyebarannya berada diperairan dekat pantai. Ikan pelagis besar yang jumlahnya lebih sedikit seperi tuna, cakalang, hiu dan setuhuk banyak ditemukan di zona permukaan laut atau ZEEI seperti samudera pasifik dan samudera hindia (Gema Mina, DKP, 2006).

Ikan-ikan pelagis kecil yang biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku olahan tradisional ada yang dapat ditingkatkan harga jualnya untuk bahan baku industri seperti ikan kembung, kuwe, layang, parang-parang, selar, sunglir, talang-talang, tembang, terubuk, tetengkek. Dari beberapa jenis ikan demersal yang juga biasa dimanfaatkan oleh para pengolah tradisional antara lain ikan beloso, cucut, gulamah, tigawaja, ikan lidah, nomei, peperek, manyung, ikan pari dan swangi.


(41)

1.3 Formulasi Masalah

Keberhasilan dalam usaha pengolahan hasil perikanan di Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon memerlukan perencanaan yang baik, pengalaman, pengetahuan serta intuisi yang tepat dari pengambil keputusan. Sinergi kepentingan antar pelaku dalam sistem diharapkan akan mengoptimalkan pencapaian tujuan pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan, yaitu pemanfaatan secara optimal sumberdaya untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi para pelaku, seperti peningkatan daya saing, keuntungan usaha, pendapatan daerah, lapangan kerja dan konsumsi ikan.

Permasalahan yang mendasar dalam usaha pengolahan hasil perikanan di Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon adalah kontinuitas bahan baku (jenis, volume dan mutu) ikan hasil tangkapan di laut, belum efektifnya penerapan cara berproduksi yang baik dan benar (Good Manufacturing Practices / GMP), masih rendah tingkat efisiensi dan efektivitas produksi serta sistem kontrol dalam penerapan teknik sanitasi dan hygiene masih lemah. Kurangnya kemampuan sumberdaya manusia ditingkat pengolah skala kecil/menengah dalam mengadopsi teknologi pengolahan hasil perikanan akan menyebabkan produk yang dihasilkan mempunyai nilai tambah relatif kecil dengan pangsa pasar relatif terbatas dipasar domestik, kurangnya dukungan yang memadai dalam penyediaan infrastruktur atau industri penunjang lainnya untuk pengembangan industri pengolahan oleh pihak pemerintah.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah membuat rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan studi kasus : Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon melalui tahapan sebagai berikut :

1) Mengidentifikasi produksi perikanan tangkap yang didaratkan. 2) Menentukan produk unggulan.

3) Membuat rancangan model strategi pengembangan usaha pengolahanproduk unggulan.


(42)

1.5 Ruang Lingkup Penelitian

Sebagaimana tertuang dalam SK Menteri Perindustrian No.19/M/I/1986, yang dimaksud dengan industri adalah suatu usaha atau kegiatan bahan mentah atau barang setengah jadi menjadi barang jadi yang memiliki nilai tambah untuk mendapatkan keuntungan. Usaha pengolahan ikan adalah bagian dari industri. Dalam penelitian ini, bahan baku yang dianalisis berasal dari produksi perikanan tangkap di suatu wilayah tertentu untuk diolah menjadi produk pangan. Penelitian ini menggunakan studi kasus di Cilacap, Pelabuhanratu, DKI Jakarta dan Cirebon. Desain pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan ini juga mempertimbangkan pentingnya peranan pascapanen bukan hanya terbatas pada bagaimana mempertahankan agar produk ikan segar yang dihasilkan tidak menurun mutunya atau seberapa besar nilai tambah yang dihasilkan melalui penerapan teknologi pascapanen, namun juga merupakan suatu mata rantai penghubung antara kegiatan produksi primer (industri penangkapan) dengan kegiatan pemasaran.

1.6 Kerangka Pikir Penelitian

Industri pengolahan hasil perikanan merupakan salah satu jenis industri yang potensial untuk dikembangkan, mengingat potensi sumberdaya ikan dari perairan laut nasional relatif besar. Namun demikian terdapat sejumlah persoalan menghambat pengembangan industri pengolahan hasil perikanan pada umumnya, baik dari aspek ketersediaan bahan baku maupun aspek pengolahan produk.

Persoalan yang dihadapi pada pemenuhan bahan baku khususnya bahan baku yang dihasilkan oleh aktifitas industri penangkapan di antaranya adalah teknologi penanganan ikan di atas kapal (penerapan rantai dingin) yang belum diterapkan secara benar serta sarana pendaratan ikan yang belum memadai, termasuk sarana sanitasi dan hygiene seperti air bersih, es, wadah penanganan ikan. Permasalahan ini secara langsung akan mempengaruhi industri pengolahan seperti volume, mutu dan harga bahan baku.


(43)

Industri pengolahan hasil perikanan yang berkembang di Indonesia secara umum dapat dibedakan menjadi dua golongan yaitu pengolahan hasil perikanan tradisional dan pengolahan hasil perikanan modern. Ciri umum industri pengolahan hasil perikanan tradisional adalah bersifat padat karya, teknologi yang digunakan bersifat sederhana, skala usaha kecil, target pasar adalah pasar lokal. Kendala umum pengembangan industri pengolahan hasil perikanan tradisional ini adalah permodalan dan kemampuan sumber daya manusia yang terlibat di dalamnya. Sebaliknya, untuk industri pengolahan hasil perikanan modern memiliki ciri umum padat modal, menggunakan permesinan berteknologi relatif tinggi, skala usaha menengah atau besar, target pasar adalah regional atau internasional. Dalam pengembangannya kelompok industri modern juga memiliki kendala umum seperti kesinambungan bahan baku (jumlah dan mutu), permodalan, kebijakan pemerintah dan kondisi pasar global.

Saat ini industri pengolahan hasil perikanan yang bahan bakunya berasal dari tangkapan di laut masih tetap mampu bertahan di tengah kendala-kendala pada industri penangkapan seperti misalnya isu penangkapan berlebih (overfishing), jarak penangkapan yang semakin jauh (tidak sesuai sarana kapal), kasus pencurian ikan dll, sementara politik perdagangan yang diterapkan oleh negara-negara pesaing (Singapura, Thailand, Vietnam, China dan Korea) semakin menambah sempit akses pasar. Demikian pula semakin ketatnya peraturan jaminan keamanan pangan yang diberlakukan oleh negara Amerika Serikat dan Uni Eropa. Apabila berbagai persoalan yang dapat menghambat kinerja pengembangan industri pengolahan hasil perikanan tersebut tidak ditangani secara komprehensif, pada akhirnya akan memperlemah daya saing produk yang dihasilkan.

Keadaan umum yang dikemukakan di atas akan menjadi pintu masuk dalam pengembangan desain usaha pengolahan hasil perikanan, sehingga dapat dirumuskan prioritas strategi pengembangannya dengan memanfaatkan peluang keunggulan potensi sumberdaya bahari. Desain pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan dimulai dengan melihat potensi sumberdaya perikanan dari masing-masing wilayah. Potensi yang berbeda-beda untuk tiap daerah akan mengakibatkan berbagai ragam pengelolaan terhadap hasil


(44)

perikanan tersebut. Potensi sumberdaya perikanan ini diartikan sebagai jenis-jenis ikan yang didaratkan disuatu daerah untuk dimanfaatkan guna memperoleh nilai tambah dalam rangka peningkatan pemenuhan kesejahteraan nelayan/pengolah ikan setempat.

Mengingat komoditas ikan dan perlakuan pengolahan hasil hasil perikanan relatif beragam, maka diperlukan suatu rumusan dalam penentuan komoditas potensial dan produk unggulan, sehingga pengembangannya dapat lebih terarah. Sebagai rqncqngqn model, produk unggulan dari masing-masing wilayah dilakukan analisis terhadap kelayakan finansialnya. Prioritas strategi dan elemen kunci dalam pengembangan ditetapkan agar perumusan kebijakan untuk pencapaian tujuan pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan didasarkan pada realita masa sekarang dan probabilitas di masa mendatang. Diharapkan keputusan yang diambil dalam pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan menjadi lebih terarah, terencana, operasional dan berkesinambungan. Skema Kerangka pikir dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Produksi Perikanan Tangkap yang kontinyu didaratkan

Identifikasi Produksi Perikanan Tangkap

(2002-2006)

Menentukan Produk Unggulan

Menganalisis kelayakan finansial

dari nilai produksi terendah

Membuat rancangan model

pengembangan

Rancangan model Pengembangan

Usaha


(45)

1.7 Keluaran yang Diharapkan

Keluaran hasil penelitian ini berupa sebuah rancangan model pengembangan usaha pengolahan hasil perikanan yang dapat digunakan dalam penentuan prioritas pilihan kebijakan pemerintah dalam menentukan produk unggulan yang akan dikembangkan di suatu daerah.

1.8 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian Rancangan Model Pengembangan Usaha Pengolahan Hasil Perikanan ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka penentuan arah dan prioritas kebijakan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan serta dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi :

1) Ilmu pengetahuan

- Sebagai bahan referensi dalam pengkajian lebih lanjut terutama dalam bidang pengembangan industri pengolahan hasil perikanan.

- Sebagai dasar pertimbangan metode kuantitatif berbasis ilmu pengetahuan dalam menghasilkan alternatif keputusan.

2) Stakeholders

- Sebagai pertimbangan dalam menentukan jenis produk yang akan dihasilkan dalam menginvestasikan modalnya disektor perikanan.

- Sebagai informasi dan referensi bagi stakeholders dan masyarakat dalam pengelolaan hasil perikanan disuatu daerah.

3) Pemerintah

Sebagai acuan pemerintah pusat dan daerah dalam menyusun perencanaan pengembangan industri pengolahan hasil perikanan didaerah serta penentuan prioritas program aksi yang diperlukan.


(46)

2 TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Potensi dan Produksi Perikanan

Dalam periode lima tahun terakhir (2000-2005) produksi perikanan tangkap Indonesia meningkat dengan rataan 1,34% per tahun yaitu dari 4.125.525 ton meningkat menjadi 4.389.050 ton. Produksi penangkapan ikan di laut pada periode tersebut meningkat dengan rataan 1,39% per tahun, atau meningkat dari 3.807.191 ton pada tahun 2000 menjadi 4.320.241 ton pada tahun 2005 (Tabel 1). Berdasarkan Tabel 1 terlihat bahwa lebih dari 90% produksi perikanan berasal dari laut. Perkembangan produksi perikanan laut merupakan akibat penambahan kuantitas dan kualitas prasarana dan sarana penangkapan laut, sedangkan produksi perikanan pada perairan umum meningkat rataan 0,88% per tahun yaitu meningkat dari 318.334 ton tahun 2000 menjadi 331.630 ton tahun 2005.

Tabel 1. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 2000-2005 (dalam ton)

Tahun Di laut Di peraian umum Jumlah

2000 3.807.191 318.334 4.125.525

2001 3.966.480 310.240 4.276.720

2002 4.073.506 304.989 4.378.495

2003 4.383.103 308.693 4.691.796

2004 4.320.241 330.880 4.651.121

2005 4.057.420 331.630 4 389.050

Rataan Kenaikan 1,39% 0,88% 1,34%

Sumber: Buku Kelautan dan Perikanan Dalam Angka, 2006

Dalam media informasi perikanan tangkap (DKP, 2006) dikatakan bahwa operasionalisasi pemanfaatan potensi sumber daya perikanan dibagi atas empat kelompok:

1) Sumberdaya demersal, yaitu jenis ikan yang hidup di dasar atau dekat dasar perairan. Beberapa jenis ikan demersial merupakan jenis ikan bernilai ekonomis tinggi, seperti kakap putih dan kerapu. Jenis ikan lainnya adalah petek, bawal putih, manyung, kakap merah atau bambangan dan beberapa jenis udang seperti udang jerbung, udang windu, udang dogol dan udang krosok.


(47)

2) Sumberdaya pelagis kecil, yaitu jenis ikan yang berenang dipermukaan atau dekat permukaan air laut. Jenis ikan ini diantaranya ikan kembung, bentrong, layang dan selar.

3) Sumberdaya pelagis besar, yaitu jenis ikan permukaan yang berukuran besar dan mempunyai sifat ruaya (pengembara) yang sangat jauh. Berdasarkan ukurannya, ikan pelagis besar dibagi atas tuna besar dan tuna kecil. kelompok tuna besar diantaranya tuna sirip hitam, sedangkan kelompok tuna kecil diataranya cakalang dan tongkol.

4) Biota laut lainnya seperti kekerangan, rumput laut, cumi cumi dan teripang.

Berdasarkan potensi dan penyebaran sumberdaya ikan laut di perairan Indonesia yang disusun oleh komisi nasional pengkajian stok sumberdaya ikan laut tahun 1998 potensi lestari dan pemanfaatan sumberdaya perikanan laut pada Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 2. Berdasarkan Tabel 2 diketahui bahwa secara keseluruhan selat Malaka dan laut Jawa tingkat pemanfaatannya telah melebihi potensi lestari. Laut Banda lebih dari 80% potensi lestarinya juga telah dimanfaatkan, sedangkan wilayah pengelolaan perikanan lainnya yaitu laut China Selatan, selat Makasar dan laut Flores, laut Arafura, laut Seram dan teluk Tomini, laut Sulawesi dan samudra Pasifik, serta samudra Hindia masih sangat potensial untuk diusaha-kembangkan, karena tingkat pemanfaatannya masih dibawah 80%. Potensi lestari adalah potensi sumberdaya perikanan dimana proses eksploitasi sumberdaya perikanan tersebut tetap dipertahankan di bawah nilai upaya maksimum lestari.


(48)

Tabel 2. Produksi perikanan tangkap menurut sub sektor perikanan tangkap pada tahun 2000-2005 (dalam ton) Potensi dan Produksi (103 ton/tahun)

Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP) Kelompok

Sumber Daya

S. Malka LCS L. Jawa SM & LF L. Bd L. Arfr LS&

TT LS& Sp S. Hd Ikan Pelagis Besar -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 27,67 22,14 36,27 OE 66,08 52,86 35,16 UE 55,00 44,00 137,82 OE 193,60 154,88 85,10 UE 104,12 83,30 29,10 UE 50,868 40,69 34,56 UE 106,51 85,21 37,46 UE 175,26 140,21 153,43 OE 366,26 293,01 188,28 UE Ikan Pelagis Kecil -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 147,30 117,84 132,70 FE 621,50 497,20 205,53 UE 340,00 272,00 507,53 OE 605,44 484,35 333,35 UE 132,00 105,60 146,47 OE 468,66 374,93 12,31 UE 379,44 303,55 119,43 UE 384,75 307,80 62,45 UE 526,57 421,26 26,56 UE Ikan Demersial -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 82,40 65,92 146,29 OE 334,80 267,84 54,69 UE 375,20 300,16 334,92 FE 87,20 69,76 167,38 OE 9,32 7,46 43,20 OE 202,34 161,87 156,60 UE 88,84 71,07 32,14 UE 54,86 43,89 15,31 UE 135,13 108,10 134,83 OE Ikan karang Konsumsi -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 5,00 4,00 21,60 OE 21,57 17,26 7,88 UE 9,50 7,60 48,24 OE 34,10 27,28 24,11 FE 32,10 25,68 6,22 UE 3,10 2,48 22,58 OE 12,50 10,00 4,63 UE 14,50 11,60 2,21 UE 12,88 10,30 19,42 OE Udang Penaeid -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 11,40 9,12 49,46 OE 10,00 8,00 70,51 OE 11,40 9,12 52,80 OE 4,80 3,84 36,91 OE 0,00 0,00 0,00 43,10 34,48 36,67 FE 0,90 0,72 1,11 OE 2,50 2,00 2,18 OE 10,70 8,56 10,24 OE Lobster -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 0,40 0,32 0,87 OE 0,40 0,32 1,24 OE 0,50 0,40 0,93 OE 0,70 0,56 0,65 OE 0,40 0,32 0,01 UE 0,10 0,08 0,16 OE 0,30 0,24 0,02 UE 0,40 0,32 0,04 UE 1,60 1,28 0,16 UE Cumi cumi -Potensi -JTB -Produksi -Pemanfaatan 1,86 1,49 3,15 OE 2,70 2,16 4,89 OE 5,04 4,03 12,11 OE 3,88 3,10 7,95 OE 0,05 0,04 3,48 OE 3,39 2,71 0,30 UE 7,13 5,70 2,86 UE 0,45 0,36 1,49 OE 3,75 3,00 6,29 OE

Sumber : Pengkajian stock ikan di perairan Indonesia, DKP bekerjasama dengan LIPI, 2002 Keterangan :

ƒ Keterangan WPP : 1.S.Malka=Selat Malaka, 2.LCS=Laut China Selatan, 3. L. Jawa=Laut Jawa, 4. SM&LF=Selat Makasar dan laut Flores, 5. L.Bd= Laut Banda, 6. L. Arfr=Laut Arafura, 7. LS&TT=Laut Seram dan Teluk Timoni, 8. LS&SP=Laut Sulawesi dan Samudra Pasifik, 9. S. Hd=Samodra Hindia, JTB=Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan.

ƒ Kategori Eksploitasi : Pemanfaatan 100% = over exploited ( OE), pemanfatan 80-100%=full exploted ( FE), pemanfaatan <80% = under exploited

Secara khusus perairan pantai Provinsi Jawa Tengah dan Jawa Barat terbagi dalam dua wilayah, yaitu perairan pantai utara pulau Jawa yang menghadap laut Jawa dan perairan pantai selatan pulau Jawa yang


(49)

menghadap Samudera Hindia. Perbedaan wilayah penangkapan ini mempengaruhi volume produksi dan jenis ikan yang dihasilkan. Pada Tabel 3 berikut disajikan produksi perikanan laut (2004) di Provinsi Jawa Tengah.

Tabel 3. Produksi perikanan laut menurut jenis ikan dan daerah perairan pantai di Jawa Tengah

Jenis Ikan Pantai Selatan Jawa Pantai Utara Jawa Total

layang - 56.260.600 56.260.600

selar - 15.204.800 15.204.800

teri - 3.671.400 3.671.400

tembang - 39.817.800 39.817.800

lemuru 209.600 12.173.300 12.382.900

kembung 6.500 16.662.400 16.668.900

tengiri 171.600 5.492.200 5.663.800

layur 274.400 3.236.100 3.510.500

tuna 1.666.000 - 1.666.000

cakalang 2.523.700 - 2.523.700

tongkol 203.800 14.396.700 14.600.500

peperek - 15.728.800 15.728.800

manyung 39.900 6.832.000 6.871.900

beloso - 1.374.100 1.374.100

merah - 3.921.800 3.921.800

tigawaja 74.600 5.711.000 5.785.600

cucut 412.700 2.886.100 3.298.800

pari 143.400 3.653.100 5.956.300

ikan lainnya 1.749.100 52.160.400 53.909.500

udang 790.200 1.759.800 2.550.000

cumi cumi 58.800 3.111.100 3.169.900

ubur ubur 4.433.800 4.433.800 4.433.800

lain lain 1.536.600 695.900 2.232.500

Total 14.294 700 266.909.200 281.203. 900

Sumber: Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jateng 2004

2.2 Sistem

Sistem adalah suatu gugus atau kumpulan dari elemen yang saling berhubungan (berinteraksi) dan terorganisir untuk mencapai suatu tujuan (Hartrisari, 2007). Menurut Eriyatno, 1998. Sistem merupakan keseluruhan interaksi unsur dari sebuah obyek dalam batas lingkungan tertentu yang


(50)

bekerja mencapai tujuan. Pengertian dari keseluruhan adalah lebih dari sekedar penjumlahan atau susunan, yaitu terletak pada kekuatan yang dihasilkan oleh keseluruhan jauh lebih besar dari suatu penjumlahan.

Pengertian interaksi adalah pengikat atau penghubung antar unsur yang memberi bentuk/struktur kepada obyek, membedakan dengan obyek lain, dan mempengaruhi perilaku dari obyek sistem. Unjuk kerja dari sistem ditentukan oleh fungsi unsur. Gangguan salah satu fungsi unsur mempengaruhi unsur lain sehingga mempengaruhi unjuk kerja sistem sebagai keseluruhan. Unsur yang menyusun sistem ini disebut juga bagian sistem atau sub-sistem.

Menurut Eriyatno, 1998, pengertian obyek adalah sistem yang menjadi perhatian dalam suatu batas tertentu sehingga dapat dibedakan antara sistem dengan lingkungan sistem. Artinya semua yang di luar batas sistem adalah lingkungan sistem. Pada umumnya, semakin luas bidang perhatian semakin kabur batas sistem. Demikian juga sebaliknya, semakin spesifik obyek semakin jelas batas sistem. Dengan demikian, jelas batas obyek dengan lingkungan cenderung bersifat mental atau konseptual, terutama obyek non-fisik. Pengertian batas antara sistem dengan lingkungan tersebut memberikan dua jenis sistem, yaitu sistem tertutup dan sistem terbuka. Sistem tertutup adalah sebuah sistem dengan batas yang dianggap kedap (tidak tembus) terhadap pengaruh lingkungan. Sistem tertutup itu hanya ada dalam anggapan, karena pada kenyataannya sistem selalu berinteraksi dengan lingkungan, atau sebagai sebuah sistem terbuka. Pengertian tujuan adalah unjuk kerja sistem yang teramati atau diinginkan. Unjuk kerja yang teramati merupakan hasil yang telah dicapai oleh kerja sistem, yaitu keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Di pihak lain, unjuk kerja yang diinginkan merupakan hasil yang akan diwujudkan oleh sistem melalui keseluruhan interaksi antar unsur dalam batas lingkungan tertentu. Menurut Marimin, 2004. pencapaian tujuan akan menyebabkan timbulnya dinamika, perubahan-perubahan yang terus menerus perlu dikembangkan dan dikendalikan. Definisi tersebut menunjukkan bahwa sistem sebagai gugus dari elemen-elemen yang saling berinteraksi secara teratur dalam rangka mencapai tujuan atau subtujuan.


(51)

Mulai

Analisis Kebutuhan

Absah

Formulasi

Identifikasi Sistem - Diagram lingkar sebab akibat

- Diagram input-output

Absah

Absah

Permodelan

Verifikasi dan validasi

Selesai Absah

Absah

Gambar 2. Tahapan Pendekatan Sistem (Eriyatno, 1998)

2.2.1 Keunggulan pendekatan sistem

Menurut Marimin (2004) dikatakan bahwa pendekatan sistem diperlukan karena makin lama maka dirasakan interdependensinya dari berbagai bagian dalam mencapai tujuan sistem. Masalah-masalah yang dihadapi pada waktu ini tidak lagi sederhana dan dapat menggunakan peralatan yang menyangkut satu disiplin saja, tetapi memerlukan peralatan


(52)

yang komprehensif, yang dapat mengindentifikasi dan memahami berbagai aspek dari suatu permasalahan dan dapat mengarahkan pemecahan secara menyeluruh .

Pendekatan sistem sangat penting untuk menonjolkan tujuan yang hendak dicapai dan tidak terikat pada prosedur koordinasi atau pengawasan dan pengendalian itu sendiri. Dalam banyak hal pendekatan manajemen tradisional seringkali mengarahkan pandangan pada cara cara koordinasi dan kontrol yang tepat, seolah inilah yang menjadi tujuan manajemen, padahal tindakan koordinasi dan kontrol ini hanyalah suatu cara untuk mencapai tujuan, dan harus disesuaikan dengan lingkungan yang dihadapi.

Konsep sistem terutama berguna sebagai cara berfikir dalam suatu kerangka analisis, yang dapat memberi pengertian yang lebih mendasar mengenai perilaku dari suatu sistem dalam mencapai tujuannya, dengan demikian kaitan antara faktor-faktor teknologi, ekonomi dan politik makin lama makin erat, gerakan disalah satu bidang akan mempunyai pengaruh pada bidang lain. Hal tersebut mencerminkan kompleksitas dari lingkungan.

Disinilah diperlukan keterpaduan antara pengolahan data yang makin rumit menjadi informasi yang diperlukan untuk pembuatan keputusan. Pengolahan data ini makin lama makin rumit yang perlu dilaksanakan dengan melalui peralatan yang lebih kompleks dan keahlian yang lebih mengkhususkan diri untuk menanganinya. Spesialisasi ini makin menjadikan pengolahan data menjadi suatu kegiatan tersendiri yang kadang kadang terpisah dari kegiatan menajemen organisasi sebagai keseluruhan, karena itu perlu pengitegrasian pengolahan informasi ini dengan mengambil keputusan sehingga keputusan keputusan yang dibuat akan mempunyai landasan yang kokoh berdasarkan kenyataan.

2.2.2 Metode perbandingan eksponensial

Menurut Marimin (2004) Metode Perbandingan Eksponensial (MPE) merupakan salah satu metode untuk menentukan urutan prioritas alternatif keputusan dengan kriteria jamak. Teknik ini digunakan sebagai pembantu


(53)

bagi individu pengambilan keputusan untuk menggunakan rancang bangun model yang telah terdefinisi dengan baik pada tahap proses.

2.2.3 Proses metode perbandingan eksponensial

Dalam menggunakan metode perbandingan eksponensial ada beberapa tahap yang harus dilakukan yaitu : menyusun alternatif alternatif keputusan yang akan dipilih, menentukan kriteria atau perbandingan kriteria keputusan dari setiap kriteria keputusan atau pertimbangan kriteria, menghitung skor atau nilai total setiap alternatif, dan menentukan urutan prioritas keputusan didasarkan pada skor atau nilai total masing masing alternatif.

Formulasi perhitungan skor untuk setiap alternatif dalam metoda perbandingan eksponensial adalah sebagai berikut:

m Tkkj Total nilai ( TN )I =∑ { RK ij) J=i

Dengan:

TN i : total nilai elternatil ke-1

RK ij : derajat kepentingan relatif criteria ke-j pada pilihan keputusan I TKK j : derajat kepentingan criteria keputusan ke j; TKK j >0;bulat n : jumlah pilihan keputusan

m : jumlah criteria keputusan

Penentuan tingkat kepentingan kriteria dilakukan melalui cara wawancara dengan pakar/responden atau melalui kesepakatan curah pendapat, sedangkan penentuan skor alternatif pada kriteria tertentu dilakukan dengan memberi nilai setiap alternatif berdasarkan nilai kriterianya. Semakin besar nilai alternatif semakin besar pula skor alternatif tersebut. Total skor masing masing alternatif keputusan akan relatif berbeda secara nyata karena adanya eksponensial.

Metode perbandingan eksponensial mempunyai keuntungan dalam mengurangi bias yang mungkin terjadi dalam analisis. Nilai skor yang 19


(54)

menggambarkan urutan prioritas menjadi besar (fungsi eksponensial) ini mengakibatkan urutan prioritas alternatif keputusan lebih nyata.

Produk yang potensial untuk diinvestasikan tentunya produk yang mempunyai nilai tinggi untuk setiap kriteria. Penilaian alternatif pada setiap kriteria menggunakan skala nila 1- 5.

2.3 Prinsip-prinsip Dasar Teknologi Pengolahan Modern 1). Pendinginan dan Pembekuan

Pendinginan dan pembekuan berarti penurunan suhu yang akan berakibat dapat menghambat proses kemunduran mutu (pembusukan) suatu makanan. Hal ini disebabkan karena hampir semua reaksi kimia termasuk reaksi enzimatis akan dihambat dengan rendahnya suhu, demikian pula pada suhu yang rendah maka aktivitas mikroorganisme pembusuk akan dihambat bahkan akan terhenti pada suhu beku yang sangat rendah. Indikator suhu selama proses pengolahan dan distribusi sangat diperlukan dalam pengawasan pada informasi sistem (Selman, 1992)

Teknik pembekuan terdiri dari 3 fase yaitu proses penurunan suhu dari suhu kamar kesuhu dingin (oC), proses pembekuan yaitu perubahan air yang terkandung dalam suatu makanan menjadi es dan proses penurunan suhu dari suhu beku sampai suhu penyimpanan yang dikehendaki. Ketiga proses dalam teknik pembekuan tersebut mempunyai grafik penurunan suhu yang tipenya relatif sama karena pada dasarnya didalam proses pendinginan dan pembekuan akan mengikuti teori dan hukum pemindahan panas (heat transfer). Industri pangan menaruh perhatian terhadap mikroorganisme dengan membagi kedalam 2 kelompok yaitu kelompok bakteri-bakteri patogen (bakteri beracun) yang dapat digunakan sebagai indikator organisme beracun. Bakteri patogen yang tahan terhadap suhu dapat dibagi kedalam 3 kelompok yaitu kelompok sangat berbahaya, cukup berbahaya dengan potensi berkembang biak dan kelompok cukup berbahaya dengan penyebaran terbatas (Waites, 1988).


(55)

2). Teknologi Pengalengan.

Pengalengan merupakan cara pengawetan bahan pangan dalam wadah yang tertutup rapat (hermetis) dan disterilkan dengan panas. Cara pengawetan ini merupakan cara yang paling umum dilakukan karena bebas dari pembusukan serta dapat mempertahankan nilai gizi, cita rasa dan daya tarik. Proses pengalengan meliputi tahap-tahap persiapan bahan mentah, pengisian bahan baku, pengisian larutan media, penghampaan udara, proses sterilisasi, pendinginan dan penyimpanan. Penghampaan udara ialah pengeluaran udara yang terdapat didalam kemasan/kaleng untuk mengurangi tekanan didalam kaleng selama proses pemanasan.

Proses pemanasan dengan sterilisasi komersial kebanyakan dikemas pada kondisi anaerobik (Winarno, 1994). Proses sterilisasi suatu produk umumnya dilakukan pada suhu 121oC waktu yang diperlukan selama 60 menit, jadi setelah waktu tersebut dicapai maka waktu sterilisasi baru mulai dihitung. Waktu proses bervariasi tergantung jenis ikan, nilai pH dari bahan pangan dan jenis media yang digunakan. Kecepatan penetrasi panas dalam makanan kaleng ditentukan oleh ukuran kaleng, konsistensi produk, suhu retort dan suhu awal produk, rotasi kaleng, ruang head space, letak kaleng dalam retort dan metoda operasi (Buckle et al, 1987). Sistem kontrol terhadap suhu retort ini sangat penting untuk mengetahui suhu pusat wadah/kaleng makanan dan terhadap keseluruhan proses (Ramesh, 1995). Proses sterilisasi yang terbaik, dipilih dan ditetapkan pada kondisi produk tertentu agar mendapatkan tingkat sterilisasi komersial yang dikendaki. Apabila proses pemanasan kurang sempurna maka dapat meningkatkan resiko ekonomi dan resiko kesehatan, karena masih ada mikroba yang tetap aktif didalam kaleng dan dapat menyebabkan terjadinya pembusukan, yakni Clostridium botulinum. Proses makanan kaleng yang dianggap aman adalah yang dapat menjamin bahwa makanan tersebut telah bebas dari bakteri Clostridium botulinum. Penutupan kaleng yang tepat dan benar merupakan salah satu tahapan penting dalam seluruh jalur proses pengalengan. Selain menggunakan proses pemanasan dengan cara sterilisasi, beberapa produk


(56)

perikanan dapat dikalengkan dengan cara pasteurisasi. Dengan suhu pasteurisasi diharapkan konsistensi dan cita rasa produk tidak banyak berubah. Produk pengalengan dengan menerapkan proses pasteurisasi masih dapat mengalami pembusukan yang disebabkan antara lain : suhu penyimpanan dibawah 3,30C, terjadinya kebocoran kaleng, pengolahan/proses pasteurisasi yang tidak sempurna dan mutu bahan baku yang tidak baik.

Ward et al, (1991) menyatakan bahwa tahap pendinginan merupakan tahapan terpenting dalam proses pengalengan secara pasteurisasi. Hal ini disebabkan produk kaleng yang diproses secara pasteurisasi tidak akan steril dan selama waktu pendinginan memungkinkan pertumbuhan mikroorganisme. Oleh karena itu dianjurkan pendinginan kaleng dilakukan dalam air es sampai suhu daging mencapai 37,80C selama 50 menit atau 12,70C selama 180 menit dan disimpan pada suhu 1,60C.

2.4 Berbagai Teknologi Pengolahan Tradisional 2.4.1 Pengeringan

Pada prinsipnya pengawetan ikan dengan metoda pengeringan tidak lain adalah bertujuan untuk mengurangi (menurunkan) kandungan air dari produk, khususnya air bebas sampai pada batas tertentu sehingga perubahan deterioratif yang dialami oleh produk karena kegiatan mikroorganisme, enzim dan reaksi kimia dalam suatu sistem akan dapat dihambat atau sama sekali dihentikan. Kebalikan dari air bebas ini adalah air ikatan, yaitu air yang terikat erat oleh struktur molekuler bahan pangan dan tidak dapat dimanfaatkan untuk pertumbuhan mikroorganisme, kerja enzim dan reaksi kimia. Jumlah air bebas yang tersedia dalam suatu bahan pangan biasanya dinyatakan dalam suatu parameter yang disebut dengan nilai aw. Nilai aw ikan segar umumnya

diatas 0,95. Bakteri pembusuk yang umum terdapat dalam bahan pangan dapat dihentikan pertumbuhannya pada nilai aw 0,90. Pertumbuhan jamur

dihambat pada nilai aw dibawah 0,80 sedangkan bakteri halopilik dihentikan

pertumbuhannya pada nilai aw dibawah 0,75 . Dengan berpedoman pada nilai


(57)

kandungan air produk diturunkan hingga di bawah 25%, dan apabila diturunkan lagi hingga dibawah 15 % maka pertumbuhan jamur juga dapat dihentikan. Upaya penurunan nilai aw atau tepatnya pengurangan jumlah air

bebas di samping dapat dilakukan dengan cara pengeringan (penguapan ) maka dapat juga dilakukan dengan cara merubah sejumlah air bebas menjadi air ikatan dengan menambahkan sejumlah bahan (garam dapur) yang dapat menarik atau mengikat air dari produk. Mengingat sifat garam yang mampu mengikat air dalam jumlah besar, maka produk ikan asin kering dengan kadar air 35% - 45% (tergantung dari jumlah garam yang ada) sering dianggap sudah cukup kering untuk dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur terutama pada kondisi udara (iklim) biasa (JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003).

Pengeringan pada hakikatnya bertujuan untuk memindahkan jumlah air dari suatu produk bahan pangan dengan cara penguapan melalui penggunaan aliran udara yang dipanaskan (udara kering). Praktek pengeringan yang banyak dilakukan dalam usaha pengolahan ikan di Indonesia adalah dengan cara menjemur di panas matahari. Cara pengeringan ini mudah dan murah, namun faktor pengeringan seperti suhu, RH dan aliran udara sulit dikontrol, membutuhkan tenaga kerja yang lebih banyak dan area penjemuran yang luas, kurang higienis karena mudah ditulari kotoran dan lalat, selama musim hujan dan cuaca mendung pengeringan sulit dilakukan, dan ironisnya musim hujan ini biasanya bersamaan dengan musim ikan. Untuk memecahkan masalah ini telah dicoba penggunaan alat pengering surya (solar dryer) namun hasilnya kurang memuaskan, karena kapasitasnya kecil dan juga karena aliran udara yang lambat sehingga kecepatan pengeringannya menjadi rendah. Selain itu untuk memecahkan masalah pengeringan ini telah dicoba pula penggunaan alat pengering mekanik bentuk terowongan dengan bahan bakar minyak tanah serta dilengkapi blower untuk mengalirkan udara kering (JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003).

Pada umumnya jenis ikan yang digarami adalah; ikan teri (Stelophorus spp), ikan layang (Decapterus spp), ikan kembung (Rastrelliger spp), ikan peperek (Luthianus malabaricus ), ikan kepala ular (Ophiocephalus spp) dan


(58)

ikan gabus (Stichopus spp). Proses pengeringan/pengolahan ikan asin dilakukan secara tradisional. Ikan diolah dengan atau tanpa penggaraman selanjutnya ikan dikeringkan dengan cara dijemur hingga kering selama 2-3 hari.

1) Pengolahan Ikan Asin

Sebelum ikan digarami, ikan dibelah lalu dicuci. Untuk ukuran ikan kecil, pengolahan dilakukan tanpa melalui perlakuan penyiangan (utuh). Selanjutnya ikan direndam selama 1 hari atau direbus beberapa menit dalam larutan garam dan dibiarkan (12 jam), lalu ikan disusun diatas para-para bambu untuk dijemur selama 2-3 hari. Pengemasan semua ukuran menggunakan karton atau keranjang bambu selama distribusi (JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003).

2) Pengolahan Kerupuk Kulit Ikan

Bahan kerupuk ikan dibagi menjadi dua tahapan, terdiri dari bahan kerupuk ikan berupa kulit ikan pari. Pengolahan kulit ikan ini, merupakan salah satu pemanfaatan kulit ikan pari (Trigonidae) dan cucut (Centrophorus, Squomasus) yang telah kering. Tahapan proses pengolahannya adalah: perebusan kulit selama 1 jam, pengerokan kulit untuk membuang lapisan kulit kasar, pemucatan dengan cara merendam kulit dalam larutan tawas 30 % selama 2 jam, lalu dalam larutan Borax 7,5% selama 6 jam. Kemudian dilakukan pengerokan kulit kasar dan pencucian. Kulit yang telah bersih dan putih dijemur hingga kering. Kulit kering dikemas dalam kantong plastik.

Bahan kerupuk ikan ini selanjutnya akan dikonsumsi setelah direndam kembali dalam air tawar hangat selama 1 jam, lalu dalam larutan bumbu (bawang putih, MSG dan garam 10%) selama 1 jam, kemudian dikeringkan. Setelah kering digoreng hingga bentuknya mengembang seperti kerupuk (JICA-Dit Mutu dan Pengolahan Hasil, 2003).

2.4.2 Penggaraman

Secara umum semua jenis ikan sebenarnya dapat saja diolah/ diawetkan dengan cara penggaraman, baik dalam bentuk utuh, disiangi,


(1)

148

Lampiran 8. Identifikasi Jenis Ikan yang Tidak Diserap Industri Besar/Modern

Nama lokal Nama ilmiah Nama inggris

No (Local name) (Scientific name) (English name)

1 alu-alu Sphyraena barracuda Great barracuda

2 belanak Mugil cephalus Mangrove mullets

3 beloso Saurida tumbil Greater lizardfish

4 cendro Tylosurus spp Needle fish

5 cucut botol Squalus spp Dogfish shark

6 etemen/koyo Mene maculata Razor trevally, moonfish

7 gebel Platax pinnatus Batfish

8 golok-golok Chirosentrus dorab Dorab wolf heling 9 gulamah/samge Nibea albiflora Croaker

10 ikan Lidah Cynoglossus spp MTgue soles 11 ikan Setan/gindara Lepidocybium flavobrunneum Escolar 12 jangilus/pedang-pedang Xiphias gladius Swordfish 13 japuh Dussumieria acuta Rainbow sardine 14 julung-julung Hermirhamphus spp Garfish and Halfbeaks 15 kapasan Acanthopagus berda Pikey Bream

16 kembung Rastrelliger brachysoma Short-bodied Mackerel 17 kurau/senangin Eleutheronema tetradactylum Four finger treadfin 18 kuwe/putihan Caranx spp Jack trevallies

19 layaran Tetrapturus audex Indo-pacifik blue marlin 20 lemadang Coryphaena hyppurus Common Dolfinfish

21 lencam Lethrinus lentjam Emperor

22 manyung Netuma thalassina Giant catfish

23 nomei Harpadon nehereus Bombay duck

24 pari burung Myliobatus spp Eaglerays

25 peperek Leiognatus splendens Black tipped ponyfish 26 petek Leiognathus equulus Common ponyfish

27 rebon Mysis and acetes Terasi Prawn

28 selar Selaroides spp Trevallies

29 sunglir Elagatis bipinnulatus Rainbow runner 30 tembang Sardinella fimbriata Fringescale sardinella 31 terisi Nemipterus nematophorus Threadfin bream 32 tetengkek Megalaspis cordyla Torpedo scad 33 tigawaja Johnius dussumieri Bearded croaker 34 tongkol komo Euthynnus affinis Kawa-kawa


(2)

( Lampiran 8, lanjutan)

gulama/samge Croaker

alu-alu Great barracuda

ikan lidah MTgue soles

tigawaja Bearded croaker

sunglir Rainbow runner

lemadang Common Dolfinfish

peperek

Black tipped ponyfish julung-julung Garfish and Halfbeaks

japuh Rainbow sardine

nomei

Bombay duck pari burung Eaglerays

rebon

Terasi Prawn Fringescale sardinella tembang

cendro Needle fish

udang api-api Metapenaeus shrimp


(3)

(Lampiran 8, lanjutan)

150

kembung

Short-bodied Mackerel

tetengkek Torpedo scad

selar Trevallies

tongkol komo Kawa-kawa

belanak Mangrove mullets

beloso Greater lizardfish

jangilus/pedang-pedang Swordfish

cucut Dogfish shark

terisi Threadfin Bream

kurau/senangin Four finger treadfin

kuwe/putihan Jack trevallies

layaran Sailfish

golok-golok Wolf herring llll

lencam manyung


(4)

Lampiran 9. SNI Produk Surimi Beku

STANDAR NASIONAL INDONESIA

SURIMI BEKU

Dewan Standarisasi Nasional-DSN


(5)

160

Lampiran 10. Ujicoba Pengolahan Surimi dan Bakso Ikan Gindara.

1. Persiapan

Ikan disiangi dengan cara membuang kepala dan isi perut kemudian dicuci,

tampung pada air dingin 2 - 5°C.

2. Pengambilan daging

Daging diambil dengan cara pemfilletan secara manual.

3. Pelumatan daging

Pelumatan/penggilingan daging dilakukan dengan mesin

sillent cutter.

4. Leaching.

Lumatan daging ikan selanjutnya direndam pada air garam 0,2% selama 15

menit dan diteruskan dengan melakukan penyaringan dengan kain kasa.

Proses

leaching

ini dilakukan hingga 4 kali ulangan.

5. Pengepresan

Setelah proses

leaching

selesai dilakukan pengepresan untuk

menghilangkan sisa air dengan menggunakan alat hidrolik.

6. Pencampuran

Daging dicampur dengan penambahan gula 3% dan poliphospat 0,2%.

Pencampuran dilakukan dengan alat silent cutter.

7. Pembuatan bakso ikan

7.1. Penggilingan

(

grinding

)

Bahan baku berupa minced fish tersebut digiling dengan grinder dengan

tujuan memecahkan serabut otot.

7.2.

Penambahan garam dan bumbu

Penambahan garam selain dimaksudkan untuk meningkatkan ekstraksi

protein larut garam, bersama bumbu-bumbu yang lainnya untuk

memberikan cita rasa, selanjutnya ditambahkan tepung terigu 4%.

7.3.

Pencetakan dan pemanasan

Adonan dicetak secara manual, kemudian setting pada suhu 40°C

selama 20 menit, dilanjutkan pemanasan pada suhu 90°C selama 20

menit.


(6)

Lampiran 11

Rekapitulasi Hasil Uji Coba Pengolahan Surimi dari Beberapa

Jenis Ikan

Mutu Kimiawi

Abu Total Lemak Protein

Nomor Jenis Ikan Rendamen

SNI Hasil SNI Hasil SNI Hasil Air

Protein larut garam

Kekuatan Gel (Gel strength)

1 Ikan Gindara /

Ikan Setan 47,06% 1% b/b 0,64% 0,5% b/b 12,46% 15% b/b 13,14% 73,65 % 1,45 % 169,59 gr.cm

2 Ikan Cucut 44,30% 1% b/b 0,73% 0,5% b/b 1,14% 15% b/b 16,59% 81,35 % 1,33 % 234,4 gr.cm

3 Ikan Pari 33,07% 1% b/b 0,80% 0,5% b/b 0,95% 15% b/b 16,13% 81,23 % 2,01 % 254,43 gr.cm

4 Ikan Campuran 28% 1% b/b 1,08% 0,5% b/b 1,10% 15% b/b 15,66% 81,24 % 1,09 % 222,34 gr.cm

a. Ikan Pisang-

Pisang

b. Ikan Kurisi

c. Ikan Kuniran