Analisis konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian indonesia

(1)

ELINUR

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(2)

Economy (D.S PRIYARSONO as Chairman,MANGARA TAMBUNAN and

MUHAMMAD FIRDAUSas the members of the Advisory Committee)

The general objective of this study develop a model of energy consumption by users and the energy supply by energy type in the Indonesian economy. The model used is a simultaneous equation model with two stage least square method. The design of this model uses the assumption that along with economic progress the need for energy has increased so that the necessary supply of energy is greater, and vice versa.

The main findings of this study are: First, world oil prices, domestic energy prices, GDP, and exchange rates are the main factors that influence the consumption and supply of energy in Indonesia. Second, the increase in world oil prices and declining goverment expenditure of oil subsidies decrease consumption and supply of energy in Indonesia. The apresiation of the IDR to US Dollar increase consumption and supply of energy in Indonesia. And third, the results of forecasting analysis show overall energy consumption by all sectors tend to increase, except for biomass consumption by the industrial and total of biomass consumption. In addtion, supply of energy tends to increase with smaller rate the increasing of energy consumption.

In the short term, it should be an effort to increase energy utilization efficiency and productivity through conversion using fuel oil by gas and the reduction of subsidies oil in energy prices gradually, accompanied by efforts to increase economic growth, among others, by applying a low interest rate policy and maintain stable exchange rates. In the medium term, some efforts are required to increase investment from the aspect of production, processing, and distribution of fossil energy, and effort-based energy conversion using fuel oil by industry sector into other energy types. Along with that, efforts to increase the number and capacity of oil refineries, gas and electricity generation are required to be done to reduce the level of dependence on the final energy that comes from imports. In the long term, the implemention of green energy development strategy, which shifts the energy use sourced from unrenewable resources to energy use that are renewable resources, such as utilization of water energy, wind, biomass, biodiesel, biogas and other sources of sustainable energy.


(3)

Ketersediaan energi dalam jumlah yang cukup dan kontinu sangat penting dalam menjalankan aktivitas ekonomi suatu negara. Seiring dengan pertambahan jumlah penduduk dan berkembangnya perekonomian suatu negara maka kebutuhan akan energi baik untuk kebutuhan konsumsi (rumahtangga) maupun untuk menjalankan aktivitas produksi (sektor ekonomi) akan cenderung mengalami peningkatan. Secara keseluruhan, negara-negara di dunia menggunakan energi fosil yang bersifatunrenewable resources untuk memenuhi kebutuhan energinya. Oleh karenanya diperlukan upaya optimalisasi pasokan energi dan efisiensi dalam pemanfaatannya.

Perkembangan terkini pemanfaatan energi di Indonesia menunjukkan telah terjadi perubahan status dari negara pengekspor menjadi pengimpor khususnya minyak yang disebabkan oleh beberapa faktor: (1) penekanan konsumsi minyak fosil bagi rumahtangga dan industri telah mempercepat habisnya produksi, (2) setelah krisis ekonomi, Indonesia tidak melakukan investasi yang memadai dalam eksplorasi sumber atau ladang minyak baru, dan (3) investasi penyulingan minyak (oil refinery) juga terlambat dilakukan. Ketiga faktor inilah telah menyebabkan adanya kelangkaan minyak berbasis fosil di Indonesia.

Pada masa mendatang, energi fosil tetap akan dominan walaupun harga minyak cenderung meningkat. Pada tahun 2005 pemerintah Indonesia menaikkan harga minyak yang didorong oleh meningkatnya harga minyak dunia. Akan tetapi kenaikan harga minyak ini tidak dapat mencegah status Indonesia dari net importer minyak mentah yang telah terjadi sejak tahun 2000 hingga sekarang.


(4)

Diperkirakan impor minyak mentah akan meningkat, sementara itu persaingan di pasar dunia (karena masuknya China secara agresif) telah menaikkan harga minyak pada tingkat yang tidak terbayangkan sebelumnya. Bagi Indonesia, sumber energi alternatif terhadap minyak adalah dua sumber energi tidak terbarukan, yaitu batubara dan gas alam (natural gas).

Dalam Blueprint Pengelolaan Energi Nasional 2006-2025 dinyatakan sejumlah persoalan terkait dengan kondisi keenergian di Indonesia, yaitu: (1) struktur APBN masih tergantung penerimaan migas dan dipengaruhi subsidi bahan bakar minyak (BBM), (2) industri energi belum optimal, (3) infrastruktur energi terbatas, (4) harga energi belum mencapai keekonomian, dan (5) pemanfaatan energi belum efisien. Kondisi tersebut mengakibatkan: (1) bauran energi primer timpang, diperlihatkan oleh pemanfaatan gas dan batubara dalam negeri belum optimal, (2) pengembangan energi alternatif terhambat karena adanya subsidi BBM, (3) Indonesia menjadinet importer minyak, dan (4) subsidi BBM membengkak.

Indonesia menjadi net importir minyak bumi, tidak hanya disebabkan oleh peningkatan jumlah penduduk, industrialisasi, dan keterbatasan investasi, juga disebabkan kegagalan pemerintah dalam mengatasi menipisnya cadangan minyak melalui kebijakan harga energi murah dengan memberikan subsidi yang besar. Sebagai pembanding, harga retail gas pada tahun 2005 US$1.0 di Kenya, tetapi hanya $ 0.50 di Indonesia. Sifat dari kebijakan harga energi murah berkembang semakin mendalam dalam pasar minyak (energi), konsumen menjadi terbiasa menerima harga minyak bersubsidi. Akar dari permasalahan di sini adalah:


(5)

sumberdaya alam dikuasai oleh Negara dan digunakan oleh pemerintah dengan sebesar-besarnya untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan. Interpretasi pertama dari undang-undang ini adalah pasar energi dikendalikan oleh pemerintah, dengan kekuatan intervensi pemerintah di pasar minyak. Rendahnya kinerja perusahaan milik negara PERTAMINA dan jaminan harga oleh pemerintah merefleksikan kegagalan intervensi Negara. Kedua, berdasarkan alasan dari sisi undang-undang tersebut, kegagalan pasar terbesar ditemukan pada sektor ekonomi yang berbasis produksi energi sumberdaya alam. Hasilnya, kebijakan harga sumberdaya alam ditetapkan melalui intervensi pemerintah, bukan dikendalikan oleh mekanisme pasar. Sebagai konsekuensinya, secara umum pasar energi adalah pasar persaingan tidak sempurna (Tambunan, 2006). Ini sejalan dengan pendapat Titenberg’s (2003) yang menyatakan bahwa pemerintah mengontrol dengan memberlakukan harga yang cenderung tetap, sebaliknya melalui mekanisme pasar persaingan sempurna yang paling diharapkan oleh para ekonom.

Lebih lanjut Tambunan (2006) menyatakan bahwa kebijakan harga energi murah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin hanya dapat diimplementasikan jika negara memiliki surplus penerimaan. Status monopoli pada PERTAMINA, dikombinasikan dengan harga minyak murah, memberikan implikasi yang lebih luas daripada pengakuan publik. Menciptakan konsumsi minyak fosil yang lebih cepat, hal tersebut akan memberikan lima dampak: (1) ketergantungan yang tinggi pada minyak fosil sebagai sumber energi utama, (2) “salah didik” pada masyarakat untuk menggunakan minyak secara berlebihan, (3) inefisiensi dalam pemanfaatan energi, (4) gagal untuk melakukan diversifikasi


(6)

sumber-sumber energi, dan (5) gagal menarik investasi pada industri hilir, seperti retail pasar minyak.

Selanjutnya, hipotesis penelitian ini adalah pertumbuhan ekonomi akan meningkatkan konsumsi energi dan sebaliknya. Dengan demikian ada hubungan antara konsumsi energi dengan perkembangan perekonomian. Kasus di Indonesia menunjukkan bahwa peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) diiringi dengan peningkatan konsumsi energi akhir. Gambar 1 dapat dilihat bahwa Produk Domestik Bruto yang didisagregasi dalam empat sektor ekonomi pada periode 1993-2008 seluruhnya cenderung mengalami peningkatan. Berdasarkan urutan menurut besarnya nilai PDB, sektor yang memberikan kontribusi tertinggi adalah sektor lainnya (pertambangan, konstruksi, listrik, gas, air bersih, perdagangan, hotel, restoran, komunikasi, dan jasa), diikuti secara berturut-turut oleh sektor industri, sektor pertanian dan sektor transportasi.

0 500 1,000 1,500 2,000 2,500 3,000 3,500

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

P D B (T ri li u n R u p ia h )

Industri Transportasi Pertanian Sektor Lainnya

Sumber: BPS (diolah)

Gambar 1. Trend PDB Empat Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2008

Dengan memperhatikan Gambar 2, terlihat bahwa trend konsumsi energi akhir meningkat. Pada periode 1993-2008 sektor ekonomi dengan konsumsi


(7)

energi akhir mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah, secara berturut-turut adalah sektor industri, sektor transportasi, sektor lainnya dan sektor pertanian. Dengan melihat trend PDB yang meningkat seperti pada Gambar 1 dan membandingkannya dengan trend konsumsi energi akhir yang juga meningkat seperti Gambar 2, memperkuat hipotesis bahwa seiring dengan berkembangnya perekonomian maka kebutuhan terhadap energi juga mengalami peningkatan.

0.00 50.00 100.00 150.00 200.00 250.00 300.00 350.00 400.00

1993 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008

K o ns um s i E n e rg iF in a l (J u ta S B M )

Industri Transportasi Pertanian Sektor lainnya c

Sumber: Kementrian ESDM, 2006 dan 2009

Gambar 2. Trend Konsumsi Energi Akhir Empat Sektor Ekonomi, Tahun 1993-2008

Mengacu pada penjelasan di atas adalah sangat penting bagi Indonesia untuk memperhatikan masalah ketersediaan energi yang baik untuk kebutuhan konsumsi rumahtangga maupun untuk aktivitas ekonomi sektor pertanian, pertambangan, konstruksi, transportasi, industri pengolahan, dan sektor ekonomi lainnya. Dengan kata lain diperlukan suatu kondisi yang senantiasa

mempertahankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dengan

ketersediaan energi sebagai salah satu prasyarat untuk mewujudkan pembangunan ekonomi yang lebih maju. Oleh karenanya sangat menarik untuk melakukan suatu


(8)

studi yang menganalisis konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia. Untuk itu akan digunakan pendekatan konsumsi dan penyediaan energi dengan analisis ekonometrika yang dinamis.

1.2. Permasalahan

Mencermati perkembangan terkini sektor energi di Indonesia ditemukan berbagai permasalahan dari aspek konsumsi, harga dan produksi. Dari aspek konsumsi dan harga, permasalah utama yang ditemukan adalah pemanfaatan energi yang relatif boros, diperlihatkan oleh tingkat elastisitas pemakaian energi dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi. Kenyataan adanya masyarakat tidak mampu yang mempunyai daya beli yang rendah untuk memenuhi konsumsinya disikapi pemerintah dengan memberlakukan kebijakan harga energi murah. Tidak hanya masyarakat yang tidak mampu memperoleh manfaat dari penerapan kebijakan harga energi murah ini, masyarakat golongan atas dan dunia usaha juga menikmatinya. Dengan kata lain kebijakan yang diberlakukan pemerintah selama ini adalah salah satu pemicu terjadinya pemborosan pemanfaatan energi di Indonesia. Dampak negatif lainnya dari penerapan kebijakan harga energi murah ini juga mendorong maraknya penyelundupan khususnya BBM ke luar negeri. Walaupun saat ini pemerintah telah menaikkan harga BBM namun masih lebih rendah dari harga minyak dunia, oleh karenanya praktek-praktek penyelundupan ke luar negeri masih tetap terjadi.

Data Statistik Ekonomi Energi Departemen Energi Sumberdaya Dan Mineral (DESDM) menggambarkan bahwa elastisitas pertumbuhan konsumsi energi terhadap Pertumbuhan Domestik Bruto (PDB) rata-rata dalam rentang


(9)

tahun 1991-2005 mencapai 2,02. Angka tersebut menunjukkan bahwa pertumbuhan PDB masih bergantung pada pertumbuhan konsumsi energi yang besar. Elastisitas energi yang diharapkan kurang dari 1, yang menunjukkan tingkat efisiensi tinggi. Angka ini sangat jauh bila dibandingkan dengan elastisitas energi negara-negara maju. Bahkan Jerman dapat mencapai elastisitas (-0.12) dalam kurun waktu 1998–2003 (DESDM 2006). Energi di Indonesia masih banyak digunakan untuk kegiatan yang tidak menghasilkan, tercermin dari tingginya elastisitas energi Indonesia. Perbandingan elastisitas dan intensitas pemakaian energi sejumlah negara periode tahun 1998-2003 disajikan pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Sumber: DESDM, 2006

Gambar 3. Perbandingan Elastisitas Pemakaian Energi Sejumlah Negara, Tahun 1998 – 2003


(10)

Sumber: Kementerian ESDM, 2009

Gambar 4. Perbandingan Intensitas Penggunaan Energi Primer Beberapa Negara Lebih lanjut pada Gambar 5 dapat dilihat bahwa intensitas konsumsi energi akhir per kapita di Indonesia cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2000, intensitas konsumsi energi akhir per kapita sebesar 2.26 SBM per

kapita kemudian meningkat menjadi 2.82 pada tahun 2008. Hal ini

mengindikasikan bahwa dalam kurun waktu 8 tahun, terjadi peningkatan pemborosan penggunaan energi sebesar 24.78 persen.

Sumber: Kementerian ESDM, 2009

Gambar 5. Intensitas Konsumsi Energi akhir Per Kapita di Indonesia, Tahun 2000-2008


(11)

Dari aspek harga energi menunjukkan harga energi di Indonesia relatif murah dan belum menjacapai harga keekonomiannya. Rendah harga energi di Indonesia disebabkan harga energi masih disubsidi oleh pemerintah. Menurut Tambunan (2006) menyatakan bahwa rendahnya harga BBM membawa dampak negatif: (1) tingginya ketergantungan pada sumber energi minyak bumi yang ditunjukkan oleh dominasi minyak bumi dalam kombinasi pasokan sumber energi domestik (energy mix). Sinyal harga yang rendah tersebut menjadi disinsentif bagi usaha diversifikasi maupun konservasi (penghematan) energi, (2) Subsidi BBM di APBN mengancam keberlangsungan fiskal (fiscal sustainability) pemerintah, (3) tidak optimalnya pemanfaatan sumber energi lain, baik fosil energi seperti gas alam dan batu bara yang cadangannya jauh lebih besar dari minyak bumi maupun energi baru dan terbarukan, (4) maraknya penyelundupan BBM ke luar negeri sehingga tingkat permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan kebutuhan nyata di sektor transportasi, industri, dan rumahtangga, (5) maraknya kegiatan pengoplosan BBM yang merugikan negara dan konsumen umum, dan (6) sinyal harga mendistorsi kelayakan investasi di sektor hilir migas.

Lebih lanjut Tambunan (2006) menyatatakan terdapat dua permasalahan utama yang dihadapi dari aspek penyediaan energi, yaitu terbatasnya teknologi eksplorasi sumber-sumber energi dan investasi. Karena keterbatasan dalam penguasaan teknologi eksplorasi, sebagian besar aktivitas eksplorasi minyak di Indonesia dilakukan kontraktor perusahaan minyak asing dengan sistem kontrak produksi sharing (KPS) dengan skema pembagian 85 persen untuk pemerintah pusat dan 15 persen untuk kontraktor. Kondisi ini mengindikasikan bahwa tidak sepenuhnya hasil eksplorasi minyak dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan


(12)

domestik, sebagian diantaranya diekspor oleh kontraktor untuk memperoleh penghasilan yang lebih baik karena harga minyak dunia yang lebih tinggi dari harga domestik.

Sementara itu investasi energi masih terbatas. Hal ini terlihat dengan jumlah kilang minyak yang berproduksi di Indonesia. Berdasarkan data Kementrian Energi Sumber Daya Mineral tahun 1990-2008 menunjukkan pertumbuhan rata-rata jumlah kilang minyak sebesar 1.39 persen dari 8 kilang minyak tahun 1990-2003 menjadi 10 kilang minyak tahun 2007- 2008. Rendahnya investasi di sektor energi ini disebabkan oleh beberapa permasalahan (Tambunan, 2006): (1) regulatory environment problem, karena berbagai peraturan menciptakan ketidakpastian dan inkonsistensi sehingga menciptakan regulatory riskyang besar sehingga menjadi disensentif bagi investor dalam dan luar negeri, (2) pricing policy problem, kecenderung penetapan harga di dalam negeri yang rendah sehingga tidak menarik bagi investor dan ini mensyaratkan agar harga energi menjadi masalah strategik, (3) high cost economy, dengan proses pasar energi yang menyangkut perencanaan proyek di Indonesia perlu dibangun suatu proses menyeluruh yang dapat dipertanggungjawabkan dan terbuka sehingga para investor dapat menghemat biaya dan efisien dalam melakukan proses eksplorasi, (4) inconsistency tax system, ada inkonsistensi di bidang perpajakan yang berkaitan dengan implementasi regulasi baru, dan (5) limited infrastructure, infrastruktur jalan, transmisi, transportasi, dan pelabuhan yang menghubungkan wilayah eksplorasi dan distribusi dirasakan sangat kurang sehingga menghambat investasi.


(13)

Seiring dengan ketersediaan energi fosil yang semakin langka, karena merupakan energi yang tidak dapat diperbaharui, dewasa ini berbagai negara di dunia, termasuk Indonesia, kembali menggalakkan penggunaan energi biomass sebagai salah satu energi yang dapat diperbaharui. Biomass merupakan seluruh bahan organik, berasal dari kayu, tumbuhan, kotoran hewan, dan sumber-sumber organik lainnya, yang dapat didigunakan sebagai sumber energi. Hal ini senada dengan ungkapan Reksowardoyo dan Soeriawidjaja (2006) yang menyatakan bahwa biomass adalah semua bahan-bahan organik yang berasal dari tumbuhan dan hewan, produk dan limbah industri budidaya pertanian, perkebunan, kehutanan, peternakan dan perikanan, yang dapat diproses menjadi bioenergi.

Sampai saat ini tiga jenis sumber energi: minyak, gas alam dan listrik merupakan sumber utama energi bagi fungsi pemanasan, mesin pendingin, memasak, penerangan dan transportasi. Pada umumnya, energi dilihat sebagai faktor input dalam dunia industri pengolahan, sektor pertanian dan sektor ekonomi lainnya. Secara agregat, energi selalu dilihat (dikaitkan) dengan kegiatan ekonomi penduduk dalam mengejar pertumbuhan ekonomi. Permintaan terhadap energi pada masa mendatang akan masih tetap dipengaruhi oleh peningkatan jumlah penduduk, meningkatnya jumlah ekonomi (income per capita) dan meningkatkan mobilitas hidup. Sering terjadi di negara berkembang, pada saat efisiensi energi tercapai, hasil efisiensi tersebut tetap dikonsumsi oleh pertambahan penduduk.

Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa seiring dengan perkembangan perekonomian, konsumsi energi oleh berbagai sektor cenderung meningkat, hal ini memicu kenaikan harga energi. Perkembangan perekonomian domestik, dinamika


(14)

perekonomian dunia juga cenderung mendorong kenaikan harga energi domestik. Walaupun sejumlah negara, termasuk Indonesia, mengalami kontraksi ekonomi akibat dilanda krisis ekonomi global sejak tahun 2008, namun Indonesia masih mengalami pertumbuhan positif tertinggi ketiga setelah China dan India. Secara perlahan perekonomian Indonesia pulih, yang diperlihatkan oleh tingkat pertumbuhan ekonomi yang mengalami pergerakan positif dan nilai tukar Rupiah terhadap US Dollar cenderung menguat. Dalam rangka mendorong pertumbuhan sektor riil, termasuk di bidang energi, Pemerintah Indonesia melalui Bank Indonesia memberlakukan kebijakan penurunan suku bunga sehingga mendorong investor semakin termotivasi untuk menanamkan modalnya.

Berdasarkan uraian di atas dapat dirumuskan empat permasalahan yang perlu dijawab dalam studi ini, yaitu:

1. Apa saja faktor-faktor yang dominan mempengaruhi konsumsi dan

penyediaan energi di Indonesia?

2. Bagaimana dan seberapa besar dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal lainnya terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia? 3. Berapa besar konsumsi dan penyediaan energi pada masa mendatang

sehubungan dengan semakin membaiknya kondisi perekonomian Indonesia? 4. Kebijakan penyediaan dan konsumsi energi bagaimana yang efektif dalam

perekonomian Indonesia?

1.3. Tujuan Studi

Secara umum tujuan dari studi ini adalah untuk membangun suatu model konsumsi energi menurut pengguna dan penyediaan energi menurut jenis energi


(15)

dalam perekonomian Indonesia dengan menggunakan pendekatan neraca energi. Secara spesifik studi ini bertujuan untuk:

1. Menduga faktor-faktor dominan yang mempengaruhi konsumsi dan

penyediaan energi di Indonesia.

2. Menganalisis dampak kebijakan ekonomi dan faktor eksternal lainnya terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia.

3. Melakukan peramalan terhadap konsumsi dan penyediaan energi di Indonesia menurut pengguna pada masa mendatang.

4. Merumuskan implikasi kebijakan penyediaan energi yang efektif dan konsumsi energi yang efesien dalam perekonomian Indonesia.

1.4. Ruang Lingkup dan Keterbatasan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan konsumsi dan penyediaan energi Indonesia yang memaparkan aliran energi dimulai dari sumber energi, diikuti dengan transformasi energi, sampai dengan konsumsi energi akhir oleh konsumen akhir. Jenis energi yang dianalisis dengan model persamaan simultan ini terdiri dari minyak mentah, batubara, BBM, gas, listrik, dan biomas. Transformasi energi, sesuai dengan neraca energi Indonesia, terdiri dari penyulingan minyak dan pembangkit listrik. Sementara itu, konsumen akhir energi akhir yang dianalisis terdiri dari 5 sektor, yaitu sektor: industri, transportasi, rumahtangga (pemukiman), pertanian, dan sektor lainnya.

Untuk menganalisis konsumsi dan penyediaan energi dalam perekonomian Indonesia, sejumlah peubah dari luar data neraca energi dimasukkan ke dalam model. Peubah-peubah yang dimaksud terutama sekali adalah peubah harga


(16)

berbagai jenis energi, jumlah penduduk, produk domestik bruto (PDB), dan peubah-peubah pendukung lainnya.

Mencermati ruang lingkup yang telah dikemukakan, penelitian ini memiliki sejumlah keterbatasan terutama terkait dengan agregasi jenis energi dan konsumen akhir. Pada studi ini jenis energi batubara, BBM, gas, dan biomass dianalisis secara agregat, padahal keempat jenis energi ini memiliki spesifikasi yang lebih rinci. Tidak dilakukannya disagregasi terhadap keempat jenis energi tersebut, khususnya terkait dengan sumber (penyediaan) energi, disebabkan data yang terdapat dalam neraca energi Indonesia tidak secara detail merinci spesifikasi berbagai jenis energi tersebut. Demikian juga halnya dengan jenis energi listrik tidak dirinci menurut status kepemilikan pembangkit listrik dan sumber energi listrik. Menurut status kepemilikan, pembangkit energi listrik terdiri dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) dan perusahaan listrik swasta atau pembangkit listrik milik pribadi. Menurut sumbernya, energi listrik berasal dari pembangkit listrik tenaga diesel, pembangkit tenaga uap, tenaga air, dan sumber lainnya.

Selanjutnya, analisis terhadap konsumen akhir energi juga dilakukan secara agregat mengacu pada data yang tersedia dalam neraca energi Indonesia. Sebagaimana telah dikemukakan di atas, konsumen akhir yang dianalisis terdiri dari sektor industri, transportasi, rumahtangga (pemukiman), pertanian, dan sektor lainnya.


(17)

2.1. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Basis model pertumbuhan ekonomi adalah teori yang dirumuskan oleh Solow (1956), seorang penerima hadiah Nobel, namun dalam model tersebut belum memasukkan faktor sumberdaya secara keseluruhan. Model ini kemudian diperluas dengan memasukkan faktor sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan sumberdaya yang dapat diperbaharui, dan jasa-jasa dalam mendapatkan dan pengelolannya. Namun demikian, model-model yang diperluas ini hanya diaplikasikan dalam konteks debat tentang ekonomi berkelanjutan, bukan dalam bentuk aplikasi makro ekonomi (Stern, 2003).

2.1.1. Model Pertumbuhan Solow

Model-model pertumbuhan ekonomi menguji evolusi dari perekonomian secara hipotesis selamanya sebagai kuantitas dan/atau kualitas berbagai input dalam perubahan proses produksi. Disini akan dijabarkan model pertumbuhan Solow (1956) mengacu pada pendapat yang dikemukakan oleh Stern (2003). Dalam model ukuran angkatan kerja konstan menyatakan bahwa kapital merupakan faktor produksi utama untuk menghasilkan output, dalam hal ini adalah pendapatan nasional. Model Neoklasik mengasumsikan output meningkat dengan tingkat yang semakin menurun apabila jumlah kapital yang digunakan meningkat seperti Gambar 6.

Apabila penduduk diasumsikan konstan, maka hasil kali antara angkatan kerja dan tabungan merupakan proporsi konstan dari pendapatannya. Sehingga tabungan digunakan untuk menciptakan barang-barang kapital baru merupakan


(18)

proporsi konstan dari penyusutan stok kapital yang ada (dan menjadi kurang produktif) dalam setiap periode waktu.

Sumber: Stern, 2003

Gambar 6. Model Pertumbuhan Solow

Stok kapital dalam keadaan keseimbangan ketika tabungan sama dengan penyusutan. Ini juga digambarkan dalam Gambar 6 kurva Solow. Catatan bahwa kurva tabungan mempunyai bentuk yang sama seperti kurva output, tetapi lebih rendah untuk setiap nilai K (kapital). Ini disebabkan tabungan merupakan proporsi konstan, s, dari pendapatan. Dinamika yang digambarkan pada gambar kurva Solow sangat sederhana. Pada bagian sebelah kiri K, dimana kapital per tenaga kerja adalah langka, investasi kapital menghasilkan pendapatan yang relatif lebih besar pada masa mendatang, dan akan menawarkan tingkat pengembalian yang tinggi. Lebih lanjut dapat dilihat posisi relatif kurva S (stok kapital) dan D (depresiasi) disebelah kiri K yang menambah stok kapital lebih besar daripada depresiasi dan juga meningkatkan kapital.

Namun demikian, tingkat pengembalian kapital yang menurun


(19)

mengimplikasikan bahwa kenaikan berturut-turut dari kapital menghasil tambahan pendapatan yang menurun pada masa mendatang, sehingga tingkat pengembalian investasi turun. Oleh karenanya insentif untuk akumulasi kapital melemah. Ketika stok kapital menyentuh K, akan terjadi keadaan stationer atau keseimbangan.

Penambahan kapital dengan tabungan untuk menutupi kerugian dalam

pengurangan kapital karena depresiasi dan tingkat pengembalian investai akan jatuh ke titik dimana tidak ada insentif untuk akumulasi kapital yang lebih banyak. Dalam model ini, perekonomian akan lebih cepat atau lebih lambat menyentuh keadaan stationer apabila tidak ada (tambahan) investasi bersih, dan pertumbuhan ekonomi pada akhirnya harus terhenti. Dalam suatu proses transisi, pada saat suatu negara bergerak melewati keadaan stationer ini, pertumbuhan dapat dan akan terjadi. Pada perekonomian terkebelakang, dengan stok kapital per tenaga kerja yang kecil, dapat mencapai pertumbuhan yang cepat dengan membangun stok kapitalnya. Tetapi seluruh perekonomian pada akhirnya akan menuju pertumbuhan keseimbangan nol jika tingkat tabungan konstan. Tidak ada negara dapat tumbuh secara kekal hanya dengan mengakumulasi kapital.

Jika angkatan kerja tumbuh pada tingkat yang tetap sepanjang waktu, total stok kapital dan total kuantitas output akan meningkat tetapi kapital per tenaga kerja dan output per tenaga kerja akan tetap konstan apabila suatu perekonomian telah mencapai keseimbangannya. Hanya perlu penyesuaian pada gambar kurva Solow bahwa seluruh unit sekarang diukur dalam bentuk per kapita.

Mengacu pada teori pertumbuhan Neoklasik, pertumbuhan ekonomi hanya akan terjadi dengan adanya kemajuan teknologi. Kuantitas dan kualitas output yang lebih baik dapat diproduksi dari sejumlah input yang sama. Dalam


(20)

model Solow yang telah dijelaskan, kemajuan teknologi secara kontinu menggeser fungsi output ke atas, sehingga meningkatkan keseimbangan stok kapital per kapita dan level output. Secara intuitif, peningkatan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi akan meningkatkan tingkat pengembalian kapital, sehingga dapat dinyatakan bahwa pengembalian kapital yang menurun sebaliknya akan menghambat pertumbuhan.

2.1.2. Teori Pertumbuhan Endogen

Model Solow yang telah diuraikan tidak menjelaskan bagaimana perbaikan teknologi terjadi. Model tersebut mengasumsikan perubahan teknologi terjadi secara eksogen, sehingga disebut juga dengan model perubahan teknologi eksogen. Model yang lebih terkini memberlakukan perubahan teknologi secara endogen, yakni menjelaskan kemajuan teknologi yang masuk dalam model sebagai keluaran dari keputusan yang diambil oleh perusahaan atau individual.

Dalam model pertumbuhan endogen, hubungan antara kapital dan output dapat ditulis dalam bentuk Y = AK. Kapital, K, didefenisikan lebih luas daripada model Neoklasik, yaitu gabungan pabrik/mesin dan pengetahuan berbasis kapital. Teori pertumbuhan endogen ini telah menempatkan asumsi-asumsi yang rasional, unsur A diekspresikan sebagai konstanta, dan pertumbuhan dapat terjadi tidak terhingga sebagai akumulasi kapital.

Poin kunci dari model pertumbuhan endogen adalah ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bentuk kapital yang terakumulasi melalui research and development (R&D) dan proses penciptaan pengetahuan lainnya. Ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai dua sifat khusus. Pertama, stok kapital


(21)

tidak habis karena digunakan, yang mengimplikasikan bahwa stok pengetahuan dapat dihasilkan sepanjang waktu, walaupun sedang digunakan. Kedua, menghasilkan eksternalitas positif dalam produksi: perusahaan yang melakukan R&D memperoleh benefit dari mendapatkan pengetahuan, perusahaan yang lain juga memperoleh manfaat. Ada beneficial spillovers (limpahan manfaat) bagi perekonomian dari proses R&D sehingga manfaat sosial dari inovasi melebihi manfaat swasta kepada innovator awal (Stern, 2003).

Menurut Romer (1994) bahwa ide dasar dari teori pertumbuhan endogen adalah investasi kapital baik dalam bentuk mesin maupun manusia mampu menciptakan eksternal positif. Artinya investasi tidak hanya meningkatkan kapasitas produktif dari perusahaan yang melakukan investasi atau tenaga kerja, tetapi juga kapasitas produktif dari perusahaan-perusahaan atau tenaga kerja lainnya yang terkait. Singkatnya, dalam teori pertumbuhan endogen bahwa inovasi teknologi dan pembentukan modal manusia dilihat sebagai sumber utama dari pertumbuhan produktivitas, dan pertumbuhan tersebut pada gilirannya merupakan motor penggerak dari pertumbuhan ekonomi (engine of growth).

Teori pertumbuhan endogen mengasumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris (Todaro, 2000). Seiring dengan itu, Sachs dan Larrain (1993) menyatakan bahwa model pertumbuhan endogen memiliki asumsi increasing return to scale yang menyatakan bahwa ekonomi skala hasil yang meningkat tidak harus dicapai padastedy state growth rate yang sama dengan laju pertumbuhan penduduk ditambah dengan labor autmenting technical progress. Pertumbuhan pada tingkat yang lebih tinggi harus bisa berlangsung secara berkesinambungan (self-sustaining). Dan teori pertumbuhan


(22)

endogen menolak asumsi penyusutan imbalan marginal atas investasi modal (diminishing marginal returns to capital investments) yang dipegang teguh oleh teori Neokalsik.

Selanjutnya, Todaro (2000) mengatakan model pertumbuhan endogenus menekankan bahwa investasi dalam modal fisik dan modal manusia akan dapat ekonomi eksternal dan perningkatan produktivitas yang melebihi keuntungan pihak swasta yang melakukan investasi itu, dan kelebihan itu cukup untuk mengimbangi penurunan skala hasil. Pada saat selanjutnya, hal tersebut menciptakan peluang-peluang investasi baru yang nantinya juga membuahkan ekonomi eksternal sehinggaα pada persamaan Solow sama dengan 1. Itu berarti persamaan persamaan pertumbuhan neoklasik   1

L AK

Y , diubah menjadi

sebuah persamaan persamaan pertumbuhan endogen yaitu YAK . Hasil akhirnya adalah peningkatan skala hasil yang mampu menciptakan proses pembangunan yang berkesinambungan dalam jangka panjang. Terciptanya hasil akhir dari teori pertumbuhan Endogenous justru tidak dipercaya oleh para penganut teori pertumbuhan Neoklasik Tradisonal.

Model pertumbuhan endogen juga menekankan pentingnya tabungan dan investasi modal manusia dalam rangka mamacu pertumbuhan diberbagai negara berkembang. Namun teori ini mengemukakan beberapa implikasi tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi yang bertolak belakang dengan teori pertumbuhan Neoklasik Tradisional. Pertama, teori pertumbuhan endogen menyatakan tidak ada kekuatan khusus yang menghadirkan suatu proses pemerataan tingkat pertumbuhan ekonomi antar negara, khususnya bagi negara-negara yang menganut sistem perekonomian tertutup. Tingkat pertumbuhan ekonomi nasional


(23)

masing-masing negara akan tetap konstan, dan satu sama lainnya akan tetap berbeda, karena hal itu sepenuhnya tergantung pada tingkat tabungan dan kemajuan teknologi yang dimiliki oleh masing-masing negara. Lebih lanjut dikemukan oleh Todaro (2000), sekalipun memiliki tingkat tabungan yang sama besarnya, negara-negara miskin tidak tidak akan mampu untuk mengejar ketinggalannya dalam hal pendapatan per kapita dari negara-negara kaya. Hal ini menimbulkan konsekuensi yakni terjadinya resesi suatu negara akan mengakibatkan peningkatan permanen atas kesenjangan pendapatan antar negara yang bersangkutan dengan negara-negara lain yang lebih kaya.

Kedua, kemampuan untuk menjelaskan perilaku aneh atas arus

permodalan internasional yang cenderung memperlebar ketimpangan

kesejahteraan atar negara-negara Dunia Pertama dan negara-negara Dunia Ketiga. Bertolak dari model ini dapat diketahui bahwa potensi dari keuntungan investasi yang tinggi di negara berkembang yang rasio modal-tenaga kerja masih rendah, ternyata terkikis oleh rendahnya tingkat investasi komplementer (complenetary investments) dalam modal sumber daya manusia (terutama melalui pengembangan fasilitas dan pendidikan, sarana infrastruktur, serta aneka kegiatan penelitian dan pengembangan (R&D). Negara-negara miskin juga tidak banyak mendapatkan manfaat dari keuntungan-keuntungan sosial yang lebih luas yang muncul dari penyediaan modal untuk menggarap bidang-bidang tersebut. Karena individu-individu di negara-negara miskin tidak memperoleh keuntungan personal dari serangkaian eksternal positif yang diciptakan oleh investasi yang dilakukan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu pemberlakukan mekanisme pasar bebas justru akan menjauhkan upaya pendayagunaan investasi komplementer dari tingkat yang


(24)

optimal. Kontras dengan teori neoklasik, model pertumbuhan endogen menyarankan peran aktif dari kebijakan pemerintah dalam mempromosikan pembangunan ekonomi melalui investasi langsung dan tidak langsung dalam formasi mutu modal manusia dan mendorong investasi swasta dalam industri yang membutuhkan teknologi tinggi.

Dari beberapa keunggulan teori pertumbuhan endogen, muncul beberapa kritikan terhadap teori tersebut. Pertama, teori pertumbuhan endogen memiliki asumsi yang tidak cocok untuk diterapkan di negara berkembang. Sebagai contoh, teori pertumbuhan ini mangsumsikan hanya terdapat satu sektor produksi atau semua sektor bersifat simetris. Situasi ini tidak menghasilkan pertumbuhan yang memunculkan realokasi tenaga kerja dan modal diantara sektor-sektor yang ditransformasikan selama proses perubahan struktural. Kedua, toeri ini tidak mampu untuk menguraikan sebab-sebab modal yang sangat langka tidak dapat dimanfaatkan secara optimal. Pertumbuhan di negara berkembang terhambat oleh serangkaian inefisiensi yang bersumber dari kelemahan infrastruktur, struktur kelembagaan yang tidak memadai, serta pasar barang dan pasar modal yang jauh dari sempurna. Faktor-faktor yang sangat berpengaruh ini ternyata kurang diperhatikan oleh teori pertumbuhan endogen. Itulah sebabnya aplikasi teori pertumbuhan ini dalam studi pembangunan ekonomi sangat terbatas, apalagi jika studi tersebut melibatkan perbandingan antar negara. Struktur insentif yang lemah di negara berkembang merupakan penyebabnya. Struktur insentif yang buruk tidak memungkinkan terciptanya akumulasi tabungan dan investasi yang tinggi, sehingga tidak mengherankan apabila pertumbuhan ekonomi di berbagai negara berkembang senantiasa tersendar-sendat. Inefisiensi alokasi sumberdaya ditemui


(25)

di berbagai perekonomian yang tengah mengalami transisi dari pasar tradisional ke pasar komersial. Teori-teori ini terlalu banyak memberikan perhatikan kepada faktor-faktor penyebab pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Dan Ketiga, serangkaian studi empiris terhadap nilai atau bobot prediktif teori-teori pertumbuhan endogen tidak mampu memberikan prediksi yang cukup akurat.

Eksternalitas menciptakan momentum dalam proses pertumbuhan karena perusahaan-perusahaan memasang kapital baru. Pertumbuhan kapital berarti pertumbuhan dari gabungan stok kapital dan terpisah dari ilmu pengetahuan dan teknologi. Oleh karenanya output dapat meningkat dengan proporsi konstan (A) dari gabungan stok kapital, dan tidak terjadi diminishing returns seperti yang digambarkan dalam gambar kurva Solow.

Jadi dalam model pertumbuhan endogen tingkat pertumbuhan dapat tetap tumbuh konstan dalam kondisi tingkat pengembalian kapital yang menurun sebagai dampak eksternal pertumbuhan teknologi. Tingkat pertumbuhan secara permanen dipengaruhi oleh tingkat tabungan. Tingkat tabungan yang lebih tinggi meningkatkan pertumbuhan tidak hanya pada level keseimbangan pendapatan.

2.1.3. Model Pertumbuhan dengan Sumberdaya Alam

Model-model pertumbuhan yang telah dijelaskan di atas tidak memasukkan variabel sumberdaya alam termasuk energi. Seluruh sumberdaya alam yang ada pada umumnya dalam jumlah terbatas walaupun beberapa diantaranya seperti sinar matahari ketersediaannya sangat besar. Beberapa sumberdaya lingkungan bersifat tidak dapat direproduksi dan banyak sumberdaya yang dapat diperbaharui berpotensi habis terpakai. Kelangkaan dan habis terpakainya sumberdaya menimbulkan masalah notasi pertumbuhan ekonomi tidak terhingga.


(26)

Ketika ada lebih dari satu input kapital dan sumberdaya alam, ada banyak alternatif bahwa pertumbuhan ekonomi terjadi. Alternatif yang diambil ditentukan oleh kesiapan kelembagaan yang menanganinya. Para analis melihat pada model-model pertumbuhan optimal yang bertujuan untuk memaksimalkan jumlah kesejahteraan dalam horizon waktu tertentu (selalu dinyatakan horison infinitif) atau mencapai keberlanjutan (social welfare yang tidak menurun) dan model-model ditekankan untuk menjelaskan perekonomian riil dengan mengasumsikan pasar persaingan sempurna atau aturan-aturan lainnya.

Literatur Neoklasik tentang pertumbuhan dan sumberdaya memusatkan pada kondisi apa saja yang memungkinkan pertumbuhan keberlanjut, atau paling tidak konsumsi atau utilitas tidak menurun. Kondisi teknis dan kelembagaan menentukan kemungkinan berlanjut atau tidaknya suatu perekonomian. Kondisi teknis mengarahkan pada sesuatu seperti campuran antara sumberdaya yang dapat diperbaharui dan tidak dapat diperbaharui, kekayaan awal dari kapital dan sumberdaya alam, dan pengurangan substitusi antara input. Institusi mencakup sesuatu seperti stuktur pasar (kompetisi versus perencanaan terpusat), sistem hak kepemilikan (milik swasta versus publik), dan sistem nilai untuk generasi akan datang.

Solow (1974) menggambarkan keberlanjutan dicapai dalam model dengan suatu keterbatasan dan sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui dengan tidak menambah biaya dan kapital tidak menyusut. Namun demikian, model perekonomian dalam kondisi persaingan sempurna akan mengalami kesulitan sumberdaya dan konsumsi, sehingga kesejahteraan sosial pada akhirnya turun ke nol (Stiglitz, 1974). Dasgupta and Heal (1979) menggambarkan bahwa dengan


(27)

tingkat diskonto konstan yang disebut juga dengan jalur pertumbuhan optimal juga menyebabkan sumberdaya alam pada akhirnya habis dan perekonomian

collapse.

Interpretasi umum dari teori pertumbuhan standar adalah bahwa substitusi dan perubahan teknis dapat secara efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi dari sumberdaya dan lingkungan. Habisnya sumberdaya atau degradasi lingkungan dapat digantikan dengan faktor lainnya dalam bentuk modal yang dibuat manusia (orang, mesin-mesin, pabrik, dsb). Tetapi terjadi interpretasi yang salah di sini. Para ekonom Neoklasik sebagian besar tertarik dengan kesiapan institusi, dan tidak pada kesiapan teknis, akan mempengaruhi keberlanjutan, sehingga mereka secara tipikal mengansumsi secara a priori bahwa keberlanjutan adalah kelayakan teknis dan kemudian menyelidiki apakah kesiapan institusi mempengaruhi keberlanjutan jika layak secara teknis. Berarti, bagaimanapun, secara relatif asumsi kelayakan secara teknis belum diuji (Stern, 2003).

Lebih lanjut Stern (2003) menyatakan bahwa elastisitas substitusi antara apa yang disebut para ekonomi adalah kapital (pabrik, mesin dan lainnya) dan input dari lingkungan (sumberdaya alam, asimilasi sampah, jasa ekosistem) adalah unsur teknis kritikal yang mengindikasikan bahwa berapa banyak satu input harus ditingkatkan untuk menghasilkan tingkat yang sama produksi ketika penggunaan input lainnya dikurangi. Hal ini mengimplikasikan bahwa dampak biaya dalam meningkatkan harga suatu input dapat secara mudah dihilangkan dengan mengalihkan ke suatu teknik produksi yang menggunakan input lainnya, katakanlah kapital. Gambar 7 menggambarkan perbedaan kombinasi dua input yang dapat menghasilan tingkat output tertentu untuk nilai yang berbeda.


(28)

Sumber: Stern, 2003

Gambar 7. Elastisitas Substitusi Antara Faktor Produksi Modal dan Sumberdaya Alam

Produk marginal adalah tambahan kontribusi terhadap produksi dengan menggunakan lebih dari satu unit input dengan anggapan bahwa input lainnya konstan (yaitu turunan parsial dari fungsi produksi terhadap input). Elastisitas subsitusi unitary, menjelaskan “substitusi sempurna”, berarti rasio dua input berubah dengan persentase tertentu dengan anggapan output konstan, perubahan rasio produk marginal dua input tersebut dengan persentase yang sama (dalam arah yang berlawanan). Hubungan ini digambarkan oleh kurva (dikenal dengan

isoquant) dalam Gambar 7, yangasymptoticpada kedua aksis. Ketika sumberdaya yang digunakan nol, produksi dapat dihasilkan dengan meningkatkan penggunaan kapital secara tidak terhingga. Hal ini juga mengimplikasikan bahwa total biaya produksi konstan disepanjang kurva isoquant. Substitusi sempurna tidak berarti bahwa sumberdaya dan kapital memiliki manfaat yang sama, dalam kenyatannya ketersediaan sumberdaya menurunkan produktivitas marginalnya tidak terhingga.

Modal

Sumberdaya Alam

σ

= 0

σ

= ~


(29)

Gambar tersebut juga mengilustrasikan kasus dimana tidak ada substitusi adalah tidak mungkin dan dua input bersubstitusi tidak terhingga.

Dalam kasus terdahulu dua input harus digunakan dalam rasio tetap dan kasus berikutnya produsen tidak berbeda pandangan antara input dan penggunaan sesuatu yang paling murah. Seperti diskusikan dibawah ini, substitusi sempurna merupakan asumsi tidak realistik dari perspektif biofisik, paling tidak jika diasumsikan untuk mengaplikasikan seluruh rasio kapital dan sumberdaya. Elastisitas permintaan untuk energi, yang didalam teori dihubungkan dengan elastisitas substitusi mengindikasikan bahwa elastisitas substitusi antara energi dan input lainnya dan antara bahan bakar yang berbeda bias menjadi antara nol dan satu. Lebih lanjut, jika elastisitas substitusi lebih besar dari satu, kemudian

isoquantmenyilang aksis dan input nonesensil untuk produksi dan sebaliknya. Ekonom seperti Solow (1974) secara eksplisit menyelesaikan kasus-kasus dimana untuk sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui dan kapital lebih besar atau kecil dari satu. Dalam kasus sebelumnya kemungkinan substitusi adalah besar dan oleh karenanya kemungkinan tidak bersubstitusi bukan suatu isu. Dalam kasus terakhir, substitusi tidak layak jika suatu perekonomian hanya menggunakan sumberdaya-sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui.

Ekonomi Neoklasik berargumen bahwa model-model pertumbuhan yang

memasukkan sumberdaya dapat menghitung keseimbangan massa dan

keterbatasan thermodinamika dengan “kondisi esensial”. Jika lebih besar dari satu, maka sumberdaya adalah “non esensial”. Jika kurang atau sama dengan satu, maka sumberdaya adalah “esensial”. Esensial dalam kasus ini berarti bahwa memberikan input non sumberdaya positif, output hanya nol ketika input


(30)

sumberdaya adalah nol, dan sebaliknya sangat tegas positif (strictly positive). Fungsi produksi Cobb-Douglas, bentuk paling sering digunakan dalam model-model pertumbuhan. Para ekonom berargumen bahwa hal ini paling tidak digunakan untuk menghitung pada kondisi dimana beberapa dari energi dan material dibutuhkan untuk memproduksi barang dan jasa. Tetapi ketika elastisitas subsitusi adalah unity, ini “esensial” karena jumlahnya dapat menjadi tidak terhingga jika kapital pabrik digunakan. Para ekonom juga mencatat bahwa sumberdaya-sumberdaya dan kapital saling tergantung (dalam model-model neoklasik) dengan sumberdaya lainnya untuk menghasilkan asset-aset kapital. Oleh karenanya, stok kapital tidak dapat ditingkatkan tanpa mengurangi stok kapital. Beberapa ekonom menyatakan bahwa suatu asumsi nilai sama atau lebih besar dari satu antara energi dan input lainnya melanggar hukum thermodinamika (Dasgupta dan Heal, 1979).

Substitusi secara teknis mungkin akan terjadi jika tidak ada investasi masyarakat dalam jumlah yang cukup sepanjang waktu untuk menggantikan berkurangnya sumberdaya alam dan ekosistem. Berapa banyak investasi yang diperlukan tergantung pada penetapan institusi dalam perekonomian. Sebagai contoh, dalam suatu perekonomian dimana keberlanjutan secara teknis layak (dan hanya ada sumberdaya alam yang tidak dapat diperbaharui) tidak akan terjadi dalam perekonomian kompetitif atau perencanaan terpusat, dimana keputusan yang ditetapkan adalah maksimisasi aliran utilitas terdiskonto dari gererasi masa depan menggunakan tingkat diskonto konstan dan positif. Konsumsi per kapita pada akhirnya akan menurun ke nol setelah periode awal pertumbuhan ekonomi karena sumberdaya dan ekosistem berkurang lebih cepat daripada akumulasi


(31)

kapital untuk menggantikannya (Stiglitz, 1974; Dasgupta and Heal, 1979). Keberlanjutan dicapai dibawah penetapan institusi yang pasti (Solow, 1974). Jika utilitas individual ditetapkan sama besar tanpa pertimbangan ketika mereka terjadi untuk hidup dan bertujuan untuk memaksimumkan jumlah utilitas sepanjang waktu, maka pertumbuhan dalam konsumsi dapat terjadi secara tidak terhingga. Ini ekivalen untuk memaksimumkan net present value dengan tingkat diskonto nol. Dengan jelas, level konstan dari konsumsi sepanjang waktu juga layak. Suatu hasil yang penting dalam konteks ini adalah aturan Hartwick (Hartwick, 1977) yang menggambarkan bahwa jika keberlanjutan secara teknis layak, level konstan dari konsumsi dapat dicapai dengan melakukan re-investasi sumberdaya dalam bentuk kapital, yang dapat mensubstitusi sumberdaya. Dixit et al. (1980) memperluas aturan untuk mengalikan stok kapital pada saat Hartwick (1995) memperluas aturan untuk perekonomian terbuka.

Faktor kunci lainnya yang memungkinkan pertumbuhan dalam pandangan berbasis sumberdaya terbatas adalah perubahan teknologi. Perbaikan teknologi didefenisikan sebagai keuntungan (gain) dalam total produktivitas faktor yang mengimplikasikan bahwa output meningkat pada saat jumlah tertimbang input-input dianggap konstan.

2.2. Energi dan Pertumbuhan Ekonomi

Reproduksi merupakan suatu konsep kunci dalam ilmu ekonomi produksi. Sementara itu ada sejumlah barang bersifat tidak dapat direproduksi, namun dapat diolah dengan mengeluarkan sejumlah biaya yang masuk dalam sistem ekonomi produksi. Dalam satu proses produksi memerlukan input atau faktor produksi.


(32)

Faktor produksi dapat dibagi menjadi faktor produksi (input) primer dan input

intermediate (antara). Para Ekonom Aliran Utama (mainstream) berpikir bahwa kapital, tenaga kerja, dan lahan sebagai faktor produksi primer, sedangkan barang-barang seperti bahan bakar dan bahan baku sebagai input antara. Harga-harga yang dibayarkan untuk berbagai jenis input akhir dipandang sebagai pembayaran untuk pemilik input primer sebagai balas jasa secara langsung untuk memproduksi input antara (Stern, 1999).

Pendekatan ini fokus pada teori pertumbuhan terhadap input primer, khususnya kapital dan lahan, serta memperlakukan energi berperan tidak langsung dalam proses pertumbuhan. Input energi primer merupakan stok sumberdaya seperti cadangan minyak. Namun demikian, hal ini tidak ditetapkan secara eksplisit dalam teori-teori pertumbuhan standar yang hanya fokus pada tenaga kerja dan kapital. Oleh karenanya ide-ide tentang peranan energi dalam aliran utama teori pertumbuhan ekonomi cenderung agak kusut (Stern 2003).

Kapital dan tenaga kerja dalam jangka waktu lebih panjang merupakan faktor produksi yang dapat direproduksi, sedangkan energi merupakan faktor produksi yang bersifat tidak dapat direproduksi. Oleh karenanya, para ahli sumberdaya dan sejumlah ekonom lingkungan memberikan perhatian yang besar terhadap peranan energi dan ketersediaannya dalam ekonomi produksi dan proses pertumbuhan (Stern, 1999).

Hukum Termodinamika I (Hukum Konservasi) mengimplikasikan prinsip keseimbangan massa (Ayres dan Kneese, 1969). Mengacu pada hukum tersebut, Stern (2003) menyatakan bahwa dalam rangka memperoleh material output dengan kuantitas yang lebih besar atau paling tidak sama dengan input yang


(33)

digunakan dalam suatu proses produksi, maka residual sebagai polutan atau sisa produk hendaknya sekecil mungkin. Oleh karenanya material input yang minimal dipersyaratkan dalam proses menghasilkan material output. Lebih lanjut Stern (2003) mengacu pada Hukum Termodinamika II (Hukum Efisiensi) menyatakan bahwa hukum tersebut mengimplikasikan kuantitas energi minimum dibutuhkan untuk mengatasi persoalan transformasi. Oleh karenanya harus membatasi substitusi penggunaan energi dengan faktor produksi lainnya dalam proses produksi. Seluruh proses ekonomi membutuhkan energi, melalui sejumlah aktivitas pelayanan yang tidak membutuhkan pengolahan material secara langsung. Namun demikian, hal ini benar hanya pada level mikro, sedangkan pada level makro seluruh proses ekonomi membutuhkan penggunaan material tidak langsung, termasuk didalamnya mengelola tenaga kerja atau memproduksi kapital (Stern 2003).

Energi juga merupakan faktor produksi esensial (Stern, 1997). Seluruh produksi melibatkan transformasi atau perubahan zat dengan sejumlah cara dan seluruh transformasi seperti itu memerlukan energi. Berapa aspek sehubungan dengan pengaturan/pengorganisasian, yaitu informasi, juga perlu dipertimbangkan menjadi input non-reproduksi. Beberapa analis (seperti Spreng, 1993; Chen, 1994; Stern, 1994; Ruth, 1995) berargumen bahwa informasi merupakan faktor produksi yang bersifat non-reproduksi sama halnya dengan energi, dan ilmu ekonomi lingkungan harus mempertimbangkan informasi dan akumulasinya sebagai pengetahuan yang dibayarkan untuk energi. Energi memerlukan informasi tentang lingkungan karena tidak dapat diaktifkan penggunaannya tanpa informasi dan terakumulasi dalam bentuk pengetahuan. Tidak seperti energi, informasi dan


(34)

pengetahuan tidak mudah dikuantifikasikan. Tetapi faktor-faktor ini merupakan satu kesatuan dengan mesin, tenaga kerja dan material-material yang dibuat menjadi bermanfaat. Justifikasi biofisik ini memperlakukan kapital, tenaga kerja dan faktor-faktor lainnya hanya sebagai faktor-faktor kapital dan tenaga kerja karena lebih mudah diukur daripada informasi dan teknologi, ukuran-ukuran ini sangat tidak sempurna dibandingkan energi (Stern, 1999).

Dalam pendekatan mainstream ilmu ekonomi Neoklasik, kuantitas ketersediaan energi terhadap ekonomi pada berbagai tahun diperlakukan sebagai

endogenous, melalui pembatasan dengan batasan biofisik seperti tekanan pada penyimpanan minyak dan keterbatasan ekonomi seperti jumlah ekstraksi terpasang, penyulingan, dan kapasitas pembangkit, serta kemungkinan percepatan dan efisiensi dalam proses ini dapat diproses. Namun demikian, pendekatan analisis ini kurang digunakan untuk menganalisis peranan energi sebagai pengendali pertumbuhan produksi dan ekonomi (Stern, 2003).

Sebagai alternatif, model-model ekonomi biofisik mengusulkan bahwa energi merupakan faktor produksi primer. Ini dapat dipahami karena ada stok energi tertentu yang didegradasi dalam proses penyediaan jasa-jasa untuk perekonomian. Tetapi ini berarti bahwa ketersediaan energi dalam setiap periode ditentukan secaraexogenous(Stern, 1999). Dalam beberapa model biofisik (seperti Gever et al., 1986) batasan geologi merupakan tingkat yang tetap dari ekstraksi energi. Kapital dan tenaga kerja diperlakukan sebagai aliran konsumsi kapital dan jasa tenaga kerja, bukan stok. Aliran ini dihitung dengan cara memasukkan penggunaan energi besama-sama dengan input lainnya. Seluruh nilai tambah dalam perekonomian dianggap sebagai nilai sewa dari penggunaan energi dalam


(35)

perekonomian. Alternatif lainnya adalah teori distribusi produktivitas marginal Neoklasik seperti yang dikemukan oleh Kaufmann (1987). Kemudian, dalam ilmu ekonomi Marxist dinyatakan distribusi aktual dari surplus tergantung pada daya tawar relatif dari perbedaan kelas-kelas sosial (Kaufmann, 1987; Hall et al.,

1986) dan pemasok bahan bakar luar negeri. Surplus energi diambil oleh pemilik modal, lahan dan tenaga kerja. Dan model input-output menyajikan suatu perekonomian dimana ada faktor produksi primer tunggal dengan harga yang tidak ditentukan oleh produktivitas marginal. Produk marginal adalah nol, namun vektor harga keseimbangan positif. Ada teknik produksi dengan proporsi yang tetap untuk setiap komoditi dalam bentuk aliran komoditas atau kebutuhan jasa-jasa (Stern, 1999).

Para ekonom ekologi berargumen bahwa penggunaan energi untuk menghasilkan input-input antara seperti bahan bakar meningkat ketika kualitas sumberberdaya seperti penyimpanan minyak menurun. Oleh karenanya biaya energi meningkat sebagai representasi dari peningkatan kelangkaan dalam nilai penggunaannya (Cleveland dan Stern, 1999).

Berdasarkan penjelasan di atas, terlihat bahwa ada paradoks antara perlakuan energi hanya sebagai faktor produksi primer dan perhatian terhadap kualitas sumberdaya-sumberdaya lainnya. Perubahan kualitas sumberdaya diperlakukan dalam model sebagai perubahan koefisien input-output, yaitu sebuah bentuk perubahan teknis. Dalam pendekatan Costanza dan pendekatan Energi (Brown dan Herendeen, 1996), sumberdaya dinyatakan sebagai input energi solar dan geologi. Oleh karenanya perubahan kualitas sumberdaya dinyatakan dengan perubahan dalam energi daripada perubahan dalam koefisien input-output. Jika stok


(36)

sumberdaya dinyatakan secara spesifik, energi tidak akan lebih jauh dari sekedar faktor produksi primer. Model neo-Ricardian yang dibangun oleh Perrings (1987) dan O'Connor (1993), seperti halnya model Neo Ricardian lainnya, menyatakan bahwa proporsi teknologi tetap dalam bentuk stok kapital daripada aliran dalam model Leontief. Mereka tidak membedakan antara faktor produksi primer dan intermediate. Namun pendekatan tersebut masih menempatkan batasan biofisik seperti keseimbangan massa dan konservasi energi dalam neraca (Stern, 1999).

Jika perekonomian dapat direpresentasikan sebagai model input-output dimana tidak ada substitusi antara faktor produksi, faktor pengetahuan dalam faktor produksi dapat diabaikan. Ini tidak berarti bahwa penggunaan energi dan ilmu pengetahuan dalam mendapatkan dan pemanfaatannya harus diabaikan. Perhitungan akurat untuk seluruh penggunaan energi untuk mendukung produksi final adalah penting. Tetapi kontribusi pengetahuan terhadap produksi tidak dapat diasumsikan proporsional terhadap biaya energi. Melalui ilmu Thermodinamika menempatkan batasan terhadap substitusi, derajat substitusi aktual antara stok kapital memasukkan pengetahuan dan energi merupakan sebuah pertanyaan secara empiris (Stern, 2003).

2.3. Kebijakan Energi Nasional

Kebijakan energi nasional merupakan bagian kebijakan publik. Menurut Suharto (2005) bahwa kebijakan publik segala yang berkaitan dengan keputusan atau ketetapan pemerintah untuk melakukan tindakan yang dianggap akan membawa dampak baik bagi kehidupana warganya. Dengan demikian kebijakan publik menunjukkan suatu konsep untuk menentukan suatu pilihan-pilihan


(37)

tindakan tertentu yang spesifik, yang meliputi berbagai bidang-bidang seperti bidang ekonomi, sosial, budaya, politik, keamanan dan lingkungan. Dalam hal ini kebijakan energi merupakan kebijakan publik dalam ekonomi yang lebih luas dan berkaitan dengan berbagai isu seperti lingkungan, sosial, politik, pertahanan dan keamanan nasional (Gunawan, 2009).

Menurut Undang-Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) adalah kebijakan pengelolaan energi berdasarkan prinsip keadilan, berkelanjutan dan berwawasan lingkungan guna menciptakan kemandirian dan ketahanan nasional. Dalam UU ini kebijakan energi nasional bertujuan untuk tercapainya kemandirian pengelolaan energi; terjaminnya ketersediaan energi dan sumber energi dari dalam negeri dan/atau luar negeri, terjaminnya pengelolaan sumber daya energi secara optimal, terpadu, dan berkelanjutan;. termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses masyarakat yang tidak mampu dan/atau yang tinggal di daerah terpencil terhadap energi untuk mewujudkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat secara adil dan merata,tercapainya pengembangan kemampuan industri energi dan jasa energi dalam negeri agar mandiri dan meningkatkan profesionalisme sumber daya manusia; dan terjaganya kelestarian fungsi lingkungan hidup.

Berdasarkan sejarahnya, menurut Yusgiantoro (2001) disebutkan bahwa kebijakan energi di Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1976. Tujuan dari kebijakan tersebut adalah untuk memaksimalkan pemanfaatan sumber daya energi. Pemerintah kemudian membentuk Badan Koordinasi Energi Nasional (BAKOREN) yang setingkat dengan departemen dan bertanggung jawab


(38)

memformulasikan kebijakan energi serta mengkoordinasikan implementasi kebijakan ini. BAKOREN untuk pertama kalinya mengeluarkan Kebijaksanaan Umum Bidang Energi (KUBE) pada tahun 1984. Kebijakan ini terus menerus diperbarui sesuai dengan perkembangan strategis lingkungan yang mempengaruhi pembangunan energi di Indonesia. KUBE 1984 diperbarui pada tahun 1990 yang berisikan kebijakan pemerintah untuk melakukan intensifikasi, diversifikasi dan konservasi energi. Upaya intensifikasi dilakukan melalui peningkatan kegiatan survei dan eksplorasi sumber daya energi untuk mengetahui potensinya secara ekonomis. Diversifikasi merupakan upaya untuk penganekaragaman penggunaan energi non-minyak bumi melalui pengurangan penggunaan minyak dan menetapkan batubara sebagai bahan bakar utama pembangkit listrik dan industri semen. Konservasi dilakukan melalui penggunaan peralatan pembangkit maupun peralatan pengguna energi yang lebih efisien.

Selanjutnya, KUBE tahun 1998 yang dikeluarkan oleh BAKOREN bertujuan untuk menciptakan iklim yang mendukung terlaksananya strategi pembangunan bidang energi dan memberikan kepastian kepada pelaku ekonomi dalam kaitannya dengan pengadaan, penyediaan dan penggunaan energi. Dalam KUBE ini mulai diindikasikan adanya keterbatasan sumber daya energi, terutama minyak bumi. Minyak bumi diarahkan secara bertahap untuk digunakan dalam negeri sebagai bahan bakar dan bahan baku industri yang dapat meningkatkan nilai tambah yang tinggi.

Dalam KUBE 1998 kebijakan energi yang perlu ditempuh mencakup lima kebijakan utama dan sembilan kebijakan pendukung (Sugiyono, 2004). Kebijakan utama tersebut adalah: (1) Diversifikasi yaitu penganekaragaman pemanfaatan


(39)

energi, baik yang terbarukan maupun yang tidak terbarukan, (2) Intensifikasi yaitu pencarian sumber energi melalui kegiatan survei dan eksplorasi agar dapat meningkatkan cadangan baru terutama energi fosil, (3) Konservasi energi adalah penggunaan energi secara efisien dan rasional tanpa mengurangi penggunaan energi yang memang benar-benar diperlukan, (4) Penetapan harga rata-rata energi yang secara bertahap diarahkan mengikuti mekanisme pasar, dan (5) Memperhatikan aspek lingkungan dalam pembangunan di sektor energi termasuk didalamnya memberikan prioritas dalam pemanfaatan energi bersih. Sementara itu, kebijakan pendukung meliputi: meningkatkan investasi, memberikan insentif dan disinsentif, standardisasi dan sertifikasi, pengembangan infrastruktur, peningkatan kualitas SDM, pengelolaan sistem infomasi, penelitian dan pengembangan, serta pengembangan kelembagaan dan pengaturan.

Pada tahun 2004 pemerintah dalam hal ini Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sudah menyusun Rancangan Kebijakan Energi Nasional (DESDM 2004). Rancangan kebijakan ini merupakan pembaruan dari KUBE tahun 1998 yang penyusunannya dilakukan bersama-sama dengan stake holders di bidang energi. Selain itu, juga diharapkan menjadi acuan utama dalam penyusunan Rancangan Undang-Undang tentang energi yang sedang dipersiapkan. Kebijakan yang ditempuh masih serupa dengan KUBE sebelumnya yaitu intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi dengan menambah instrumen legislasi dan kelembagaan. Hal ini tertuang di dalam blue print energi nasional mengenai perkembangan kebijakan energi nasional. Perkembangan kebijakan energi nasional dapat ditunjukan pada Tabel 1.


(40)

Tabel 1. Perkembangan Kebijakan Energi Nasional, Tahun 1981 – 2003

1981 1987 1991 1998 2003

Kebijakan Umum Energi Kebijakan Umum Energi Kebijakan Umum Energi Kebijakan Umum Energi Kebijakan Umum Energi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi 4. Indeksasi 1. Intensifikasi 2. Divesifikasi 3. Konservasi 1.Intensifikasi 2.Divesifikasi 3.Konservasi 1. Divesifikasi 2. Intensifikasi 3. Konservasi 4. Harga Energi 5. Lingkungan 1. Intensifikasi 2. Diversifikasi 3. Konservasi Kebijakan Pendukung Kebijakan Pendukung Kebijakan Pendukung Kebijakan Pendukung Kebijakan Pendukung

1. Penelitian dan pengem,bangan. 2. Industri energi 3. Iklim Investasi

1. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Harga Energi

1. Industri energi 2. Iklim Investasi 3. Harga Energi

Kebijakan Pemanfaatan Akhir Kebijakan Pemanfaatan Akhir Kebijakan Pemanfaatan Akhir 1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga 1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga 1. Industri 2.Transportasi 3. Rumahtangga 1. Investasi 2. Insentif &

disinsentif 3. Standarisasi &

sertifikasi 4. Pengembangan Infrastruktur 5. Peningkatan Kualitas SDM 6. Sistem Informasi 7. Penelitian dan

Pengembangan 8. kelembagaan 9. Pengaturan 1. Infrastruktur 2. Penetapan mekanisme harga keekonomian 3. Perlindungan kaum duafa 4. Lingkungan 5. Kemitraan Pemerintah dan swasta 6.Pemberdayaan masyarakat 7. Litbang dan

diklat 8. Koodinasi

untuk optimalisasi energi Mix

Sumber: Kementrian ESDM, 2006.

Perkembangan selanjutnya, kebijakan energi nasional saat ini mengacu pada Undang Energi Nomor 30 tahun 2007 tentang energi. Dalam Undang-Undang tersebut dinyatakan bahwa kebijakan energi nasional (KEN) dirancang dan dirumuskan oleh Dewan Energi Nasional (DEN). Dewan Energi Nasional (DEN) adalah suatu lembaga bersifat nasional, mandiri, dan tetap, yang bertanggung jawab atas kebijakan energi nasional. Dalam hal ini DEN adalah Menteri Energi Sumber Daya dan Minareal (ESDM).

Dalam Undang-Undang Energi tahun 2007 tentang energi menyatakan bahwa kebijakan energi nasional meliputi: (1) ketersediaan energi untuk kebutuhan


(41)

nasional, (2) prioritas pengembangan energi, (3) pemanfaatan sumber daya energi nasional, dan (4) cadangan penyangga energi nasional. Tujuan yang ingin dicapai dalam Undang-Undang ini seperti yang tercamtum dalam pasal 3 yang secara ringkas meliputi tercapainya kemadirian penglolaan energi; terjaminnya ketersediaan energi dan sumber energi dalam dan luar negeri; terjaminnya pengelolaan sumberdaya energi secara optimal, terpadu dan berkelanjutan; termanfaatkannya energi secara efisien di semua sektor; tercapainya peningkatan akses energi ke seluruh lapisan masyarakat; tercapainya pengembangan kemampuan industri dan jasa energi; dan terjaganya kelestarian lingkungan hidup.

Berdasarkan hasil rapat antara Dewan Energi Nasional (DEN) dengan komisi VII DPR RI memaparkan pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang meliputi arah kebijakan energi minyak dan gas bumi, batubara, energi terbarukkan, energi terbarukkan bahan bakar nabati (BBN), panas bumi, energi terbarukan surya, PLT tenaga laut dan arah kebijakan energi terbarukan nuklir. Secara rinci pokok-pokok Kebijakan Energi Nasional (KESDM, 2010) yaitu:

I. Arah Kebijakan Energi Minyak dan Gas Bumi

1. Perlu sistem fiskal untuk minyak, gas bumi dan CBM (coal bed methane) yang lebih menjamin keuntungan atau mengurangi resiko kontraktor dengan memberikan bagian pemerintah atau GT (government take) yang kecil untuk R/C (revenue/cost) yang kecil dan GT yang besar untuk R/C yang besar.

2. Perlu segera membangun infrastruktur gas termasuk LNG (liquefied natural gas) receiving terminal, pipa transportasi, SPBG (stasiun pengisi


(42)

bahan bakar gas), infrastruktur gas kota dan lain-lain. Perlu harga gas dosmetik yang menarik.

3. Perlu peningkatan kualitas informasi untuk wilayah kerja yang ditawarkan melalui perbaikan ketersediaan data antara lain data geofisika dan geologi. 4. Perlu peningkatan kemampuan nasional migas dengan keberpihakan

pemerintah misalnya untuk kontrak-kontrak migas yang sudah habis maka

pengelolaannya diutamakan untuk perusahaan nasional dengan

mempertimbangkan program kerja, kemampuan teknis dan keuangan. 5. Perlu mendorong perbankan nasional untuk memberikan pinjaman guna

membiayai kegiatan produksi energi nasional.

6. Dana depletion premium dari energi tak terbarukan sangat diperlukan guna meningkatkan kualitas informasi untuk penawaran konsesi-konsesi migas baru, peningkatan kemampuan sumber daya manusia dan penelitian, infrastruktur pendukung migas, serta untuk pengembangan energi non-migas dan energi di pedesaan.

7. Perlu dikaji segera kemungkinan impor gas (LNG), karena lebih baik/murah mengimpor gas daripada mengimpor minyak dan BBM. Di sektor rumah tangga, pemakaian LPG lebih murah dari pemakaian minyak tanah. Di sektor transportasi, penggunaan BBG lebih murah dan lebih bersih daripada BBM.

8. Perlu diperbaiki sistem birokrasi dan informasi serta kemitraan di lingkungan ESDM di samping koordinasi antar institusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan fiskal, perijinan, tanah, tumpang tindih lahan, lingkungan, permasalahan desentralisasi dan lain-lain.


(43)

II. Arah Kebijakan Batubara

1. Mengutamakan kebutuhan dalam negeri dan melakukan pembatasan ekspor.

2. Melakukan pengaturan harga domestik dan kebutuhan internasional (ekspor).

3. Mengatur tatalaksana produksi dan pasar mulai dari hulu sampai hilir termasuk pembentukan badan pengatur yang independen.

4. Mengembangkan infrastruktur, transportasi,stockpilingdanblending. 5. Menerapkan prinsip pembangunan berkelanjutan pada pertambangan

batubara antara lain memasukkan biaya lingkungan, good mining practices, pembatasan open surface mining, mengutamakan tambang dalam, prioritas tata ruang, konservasi lingkungan dan pemanfaatan teknologi bersih.

6. Melakukan regionalisasi batubara termasukmine mouth power plant. 7. Meningkatkan eksplorasi sumber daya (laju produksi seimbang dengan

laju penambahan sumber daya dan cadangan).

III. Arah Kebijakan Energi Terbarukan

1. Pengembangan energi terbarukan difokuskan pada panas bumi

(geothermal), energi biomass, surya (solar) dan bahan bakar nabati.

2. Penyediaan dana khusus untuk penelitian dan pengembangan energi terbarukan guna menurunkan biaya produksi.


(1)

Lampiran 11. Hasil Peramalan Peubah Endogen pada Model Konsumsi dan

Penyediaan Energi dalam Perekonomian Indonesia

Nama Peubah Satuan 2009 2010 2011

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 79175.15 85943.64 96608.94 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 42629.09 60984.80 92412.52 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 10733333.56 11866324.24 12058253.21 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 267207.12 547349.60 971630.90 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 44378.39 44368.41 44239.58 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 11172158.59 12603826.90 13250595.84 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 47700.80 52720.16 56150.76 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 31696.37 32864.80 34155.66 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 75924.30 174330.21 285800.29 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 238197.84 249729.11 267135.63 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 426518.62 575182.96 736591.54 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 244213.74 389735.56 633109.70 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 21712.76 28346.14 39232.91 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 265926.49 418081.70 672342.61 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 266102.30 418260.69 672525.60 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 62995.86 70937.84 80324.43 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 10951.60 11980.87 13141.34 Jumlah transportasi darat Unit 73947.46 82918.71 93465.78 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 28874.35 36025.25 46455.92 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 28874.35 36025.25 46455.92 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 36308.50 55223.58 89418.18 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 20337.61 21182.24 21704.37 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 2304.50 2510.11 2432.01 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 1486.39 1560.34 1621.81 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 60340.03 80250.65 114769.97 Total konsumsi BBM Ribu SBM 539074.75 746953.77 1083678.14 Total konsumsi listrik Ribu SBM 121892.68 159764.55 199907.63 Total konsumsi batubara Ribu SBM 10733333.56 11866324.24 12058253.21 Total konsumsi gas Ribu SBM 345561.25 724316.99 1259992.37 Total konsumsi biomas Ribu SBM 289400.92 294288.46 300041.31 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 12029263.16 13791648.00 14901872.67 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 258599.84 272643.19 285509.66 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 348071.92 981173.71 1764890.64 Transformasi energi gas Ribu SBM 217875.95 347122.14 578237.08 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 27785.90 765011.19 1410820.49 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 486055.92 661642.05 1007687.01 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 73538.54 389944.75 445787.48 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 148509.60 1036503.60 1452723.59 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 765631.26 2883269.56 4347613.23 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 14.82 22.13 30.37 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 491365.86 773491.21 1101104.28 Produksi BBM domestik Ribu SBM 258599.84 272643.19 285509.66 Produksi batubara domestik Ribu SBM 686486.01 7739026.33 8154704.95 Produksi gas domestik Ribu SBM 217875.95 347122.14 578237.08 Impor minyak mentah Ribu SBM 106510.81 163471.56 255496.20 Impor BBM Ribu SBM 278377.72 409017.58 604998.59 Total impor minyak Ribu SBM 384888.52 572489.14 860494.79 Penyediaan BBM Ribu SBM 535978.52 680179.75 888799.83 Penyediaan gas Ribu SBM 1217316.12 1436556.13 1757664.90 Penyediaan batubara Ribu SBM 1500.91 7034887.12 7427210.11 Harga BBM Rp/SBM 153465.80 176187.79 214650.28 Harga listrik Rp/SBM 630615.50 983166.79 1395586.63 Harga batubara Rp/SBM 90096.93 93303.25 140372.02 Harga gas Rp/SBM 2295323.88 5130642.08 9167826.44

Indeks harga biomas - 204.83 346.17 384.81

PDB total Rp Triliun 10170.40 17304.50 22887.11 PDB sektor industri Rp Triliun 9021.19 16041.34 21447.42 PDB sektor transportasi Rp Triliun 189.30 218.93 274.54 PDB sektor pertanian Rp Triliun 752.01 796.76 865.31 PDB sektor lainnya Rp Triliun 207.90 247.48 299.85 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 992142.28 1038754.44 1125891.58 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 244764.90 290612.64 363802.96 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1608106.73 1450763.02 1313634.93


(2)

Lanjutan Lampiran 11

Nama Peubah Satuan 2012 2013 2014

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 108927.41 122179.28 133578.18 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 126786.45 169858.09 213607.21 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 12795546.81 12803303.69 13257709.12 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 1306199.80 1678383.30 1945886.60 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 44018.66 43726.37 43378.78 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 14352519.28 14766278.53 15515700.58 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 58605.05 60459.40 61945.07 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 35510.29 36898.13 38303.27 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 405853.16 522864.98 636761.19 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 291290.12 319733.16 352077.43 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 895926.63 1039700.43 1162498.37 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 930082.90 1278616.46 1641116.58 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 52248.84 68854.91 87451.40 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 982331.74 1347471.37 1728567.98 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 982519.22 1347663.68 1728765.34 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 93837.44 113689.95 142272.43 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 15042.80 18119.70 22859.82 Jumlah transportasi darat Unit 108880.24 131809.65 165132.25 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 59463.46 74464.01 90509.02 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 59463.46 74464.01 90509.02 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 112169.94 145078.52 167535.02 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 21656.62 21335.18 20645.23 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 2263.98 2052.61 1861.81 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 1674.36 1720.54 1762.17 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 137155.82 169356.89 190751.68 Total konsumsi BBM Ribu SBM 1459587.51 1895120.07 2319326.09 Total konsumsi listrik Ribu SBM 234353.46 269025.16 298267.34 Total konsumsi batubara Ribu SBM 12795546.81 12803303.69 13257709.12 Total konsumsi gas Ribu SBM 1714448.48 2203435.01 2584646.48 Total konsumsi biomas Ribu SBM 307414.21 313177.92 317706.53 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 16511350.47 17484061.86 18777655.56 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 296037.78 303684.21 309182.33 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 2923984.10 4153619.52 5646077.47 Transformasi energi gas Ribu SBM 953278.17 1429071.78 1998748.94 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 2769233.01 4000549.02 5759789.88 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 1047282.65 1267205.23 1307168.07 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 730173.21 801464.08 1052540.70 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 2349638.78 2767818.57 3518442.14 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 6927348.99 8868484.92 11669815.48 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 38.89 47.06 54.74 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 1446792.19 1783142.34 2101717.58 Produksi BBM domestik Ribu SBM 296037.78 303684.21 309182.33 Produksi batubara domestik Ribu SBM 14288602.81 15048734.76 20276204.92 Produksi gas domestik Ribu SBM 953278.17 1429071.78 1998748.94 Impor minyak mentah Ribu SBM 374871.11 520232.77 680083.18 Impor BBM Ribu SBM 837745.25 1114980.32 1407646.75 Total impor minyak Ribu SBM 1212616.36 1635213.10 2087729.93 Penyediaan BBM Ribu SBM 1131972.58 1416813.77 1714968.39 Penyediaan gas Ribu SBM 2222699.81 2788487.24 3448158.23 Penyediaan batubara Ribu SBM 13534651.83 14266039.58 19463077.08 Harga BBM Rp/SBM 256719.27 305546.29 352194.29 Harga listrik Rp/SBM 1784016.86 2154459.32 2461262.77 Harga batubara Rp/SBM 146206.61 186313.62 193078.77 Harga gas Rp/SBM 12592565.29 16277886.79 19151013.21

Indeks harga biomas - 437.25 515.13 568.18

PDB total Rp Triliun 27767.32 31645.05 35086.62 PDB sektor industri Rp Triliun 26083.11 29648.03 32727.28 PDB sektor transportasi Rp Triliun 370.03 504.52 676.61 PDB sektor pertanian Rp Triliun 958.39 1071.40 1195.63 PDB sektor lainnya Rp Triliun 355.79 421.10 487.10 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 1243396.51 1382022.74 1528711.84 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 458778.61 569287.91 684222.22 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1268620.82 1208359.90 1203592.52


(3)

Lanjutan Lampiran 11

Nama Peubah Satuan 2015 2016 2017

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 142019.70 146095.61 145741.13 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 262788.34 311195.93 362740.91 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 13142713.87 13393865.11 13203341.88 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 2229000.15 2423137.89 2628025.93 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 42988.35 42564.70 42115.33 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 15708938.29 16170612.34 16197164.99 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 63204.19 64324.09 65358.44 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 39717.41 41136.25 42557.53 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 740453.49 835471.71 917495.78 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 386057.48 421362.08 456311.34 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 1258602.00 1327895.76 1369342.41 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 2018420.85 2384356.38 2743365.34 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 108865.57 131454.82 155595.45 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 2127286.42 2515811.20 2898960.79 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 2127488.99 2516019.11 2899174.13 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 180903.01 230655.21 291590.68 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 29451.47 38050.62 48558.07 Jumlah transportasi darat Unit 210354.48 268705.83 340148.75 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 106987.80 123156.56 138633.88 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 106987.80 123156.56 138633.88 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 197040.63 217421.59 242779.15 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 19897.24 19058.57 18391.70 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 1695.52 1586.11 1523.97 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 1800.54 1836.58 1870.96 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 219160.30 238422.91 262894.76 Total konsumsi BBM Ribu SBM 2753008.17 3146510.54 3522957.80 Total konsumsi listrik Ribu SBM 327428.62 352451.10 377819.86 Total konsumsi batubara Ribu SBM 13142713.87 13393865.11 13203341.88 Total konsumsi gas Ribu SBM 2971288.94 3260338.50 3547191.56 Total konsumsi biomas Ribu SBM 319000.62 318036.54 313826.42 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 19513440.21 20471201.78 20965137.52 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 312770.36 315246.07 316787.09 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 7171948.67 8891972.86 10626490.04 Transformasi energi gas Ribu SBM 2607606.48 3249177.28 3881706.77 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 7394312.44 9434073.06 11362792.60 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 1536012.90 1646370.97 1915785.94 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 1131579.91 1351512.28 1432789.84 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 3861462.64 4453489.25 4711932.21 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 13955669.26 16918173.62 19456455.32 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 61.68 67.92 73.36 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 2390606.02 2650477.48 2876884.01 Produksi BBM domestik Ribu SBM 312770.36 315246.07 316787.09 Produksi batubara domestik Ribu SBM 21158069.54 25532280.28 26397008.10 Produksi gas domestik Ribu SBM 2607606.48 3249177.28 3881706.77 Impor minyak mentah Ribu SBM 850398.77 1021067.44 1189205.41 Impor BBM Ribu SBM 1722262.76 2037762.79 2361347.98 Total impor minyak Ribu SBM 2572661.53 3058830.22 3550553.39 Penyediaan BBM Ribu SBM 2033177.48 2351165.63 2676307.89 Penyediaan gas Ribu SBM 4147009.60 4878574.22 5601097.53 Penyediaan batubara Ribu SBM 20313263.04 24654875.63 25486326.74 Harga BBM Rp/SBM 399763.14 441942.86 481975.32 Harga listrik Rp/SBM 2725689.03 2924110.71 3082690.64 Harga batubara Rp/SBM 226637.85 233270.94 260877.74 Harga gas Rp/SBM 22065505.33 24244537.34 26407347.39

Indeks harga biomas - 602.16 585.96 534.73

PDB total Rp Triliun 37795.85 40194.70 42034.76 PDB sektor industri Rp Triliun 35035.73 37014.71 38425.35 PDB sektor transportasi Rp Triliun 877.02 1099.56 1334.31 PDB sektor pertanian Rp Triliun 1325.29 1454.21 1579.37 PDB sektor lainnya Rp Triliun 557.81 626.22 695.73 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 1678430.16 1823772.60 1963321.98 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 799817.29 909494.49 1012374.72 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1176832.41 1188880.81 1180646.00


(4)

Lanjutan Lampiran 11

Nama Peubah Satuan 2018 2019 2020

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 140777.35 131913.08 119641.63 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 412571.54 463855.01 512775.14 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 13315692.80 13088281.34 13112969.24 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 2762436.49 2906686.16 2996635.85 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 41646.02 41161.26 40664.53 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 16448199.88 16365980.55 16475999.52 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 66340.22 67289.70 68219.32 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 43980.09 45403.31 46826.87 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 988892.99 1047232.06 1095256.98 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 490828.21 523761.21 555232.48 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 1385743.98 1378583.93 1351859.85 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 3077995.90 3394672.03 3681941.90 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 179817.78 204358.59 228059.20 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 3257813.68 3599030.62 3910001.11 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 3258032.52 3599255.01 3910231.09 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 363561.75 445686.16 537029.06 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 60865.33 74694.40 89799.57 Jumlah transportasi darat Unit 424427.08 520380.56 626828.63 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 152980.93 166062.45 177691.72 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 152980.93 166062.45 177691.72 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 260402.03 281633.89 296461.39 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 17866.85 17677.72 17780.61 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 1525.14 1574.69 1679.99 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 1904.16 1936.50 1968.23 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 279859.69 300838.04 315784.69 Total konsumsi BBM Ribu SBM 3848894.65 4147804.80 4397262.98 Total konsumsi listrik Ribu SBM 400369.93 423622.64 444957.62 Total konsumsi batubara Ribu SBM 13315692.80 13088281.34 13112969.24 Total konsumsi gas Ribu SBM 3753003.66 3955645.16 4093728.33 Total konsumsi biomas Ribu SBM 307615.58 298957.93 289072.83 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 21625576.61 21914311.87 22337991.00 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 317948.75 318769.90 319601.79 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 12502975.91 14376404.59 16345452.40 Transformasi energi gas Ribu SBM 4505014.82 5090628.50 5643515.50 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 13601036.68 15735059.18 18095662.68 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 2089709.70 2383185.04 2590965.30 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 1624562.18 1704610.04 1871250.59 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 5162801.10 5345106.65 5679010.27 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 22511691.07 25201969.00 28271323.61 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 78.11 82.13 85.55 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 3073957.33 3240606.57 3381878.54 Produksi BBM domestik Ribu SBM 317948.75 318769.90 319601.79 Produksi batubara domestik Ribu SBM 29995432.80 30765230.93 33679627.69 Produksi gas domestik Ribu SBM 4505014.82 5090628.50 5643515.50 Impor minyak mentah Ribu SBM 1347854.17 1496173.44 1630190.48 Impor BBM Ribu SBM 2678009.17 2994839.59 3300950.86 Total impor minyak Ribu SBM 4025863.33 4491013.03 4931141.34 Penyediaan BBM Ribu SBM 2994148.58 3311818.86 3618781.16 Penyediaan gas Ribu SBM 6314399.41 6990006.92 7632887.74 Penyediaan batubara Ribu SBM 29050974.01 29786625.17 32666602.29 Harga BBM Rp/SBM 515560.92 545887.84 570039.91 Harga listrik Rp/SBM 3188844.29 3267089.09 3309226.53 Harga batubara Rp/SBM 266782.47 289141.25 294052.56 Harga gas Rp/SBM 27959391.40 29487766.50 30529556.51

Indeks harga biomas - 433.09 300.38 129.67

PDB total Rp Triliun 43647.49 44835.23 45863.32 PDB sektor industri Rp Triliun 39613.27 40386.27 41018.45 PDB sektor transportasi Rp Triliun 1575.53 1815.52 2050.52 PDB sektor pertanian Rp Triliun 1697.60 1808.04 1909.48 PDB sektor lainnya Rp Triliun 761.09 825.40 884.87 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 2093349.65 2214452.36 2325022.95 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 1105079.63 1188434.04 1260979.28 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1201931.76 1206502.13 1234362.34


(5)

Lanjutan Lampiran 11

Nama Peubah Satuan 2021 2022 2023

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 104954.96 88521.59 71253.40 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 561893.85 608223.64 653858.75 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 12877806.75 12852666.84 12629258.85 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 3096367.54 3154880.59 3223072.65 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 40158.52 39645.32 39126.55 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 16334475.78 16358748.72 16194739.26 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 69136.74 70046.67 70951.99 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 48250.61 49674.45 51098.33 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 1131749.44 1159468.79 1177895.57 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 584500.06 611821.48 636751.05 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 1308038.51 1251176.39 1183778.12 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 3946963.50 4182343.80 4395215.87 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 251164.42 272835.01 293359.93 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 4198127.92 4455178.81 4688575.80 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 4198363.54 4455420.08 4688822.76 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 636202.84 741911.24 852623.50 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 105840.01 122536.84 139566.83 Jumlah transportasi darat Unit 742042.84 864448.08 992190.34 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 187905.07 196674.46 204125.28 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 187905.07 196674.46 204125.28 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 313979.24 326270.76 340602.40 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 18309.14 19210.28 20575.33 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 1825.33 2013.86 2231.31 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 1999.53 2030.52 2061.29 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 333908.08 347243.37 363129.10 Total konsumsi BBM Ribu SBM 4619235.24 4798406.27 4954111.01 Total konsumsi listrik Ribu SBM 467057.18 487727.23 509013.90 Total konsumsi batubara Ribu SBM 12877806.75 12852666.84 12629258.85 Total konsumsi gas Ribu SBM 4230101.09 4316525.34 4403364.98 Total konsumsi biomas Ribu SBM 277747.11 266025.99 253766.72 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 22471947.37 22721351.68 22749515.45 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 320399.30 321381.69 322466.14 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 18292059.52 20292439.50 22250970.01 Transformasi energi gas Ribu SBM 6145495.68 6604707.05 7010237.27 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 20350069.33 22758341.41 25053426.91 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 2883162.28 3096658.36 3367520.01 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 1947812.46 2092143.45 2163784.06 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 5799036.72 6040292.69 6112644.94 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 31014942.24 34022724.03 36733090.71 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 88.37 90.71 92.58 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 3498120.53 3594220.07 3671046.46 Produksi BBM domestik Ribu SBM 320399.30 321381.69 322466.14 Produksi batubara domestik Ribu SBM 34319936.67 36647588.72 37152081.91 Produksi gas domestik Ribu SBM 6145495.68 6604707.05 7010237.27 Impor minyak mentah Ribu SBM 1750736.19 1855999.06 1947790.31 Impor BBM Ribu SBM 3602757.73 3892163.89 4174675.89 Total impor minyak Ribu SBM 5353493.93 5748162.95 6122466.20 Penyediaan BBM Ribu SBM 3921404.91 4211812.92 4495428.89 Penyediaan gas Ribu SBM 8224861.75 8774066.94 9269590.98 Penyediaan batubara Ribu SBM 33272290.40 35565173.08 36034787.31 Harga BBM Rp/SBM 590950.63 606605.72 619564.85 Harga listrik Rp/SBM 3335282.22 3338486.11 3334147.20 Harga batubara Rp/SBM 311909.72 315779.09 329867.25 Harga gas Rp/SBM 31558600.50 32211141.48 32866899.78

Indeks harga biomas - -60.10 -272.26 -490.55

PDB total Rp Triliun 46576.46 47187.15 47572.52 PDB sektor industri Rp Triliun 41356.35 41617.11 41677.24 PDB sektor transportasi Rp Triliun 2275.47 2488.57 2686.99 PDB sektor pertanian Rp Triliun 2002.32 2086.42 2162.72 PDB sektor lainnya Rp Triliun 942.32 995.06 1045.56 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 2426573.78 2518606.33 2602891.52 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 1324324.40 1378033.81 1423919.40 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1248892.82 1281958.50 1304410.28


(6)

Lanjutan Lampiran 11

Nama Peubah Satuan 2024 2025

Konsumsi BBM sektor industri Ribu SBM 53704.44 36542.84 Konsumsi listrik sektor industri Ribu SBM 696486.20 737840.39 Konsumsi batubara sektor industri Ribu SBM 12580317.43 12380065.29 Konsumsi gas sektor industri Ribu SBM 3260239.46 3306711.05 Konsumsi biomas sektor industri Ribu SBM 38603.47 38077.04 Total konsumsi energi sektor industri Ribu SBM 16173210.01 16011220.17 Konsumsi BBM sektor rumahtangga Ribu SBM 71854.48 72755.23 Konsumsi listrik sektor rumahtangga Ribu SBM 52522.24 53946.17 Konsumsi gas sektor rumahtangga Ribu SBM 1189564.49 1194310.20 Kons. biomas sektor rumahtangga Ribu SBM 659621.44 680189.30 Tot kons. energi sektor rumahtangga Ribu SBM 1109353.13 1029982.91 Konsumsi BBM sektor transp. darat Ribu SBM 4580895.84 4746049.37 Konsumsi BBM transp. lainnya Ribu SBM 312168.39 329583.77 Konsumsi BBM sektor transportasi Ribu SBM 4893064.23 5075633.14 Tot. konsumsi energi sek transportasi Ribu SBM 4893316.88 5075891.50 Jumlah transp. darat non penumpang Unit 966994.73 1083592.00 Jumlah transportasi darat penumpang Unit 156681.88 173619.07 Jumlah transportasi darat Unit 1123676.61 1257211.07 Konsumsi BBM sektor pertanian Ribu SBM 210310.22 215386.13 Tot. konsumsi energi sektor pertanian Ribu SBM 210310.22 215386.13 Konsumsi BBM sektor lainnya Ribu SBM 350697.13 362349.09 Konsumsi listrik sektor lainnya Ribu SBM 22350.57 24600.16 Konsumsi gas sektor lainnya Ribu SBM 2479.10 2745.24 Konsumsi biomas sektor lainnya Ribu SBM 2091.90 2122.40 Total konsumsi energi sektor lainnya Ribu SBM 375236.08 389405.77 Total konsumsi BBM Ribu SBM 5075507.24 5178902.84 Total konsumsi listrik Ribu SBM 529109.79 549603.98 Total konsumsi batubara Ribu SBM 12580317.43 12380065.29 Total konsumsi gas Ribu SBM 4452451.84 4503938.65 Total konsumsi biomas Ribu SBM 241793.20 229961.18 Total konsumsi energi akhir Ribu SBM 22879179.51 22842471.94 Transformasi energi kilang minyak Ribu SBM 323791.75 325265.11 Transformasi energi pembangkit list Ribu SBM 24227194.91 26144558.35 Transformasi energi gas Ribu SBM 7371682.70 7682946.52 Input listrik untuk pembangkit listrik Ribu SBM 27440680.29 29706908.09 Input gas untuk pembangkit listrik Ribu SBM 3567043.30 3804628.95 Input BBM untuk pembangkit listrik Ribu SBM 2288375.65 2354256.44 Input batubara utk pembangkit listrik Ribu SBM 6283057.26 6320969.40 Total input untuk pembangkit listrik Ribu SBM 39615297.98 42223331.04 Pemanfaatan kilang minyak Ribu SBM 94.09 95.26 Input m mentah domestik utk kilang Ribu SBM 3732893.18 3780703.90 Produksi BBM domestik Ribu SBM 323791.75 325265.11 Produksi batubara domestik Ribu SBM 38988477.87 39367348.33 Produksi gas domestik Ribu SBM 7371682.70 7682946.52 Impor minyak mentah Ribu SBM 2025613.27 2091658.32

Impor BBM Ribu SBM 4444149.59 4705190.66

Total impor minyak Ribu SBM 6469762.85 6796848.97 Penyediaan BBM Ribu SBM 4766247.74 5028781.72 Penyediaan gas Ribu SBM 9721030.24 10122287.89 Penyediaan batubara Ribu SBM 37836223.45 38180074.41

Harga BBM Rp/SBM 628388.52 635224.91

Harga listrik Rp/SBM 3316154.27 3296010.20

Harga batubara Rp/SBM 332772.85 343771.64

Harga gas Rp/SBM 33238057.03 33627349.97

Indeks harga biomas - -717.19 -939.40

PDB total Rp Triliun 47901.49 48075.55

PDB sektor industri Rp Triliun 41707.60 41607.63 PDB sektor transportasi Rp Triliun 2870.42 3037.64 PDB sektor pertanian Rp Triliun 2231.59 2294.11 PDB sektor lainnya Rp Triliun 1091.89 1136.17 Total pengeluaran pemerintah Rp Miliar 2679437.87 2749933.28 Peng. pemerintah subsidi BBM Rp Miliar 1462016.36 1494029.99 Penerimaan pemerintah Rp Miliar 1341556.86 1370168.92