Peningkatan Kualitas Kerja Berdasarkan Aspek Ergonomika pada Packing and Vanning Division PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia, Sunter 1 Plant Jakarta.

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Perkembangan teknologi yang semakin maju membuat manusia selalu ingin mencapai hasil yang lebih baik dalam bekerja. Pada awalnya, berbagai perbaikan sistem kerja yang dilakukan hanya bertujuan untuk meningkatkan laju produksi tanpa memperhatikan aspek kesehatan dan keselamatan pekerjanya.

Seiring berjalannya waktu, kesadaran akan kesehatan dan keselamatan pekerja semakin meningkat baik dari pihak perusahaan, pekerja itu sendiri, bahkan hingga ke kalangan konsumen. Perbaikan-perbaikan sistem kerja yang dilakukan tidak hanya untuk meningkatkan produksi, namun juga untuk keselamatan dan kesehatan pekerja. Pekerja merupakan aset perusahaan yang sangat berharga dan perusahaan juga memiliki tanggung jawab terhadapnya.

Peningkatan keselamatan dan kesehatan kerja akan mendatangkan keuntungan bagi perusahaan dan juga untuk pekerja itu sendiri. Karena jika suatu pekerjaan dilakukan dengan aman dan nyaman, maka kualitas dan kuantitas produk yang dihasilkan akan lebih baik.

Salah satu perusahaan yang sangat peduli akan kesehatan dan keselamatan pekerjanya adalah Toyota Motor Coorporation (TMC) yang saat ini merupakan salah satu podusen mobil terbesar di dunia. Anak perusahaan TMC di Indonesia adalah PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia yang bergerak di bidang produksi mobil dan PT. Toyota Astra Motor yang bergerak di bidang pemasaran dan pelayanan purna jual produk Toyota. Kepedulian Toyota diwujudkan dalam komitmennya untuk menerapkan safety standard

yang telah banyak disusun oleh internal tim dan juga peningkatan terus menerus (kaizen) oleh seluruh elemen perusahaan. Berbagai penelitian dan kerja sama dengan berbagai institusi, termasuk pendidikan, juga terus


(2)

memberikan keuntungan bagi semua pihak yang terlibat di dalamnya, khususnya bagi perusahaan sendiri.

Berbagai kegiatan yang penulis lakukan di PT. TMMIN juga merupakan salah satu bentuk kerja sama Toyota dengan institusi pendidikan dalam rangka meningkatkan kualitas kerja terutama dalam bidang ergonomika yang memang sedang dikembangkan oleh pihak perusahaan. Hasil dari kegiatan ini diharapkan dapat diterapkan di berbagai bidang selain untuk industri manufaktur, termasuk bidang pertanian yang merupakan dasar keilmuan penulis.

B. Tujuan

1. Tujuan Umum

Memberikan pengalaman kerja bagi mahasiswa dan berkontribusi secara nyata bagi perusahaan.

2. Tujuan Khusus

a. Mengurangi resiko cidera otot pada kegiatan manual material handling

di Packing and Vanning Division, PT. TMMIN,

b. Mengembangkan metode manual material handling yang lebih aman dan nyaman di Packing and Vanning Division, PT. TMMIN.


(3)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Ergonomika

Ergonomi berasal dari bahasa Yunani, yaitu “ergon” dan “nomos”.

Ergon artinya pekerjaan atau kerja, dan nomos artinya aturan atau tata cara (Oborne, 1995). Dengan demikian, ergonomi dapat diartikan sebagai ilmu atau aturan tentang bagaimana seharusnya melakukan suatu kerja. Terdapat beberapa pengertian ergonomi, antara lain :

a. Ergonomi adalah aplikasi dari informasi ilmiah yang menitikberatkan pada hubungan manusia terhadap disain suatu alat, sistem, dan lingkungan untuk digunakan oleh manusia. Ergonomi adalah ilmu yang menyesuaikan antara pekerjaan dengan pekerja dan produk dengan penggunanya (Pheasant, 1991).

b. Ergonomi adalah cara memandang dunia, berpikir tentang manusia, dan bagaimana interaksinya dengan seluruh aspek dalam lingkungannya, perelengkapannya, dan situasi kerjanya (Oborne, 1995).

c. Ergonomi merupakan ilmu yang lebih menitikberatkan penyesuaian pola kerja terhadap tenaga fisik dari tubuh pekerja untuk menyesuaikan dengan pekerjaan (OSHA, 2000:1).

d. American Industrial Hygiene Association mendefinisikan ergonomi sebagai multidisiplin ilmu yang mengaplikasikan prinsip-prinsip fisika dan psikologi terhadap kapabilitas manusia untuk menciptakan atau memodifikasi pekerjaan, peralatan, produk, dan tempat kerja (Di Nardi, 1997).

e. Ergonomi adalah ilmu yang mempelajari interaksi manusia, mesin, dan lingkungan yang bertujuan untuk menyesuaikan pekerjaan dengan manusia (Bridger, 1995).


(4)

Di beberapa negara, istilah ergonomi tidak digunakan untuk disiplin ilmu ini. Seperti di Amerika Utara menggunakan istilah Human Engineering

atau Human Factor Engineering dan Labour Science (Roudou Kagaku) yang digunakan di Jepang. Meskipun ada perbedaan istilah, namun definisi, prinsip, dan tujuannya sama.

Secara umum, ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau aturan yang mengkaji kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia serta interaksinya dengan lingkungan, peralatan, mesin, dan prosedur kerja untuk mencapai kondisi keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan produktivitas kerja yang optimal.

Ergonomi merupakan multidisiplin ilmu yang ruang lingkupnya meliputi ilmu kedokteran dan anatomi, ilmu psikologi, dan ilmu fisika dan teknik. a. Ilmu kedokteran dan anatomi, memberikan gambaran bentuk tubuh

manusia, kemampuan tubuh/anggota gerak untuk mengangkat atau ketahanan terhadap suatu gaya yang diterimanya, satuan ukuran besaran dan panjangnya suatu anggota tubuh.

b. Ilmu psikologi, memberikan gambaran untuk memahami cara bagaimana seseorang mengambil sikap, memahami, mempelajari, mengingat serta mengendalikan proses motorik.

c. Ilmu fisika dan teknik, untuk memberikan informasi teknis mengenai peralatan, mesin, dan lingkungan kerja untuk kebutuhan analisis dan juga perancangan atau disain peralatan, mesin, dan lingkungan kerja.

Sehingga seorang ahli ergonomi mendapatkan informasi yang terintegrasi untuk memaksimalkan keselamatan operator, efisiensi, dan reliabilitas. Kemampuan untuk membuat tugas lebih mudah dipelajari, dilakukan dan dapat meningkatkan kenyamanan dan kepuasan (Oborne, 1995).


(5)

B. Manual Material Handling

Handling adalah tangan pekerja menggerakkan suatu benda dengan mengangkat, menurunkan, mengisi, mengosongkan, atau membawanya (OSHA, 2007 : 131). Manual material handling berarti memberikan suatu pembebanan ke tubuh manusia untuk menggerakkan suatu benda. Jika pembebanan tersebut tidak sesuai dengan fungsi tubuh, hal ini dapat menyebabkan terjadinya kerusakan atau cidera otot pada pekerja. Seperti misalnya mengangkat/mengambil benda yang ada di lantai dilakukan dengan membungkukkan badan. Hal ini dapat menyebabkan terjadinya cidera tulang belakang/punggung karena punggung memang bukan berfungsi untuk mengangkat namun untuk menunjang tubuh bagian atas. Seharusnya pengangkatan yang demikian dilakukan dengan posisi jongkok sehingga beban pengangkatan dibebankan ke otot-otot kaki.

Hampir 25% kecelakaan kerja di Indonesia disebabkan oleh penanganan material (Silalahi dkk, 1991). Para ahli yakin bahwa cidera tulang belakang memiliki hubungan yang sangat erat dengan kegiatan manual material handling, terutama untuk pengangkatan beban. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa :

a. Kurang lebih 25% kecelakaan yang ada pada industri di Amerika setiap tahunnya berhubungan dengan pengangkatan material secara manual. Sedangkan di Inggris 24% (Rowe, 1983)

b. 50% cidera karena beban yang berlebihan terjadi pada punggung

c. 60% orang yang menderita sakit pada tulang belakang bagian bawah (low back pain) menyebabkan 1/3 dari pasien kehilangan waktu kerjanya sebelum ia mendapat kembali waktu kerjanya seperti biasa. (Pulat, B.M., 1992)

d. Mengangkat dan menurunkan beban menyebabkan 50-60% dari kecelakaan tulang belakang. (Stubbs, D.A. & Nicholson, AS, 1989)


(6)

C. Postur Kerja

Postur tubuh adalah posisi relatif bagian tubuh tertentu. Postur yang dilakukan oleh seseorang merupakan adaptasi dimensi tubuh orang tersebut dan dimensi ukuran peralatan. Lamanya seseorang mempertahankan postur tertentu tergantung dari jumlah dan sifat alami kekuatan antara orang dan lingkungan kerja (Pheasant, 1986).

Dalam melakukan pekerjaan, seseorang harus menjaga sikap yang ergonomis, yaitu sikap yang seimbang, sehingga dapat dicapai suatu efisiensi dan produktivitas kerja yang optimal dengan tetap memperhatikan rasa nyaman dalam bekerja. Dalam bekerja perlu diperhatikan stabilitas yang bergantung pada :

a. Luas dasar penyangga lantai b. Tinggi dari titik gaya berat

Terdapat dua jenis keseimbangan, yaitu :

a. Keseimbangan statis, yaitu keseimbangan yang dilakukan pada kondisi postur stabil.

b. Keseimbangan dinamik, yaitu keseimbangan yang dilakukan pada kondisi postur tidak stabil. Misalnya berpijak pada dasar yang sempit, sehingga diperlukan koreksi secara terus menerus.

Hal-hal yang mempengaruhi postur tubuh antara lain adalah human diversity (keterbatasan kemampuan manusia), kelainan-kelainan pada sistem

musculeskeletal seperti peradangan sendi dan ketegangan otot, disain dan posisi yang kaku atau salah.

Postur normal atau biasa disebut postur netral adalah postur dalam proses kerja yang sesuai dengan anatomi tubuh sehingga tidak terjadi pergeseran atau penekanan pada bagian tubuh seperti organ tubuh, syaraf, tendon otot, dan tulang. Dengan postur ini maka keadaan akan menjadi rileks


(7)

dan tidak menyebabkan keluhan sistem musculeskeletal atau sistem tubuh lainnya (Satrya, 2002).

Postur janggal adalah deviasi atau pergeseran dari pergerakan tubuh atau anggota gerak yang dilakukan oleh pekerja saat melakukan aktivitas dari postur/posisi normal secara berulang-ulang dan dalam waktu yang relatif lama (Royas, 2003). Postur janggal menyebabkan kondisi di mana transfer tenaga dari otot ke jaringan rangka tidak efisien, sehingga mudah menimbulkan lelah. Termasuk dalam postur janggal adalah pengulangan dalam jangka waktu lama, dalam kondisi menggapai, berputar, memiringkan badan, berlutut, jongkok, memegang dengan kondisi statis dan menjepit dengan tangan.

Postur punggung yang merupakan faktor resiko MSD adalah membungkukkan badan, sehingga membentuk sudut 20° terhadap vertikal dan berputar dengan beban objek 9 kg atau lebih, durasi lebih dari 10 detik dan frekuensi lebih dari 2 kali per menit atau total lebih dari 4 jam sehari (Humantech, 1995).

Postur bahu yang merupakan faktor risiko MSD adalah melakukan pekerjaan dengan lengan di atas bahu lebih dari 4 jam sehari (Departement of Labour and Industries, 2001), atau lengan atas membentuk sudut 45° ke arah samping/ke arah depan terhadap badan selama lebih dari 10 detik dengan frekuensi lebih dari 2 kali/menit dan beban lebih dari 4,5 kg (Humantech, 1995).

Departement of Labour and Industries menyatakan bahwa postur kaki yang menjadi faktor risiko MSD adalah dengan melakukan pekerjaan dengan membengkokan kaki lebih dari 45° terhadap horizontal, bertumpu di atas satu kaki atau berlutut selama total lebih dari 4 jam/hari, atau dengan frekuensi lebih dari 2 kali/menit (Humantech, 1995).

Postur kerja yang baik menjamin kerja otot statis seminim mungkin, sehingga memungkinkan seseorang melakukan pekerjaan dengan tangan seefektif mungkin tanpa memerlukan kerja otot tambahan (Satrya, 2002). Untuk mempertahankan postur tubuh tertentu, maka seseorang harus


(8)

mengkontraksikan otot. Gaya tersebut dapat berupa gaya gravitasi bumi atau beban yang dipikul. Dalam hal ini terjadi interaksi antara gaya beban dan gaya yang berasal dari otot sehingga dicapai keadaan yang seimbang. Dalam ergonomi, sistem tubuh yang paling sering diperhitungkan dengan postur tubuh adalah sistem musceloskeletal. Sesuai dengan tingkat keseringan timbulnya gangguan bagian tubuh yang sering menderita MSD, berturut-turut adalah bagian lumbar, leher, bahu, dan lengan bawah.

Postur yang tidak seimbang dan berlangsung dalam waktu yang agak lama, maka dapat mengakibatkan ”stres” pada bagian tubuh tertentu. Ini biasanya disebut dengan postural stress. Hal ini disebabkan karena keterbatasan tubuh manusia untuk melawan beban dalam jangka waktu yang lama, di mana dapat terjadi berbagai akibat yang merugikan tubuh, seperti timbulnya fatigue otot (kelelahan otot), tidak tenang, gelisah dan nyeri.

D. Musculeskeletal Disorder (MSD)

Istilah Musculoskeletal Disorders (MSD) pada beberapa negara mempunyai sebutan yang berbeda, misalnya di Amerika Serikat istilah ini dikenal dengan nama Cumulative Trauma Disorder (CTD), di Inggris dan Australia disebut dengan nama Repetitive Strain Injury (RSI), sedangkan di Jepang dan Skandinavia lebih dikenal dengan sebutan Occupational Cervicobrachial Disorders (OCD). Istilah lain yang berbeda adalah Overuse Syndrome (Pheasant, 1991).

MSD merupakan salah satu penyakit yang berkaitan dengan jaringan otot, tendon, ligamen, kartilago, persendian, sistem syaraf, struktur tulang, dan pembuluh darah. Bagian tubuh yang menjadi fokus perhatian MSD adalah leher, bahu, lengan bawah, lengan, pergelangan tangan dan kaki. MSD pada awalnya menyebabkan sakit, nyeri, mati rasa, kesemutan, bengkak, kekakuan, gemetar, gangguan tidur, dan rasa terbakar (Humantech, 1995). Pada akhirnya mengakibatkan ketidakmampuan seseorang untuk melakukan pergerakan dan koordinasi gerakan anggota tubuh atau ekstremitas. Sehingga dapat dilihat


(9)

bahwa MSD akan mengakibatkan efisiensi kerja dan produktivitas kerja menurun.

MSD bukanlah diagnosis klinis, akan tetapi merupakan label untuk persepsi penyakit kronis yang terjadi akibat akumulasi faktor-faktor resiko karena MSD adalah salah satu penyakit multifaktorial. Faktor penyebab terjadinya MSD antara lain adalah:

a. Faktor pekerjaan

Faktor pekerjaan antara lain adalah gerakan repetitif, postur kerja janggal, statis dan penggunaan tenaga yang besar (Bernard, 1997; Pheasant, 1991; Di Nardi, 1997; Riihmaki, 1998). Menurut Bernard (1997), postur menunjukkan bukti yang kuat sebagai faktor yang berkontribusi terhadap MSD dan menimbulkan terjadinya gangguan pada leher, punggung dan bahu. Gerakan repetitif menjadi faktor risiko MSD karena pergerakan repetitif dapat meningkatkan fase kontraksi dan sedikit relaksasi. Tubuh yang mengalami gerakan repetitif berarti terjadi akumulasi trauma mekanik yang akan mengakibatkan meningkatnya risiko MSD. Gerakan repetitif tidak dapat dibedakan dengan kerja statis dalam hal pembentukan dan pertahanan postur tubuh dalam jangka waktu tertentu. Perubahan patologis yang terjadi pada gerakan repetitif juga terjadi pada kerja statis. Penggunaan tenaga yang besar dan terus-menerus juga menjadi faktor risiko MSD.

b. Faktor perorangan/personal

Faktor perorangan antara lain adalah umur, jenis kelamin, kekuatan otot, dll. (Pheasant, 1991). Umur berkaitan dengan perubahan degeneratif fungsi fisiologi tubuh. Pertambahan umur berarti terjadi perubahan pada jaringan tubuh dan tubuh menjadi semakin rentan, sehingga seiring dengan bertambahnya umur, maka akan meningkatkan risiko MSD (Riihmaki, 1998). Akan tetapi, menurut Guo (2004) hubungan antara umur dengan risiko MSD tidak selalu linear.


(10)

c. Faktor lingkungan

Faktor lingkungan yang berpengaruh terhadap kejadian MSD yaitu suhu dingin, vibrasi (Riihmaki, 1998), dan tingkat luminasi (Bridger, 1995).

d. Faktor psikososial

Faktor psikososial yaitu kepuasan kerja, stres mental, dan organisasi kerja (shift kerja, waktu istirahat, dll (Di Nardi, 1997)).

1. Symptom/Keluhan MSD

Gejala MSD biasanya disertai dengan keluhan yang sifatnya subjektif sehingga sulit untuk menentukan derajat keparahan penyakit tersebut. Menurut Humantech (1995), terdapat beberapa tanda awal yang menunjukkan terjadinya masalah terhadap musculeskeletal, yaitu bengkak (swelling), gemetar (numbness), kesemutan (tingling), rasa tidak nyaman (discomfort), rasa terbakar (burning sensation), iritasi, insomnia dan rasa kaku.

Walaupun derajat keparahan sulit untuk ditentukan, Kroemer seperti yang disadur oleh Oborne (1995) mengungkapkan symptom/keluhan yang menggambarkan tingkat keparahan penyakit MSD tersebut, yaitu:

a. Tahap 1

Nyeri dan kelelahan pada saat bekerja, tetapi setelah beristirahat yang cukup tubuh akan pulih kembali. Tidak mengganggu kapasitas kerja.

b. Tahap 2

Symptom rasa nyeri tetap adasetelah lewat waktu semalam/istirahat, timbul gangguan tidur dan sedikit mengurangi perform kerja.

c. Tahap 3

Rasa nyeri tetap ada walaupun telah beristirahat, nyeri dirasakan saat bekerja, saat melakukan gerakan berulang, tidur menjadi terganggu dan


(11)

kesulitan dalam menjalankan pekerjaan yang akhirnya mengakibatkan terjadinya inkapasitas.

2. Dampak MSD

Dampak yang diakibatkan oleh MSD pada aspek ekonomi perusahaan, yiatu (Pheasant, 1991):

a. Pada aspek produksi, yaitu berkurangnya output, kerusakan materi, produk yang akhirnya menyebabkan tidak terpenuhinya deadline

produksi, pelayanan yang tidak memuaskan, dll.

b. Biaya yang timbul akibat absensi pekerja yang akan menyebabkan penurunan keuntungan, biaya untuk melatih karyawan yang menggantikan karyawan yang sakit, biaya untuk menyewa jasa konsultasi/agensi.

c. Biaya penggantian karyawan (turn over) untuk rekruitmen dan pelatihan. d. Biaya asuransi.

e. Biaya lainnya (opportunity cost).

MSD juga berdampak pada peningkatan hari kerja hilang. Berdasarkan survei SWI tahun 2001-2002 dan 2002-2003, hari kerja hilang berjumlah 12,3 juta hari kerja hilang. Hal ini tentu saja akan menyebabkan produktivitas kerja berkurang dan terjadinya inefisiensi kerja. Pheasant (1991) menyatakan bahwa terjadi peningkatan turn over pada para pekerja, yaitu sebesar 25% pada pekerja produksi, 30% pada pekerja bagian assembly.


(12)

E. Back Support

Back support merupakan APD yang berfungsi untuk menunjang pinggang operator dan juga mendorong operator untuk tetap menjaga pinggangnya tetap pada posisi natural/normal (tidak membungkuk). Back support dikenakan di daerah pinggang dan memiliki batang penyangga di sekelilingnya. Penyangga inilah yang berperan untuk men-support pinggang operator.

Gambar 1. APD back support

Meskipun APD ini berfungsi untuk mendorong pekerja untuk mempertahankan posisi normal tulang belakangnya, namun pekerja masih bisa membungkuk. Hal ini dikarenakan pertimbangan faktor kenyamanan dan fleksibilitas yang diperlukan dalam bekerja.

Tali suspender

Perekat


(13)

BAB III

METODOLOGI

Kegiatan magang merupakan bagian dari Toyota Internship Programme, yaitu suatu program kerjasama Toyota dengan pihak universitas/institusi pendidikan yang diharapkan akan mengutungkan kedua belah pihak. Pelaksana magang/mahasiswa diijinkan untuk belajar dalam dunia kerja nyata. Pada kesempatan ini, mahasiswa melaksanakan magang di Divisi SHE (Safety Health Environment) yang menangani masalah K3 (Kesehatan dan Keselamatan Kerja) dan lingkungan kerja. Selama pelaksanaan kegiatan magang ini, mahasiswa ikut membantu kegiatan/aktivitas divisi SHE seperti penyusunan format safety rule

dan safety standard. Selain itu, mahasiswa juga mendapatkan tugas untuk melakukan pengamatan dan pengkajian aspek ergonomika pada manual material handling di Packing and Vanning Division yang menjadi pilot project SHE

Division dalam pengembangan bidang ergonomika.

A. Waktu dan Tempat

Kegiatan magang ini dilaksanakan selama 4 bulan terhitung mulai tanggal 10 Maret hingga 10 Juli 2009 bertempat di SHE dan Packing and Vanning Division Plant Sunter 1 dan Sunter 2 PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia.

B. Pelaksanaan Kegiatan

1. Mempelajari Ruang Lingkup Perusahaan dan Divisi SHE (Safety Health Environment)

Pengetahuan mengenai latar belakang perusahaan diperlukan agar mahasiswa dapat lebih mudah menyesuaikan diri dengan lingkungan perusahaan. Pengetahuan mengenai ruang lingkup perusahaan dan divisi


(14)

SHE juga menjadikan mahasiswa mengetahui akan peran dan tanggung jawabnya dalam lingkup organisasi perusahaan.

2. Penugasan

Dalam pelaksanaan magang ini, mahasiswa diberi tugas khusus untuk mengkaji aspek ergonomika, terutama yang terkait dengan postur kerja pada kegiatan manual material handling di Packing and Vanning Division, PT. TMMIN. Pengkajian ini juga sebagai bagian dari pilot project SHE

Division dalam pengembangan bidang ergonomika di PT. TMMIN. 3. Observasi dan Pengambilan Data

Observasi dan pengambilan data dilakukan sebelum dan sesudah dilakukan improvement. Observasi sebelum improvement dilakukan sebagai mapping permasalahan ergonomi pada Packing and Vanning Division dan observasi setelah improvement digunakan untuk melihat kemajuan yang tercapai setelah penerapan improvement pada pos/line

kerja yang bersangkutan. Pengambilan data sendiri dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : perekaman menggunakan kamera video/handycam, pencatatan, dan wawancara.

a. Perekaman proses kerja, perekaman dilakukan untuk mendapatkan dokumentasi proses kerja yang dapat dipisah-pisahkan berdasarkan elemen-elemen kerjanya. Dan dari hasil perekaman tersebut juga dapat dilihat posisi/postur pekerja dengan lebih akurat.

b. Pencatatan Data, data yang diambil dalam kegiatan ini adalah proses kerja yang dilakukan, waktu yang dibutuhkan untuk melaksanakannya, dimensi peralatan dan tempat kerja.

c. Wawancara, wawancara dilakukan terhadap beberapa karyawan untuk mendapatkan beberapa hal mengenai keadaan tempat kerja dan pemahaman pekerja mengenai ergonomi.

4. Diskusi

Diskusi diperlukan untuk menyampaikan rencana dan laporan kegiatan yang akan dan sudah dilaksanakan kepada pembimbing lapang dan juga


(15)

manager dan staf Packing and Vanning Division. Diskusi juga dimanfaatkan sebagai sarana tukar pendapat diantara mahasiswa dan perusahaan mengenai kegiatan yang tengah dilakukan maupun mengenai permasalahan kerja yang ada di perusahaan, khususnya yang berhubungan dengan bidang ergonomi.

5. Perencanaan Improvement

Permasalah yang didapat dari hasil observasi kemudian dianalisis faktor penyebab dan dampak yang mungkin ditimbulkannya. Pemecahan dari permasalahan tersebut mengacu ke empat hal, yaitu perbaikan pada peralatan atau tempat kerja, metode kerja yang digunakan, manusia atau pekerja itu sendiri, dan material yang ditangani.

Perbaikan pada peralatan atau tempat kerja merupakan prioritas pertama dalam pelaksanaan improvement. Perbaikan peralatan atau tempat kerja dapat meliputi penambahan alat baru ataupun perubahan posisi atau lay out tempat kerja. Proses desain atau perancangan alat atau tata letak yang baru dapat dilakukan dengan menggunakan software autocad.

6. Improvement Trial

Trial adalah kegiatan uji coba penerapan improvement yang telah dirancang sebelumnya. Dari trial ini diharapkan dapat diketahui kekurangan dan kelemahan dari rencana improvement tersebut.

7. Evaluasi

Evaluasi dilakukan untuk menilai kinerja atau efektivitas dari improvement

yang sedang di-trial. Kekurangan yang masih ada akan dibahas dalam diskusi dan dicari pemecahannya.

8. Implementasi

Implementasi merupakan tahapan akhir dari rencana improvement, yaitu penerapan langsung di lapangan. Implementasi dilakukan setelah proses


(16)

C. Peralatan

Peralatan yang digunakan dalam kegiatan magang ini adalah 1. Handycam

Handycam digunakan untuk merekam aktivitas/pekerjaan yang dilakukan di Packing and Vanning Division terutama aktivitas manual material handling. Handycam yang digunakan masih menggunakan format miniDV sebagai media penyimpanan datanya sehingga diperlukan proses capture

menggunakan kabel firewire untuk mengubahnya menjadi format digital. Hasil perekaman yang diperoleh akan digunakan sebagai data utama dalam pengamatan proses kerja.

2. Komputer dan Alat Tulis

Komputer digunakan untuk memindahkan dan mengubah format video dari miniDV ke format digital. Komputer juga digunakan untuk mengolah dan menganalisa rekaman kerja. Pengolahan data video menggunakan

software windows movie maker dan ulead 10 untuk memisahkan video ke dalam siklus-siklus kerja dan melihat proses kerja dalam slow motion.

Software lain yang digunakan adalah autocad 2007 yang digunakan untuk perancangan alat sebagai improvement yang dihasilkan dari pengamatan dan analisa.

3. Stopwatch

Stopwatch digunakan untuk menghitung waktu siklus dari tiap proses kerja sebelum dan setelah dilakukan improvement. Waktu yang dihitung tersebut akan dibandingkan dengan standar perusahaan yang ada. Sehingga dapat dilihat pengaruh improvement tersebut terhadap waktu proses. 4. Meteran

Meteran digunakan untuk mengukur dimensi alat dan tempat kerja. Misalnya tinggi rak penyimpanan part.


(17)

BAB IV

KEADAAN UMUM PERUSAHAAN

A. Sejarah Singkat Toyota

Sakichi Toyoda sebagai pendiri organisasi Toyota di Jepang , lahir 1867 sebagai anak tukang kayu yang mulai hidupnya saat Jepang mulai memodernisasi negaranya, banyak menyumbang kemajuan Jepang melalui beberapa penemuannya yang paling terkenal yaitu alat tenun otomatis. Karakteristik dari penemuannya itu adalah bila benang putus maka mesin akan berhenti otomatis. Kebiasaan mesin berhenti apabila terdapat kasalahan adalah sebagai salah satu prinsip yang penting bagi Toyota dewasa ini.

Sakichi banyak membuat pembaruan dalam penyelidikannya agar alat tenunnya lebih efisien dan ekonomis. Pada tahun 1926, didirikan Toyoda Automatic Loom Works yang akan melahirkan Toyota Motor Corporation. Sakichi Toyoda memberikan sebagian dari hasil pembuatan alat tenun tersebut kepada putranya yaitu Kiichiro yang ingin berbuat hal yang sama terhadap mobil setelah berkeliling ke Amerika Serikat dan Eropa untuk melihat penggunaan mobil, sehingga ia berpendapat bahwa zaman mobil akan datang ke Jepang. Maka pada tahun 1933 ditambahkanlah divisi mobil dalam Toyoda Automatic Loom Works. Tahun 1935, dilakukan pembuatan bentuk asli pertama kendaran yang bermuatan 5 penumpang disebut Toyota A1 dan Truck G1. Dua tahun kemudian Kiichiro memisahkan diri dari Toyoda Automatic Loom Works, kemudian mendirikan Toyota Motor Company sebagai kelembagaan yang menetapkan just-in time production (melakukan pengiriman part yang betul, pada waktu yang tepat, dengan jumlah yang betul, dan tidak ada kelebihan stock atau tidak diperlukan gudang).

Setelah perang dunia kedua, ekonomi Jepang menggalami krisis yang berpengaruh pula pada keuangan perusahaan Toyota. Akibatnya perusahaan tidak mampu membayar gaji para karyawannya, sehingga untuk


(18)

menanggulangi permasalahan keuangan tersebut pada bulan april 1950 Toyota dipecah menjadi Toyota Motor Company dan Toyota Motor Sales Company.

Pada bulan juni 1950, pertentangan karyawan mengenai ketidakmampuan membayar gaji berakhir dan perusahaan mulai beroperasi dengan manajemen baru. Tahun 1951, dua orang staf Toyota mengunjungi Amerika Serikat untuk belajar metode manajemen modern, dan di Ford Motor Company mereka melihat sistem saran atau ide perbaikan dan slogan “Kualitas dan Keselamatan Kerja“ yang memberikan ide untuk menempatkan sistem yang sama di Toyota. Dengan ide tersebut, dipilih “Produk Yang Baik Dari Pemikiran Baik” sebagai slogan Toyota tahun 1953.

Pada tahun 1953, fasilitas produksi pertama yang aklusif untuk membuat kendaraan penumpang bagi keluarga yaitu Motomachi Plant selesai dibagun dengan menanamkan modal yang merupakan resiko yang besar pada saat itu. Tahun 1955, Toyota memperkenalkan “Crown” yang dikembangkan tanpa memanfaatkan bantuan dari luar, lalu dua tahun kemudian Toyota mulai mengekspor mobil tersebut ke Amerika Serikat walaupun akhirnya gagal karena tidak dapat melawan jalan jauh dan cepat di Amerika Serikat.

Selama tahun 1960, industri mobil Jepang tumbuh pesat baik untuk pasar ekspor dan dalam negeri. Toyota memperkenalkan TQC (Total Quality Control) dengan maksud meningkatkan derajat produksi mobil yang berstandard mutu internasional pada tahun 1961.

Untuk mempunyai daya saing lebih besar yang diperlukan agar sukses dalam pasar yang ketat pada tahun 1980an maka Toyota Motor Company dan Toyota Motor Sales Company bergabung membentuk Toyota Motor Comporation. Perubahan besar dalam sejarah Toyota termasuk pembentukan NUMMI yaitu suatu usaha kolektif antara Toyota dengan Amerika Serikat pada tahun 1984 sampai saat ini memproduksi jenis kendaraan Prims “GM dan Corolla” untuk Toyota.


(19)

B. Perkembangan Toyota

PT. Toyota Astra Motor sebagai perusahaan pelopor industri otomotif Indonesia memiliki komitmen untuk selalu mengutamakan kepuasan pelanggan dan senantiasa terus-menerus menciptakan inovasi terbaiknya. Guna mewujudkan visi perusahaan Toyota untuk menjadi perusahaan industri otomotif berkelas internasional, Toyota juga mempunyai misi untuk tetap unggul di bidang otomotif dan kepuasan pelanggan, selalu memberikan konstribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial, meningkatkan kesejateraan melalui pembinaan kepercayaan dengan karyawan, dealer dan pemasok, memelihara kelangsungan hidup dan keselamatan kerja, serta menjunjung tinggi kemampuan individu tanpa mengesampingkan kerja sama tim.

PT. Toyota Astra Motor diresmikan pada tanggal 12 April 1971, mempunyai peranan semula hanya sebagai importir kendaraan Toyota namun setahun kemudian sudah berfungsi sebagai distributor. Demi kepuasan produk yang dimiliki para penggunanya, Toyota juga menghadirkan beragam produk terbaiknya yang terbukti banyak diminati. Variasi produk andalannya meliputi kendaraan serba guna diantaranya : Kijang dan Dyna; sedan unggulannya : Soluna, Corolla dan Camry; serta kendaraan Completely Built-up (CBU) yang mewah : Crown, Previa, RAV4, dan Land Cruiser Turbo.

PT. Toyota Astra Motor menyadari bahwa inovasi dalam menciptakan mobil berkualitas tinggi mutlak dilakukan demi memenuhi komitmen utama yaitu kepuasan pelanggan. Itulah yang mendorong Toyota yang melengkapi setiap fasilitas produksinya dengan teknologi tinggi, misalnya : robotisasi yang digunakan pada proses penggecetan dan pencetakan body untuk menjaga konsistensi dan hasil yang prima, rancang bagun dengan CAD / CAM digunakan untuk analisa hasil proses dengan komputer serta penggelasan berteknologi mutakir, dan spot welding untuk memberikan hasil yang lebih akurat.


(20)

kualitas di bidang manufaktur. Di lain pihak, pabrik perakitan di Sunter berhasil mendapatkan setifikasi ISO 14001 untuk pengelolaan lingkungan. Oleh karena itu, perusahaan Toyota benar-benar menerapkan teknologi canggih yang berwawasan lingkungan adalah dengan adanya instalasi pengelolahan air limbah.

Tabel 1. Sejarah Perkembangan Toyota

1971 PT Toyota-Astra Motor (TAM) resmi didirikan sebagai importir dan distributor kendaraan Toyota di Indonesia

1973 Didirikan pabrik perakitan PT Multi Astra

1976 Mendirikan PT Toyota Mobilindo, pabrik komponen kendaraan niaga 1977 Peluncuran Kijang generasi pertama

1982 Peresmian Parts Center

1982 Pabrik mesin PT Toyota Engine Indonesia mulai beroperasi 1987 Ekspor perdana Kijang ke beberapa negara Asia-Pasifik 1989 Peluncuran Kijang ke 200.000 & produksi Toyota ke-500.000 1995

Kijang Lintas Nusa, Banda Aceh-Larantuka sekitar 6000 Km, memperingati "Indonesia Emas" (50 tahun merdeka)

1996 Peluncuran unit produksi Toyota ke 1.000.000 2000 Peresmian pabrik mobil modern di Karawang

2003

TAM berubah menjadi PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia [TMMIN] dan didirikan TAM sebagai distributor. Produksi Kijang ke-1.000.000 unit.

2004

Peluncuran Toyota Avanza sebagai kendaraan hasil kolaborasi TAM-TMMIN dan PT. Astra Daihatsu Motor.


(21)

Terhitung sejak 15 Juli 2003, didirikan PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia (TMMIN) dan Toyota-Astra Motor (TAM) sebagai distributor. Dengan kepemilikan saham yaitu PT. Astra International Tbk sebesar 5% dan Toyota Motor Corporation sebesar 95%. Dengan aktivitas utamanya yaitu sebagai pabrik perakit produk Toyota, pabrik pembuat mesin,

jig, dies dan komponen otomotif, juga sebagai eksportir kendaraan Toyota dan

part komponen kendaraan.

PT. Toyota Motor Manufacturing Indunesia memiliki kantor pusat (Head Office) yang berlokasi sama dengan TAM yaitu di Sunter Jakarta Utara, sedangkan untuk produksinya PT. TMMIN memiliki dua lokasi kawasan produksi yaitu pertama yang berada di Sunter dengan jenis kegiatan produksi pabrik pengecoran, pencetakan, mesin, perakitan. Dan satu lagi berlokasi di Karawang International Industries City (KIIC) Karawang Barat dengan kegiatan produksi pabrik pencetakan dan perakitan. Karawang Plant mulai beroperasi semenjak Februari 1998, terletak di tol Jakarta-Cikampek KM 47, Teluk Jambe, Karawang, Jawa Barat. Di bangun di atas lahan seluas 1.000.000 m2. Karawang plant dirancang untuk memproduksi mobil-mobil Toyota khusus kendaraan penumpang dengan kapasitas 30.000 unit pertahun dan kini telah ditingkatkan hingga 100.000 unit pertahun. Kegiatannya mulai dari

Stamping (beberapa panel), Welding, Painting, Assembling untuk mobil penumpang misalnya : Kijang, Soluna, Corolla, Camry.

Pada saat ini, lokasi yang dulunya jauh dari pemukiman masyarakat, baik masyarakat yang bekerja di PT. Toyota Astra Motor maupun masyarakat umum. Ini merupakan tantangan tersendiri bagi perusahaan agar kegiatan kegiatan sehari-hari perusahaan tidak menggangu masyarakat sekitar. Pihak perusahaan telah berupaya mengurangi dampak buruk, baik berupa limbah, polusi udara, ataupun suara dengan cara melakukan perbaikan dan pengelolahan limbah.Hal ini di lakukan selain untuk menjaga lingkungan juga untuk mendapatkan sertifikasi standar ISO 14001 sehingga PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia menjadi pabrik yang ramah lingkungan.


(22)

C. Visi dan Misi Perusahaan

Visi : Menjadi yang terdepan di dalam bidang manufacturing maupun distribusi sebagai upaya untuk menjadi perusahaan otomotif berkelas internasional.

Misi :

a. Menjadi pemimpin dalam industri otomotif Indonesia b. Selalu mengutamakan kepuasan pelanggan

c. Selalu memberikan kontribusi bagi pembangunan ekonomi dan sosial d. Meningkatkan kesejahteraan melalui pembinaan kepercayaan dengan karyawan,

dealer dan pemasok

e. Memelihara kelangsungan lingkungan hidup dan keselamatan kerja

f. Menjunjung tinggi kemampuan individu tanpa mengesampingkan kerjasama tim Filosofi :

a. Memproduksi barang dan jasa yang berkualitas tinggi dengan langkah-langkah yang professional guna memberikan kontribusi kepada negara, bangsa dan masyarakat.

b. Berkembang bersama karyawan, dealer dan supplier atas dasar kepercayaan dan saling menghargai.

D. Stuktur Organisasi PT. TMMIN

Bagi suatu perusahaan, keberadaan struktur organisasi memberikan beberapa sumbangan dukungan yang sangat berarti dan positif. Hal ini didasarkan pada apa yang terkandung di dalam struktur keorganisasian itu sendiri yang memuat gambaran tentang suatu wewenang dan tanggung jawab yang terarah di antara pelaku di perusahaan. Seperti kita ketahui bahwa efektivitas suatu perusahaan akan tergantung dari pada manajemen yang ditetapkan pada perusahaan tersebut, serta manajemen yang baik akan tercapai


(23)

apabila tugas serta wewenang yang diemban oleh masing-masing pelaku organisasi perusahaan dapat terarah dan memberikan informasi yang jelas.

Struktur organisasi dari satu perusahaan berkaitan erat dengan pembagian tugas, wewenang dan tanggung jawab sesuai dengan job description masing-masing komponen. Struktur organisasi juga terdiri dari beberapa hubungan yang relatif tetap dan mantap antara pekerjaan dan kelompok pekerjaan. Tujuan utama dari kelompok organisasi adalah menyalurkan prilaku orang dan kelompok di dalam suatu pekerjaan untuk menghasilkan hasil yang efektif dan efisien.

Empat keputusan penting dari manajemen dalam menentukan struktur organisasi adalah menentukan spesialisasi pekerjaan, departemenisasi, menentukan tentang kendala dan penampilan wewenang. Keempat keputusan penting tersebut saling berhubungan dan saling berkaitan satu sama lain. Walaupun masing-masing mempunyai persoalan khusus tertentu yang dapat dipertimbangkan terpisah dari yang lain.

Pada PT TMMIN, keberadaan struktur organisasi sama halnya dengan perusahaan-perusahaan lainnya yang menganggap penting dan positif. Dalam hal ini struktur organisasi yang ditetapkan oleh PT TMMIN adalah organisasi staf dan organisasi garis. Hal tersebut dipilih dengan pertimbangan agar fungsi personal dan administrasi secara struktural, baik vertikal maupun horizontal dapat tetap berjalan secara serasi dan seimbang.

Struktur organisasi di PT TMMIN, didasarkan pada pembagian tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan kegiatan atau usaha di perusahaan tersebut. Badan tertinggi adalah Board Of Director (BOD).


(24)

Gambar 2. Sttuktur Organisasi Perusahaan Internal Audit

External Affair

Direktur

KI-J Promoting

Strategic Planning & Production Engineering

Quality Assurance

Engineering

Operation Management Consulting

ISTD

Purchasing

Human Resources & General Affair

Finance

Safety, Health & Environment

Production & Logistic Control

Packing & Vanning

Sunter Plant

Karawang Plant

Human

General Affair

Export Import

Production

Machining

Stamping

Casting

Design & Fabrication Administration

Manufacturing

Administration

Manufacturing Quality Control

Assembly & Painting


(25)

E. Toyota Intership Programe

Toyota Motor Coorporation sebagai salah satu perusahaan otomotif terbesar dunia kian hari mengalami pangsa pasar yang terus meningkat. Secara langsung hal ini jelas akan meningkatkan kuntitas produksi per harinya.

Untuk mencapai target kuantitas tersebut dibutuhkan pula tenaga lebih, baik berupa mesin, equipment maupun tenaga manusia. Tenaga manusia yang dibutuhkanpun harus benar-benar handal. Oleh karena itu Toyota menggunakan beberapa metode untuk melakukan perekrutan karyawan.

Beberapa metode tersebut adalah seperti dibawah ini : 1. Langsung

Merekrut secara langsung dari masyarakat umum melalui informasi di internet maupun lewat media cetak dan informasi.

2. Kerjasama dengan universitas

Perekrutan melalui universitas-universitas yang dianggap cukup berkualitas. Melalui hal ini diharapkan perusahaan mendapat bibit yang bernar-benar bermutu dan mampu bersaing.

3. Intership Program

Proses kerjasama dengan universitas yang saling menguntungkan. Dari pihak Universitas sendiri akan mempermudah bagi para mahasiswanya untuk mendapatkan tempat kerja praktek. Bagi pihak Toyota mahasiswa tersebut diharapkan mampu memberikan inovasi maupun improvement

untuk meningkatkan unjuk kerja perusahaan tersebut.

Toyota Internship Program memberi kewajiban bagi para pesertanya untuk melakukan improvement dan mempresentasikannya di Head Office

yaitu di Human Resources Division (HRD). Di program ini terlihat hubungan timbal balik, bagi mahasiswa sendiri yang membutuhkan tempat kerja praktek. Bagi Toyota program ini juga merupakan salah satu jalan untuk melakukan perekrutan karyawan.


(26)

Perekrutan karyawan baru ditinjau dari beberapa aspek. Selain dilihat dari unjuk kerja di Lapangan, yaitu dengan cara rekomendasi dari mentor supaya orang yang bersangkutan ditarik untuk menjadi karyawan Toyota. Perekrutan juga dilihat dari hasil penilaian pada saat proses presentasi

improvement yang telah dibuat.

F. Lokasi Perusahaan

PT. TMMIN mempunyai beberapa lokasi kantor dan plant yaitu: a. Kantor Pusat (Head Office)

Jl. Yos Sudarso, Sunter II, Jakarta 14330

Website: http://www.toyota.co.id

Telp. (62-21) 651 5551 Faks. (62-21) 651 5327 b. Sunter I Plant

Jl. Laks. Yos Sudarso, Sunter I, Jakarta 14330 Telp. (62-21) 651 8989

Faks. (62-21) 653 04122 c. Sunter II Plant

Jl. Gaya Motor Raya, Sunter II, Jakarta 14330 Telp. (62-21) 651 1210

Faks. (62-21) 651 2287 d. Karawang Plant

Jl. Permata Raya Lot DD-1, Kawasan Industri KIIC (Tol Jakarta-Cikampek Km 47) Karawang, West Java 41361


(27)

Telp. (62-21) 890 4222 Faks. (62-21) 890 4228

Karawang Plant mulai dibangun pada tanggal 26 Mei 1996 dan mulai beroperasi pada tanggal 10 Maret 1998. Pada plant dengan luas 1.000.000 m2 ini terdapat empat shop dan beberapa gedung lainnya yaitu:

a. Press Shop dengan luas bangunan 6.000 m2 b. Welding Shop dengan luas bangunan 20.000 m2 c. Painting Shop dengan luas bangunan 13.200 m2 d. Assembly Shop dengan luas bangunan 24.000 m2 Gedung lainnya dengan luas bangunan 15.000 m2

Untuk lebih jelasnya, berikut ini adalah tata letak Karawang Plant PT. TMMIN, yaitu:


(28)

G. Kegiatan Divisi-divisi Perusahaan.

Kegiatan yang dilakukan di PT. Toyota Motor Manufacturing Indonesia dapat dispesifikasikan sebagai kegiatan tiap-tiap plant yaitu :

1. Stamping Plant

• Manufaktur bagian-bagian body stamping untuk keperluan pembuatan kendaraan komersial Toyota.

• Manufaktur frame untuk kendaraan komersial Toyota.

• Manufaktur bagian-bagian sub-assembly dari body seperti :

engine-hood, back-door, rear-door, front-door.

• Manufaktur tanki bahan bakar, pipa pengeluaran untuk kendaraan komersial dan kendaraan penumpang.

• Manufaktur peralatan stamping dan alat bantu perakitan untuk pembuatan body.

• Mengekspor peralatan stamping ke Thailand dan Filipina serta alat bantu perakitan ke Venezuela, Jepang dan Pakistan

2. Engine Plant

Luas dari Engine 7K Plant adalah 15.327 m2 dengan kapasitas produk 4.400 unit/bulan. 7K Engine Plant memproduksi mesin tipe 7K dan 14B untuk Kijang Pick Up dan Truk Dyna.

Beberapa pekerjaan diselesaikan di Engine Plant, seperti :

• Pembuatan komponen mesin

• Perakitan mesin tipe 7K (270 M/C)

• Perakitan dan pengepakan dari mesin tipe TR ( IMV Series) dan komponen mesin TR dimana akan dikirim ke Thailand (komponen), dan Venezuela, Afrika Selatan, dan Filiphina (rakitan mesin).


(29)

Engine TR Plant, dengan luas area sebesar 19.000 m2, memiliki kapasitas produksi 15.000 unit /bulan untuk Machining Line dan 13.000 unit/bulan untuk Assy Line. Engine TR Plant juga dilengkapi peralatan dengan fasilitas seperti:

1. Machining Line :

a. Mesin N/C dengan Meldas C64T dan Fanuc controller yang juga digunakan oleh TMC dan di Negara lainnya.

b. Hardening machine untuk Cam Shaft dan Crank Shaft c. Leak Tester untuk quality assurance.

2. Assembly Line :

a. Flexible Module Conveyor yang dapat disamakan dengan siklus waktu produksi.

b. Torque Control untuk penghitungan akurat dalam jangka waktu pendek.

c. Interlock system untuk mencegah kesalahan yang dilakukan dengan panel program touch screen.

d. Supply Part System untuk memenuhi permintaan mensetting

part mesin.

e. Leak Tester untuk ujicoba leaking level di C/H, unit E/G dengan volume yang tepat dengan tipe mesin

f. Test Bench. 3. Casting Plant

Membuat blok silinder, crank-shaft, crank-cap dan flywheel untuk proses lebih lanjut pada mesin di engine plant.

4. Parts Center

Memproduksi, menjual, mendistribusikan bagian-bagian dari kendaraan yang di jual oleh Toyota.


(30)

5. Training Center

Melakukan training baik bagi para mekanik Toyota maupun unutk umum, yang diantaranya mencakup kegiatan kerja magang bagi para pelajar.

6. Assembly Plant

Assembling Shop yang memiliki luas area 37.500 m2 merupakan tempat perakitan satu body kendaraan utuh menjadi sebuah kendaraan utuh siap jalan. Di Assembling Shop inilah dilakukan proses perakitan atau pemasangan seluruh komponen kendaraan pada satu body kendaraan. Mulai dari mesin hingga roda kendaraan.

Assembling Shop memiliki fasilitas Main Assembly Line dengan door less system assembly yang memberikan jaminan kualitas terbaik dan peningkatan produktifitas kerja. Selain itu juga dilengkapi dengan Final Test Facility yang mengecek setiap unit kendaraan untuk mewujudkan kepuasan pengguna kendaraan tersebut.

o Luas area : 37.500 m2

o Fasilitas : Interior Assembling Wheel Alignment

7. Welding Plant

Welding Shop memiliki area 23.000 m2. Di sinilah proses penyambungan/pengelasan bagian-bagian body kendaraan untuk menghasilkan satu bagian utuh. Prosesnya adalah dengan menyatukan seluruh pressed part yang diproduksi oleh Stamping Shop. Hasil akhir dari proses ini adalah satu body kendaraan utuh.

Untuk menjamin tingkat presisi dan keakuratan yang tinggi Welding Shop dilengkapi fasilitas Welding Main Body line, Coordinate Measuring Machine dan Shell Body Line dengan Slat Conveyor. Disamping itu juga didukung dengan 34 buah robot las (MB 16, UB 6


(31)

dan Fr 12) dan GBL (Global Body Line) yang memberikan jaminan kualitas permukaan luar (proses clamp dari sisi dalam).

Luas Area : 23.000 m2 Fasilitas :

Welding Main Bodyline

Coordinate Measuring Machine Shell Body Line

Slat Conveyor


(32)

BAB IV

PELAKSANAAN KEGIATAN

A. General Induction

Setiap orang yang akan masuk ke dalam lingkungan PT. TMMIN wajib mendapatkan induksi atau pengenalan mengenai perusahaan serta aturan-aturan dan prosedur keselamatan yang berlaku di dalam lingkungan perusahaan. Hal ini bertujuan untuk menjaga keselamatan diri sendiri dan juga orang lain dari hal-hal yang tidak diinginkan, seperti kecelakaan. Dalam induksi ini, diperkenalkan profil perusahaan dan prinsip yang dianut (Toyota Way) seperti prinsip dalam ketenagakerjaan/dunia kerja, Toyota Production System (TPS), dan berbagai prosedur keselamatan yang berlaku di PT. TMMIN.

1. Dunia Kerja

Dalam hal ketenagakerjaan, karyawan PT. TMMIN harus memiliki lima peran dan dua tindakan dalam melaksanakan pekerjaannya sehari – hari. Kelima peran tersebut adalah : ikhlas dalam melaksanakan pekerjaan, melaksanakan kewajiban yang dibebankan dengan hati lapang, melaksanakan kewajiban-kewajiban dengan teliti dan sempurna, menghormati atasan dan menghargai rekan kerja dan memberikan ide-ide untuk mengembangkan perusahaan. Dan kedua tindakan adalah : inisiatif dalam menjalankan pekerjaan dan konsentrasi dalam menjalankan pekerjaan.

2. Toyota Production System (TPS)

Toyota Production System merupakan prinsip kerja Toyota dalam melakukan standarisasi dalam menghasilkan produknya. Pilar yang digunakan dalam TPS ini adalah berdasarkan keingingan konsumen yang pada umumnya menginginkan tiga hal pada suatu produk, yaitu kualitas sebaik mungkin,


(33)

harga yang pantas, dan tersedia pada saat yang dibutuhkan. Tiga hal yang dianut dalam TPS berdasarkan keinginan konsumen tersebut adalah tidak meneruskan produk yang cacat (jidoka), menghilangkan segala bentuk pemborosan, dan just in time production.

Dasar pemikiran untuk jidoka adalah ’Proses Berikutnya adalah Pelanggan’. Maksudnya setiap line proses melakukan pengecekan kualitas sebelum masuk ke proses berikutnya. Proses berikutnya dianggap sebagai pelanggan sehingga harus diberikan produk yang sebaik mungkin tanpa ada cacat atau ketidaknormalan pada produk tersebut. Prinsip dasarnya adalah menghentikan proses jika terjadi ketidaknormalan. Apapun proses yang sedang dilakukan, jika terjadi suatu ketidaknormalan pada produk, maka proses tersebut harus dihentikan. Hal ini untuk memudahkan inspektor untuk menetapkan suatu kondisi normal atau tidak.

Menghilangkan segala bentuk pemborosan bertujuan untuk menghasilkan produk yang lebih murah dengan tanpa mengurangi kualitasnya. Dasar pemikirannya adalah profit dengan mengeliminir pemborosan. Terdapat konsep untuk mengeliminir pemborosan tersebut yang dikenal dengan istilah

muda, mura, muri.

Muda, artinya sesuatu yang tidak menghasilkan nilai tambah (waste) seperti produksi berlebihan, menunggu, pengangkutan pada proses, gerakan/pemindahan, inventory/stok, perbaikan, dll.

Mura, artinya tidak merata/ketidakteraturan seperti volume produksi yang selalu berubah sehingga peralatan, mesin, dan orang disesuaikan dengan kondisi puncak meskipun kondisi tersebut hanya terjadi sewaktu – waktu.


(34)

Gambar 5. Ilustrasi muda, mura, muri

Dalam TPS juga dikenal istilah Just In Time Production, yaitu membuat barang sesuai dengan yang dibutuhkan dan pada saat diperlukan.

3. Safety Rule Toyota

Toyota menerapkan safety rule bagi siapa saja yang memasuki lingkungan pabrik. Aturan ini bertujuan untuk mencegah terjadinya kecelakaan atau hal – hal yang tidak diinginkan yang dapat membahayakan diri sendiri maupun orang lain. Aturan di lingkungan pabrik antara lain adalah berjalan di jalur hijau yang telah disediakan dan tidak menelpon dan memasukkan tangan ke dalam saku saat berjalan. Berbagai aturan tersebut ditampilkan dalam simbol/ilustrasi dan tulisan pada papan yang dipasang ditempat yang mudah dilihat.

Aturan atau safety rule di dalam pabrik lebih komplek dan spesifik baik bagi karyawan maupun visitor yang bekerja atau melakukan observasi di dalamnya. Aturan tersebut antara lain harus mengenakan alat pelindung diri (APD), seperti helm. Jika akan memasuki line produksi (di luar jalur hijau), maka harus mengenakan safety shoes. Beberapa APD khusus untuk areal

Kapasitas angkut truk 4 ton

Bagaimana cara mengangkut semua beban tersebut?

12 ton


(35)

tertentu adalah masker untuk areal casting, safety vest untuk areal packing and vanning, ear plug untuk stamping, dan kaca mata pelindung untuk machining. Dalam proses produksi dikenal istilah STOP 6 (Safety Toyota 0/zero Procedure 6) yaitu suatu prosedur di Toyota untuk mencegah terjadinya kecelakaan yang sering terjadi, dikelompokkan menjadi 6 kategori, ABCDEF, a. Apparatus, adalah kecelakaan atau insiden yang terjadi karena alat atau

mesin. Seperti terjepit, tersayat, dsb. b. Big heavy, kejatuhan benda berat

c. Car, tertabrak mobil atau kendaraan lain seperti forklift, towing, atau truk d. Drop, terjatuh

e. Electricity, tersengat listrik f. Fire, kebakaran atau ledakan

Jika terjadi kecelakaan atau suatu ketidaknormalan, maka operator harus melakukan porsedur SCW (Stop, Call, Wait), yaitu menghentikan proses yang sedang dilakukan, memanggil atasan yang bersangkutan, dan menunggu hingga ada instruksi atau saran dari atasan yang telah memeriksanya. Aturan – aturan tersebut dibuat untuk menghindari terjadinya hal – hal yang tidak diinginkan yang dapat menghambat produktivitas dan merugikan perusahaan dan karyawan.

B. Observasi

Observasi merupakan kegiatan yang diperlukan untuk melihat kondisi sebenarnya di lapangan. Dalam istilah Toyota, observasi ini disebut Genba. Observasi dilakukan untuk mengamati kegiatan manual material handling atau pekerjaan yang melibatkan penggunaan tenaga manusia pada areal packing and vanning. Observasi difokuskan pada satu tempat dan satu proses tertentu. Observasi dilakukan dua kali, yaitu sebelum improvement dan setelah


(36)

handling di PVD dan menentukan fokus objek observasinya. Penentuan fokus objek observasi ini diperoleh dari hasil diskusi dengan divisi terkait dan juga perhitungan menggunakan tabel evaluasi resiko dari OSHMS (Occupational Safety and Health Management System) yang terkait dengan postur kerja.

Dari observasi yang telah dilakukan, terlihat bahwa permasalahan dalam manual material handling di PVD didominasi oleh postur yang salah dalam bekerja, terutama dalam mengangkat beban. Operator membungkuk untuk mengangkat beban yang ada di bawah sehingga yang menjadi tumpuan dalam pengangkatan adalah tubuh. Hal ini tidak sesuai dengan fungsi tulang punggung sebagai penopang tubuh bagian atas. Jika hal ini dilakukan terus-menerus, maka bantalan pada ruas-ruas tulang belakang dapat rusak dan beresiko menyebabkan cidera permanen pada tulang belakang. Selain itu, postur yang salah juga dapat memicu cidera pada bagian tubuh lain dan menurunkan produktivitas.

Tingkat resiko dari beberapa line kerja di PVD berbeda sesuai dengan proses kerja yang dilakukan. Perhitungan nilai resiko dan besarnya nilai resiko yang didapat pada setiap line di PVD akan dijelaskan berikut ini.

1. Perhitungan Resiko

Perhitungan menggunakan tabel evaluasi resiko akan menghasilkan suatu nilai untuk melihat potensi bahaya dari suatu pekerjaan, apakah pekerjaan yang dilakukan memiliki potensi bahaya besar, sedang, atau kecil. Perhitungan skor yang dilakukan di sini adalah berdasarkan faktor ergonomi yang penilaiannya dilihat dari postur tubuh pekerja dalam bekerja, peralatan yang menimbulkan getaran, berat beban, dan berat pembebanan tangan dan ujung jari pekerja.


(37)

Tabel 2. Poin evaluasi resiko

+ +

! " #

$ " %

" %& " " " % % '% ( " & " # & " "

Tabel 3. Kategori resiko

) * $ + , % - + - + . * ( $ , , % " - + - , - , * ) $ / , % - /

Perhitungan ergonomic risk point dilakukan dengan menjumlahkan angka dari level kecelakaan, frekuensi kerja, dan level countermeasure yang ada dari setiap elemen kerja. Level kecelakaan kerja memiliki tiga kategori yaitu kecelakaan fatal yang dapat menyebabkan kematian atau cacat dengan pemberian poin 12, kecelakaan yang memerlukan cuti/LWD (loss working day) sehingga mengurangi hari kerja bagi karyawan dengan pemberian point 6, dan kecelakaan yang tidak memerlukan cuti/non-LWD atau ringan dengan point 2. Frekuensi kerja memiliki tiga kriteria yaitu frekuensi tinggi, adalah untuk pekerjaan yang rutin dilakukan dengan pemberian poin 5, frekuensi sedang untuk pekerjaan yang dilakukan pada selang waktu tertentu seperti dilakukan setiap 1 bulan sekali dengan pemberian poin 4, dan frekuensi rendah untuk pekerjaan yang jarang


(38)

countermeasure adalah tingkat pencegahan kecelakaan atau cidera seperti ada tidaknya alat bantu dalam pekerjaan tersebut termasuk tingkat kehati-hatian operator. Kriteria tersebut dilihat pada setiap elemen dan poin yang ada dijumlahkan sehingga diperoleh kategori resiko dari setiap elemen yang ada.

Untuk memudahkan melihat poin resiko pada setiap elemen kerja, maka poin resiko dari setiap pengamatan dijumlahkan dengan asumsi bahwa kriteria pengamatan yang ada sama pada setiap elemennya. Lebih jauh lagi, poin dari setiap elemen dijumlahkan untuk melihat poin resiko pada setiap line kerja. Namun hasil penjumlahan poin resiko dari setiap pengamatan ini tidak menunjukkan seberapa besar tingkat/kategori bahaya dari pekerjaan tersebut. Hanya untuk membandingkan poin pekerjaan yang satu dengan yang lainnya.

Observasi yang dilakukan setelah improvement bertujuan untuk mengetahui bagaimana pengaruh dari improvement yang dilakukan di area kerja tersebut. Pengaruh yang diamati antara lain adalah penurunan ergonomic risk point, kenyamanan operator dan waktu kerjanya. Observasi dilakukan dengan merekam setiap kegiatan pada pada setiap line produksi. Hasil rekaman kemudian diubah ke format digital untuk memudahkan analisa secara visual dari setiap element kerja. Hasil rekaman juga dapat digunakan untuk menghitung waktu kerja dari setiap elemen kerja.

2. Packing and Vanning Division

Packing and vanning Division adalah divisi yang bertugas untuk mengemas part untuk diekspor ke berbagai Negara seperti Malaysia, Vietnam, dan Filipina. Packing and Vanning Division terbagi menjadi dua areal yaitu area assy untuk packing part berukuran kecil dan sedang, dan

welding untuk packing dan vanning part berukuran sedang dan besar. Kegiatan-kegiatan pada PVD meliputi receiving (penerimaan part

dari pabrik produksi atau supplier), Shortir (memilah part), supply

(mengantar part ke bagian produksi), produksi (pengemasan pada box dan


(39)

Pada receiving area, part dari pabrik produksi maupun supplier

diturunkan dari truk pengangkut menggunakan forklift. Part tersebut dikemas dalam palet atau tempat khusus berupa kayu atau besi. Palet yang berisi part tersebut diletakkan di docking area untuk diperiksa kesesuaiannya dengan pesanan yang dilakukan sebelumnya.

Palet yang telah selesai diperiksa kemudian diangkut menggunakan

forklift dan diletakkan di production line (p-line). Di tempat ini, palet disusun berdasarkan waktu produksi yang telah terjadwal sebelumnya. Terdapat 12 p-line dengan masing-masing memiliki dua baris area untuk meletakkan palet.

Part yang ada di p-line kemudian dipilih (shortasi) untuk diproses selanjutnya. Pada assyline, shortasi dilakukan sepenuhnya secara manual. Operator membaca identitas yang ada pada palet untuk memilih part yang akan diproses selanjutnya. Pada welding line, shortasi dilakukan secara manual untuk part yang berukuran kecil dan sedang, dan menggunakan

forklift untuk part berukuran besar. Shortir untuk part berukuran besar pada welding line juga sebagai supply untuk proses stacking karena part

besar tersebut langsung diantar ke area stacking.

Pada assy line, part yang telah dipilih ada yang diantar ke area

boxing dan sebagian ke flow rack, yaitu rak untuk menempatkan part

untuk sementara waktu sebelum proses stacking. Pada area boxing, part

yang berukuran kecil dimasukkan ke dalam kotak kardus/karton dengan jenis dan jumlah yang telah ditentukan sebelumnya. Kardus yang telah berisi part tersebut kemudian diletakkan di flow rack. Pada welding line,

part yang dipilih kemudian diantar ke wiring area untuk diikat menggunakan kawat. Satu ikatan part berisi sepuluh part yang sama. Part

yang telah diikat kemudian diletakkan di flow rack. Pada welding area, terdapat alat bantu untuk mengangkat part berupa hoist yang digerakkan menggunakan tekanan udara. Untuk part berukuran besar, pengikatan dilakukan di area stacking sebelum part dimasukkan ke dalam case.


(40)

Part yang ada di flow rack kemudian dipilih lagi oleh operator untuk kemudian di kemas ke kotak besi (stacking). Pengambilan part di

flow rack disebut shoping atau picking. Pengambilan part sesuai dengan daftar part yang akan dimasukkan ke dalam case.

Peralatan manual yang digunakan untuk transportasi part dari mulai proses shortir hingga ke area stacking adalah doly atau kereta dorong. Sebagian part berukuran besar pada welding line dibawa ke area

stacking menggunakan forklift.

Pada area stacking assy line, kardus yang berisi part didiletakkan pada rollconveyor yang mengarah ke case untuk selanjutnya dimasukkan ke dalam case. Sedangkan pada welding line, part yang telah diambil dari

flowrack diletakkan di doly, dan doly yang berisi part tersebut diletakkan di sekitar area stacking.

Gambar 6. Alur proses pada PVD Sunter 1 Plant

Production

Vanning Shortir & supply supplier

Receiving area

Assy line,

Boxing stacking Welding line,


(41)

a. Assy line

a.1. Receiving Chek

Receiving check, untuk memeriksa part yang baru datang dari

supplier. Part yang baru datang dan masih di dalam kotak atau palet dari supplier diangkat dari truk menggunakan forklift dan diletakkan di

receiving area untuk diperiksa oleh operator untuk mencocokkan jenis dan jumlahnya dengan order yang/pemesanan yang telah dilakukan sebelumnya. Berdasarkan perhitungan dengan menggunakan tabel evaluasi resiko dari OSHMS, ergonomic risk point pada receiving chek

adalah sebesar 12. Nilai ini relatif rendah dibanding dengan line

lainnya karena kegiatan manual material handling pada line ini relatif sedikit.

a.2. Supply & Shortir

Supply & shortir, untuk memindahkan part yang akan diproses berikutnya. Dari receiving area, part kemudian dipisahkan atau shortir

untuk ditempatkan di flow rack dan dari flow rack ke area boxing dan atau stacking. Flow rack adalah rak yang digunakan untuk meletakkan

part yang menunggu untuk proses stacking. Supply dari proses shortir

ke flow rack dan ke area boxing dan stacking dilakukan secara manual dan pemindahannya menggunakan doly atau kereta dorong. Berdasarkan perhitungan menggunakan tabel evaluasi resiko OSHMS,

ergonomic risk point pada line ini adalah 61 karena pada line ini banyak dilakukan kegiatan manual material handling, seperti mengangkat dan menurunkan part dari atau ke dalam doly.

a.3. Boxing

Boxing, untuk mengemas part ke dalam kotak karton. Beberapa jenis part dari supplier masih harus dikemas lagi ke dalam kotak karton sesuai dengan jenis dan jumlah tertentu. Jenis dan jumlah part

yang harus di-boxing sudah ditentukan. Ergonomic risk point pada line boxing adalah sebesar 47. pekerjaan pada boxing dilakukan pada posisi


(42)

berdiri dan terkadang pekerja melakukan pengambilan part dengan posisi pinggang memutar.

a.4. Stacking

Stacking, adalah proses untuk memasukkan box atau part ke dalam modul untuk kemudian diekspor ke berbagai negara. Pemasukan

part ke dalam modul dilakukan satu persatu secara manual. Modul diletakkan pada dudukan yang tidak terlalu tinggi sehingga pekerja kadang membungkuk untuk meletakkan part ke dalam modul. Pada

assy line, terdapat 5 line pos stacking. Dua untuk part berukuran kecil dan tiga untuk part yang lebih besar. Perhitungan poin ergonomi pada

stacking adalah 50.

b. Welding line

b.1. Receiving Chek

Kegiatan pada receiving chek pada welding line sama dengan pada assy line. Perhitungan poin ergonomi pada pos ini adalah sama dengan pada assy line yaitu 12.

b.2. Supply & Shortir

Supply & shortir pada welding line hampir sama dengan supply

pada assy line. Hanya saja sebagian proses pada welding line

dikerjakan menggunakan forklift dan juga terdapat alat bantu berupa

hoist pada supply pada flow rack sehingga ergonomic risk point pada line ini sedikit lebih rendah dibanding line yang sama pada assy line, yaitu 54 poin.

b.3. Wiring

Proses wiring atau pengikatan part menggunakan kawat dilakukan dengan posisi berdiri. Pekerja terkadang harus mengambil

part yang posisinya berada di bawah sehingga posisi tubuh membungkuk. Perhitungan poin ergonomi pada pos ini adalah 36.


(43)

b.4. Stacking

Berat part yang ada pada welding line relatif lebih berat dibanding pada assy line sehingga ditambahkan alat bantu berupa hoist

untuk mengangkat part pada welding line. Terdapat 6 line stacking

pada welding line. Tiga line untuk stacking part berukuran besar seperti bagian body mobil. Ergonomic risk point untuk tiga pos

stacking ini adalah 54.

Tiga pos stacking lainnya adalah untuk part yang ukurannya sangat bervariasi. Stacking 1 dan 2 untuk part yang relatif lebih kecil dibanding pada stacking 3. ergonomic risk point pada stacking 1 adalah 57 dan stacking 2 adalah 51. risk point pada stacking 1 lebih tinggi karena dudukan pada stacking 1 lebih rendah dibanding stacking

2 sehingga posisi membungkuk pekerja menjadi lebih banyak dibanding pada stacking 2. sedangkan ergonomic risk point pada

stacking 3 adalah 65. Risk point pada stacking 3 merupakan yang paling tinggi dibanding pos lainnya karena part yang ditangani pada pos ini lebih banyak dan tidak terdapat dudukan untuk modul. Sehingga pekerja harus membungkuk untuk meletakkkan part ke dalam modul. Tidak adanya dudukan untuk modul pada pos ini dikarenakan terdapat beberapa ukuran modul yang digunakan. Tidak pada stacking 1 dan 2 yang menggunakan ukuran modul yang sama.

C. Diskusi

Diskusi dilakukan untuk mengevaluasi kegiatan dan hasil sementara yang diperoleh di lapangan. Diskusi ini dilakukan secara rutin setiap dua minggu sekali dan dihadiri oleh pembimbing lapang dan pihak PVD. Dalam diskusi, banyak ide dan masukan yang diberikan baik dari mahasiswa magang kepada pihak perusahaan maupun sebaliknya.


(44)

BAB IV

PENINGKATAN KUALITAS KERJA (IMPROVEMENT)

Dari pengamatan yang telah dilakukan, maka dapat diketahui bahwa kegiatan manual material handling di PVD belum memenuhi kriteria ergonomic dan berpotensi menyebabkan terjadinya cidera otot (resiko MSD) pada pekerja. Sehingga perusahaan perlu untuk segera melakukan improvement untuk mengatasinya. Pada fokus objek yang diamati (stacking case A7), banyak terdapat elemen kerja yang memiliki kategori resiko Ab atau bahaya besar, seperti pada saat memasukkan salah satu part ke dalam case (Lampiran ).

Untuk menganalisa dan memecahkan suatu permasalahan dalam kerja, biasa digunakan analisis 4M + E, yaitu Machine, Method, Man, Material, dan

Environment. Namun dalam kegiatan ini, improvement yang dilakukan difokuskan dari aspek machine (mesin/perlatan kerja), method (metode kerja), dan man saja. A. Machine Improvement (Peningkatan pada Mesin/Peralatan Kerja)

Berdasarkan perhitungan ergonomic risk point, penurunan resiko ergonomi setelah dilakukan improvement pada mesin/perlatan stacking pada

assy line welding 3 case A7 adalah yang paling besar. Sebagian besar posisi tidak ergonomis dalam proses stacking tersebut adalah membungkuk karena modul yang digunakan untuk mengemas part berada di lantai, sehingga operator harus membungkuk untuk meletakkan/mengambil part.

Improvement pada peralatan yang diusulkan adalah penambahan base stacking dan panel roof hoist. Base stacking digunakan untuk meninggikan posisi modul yang sebelumnya ada dilantai. Base stacking sendiri sebenarnya sudah digunakan pada pos stacking line welding 1 dan 2 yang melakukan

stacking untuk modul yang ukurannya relatif lebih kecil dibanding modul pada line welding 3. Selain itu, pada line welding 3 ukuran modul yang digunakan bervariasi. Modul terkecil adalah modul S1 dengan ukuran p x l x t, 2 m x 1.5 m x 1 m dan yang terbesar adalah A7 dengan ukuran p x l x t, 4 m x 2.5 m x 0.5 m. Namun demikian, masih terdapat proses yang mengharuskan


(45)

operator untuk membungkuk karena ketinggian base tidak dapat disesuaikan dengan tumpukan part yang dimasukkan ke dalam modul. Pada awal proses

stacking, tumpukan part masih rendah dan pada akhir proses stacking,

tumpukan part cukup tinggi sehingga operator harus berdiri pada pijakan yang sudah dibuat sebelumnya.

Sehingga untuk mengatasi masalah tumpukan part yang semakin meniggi pada selama proses stacking, maka dibuat base stacking yang level/ketinggiannya dapat diatur. Pada awal proses stacking, ketinggian base

yang sesuai adalah 75 cm dari permukaan lantai sehingga daerah kerja berada pada daerah kerja optimal. Dan pada saat akhir proses stacking, ketinggian yang sesuai adalah 20 cm dari permukaan lantai sehingga daerah kerja tetap pada daerah kerja optimal.

Gambar 7. Base stacking yang terlalu rendah

Pada Gambar 7, terlihat bahwa operator tetap harus membungkuk untuk meletakkan part karena base stacking yang dibuat masih terlalu rendah. Selain itu tidak terdapat space untuk ujung kaki sehingga posisi operator tidak nyaman. Space untuk ujung kaki dibuat agar tubuh operator dapat lebih merapat ke case dan lebih mudah menjangkau posisi yang lebih jauh dari tubuhnya.


(46)

Sumber : OSHA, 2003

Gambar 8. Daerah optimal kerja

Gambar 9. Rancangan pneumatic base stacking

Mekanisme yang digunakan untuk pengangkatan beban menggunakan

scissor lift dengan sumber tenaga silinder pneumatik. Rancangan dari base stacking ini dapat dilihat pada Gambar 9. Bahan yang digunakan untuk rangka dan lengan pengangkatnya adalah square pipe 5 cm. Sementara silinder


(47)

pneumatik yang digunakan adalah silinder dengan diameter 100 mm dan

stroke 30 cm berjumlah tiga buah.

Pada awal proses stacking, base stacking diposisikan pada posisi tinggi dengan ketinggian 80 cm. Pada tengah proses stacking, ketinggian base

diturunkan pada posisi rendah hingga tinggi 25 cm. Dengan mekanisme ini, diharapkan postur kerja operator pada proses stacking dapat terjaga pada posisi yang benar/tidak membungkuk.

B. Method Improvement (Peningkatan Metode Kerja)

Perbaikan peralatan maupun tempat kerja dapat memakan waktu yang relatif lama karena proses pengerjaannya maupun karena terkendala dana. Oleh karena itu, prioritas perbaikan berikutnya adalah dari segi metode kerja. Metode kerja yang diterapkan di PT. TMMIN belum menerapkan aspek ergonomika di dalamnya. Hal ini terlihat dari banyaknya postur janggal yang dilakukan operator dalam melakukan proses kerja. Seperti posisi badan bagian atas (lumbar) membungkuk dengan sudut lebih dari 45˚ terhadap vertikal dan cara mengangkat yang salah.

Posisi janggal seperti disebutkan di atas akan dapat menyebabkan masalah kesehatan yang tidak nampak pada pekerja jika dilakukan dalam jangka waktu lama dan frekuensi yang cukup tinggi. Masalah yang dapat ditimbulkan antara lain adalah cedera otot atau musculoskeletal disorder

(MSD) pada pinggang, bahu, dan lengan. Cedera seperti itu dapat mengganggu produktivitas pekerja sehingga berpotensi merugikan pekerja dan juga perusahaan.

Perbaikan metode yang diterapkan di area PVD adalah penerapan aspek ergonomika dalam manual material handling (MMH). Sosialisasi penerapan metode ergonomika tersebut dilakukan melalui training kepada operator dan pembuatan guideline mengenai ergonomika dalam manual material handling.


(48)

(a) (b)

Gambar 10. (a) Training teoritis, (b) Training praktek

Dengan adanya training tersebut, operator mengetahui bagaimana posisi tubuh yang baik untuk bekerja dan cara mengangkat atau meletakkan beban yang benar. Prinsip dari metode yang diberikan adalah mengusahakan agar operator menjaga posisi tulang punggungnya tetap lurus (dalam posisi alaminya).

(a) (b)

Gambar 11. Proses prepare module (a) Sebelum improvement, (b) Setelah improvement

Dalam rangkaian training tersebut, operator diberikan test awal untuk mengetahui tingkat pemahaman mengenai ergonomika secara sederhana. Kemudian setelah pelaksanaan training, operator ditest kembali untuk


(49)

mengetahui perubahan/peningkatan pemahaman yang diperoleh dari training tersebut. Test ini dilakukan kepada 16 karyawan pada shift merah dan putih. Hasil dari test ini dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Hasil test operator

No. Nama Area Job Position Shift

Score Materi Status Pre-test Post-test

1 Sumarno Welding - L/H Merah 30 80

2 Abdul

Musanip Welding - G/H Merah 38 80

3 Very Albert Welding Picking Merah 30 70

4 Budi Irawan Welding Picking Merah 0 100

5 Pargito Welding Stacking Merah 10 66

6 Fathurokhman Welding Binding Merah 34 96

7 Abdul

Ramdani Welding Binding Merah 46 70

8 Fathikin Welding Stacking Merah 40 100

9 Tumino Welding - L/H Putih 40 85

10 Nanang Welding - G/H Putih 45 85

11 Ramli Welding Picking Putih 40 80

12 Endin S Welding Picking Putih 40 96

13 Tatang M Welding Binding Putih 50 90

14 M Fikri Welding Stacking Putih 44 76

15 Ponang Welding Binding Putih 30 66

16 Alex Iskandar Welding Picking Putih 60 84

Dari hasil tes tersebut, dapat dilihat bahwa kemampuan operator dalam memahami prinsip dasar ergonomi meningkat setelah pelaksanaan training. Sekitar 87% operator memperoleh skor diatas 50 sehingga dapat dianggap dapat bekerja dengan posisi atau postur ergonomis tanpa dibantu atau

Keterangan :

: Butuh Bimbingan

: Bisa bekerja dengan pengawasan intensif : Bisa bekerja tanpa dibantu

: Bisa bekerja tanpa dibantu dan handle abnormality Score : 0 - 30

Score : 30 - 50 Score : 50 - 80 Score : 80 - 100


(50)

(a) (b)

Gambar 12. Proses scanning part (a) Sebelum improvement, (b) Setelah improvement

C. Man Improvement (Peningkatan pada Pekerja)

Perbaikan lain yang dilakukan adalah dari aspek manusia/operator itu sendiri. Kesadaran operator terhadap keselamatan diri sendiri dan orang lain dalam bekerja perlu ditingkatkan dengan training seperti telah disebutkan sebelumnya. Dan untuk melindungi dari bahaya yang ada, operator diharuskan untuk memakai alat pelindung diri (APD).

Alat pelindung diri yang digunakan operator pada umumnya adalah untuk melindungi dari bahaya yang nampak seperti helm dan safety shoes

untuk melindungi kepala dan kaki dari kejatuhan benda berat, sarung tangan dan apron untuk melindungi tangan dan tubuh dari bahan kimia dan benda tajam. Namun operator tidak memiliki APD untuk melindungi tubuh dari bahaya yang tidak nampak. Bahaya yang tidak nampak antara lain adalah cidera otot yang diakibatkan kebiasaan atau posisi bekerja yang salah.

Alat pelindung diri yang ditambahkan untuk operator untuk hal ini adalah back support yang fungsinya untuk men-support pinggang dan mendorong operator untuk mempertahankan posisi yang benar (tidak membungkuk) dalam bekerja. Back support dipasang pada bagian pinggang dan memiliki bantalan penahan disekelilingnya.


(51)

Uji Coba Alat Pelindung Diri (Back Support) 0 5 10 15 tidak men amba h ge

rah tidak men ggan ggu pern apas an tidak mem buat irita si ping gang lebi h ny

aman tidak men ggan ggu work abilit y susp ende

r tet ap e

last is

susp ende

r tid ak p

utus jahi tan tidak lepa s tidak robe k pere kat t

etap kua t Aspek Pengamatan J u m la h O X

(a) (b)

Gambar 13. (a) Back suuport, (b) Pemakaian back support

Penggunaan back support telah melalui tahapan trial pemakaian selama kurang lebih satu bulan. Dalam satu bulan masa percobaan tersebut, sampel pemakai diharuskan mengisi tabel yang menggambarkan fungsi dan keadaan back support selama pemakaian (Lampiran 2). Hasil dari trial


(52)

Dari hasil yang diperoleh pada trial tersebut, terlihat bahwa pemakaian

back support sedikit menambah gerah pemakainya. Hal ini dapat disebabkan karena operator telah memakai beberapa APD sebelumnya seperti helm, masker, sarung tangan, apron, arm protector, dan safety shoes. Bertambah gerahnya operator merupakan konsekuensi dari penambahn APD back support.

Fungsi dari back support sendiri dilihat dari kenyaman pinggang yang dirasakan operator selama masa percobaan pemakaian. Semua responden menjawab bahwa pinggang menjadi lebih nyaman selama pemakaian meskipun kadarnya berbeda.

Dari tiga improvement yang diusulkan, improvement pada mesin memiliki pengurangan ergonomic risk point paling besar dibanding improvement metode dan APD. Nilai cumulative ergonomic risk point pada stacking line welding 3 adalah 3122. Dengan improvement pada mesin, cumulative risk point akan berkurang 2245 poin sehingga menjadi 877 poin. Jika improvement pada metode saja akan mengurangi cumulative risk point tersebut sebesar 504 poin sehingga menjadi 2618 poin.

Gambar 15. Pengurangan ergonomic risk point (machine improvement)

Penurunan Cumulative Ergonomic Risk

Point Stacking Case A7 FD (Machine

Improvement)

3122

877 0

1000 2000 3000 4000


(53)

Gambar 16. Pengurangan ergonomic risk point (method improvement)

Besarnya cumulative ergonomic risk point di atas tidak menunjukkan tingkat atau kategori bahayanya. Nilai tersebut hanya menunjukkan total nilai dari setiap elemen/proses kerja yang dilakukan pada pos tersebut. Penjumlahan risk point ergonomic dilakukan untuk memudahkan penilaian penurunan poin dari

improvement yang dilakukan.

Penurunan Cumulative Ergonomic Risk

Point Stacking Case A7 FD (Method

Improvement)

3122

2618

2200 2400 2600 2800 3000 3200


(54)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Perhatian Toyota terhadap kesejahteraan karyawan terutama dalam bidang kesehatan dan keselamatan cukup tinggi dilihat dari komitmen perusahaan untuk menerapkan safety standard sehingga diharapkan akan tercapai keadaan zero accident. Namun demikian, masih banyak hal yang masih harus dikembangkan terkait dengan bidang ergonomika dalam lingkungan kerja Toyota.

Pada proses stacking line welding 3, penambahan base stacking dapat mengurangi resiko ergonomi paling besar dibanding penerapan metode ergonomic MMH karena faktor penyebab keadaan tidak ergonomis pada porses stacking line welding 3 adalah posisi case/modul yang ada di lantai sehingga operator harus membungkuk untuk meletakkan part ke dalamnya.

Penurunan ergonomic risk point dari machine improvement dapat mencapai 72% dan penurunan dari method improvement adalah 16%. Pada

improvement APD, operator menjadi merasa lebih nyaman pada pinggang setelah mengenakan back support. Namun operator merasa sedikit lebih gerah karenanya. Hal ini dapat dikatakan sebagai konsekuensi dari penambahan APD.

B. Saran

Perusahaan harus segera melakukan perbaikan peralatan/tempat kerja pada proses stackingline welding 3 dengan menambahkan base stacking untuk melindungi karyawan dari bahaya yang tidak nampak seperti cidera otot pinggang dan bagian tubuh lainnya.


(55)

Penerapan sistem keselamatan kerja dalam lingkungan perusahaan harus melibatkan komitmen seluruh elemen perusahaan mulai dari pemimpin terringgi hingga ke operator agar dapat terlaksana sesuai dengan harapan.

Perusahaan dapat melakukan pelatihan berkala/rutin kepada karyawan terkait dengan bidang ergonomika.

Perusahaan juga dapat memberikan award kepada karyawan yang berjasa atau disiplin dalam menerapkan prinsip-prinsip keselamatan di lingkungan perusahaan. Dan punishment kepada karyawan yang melanggar peraturan keselamatan perusahaan.

Perancangan metode kerja yang baru harus memperhatikan aspek manusia di dalamnya dalam hubungannya dengan kemampuan dan keterbatasan dalam bekerja.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ALI MASROCHAN. F14052530. Peningkatan Kualitas Kerja Berdasarkan Aspek Ergonomika pada Packing and Vanning Division PT. Toyota Motor

Manufacturing Indonesia, Sunter 1 Plant Jakarta. Di bawah bimbingan Dr. Ir. Sam Herodian, MS. dan Anys Yudianto, ST.

RINGKASAN

Ergonomika merupakan permasalah dalam bidang industri yang sangat menarik dan penting untuk dikaji. Penerapan aspek ergonomika dalam bidang industri dapat meningkatkan keselamatan dan kesehatan kerja yang akan meningkatkan produktivitas baik dari segi kualitas maupun kuantitas produk yang dihasilkan. Selain itu, penerapan aspek ergonomika juga dapat meningkatkan kesejahteraan pekerja dari segi kualitas kesehatan. Semua hal tersebut pada akhirnya akan mendatangkan keuntungan baik bagi perusahaan maupun karyawan.

Istilah ergonomi sendiri berasal dari bahasa Yunani: Ergo (kerja) dan nomos (peraturan, hukum). Ergonomi dapat didefinisikan sebagai suatu ilmu atau aturan yang mengkaji kemampuan, keterbatasan, dan karakteristik manusia serta interaksinya dengan lingkungan, peralatan, mesin, dan prosedur kerja untuk mencapai kondisi keselamatan, kenyamanan, kesehatan, dan produktivitas kerja yang optimal. Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) merupakan suatu kondisi yang bebas dari gangguan secara fisik dan psikis yang disebabkan oleh lingkungan kerja serta selamat dari penderitaan dan kerusakan atau kerugian di tempat kerja yang berupa penggunaan mesin, peralatan, bahan-bahan dan proses pengolahan, lantai tempat bekerja dan lingkungan kerja, serta metode kerja.

Kegiatan magang di PT. TMMIN adalah bertujuan memberikan pengalaman kerja nyata bagi mahasiswa dan memberikan kontribusi secara langsung maupun tidak kepada perusahaan. Dalam kegiatan magang ini, mahasiswa diberikan tugas untuk meningkatkan kualitas kerja dengan mengkaji aspek ergonomika pada manual material handling di Packing and Vanning Division. Kegiatan yang dilakukan adalah observasi ke lapangan, studi literatur, diskusi dengan pihak terkait, dan kemudian mengusulkan improvement untuk perusahaan. Observasi dilakukan untuk mengetahui kondisi pada tempat kerja. Penilaian kondisi tempat kerja itu sendiri dilakukan dengan menggunakan tabel evaluasi resiko yang terkait dengan postur kerja yang memberikan poin pada setiap elemen kerja yang terkait dengan postur tubuh. Tabel evaluasi ini merupakan bagian dari Occupational Safety and Health Management System (OSHMS), suatu sistem standar Toyota untuk menerapkan prinsip-prinsip keselamatan dan kesehatan kerja.

Perbaikan dilakukan pada proses stacking line welding 3 yang memiliki masalah ergonomi paling banyak dibanding line yang lainnya. Pengamatan dilakukan untuk stacking pada salah satu modul yaitu modul A7 dengan kumulatif poin ergonomi sebesar 3122 sebelum improvement.