Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia

dilakukan berdasarkan pada rata-rata harga eceran dari setiap bahan bakar yang digunakan oleh pengguna akhir, pembangkit listrik dan sektor transformasi lainnya. Harga-harga pengguna akhir diturunkan dari asumsi tentang harga internasional bahan bakar fosil. Harga bahan bakar fosil cenderung meningkat dari tahun ke tahun.

2.4.2. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi di Indonesia

Telah terdapat banyak studi yang membahas tentang hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Berbagai penelitian tersebut menggunakan metode kuantitatif maupun metode kualitatif dan kombinasi diantaranya. Berikut ini dipaparkan tentang sejumlah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan energi di Indonesia. Sugiyono 1999 membangun model energi Indonesia dengan menggunakan dua paradigma, yaitu paradigma model top-down dan model bottom-up . Model top-down menyajikan analisis perilaku perekonomian secara makro berdasarkan harga dan elastisitas. Model bottom-up mempertimbangkan berbagai pilihan teknologi untuk penyediaan energi dan sektor pengguna energi dalam terminologi biaya, bahan bakar dan karakteristik emisi. Namun demikian untuk keperluan proyeksi permintaan dan penyedia energi menggunakan paradigma gabungan top-down dan bottom-up. Dengan demikian tujuan penelitian ini adalah untuk membuat proyeksi permintaan dan penyediaan energi di Indonesia. Proyeksi permintaan dan penyediaan energi ini dilakukan untuk dua kondisi perekonomian di Indonesia yaitu sebelum dan setelah krisis ekonomi. Model yang digunakan Sugiyono 1999 adalah model direpresentasikan sebagai persamaan matematik dalam bentuk nonlinear programming dengan menggunakan software General Algebraic Modeling SystemGAMS. Model dibuat dengan tahun dasar 1995 dan untuk memproyeksikan permintaan dan penyediaan energi di Indonesia sampai tahun 2030. Periode proyeksi diambil 5 tahun untuk 1 periode, sehingga ada 7 periode dalam model. Data yang berkaitan dengan kondisi makroekonomi diperoleh dari International Monetary Fund IMF dan Biro Pusat Statistik BPS dari tahun 1980 sampai tahun 1996. Sedangkan data yang berhubungan dengan energi diperoleh dari beberapa publikasi dari institusi yang berhubungan dengan bidang energi seperti Direktorat Jenderal Listrik dan Pengembangan Energi DJLPE, Komite Nasional Indonesia, World Energy Council KNI-WEC, PT PLN Persero, BPPT, dan Pertamina. Data setelah terjadi krisis ekonomi diperoleh dari berbagai artikel di surat kabar dan majalah yang terbit selama tahun 1997 sampai dengan awal tahun 1999. Skenario yang digunakan untuk dianalisis yaitu skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi dan skenario base line yang merupakan kondisi seperti saat ini setelah terjadi krisis ekonomi. Skenario bila tidak terjadi krisis ekonomi merepresentasikan studi yang dilakukan sebelum terjadinya krisis ekonomi. Disamping itu juga dilakukan analisis sensitivitas terhadap discount rate untuk melihat pengaruhnya terhadap permintaan energi dan pertumbuhan ekonomi. Hasil penelitian Sugiyono 1999 menunjukkan bahwa permintaan energi akan tumbuh sebesar 4.3 persen per tahun seandainya tidak terjadi krisis ekonomi. Dalam kondisi krisis ekonomi, pertumbuhan permintaan energi diproyeksikan hanya sebesar 2.9 persen per tahun. Untuk memenuhi kebutuhan energi tersebut batubara menjadi primadona sebagai sumber energi primer bila tidak terjadi krisis. Dengan adanya krisis ekonomi yang mengakibatkan permintaan energi tidak mengalami banyak kenaikan maka gas alam dan batubara yang berperan besar sebagai sumber energi primer. Dengan berperannya bahan bakar fosil sebagai energi di masa depan maka emisi CO 2 dari penggunaan energi juga akan meningkat. Dalam model ini hanya emisi CO 2 yang diperhitungkan. Untuk pengembangan studi selanjutnya, model dapat dikembangkan untuk menganalisis emisi seperti SO 2 , NO 2 , dan debu. Disamping itu, Sugiyono 2004 juga menulis artikel tentang Perubahan Paradigma Kebijakan Energi Menuju Pembangunan yang Berkelanjuta. Artikel yang ditulis ini dilatarbelakangi oleh sumberdaya energi yang digunakan di Indonesia adalah energi fosil minyak bumi, gas bumi, dan batubara yang tidak dapat diperbaharui dan energi yang dapat diperbaharui tenaga air dan tenaga panas bumi. Kondisi minyak bumi saat ini sudah cukup kritis. Laju penemuan cadangan energi lebih rendah dari laju konsumsi energi. Bila tidak diketemukan cadangan baru, Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Berbagai kebijakan telah diterapkan selama ini dengan penekanan pada intensifikasi, diversifikasi, dan konservasi. Namun untuk sektor transportasi, penggunaan minyak bumi dan subsitusi ke penggunaan batubara tidak memungkinkan. Penggunaan tenaga listrik dan gas untuk sektor transportasi masih relatif mahal apalagi dengan menggunakan energi terbarukan. Sehingga ketergantungan akan minyak bumi untuk sektor transportasi tidak dapat dihindari. Kebijakan energi yang ada saat ini belum tanggap terhadap rentannya pasokan minyak bila Indonesia menjadi negara pengimpor minyak. Untuk mengatasinya perlu paradigma baru dalam membuat kebijakan. Dengan demikian tulisan ini bertujuan untuk membahas kebijakan energi yang diperlukan serta proses pembuatannya supaya dapat memenuhi kriteria yang diharapkan untuk mendukung pembangunan yang berkelanjutan. Menurut Sugiyono 2004, untuk mewujudkan pembangunan energi berkelanjutan, yakni pembangunan energi yang memenuhi kriteria ekonomis, bermanfaat secara sosial, dan menjaga kelestarian lingkungan hidup, diperlukan kebijakan yang kondusif yang didukung dengan kemandirian finansial, teknologi dan sumber daya manusia. Kemandirian finansial dapat dicapai bila mampu secara mandiri membiayai operasional penyediaan dan penggunaan energi nasional. Kemandirian teknologi harus dilakukan melalui tahapan yang panjang. Tahap awal adalah meningkatkan kemampuan teknologi nasional dalam penyediaan barang dan jasa di sektor energi sehingga kandungan lokal teknologi nasional dalam barang atau jasa tersebut semakin besar. Sedangkan kemandirian sumberdaya manusia SDM dapat dicapai dengan terus meningkatkan kemampuan SDM dalam negeri di sektor energi yang melibatkan masyarakat secara aktif. Lebih lanjut dinyatakan bahwa secara umum sasaran dari kebijakan energi, yakni mengurangi ketergantungan pada minyak bumi sebagai sumber energi melalui diversifikasi dan intensifikasi sumberdaya energi, sudah cukup berhasil. Namun sasaran efisiensi penggunaan energi melalui konservasi dapat dikatakan gagal karena adanya kontradiksi antara kebijakan konservasi dengan kebijakan pemberian subsidi BBM. Strategi pengembangan energi jangka pendek dan jangka panjang juga belum tersusun dengan jelas. Kebijakan-kebijakan yang ada masih terkesan sebagai kebijakan parsial yang tidak ada aliran strategis terhadap program jangka panjangnya. Oleh karenanya pada masa mendatang perlu suatu paradigma baru yang terkait dengan: a Proses pembuatan kebijakan harus transparan dan terbuka bagi masyarakat sehingga masyarakat dapat berpartisipasi untuk menyempurnakan kebijakan tersebut; b Kebijakan sebaiknya bersifat kualitatif dan kuantitatif sehingga dampaknya dapat dengan mudah dievaluasi; dan 3 Perlu dipikirkan adanya kebijakan tentang keamanan energi energy security . Sugiyono 2005 juga menulis artikel tentang Pemanfaatan Biofuel dalam Penyediaan Energi Nasional Jangka Panjang. Artikel yang tulis oleh Sugiyono 2005 diawali dengan permasalahan bahwa peningkatan pertumbuhan ekonomi dan populasi dengan segala aktivitasnya akan meningkatkan kebutuhan energi di semua sektor pengguna energi. Konsumsi energi final meningkat dari 221,33 juta Setara Barel Minyak SBM pada tahun 1990 menjadi 489,01 juta SBM pada tahun 2003 atau meningkat sebesar 6,3 persen per tahun. Berdasarkan jenis energinya, konsumsi Bahan Bakar Minyak BBM merupakan konsumsi energi final terbesar. Pada tahun 2003 konsumsi BBM sebesar 329 juta SBM 67,7 persen, Bahan Bakar Gas BBG sebesar 63 juta SBM 13,0 persen, listrik sebesar 55 juta SBM 11,3 persen, batubara sebesar 31 juta SBM 6,4 persen, dan LPG sebesar 8 juta SBM 1,6 persen. Sebagian besar konsumsi BBM digunakan untuk sektor transportasi. Peningkatan kebutuhan energi tersebut tidak didukung oleh pasokan energi jangka panjang secara berkesinambungan, terintegrasi, dan ramah lingkungan. Sementara itu, pasokan energi berasal dari sumber energi dalam negeri dan dari impor dari negara lain. Apabila pasokan energi dalam negeri tidak mencukupi untuk kebutuhan dalam negeri dan Indonesia harus mengimpor BBM dari Negara lain. Impor yang tinggi tentu akan membahayakan negeri ini. Kondisi ini juga didukung oleh potensi sumberdaya minyak bumi dan kemampuan kapasitas kilang di dalam negeri yang terbatas. Oleh karena itu perlu dicarikan bahan bakar alternatif untuk substitusi BBM. Dengan demikian tujuan dari penulisan ini membahas peluang pemanfaatan biodiesel sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin diesel dan bioethanol sebagai bahan bakar alternatif untuk mesin bensin di sektor transportasi. Pengembangan dalam pemanfaatan biofuel menjadi lebih menarik dengan semakin meningkatnya harga minyak mentah dunia yang mencapai US70 per barel pada akhir tahun 2005. Selanjutnya metodologi yang digunakan oleh Sugiyono 2005 adalah menggunakan model reference energy system RES yang diformulasi dalam bentuk linear programming. Model akan mengalokasikan penyediaan energi primer dan sekunder dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala berbagai pilihan sumber dan teknologi energi untuk memenuhi kebutuhan energi final maupun energi bermanfaat. Analisis dilakukan dengan tahun dasar 2003 dan periode analisis sampai dengan tahun 2025. Proyeksi kebutuhan energi merupakan masukan model MARKAL dan diproyeksikan dengan mempertimbangkan pertumbuhan sektor ekonomi dan populasi. Proyeksi kebutuhan energi diperhitungkan dengan menggunakan model Model for Analysis of Energy Demand MAED. Skenario yang akan ditinjau ada dua yaitu kasus dasar dan kasus harga minyak mentah tinggi. Kasus dasar menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Asumsi yang digunakan pada kasus dasar adalah discount rate sebesar 10 persen, harga minyak bumi tahun 2003 – 2004 sebesar 28 US barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 USbarel. Sedangkan harga bahan baku biofuel adalah untuk CPO sebesar 60,2 USSBM dan untuk ubi kayu sebesar 60,8 USSBM. Dengan mempertimbangkan bahan bakau tersebut maka biaya produksi biodiesel dari CPO dengan kapasitas 100.000 tontahun adalah Rp. 4.240liter dan biaya produksi bioethanol dari ubi kayu dengan kapasitas 60 klhari adalah sebesar Rp. 4.720liter. Sedangkan untuk kasus harga minyak mentah yang tinggi digunakan asumsi harga minyak mentah sebesar 50 USbarel dan 60 USbarel mulai tahun 2005. Masing-masing kasus dilakukan optimasi untuk melihat peluang pemanfaatan biofuel. Hasil penelitian Sugiono 2005 menunjukkan dengan harga minyak mentah sebesar 40 USbarel kasus dasar, diperoleh biaya total sistem energi Indonesia discounted total cost adalah sebesar 590,7 milyar US. BBM merupakan bahan bakar yang paling dominan digunakan di sektor transportasi. Biofuel baik berupa biodiesel maupun bioethanol belum dapat bersaing dengan BBM. Pada harga tersebut, teknologi transportasi berbasis minyak solar dan bensin ternyata masih tetap lebih ekonomis dibanding dengan BBG, apalagi dibandingkan dengan menggunakan biodiesel atau bioethanol. Biaya pemanfaatan biodiesel dan bioethanol masih lebih tinggi dibanding bahan bakar konvensional. Selanjutnya, harga minyak mentah sebesar 50 USbarel dan 60 USbarel akan meningkatkatkan biaya total sistem energi Indonesia masing-masing adalah sebesar 610,8 milyar US dan 627,4 milyar US. Pada harga minyak mentah sebesar 50 USbarel, pola pemakaian energi final di sektor transportasi masih relatif tetap seperti pada kasus dasar. Hal tersebut disebabkan biaya produksi biodiesel berbahan baku dan biaya produksi bioethanol berbahan baku ubi kayu masih lebih mahal dari biaya produksi BBM di kilang minyak. Sedangkan dengan harga minyak 60 USbarel maka biodiesel dan bioethanol berpotensi untuk dimanfaatkan di sektor transportasi. Analisis sensitivitas menunjukkan bahwa pada harga minyak mentah sebesar 55 USbarel maka biodiesel dan bioethanol sudah dapat bersaing dengan BBM. Sehingga pada harga minyak mentah di atas 55 USbarel maka sebagian besar penggunaan minyak solar dan bensin digantikan dengan biodiesel dan bioethanol. Pemanfaatan biodiesel dan bioethanol terus meningkat hingga pada tahun 2025 mencapai 47 juta SBM untuk biodiesel dan 103 juta SBM untuk bioethanol, sehingga kenaikan penggunaan minyak solar dan bensin di sektor ini dari tahun 2003 hingga tahun 2025 relatif kecil. Penggunaan minyak solar meningkat dari sebesar 72 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 82 juta SBM pada tahun 2025 dan penggunaan bensin meningkat dari 81 juta SBM pada tahun 2003 menjadi 114 juta SBM pada tahun 2025. Pemakaian avtur yang tidak dapat digantikan oleh bahan bakar lain relatif tetap pertumbuhannya yaitu sekitar 6.8 persen per tahun. Selain biodiesel dan bioethanol, diperkirakan BBG juga dapat bersaing dengan minyak solar dan bensin, sehingga pada tahun 2025 kontribusi BBG di sektor transportasi meningkat menjadi 20.6 persen terhadap total pemakaian energi di sektor transportasi. Berkolaborasi dengan Sugiyono, Jamin 2009 kemudian menulis artikel tentang Pengembangan Kelistrikan Nasional. Artikel yang ditulis oleh Jamin dan Sugiyono diawali dengan peningkatan tenaga listrik di Indonesia sejalan dengan peningkatan pertumbuhan ekonomi, dimana peningkatannya rata-rata sebesar 9.2 persen per tahun. Peningkatan penggunaan tenaga listrik perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Oleh karena itu makalah ini bertujuan memberikan gambaran tentang pengembangan kelistrikan nasional dengan mempertimbangkan berbagai faktor, baik aspek teknis maupun ekonomis. Selain itu juga dipaparkan target-target pemerintah dalam pengembangan teknologi untuk mendukung pengembangan kelistrikan nasional. Jamin dan Sugiyono 2009 memaparkan pembangkit tenaga listrik di Indonesia dapat dikelompokkan berdasarkan kepentingannya, yaitu untuk kepentingan umum dan untuk kepentingan sendiri. Pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan umum sebagian besar dipasok oleh PT PLN Persero dan sebagian lagi dipasok oleh perusahaan tenaga listrik swasta, dalam istilah umum disebut IPP Independent Power Producer, serta koperasi. Sedangkan pembangkit tenaga listrik untuk kepentingan sendiri captive power diusahakan oleh swasta untuk kepentingan operasi perusahaan sendiri dan biasanya tidak terjangkau oleh jaringan PLN atau karena alasan keandalan sistem. Kapasitas terpasang pembangkit listrik PLN sampai tahun 2006 sebesar 24.8 GW. Sedangkan kapasitas pembangkit tenaga listrik milik swasta yang sudah mempunyai ijin sampai dengan tahun 2006 mencapai 3.7 GW. Penyedian tenaga listrik tahun 2006 sebesar 133.1 TWh yang terdiri atas produksi tenaga listrik PLN sebesar 104.5 TWh dan pembelian sebesar 28.6 TWh. Penjualan tenaga listrik PLN tahun 2006 sebesar 112.6 TWh. Penjualan untuk sektor industri sebesar 43.6 TWh, sektor rumah tangga sebesar 43.8 TWh, sektor komersial atau usaha sebesar 18.4 TWh dan sektor publik atau umum sebesar 6.8 TWh. Selanjutnya dalam kerangka restrukturisasi sektor ketenagalistrikan, Pemerintah telah memberlakukan UU No. 15 Tahun 1985 tentang usaha penyediaan tenaga listrik untuk umum diselenggarakan oleh PT PLN Persero sebagai Pemegang Kuasa Usaha Ketenagalistrikan PKUK dan Pemegang Ijin Usaha Ketenagalistrikan untuk Kepentingan Umum PIUKU. Peran PIUKU sangat penting karena keterbatasan finansial pemerintah untuk pendanaan sektor ketenagalistrikan. Kebijakan pemerintah tentang tarif dasar listrik adalah bahwa tarif listrik secara bertahap dan terencana diarahkan untuk mencapai nilai keekonomiannya sehingga tarif listrik rata-rata dapat menutup biaya yang dikeluarkan. Kebijakan ini diharapkan akan dapat memberikan sinyal positif bagi investor dalam berinvestasi di sektor ketenagalistrikan. Untuk memenuhi kebutuhan tenaga listrik tersebut perlu mempertimbangkan ketersediaan sumber daya energi dan penggunaan teknologi yang tepat. Pembangkit tenaga listrik skala besar yang mungkin dikembangkan adalah menggunakan batubara, gas bumi, dan Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir PLTN. Pembangkit Listrik Tenaga Uap PLTU batubara menjadi prioritas pertama dan disusul PLTGU, PLTN dan PLTU Mulut Tambang Provinsi Sumatera Selatan. Disamping itu untuk energi terbarukan yang dapat dikembangkan adalah Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi PLTP dan Pembangkit Listrik Tenaga Surya PLTS. Kemudian Sugiono dan Suarna 2006 menulis artikel dengan dilatarbelakangi oleh pengamatan tentang peranan energi dalam pembangunan sebagai bahan bakar dan bahan baku untuk penggerak perekonomian. Seiring dengan pertumbuhan ekonomi, diperkirakan permintaan energi akan terus meningkat. Namun disisi lain terjadi keterbatasan sumber daya energi. Oleh karena itu perlu dilakukan pengoptimalkan penggunaan energi melalui perencanaan energi terpadu. Untuk menganalisis penggunaan energi secara terpadu digunakan model MARKAL. Dari hal diatas maka tujuan dari penulisan ini adalah membahas konsep dan aplikasi dari model MARKAL untuk optimasi penyediaan energi. Lebih jauh Sugiyono dan Suarna 2006 memaparkan bahwa model MARKAL merupakan model untuk optimasi penyediaan energi dengan menggunakan teknik LP untuk mengalokasikan penyediaan energi dengan fungsi obyektif meminimumkan total biaya penyediaan energi dan dengan kendala teknologi serta sumber daya energi untuk memenuhi kebutuhan energi. Dalam aplikasi, model MARKAL sudah merupakan perangkat lunak terintegrasi dengan user interface yang disebut ANSWER dan dapat dijalankan dengan menggunakan PC. Perangkat lunak GAMS merupakan salah satu modul ANSWER yang digunakan untuk optimasi. Dengan menggunakan PC yang berbasis Windows maka proses optimasi dan analisis menjadi lebih interaktif dan relatif mudah untuk dikerjakan. Di Indonesia model MARKAL digunakan sejak tahun 1980 dengan dibentuknya tim perencanaan energi antar institusi dengan BPPT sebagai koordinator dan bekerja sama dengan KFA Jerman. Saat ini ada empat institusi yang mempunyai lisensi untuk menggunakannya, yaitu: Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi BPPT, ASEAN Centre for Energy ACE, Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi BP Migas, serta Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral DESDM. Selanjut Sugiyono dan Suarna 2006 membagi wilayah penelitiannya menjadi empat wilayah, yaitu: Jawa, Sumatera, Kalimantan, dan Pulau-pulau lain. Studi dimulai dengan tahun dasar 2000 dan dianalisis sampai tahun 2030. Asumsi yang digunakan adalah discount rate sebesar 10 persen, harga minyak bumi tahun 2000-2004 sebesar 28 US barel dan mulai tahun 2005 sebesar 40 USbarel. Database untuk Indonesia mempunyai lebih dari 280 teknologi dengan lebih dari 160 energy carrier. Matriks LP mempunyai lebih dari 22.000 variabel dan 22.000 persamaan. Hasil yang ditampilkan di sini hanya untuk pembangkit tenaga listrik pada kasus dasar yang menganggap bahwa perkembangan perekonomian sesuai dengan kondisi saat ini. Lebih dari 80 macam teknologi pembangkit tenaga listrik digunakan dalam model ini, baik yang sudah komersial saat ini maupun teknologi baru. Untuk lebih mempermudah analisis, teknologi pembangkit tenaga listrik digabung menjadi 4 macam sesuai dengan bahan bakarnya, yaitu: 1 Batubara, 2Bahan bakar minyak BBM termasuk di dalamnya minyak bakar dan minyak diesel, 3 Gas termasuk turbin gas dan turbin kombinasi gas-uap, dan 4 Energi terbarukan dan energi nuklir termasuk pembangkit listrik tenaga air, tenaga panas bumi, biomasa dan pembangkit listrik tenaga nuklir PLTN. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penyediaan tenaga listrik akan didominasi oleh pembangkit listrik batubara, diikuti oleh pembangkit listrik gas dan penggunaan energi terbarukan. Pembangkit tenaga listrik batubara mengalami pertumbuhan sebesar 9.7 persen per tahun. Pada akhir periode analisis, batubara merupakan bahan bakar terbanyak dengan pangsa sebesar 58 persen. Energi terbarukan mempunyai pangsa 20 persen dan pangsa penggunaan gas hanya sebesar 19 persen. Tambunan 2006 menulis artikel dengan tujuan untuk menjelaskan alasan, tantangan, dan opsi kebijakan sehubungan dengan siklus harga minyak kedua tertinggi tahun 2005, dibandingkan dengan siklus tertinggi pertama tahun 1974. Tidak seperti siklus harga minyak pertama, yang dihadapkan pada masalah utama dari aspek suplai, siklus kedua terjadi lebih dasyat karena kombinasi antara faktor suplai dan deman. Faktor suplai meliputi:1 terbatasnya investasi pada industri minyak, baik pada sektor hulu upstream maupun pada sektor hilir downstream, 2 masalah-malasah geopolitik di Timur Tengah, Negeria dan wilayah lainnya, dan 3 produksi minyak di negara-negara non-OPEC yang menurun, dan OPEC juga tidak dapat mengontrol jumlah cadangan minyak dunia. Dari sisi deman, percepatan pertumbuhan ekonomi China dan India, dan pemulihan ekonomi di Asia telah ikut mendorong siklus harga yang tinggi. Sumber utama dari ketidakpastian harga minyak dunia adalah 1 perseteruan goopolitik di Timur Tengah yang tidak kunjung selesai, 2 factor “oil boom” di Rusia, 3 terbatasnya rekayasa teknologi dalam industri minyak, dan 4 pergeseran permintaan dari minyak fosil. Menurut Tambunan 2006 tantangan ke depan adalah harga minyak yang cenderung meningkat, dengan frekuensi peningkatan harga dalam rentang waktu yang relatif singkat. Tidak ada bukti empiris yang kuat untuk menyatakan sebaliknya. Jika prediksi tersebut benar, ini dapat menjadi pendorong merosotnya pertumbuhan ekonomi, khususnya menyerang ekonomi energi, baik di negara maju maupun di negara sedang berkembang. Berdasarkan kausus Indonesia sebagai negara penghasil minyak kecil: kenaikan harga minyak dan pergeseran dari negara pengekspor menjadi pengimpor menciptakan tekanan fiskal yang kuat, sehingga pada tahun 2005 Pemerintah Indonesia secara mendasar mengurangi subsidi harga minyak, menyebabkan harga minyak domesik meningkat 125 persen. Dampak siklus kedua ini memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang tetap stagnan pada level 5.2 persen, yang diperkirakan bimencapai 6.2 bisa persen pada tahun 2005. Opsi kebijakan dunia yang terbaik untuk setiap negara, dan untuk kelompok kerjasama dunia, sehubungan dengan siklus kenaikan harga minyak menurut Tambunan 2006 adalah mengembangkan “green energy plan” yang berisikan lima pilar dasar: 1 membangun suatu rencana unuk meningkatkan efisiensi dan produktivitas pemanfaatan energi, 2 konservasi dan mengurangi polusi, 3 meningkatkan investasi dari aspek produksi, pengolahan, dan distribusi minyak, 4 mengembangkan akses energi yang sama untuk wilayah pedesaan khususnya listrik, dan 5 secara bertahap mengembangkan pasar swasta untuk energi.

2.4.3. Studi Pertumbuhan Ekonomi dan Energi pada Beberapa Negara