Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Sabut Pinang (Areca catechu L.) Terhadap Tikus

(1)

47 Lampiran 1. Hasil identifikasi sampel


(2)

48 Lampiran 2. Surat ethical clearance


(3)

49

Lampiran 3. Gambar tumbuhan dan sabut pinang (Areca catechu L.)

Tumbuhan pinang


(4)

50

Lampiran 4. Gambar sabut pinang (Areca catechu L.)


(5)

51

Lampiran 5. Gambar serbuk simplisia sabut pinang (Areca catechu L.)


(6)

52


(7)

53 Lampiran 7. Bagan kerja penelitian

Dilepas sabutnya menggunakan rampago

Dipilah sehingga didapat serabut atau sabut pinang

Dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40ºC

Dihaluskan menggunakan blender menjadi serbuk halus

Disimpan dalam wadah plastik tertutup rapat

Simplisia (1500 g)

Serbuk simplisia

Karakterisasi simplisia, meliputi pemeriksaan: 1.Makroskopik

2.Kadar air

3.Kadar sari larut etanol 4.Kadar sari larut air 5.Kadar abu total 6.Kadar abu tidak larut

asam Skrining fitokimia, meliputi pemeriksaan: 1.Alkaloid 2.Flavonoid 3.Glikosida 4.Tanin 5.Saponin 6.Steroid/triterpenoid 7.Pektin

Pembuatan ekstrak etanol sabut pinang (EESP) menggunakan metode maserasi dengan pelarut etanol 80%.

Ekstrak etanol sabut pinang (EESP) Uji aktivitass antidiare, tikus setelah diinduksi oleum ricini, diberikan:

1. Suspensi CMC Na 1% b/v

2. Suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb 3. Suspensi EESP

-dosis 25 mg/kg bb konsentrasi 0,75% -dosis 50 mg/kg bb konsentrasi 1,5% -dosis 75 mg/kg bb konsentrasi 2,25% -dosis 100 mg/kg bb konsentrasi 3%

Hasil dianalisis secara Anova dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan Buah pinang segar


(8)

54

Lampiran 8. Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

Dimasukkan ke dalam sebuah bejana

Dimasukkan etanol 80% sebanyak 75 bagian, lalu ditutup

Dibiarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk Diserkai

Dicuci dengan etanol 80% secukupnya hingga diperoleh 100 bagian

Dipindahkan ke dalam bejana tertutup,

biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari Dienap tuangkan atau saring

Diuapkan dengan rotary evaporator pada suhu 40°C

Dikeringkan dengan freeze dryer pada suhu -40°C Ampas

Ekstrak kental (50 g) Maserat

Ampas

Ekstrak kering

Maserat


(9)

55

Lampiran 9. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang (Areca catechu L.)

1. Perhitungan kadar air

a. Serbuk simplisia

Kadar air I = 100% 3,98% (g)

5,02 (ml)

0,2 × =

Kadar air II = 100% 5,98% (g)

5,02 (ml)

0,3 × =

Kadar air III = 100% 5,98% (g)

5,03 (ml)

0,3 × =

Rata-rata % kadar air = 5,31%

3

5,98% 5,98%

3,98%+ + =

b. Ekstrak etanol sabut pinang

Kadar air I = 100% 7,96% (g)

5,023 (ml)

0,4 × =

Kadar air II = 100% 9,98% (g)

5,011 (ml)

0,5 × =

Kadar air III = 100% 9,98% (g) 5,009 (ml) 0,5 = ×

Rata-rata % kadar air = 9,30%

3 % 98 , 9 % 98 , 9

7,96%+ + =

No Berat sampel (g) Volume air (ml) Kadar air (%) 1 2 3 5,02 5,02 5,03 0,2 0,3 0,3 3,98 5,98 5,98

No Berat sampel (g) Volume air (ml) Kadar air (%) 1 2 3 5,023 5,011 5,009 0,4 0,5 0,5 7,96 9,98 9,98

Kadar air = 100%

(g) sampel berat (ml) air volume ×


(10)

56 Lampiran 9. (Lanjutan)

2. Perhitungan kadar sari yang larut dalam air terhadap serbuk simplisia

Kadar sari yang larut dalam air I = 100% 9,8% 20

100 (g) 5,0047

(g)

0,0981 × × =

Kadar sari yang larut dalam air II = 100% 9,79% 20

100 (g) 5,0047

(g)

0,0980 × × =

Kadar sari yang larut dalam air III = 100% 10,26% 20 100 5,0048(g) (g) 0,1027 = × × Rata-rata % kadar sari yang larut dalam air

= 9,95%

3

10,26% 9,79%

9,8%+ + =

3. Perhitungan kadar sari yang larut dalam etanol terhadap serbuk simplisia

No Berat sari (g) Berat sampel (g) Kadar sari (%) 1 2 3 0,0778 0,0758 0,0761 5,0003 5,0002 5,0002 7,78 7,58 7,60 Kadar sari yang larut dalam etanol I = 100% 7,78%

20 100 (g) 5,0003

(g)

0,0778 × × =

Kadar sari yang larut dalam etanol II = 100% 7,58% 20

100 (g) 5,0002

(g)

0,0758 × × =

Kadar sari yang larut dalam etanol III = 100% 7,60% 20

100 (g) 5,0002

(g)

0,0761 × × =

Rata-rata % kadar sari yang larut dalam etanol

= 7,65%

3 % 60 , 7 % 58 , 7

7,78%+ + =

No Berat sari (g) Berat sampel (g) Kadar sari (%) 1 2 3 0,0981 0,0980 0,1027 5,0047 5,0047 5,0048 9,8 9,79 10,26

Kadar sari yang larut dalam etanol = 100% 20 100 (g) sampel berat (g) sari berat × ×

Kadar sari yang larut dalam air = 100% 20 100 (g) sampel berat (g) sari berat × ×


(11)

57 Lampiran 9. (Lanjutan)

4. Perhitungan kadar abu total

a. Serbuk simplisia

No Berat abu (g) Berat sampel (g) Kadar abu total (%) 1 2 3 0,1154 0,1151 0,1152 2,0005 2,0004 2,0004 5,77 5,75 5,76 Kadar abu total I = 100% 5,77%

(g) 2,0005

(g)

0,1154 × =

Kadar abu total II = 100% 5,75% (g)

2,0004 (g)

0,1151 × =

Kadar abu total III = 100% 5,76% (g)

2,0004 (g)

0,1152 × =

Rata-rata % Kadar abu total = 5,76%

3 % 76 , 5 % 75 , 5

5,77%+ + =

b. Ekstrak etanol sabut pinang

No Berat abu (g) Berat sampel (g) Kadar abu total (%) 1 2 3 0,1383 0,0979 0,0763 2,085 2,027 2,016 6,82 4,83 3,79 Kadar abu total I = 100% 6,82%

(g) 2,085

(g)

0,1383 × =

Kadar abu total II = 100% 4,83% (g)

2,027 (g)

0,0979 × =

Kadar abu total III = 100% 3,79% (g)

2,016 (g)

0,0763 × =

Rata-rata % kadar abut total = 5,15% 3 % 79 , 3 % 83 , 4

6,82%+ + =

Kadar abu total = 100%

(g) sampel berat (g) abu berat ×


(12)

58 Lampiran 9. (Lanjutan)

5. Perhitungan kadar abu yang tidak larut dalam asam

a. Serbuk simplisia

No Berat abu (g) Berat sampel (g) Kadar abu tidak larut asam (%) 1 2 3 0,0495 0,0358 0,0471 2,0005 2,0004 2,0004 2,47 1,79 2,35 Kadar abu tidak larut asam I = 100% 2,47%

(g) 2,0005

(g)

0,0495 × =

Kadar abu tidak larut asam II = 100% 1,79% (g)

2,0004 (g)

0,0358 × =

Kadar abu tidak larut asam III = 100% 2,35% (g)

2,0004 (g)

0,0471 × =

Rata-rata % kadar abu tidak larut dalam asam

= 2,20%

3

2,35% 1,79%

2,47%+ + =

b. Ekstrak etanol sabut pinang

No Berat abu (g) Berat sampel (g) Kadar abu tidak larut asam (%) 1 2 3 0,0317 0,0443 0,0497 2,015 2,027 2,035 1,58 2,19 2,44 Kadar abu tidak larut asam I = 100% 1,58%

(g) 2,0350

(g)

0,0317 × =

Kadar abu tidak larut asam II = 100% 2,19% (g)

2,0270 (g)

0,0443 × =

Kadar abu tidak larut asam III = 100% 2,44% (g) 2,0350 (g) 0,0497 = ×

Rata-rata % kadar abu tidak larut dalam asam

= 2,07%

3 2,44% % 19 , 2

1,58%+ + =

Kadar abu yang tidak larut asam = 100% (g) sampel berat (g) abu berat ×


(13)

59

Lampiran 10. Volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan uji

Jenis hewan uji Volume maksimum (ml) sesuai jalur pemberin

i.v i.m i.p s.c p.o

Mencit (20-30 g) 0,5 0,05 1,0 0,5-1,0 1,0

Tikus (200 g) 1,0 0,1 2-5 2-5 5,0

Hamster (50 g) - 0,1 1-2 2-5 2,5

Marmut (300 g) - 0,25 2-5 5,0 10,0

Kelinci (2,5 kg) 5-10 0,5 10-20 5-10 20,0

Kucing (3 kg) 5-10 1,0 10-20 5-10 50,0

Anjing (5 kg) 10-20 5,0 20-50 10,0 100,0


(14)

60

Lampiran 11. Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia Mencit

20 g

Tikus 200 g

Marmut 400 g

Kelinci 1,5 kg

Kera 4 kg

Anjing 12 kg

Manusia 70 kg Mencit

20 g 1,0 7,0 12,25 27,8 64,1 124,3 387,9 Tikus

200 g 0,14 1,0 1,74 3,0 9,2 17,8 56,0

Marmut

400 g 0,008 0,57 1,0 2,25 5,2 10,2 31,5

Kelinci

1,5 kg 0,04 0,25 0,44 1,0 2,4 4,5 14,2

Kera

4 kg 0,016 0,11 0,19 0,42 1,0 1,9 6,1

Anjing

12 kg 0,008 0,06 0,10 0,22 0,52 1,0 3,1 Manusia


(15)

61

Lampiran 12. Perhitungan konversi dosis loperamid HCl dan ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

1. Perhitungan konversi dosis loperamid HCl dari manusia ke tikus :

Dosis loperamid HCl pada manusia dewasa (berat 70 kg) adalah dosis awal 4 mg, tidak melebihi 16 mg/hari, maka dosis loperamid untuk tikus (200 g), yaitu =16 mg × 0,018 = 0,2 mg/200 g bb tikus atau sama dengan 1 mg/kg bb 2. Perhitungan konversi dosis EESP dari tikus ke manusia :

Dosis yang digunakan dalam penelitian adalah : - 25 mg/kg bb atau sama dengan 5 mg/200 g bb - 50 mg/kg bb atau sama dengan 10 mg/200 g bb - 75 mg/kg bb atau sama dengan 15 mg/200 g bb - 100 mg/kg bb atau sama dengan 20 mg/200 g bb

Dosis optimal EESP pada tikus adalah 15 mg/200 g bb. Faktor konversi dosis tikus = 56,0

Dosis manusia = dosis pada tikus x faktor konversi = 15 mg x 56,0

= 840 mg/kg bb

3. Rendemen = 100%

simplisia berat

ekstrak

berat ×

= 100% 5%

g 1000

g

50 × =

Maka pemakaian ekstrak etanol sabut pinang (EESP) 75 mg/kg bb pada tikus setara dengan 6750 mg simplisia sabut pinang.


(16)

62

Lampiran 13. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi CMC Na 1% b/v

CMC Na 1% b/v = 0,01g/ml 10mg/ml ml

100 g

1 = =

Volume CMC Na 1% b/v yang diberikan sebanyak 0,667 ml/200 g bb tikus CMC yang diberikan tiap tikus = 10mg 6,67mg

ml 1

ml

0,667 × =

Jadi suspensi CMC Na 1% b/v yang diberikan tiap tikus dengan volume pemberian 0,667 ml/200 g tikus mengandung CMC Na sebanyak 6,67 mg.


(17)

63

Lampiran 14. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi loperamid HCl (tablet Imodium®)

Dosis loperamid yang digunakan dalam penelitian adalah 1 mg/kg bb:

Dosis loperamid HCl pada manusia dewasa (berat 70 kg) adalah dosis awal 4 mg dan tidak melebihi 16 mg/hari, maka dosis loperamid untuk tikus (200 g), yaitu =16 mg × 0,018 = 0,2 mg/200 g bb tikus atau sama dengan 1 mg/kg bb

Konsentrasi loperamid HCl yang digunakan dalam penelitian adalah 0,03%, maka untuk membuat suspensi loperamid HCl dengan konsentrasi 0,03 % sebanyak 50 ml, diperlukan loperamid HCl sebanyak

= 0,03g 0,015g 15mg ml

100 ml

50 × = =

Perhitungan berat serbuk Imodium® yang diambil:

Tablet Imodium® ditimbang sebanyak 20 tablet (berat 2400 mg).

1 tablet Imodium® mengandung 2 mg loperamid HCl, maka 20 tablet Imodium® mengandung 40 mg loperamid HCl.

Loperamid HCl yang diperlukan dalam penelitian sebanyak 15 mg, maka berat serbuk Imodium® yang diambil adalah

= 2400mg 900mg

mg 40

mg 15

= ×

Jadi serbuk Imodium® sebanyak 900 mg mengandung loperamid HCl sebanyak 15 mg.


(18)

64 Lampiran 14. (Lanjutan)

Volume pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb (konsentrasi 0,03%): Konsentrasi 0,03% = 0,0003g/ml 0,3mg/ml

ml 100

g

0,03 = =

Jika berat badan tikus 200 g, maka loperamid yang diberikan tiap tikus sebanyak = 1mg 0,2mg

g 1000

g

200 × =

Maka, volume yang diberikan = 1ml 0,667ml/200gbb tikus mg/ml

0,3 mg


(19)

65

Lampiran 15. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

a. EESP dosis 25 mg/kg bb

Konsentrasi EESP yang digunakan adalah 0,75%, maka untuk membuat suspensi EESP dengan konsentrasi 0,75 % sebanyak 5 ml, EESP yang diambil sebanyak = 0,75g 0,0375g 37,5mg

ml 100

ml

5 × = =

Volume pemberian suspensi EESP 25 mg/kg bb (konsentrasi 0,75%): Konsentrasi 0,75% = 0,0075g/ml 7,5mg/ml

ml 100

g

0,75 = =

Jika berat badan tikus 200 g, maka EESP yang diberikan tiap tikus sebanyak = 25mg 5mg

g 1000

g 200

= ×

Maka, volume yang diberikan= 1ml 0,667ml/200gbb tikus mg/ml

7,5 mg

5 × =

b. EESP dosis 50 mg/kg bb

Konsentrasi EESP yang digunakan adalah 1,5%, maka untuk membuat suspensi EESP dengan konsentrasi 1,5 % sebanyak 5 ml, EESP yang diambil sebanyak = 1,5g 0,075g 75mg

ml 100

ml

5 × = =

Volume pemberian suspensi EESP 50 mg/kg bb (konsentrasi 1,5%): Konsentrasi 1,5% = 0,015g/ml 15mg/ml

ml 100

g 1,5

= =


(20)

66 Lampiran 15. (Lanjutan)

Jika berat badan tikus 200 g, maka EESP yang diberikan tiap tikus sebanyak = 50mg 10mg

g 1000

g

200 × =

Maka, volume yang diberikan= 1ml 0,667ml/200gbb tikus mg/ml

15 mg

10 × =

c. EESP dosis 75 mg/kg bb

Konsentrasi EESP yang digunakan adalah 2,25%, maka untuk membuat suspensi EESP dengan konsentrasi 2,25 % sebanyak 5 ml, EESP yang diambil sebanyak = 2,25g 0,1125g 112,5mg

ml 100

ml

5 × = =

Volume pemberian suspensi EESP 50 mg/kg bb (konsentrasi 2,25%): Konsentrasi 2,25% = 0,0225g/ml 22,5mg/ml

ml 100

g 2,25

= =

Jika berat badan tikus 200 g, maka EESP yang diberikan tiap tikus sebanyak = 75mg 15mg

g 1000

g

200 × =

Maka volume yang diberikan

= 1ml 0,667ml/200gbb tikus mg/ml

22,5 mg 15

= ×


(21)

67 Lampiran 15. (Lanjutan)

d. EESP dosis 100 mg/kg bb

Konsentrasi EESP yang digunakan adalah 3%, maka untuk membuat suspensi EESP dengan konsentrasi 3 % sebanyak 5 ml, EESP yang diambil sebanyak =

mg 150 g 15 , 0 g 3 ml 100

ml

5 × = =

Volume pemberian suspensi EESP 100 mg/kg bb (konsentrasi 3%): Konsentrasi 3% = 0,03g/ml 30mg/ml

ml 100

g 3

= =

Jika berat badan tikus 200 g, maka EESP yang diberikan tiap tikus sebanyak = 100mg 20mg

g 1000

g

200 × =

Maka, volume yang diberikan= 1ml 0,667ml/200gbb tikus mg/ml

30 mg


(22)

68

Lampiran 16. Gambar tikus dan konsistensi feses

Tikus dalam pengamatan

Konsistensi feses Konsistensi feses Konsistensi feses berlendir lembek normal


(23)

69

Lampiran 17. Hasil orientasi dosis bahan uji mengenai saat mulai terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

Grafik hasil orientasi dosis EESP

0 50 100 150

56,8 107,8

82,4 91,8

114 127,2 131,4

144,8

Wak

tu

mu

lai

te

r

jad

in

ya

d

iar

e

(me

n

it)

Perlakuan

Kel Perlakuan Saat mulai terjadinya diare

(menit ke-)±SD

1 OR + CMC 1% b/v 56,8±2,28

2 OR + Loperamid HCl 1 mg/kg bb 107,8±11,17

3 OR + ESSP 25 mg/kg bb 82,4±2,51

4 OR + ESSP 50 mg/kg bb 91,8±2,95

5 OR + ESSP 75 mg/kg bb 114,0±9,11

6 OR + ESSP 100 mg/kg bb 127,2±10,11

7 OR + ESSP 125 mg/kg bb 131,4±10,97


(24)

70

Lampiran 18. Hasil pengamatan saat mulai terjadinya pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

Perlakuan Hewan Jumlah Rata-rata

(menit)

1 2 3 4 5

OR + CMC

1% b/v 56 54 60 58 56 284 56,8

OR + Loperamid

HCl 1 mg/kg bb 110 117 117 105 90 539 107,8 OR + EESP 25

mg/kg bb 82 85 85 80 80 412 82,4

OR + EESP 50

mg/kg bb 91 90 97 90 91 459 91,8

OR + EESP 75

mg/kg bb 98 115 119 119 119 570 114

OR + EESP 100


(25)

71

Lampiran 19. Hasil pengamatan mengenai hubungan antara dosis, waktu defekasi dan konsistensi feses pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

Perlakuan Hewan Menit ke-

I II III IV V VI VII VIII IX X XI XII

CMC 1% b/v

1 56 75 134 163 223 270 289 321

2 54 69 112 171 198 236 270 336

3 60 73 99 177 228 262 281 332

4 58 65 167 201 254 289 321 354

5 56 61 140 157 238 286 311 354

Loperamid HCl 1 mg/kg

bb

1 110 123 176 237

2 117 131 239

3 117 128 192 240

4 105 124 209 233

5 90 115 128 212 241

EESP 25 mg/kg

bb

1 82 132 180 213 263 273

2 85 135 180 216 247 276

3 85 110 135 178 216 247 276

4 80 150 211 260 271

5 80 115 150 211 261 271

155EESP 50 mg/kg

bb

1 91 121 197 211 267

2 90 111 125 196 217 266

3 97 153 197 241 273

4 90 125 196 217 266

5 91 121 154 203 234 267

EESP 75 mg/kg

bb

1 98 125 190

2 115 128 176 194 237

3 119 130 197 240

4 119 130 193 240

5 119 130 179 193 240

EESP 100 mg/kg bb

1 120 149 162 195

2 123 165 198

3 117 149 160 197

4 137 165 211

5 139 165 213

Keterangan:

: feses berlendir : feses lembek : feses normal : erl

I : 0-30 II : 30-60 III : 60-90 IV: 90-120 V : 120-150 VI : 150-180 XII : 330-360 VII : 180-210 VIII : 210-240 IX : 240-270 X : 270-300 XI : 300-330


(26)

72

Lampiran 20. Hasil pengamatan mengenai frekuensi diare dan lama terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

1. Pengamatan frekuensi diare

2. Pengamatan lama terjadinya diare setelah pemberian oleum ricini

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang T1 : waktu mula-mula terjadi diare T2 : waktu akhir terjadi diare Perlakuan (mg/kg bb)

Hewan

Jumlah Rata-rata

1 2 3 4 5

OR + CMC 1% b/v 7 7 7 7 7 35 7,00

OR + Loperamid HCL 1 3 2 3 3 3 14 2,80

OR + EESP 25 5 5 6 4 5 25 5,00

OR + EESP 50 4 5 4 4 5 22 4,40

OR + EESP 75 2 4 3 3 4 16 3,20

OR + EESP 100 3 2 3 2 2 12 2,40

Perlakuan (mg/kg bb)

Hewan

Jumlah Rata-rata

1 2 3 4 5

T2-T1

T2-T1

T2-T1

T2-T1

T2-T1 OR + CMC

1% b/v 265 282 272 296 298 1413 282,6

OR +Loperamid

HCl 1 127 122 123 128 122 622 124,4

OR + EESP 25 191 191 191 191 191 955 191,0 OR + EESP 50 176 176 176 176 176 880 176,0 OR + EESP 75 142 122 121 121 121 627 125,4


(27)

73 Lampiran 21. Hasil deskriptif data

1. Saat mulai terjadinya diare Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 56.8000 2.28035 1.01980 53.9686 59.6314 54.00 60.00 Loperamid HCl 1 5 1.0780E2 11.16692 4.99400 93.9344 121.6656 90.00 117.00 EESP 25 5 82.4000 2.50998 1.12250 79.2834 85.5166 80.00 85.00 EESP 50 5 91.8000 2.94958 1.31909 88.1376 95.4624 90.00 97.00 EESP 75 5 1.1400E2 9.11043 4.07431 102.6879 125.3121 98.00 119.00 EESP 100 5 1.2720E2 10.10940 4.52106 114.6475 139.7525 117.00 139.00 Total 30 96.6667 24.34427 4.44464 87.5764 105.7570 54.00 139.00

2. Konsistensi feses (diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi) a. Diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi berlendir

- Diameter serapan air berlendir Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 3.8800 .19235 .08602 3.6412 4.1188 3.70 4.20 Loperamid HCl 1 5 2.3800 .10954 .04899 2.2440 2.5160 2.20 2.50 EESP 25 5 3.4200 .13038 .05831 3.2581 3.5819 3.20 3.50 EESP 50 5 3.2800 .13038 .05831 3.1181 3.4419 3.20 3.50 EESP 75 5 2.3600 .11402 .05099 2.2184 2.5016 2.20 2.50 EESP 100 5 2.1200 .04472 .02000 2.0645 2.1755 2.10 2.20 Total 30 2.9067 .67258 .12280 2.6555 3.1578 2.10 4.20

- Berat feses berlendir Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 3.8260 .18147 .08115 3.6007 4.0513 3.67 4.12 Loperamid HCl 1 5 2.2900 .09849 .04405 2.1677 2.4123 2.13 2.40 EESP 25 5 3.4080 .12969 .05800 3.2470 3.5690 3.23 3.51 EESP 50 5 3.2720 .11411 .05103 3.1303 3.4137 3.20 3.47 EESP 75 5 2.3600 .11402 .05099 2.2184 2.5016 2.20 2.50 EESP 100 5 2.1200 .04472 .02000 2.0645 2.1755 2.10 2.20 Total 30 2.8793 .66869 .12209 2.6296 3.1290 2.10 4.12


(28)

74 Lampiran 21. (Lanjutan)

- Waktu defekasi berlendir Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 56.8000 2.28035 1.01980 53.9686 59.6314 54.00 60.00 Loperamid HCl 1 5 1.0780E2 11.16692 4.99400 93.9344 121.6656 90.00 117.00 EESP 25 5 82.4000 2.50998 1.12250 79.2834 85.5166 80.00 85.00 EESP 50 5 91.8000 2.94958 1.31909 88.1376 95.4624 90.00 97.00 EESP 75 5 1.1400E2 9.11043 4.07431 102.6879 125.3121 98.00 119.00 EESP 100 5 1.2720E2 10.10940 4.52106 114.6475 139.7525 117.00 139.00 Total 30 96.6667 24.34427 4.44464 87.5764 105.7570 54.00 139.00

b. Diameter serapan air dan berat feses lembek - Diameter serapan air lembek

Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 1.6600 .20736 .09274 1.4025 1.9175 1.30 1.80 Loperamid HCl 1 5 1.2600 .05477 .02449 1.1920 1.3280 1.20 1.30 EESP 25 5 1.4800 .16432 .07348 1.2760 1.6840 1.30 1.60 EESP 50 5 1.4600 .11402 .05099 1.3184 1.6016 1.30 1.60 EESP 75 5 1.2800 .08367 .03742 1.1761 1.3839 1.20 1.40 EESP 100 5 1.2400 .05477 .02449 1.1720 1.3080 1.20 1.30 Total 30 1.3967 .19205 .03506 1.3250 1.4684 1.20 1.80

- Berat feses lembek Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 1.6020 .18404 .08230 1.3735 1.8305 1.28 1.73 Loperamid HCl 1 5 1.1940 .06387 .02857 1.1147 1.2733 1.11 1.27 EESP 25 5 1.4680 .15401 .06888 1.2768 1.6592 1.29 1.59 EESP 50 5 1.3640 .09099 .04069 1.2510 1.4770 1.31 1.52 EESP 75 5 1.2000 .05196 .02324 1.1355 1.2645 1.15 1.27 EESP 100 5 1.1760 .03050 .01364 1.1381 1.2139 1.14 1.22 Total 30 1.3340 .19121 .03491 1.2626 1.4054 1.11 1.73


(29)

75 Lampiran 21. (Lanjutan)

- Waktu defekasi lembek Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 2.1760E2 17.41551 7.78845 195.9758 239.2242 198.00 238.00 Loperamid HCl 1 5 1.2680E2 3.27109 1.46287 122.7384 130.8616 123.00 131.00 EESP 25 5 2.1340E2 2.50998 1.12250 210.2834 216.5166 211.00 216.00 EESP 50 5 1.9780E2 2.94958 1.31909 194.1376 201.4624 196.00 203.00 EESP 75 5 1.2860E2 2.19089 .97980 125.8797 131.3203 125.00 130.00 EESP 100 5 1.5860E2 8.76356 3.91918 147.7186 169.4814 149.00 165.00 Total 30 1.7380E2 39.11557 7.14149 159.1940 188.4060 123.00 238.00

c. Diameter serapan air dan berat feses normal - Diameter serapan air normal

Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 .3400 .05477 .02449 .2720 .4080 .30 .40 Loperamid HCl 1 5 .2000 .00000 .00000 .2000 .2000 .20 .20 EESP 25 5 .2600 .05477 .02449 .1920 .3280 .20 .30 EESP 50 5 .2400 .05477 .02449 .1720 .3080 .20 .30 EESP 75 5 .2000 .10000 .04472 .0758 .3242 .10 .30 EESP 100 5 .1800 .04472 .02000 .1245 .2355 .10 .20 Total 30 .2367 .07649 .01396 .2081 .2652 .10 .40

- Berat feses normal Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 .2960 .05814 .02600 .2238 .3682 .23 .35 Loperamid HCl 1 5 .1600 .03082 .01378 .1217 .1983 .12 .19 EESP 25 5 .2280 .04764 .02131 .1688 .2872 .16 .27 EESP 50 5 .2200 .03082 .01378 .1817 .2583 .18 .25 EESP 75 5 .1680 .03421 .01530 .1255 .2105 .11 .20 EESP 100 5 .1480 .01304 .00583 .1318 .1642 .14 .17 Total 30 .2033 .06266 .01144 .1799 .2267 .11 .35


(30)

76 Lampiran 21. (Lanjutan)

- Waktu defekasi normal Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 3.3940E2 14.41527 6.44670 321.5011 357.2989 321.00 354.00 Loperamid HCl 1 5 2.3220E2 11.60603 5.19038 217.7892 246.6108 212.00 240.00 EESP 25 5 2.7340E2 2.50998 1.12250 270.2834 276.5166 271.00 276.00 EESP 50 5 2.6780E2 2.94958 1.31909 264.1376 271.4624 266.00 273.00 EESP 75 5 2.2940E2 22.06354 9.86712 202.0045 256.7955 190.00 240.00 EESP 100 5 2.0280E2 8.49706 3.80000 192.2495 213.3505 195.00 213.00 Total 30 2.5750E2 45.90376 8.38084 240.3593 274.6407 190.00 354.00

3. Frekuensi diare Kelompok (mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 7.0000 .00000 .00000 7.0000 7.0000 7.00 7.00 Loperamid HCl 1 5 3.0000 .70711 .31623 2.1220 3.8780 2.00 4.00 EESP 25 5 5.0000 .70711 .31623 4.1220 5.8780 4.00 6.00 EESP 50 5 4.4000 .54772 .24495 3.7199 5.0801 4.00 5.00 EESP 75 5 3.2000 .83666 .37417 2.1611 4.2389 2.00 4.00 EESP 100 5 2.4000 .54772 .24495 1.7199 3.0801 2.00 3.00 Total 30 4.1667 1.66264 .30355 3.5458 4.7875 2.00 7.00

4. Lama terjadinya diare Kelompok

(mg/kg bb)

N Mean

Std.

Deviation Std. Error

95% Confidence Interval for Mean

Min. Max. Lower

Bound

Upper Bound

CMC Na 1%b/v 5 2.8260E2 14.48447 6.47765 264.6151 300.5849 265.00 298.00 Loperamid HCl 1 5 1.2440E2 2.88097 1.28841 120.8228 127.9772 122.00 128.00 EESP 25 5 1.9100E2 .00000 .00000 191.0000 191.0000 191.00 191.00 EESP 50 5 1.7600E2 .00000 .00000 176.0000 176.0000 176.00 176.00 EESP 75 5 1.2540E2 9.28978 4.15452 113.8652 136.9348 121.00 142.00 EESP 100 5 75.6000 2.50998 1.12250 72.4834 78.7166 74.00 80.00 Total 30 1.6250E2 67.01351 12.23494 137.4767 187.5233 74.00 298.00


(31)

77 Lampiran 22. Hasil analisis statistik anova

ANOVA Sum of Squares df

Mean

Square F Sig. Saatmulaiterjadinyadiare Between Groups 15866.267 5 3173.253 57.678 .000

Within Groups 1320.400 24 55.017 Total 17186.667 29

Waktudefekasiberlendir Between Groups 15866.267 5 3173.253 57.678 .000 Within Groups 1320.400 24 55.017

Total 17186.667 29

Waktudefekasilembek Between Groups 42728.400 5 8545.680 124.876 .000 Within Groups 1642.400 24 68.433

Total 44370.800 29

Waktudefekasinormal Between Groups 57441.500 5 11488.300 75.210 .000 Within Groups 3666.000 24 152.750

Total 61107.500 29

Bfberlendir Between Groups 12.617 5 2.523 173.097 .000 Within Groups .350 24 .015

Total 12.967 29

Bflembek Between Groups .766 5 .153 12.493 .000 Within Groups .294 24 .012

Total 1.060 29

Bfnormal Between Groups .078 5 .016 10.570 .000 Within Groups .036 24 .001

Total .114 29

Dmserapberlendir Between Groups 12.727 5 2.545 155.837 .000 Within Groups .392 24 .016

Total 13.119 29

Dmseraplembek Between Groups .686 5 .137 8.571 .000 Within Groups .384 24 .016

Total 1.070 29

Dmserapnormal Between Groups .086 5 .017 4.895 .003 Within Groups .084 24 .003

Total .170 29

Frekuensidiare Between Groups 70.967 5 14.193 37.026 .000 Within Groups 9.200 24 .383

Total 80.167 29

Lamaterjadinyadiare Between Groups 128990.700 5 25798.140 498.194 .000 Within Groups 1242.800 24 51.783


(32)

78

Lampiran 23. Hasil analisis statistik uji beda rata-rata Duncan 1. Saat mulai terjadinya diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

CMC Na 1%b/v 5 56.8000

EESP 25 mg/kg bb 5 82.4000

EESP 50 mg/kg bb 5 91.8000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.0780E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.1400E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2720E2

Sig. 1.000 .057 .199 1.000

2. Konsistensi feses (diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi) a. Diameter serapan air

- Diameter serapan air berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.1200

EESP 75 mg/kg bb 5 2.3600

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.3800

EESP 50 mg/kg bb 5 3.2800

EESP 25 mg/kg bb 5 3.4200

CMC Na 1%b/v 5 3.8800

Sig. 1.000 .807 .096 1.000

- Diameter serapan air lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2400

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2600

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2800

EESP 50 mg/kg bb 5 1.4600

EESP 25 mg/kg bb 5 1.4800

CMC Na 1%b/v 5 1.6600


(33)

79 Lampiran 23. (Lanjutan)

- Diameter serapan air normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2

EESP 100 mg/kg bb 5 .1800

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 .2000

EESP 75 mg/kg bb 5 .2000

EESP 50 mg/kg bb 5 .2400

EESP 25 mg/kg bb 5 .2600

CMC Na 1%b/v 5 .3400

Sig. .065 1.000

b. Berat feses

- Berat feses berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.1200

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.2900

EESP 75 mg/kg bb 5 2.3600

EESP 50 mg/kg bb 5 3.2720

EESP 25 mg/kg bb 5 3.4080

CMC Na 1%b/v 5 3.8260

Sig. 1.000 .368 .088 1.000

- Berat feses lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 1.1760 Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.1940

EESP 75 mg/kg bb 5 1.2000

EESP 50 mg/kg bb 5 1.3640

EESP 25 mg/kg bb 5 1.4680 1.4680

CMC Na 1%b/v 5 1.6020


(34)

80 Lampiran 23. (Lanjutan)

- Berat feses normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 .1480

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 .1600

EESP 75 mg/kg bb 5 .1680

EESP 50 mg/kg bb 5 .2200

EESP 25 mg/kg bb 5 .2280

CMC Na 1%b/v 5 .2960

Sig. .446 .745 1.000

c. Waktu defekasi

- Waktu defekasi berlendir

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

CMC Na 1%b/v 5 56.8000

EESP 25 mg/kg bb 5 82.4000

EESP 50 mg/kg bb 5 91.8000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.0780E2

EESP 75 mg/kg bb 5 1.1400E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.2720E2

Sig. 1.000 .057 .199 1.000

- Waktu defekasi lembek

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2680E2 EESP 75 mg/kg bb 5 1.2860E2

EESP 100 mg/kg bb 5 1.5860E2

EESP 50 mg/kg bb 5 1.9780E2

EESP 25 mg/kg bb 5 2.1340E2

CMC Na 1%b/v 5 2.1760E2


(35)

81 Lampiran 23. (Lanjutan)

- Waktu defekasi normal

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4

EESP 100 mg/kg bb 5 2.0280E2

EESP 75 mg/kg bb 5 2.2940E2

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 2.3220E2

EESP 50 mg/kg bb 5 2.6780E2

EESP 25 mg/kg bb 5 2.7340E2

CMC Na 1%b/v 5 3.3940E2

Sig. 1.000 .723 .481 1.000

3. Frekuensi diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3

EESP 100 mg/kg bb 5 2.4000 Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 3.0000 EESP 75 mg/kg bb 5 3.2000

EESP 50 mg/kg bb 5 4.4000

EESP 25 mg/kg bb 5 5.0000

CMC Na 1%b/v 5 7.0000

Sig. .064 .139 1.000

4. Lama terjadinya diare

Kelompok N

Subset for alpha = 0.05

1 2 3 4 5

EESP 100 mg/kg bb 5 75.6000

Loperamid HCl 1 mg/kg bb 5 1.2440E2 EESP 75 mg/kg bb 5 1.2540E2

EESP 50 mg/kg bb 5 1.7600E2

EESP 25 mg/kg bb 5 1.9100E2

CMC Na 1%b/v 5 2.8260E2


(36)

43

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadu, A.A., Zezi, A.U., dan Yaro, A.H. (2007). Antidiarrheal Activity of The Leaf Extract of Danielliaoliveri Hutch and Dalz (Fabaceae) and FicussycomurusMiq (Moraceae). African Journal of Traditional, Complementary and Alternative Medicine. 4(4): 524-528.

Anief, M. (2004). Ilmu Meracik Obat, Teori dan Praktik. Cetakan Kesebelas. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Hal. 110.

Aulanni’am, Muslim, A. dan Rosmaidar. (2007). Efek Antifertilitas Fraksi Air Biji Pinang (Areca catechu) sebagai Agen Apoptosis pada Sel-sel Jaringan Testis Rattus norvegicus. Jurnal Media Kedokteran Hewan. 23(3): 179-183.

Chanakya, H.N. dan Malayil, S. (2011). Sustainable Disposal Of Green-Waste (Banana Leaf, Stem And Arecanut Husk) By Anaerobic Digestion For Recovery Of Fibre, Biogas And Compost. Journal Proceedings of the International Conference on Solid Waste-Moving Towards Sustainable Resource Management. 5(4): 554-557.

Dalimartha, S. (2009). Atlas Tumbuhan Obat Indonesia Jilid 6. Cetakan 1. Jakarta: Pustaka Bunda. Hal. 127-129.

Defrin, D.P., Rahimah, S.B., dan Yuniarti, L. (2010). Efek Antidiare Ekstrak Air Umbi Sarang Semut (Myrmecodia pendens) pada Mencit Putih (Mus musculus). Jurnal Prosiding SNaPP Edisi Eksakta. Hal. 2089-3582.

Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial RI. (2001). Inventaris Tanaman Obat Indonesia 1. Jilid 2. Jakarta: Bakti Husada. Hal. 33-34.

Depkes RI. (1979). Farmakope Indonesia. Edisi III. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 33, 649.

Depkes RI. (1995). Materia Medika Indonesia. Jilid VI. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. XIV, 300-306, 333-337

Ditjen POM. (1995). Farmakope Indonesia. Edisi IV. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 7, 503.

Ditjen POM. (2000). Parameter Standar Umum Ekstrak Tumbuhan Obat. Cetakan Pertama. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Hal. 1, 3, 10-11.


(37)

44

Ebadi, M. (2008). Desk Reference of Clinical Pharmacology. Boca Raton, Florida: Taylor&Francis Group, LLC. Hal. 395-397.

Enda, W.G. (2010). Uji Efek Antidiare Ekstrak Etanol Kulit Batang Salam (Syzygim polyanthum (Wight) Walp.) Terhadap Mencit Jantan. Medan. Hal. 10-11, 16, 23-25.

Farnsworth, N.R. (1966). Biologycal and Phytochemical Screening of Plants. Journal of Pharmaceutical Science. 55(3): 262-264.

Farokh, N. (2011). Uji Aktivitas Antidiare Ekstrak Etanol Daun Pare (Momordica charantia Linn.) pada Mencit Jantan yang Diinduksi Oleum Ricini. Jember. Hal. VII.

Gutiérrez, S.P., Mendoza, D.P., Munive, A.H., Martinez, A.M., González, C.P. dan Mendoza, E.S. (2013). Antidiarrheal Activity of 19-Deoxyicetexone Isolated from Salvia ballotiflora Benth in Mice and Rats. Journal of Molecules. (18): 8895-8905.

Harborne, J.B. (1984). Phytochemical Methods, A Guide to Modern Techniques of Plant Analysis. Second Edition. London: Chapman & Hall. Hal. 124-125. Hariyati, M.N. (2006). Ekstraksi dan Karakterisasi Pektin dari Limbah Proses

Pengolahan Jeruk Pontianak (Citrus nobilis var microcarpa). Bogor. Hal. 4-5, 10.

Hermiati, E., Mangunwidjaja, D., Sunarti, T.C., Suparno, O. dan Prasetya, B. (2010). Pemanfaatan Biomassa Lignoselulosa Ampas Tebu Untuk Produksi Bioetanol. Jurnal Litbang Pertanian. 29(4): 121-130.

Joshi, M., Gaonkar, K., Mangoankar, S. dan Satarkar, S. (2012). Pharmacological Investigation of Areca catechu Extracts for Evaluation of Learning, Memory and Behavior in Rats. International Current Pharmaceutical Journal. 1(6): 128-132.

Maskromo, I., dan Miftahorrachman. (2007). Keragaman Genetik Plasma Nutfah Pinang (Areca catechu L.) di Propinsi Gorontalo. Jurnal Littri. 13(4): 119-124.

Meite, S., N’Guessan, J.D., Bahi, C., Yapi, H.F., Djaman, A.J., dan Guina, F.G. (2009). Antidiarrheal Activity of The Ethyl Acetate Extract of Morindamorindoides in Rats. Tropical Journal of Pharmaceutical Research. 8(3): 201-207.

Mondal, S., Bhattacharya, S. dan Biswas, M. (2012). Antidiabetic Activity of Areca catechu Leaf Extracts Against Streptozotocin Induced Diabetic Rats. Journal of Advanced Pharmacy Education & Research. 2(1): 10-17.


(38)

45

Mosier, N., Wyman, C., Dale, B., Elander, R., Lee, Y.Y., Holtzapple, M., dan Michael, L. (2005). Features of Promising Technologies for Pretreatment of Lignocellulosic Biomass. Journal of Bioresource Technology. 96(6): 673-686.

Navaneethan, U. dan Gianella, R.A. (2011). Definition, Epidemiology, Pathophysiology, Clinical Classification, and Differential Diagnosis of Dairrhea. London: Springer Science+Business Media, LLC 2011. Hal. 3. Nofriadi, E. (2009). Keragaman Nilai Lignin Terlarut Asam (Acid Soluble Lignin)

Dalam Kayu Reaksi Pinus merkusii Jungh Et de Vriese dan Gnetum gnemon Linn. Bogor. Hal. 4-5.

Redha, A. (2010). Flavonoid: Struktur, Sifat Antioksidatif Dan Peranannya Dalam Sistem Biologis. Jurnal Belian. 9(2): 196-202.

Sanchez de Medina, F., Galvez, J., Gonzalez M., Zarzuelo A., dan Barret, K.E. (1997). Effects of quercetin on Ephitelial Chloride Secretion. Journal of Life Science. 61(20): 2049-2055.

Sari, L.O.R.K. (2006). Pemanfaatan Obat Tradisional dengan Pertimbangan Manfaat dan Keamanannya. Majalah Ilmu Kefarmasian. 3(1): 01-07. Staples, G.W. dan Bevacqua, R.F. (2006). Areca catechu (Betel Nut Palm), ver

I.3. Journal of Species Profile for Pacific Island Agroforestry. Hal. 2 Sugiarto, N.F. (2008). Uji Antidiare Jamu “DNR” Pada Mencit Putih Jantan.

Depok. Hal. 4, 22-23.

Sukumaran, R.K., Singhania, R.R., dan Pandey, A. (2005). Microbial Cellulases-Production, Application and Challenges. Journal of Scientific & Industrial Research. 64: 832-844

Sulastri, T. (2009). Analisis Kadar Tanin Ekstrak Air dan Ekstrak Etanol Pada Biji Pinang Sirih (Areca catechu L.). Jurnal Chemical. 11(1): 59-63.

Tan, H.T., dan Rahardja, K. (2008). OBAT-OBAT PENTING, Khasiat, Penggunaan, dan Efek-efek Sampingnya. Edisi Keenam, Cetakan Pertama. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo. Hal. 288, 293, 296.

Tanjung, D.S., Kusuma, A.M. dan Hapsari, I. (2011). Evaluasi Penggunaan Obat Antidiare pada Pasien Anak di Instalasi Rawat Inap RSUD Banyumas Tahun 2009. Journal Pharmacy. 6(1): 52-71.


(39)

46

Tiwow, D., Bodhi, W. dan Kojong, N.S. (2013). Uji Efek Antelmintik Ekstrak Etanol Biji Pinang (Areca catechu) Terhadap Cacing Ascaris Lumbricoides dan Ascaridia Galli secara In Vitro. Jurnal Ilmiah Farmasi-UNSRAT. 2(2): 76-80.

Wijayakusuma, H.M.H. (2000). Potensi Tumbuhan Obat Asli Indonesia Sebagai Produk Kesehatan. Jurnal Risalah Ilmiah Penelitian dan Pengembangan Teknologi Isotop dan Radiasi. Hal. 25.

World Health Organization. (1998). Quality Control Methods for Medicinal Plant Materials. Switzerland: World Health Organization. Hal. 30-31.

Yajima, T. (1985). Contractile Effect of Short-Chain Fatty Acids on The Isolated Colon of The Rat. Journal Physio. 368: 667-678.

Zhang, W.M., Bin L., Lin H., dan Hai D.Z. (2009). Antioxidant Activities of Extract from Areca (Areca catechu L.) Flower, Husk and Seed. African Journal of Biotechnology. 8(16): 3887-3892.


(40)

16 BAB III

METODE PENELITIAN

Metode penelitian ini dilakukan secara eksperimental, meliputi pengumpulan dan pengolahan tumbuhan, karakterisasi simplisia, skrining fitokimia, pembuatan ekstrak etanol sabut pinang dan percobaan efek antidiare. Data hasil penelitian dianalisis secara analisis variansi (ANOVA) dan dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16. Bagan kerja penelitian dapat dilihat pada lampiran 7, halaman 53.

3.1Alat dan Bahan 3.1.1 Alat-alat

Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi alat-alat gelas laboratorium, aluminium foil, blender (Philips), cawan porselen, cawan porselen berdasar rata, eksikator, hot plate (Fisons), kertas saring, kandang tikus, krus porselin, lemari pengering, lumpang dan alu, neraca listrik (Vibra AJ), neraca hewan (Presica Geniweigher GW-1500), oral sonde, oven listrik (Fischer Scientific), pot plastik, rampago, seperangkat alat destilasi, spatula, spuit 1ml dan 3 ml (OneMed), timbangan (Tanita) dan tanur (Nabertherm).

3.1.2 Bahan-bahan

Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini meliputi bahan tumbuhan dan bahan kimia. Bahan tumbuhan yang digunakan adalah sabut buah pinang dan oleum ricini. Bahan kimia yang digunakan adalah air suling, alfa


(41)

17

naftol, amil alkohol, asam asetat anhidrida, asam klorida pekat, asam nitrat pekat, asam sulfat pekat, benzen, besi (III) klorida, bismuth (III) klorida, carboxymethyl cellulose natrium (CMC Na), etanol 96%, isopropanol, kalium iodida, kloroform, loperamid HCl (tablet Imodium®), metanol, n-heksana, natrium hidroksida, natrium sulfat anhidrat, serbuk magnesium, timbal (II) asetat dan toluen.

3.2 Pembuatan Larutan Pereaksi

3.2.1 Larutan pereaksi asam klorida (HCl) 2 N

Sebanyak 17 ml asam klorida P dilarutkan dalam air suling hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1979).

3.2.2 Larutan pereaksi asam sulfat 2 N

Sebanyak 5,556 ml asam sulfat pekat diencerkan dengan air suling secukupnya hingga volume 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.3 Larutan pereaksi besi (III) klorida 1% b/v

Sebanyak 1 g besi (III) klorida dilarutkan dalam air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.4 Larutan pereaksi timbal (II) asetat 0,4 M

Sebanyak 15,17 g timbal (II) asetat ditimbang, kemudian dilarutkan dalam air suling bebas karbon dioksida secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995). 3.2.5 Pereaksi Bouchardat

Sebanyak 4 g kalium iodida dilarutkan dalam air suling, kemudian sebanyak 2 g iodium dilarutkan dalam larutan kalium iodida dan dicukupkan dengan air suling hingga 100 ml (Depkes, 1995).


(42)

18 3.2.6 Pereaksi Dragendorff

Sebanyak 8 g bismut nitrat dilarutkan dalam 20 ml asam nitrat pekat, lalu pada wadah lain dilarutkan 27,2 g kalium iodida dalam 50 ml air suling. Kedua larutan dicampur dan didiamkan sampai memisah sempurna. Larutan jernih diambil dan diencerkan dengan air secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995). 3.2.7 Pereaksi Mayer

Sebanyak 1,359 g raksa (II) klorida dilarutkan dalam air suling hingga 60 ml, pada wadah lain sebanyak 5 g kalium iodida dilarutkan dalam 10 ml air suling. Kedua larutan dicampur kemudian ditambahkan air suling secukupnya hingga 100 ml (Depkes, 1995).

3.2.8 Pereaksi Molish

Sebanyak 3 g α-naftol ditimbang, kemudian dilarutkan dalam asam nitrat 0,5 N hingga diperoleh larutan 100 ml (Depkes, 1995).

3.3 Pengumpulan dan Pengolahan Bahan Tumbuhan 3.3.1 Pengumpulan bahan tumbuhan

Pengumpulan tumbuhan dilakukan secara purposif, yaitu tanpa membandingkan dengan bahan tumbuhan yang sama dari daerah lain. Pengambilan tumbuhan dilakukan dengan memilih buah pinang yang telah matang dan berwarna kuning kemerahan, yang diambil dari daerah Simalingkar B, Kecamatan Medan Johor, Medan, Provinsi Sumatera Utara. Gambar tumbuhan dan buah pinang dapat dilihat pada Lampiran 3, halaman 49.


(43)

19 3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan

Identifikasi tumbuhan dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Bogor.

3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan

Bahan tumbuhan yang digunakan adalah sabut pinang (Areca catechu L.). Sabut dilepas dari buah pinang menggunakan rampago kemudian dipilah, sehingga didapat serabut atau sabut pinang. Beratnya ditimbang sebagai berat basah. Gambar sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 4, halaman 50. Sabut kemudian dikeringkan di lemari pengering pada suhu ± 40°C. Sampel yang telah kering biasanya ditentukan dari kerapuhan dan mudah patahnya bahan tumbuhan yang dikeringkan. Beratnya kemudian ditimbang, lalu dihaluskan dengan menggunakan blender, diayak dengan ayakan, sehingga didapat serbuk simplisia. Gambar serbuk simplisia sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 5, halaman 51. Serbuk simplisia dimasukkan ke dalam wadah plastik yang tertutup rapat dan disimpan pada suhu kamar.

3.4 Pemeriksaan Karakteritik Simplisia 3.4.1 Pemeriksaan makroskopik

Pemeriksaan makroskopik dilakukan terhadap bahan tumbuhan segar, yaitu sabut pinang (Areca catechu L.) dengan mengamati bentuk, tekstur dan ukuran, serta pemeriksaan organoleptik dengan mengamati warna, rasa dan bau. Pemeriksaan organoleptik terhadap ekstrak etanol sabut pinang juga dilakukan. 3.4.2 Penetapan kadar air


(44)

20 a. Penjenuhan toluen

Sebanyak 200 ml toluen dan 2 ml air suling dimasukkan ke dalam labu alas bulat, dipasang alat penampung dan pendingin, kemudian didestilasi selama 2 jam. Destilasi dihentikan dan dibiarkan dingin selama 30 menit, kemudian volume air dalam tabung penerima dibaca dengan ketelitian 0,05 ml.

b. Penetapan kadar air simplisia

Sebanyak 5 g serbuk simplisia yang telah ditimbang seksama dimasukkan ke dalam labu berisi toluen yang telah dijenuhkan, kemudian labu dipanaskan hati-hati selama 15 menit, setelah toluen mendidih, kecepatan tetesan diatur 2 tetes per detik sampai sebagian besar air terdestilasi. Kecepatan destilasi dinaikkan sampai 4 tetes tiap detik, setelah semua air terdestilasi, bagian dalam pendingin dibilas dengan toluen. Destilasi dilanjutkan selama 5 menit, kemudian tabung penerima dibiarkan mendingin pada suhu kamar, setelah air dan toluen memisah sempurna, lalu volume air dibaca dengan ketelitian 0,05 ml. Selisih kedua volume air yang dibaca sesuai dengan kandungan air yang terdapat dalam bahan yang diperiksa. Kadar air dihitung dalam persen (WHO, 1998). Penetapan kadar air juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan kadar air serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 55.

3.4.3 Penetapan kadar sari yang larut dalam air

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dengan 100 ml air-kloroform (2,5 ml kloroform dalam air suling sampai 1 liter) dalam labu bersumbat, dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, kemudian disaring. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan sampai kering dalam


(45)

21

cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara. Sisa dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam air dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Perhitungan kadar sari yang larut dalam air terhadap serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 56.

3.4.4 Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol

Sebanyak 5 g serbuk simplisia dimaserasi selama 24 jam dalam 100 ml etanol 96% di dalam labu bersumbat sambil dikocok sesekali selama 6 jam pertama, kemudian dibiarkan selama 18 jam, setelah itu disaring cepat untuk menghindari penguapan etanol. Sejumlah 20 ml filtrat diuapkan dalam cawan penguap yang berdasar rata yang telah dipanaskan dan ditara sampai kering. Sisa yang diperoleh dipanaskan pada suhu 105ºC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol 96% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Perhitungan kadar sari yang larut dalam etanol terhadap serbuk simplisia dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 56.

3.4.5 Penetapan kadar abu total

Sebanyak 2 g serbuk simplisia yang telah digerus dan ditimbang seksama dimasukkan ke dalam krus porselin yang telah dipijar dan ditara, kemudian diratakan. Krus dipijar perlahan-lahan sampai arang habis, pijaran dilakukan pada suhu 600ºC selama 3 jam kemudian didinginkan dan ditimbang sampai diperoleh bobot tetap. Kadar abu dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu total juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan penetapan kadar abu total serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 57.


(46)

22

3.4.6 Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam

Abu yang diperoleh pada penetapan kadar abu total dididihkan dalam asam klorida encer sebanyak 25 ml selama 5 menit, bagian yang tidak larut dalam asam dikumpulkan, disaring melalui kertas saring bebas abu, dicuci dengan air panas, lalu dipijar sampai bobot tetap, kemudian didinginkan dan ditimbang. Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam juga dilakukan terhadap ekstrak etanol sabut pinang. Perhitungan penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam pada serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 58.

3.5 Skrining Fitokimia

Skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang, meliputi pemeriksaan alkaloid, flavonoid, glikosida, saponin, tanin dan steroid/triterpenoid.

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian ditambahkan 1 ml asam klorida 2 N dan 9 ml air suling, dipanaskan di atas penangas air selama 2 menit, didinginkan lalu disaring. Filtrat dipakai untuk tes alkaloid. Diambil 3 tabung reaksi, lalu ke dalam masing-masing tabung reaksi dimasukkan 0,5 ml filtrat. Pada tabung I : ditambahkan 2 tetes pereaksi Mayer, terbentuk endapan

menggumpal berwarna putih atau kuning.

Pada tabung II : ditambahkan 2 tetes pereaksi Dragendorff, terbentuk endapan berwarna coklat atau jingga kecoklatan.


(47)

23

Pada tabung III : ditambahkan 2 tetes pereaksi Bourchardat, terbentuk endapan berwarna coklat sampai kehitaman.

Alkaloid disebut positif jika terjadi endapan atau kekeruhan pada dua atau tiga dari percobaan di atas (Depkes, 1995).

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid

Sebanyak 10 g sampel ditimbang, ditambahkan 10 ml air panas, dididihkan selama 5 menit dan disaring dalam keadaan panas, ke dalam 5 ml filtrat ditambahkan 0,1 g serbuk magnesium dan 1 ml asam klorida pekat dan 2 ml amil alkohol, dikocok dan dibiarkan memisah. Flavonoid positif jika terjadi warna merah atau kuning atau jingga pada lapisan amil alkohol (Depkes, 1995).

3.5.3 Pemeriksaan glikosida

Sebanyak 3 g sampel ditimbang, lalu disari dengan 30 ml campuran dari 7 bagian etanol 96% dengan 3 bagian air suling (7:3) dan 10 ml asam klorida 2 N, kemudian direfluks selama 10 menit, didinginkan, lalu disaring. Diambil 20 ml filtrat ditambahkan 25 ml air suling dan 25 ml timbal (II) asetat 0,4 M dikocok, didiamkan 5 menit lalu disaring. Filtrat disari dengan 20 ml campuran isopropanol dan kloroform (2:3), perlakuan ini diulangi sebanyak 3 kali. Sari organik dikumpulkan dan ditambahkan Na2SO4 anhidrat, disaring, kemudian diuapkan

pada temperatur tidak lebih dari 50ºC, sisanya dilarutkan dalam 2 ml metanol. Sari air digunakan untuk percobaan berikut, 0,1 larutan percobaan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian diuapkan di atas penangas air. Sisa penguapan ditambahkan 2 ml air dan 5 tetes larutan pereaksi Molish, lalu ditambahkan dengan perlahan-lahan 2 ml asam sulfat pekat melalui dinding tabung, terbentuk


(48)

24

cincin ungu pada batas kedua cairan, menunjukkan adanya ikatan gula (glikon) atau glikosida (Depkes, 1995).

3.5.4 Pemeriksaan saponin

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi, lalu ditambahkan 10 ml air panas, didinginkan kemudian dikocok kuat-kuat selama 10 detik. Terbentuk busa setinggi 1 sampai 10 cm yang stabil tidak kurang dari 10 menit dan tidak hilang dengan penambahan 1 tetes asam klorida 2 N menunjukkan adanya saponin (Depkes, 1995).

3.5.5 Pemeriksaan tanin

Sebanyak 0,5 g sampel ditimbang, kemudian dididihkan selama 3 menit dalam 100 ml air suling lalu didinginkan dan disaring. Filtrat ditambahkan 1-2 tetes pereaksi besi (III) klorida 1%, jika terjadi warna biru kehitaman atau hijau kehitaman menunjukkan adanya tanin (Farnsworth, 1966).

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid

Sebanyak 1 g sampel dimaserasi dengan 20 ml n-heksan selama 2 jam, lalu disaring. Filtrat diuapkan dalam cawan penguap. Sisa penguapan ditambahkan beberapa tetes pereaksi Liebermann-Burchard. Timbulnya warna biru atau biru hijau menunjukkan adanya steroid, sedangkan warna merah, merah muda atau ungu menunjukkan adanya triterpenoid (Harborne, 1984).

3.5.7 Pemeriksaan pektin

Sebanyak 5 g sampel ditimbang, ditambahkan 15 ml air suling yang telah diasamkan dengan asam klorida 0,1 N sampai mencapai pH 1,5, kemudian dipanaskan di atas penangas air pada temperatur 95°C selama 40 menit, diserkai, diuapkan sampai menjadi setengah volume awal. Filtrat didinginkan kemudian


(49)

25

dilakukan pengendapan dengan menambahkan etanol 95% yang telah diasamkan dengan 2 ml asam klorida pekat per satu liter etanol. Perbandingan filtrat dengan etanol yang ditambahkan adalah 1:1,5. Proses pengendapan dilakukan selama 12 jam, kemudian disaring. Pektin dikatakan positif jika terbentuk endapan seperti gel (Hariyati, 2006).

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Sabut Pinang (EESP)

Pembuatan EESP dilakukan secara maserasi menggunakan etanol 80%. Prosedur pembuatan ekstrak secara maserasi, yaitu sebanyak 10 bagian serbuk simplisia dimasukkan ke dalam sebuah bejana, tuangi dengan 75 bagian etanol 80%, tutup, biarkan selama 5 hari terlindung dari cahaya sambil sering diaduk, serkai, lalu cuci ampas dengan etanol 80% secukupnya hingga diperoleh 100 bagian. Dipindahkan ke dalam bejana tertutup, biarkan di tempat sejuk, terlindung dari cahaya selama 2 hari. Dienap tuangkan atau disaring (Depkes, 1979). Maserat yang diperoleh diuapkan menggunakan rotary evaporator pada temperatur ± 40oC sampai diperoleh ekstrak kental kemudian dikeringkan menggunakan freeze dryer pada suhu -40°C. Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 8, halaman 54.

3.7 Percobaan Efek Antidiare

Pengujian efek antidiare meliputi penyiapan hewan percobaan, penyiapan bahan kontrol negatif, bahan kontrol positif, bahan uji, induktor diare dan pengujian efek antidiare.

3.7.1 Penyiapan hewan percobaan


(50)

26

berjenis kelamin jantan dengan berat rata-rata 200 gram sebanyak 30 ekor. Dibagi dalam 6 kelompok dimana setiap kelompok terdiri dari 5 ekor tikus. Tikus diaklimatisasi terlebih dahulu selama 2 minggu sebelum penelitian, kemudian diberi makanan dan minuman secara teratur, serta dijaga kebersihan kandangnya.

Penelitian menggunakan hewan telah mendapat persetujuan etik dari Komite Etik Penelitian Kesehatan FK USU dan Komite Etik Penelitian Hewan FMIPA USU (Animal Research Ethics Committees/AREC), dikenal dengan ethical clearance atau kelayakan etik yang merupakan keterangan tertulis untuk penelitian yang melibatkan mahluk hidup (manusia, hewan dan tumbuhan). Surat ethical clearance dapat dilihat pada Lampiran 2, halaman 48.

3.7.2 Penyiapan bahan

Bahan yang digunakan meliputi suspensi CMC Na sebagai kontrol negatif, suspensi loperamid HCl (Imodium®) sebagai kontrol positif atau pembanding, suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) sebagai bahan uji dan oleum ricini sebagai induktor diare.

3.7.2.1Pembuatan suspensi CMC Na 1% b/v

Sebanyak 1 g CMC Na ditaburkan ke dalam lumpang yang berisi air suling panas sebanyak 20 ml, ditutup dan dibiarkan selama 30 menit hingga diperoleh massa yang transparan, digerus lalu diencerkan dengan air suling hingga 100 ml (Anief, 2004). Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi CMC Na 1% b/v dapat dilihat pada Lampiran 13, halaman 62.

3.7.2.2Pembuatan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb

Tablet Imodium yang mengandung 2 mg loperamid HCl, ditimbang sebanyak 20 tablet. Tablet digerus dan diambil serbuk sebanyak 900 mg. Serbuk


(51)

27

dimasukkan ke dalam lumpang, lalu ditambahkan suspensi CMC Na 1% b/v sedikit demi sedikit sambil digerus sampai homogen. Dicukupkan dengan suspensi CMC Na 1% b/v hingga 50 ml. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi loperamid HCl dapat dilihat pada Lampiran 14, halaman 63.

3.7.2.3Pembuatan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) dengan konsentrasi 0,75%; 1,5%; 2,25%; dan 3% b/v

Ekstrak ditimbang dengan seksama sesuai dengan konsentrasi masing-masing (0,0375 g; 0,075 g; 0,1125 g; dan 0,15 g) kemudian dimasukkan ke dalam lumpang lalu ditambahkan sedikit suspensi CMC Na 1% b/v diaduk hingga homogen. Dicukupkan dengan suspensi CMC Na 1% b/v hingga 5 ml. Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 15, halaman 65.

3.7.3 Pengujian efek antidiare

Dosis EESP ditentukan berdasarkan orientasi pada hewan percobaan terhadap parameternya. Dosis yang digunakan yaitu 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 mg/kg bb. Hasil orientasi dipilih variasi dosis sebanyak empat dosis, yaitu 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb. Larutan suspensi dibuat bervariasi agar pemberian dosis EESP terhadap setiap tikus pada masing-masing kelompok seragam yaitu sebesar 0,667 ml/200 g bb tikus.

Tikus dipuasakan selama 18 jam sebelum perlakuan, kemudian ditimbang dan ditandai. Tikus diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb tikus. Satu jam setelah pemberian oleum ricini masing-masing kelompok diberi perlakuan yaitu kelompok kontrol negatif diberikan suspensi CMC Na 1% b/v, kelompok kontrol positif diberikan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok bahan


(52)

28

uji diberikan suspensi EESP yang terdiri dari empat dosis yaitu 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb, lalu tikus ditempatkan dalam wadah pengamatan.

Pengamatan dimulai 30 menit setelah perlakuan selama 6 jam. Parameter yang diamati meliputi saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi diare dan lama terjadinya diare (Enda, 2010; Sugiarto, 2008).

3.8 Analisis data

Data hasil pengamatan saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, (diameter serapan air, berat feses dan waktu defekasi), frekuensi diare dan lama terjadinya diare, dianalisis secara statistik dengan metode analisis variansi (ANOVA) pada tingkat kepercayaan 95%, dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan untuk melihat perbedaan nyata antar kelompok perlakuan. Analisis statistik ini menggunakan program SPSS (Statistical Product and Service Solution) versi 16.


(53)

29 BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1Hasil Identifikasi Sampel

Identifikasi sampel dilakukan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Bidang Botani Pusat Penelitian Biologi, Bogor. Hasilnya menunjukkan sampel yang digunakan adalah pinang (Areca catechu L.). Hasil dapat dilihat pada Lampiran 1, halaman 47.

4.2 Hasil Karakterisasi

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik

Hasil pemeriksaan makroskopik simplisia sabut pinang segar menunjukkan bentuk serabut-serabut panjang yang menempel pada kulit buah dengan panjang serabut 6 cm, dengan organoleptik warna kuning kemerahan, bau khas, serta rasa pahit. Pemeriksaan organoleptik ekstrak etanol sabut pinang diperoleh warna coklat kehitaman, bau khas dan rasa pahit. Hasil pemeriksaan makroskopik dapat dilihat pada Lampiran 6, halaman 52.

4.2.2 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang tidak tercantum di buku Materia Medika Indonesia Jilid VI (1995). Hasil pemeriksaan kadar air keduanya memenuhi persyaratan umum, yaitu di bawah 10%. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.1.


(54)

30

Tabel 4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Penetapan kadar air dilakukan untuk mengetahui besarnya kandungan air yang terdapat di dalam simplisia. Penetapan kadar sari yang larut dalam air menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut air, seperti glikosida, gula, protein, enzim dan zat warna, sedangkan penetapan kadar sari yang larut dalam etanol menyatakan jumlah zat yang tersari dalam pelarut etanol, seperti glikosida, steroid, flavonoid, saponin, tanin (Depkes, 1995). Penetapan kadar abu total menyatakan jumlah kandungan senyawa anorganik dalam simplisia, misalnya Mg, Ca, Na, Zn dan K. Kadar abu tidak larut dalam asam untuk mengetahui kadar senyawa anorganik yang tidak larut dalam asam, misalnya silikat. Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang dapat dilihat pada Lampiran 9, halaman 55.

4.3 Hasil Skrining Fitokimia

Hasil skrining fitokimia terhadap serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang diperoleh keduanya mengandung flavonoid, glikosida dan pektin. Hasil dapat dilihat pada Tabel 4.2.

No Karakteristik

Hasil Uji (%) Serbuk Ekstrak

Persyaratan menurut MMI

(1995)

1 Kadar air 5,31 9,31 ≤ 10

2 Kadar sari yang larut air 9,95 - -

3 Kadar sari yang larut dalam etanol 7,65 - -

4 Kadar abu total 5,76 5,15 -


(55)

31

Tabel 4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang

Keterangan: (+) Positif : mengandung golongan senyawa (−) Negatif : tidak mengandung golongan senyawa

Flavonoid dengan penambahan serbuk magnesium (Mg) dan asam klorida pekat menghasilkan larutan berwarna kuning pada lapisan amil alkohol (Farnsworth, 1966), sedangkan glikosida dengan penambahan pereaksi Molish dan asam sulfat pekat membentuk cincin ungu (Depkes, 1995). Pemeriksaan pektin dilakukan dengan cara ekstraksi pada suhu 95°C selama 40 menit, menggunakan air suling yang telah diasamkan dengan asam klorida 1 N. suhu yang tinggi akan membantu difusi pelarut ke dalam jaringan tanaman dan dapat meningkatkan aktivitas pelarut dalam menghidrolisis pectin yang terdapat di dalam dinding sel tanaman. Fungsi asam klorida untuk memutuskan ikatan antara asam pektinat dengan selulosa, menghidrolisa protopektin menjadi molekul yang lebih kecil dan menghidrolisa gugus metil ester pektin. Proses pengendapan dengan etanol mengakibatkan stabilitas koloidal pektin terganggu, sehingga pektin menjadi terkoagulasi (Hariyati, 2006).

4.4 Pengujian Efek Antidiare

Pengujian efek antidiare dari suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP)

No. Golongan senyawa Hasil

Simplisia Ekstrak 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Alkaloid Flavonoid Tanin Steroid/Triterpenoid Saponin Glikosida Pektin - + - - - + + - + - - - + +


(56)

32

diawali dengan melakukan orientasi dosis. Dosis yang digunakan, yaitu 25, 50, 75, 100, 125 dan 150 mg/kg bb. Dosis 25, 50, 75 dan 100 mg/kg bb digunakan dalam penelitian karena menunjukkan efek antidiare, sedangkan dosis 125 dan 150 mg/kg juga menunjukkan efek antidiare, namun efek yang dihasilkan lebih kuat dibandingkan dengan loperamid HCl 1 mg/kg bb, sehingga tidak digunakan dalam penelitian. Hasil orientasi dapat dilihat pada Lampiran 17, halaman 69.

Tikus dipuasakan 18 jam sebelum penelitian, kemudian ditimbang dan ditandai. Tikus diberikan oleum ricini sebanyak 2 ml/200 g bb tikus. Satu jam setelah pemberian oleum ricini, masing-masing kelompok diberi perlakuan, yaitu kelompok kontrol negatif diberikan suspensi CMC dosis 1% b/v, kelompok kontrol positif diberikan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok bahan uji diberikan suspensi EESP yang masing-masing terdiri dari empat dosis, yaitu 25, 50, 75, 100 mg/kg bb. Penentuan efek antidiare dari ekstrak etanol sabut pinang dilakukan dengan cara mengamati saat mulai terjadinya diare, konsistensi feses, frekuensi diare dan lama terjadinya diare.

4.4.1 Penentuan saat mulai terjadinya diare

Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare dapat dilihat pada Tabel 4.3. Tabel 4.3 Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Kel Perlakuan Saat mulai terjadinya diare

(menit ke-)±SD

1 OR + CMC 1% b/v 56,8±2,28

2 OR + Loperamid HCl 1 mg/kg bb 107,8±11,17

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 82,4±2,51

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 91,8±2,95

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 114,0±9,11


(57)

33

Gambar 4.1 Grafik saat mulai terjadinya diare

Tabel 4.3 dan Gambar 4.1 memperlihatkan bahwa pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb menyebabkan perubahan waktu yang sangat berarti, yaitu pada menit ke-107,8, dimana waktu mulai terjadinya diare lebih lama dibandingkan dengan EESP dosis 25 mg/kg bb (82,4 menit) dan 50 mg/kgbb (91,8 menit), lebih cepat daripada dosis 75 mg/kg bb (114 menit) dan 100 mg/kg bb (127,2 menit). Hasil pengamatan saat mulai terjadinya diare dapat dilihat pada Lampiran 18, halaman 70. Berdasarkan uji statistik anova kemudian dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan, suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb berbeda secara signifikan dari semua dosis yang diuji. Dosis yang tidak berbeda secara signifikan adalah dosis 25 mg/kg bb dengan dosis 50 mg/kg bb, serta dosis 75 mg/kg bb tidak berbeda secara signifikan dengan dosis loperamid 1 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 78. 56,8 107,8 82,4 91,8 114 127,2 0 20 40 60 80 100 120 140

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid HCl 1 mg/kg

bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb Wak tu mu lai te r jad in ya d iar e (me n it) Perlakuan


(58)

34

Pengujian efek antidiare dilakukan dengan metode defekasi. Metode ini telah dilakukan oleh Enda (2010) dan Sugiarto (2008), namun perlakuannya berbeda pada penelitian ini. Oleum ricini diberikan terlebih dahulu kemudian satu jam setelah pemberian oleum ricini, diberikan suspensi yang akan diuji. Sampel uji dinyatakan memiliki aktivitas antidiare, jika waktu mulai terjadi diare yang diperoleh lebih lama daripada kontrol negatif dan semakin cepat terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah.

4.4.2 Penentuan konsistensi feses (diameter serapan air dan berat feses) Penentuan konsistensi feses dilakukan dengan cara melihat bentuk feses yang terjadi, dapat dikategorikan ke dalam kelompok, yaitu konsistensi feses berlendir (BL) dengan diameter serapan air lebih besar dari 2 cm, konsistensi feses lembek (L) dengan diameter serapan air antara 1-2 cm dan konsistensi feses normal (N) dengan diameter serapan air lebih kecil dari 1 cm. Pengamatan terhadap waktu terjadinya dan berat feses (BF) yang terbentuk juga diamati.

Hasil data konsistensi feses dan waktu defekasi yang diperoleh dapat dilihat pada Tabel 4.4, Tabel 4.5 dan Tabel 4.6.

Tabel 4.4 Hasil analisis data konsistensi feses (diameter serapan air)

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

No Kelompok

(mg/kg bb)

Diameter serapan air berlendir

(cm) ± SD

lembek (cm) ± SD

Normal (cm) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 3,88±0,19 1,66±0,21 0,36±0,05 2 OR + Loperamid HCL 1 2,38±0,11 1,26±0,05 0,20±0,00 3 OR + EESP 25 3,42±0,13 1,48±0,16 0,26±0,05 4 OR + EESP 50 3,28±0,13 1,46±0,11 0,24±0,05 5 OR + EESP 75 2,36±0,11 1,28±0,08 0,20±0,10 6 OR + EESP 100 2,12±0,04 1,24±0,05 0,18±0,04


(59)

35

Gambar 4.2 Grafik diameter serapan air

Tabel 4.5 Hasil analisis data konsistensi feses (berat feses)

Keterangan: OR : oleum ricini EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Gambar 4.3 Grafik berat feses 0 0,5 1 1,5 2 2,5 3 3,5 4 OR + CMC 1% bb OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb OR + EESP 25 mg/kg bb OR + EESP 50 mg/kg bb OR + EESP 75 mg/kg bb OR + EESP 100 mg/kg bb 3,88 2,38 3,42 3,28 2,36 2,12 1,66

1,26 1,48 1,46 1,28 1,24

0,36 0,2 0,26 0,24 0,2 0,18

D iamt er serap an air (cm ) Berlendir Lembek Normal 0 0,51 1,52 2,53 3,54 OR + CMC 1% bb OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb OR + EESP 25 mg/kg bb OR + EESP 50 mg/kg bb OR + EESP 75 mg/kg bb OR + EESP 100 mg/kg bb 3,83 2,29 3,41 3,27 2,36 2,12 1,6

1,19 1,47 1,36 1,2 1,18

0,3 0,16 0,23 0,22 0,17 0,15

B erat f eses (g) Berlendir Lembek Normal

No Kelompok

(mg/kg bb)

Berat feses berlendir

(g) ± SD

lembek (g) ± SD

Normal (g) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 3,83±0,18 1,60±0,18 0,30±0,06 2 OR + Loperamid HCL 1 2,29±0,10 1,19±0,06 0,16±0,03 3 OR + EESP 25 3,41±0,13 1,47±0,15 0,23±0,05 4 OR + EESP 50 3,27±0,11 1,36±0,09 0,22±0,03 5 OR + EESP 75 2,36±0,11 1,20±0,05 0,17±0,03 6 OR + EESP 100 2,12±0,04 1,18±0,03 0,15±0,01

Perlakuan


(60)

36 Tabel 4.6 Hasil analisis data waktu defekasi

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Tabel 4.4 dan Gambar 4.2, Tabel 4.5 dan Gambar 4.3, serta Tabel 4.6 memperlihatkan hubungan antara dosis dengan konsistensi feses. Kelompok kontrol negatif, yaitu suspensi CMC Na 1% b/v terjadinya BL pada menit ke-56,8 dengan BF 3,83 g, L pada menit 217,6 dengan BF 1,60 g dan N pada menit ke-339,4 dengan BF 0,30 g.

Kelompok kontrol positif, yaitu suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-107,8 dengan BF 2,29 g, L pada menit ke-126,8 dengan BF 1,19 g dan N pada menit ke-232,2 dengan BF 0,16 g.

Kelompok bahan uji, yaitu suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-82,4 dengan BF 3,41 g, L pada menit ke-213,4 dengan BF 1,47 dan N pada menit ke-273,4 dengan BF 0,23 g; dosis 50 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-91,8 dengan BF 3,27 g, L pada menit ke-197,8 dengan BF 1,36 dan N pada menit ke-267,8 dengan BF 0,22 g; dosis 75 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-114 dengan BF 2,36 g, L pada menit ke-128,6 dengan BF 1,20 dan N pada menit ke-229,4 dengan BF 0,17 g; dan dosis 100 mg/kg bb terjadinya BL pada menit ke-127,2 dengan BF 2,12 g, L pada menit ke-158,6 dengan BF 1,18

No Kelompok

(mg/kg bb)

Waktu defekasi berlendir

(g) ± SD

lembek (g) ± SD

Normal (g) ± SD 1 OR + CMC 1% b/v 56,8±2,28 217,6±17,42 339,4±14,42 2 OR + Loperamid HCL 1 107,8±11,7 128,6±3,27 232,2±11,61 3 OR + EESP 25 82,4±2,51 213,4±2,51 273,4±2,51 4 OR + EESP 50 91,8±2,95 197,8±2,95 267,8±2,95 5 OR + EESP 75 114,0±9,11 128,6±2,19 229,4±22,06 6 OR + EESP 100 127,2±10,11 158,6±8,76 202,8±8,49


(61)

37

dan N pada menit ke-202,8 dengan BF 0,15. Hubungan antara dosis, waktu defekasi dan konsistensi feses dapat dilihat pada Lampiran 19, halaman 71.

Berdasarkan uji anova kemudian dilanjutkan dengan uji beda rata-rata Duncan diperoleh konsistensi feses dengan pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menunjukkan perbedaan secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb dengan suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb, tidak memberikan perbedaan secara signifikan, begitu juga dengan kelompok suspensi EESP dosis 25 dengan 50 mg/kg bb tidak berbeda secara signifikan. Kelompok suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb memberikan perbedaan secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 78.

Penentuan konsistensi feses yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin cepat terbentuknya konsistensi feses yang berlendir/berair, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah dan semakin cepat terjadinya perubahan konsistensi kearah normal, maka aktivitas antidiare semakin kuat.

4.4.3 Penentuan frekuensi diare

Hasil analisis data frekuensi diare dapat dilihat pada Tabel 4.7. Tabel 4.7 Hasil analisis data frekuensi diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

No Kelompok frekuensi ± SD

1 OR + CMC 1% b/v 7,00±0,00

2 OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb 2,80±0,45

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 5,00±0,70

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 4,40±0,55

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 3,20±0,84


(62)

38

Gambar 4.4 Grafik frekuensi diare

Tabel 4.7 dan Gambar 4.4 memperlihatkan bahwa kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menunjukkan lebih banyak terjadinya diare, yaitu

sebanyak 7 kali, daripada kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb (2,8 kali diare), kelompok suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb (5 kali diare), dosis 50 mg/kg bb (4,4 kali diare), dosis 75 mg/kg bb (3,2 kali diare) dan dosis 100 mg/kg bb (2,4 kali diare). Hasil pengamatan frekuensi diare dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 72.

Berdasarkan hasil analisis statistik anova dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan, menunjukkan hasil kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v berbeda secara signifikan terhadap masing-masing kelompok. Efek yang tidak berbeda secara signifikan dihasilkan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb dengan suspensi EESP dosis 75 dan 100 mg/kg bb, juga kelompok pemberian suspensi EESP dosis 25 dengan 50 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 81.

7 2,8 5 4,4 3,2 2,4 0 1 2 3 4 5 6 7 8

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid HCL 1 mg/kg

bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb

Ju m lah di ar e Perlakuan


(63)

39

Penentuan frekuensi diare yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin banyak terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin lemah, begitu juga sebaliknya semakin sedikit terjadinya diare, maka aktivitas antidiare akan semakin kuat.

4.4.4 Penentuan lama terjadinya diare

Hasil analisis data lama terjadinya diare dapat dilihat pada Tabel 4.8. Tabel 4.8 Hasil analisis data lama terjadinya diare

Keterangan: OR : oleum ricini

EESP : ekstrak etanol sabut pinang

Gambar 4.5 Grafik lama terjadinya diare 282,6 124,4 191 176 125,4 75,6 0 50 100 150 200 250 300

OR + CMC 1% bb

OR + Loperamid

HCL 1 mg/kg bb

OR + EESP 25 mg/kg bb

OR + EESP 50 mg/kg bb

OR + EESP 75 mg/kg bb

OR + EESP 100 mg/kg bb Wa kt u la m a t e r ja diny a dia r e (m e n it)

No Kelompok Lama terjadi diare (menit) ± SD

1 OR + CMC 1% b/v 282,60±14,48

2 OR + Loperamid HCL 1 mg/kg bb 124,40±2,88

3 OR + EESP 25 mg/kg bb 191,00±0,00

4 OR + EESP 50 mg/kg bb 176,00±0,00

5 OR + EESP 75 mg/kg bb 125,40±9,29


(64)

40

Tabel 4.8 dan Gambar 4.5 memperlihatkan bahwa pemberian suspensi CMC Na 1% b/v menghasilkan waktu lama terjadinya diare paling lama, yaitu pada menit 282,6 . Pemberian suspensi loperamid HCl, yaitu pada menit ke-124,4. Pemberian suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb memiliki waktu lama terjadinya diare tersingkat, yaitu pada menit ke-121,8 daripada pemberian suspensi EESP dosis 25 mg/kg bb (191 menit), dosis 50 mg/kg bb (176 menit) dan dosis 75 mg/kg bb (125,4 menit). Hasil pengamatan dapat dilihat pada Lampiran 20, halaman 72.

Berdasarkan uji statistik anova kemudian dilanjutkan uji beda rata-rata Duncan menunjukkan bahwa lama terjadinya diare pada kelompok pemberian suspensi CMC Na 1% b/v berbeda secara signifikan dari masing-masing kelompok yang diuji, begitu juga dengan EESP dosis 25, 50 dan 100 mg/kg bb yang berbeda secara signifikan. Dosis yang tidak menunjukkan perbedaan secara signifikan adalah kelompok pemberian suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb. Hasil analisis uji beda rata-rata Duncan dapat dilihat pada Lampiran 23, halaman 81. Penentuan lama terjadinya diare yang dilakukan menunjukkan bahwa semakin lamanya terjadinya diare, maka semakin lemah aktivitas antidiare yang dihasilkan.

Parameter yang telah diamati, dapat dikategorikan berdasarkan tingkat aktivitasnya dalam menekan diare sebagai berikut:

1. Lemah, bila aktivitas antidiare diatas aktivitas kelompok kontrol dan dibawah aktivitas kelompok pembanding.

2. Sebanding, bila aktivitas antidiare sama dengan aktivitas kelompok pembanding.


(65)

41

3. Kuat, bila aktivitas antidiare diatas aktivitas kelompok pembanding.

Kategori aktivitas antidiare dari masing-masing kelompok bahan uji dapat dikategorikan sebagai berikut: kelompok pemberian suspensi EESP dosis 25 dan 50 mg/kg bb mempunyai aktivitas antidiare yang lemah bila dibandingkan dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl 1 mg/kg bb. Kelompok pemberian suspensi EESP dosis 75 mg/kg bb mempunyai aktivitas yang sebanding atau sama dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb dan kelompok pemberian suspensi EESP dosis 100 mg/kg bb mempunyai aktivitas yang kuat dalam menekan diare dibandingkan dengan kelompok pemberian suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb.

Ekstrak etanol sabut pinang mengandung senyawa pektin dan flavonoid. Pektin seperti diketahui dapat membentuk gumpalan seperti gel saat berikatan dengan cairan, sehingga mengakibatkan feses yang terbentuk menjadi lebih padat. Pektin juga oleh flora normal di usus membentuk suatu lapisan pelindung yang melindungi usus dari iritasi. Pektin seperti flavonoid dapat menghambat motilitas usus. Percobaan secara in vitro dan in vivo telah menunjukkan bahwa flavonoid dapat menghambat respon sekresi usus yang disebabkan oleh prostaglandin E2

(Meite, dkk., 2009), pada kondisi diare prostaglandin E2 menyebabkan

hipersekresi dan bertumpuknya cairan di usus akibat resorpsi air dan elektrolit yang terganggu, sehingga meningkatkan motilitas usus dan cairan yang dikeluarkan terlalu banyak, serta menambah frekuensi defekasi (Farokh, 2011). Flavonoid biasanya menghambat diare yang disebabkan oleh oleum ricini (Ahmadu, dkk., 2007). Adanya kedua senyawa ini menyebabkan efek yang sinergisme dalam menangani diare.


(1)

x

3.3.2 Identifikasi bahan tumbuhan ... 19

3.3.3 Pengolahan bahan tumbuhan ... 19

3.4 Pemeriksaan Karakteristik Simplisia ... 19

3.4.1 Pemeriksaan makroskopik ... 19

3.4.2 Penetapan kadar air ... 19

3.4.3 Penetapan kadar sari larut air ... 20

3.4.4 Penetapan kadar sari larut etanol ... 21

3.4.5 Penetapan kadar abu total ... 21

3.4.6 Penetapan kadar abu tidak larut asam ... 22

3.5 Skrining Fitokimia ... 22

3.5.1 Pemeriksaan alkaloid ... 22

3.5.2 Pemeriksaan flavonoid ... 23

3.5.3 Pemeriksaan glikosida ... 23

3.5.4 Pemeriksaan saponin ... 24

3.5.5 Pemeriksaan tanin ... 24

3.5.6 Pemeriksaan steroid/triterpenoid ... 24

3.5.7 Pemeriksaan Pektin ... 24

3.6 Pembuatan Ekstrak Etanol Sabut Pinang (EESP) ... 25

3.7 Percobaan Efek Antidiare ... 25

3.7.1 Penyiapan hewan percobaan ... 25

3.7.2 Penyiapan bahan ... 26

3.7.2.1 Pembuatan suspensi CMC Na 1% b/v ... 26

3.7.2.2 Pembuatan suspensi loperamid HCl dosis 1 mg/kg bb ... 26


(2)

xi

3.7.2.3 Pembuatan suspensi ESSP konsentrasi 0,75%;

1,5%; 2,25%; 3% b/v ... 27

3.7.3 Pengujian efek antidiare ... 27

3.8 Analisis Data ... 28

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 29

4.1 Hasil Identifikasi Sampel ... 29

4.2 Hasil Karakterisasi ... 29

4.2.1 Pemeriksaan makroskopik ... 29

4.2.2 Pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang ... 29

4.3 Hasil Skrining Fitokimia ... 30

4.4 Pengujian Efek Antidiare ... 31

4.4.1 Penentuan saat mulai terjadinya diare ... 32

4.4.2 Penentuan konsistensi feses ... 34

4.4.3 Penentuan frekuensi diare ... 37

4.4.4 Penentuan lama terjadinya diare ... 39

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 42

5.1 Kesimpulan ... 42

5.2 Saran ... 42

DAFTAR PUSTAKA ... 43


(3)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel Halaman

4.1 Hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan ekstrak

etanol sabut pinang ... 30

4.2 Hasil skrining fitokimia serbuk simplisia dan ekstrak etanol sabut pinang ... 31

4.3 Hasil analisis data saat mulai terjadinya diare ... 32

4.4 Hasil analisis data konsistensi feses (diameter serapan air) ... 34

4.5 Hasil analisis data konsistensi feses (berat feses) ... 35

4.6 Hasil analisis data waktu defekasi ... 36

4.7 Hasil analisis data frekuensi diare ... 37


(4)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar Halaman

1.1 Kerangka pikir penelitian ... 4

4.1 Grafik saat mulai terjadinya diare ... 33

4.2 Grafik diameter serapan air ... 35

4.3 Grafik berat feses ... 35

4.4 Grafik frekuensi diare ... 38


(5)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran Halaman

1 Hasil identifikasi sampel ... 47

2 Surat ethical clearance ... 48

3 Gambar tumbuhan dan buah pinang (Areca catechu L.) ... 49

4 Gambar sabut pinang (Areca catechu L.) ... 50

5 Gambar serbuk simplisia sabut pinang (Areca catechu L.) ... 51

6 Gambar makroskopik sabut pinang (Areca catechu L.) ... 52

7 Bagan kerja penelitian ... 53

8 Bagan kerja pembuatan ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 54

9 Perhitungan hasil pemeriksaan karakteristik serbuk simplisia dan esktrak etanol sabut pinang (Areca catechu L.) ... 55

10 Volume maksimum larutan sediaan uji yang dapat diberikan pada hewan uji ... 59

11 Tabel konversi dosis antara jenis hewan dengan manusia ... 60

12 Perhitungan konversi dosis loperamid HCl dan ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 61

13 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi CMC Na 1% b/v ... 62

14 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi loperamid HCl (Imodium®) ... 63

15 Perhitungan dosis dan volume pemberian suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 65

16 Gambar tikus dan konsistensi feses ... 68

17 Hasil orientasi dosis bahan uji mengenai saat mulai terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 69


(6)

xv

18 Hasil pengamatan mengenai saat mulai terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan

suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 70

19 Hasil pengamatan mengenai hubungan antara dosis, waktu defekasi dan konsistensi feses pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 71

20 Hasil pengamatan mengenai frekuensi diare dan lama terjadinya diare pada tikus yang telah diinduksi oleum ricini setelah pemberian suspensi CMC Na 1% b/v, suspensi loperamid HCl dan suspensi ekstrak etanol sabut pinang (EESP) ... 72

21 Hasil deskriptif data ... 73

22 Hasil analisis statistik anova ... 77