Obligasi syariah (sukuk) dan indikator makroekonomi Indonesia : sebuah analisis vector error correction models (VECM)

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk beragama Islam terbesar di dunia. Potensi ini seharusnya bisa menjadi pasar yang besar bagi industri perbankan ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, termasuk di dalamnya pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya karena istrumen profit bunganya yang dapat menimbulkan cost yang lebih tinggi juga seharusnya menambah minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke industri keuangan yang bersifat syariah dengan instrumen profit-loss sharing yang menimbulkan cost yang relatif lebih rendah. Keuangan yang bersifat syariah juga menerapkan prinsip-prinsip yang adil dan melarang terhadap praktik yang mengandung riba, gharar dan maysir sehingga lebih jelas kehalalannya bagi penduduk muslim.

Salah satu industri keuangan yang bersifat syariah yang sudah berkembang cukup lama yaitu industri pasar modal syariah. Pasar modal syariah merupakan pasar modal yang menerapkan prinsip-prinsip islami dalam setiap kegiatan dan sistemnya yang sesuai dengan yang ditetapkan oleh DSN-MUI.1 Peran pasar modal syariah sebagai lembaga intermediasi dalam perekonomian suatu negarapun tidak dapat diabaikan.

1

Lihat Fatwa Dewan Syariah Nasional Nomor: 40/DSN-MUI/X/2003 Tentang Pasar Modal Dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal.


(2)

Melalui pasar modal syariah, masyarakat dapat berpartisipasi dalam kegiatan bisnis dengan memperoleh bagian keuntungan dan risikonya. Selain itu, dengan adanya pasar modal syariah dapat memberikan alternatif instrumen investasi halal yang lebih beragam untuk masyarakat. Untuk pihak yang memerlukan dana dapat menerbitkan sekuritas sesuai kebutuhannya dengan waktu pengembalian yang relatif lama dan menghindari fluktuasi jangka pendek yang terdapat pada pasar modal konvensional.

Dalam perkembangannya, pasar modal syariah telah mengalami banyak kemajuan. Salah satunya dengan diterbitkannya enam fatwa Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI) yang berkaitan dengan industri pasar modal. Keenam fatwa tersebut yaitu :

1. No. 05/ DSN-MUI/ IV/ 2000 tentang Jual Beli Saham

2. No. 20/ DSN-MUI/ IX/ 2000 tentang Pedoman Pelaksanaan Investasi untuk Reksa Dana Syariah

3. No. 32/ DSN-MUI/ IX/ 2002 tentang Obligasi Syariah

4. No. 33/ DSN-MUI/ IX/ 2002 tentang Obligasi Syariah Mudharabah

5. No. 40/ DSN-MUI/ IX/ 2003 tentang Pasar Modal dan Pedoman Umum Penerapan Prinsip Syariah di Bidang Pasar Modal

6. No. 41/ DSN-MUI/ III/ 2004 tentang Obligasi Syariah Ijarah.

Selain itu, telah diterbitkan pula paket peraturan Bapepam-LK terkait Pasar Modal Syariah, yaitu peraturan tentang Penerbitan Efek Syariah dan Akad-akad yang digunakan dalam Penerbitan Efek Syariah di Pasar Modal, serta tentang Kriteria dan Penerbitan Daftar Efek Syariah. Dengan dikeluarkannya fatwa dan peraturan-peraturan tersebut, diharapkan dapat merangsang masyarakat untuk lebih aktif


(3)

berpartisipasi dalam kegiatan yang terjadi di pasar modal karena keragaman instrumen investasi yang halal.2

Di Indonesia, sejarah industri ini dimulai dengan diterbitkannya Reksa Dana Syariah oleh PT Danareksa Investment Management pada 3 Juli 1997. Tak lama setelah itu, tepatnya pada tanggal 3 Juli 2000 diterbitkan pula Jakarta Islamic Index (JII). Dari sisi institusional, sejarah pasar modal ini ditandai dengan ditandatanganinya nota kesepahaman antara Bappepam LK dan DSN-MUI pada tanggal 14 Maret 2003 (Bappepam-LK, 2011). Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).

Istilah sukuk sendiri berasal dari bahasa Arab “Sakk” yang berarti sertifikat. Secara terminologi, sukuk berarti surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah, yang dikeluarka emiten kepada pemegang obligasi syariah (sukuk), yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil/margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo (Fatwa DSN MUI). Menurut sumber yang menerbitkan, sukuk terbagi menjadi dua jenis, yaitu sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan sukuk yang diterbitkan oleh negara yang lebih dikenal Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk global.

Manfaat yang diperoleh dari penerbitan sukuk yaitu untuk mendorong perkembangan industri pasar modal syariah, sebagai diversifikasi sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur bagi negara dan perluasan usaha bagi 2


(4)

korporasi serta sebagai diversifikasi berbasis investor. Selain itu, sukuk juga sangat berperan dalam pertumbuhan sektor ril. Sukuk juga memiliki kelebihan yang unik jika dibandingkan produk investasi yang ada di pasar modal, yaitu risiko yang rendah atau relatif lebih aman karena memiliki underlying asset3.

Tabel 1.1. Jumlah Total Nilai Emisi Sukuk Indonesia 2002 - 2011

Tahun Sukuk Korporasi Sukuk Global

(SBSN) Total Nilai Emisi Sukuk Total Nilai (Rp Milyar) Total Jumlah Emiten Total Nilai (Rp Milyar) Korporasi dan Negara (Rp Milyar)

2002 175,0 1 - 175,0

2003 740,0 6 - 740,0

2004 1394,0 13 - 1394,0

2005 1979,4 16 - 1979,4

2006 2179,4 17 - 2179,4

2007 3204,4 21 - 3204,4

2008 5498,4 29 4699,7 10198,1

2009 7015,4 43 14218,9 21234,3

2010 7815,4 47 38500,0 46315,4

2011 7915,4 48 62771,0 70686,4

Sumber : Bappepam-LK dan Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (2012), diolah

Penerbitan sukuk yang pertama kali dilakukan oleh PT Indosat TBK pada Oktober 2002 merupakan sukuk korporasi dengan akad mudharabah dengan nilai nominal 175 miliar rupiah. Untuk sukuk global sendiri, pertama kali diterbitkan oleh pemerintah melalui tiga agen, yaitu PT Mandiri Sekuritas, PT Trimegah Securities dan PT Danareksa Sekuritas pada Agustus 2008 dengan akad ijarah dengan nilai nominal 4.699,7 miliar rupiah.

3

Underlying asset merupakan aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dapat berupa Barang Milik Negara/ barang milik perusahaan atau objek pembiayaan sukuk.


(5)

Terhitung sampai Desember 2011, total emisi sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan negara mencapai nilai masing-masing 7.915,4 miliar rupiah dan 6.2771 milyar rupiah. Sebagaimana ditunjukkan oleh tabel 1.1 di atas.

Dari gambar 1.1 di bawah dapat dilihat perkembangan sukuk mengalami tren yang meningkat. Hal ini dikarenakan sejak awal diterbitkannya pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2011 penerbitan sukuk selalu mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Terlebih ketika diterbitkannya sukuk global (SBSN) pada tahun 2008. Pada awal penerbitan sukuk pada tahun 2002, jumlah total emiten dan jumlah nilai emisi sukuk hanya 1 dengan total nilai 175 miliar. Sampai tahun 2011, total emiten sukuk korporasi berjumlah 48 dengan nilai emisi total 70.686,4 milyar rupiah. Pertumbuhan terkecil terjadi pada tahun 2011 sebesar 2 persen untuk emiten sukuk korporasi dan pada tahun 2006 sebesar 10,10 persen untuk total nilai emisi sukuk. Sukuk yang telah dilunasi per 30 Desember 2011 sebesar 2.039,4 milyar rupiah. Hal ini tentu mencerminkan potensi penerbitan sukuk yang sangat besar.

Sumber : Bappepam-LK dan Direktorat Jendral Pengelolaan Utang (2012), diolah

Gambar 1.1. Grafik Perkembangan Penerbitan Sukuk di Indonesia (2002-2011) 0 10000 20000 30000 40000 50000 60000 70000 80000

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

to tal n il ai e m isi su ku k (M il y ar R u p iah

) total nilai emisi

sukuk korporasi total nilai emisi sukuk negara total nilai emisi sukuk


(6)

Dari awal penerbitannya sampai Mei 2011, tipe emiten sukuk korporasi didominasi emiten infrastruktur, utility dan transportasi sebanyak 25 persen. Sisanya adalah emiten jasa keuangan 18 persen, emiten perdagangan, jasa, dan investasi masing-masing 14 persen, emiten industri kimia dasar, dan pertanian masing-masing 11 persen, lalu emiten pertambangan, industri dan barang konsumsi masing-masing tiga persen (Republika.co.id, 2011).

Para investor sukuk mayoritas berasal dari lembaga keuangan yang ada di Indonesia. Masing-masing memiliki porsi tersendiri dari yang paling besar hingga yang paling kecil porsinya, yaitu asuransi konvensional sebesar 29 persen, bank syariah sebesar 27 persen, dana pensiun konvensional 12 persen, perusahan sekuritas sembilan persen, asuransi syariah lima persen, bank konvensional dan reksadana syariah masing-masing empat persen, reksadana konvensional dan dana pensiun syariah masing-masing 1 persen dan 0,1 persen (Republika.co.id, 2011).

Penerbitan sukuk yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun korporasi beberapa kali mengalami oversubscribe. Seperti yang terjadi pada penerbitan sukuk negara seri IFR 0001 dan IFR 0002 yang mengalami oversubscribe 1,6 kali dimana total pemintaan mencapai 8,07 triliun rupiah dari target indikatif sebesar lima trilliun rupiah. Porsi permintaan dari investor domestik cukup tinggi yakni kurang lebih 7,1 triliun rupiah atau 88 persen dari total permintaan. Hal ini mengindikasikan minat dan kepercayaan pasar serta permintaan terhadap sukuk di Indonesia relatif tinggi. (backup.majalahekonomisyariah.com).

Dari potensi yang besar ini pemerintah seharusnya bisa memanfaatkan dengan sebaik mungkin untuk mengatasi permasalah ekonomi makro yang ada di Indonesia


(7)

saat ini, seperti pengangguran, inflasi, jumlah uang beredar yang terlalu banyak, dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.

Pengangguran selalu menjadi masalah utama bagi negara berkembang, seperti yang terjadi di Indonesia. Sedikitnya lapangan pekerjaan disebabkan oleh kelangkaan investasi yang ada di Indonesia. Inflasi merupakan indikator pergerakan harga barang dan jasa yang juga berkaitan dengan kemampuan daya beli. Inflasi akan menjadi masalah jika kenaikan harga barang-barang dan jasa tidak diikuti oleh kenaikan upah ril. Pertumbuhan ekonomi sendiri dapat dikatagorikan baik jika mengalami pertumbuhan yang positif.

Pada tahun 2010, jumlah pengangguran terbuka Indonesia sampai bulan Agustus mencapai angka 8,32 juta jiwa (BPS, 2012) dengan penurunan tingkat pengangguran sebesar 7,17 persen dibanding Agustus 2010 (year-on-year) dan untuk tingkat inflasi berada pada angka 6,96 persen. Seperti yang terlihat pada tabel 1.2 berikut ini.

Tabel 1.2. Indikator Makroekonomi Indonesia dalam Angka Tahun 2006-2010 Indikator Makroekonomi 2006 2007 2008 2009 2010

Tingkat Pertumbuhan Ekonomi (%)

6 6 5 5 7

Tingkat Inflasi (%) 6 6 11 3 7

Tingkat Pengangguran Terbuka (%)

-13 6 6 -5 -7

Tingkat Jumlah Uang Beredar Luas (%)

15 19 15 13 15

Bonus SBIS (%) 8 7 10 6 6


(8)

Dari tabel di atas dapat dilihat bahwa sejak tahun 2006 pertumbuhan ekonomi, laju pengangguran, inflasi, jumlah uang beredar, dan bonus SBIS di Indonesia mengalami fluktuasi setiap tahunnya. Laju pengangguran dan bonus SBIS mengalami tren yang menurun pada tahun 2009 dan 2010. Pertumbuhan ekonomi sempat menurun, tingkat inflasi dan tingkat jumlah uang beredar yang mengalami peningkatan pada tahun 2007 dan 2008 akibat adanya krisis subprime mortage di Amerika yang juga menjadi krisis keuangan dunia. Mulai tahun 2009 ketiga indikator makroekonomi tersebut mengalami perbaikan. tingkat inflasi terkendali di angka 3 persen dan jumlah uang beredar di angka 13 persen walau pertumbuhan ekonomi masih berada di angka 5 persen. Pada tahun 2010 pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 7 persen. Hal ini menandakan Indonesia merupakan negara yang mampu bangkit setelah dilanda krisis.

Kestabilan kondisi makroekonomi Indonesia sangat mutlak diperlukan bagi perkembangan pasar modal di Indonesia umumnya dan penerbitan sukuk khususnya. Hal ini akan memengaruhi kondisi pasar uang yang terdapat di Indonesia. Pasar uang yang kondusif akan memengaruhi keputusan penerbitan sukuk yang dilakukan baik oleh pemerintah maupun oleh korporasi.

Oleh sebab itu, penulis bermaksud mengadakan penelitian mengenai hubungan penerbitan sukuk dengan indikator makroekonomi di Indonesia, dalam hal ini inflasi, pengangguran, jumlah uang beredar, pertumbuhan ekonomi, dan bonus SBIS. Penulis juga berharap dengan adanya penerbitan sukuk ini dapat mengatasi permasalahan makroekonomi yang terjadi di Indonesia, yaitu tingkat pengangguran


(9)

dan tingkat inflasi yang tinggi, jumlah uang beredar yang terlalu banyak, dan pertumbuhan ekonomi yang negatif.

1.2. Perumusan Masalah

Sukuk merupakan salah satu instrumen investasi syariah bagi masyarakat dengan risiko yang kecil dan sebagai instrumen penghimpun dana bagi para korporasi serta pemerintah untuk membiayai segala proyek pembangunannya. Perkembangannya pun sangat luar biasa. Pertama kali diterbitkan dengan total nilai emisi 175 milyar hingga sampai Desember 2011 mampu menghasilkan total nilai emisi sebanyak 70.686 milyar rupiah. Total nilai emisi sukuk yang telah dilunasi sebanyak 2.039,4 milyar rupiah sedangkan yang masih beredar di masyarakat sebanyak 68.647 milyar rupiah. Potensi ini seharusnya bisa dimanfaatkan oleh pemerintah untuk mengurangi masalah makroekonomi Indonesia, yaitu inflasi, dan pengangguran. Sukuk juga diharapkan dapat berkontribusi dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia dan pengendalian jumlah uang beredar. Penerbitan sukuk di Indonesia juga tidak terlepas dari kondisi makroekonomi yang ada di negara ini. Ketika kondisi makroekonomi stabil maka hal ini akan memengaruhi keputusan para emiten untuk menerbitkan sukuk. Namun pada kenyataanya, porsi penerbitan sukuk sampai bulan September 2011 hanya sebesar 9,52 persen jauh di bawah obligasi konvensional yang sebesar 90,48 persen. Sehingga penulis merasa perlu untuk meneliti hubungan penerbitan sukuk dan indikator makroekonomi. Pada akhirnya rumusan masalah pada penelitian penulis adalah :


(10)

1. Faktor makroekonomi apa saja yang mempengaruhi penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) di Indonesia?

2. Bagaimana pengaruh penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) terhadap indikator makroekonomi di Indonesia, dalam hal ini inflasi, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar?

3. Bagaimana implikasi kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait hubungan penerbitan sukuk dan indikator makroekonomi Indonesia?

1.3. Tujuan Penelitian

1. Menganalisis faktor-faktor makroekonomi yang mempengaruhi penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) di Indonesia.

2. Menganalisis pengaruh penerbitan Obligasi Syariah (sukuk) terhadap indikator makroekonomi di Indonesia, yaitu inflasi, pengangguran, pertumbuhan ekonomi, dan jumlah uang beredar.

3. Menganalisis implikasi kebijakan yang akan diambil pemerintah terkait hubungan penerbitan sukuk dan indikator makroekonomi Indonesia.

1.4. Manfaat Penelitian

1. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat dijadikan pertimbangan dalam mengambil keputusan mengenai sumber pembiayaan yang efektif untuk mengatasi masalah makroekonomi Indonesia, yaitu pengangguran, inflasi, serta pertumbuhan ekonomi.


(11)

2. Bagi akademisi, penelitian ini bisa dijadikan bahan referensi bagi penelitian selanjutnya yang terkait dengan penelitian ini.

3. Bagi penulis, penelitian ini dapat menambah wawasan penulis tentang hal terkait lebih dalam lagi dan sebagai wadah dalam mengaplikasikan ilmu yang telah diperoleh.

4. Bagi masyarakat, penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

masyarakat untuk berinvestasi pada instrument yang “halal”,

meguntungkan, berisiko rendah, dan dapat membantu program pembangunan pemerintah yang didasari pada tujuan penerbitan sukuk.

1.5. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian ini mencakup data penerbitan sukuk yang dapat dilihat dari total nilai emisi sukuk korporasi dan sukuk Negara (SBSN). Nilai emisi sukuk korporasi merupakan total penjumlahan antara emisi sukuk yang masih beredar (outstanding) dan nilai emisi sukuk yang sudah dilunasi. Untuk nilai emisi sukuk negara (SBSN) merupakan nilai emisi sukuk yang masih beredar (outstanding) di pasar. Indikator makroekonomi Indonesia yang digunakan dalam penelitian ini yaitu inflasi yang dapat dilihat dari Indeks Harga Konsumen (IHK), pengangguran yang dapat dilihat dari pengangguran terbuka, dan pertumbuhan ekonomi yang dapat dilihat dari PDB menurut lapangan usaha atas tahun konstan, dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Data penelitian ini juga dibatasi dari Mei tahun 2006 sampai dengan Desember tahun 2010


(12)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA DAN KONSEP PEMIKIRAN

2.1. Tinjauan Konsep 2.1.1. Konsep Ekonomi Islam

Dan bahwasanya Dia yang memberikan kekayaan dan kecukupan.” (Q.S Al-Najm [53] : 48)

Dalam ekonomi Konvensional, motif aktivitas ekonomi mengarah pada pemenuhan keinginan individu manusia yang tak terbatas dengan menggunakan factor-faktor produksi yang terbatas. Akibatnya, masalah yang dihadapinya adalah kelangkaan dan pilihan.

Dalam ekonomi Islam, aktivitas ekonomi diarahkan pada pemenuhan kebutuhan dasar yang ada batasnya dengan menggunakan faktor-faktor produksi yang tak terbatas (lihat surat Q.S Lukman [31] : 20). Prinsip-prinsip ekonomi islam yaitu,

1. Hidup hemat dan tidak bermewah-mewahan 2. Menjalankan usaha-usaha yang halal

3. Implementasi zakat

4. Penghapusan/pelarangan riba 5. Pelarangan maysir

Perbedaan antara ekonomi islam dan ekonomi konvensional dapat dilihat pada tabel 2.1 berikut ini.


(13)

Tabel 2.1. Perbedaan Ekonomi Islam dan Ekonomi Konvensional

No Isu Ekonomi Islam Ekonomi Konvensional

1. Sumber Al-Qur‟an dan Al-Hadist Daya pikir manusia

2. Motif Ibadah Rasional materialism

3. Paradigma Shariah Pasar

4. Pondasi Dasar Muslim Manusia Ekonomi

5. Landasan Filosofi

Falah Utilitarian Individualism

6. Harta Pokok Kehidupan Asset

7. Investasi Bagi Hasil Bunga

8. Distribusi Kekayaan

Zakat, Infaq, Shadaqah, Hibah, Hadiah, Wakaf, dan Warisan

Pajak dan Tunjangan

9. Konsumsi-Produksi

Mashlahah, Kebutuhan, dan Kewajiban

Egoisme, Materialisme, dan Rasionalisme

10. Mekanisme Pasar

Bebas dan dalam pengawasan Bebas

11. Pengawas Pasar Al-Hisbah NA

12. Fungsi Negara Penjamin Kebutuhan Minimal dan Pendidikan- pembinaan melalui Baitul Mal

Penentu Kebijakan melalui departemen

13. Bangunan Ekonomi

Bercorak perekonomian ril Dikotomi Sektoral yang Sejajar Ekonomi Riil dan Moneter

Sumber : Ascarya, 2006

2.1.1.1. Konsep Dasar Keuangan Syariah

Uang merupakan alat tukar atau transaksi dan pengukur nilai barang dan jasa untuk memperlancar perekonomian. Uang bukan komoditi. Oleh karena itu motif memegang uang dalam islam adalah untuk bertransaksi dan berjaga-jaga bukan untuk spekulasi (Ascarya, 2006).

Dalam sejarah islam, bentuk uang yang biasa digunakan adalah full bodied money atau uang instrinsik dan nilai instrinsiknya sama dengan nilai ekstrinsiknya (harga uang sama dengan nilainya). Pada masa ini jenis uang yang umum digunakan


(14)

adalah dinar emas seberat 4,25 gram dan dirham perak seberat 2,975 gram (Ascarya, 2006).

2.1.1.2. Konsep Riba dan Maysir

Secara teknis, riba berarti pengambilan tambahan dari harta pokok atau modal secara bathil (Saed, 1996 dalam Ascarya, 2006). Riba dapat timbul dalam pinjaman (riba dayn) dan dapat pula timbul dalam perdagangan (riba bai’). Riba bai’ terdiri dari dua jenis, yaitu riba karena pertukaran barang sejenis, tetapi jumlahnya tidak seimbang (riba fadl) dan riba karena pertukaran barang sejenis dan jumlahnya dilebihkan karena melihat jangka waktu (riba nasiah). Riba dayn berarti „tambahan‟,

yaitu pembayaran “premi” atas setiap jenis pinjaman dalam transaksi utang-piutang

maupun perdagangan yang harusnya dibayarkan oleh peminjam kepada pemberi pinjaman di samping pengembalian pokok yang ditetapkan sebelumnya (Ascarya, 2006).

Maysir secara harfiah berarti memperoleh sesuatu dengan sangat mudah tanpa kerja keras atau mendapat keuntungan tanpa kerja. Dalam islam, maysir yang dimaksud adalah segala sesuatu yang mengandung unsur judi, taruhan, atau permainan berisiko (Ascarya, 2006).

2.1.1.3.Sistem Bagi Hasil vs. Sistem Bunga

Dalam islam tidak dikenal adanya bunga karena hal tersebut merupakan bentuk riba yang diharamkan. Dalam islam yang ada hanyalah sistem bagi hasil (profit-loss sharing) yang merupakan bentuk kerja sama untuk melakukan kegiatan usaha antara pemilik modal yang memiliki kelebihan dana dengan pengusaha yang mengalami kekurangan dana. Sistem bagi hasil ini berbentuk mudharabah dan


(15)

musyarakah yang masing-masing beragam jenisnya (Ascarya, 2006). Perbedaan antara sistem bunga dan bagi hasil ini dapat dilihat pada tabel 2.2 berikut.

Tabel 2.2. Perbedaan antara Bunga dan Bagi Hasil

No. Bunga Bagi Hasil

1. Penentuan bunga dibuat pada waktu akad dengan asumsi usaha akan selalu menghasilkan keuntungan.

Penentuan besarnya rasio/nisbah bagi hasil disepakati pada waktu akad sesuai dengan kemungkinan untung rugi. 2. Besarnya presentase didasarkan pada

dana/modal yang dipinjamkan.

Besarnya rasio bagi hasil didasarkan pada jumlah keuntungan yang diperoleh.

3. Bunga dapat mengambang dan besarnya berfluktuatif sesuai dengan fluktuatif bunga patokan atau kondisi ekonomi

Rasio bagi hasil tetap tidak berubah selama akad masih berlaku, kecuali diubah atas kesepakatan bersama. 4. Pembayaran bunga tetap seperti yang

dijanjikan tanpa pertimbangan keuntungan / kerugian dari usaha yang dijalankan

Bagi hasil bergantung pada keuntungan dan kerugian usaha yang dijalankan.

5. Jumlah pembayaran bunga tidak meningkat sekalipun keuntungan naik berlipat ganda.

Jumlah pembagian laba meningkat sesuai peningkatan keuntungan

6. Eksistensi bunga diragukan atau dikecam oleh semua agama

Tidak ada yang meragukan keabsahan bagi hasil

Sumber : Antonio, 2001 dalam Ascarya, 2006 ; diolah 2.1.2. Konsep Obligasi Syariah (SUKUK)

2.1.2.1.Pengertian SUKUK

Menurut tim studi minat emiten di pasar modal Bapepam-LK (2009), pada dasarnya definisi sukuk yang berasal dari berbagai sumber literatur dapat dibagi menjadi dua, yaitu definisi secara etimologi dan definisi secara terminologi. Secara etimologi (bahasa), sukuk berasal dari bentuk jamak bahasa Arab dari kata “sakk” yang berarti sertifikat, perjanjian, atau instrumen hukum. Secara terminologi, sukuk dapat didefinisikan sebagai suatu sertifikat kepercayaan atas kepemilikan atau


(16)

sertifikat investasi atas kepemilikan sesuatu, dengan masing-masing sakk menunjukkan kepentingan kepemilikan yang proporsional dan tidak dapat dipisahkan dalam suatu aset atau kumpulan aset. Berikut ini akan dijelaskan definisi sukuk secara terminologi menurut AAOIFI (The Accounting and Auditing Organisation for Islamic Financial Institutions), DSN MUI (Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia), dan Bapepam-LK.

AAOIFI dalam Shari‟a Standard No.17 mendefinisikan sukuk sebagai berikut

Investment Sukuk are certificates of equal value representing undivided share in ownership of tangible assets, usufructs and services, or (in the ownership of) the assets of particular projects or special investment activity, however, this is true after receipt of the value of the sukuk, the closing of subscription and the employment of funds received for the purpose for which the sukuk were issued”.

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa sukuk merupakan sertifikat bernilai sama yang merupakan bukti kepemilikan yang tidak dibagikan atas suatu aset, hak manfaat, dan jasa-jasa atau kepemilikan atas proyek atau kegiatan investasi tertentu.

DSN-MUI dalam Fatwa DSN-MUI Nomor 32/DN-MUI/IX/2002, mendefinisikan obligasi syariah (sukuk) sebagai berikut

“….suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang

dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan

emiten untuk


(17)

hasil/margin/fee serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh

tempo.”

Selanjutnya, menurut Bapepam-LK dalam Peraturan Nomor IX.A.13 tentang Penerbitan Efek Syariah, Sukuk didefinisikan sebagai berikut

“Efek Syariah berupa sertifikat atau bukti kepemilikan yang bernilai sama

dan mewakili bagian yang tidak tertentu (tidak terpisahkan atau tidak terbagi (syuyu’/undivided share) atas:

1. Aset berwujud tertentu (a’yan maujudat);

2. Nilai manfaat atas aset berwujud (manafiul a’yan) tertentu baik yang sudah ada maupun yang akan ada;

3. Jasa (al khadamat) yang sudah ada maupun yang akan ada; 4. Aset proyek tertentu (maujudat masyru’ mu’ayyan); dan/atau

5. Kegiatan investasi yang telah ditentukan (nasyath ististmarin khashah)”.

2.1.2.2. Karakteristik SUKUK

Menurut Direktorat Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, sukuk pada prinsipnya mirip seperti obligasi konvensional, dengan perbedaan pokok antara lain berupa penggunaan konsep imbalan dan bagi hasil sebagai pengganti bunga, adanya suatu transaksi pendukung (underlying transaction) berupa sejumlah tertentu aset yang menjadi dasar penerbitan sukuk, dan adanya aqad atau penjanjian antara para pihak yang disusun berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Selain itu, sukuk juga harus distruktur secara syariah agar instrumen keuangan ini aman dan terbebas dari riba, gharar dan maysir.


(18)

Berikut akan dijabarkan secara rinci karakteristik sukuk:

1. Merupakan bukti kepemilikan suatu aset berwujud atau hak manfaat (beneficial title)

2. Pendapatan berupa imbalan (kupon), marjin, dan bagi hasil, sesuai jenis akad yang digunakan

3. Terbebas dari unsur riba, gharar dan maysir

4. Penerbitannya melalui special purpose vehicle (SPV) 5. Memerlukan underlying asset

6. Penggunaan proceeds harus sesuai prinsip syariah

Perbedaan sukuk dengan obligasi konvensional akan ditunjukkan oleh tabel 2.3 berikut ini.

Tabel 2.3. Perbandingan Sukuk dan Obligasi

Deskripsi Sukuk Obligasi

Penerbit Pemerintah, Korporasi Pemerintah, Korporasi Sifat Instrumen Sertifikat

kepemilikan/penyertaan atas suatu aset

Instrumen pengakuan utang

Penghasilan Imbalan, bagi hasil, margin Bunga/kupon, capital gain Jangka waktu Pendek – menengah Pendek - menengah

Underlying asset Perlu Tidak perlu

Pihak yang terkait Obligor, SPV, investor, Trustee Obligor/issuer, investor

Price Market Price Market Price

Investor Islami, konvensional Konvensional

Pembayaran pokok Bullet atau amortisasi Bullet atau amortisasi Penggunaan hasil

penerbitan

Harus sesuai syariah Bebas Sumber : Kementrian Keuangan Republik Indonesia


(19)

2.1.2.3. Jenis SUKUK

Menurut Direktorat Pengelolaan Utang Departemen Keuangan, jenis-jenis Sukuk yang telah mendapatkan endorsement dari AAOIFI yaitu:

1. Sukuk Ijarah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Ijarah di mana satu pihak bertindak sendiri atau melalui wakilnya menjual atau menyewakan hak manfaat atas suatu aset kepada pihak lain berdasarkan harga dan periode yang disepakati, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan aset itu sendiri. Sukuk Ijarah dibedakan menjadi Ijarah Al Muntahiya Bittamliek (Sale and Lease Back) dan Ijarah Headlease and Sublease. Gambar 2.1 berikut menunjukkan ringkasan sederhana skema struktur generik sukuk ijarah.

Sumber : Direktorat Jendral Pembiayaan Utang, 2012 (diolah) Gambar 2.1. Skema Sukuk Ijarah Keterangan :

1. SPV dan Obligor melakukan transaksi jual-beli aset, disertai dengan Purchase and Sale Undertaking di mana obligor menjamin untuk membeli kembali aset

Emiten /Obligor SPV (Penerbit) Investor Penjualan aset

1

Penerbitan Sukuk 2

Penyewaan kembali asset 3

4

Purchase and Sale Undertaking


(20)

dari SPV, dan SPV wajib menjual kembali aset kepada obligor, pada saat sukuk jatuh tempo atau dalam hal terjadi default.

2. SPV mendistribusikan penerbitan sukuk kepada investor untuk membiayai pembelian aset.

3. Pemerintah menyewa kembali aset dengan melakukan perjanjian sewa (Ijara Agreement) dengan SPV untuk periode yang sama dengan tenor sukuk yang diterbitkan. Berdasarkan servicing agency agreement, Obligor ditunjuk sebagai agen yang bertanggung jawab atas perawatan aset

4. Obligor membayar sewa (Imbalan) secara periodik kepada SPV selama masa sewa.

5. SPV melalui agen yang ditunjuk akan mendistribusikan imbalan kepada para investor.

6. Pada saat jatuh tempo, SPV melakukan penjualan kembali aset kepada obligor senilai nominal sukuk. Kemudian hasil penjualan aset tersebut digunakan SPV untuk melunasi sukuk kepada investor.

2. Sukuk Musyarakah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Musyarakah di mana dua pihak atau lebih bekerjasama menggabungkan modal untuk membangun proyek baru, mengembangkan proyek yang telah ada, atau membiayai kegiatan usaha. Keuntungan maupun kerugian yang timbul ditanggung bersama sesuai dengan jumlah partisipasi modal masing-masing pihak.

3. Sukuk Mudharabah, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Mudharabah di mana satu pihak menyediakan modal (rab al-maal) dan


(21)

pihak lain menyediakan tenaga dan keahlian (mudharib), keuntungan dari kerjasama tersebut akan dibagi berdasarkan perbandingan yang telah disetujui sebelumnya. Kerugian yang timbul akan ditanggung sepenuhnya oleh pihak yang menjadi penyedia modal. Gambar 2.2 menunjukkan skema struktur sukuk mudharabah.

Sumber : Huda, Nurul dan Mustafa Edwin, 2008

Gambar 2.2. Skema Sukuk Mudharabah Keterangan :

1. Investor menyerahkan modal untuk kegiatan usaha

2. Emiten menyerahkan keterampilan melakukan operasional dalam kegiatan usaha

3. Keuntungan yang diperoleh dari kegiatan usaha tersebut akan dibagi sesuai nisbah masing-masing yang telah disepakati sebelumnya. Kerugian yang terjadi sepenuhnya ditanggung oleh pihak pemilik modal, dalam hal ini investor.

4. Pada saat jatuh tempo, modal pokok akan dikembalikan ke para investor. Investor / Pemodal /

Shahib Al-Maal

Emiten / Korporasi /

Mudharib

Kegiatan Usaha

Bagi Hasil Pendapatan

Nisbah Nisbah

1 2


(22)

4. Istisna’, yaitu sukuk yang diterbitkan berdasarkan perjanjian atau akad Istisna‟ di mana para pihak menyepakati jual-beli dalam rangka pembiayaan suatu proyek/barang sehingga barang yang akan diproduksi tersebut menjadi milik pemegang sukuk. Adapun harga, waktu penyerahan, dan spesifikasi barang/proyek ditentukan terlebih dahulu berdasarkan kesepakatan.

Dari awal penerbitannya pada tahun 2002 sampai dengan tahun 2010, jenis akad sukuk yang diterbitkan di Indonesia hanya terdiri dari sukuk mudharabah dan sukuk ijarah (sale and lease back) dengan presentase masing-masing 2 persen dan 98 persen. Dalam penelitian ini juga hanya terbatas pada analisis mengenai sukuk mudharabah dan sukuk ijarah karena disesuaikan oleh data yang tersedia.

2.1.3. Konsep Indikator Makroekonomi 2.1.3.1. Pertumbuhan Ekonomi

Menurut Kuznet, pertumbuhan ekonomi adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari suatu negara untuk menyediakan berbagai kebutuhan ekonomi untuk penduduknya, dimana kenaikan kapasitas itu sendiri ditentukan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi, institusional, dan ideologi terhadap berbagai tuntutan keadaan ekonomi yang ada. Konsep pertumbuhan ekonomi masih digunakan sebagai tolak ukur untuk menilai kemajuan ekonomi suatu negara. Adapun indikator yang umum digunakan untuk mengukur petumbuhan ekonomi suatu negara adalah pendapatan nasional.


(23)

Menurut Huda et al (2008), secara sederhana pendapatan nasional dapat diartikan sebagai jumlah barang dan jasa yang dihasilkan suatu negara pada periode tertentu, biasanya satu tahun.

Pendapatan nasional yang merupakan ukuran terhadap aliran uang dan barang dalam perekonomian dapat dihitung dengan tiga pendekatan, yaitu :

a. Pendekatan Produksi (Gross Domestic Product/ GDP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan produksi diperoleh dengan menjumlahkan nilai tambah bruto (gross value added) dari semua sector produksi. Penggunaan konsep nilai tambah dilakukan guna menghindari terjadinya perhitungan ganda.

b. Pendekatan Pengeluaran (Gross National Product/ GNP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pengeluaran dilakukan dengan menjumlahkan permintaan akhir unit-unit ekonomi, yaitu rumah tangga berupa konsumsi, perusahaan berupa investasi, pengeluaran pemerintah, serta pengeluaran ekspor dan impor.

c. Pendekatan Pendapatan (Net National Product/ NNP)

Perhitungan pendapatan nasional dengan pendekatan pendapatan merupakan GNP dikurangi penyusutan dari stok modal yang ada selama periode tertentu.

Pendapatan nasional juga terbagi ke dalam dua hal, yaitu:

a. GDP Nominal: mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang berlaku pada periode tersebut (current price).


(24)

b. GDP Ril : mengukur nilai output atau pendapatan nasional dalam suatu periode tertentu menurut harga pasar yang ditentukan (harga pada tahun dasar/ harga konstan)

Semua pendekatan pendapatan nasional di atas merupakan pendekatan ekonomi konvensional yang menyatakan bahwa pendapatan nasional dapat dijadikan sebagai suatu ukuran kesejahteraan ekonomi atau kesejahteraan pada suatu negara. Namun pada kenyataannya GDP merupakan ukuran kesejahteraan yang tidak sempurna karena tidak menghitung produk yang dihasilkan dan dikonsumsi sendiri (tidak masuk ke pasar), nilai waktu istirahat, bencana alam, serta polusi. Berbeda dengan ekonomi konvensional, ekonomi islam menggunakan parameter falah dalam tujuan kegiatan perekonomiannya. Falah adalah kesejahteraan yang hakiki, kesejahteraan yang sebenar-benarnya, dimana komponen-komponen ruhaniah masuk ke dalamnya. Ekonomi islam harus menyediakan suatu cara untuk mengukur kesejahteraan ekonomi dan kesejahteraan sosial berdasarkan sistem moral dan sistem islam (Mannan, 1984 dalam Huda et al, 2008). Setidaknya ada empat hal yang semestinya bisa diukur dengan pendapatan nasional berdasarkan ekonomi islam, yaitu penyebaran pendapatan individu rumah tangga, produksi di sektor pedesaan, kesejahteraan ekonomi islami, dan perhitungan pendapatan nasional sebagai ukuran dari kesejahteraan sosial islami melalui pendugaan nilai santunan antar saudara dan sedekah.

2.1.3.2.Jumlah Uang Beredar

Menurut teori ekonomi klasik, penawaran uang merupakan persediaan uang total dalam ekonomi yang terdiri dari mata uang dalam peredaran dan deposito dalam


(25)

perkiraan tabungan dan giro. Penawaran uang yang terlalu banyak dibandingkan keluaran atau output barang yang dihasilkan akan cenderung mendorong naiknya suku bunga, naiknya harga, dan berkurangnya produksi serta menyebabkan pengangguran tenaga kerja dan penggunaan kapasitas pabrik (Huda, et al ; 2008).

Dalam perekonomian modern, jumlah uang beredar dikendalikan oleh Bank Sentral selaku pemegang otoritas moneter. Penciptaan uang beredar ini merupakan suatu mekanisme pasar, yakni merupakan suatu proses hasil interaksi antara permintaan dan peawaran uang, dan bukan sekedar pencetakan uang atau suatu keputusan pemerintah belaka (Boediono, 1985 dalam Vimala, 2005). Komposisi jumlah uang yang beredar di masyarakat dapat kita bedakan menjadi dua bagian. Pertama adalah uang beredar dalam pengertian sempit, yang digunakan untuk transaksi yaitu M1 (narrow money). Kedua adalah uang beredar dalam arti luas yang biasa disebut dengan M2 (broad money). Persamaan yang menunjukkan jumlah uang beredar ini adalah :

M1 = C + DD ………. ( 2.1 )

M2 = M1 + QM ..….……….. ( 2.2 )

QM=SD+TD ..………... ( 2.3 )

M1 meliputi uang kartal (currency) dan uang giral (demand deposit). Uang kartal (C) merupakan jumlah semua uang yang beredar di luar bank sentral, baik uang kertas maupun uang logam. Uang giral (DD) merupakan saldo rekening koran (giro) milik masyarakat yang disimpan di perbankan. M2 merupakan jumlah M1 dengan uang kuasi (quasy money), yang bentuknya adalah simpanan tabungan (saving deposit) dan deposito berjangka (time deposit). Menurut teori kuantitas uang, jika


(26)

jumlah uang yang beredar melebihi permintaannya maka salah satunya akan menyebabkan inflasi. Pada akhirnya perlu suatu instrumen yang dapat mengatur jumlah uang beredar.

Instrumen yang digunakan oleh Bank Sentral untuk mengatur jumlah uang beredar di antaranya yaitu:

a. Operasi Pasar Terbuka (open market operation)

Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sental menjual surat berharga pasar uang (SPBU), begitu juga sebaliknya. b. Cadangan Minimum (reserve requirement)

Cadangan minimum yang dimaksud di sini adalah cadangan minimum yang dimiliki oleh bank umum. Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sentral dapat membuat kebijakan menambah besaran cadangan minimum yang dimiliki bank umum, begitu juga sebaliknya.

c. Discount Rate

Jika Bank Sentral menginginkan jumlah uang beredar berkurang maka Bank Sentral harus meningkatkan suku bunga Bank Indonesia (SBI)

d. Moral Situation

Merupakan kebijakan yang bersifat sugesti yang dilakukan oleh Bank Sentral pada bank umum untuk menaikkan atau menurunkan suku bunga guna menambah atau menurunkan jumlah uang beredar.

Dari instrumen yang digunakan oleh bank sentral untuk mengatasi jumlah uang beredar tersebut, salah satunya dapat menggunakan sukuk. Sukuk merupakan surat


(27)

berharga alat yang dapat digunakan dalam operasi pasar terbuka. Diterbitkannya sukuk oleh pemerintah dan korporasi dapat menarik jumlah uang beredar pada masyarakat.

2.1.3.3. Inflasi

Inflasi merupakan suatu keadaan dimana terjadi kenaikan harga barang-barang secara tajam yang berlangsung terus-menerus dalam jangka waktu cukup lama. Seiring dengan kenaikan harga barang-barang tersebut, nilai uang turun secara tajam pula sebanding dengan kenaikan harga-harga tersebut (Boediono, 1985). Menurut Friedman dalam Mankiw (2002), inflasi selalu dan dimanapun merupakan suatu fenomena moneter dan terjadi apabila kenaikan jumlah uang yang beredar lebih cepat dari output.

Menurut Huda et all (2008) inflasi biasanya diekspresikan sebagai perubahan angka indeks. Inflasi dapat digolongkan menjadi empat golongan, yaitu inflasi ringan, sedang, berat, dan hiperinflasi. Inflasi ringan terjadi apabila kenaikan harga berada di bawah angka sepuluh persen setahun; inflasi sedang antara sepuluh persen s.d. tiga puluh persen setahun; berat antara tiga puluh persen s.d. seratus persen setahun; dan hiperinflasi atau inflasi tak terkendali terjadi apabila kenaikan harga berada di atas seratus persen setahun. Tingkat harga yang melambung sampai seratus persen atau lebih dalam setahun (hiperinflasi) menyebabkan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap mata uang, sehingga mereka cenderung menyimpan aktivanya dalam bentuk lain, seperti real estate atau emas, yang biasanya nilainya bertahan di masa-masa inflasi.


(28)

a. Indeks Harga Konsumen (IHK) atau Customer Price Index (CPI) merupakan indikator yang umum digunakan untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi masyarakat.

b. Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) merupakan indikator yang menggambarkan pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.

c. Produk Domestik Bruto (PDB) menggambarkan pengukuran level harga barang akhir (final goods) dan jasa yang diproduksi di dalam suatu ekonomi (negeri). Deflator PDB dihasilkan dengan membagi PDB atas dasar harga. Terdapat berbagai macam jenis inflasi. Beberapa kelompok besar dari inflasi adalah :

a. Policy induced, disebabkan oleh kebijakan ekspansi moneter yang juga bisa merefleksikan defisit anggaran yang berlebihan dan cara pembiayaannya. b. Cost-push inflation, disebabkan oleh adanya kelangkaan produksi dan/atau

juga termasuk adanya kelangkaan distribusi, walau permintaan secara umum tidak ada perubahan yang meningkat secara signifikan. Adanya ketidak-lancaran aliran distribusi ini atau berkurangnya produksi yang tersedia dari rata-rata permintaan normal dapat memicu kenaikan harga sesuai dengan berlakunya hukum permintaan-penawaran, atau juga karena terbentuknya posisi nilai keekonomian yang baru terhadap produk tersebut akibat pola atau skala distribusi yang baru. Berkurangnya produksi sendiri bisa terjadi akibat berbagai hal seperti adanya masalah teknis di sumber produksi (pabrik,


(29)

perkebunan), bencana alam, cuaca, atau kelangkaan bahan baku untuk menghasilkan produksi tersebut, aksi spekulasi (penimbunan), sehingga memicu kelangkaan produksi yang terkait tersebut di pasaran. Begitu juga hal yang sama dapat terjadi pada distribusi, dimana dalam hal ini faktor infrastruktur memainkan peranan yang sangat penting. Meningkatnya biaya produksi dapat disebabkan dua hal, yaitu (1) kenaikan harga, misalnya bahan baku dan (2) kenaikan upah/gaji, misalnya kenaikan gaji PNS akan mengakibatkan usaha-usaha swasta menaikkan harga barang-barang.

c. Demand-pull inflation, disebabkan oleh adanya permintaan total yang berlebihan dimana biasanya dipicu oleh membanjirnya likuiditas di pasar sehingga terjadi permintaan yang tinggi dan memicu perubahan pada tingkat harga. Bertambahnya volume alat tukar atau likuiditas yang terkait dengan permintaan terhadap barang dan jasa mengakibatkan bertambahnya permintaan terhadap faktor-faktor produksi tersebut. Meningkatnya permintaan terhadap faktor produksi itu kemudian menyebabkan harga faktor produksi meningkat.Membanjirnya likuiditas di pasar juga disebabkan oleh banyak faktor selain yang utama tentunya kemampuan bank sentral dalam mengatur peredaran jumlah uang, kebijakan suku bunga bank sentral, sampai dengan aksi spekulasi yang terjadi di sektor industri keuangan

d. Inertial inflation, cenderung untuk berlanjut pada tingkat yang sama sampai kejadian ekonomi yang menyebabkan berubah. Jika inflasi terus bertahan, dan tingkat ini diantisipasi dalam bentuk kontrak finansial dan upah maka kenaikan inflasi akan terus berlanjut.


(30)

Dari faktor penyebab inflasi yang telah diuraikan di atas, sukuk sebagai surat berharga yang diterbitkan baik oleh pemerintah maupun korporasi dapat berpengaruh dalam penarikan jumlah uang beredar di masyarakat. Hal ini dapat menyebabkan penawaran uang lebih kecil dari permintaannya, sehingga secara tidak langsung penerbitan sukuk dapat mengatasi inflasi yang terjadi.

Belum ada teori yang menyatakan hubungan antara inflasi dan penerbitan sukuk. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Litbang Provinsi Sumatera Utara, inflasi tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah Provinsi Sumatera Utara.

2.1.3.4.Pengangguran Terbuka

Menurut BPS, mulai tahun 2000 definisi penduduk usia kerja merupakan penduduk berumur 15 tahun dan lebih. Penduduk usia kerja dibedakan menjadi dua kelompok berdasarkan kegiatan utama yang sedang dilakukannya, yaitu angkatan kerja dan bukan angkatan kerja. Angkatan kerja merupakan penduduk usia kerja (15 tahun dan lebih) yang bekerja, atau punya pekerjaan namun sementara tidak bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan (pengangguran). Pengangguran terbuka (open unemployment) terdari dari : (1) angkatan kerja yang mencari pekerjaan, (2) angkatan kerja yang mempersiapkan usaha, (3) angkatan kerja yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, (4) angkatan kerja yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja.

Menurut Lipsey (1997), bila pendapatan nasional berubah, volume kesempatan kerja (employment) dan volume pengangguran (unemployment) juga berubah. Pengangguran mengikuti jalur siklis, naik selama periode resesi dan turun


(31)

dalam periode ekspansi bisnis. Berdasarkan alasannya, pengangguran dibedakan menjadi pengangguran siklis, friksional,danstruktural. Pengangguran friksional, dan struktural terjadi pada kondisi NAIRU (NonAccelerating Inflationary Rate of Unemployment) atau biasa disebut angka pengangguran alamiah.

Pengangguran siklis merupakan pengangguran yang disebabkan tidak tersedianya lapangan pekerjaan meskipun para pekerja dibayar dengan tingkat upah yang berlaku. Pengangguran ini terjadi pada senjang resesi. Pengangguran jenis ini dapat dikendalikan dengan kebijakan stabilisasi melalui ekspansi kebijakan fiskal dan moneter.

Pengangguran friksional merupakan pengangguran yang diakibatkan oleh perputaran (turnover) normal tenaga kerja. Orang-orang yang menganggur sambil mencari pekerjaan termasuk jenis pengangguran friksional. Cara mengendalikan pengangguran jenis ini yaitu dengan meningkatkan pengetahuan pekerja tentang peluang-peluang pasar.

Pengangguran struktural merupakan pengangguran yang terjadi karena ketidaksesuaian antara struktur angkatan kerja dan struktur permintaan akan tenaga kerja. Pengangguran ini dapat dikendalikan dengan cara menahan perubahan yang menyertai pertumbuhan dan menerima perubahan itu serta mencoba mempercepat langkah penyesuaian.

Belum ada teori yang menyatakan hubungan antara penerbitan sukuk dengan tingkat pengangguran. Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh Litbang Provinsi terhadap penerbitan obligasi daerah Provinsi Sumatera Utara.


(32)

2.1.3.5.Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS)

Pengertian Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS) menurut peraturan Bank Indonesia No 10/11/PBI/2008 tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah adalah surat berharga berdasarkan prinsip syariah berjangka waktu pendek dalam mata uang rupiah yang diterbitkan oleh Bank Indonesia. Tujuan dikeluarkannya peraturan Bank Indonesia tentang Sertifikat Bank Indonesia Syariah ini ditujukan sebagai salah satu instrument operasi pasar terbuka dalam rangka pengendalian moneter yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Perhitungan besar bonus yang diberikan pada SBIS maengacu pada tingkat diskonto hasil lelang SBI berjangka waktu sama yang diterbitkan bersamaan dengan penerbitan SBIS.

Suku bunga mengukur biaya dari dana yang digunakan untuk membiayai investasi yang dilakukan masa kini dengan hasil yang diperoleh pada masa yang akan datang (Mankiw, 2006). Suku bunga terbagi menjadi dua, yaitu suku bunga nominal dan suku bunga riil. Tingkat suku bunga nominal adalah tingkat suku bunga yang dibayar bank atau investor. Tingkat suku bunga riil adalah tingkat suku bunga yang diukur dengan kenaikan daya beli atau sudah memperhatikan nilai inflasi.

Tingkat suku bunga yang berlaku pada setiap penjualan SBI ditentukan oleh mekanisme pasar berdasarkan sistem lelang. Sejak awal Juli 2005, BI menggunakan mekanisme "BI rate" (suku bunga BI), yaitu BI mengumumkan target suku bunga SBI yang diinginkan BI untuk pelelangan pada masa periode tertentu. BI rate ini kemudian yang digunakan sebagai acuan para pelaku pasar dalam mengikuti pelelangan.


(33)

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Ahmadi Sarip (2011), tingkat suku bunga yang cenderung menurun akan menjadi momentum bagi para emiten, baik korporasi BUMN dan swasta maupun pemerintah untuk menerbitkan obligasi. Dengan turunya tingkat suku bunga, maka biaya yang harus dikeluarkan untuk membayar bunga atau kupon menjadi lebih rendah sehingga obligasi yang diterbitkan menjadi bertambah. Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa hubungan antara tingkat suku bunga Bank Indonesia dengan penerbitan obligasi pemerintah adalah negatif.

2.2. Tinjauan Teori 2.2.1. Teori Investasi

Menurut Mankiw (2006) investasi adalah barang-barang yang dibeli oleh individu dan perusahaan untuk menambah persediaan modal mereka. Menurut Lipsey (1997) investasi adalah pengeluaran barang yang tidak dikonsumsi saat ini, dimana berdasarkan periode waktunya investasi dapat dibedakan menjadi tiga, yaitu: investasi jangka pendek, investasi jangka menengah, dan investasi jangka panjang. Tujuan individu atau perusahaan yang melakukan investasi adalah untuk memperoleh kesejahteraan bagi dirinya atau perusahaan tersebut.

2.2.2. Teori Pertumbuhan Ekonomi

Teori pertumbuhan endogen merupakan kritik dari model pertumbuhan solow yang menunjukkan bahwa pertumbuhan persediaan modal, pertumbuhan angkatan kerja, dan kemajuan teknologi berinteraksi dalam perekonomian dan memengaruhi output barang dan jasa suatu negara. Pertumbuhan persediaan modal memengaruhi


(34)

output secara positif, pertumbuhan angkatan kerja memengaruhi secara negatif, dan kemajuan teknologi merupakan variabel eksogen yang diasumsikan tetap. Sedangkan untuk teori pertumbuhan endogen menjelaskan tingkat kemajuan teknologi yang memengaruhi output nasional secara positif. Jika output dan barang suatu negara tersebut mengalami peningkatan dari tahun sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa perekonomian suatu negara mengalami pertumbuhan yang positif.

2.2.3. Teori Kuantitas Uang

Teori ini merupakan teori ekonomi klasik yang berasal dari salah satu ahli moneter pertama, yaitu David Hume (1711-1776). Teori ini dapat dijadikan alat utama untuk menjelaskan pengaruh uang terhadap ekonomi dalam jangka panjang.

Hubungan antara transaksi dan uang ditunjukkan oleh persamaan yang disebut persamaan kuantitas, sebagai berikut :

M x V = P x T ... (2.4) Sisi kanan persamaan kuantitas menyatakan transaksi. T menunjukkan total jumlah transaksi selama periode waktu tertentu. P adalah harga dari suatu transaksi. Sisi kiri persamaan kuantitas menyatakan uang yang digunakan untuk melakukan transaksi. M adalah kuantitas uang. V adalah perputaran uang.

Persamaan ini menunjukkan jika kuantitas uang meningkat dan perputaran uang tidak berubah, dalam hal ini jumlah uang beredar meningkat maka akan menyebabkan harga atau output nasional meningkat. Penerbitan sukuk khususnya sukuk negara dapat dijadikan pemerintah sebagai instrumen dalam operasi pasar terbuka untuk mengurangi jumlah uang beredar.


(35)

Sampai saat ini, untuk mengurangi jumlah uang beredar melalui operasi pasar terbuka pemerintah hanya menggunakan instrument Sertifikat Bank Indonesia (SBI), Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS), Standing Facility yang terdiri atas Fasilitas Simpanan Bank Indonesia, Fasilitas Pembiayaan, dan SBI Repo baik yang bersifat konvensional maupun yang bersifat syariah, serta Pasar Uang Antar Bank (PUAB) baik yang bersifat syariah dan konvensional. Hal ini menyebabkan penerbitan sukuk belum memberikan dampak terhadap jumlah uang beredar di Indonesia.

2.2.4. Hubungan antara Penerbitan Sukuk dan Indikator Makroekonomi Sukuk merupakan surat berharga syariah yang dapat menjadi arus sumber-sumber keuangan yang dilakukan oleh pihak perusahaan sebagai emiten untuk memperluas usaha (membangun pabrik) dan negara untuk pembangunan suatu proyek, serta dapat menjadi tujuan investasi bagi para investor sukuk (masyarakat). Hal ini tentu akan berdampak pada perekonomian Indonesia.

Menurut Keynes dalam The General Theory, investasi (I) merupakan salah satu faktor yang dapat menentukan pengeluaran nasional (Mankiw, 2007). Karena sukuk merupakan instrumen investasi pada sektor ril, maka ketika penerbitan sukuk diperbanya akan meningkatkan investasi yang pada akhirnya akan menyebabkan kurva output nasional (AE0) bergeser ke atas (AE1). Hal ini kemudian akan ditransmisikan ke kurva keseimbangan pasar uang (LM) dan pasar barang (IS).

Pergeseran kurva output nasional ke atas (AE0 ke AE1) menyebabkan pergeseran kurva pada pasar barang (IS) ke kanan (IS0 ke IS1). Pergeseran kurva IS ini akan menggeser keseimbangan pasar uang dan pasar barang (Y0* ke Y1*) sehingga


(36)

ketika IS bergeser ke kanan maka akan menyebabkan naiknya tingkat bunga (ro ke r1).

Hal ini ditransmisikan kembali ke kurva keseimbangan agregat supply (AS) dan agregat demand (AD). Pergesaran kurva IS ke kanan (IS0 ke IS1) menyebabkan bergesernya kurva AD ke kanan (AD0 ke AD1) sehingga menyebabkan harga (P0*) dan output (Y0*) keseimbangan meningkat (P0* ke P1*) yang berarti terjadi inflasi dan pertumbuhan pendapatan nasional. Meningkatnya AD ditansmisikan ke kurva philiph sehingga menyebabkan menurunnya jumlah pengangguran (U0 ke U1). Transmisi kurva ini dapat dilihat pada lampiran 1.

2.3. Tinjauan Penelitian Terdahulu

Penelitian mengenai perekonomian syariah, mulai banyak diminati. Mulai dari industri perbankan syariah beserta produknya sampai dengan lembaga keuangan lainnya beserta produknya. Walaupun yang secara khusus membahas tentang hubungan obligasi syariah (sukuk) dengan indikator makroekonomi masih sangat jarang, namun penulis tetap berusaha untuk melakukan penelitian ini dengan tetap mengacu pada penelitian sebelumnya. Penulis mengacu pada penelitian tentang obligasi konvensional yang kemudian diaplikasikan ke obligasi syariah (sukuk). Berikut adalah beberapa penelitian tentang obligasi syariah (sukuk) dan hubungannya dengan perekonomian.

Engen dan Skiner (1992), melakukan penelitian dengan menggunakan data cross section dari 107 negara pada periode 1970-1985 yang mengembangkan sebuah general model kebijakan fiskal dan pertumbuhan ekonomi. Mereka menyimpulkan bahwa penerapan anggaran berimbang dengan meningkatkan Pengeluaran


(37)

Pemerintah dan Penerimaan Pajak, diprediksi akan mengurangi pertumbuhan ekonomi.

Litbang Provinsi Sumatera Utara pada tahun (2005) melakukan penelitian

dengan judul “Kajian Penerbitan Obligasi Daerah Sebagai Salah Satu Sumber

Pembiayaan Pembangunan” menggunakan regresi berganda. Penelitian ini

menunjukkan bahwa hasil variabel ekonomi realisasi penerimaan pemerintah berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah pada tingkat kepercayaan 95 persen. Variabel pendapatan perkapita, tingkat ekspor, dan variabel inflasi tidak berpengaruh nyata secara positif terhadap penerbitan obligasi daerah pada tingkat kepercayaan 95 persen. Variable pengangguran tidak berpengaruh nyata secara negatif Kinerja ekonomi Pempropsu memberi dorongan peluang positif terhadap penerbitan Obligasi daerah.

Lubis (2009), meneliti tentang pengaruh nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia. Hasil penelitian menunjukkan bahwa nilai kurs, tingkat suku bunga SBI, dan GDP berpengaruh simultan dan signifikan terhadap Permintaan Obligasi Swasta di Indonesia.

Siahaan (2006), menganalisis pengaruh inflasi dan suku bunga SBI terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka Rekapitalisasi perbankan. Dengan menggunakan metode estimasi Ordinary Least Square pada periode 1989-2005, menyimpulkan bahwa inflasi dan suku bunga SBI memiliki pengaruh negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka rekapitalisasi perbankan.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Ahmadi Sarip (2011) menggunakan Ordinary Least Square (OLS). Penelitian ini menganalisis faktor-faktor yang


(38)

memengaruhi obligasi pemerintah di Indonesia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa Variabel penerimaan negara tahun sebelumnya, pengeluaran pemerintah, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI secara bersama-sama mampu memengaruhi penerbitan obligasi pemerintah Indonesia, signifikan pada α = 1%. Pengeluaran pemerintah mempunyai pengaruh yang positif terhadap penerbitan obligasi pemerintah, sedangkan penerimaan negara tahun sebelumnya, pinjaman luar negeri pemerintah dan suku bunga SBI mempunyai pengaruh yang negatif terhadap penerbitan obligasi pemerintah Indonesia.

2.4. Kerangka Pemikiran Konseptual

Sumber : Penulis, 2012

Gambar 2.3. Kerangka Pemikiran Konseptual Perkembangan Pesat

Obligasi Syariah (SUKUK) di Indonesia

Pertumbuhan Ekonomi Penganggura

n Inflasi

Sukuk Korporasi Sukuk Global (SBSN)

Masalah Makroekonomi

Jumlah Uang Beredar

Model VAR/VECM


(39)

2.5. Hipotesis

Berdasarkan penelitian terdahulu maka dalam penelitian ini akan dirumuskan beberapa hipotesia. Adapun hipotesis pada penelitian ini yaitu :

1. Variabel penerbitan sukuk dipengaruhi oleh variabel GDP, jumlah uang beredar, inflasi, pengangguran terbuka, dan bonus SBIS.

2. Variabel GDP berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk.

3. Variabel jumlah uang beredar berpengaruh positif terhadap penerbitan sukuk. 4. Variabel pengangguran terbuka tidak berpengaruh secara negatif terhadap

penerbitan sukuk.

5. Variable inflasi tidak berpengaruh secara positif terhadap penerbitan sukuk. 6. Sukuk berdampak pada GDP yang menggambarkan pertumbuhan ekonomi,

pengangguran, CPI yang menggambarkan inflasi, dan M2 yang menggambarkan jumlah uang beredar.


(40)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. Jenis dan Sumber Data

Data yang akan dipakai dalam penelitian ini berupa data sekunder. Data sekunder yang akan digunakan ialah data deret waktu bulanan (time series) dari bulan Mei 2006 – Desember 2010 yang merupakan data jumlah total nilai emisi sukuk, Indeks Harga Konsumen (IHK), jumlah pengangguran terbuka, Produk Domestik Bruto (PDB), jumlah uang beredar (M2), dan bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah (SBIS). Semua data ini diperoleh yang di peroleh dari instansi-instansi terkait, yaitu Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia Bank Indonesia (SEKI-BI), Badan Pusan Statistik (BPS), Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK), dan sumber lainnya.

Table 3.1. Variabel, Notasi, dan Sumber Data

Variabel Notasi Satuan Sumber Data

Total Nilai Emisi Sukuk LnSukuk Milyar Rupiah Bapepam-LK dan

Direktorat Utang Kemenkeu Indeks Harga Konsumen LnIHK Indeks SEKI-BI

Pengangguran Terbuka LnPT Jiwa BPS

Gross Domestic Product LnPDB Milyar Rupiah SEKI-BI Jumlah Uang Beredar LnM2 Milyar Rupiah SEKI-BI


(41)

3.2. Metode Analisis

Penelitian ini terdiri dari metode kuantitatif dan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif digunakan untuk menjelaskan kondisi perkembangan sukuk di Indonesia dan kondisi makroekonomi di Indonesia sebelum diterbitkannya sukuk. Metode kuantitatif digunakan untuk pengujian model Vector Autoregressive

(VAR) yang akan dipakai untuk menganalisis dampak penerbitan sukuk terhadap indicator makroekonomi Indonesia. Jika variabel-variabel yang digunakan dalam penelitian ini stasioner pada first difference-nya maka akan menggunakan metode kuantitatif Vector Error Correction Model (VECM).

Menurut Arsana (2005) dalam Firdaus (2011), alat analisa yang disediakan oleh VAR/VECM dilakukan melalui empat macam penggunaannya, yakni :

1. Forecasting : ekstrapolasi nilai saat ini dan nilai masa depan seluruh variable dengan memanfaatkan seluruh informasi masa lalu dari variable tersebut.

2. Impulse Respons Function (IRF) : melacak respon saat ini dan masa depan dari setiap variable akibat shock atau perubahan suatu variable tertentu.

3. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD) : sebagai prediksi kontribusi persentase varians setiap variable terhadap perubahan suatu variable tertentu.

4. Granger Causality Test : untuk mengetahui hubungan sebab akibat antar variable.

Untuk melihat tahapan proses pengolahan data dengan menggunakan VAR/VECM dapat dilihat dari gambar di bawah ini :


(42)

Sumber : Azam Noer Achsani (2011)

Gambar 3.1. Proses Analisis VAR dan VECM

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah pengumpulan data yang akan digunakan dalam penelitian. Adapun data yang dikumpulkan adalah data-data yang secara umum dianggap relevan dan mempunyai hubungan dengan penelitian yang akan dilakukan.

Langkah kedua adalah pengujian akar unit dari seluruh data yang sudah terkumpul. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, pengujian akar unit ini biasannya dilakukan dengan uji Augmented Dickey-Fuller (ADF). Adapun tujuan dari pengujian akar unit ini adalah untuk menguji stasioneritas dan derajat integritas dari variabel tersebut. Jika seluruh data bersifat stasioner pada level, maka kita bisa langsung melakukan estimasi VAR terhadap data tersebut. Apabila data yang ada tidak stasioner pada level maka akan dilakukan uji kointegrasi pada level dan apabila


(43)

hasilnya terkointegrasi, maka dapat dilakukan estimasi terhadap data menggunakan estimasi VECM. Karena pada penelitian ini hampir semua data tidak stasioner pada data levelnya maka yang digunakan dalam penelitian ini adalah estimasi pada model VECM. Model VAR hanya digunakan untuk pengujian FEDV dan IRF.

3.2.1. MetodeVector Error Correction Model (VECM)

Vector Error Correction Model (VECM) adalah VAR terestriksi yang digunakan untuk variabel yang nonstasioner tetapi memiliki potensi untuk terkointegrasi. Setelah dilakukan pengujian kointegrasi pada model yang digunakan maka dianjurkan untuk memasukkan persamaan kointegrasi ke dalam model yang digunakan. Pada data time series kebanyakan memiliki tingkat stasioneritas pada first difference atau I(1). VECM kemudian memanfaatkan informasi restriksi kointegrasi tersebut ke dalam spesifikasinya. Oleh karena itu, VECM sering disebut sebagai desain VAR bagi series nonstasioner yang memiliki hubungan kointegrasi. Dengan demikian, dalam VECM terdapat speed of adjustment dari jangka pendek ke jangka panjang.

Adapun spesifikasi model VECM secara umum adalah sebagai berikut :

Δyt =µ0x + µ1xt + πxyt-1 + Δyt-I + t ……… ( 3.2 )

di mana :

yt = vektor yang berisi variabel yang dianalisis dalam penelitian µ0x = vector intercept

µ1x = vector koefisien regresi t = time trend

πx = αxβy di mana b‟ mengandung persamaan kointegrasi jangka panjang


(44)

Γix = matriks koefisien regresi k -1 = ordo VECM dari VAR

εt = error term

3.2.2. Pengujian Sebelum Estimasi

Sebelum melakukan estimasi VAR atau VECM terlebih dahulu harus dilakukan beberapa pengujian. Berikut ini adalah beberapa pengujian yang harus dilakukan:

1. Uji Stasioneritas Data

Uji stasioneritas dapat dilakukan dengan metode Augmented Dickey Fuller (ADF) sesuai dengan bentuk tren deterministik yang dikandung oleh setiap variabel. Apabila hasil dari pengujian ini menunjukkan nilai mutlak t-ADF lebih besar dari nilai mutlak MacKinnon critical values-nya maka data telah stasioner pada taraf nyata sebesar lima persen atau satu persen. Dapat juga dilihat pada nilai probabilitasnya. Apabila nilai probabilitasnya kurang dari taraf satu persen, lima persen, dan sepuluh persen maka data tersebut stasioner pada taraf tersebut.

Hasil series stasioner akan berujung pada penggunaan VAR dengan metode standar. Sementara series non stasioner akan berimplikasi pada dua pilihan VAR, yaitu VAR dalam bentuk first difference atau VECM. Keberadaan variabel non stasioner meningkatkan kemungkinan keberadaan hubungan kointegrasi antar variabel. Maka pengujian kointegrasi diperlukan untuk mengetahui keberadaan hubungan tersebut. Pengujian kointegrasi sebaiknya tetap dilakukan pada data stasioner, mengingat terdapatnya kemungkinan kesalahan pengambilan kesimpulan pengujian unit root terkait dengan the power of test.


(45)

2. Penentuan Lag Optimal

Untuk memperoleh panjang selang yang tepat, maka perlu dilakukan tiga bentuk pengujian secara bertahap. Pada tahap pertama akan dilihat panjang selang maksimum sistem VAR yang stabil. Stabilitas sistem VAR dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Suatu sistem VAR dikatakan stabil atau stasioner jika seluruh akar unitnya memiliki modulus lebih kecil dari satu dan semuanya terletak di dalam unit circle (Lutkepohl, 1991).

Pada tahap kedua, panjang selang optimal akan dicari dengan menggunakan kriteria informasi yang tersedia. Kandidat selang yang terpilih adalah panjang selang menurut kriteria Akaike Information Criterion (AIC) dan Schwarz Information Criterion (SC). Jika kriteria informasi hanya merujuk pada sebuah kandidat selang, maka kandidat selang tersebut optimal. Jika diperoleh lebih dari satu kandidat, maka pemilihan dilanjutkan pada tahap ketiga. Selain melalui kriteria AIC, pemillihan lag optimum juga dapat dilakukan berdasarkan Schwarz Information Criterion (SC).

Pada tahap terakhir, nilai Adjusted R2 variabel VAR dari setiap kandidat selang dibandingkan dengan penekanan pada variabel-variabel penting dalam model VAR tersebut. Selang optimal akan dipilih dari sistem VAR dengan selang tertentu yang menghasilkan nilai Adjusted R2 terbesar pada variabel-variabel penting dalam sistem.

3. Pengujian Hubungan Kointegrasi

Kointegrasi adalah suatu hubungan jangka panjang antara variabel-variabel yang meskipun secara individual tidak stasioner, tetapi kombinasi linier antara variabel tersebut dapat menjadi stasioner (Thomas, 1997). Salah satu syarat agar


(46)

tercapai keseimbangan jangka panjang adalah galat keseimbangan harus berfluktuasi di sekitar nol. Dengan kata lain, error term harus menjadi sebuah data time series yang stasioner. Ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk melakukan uji kointegrasi, seperti Eagle-Granger CointegrationTest, Johansen Cointegration Test, dan Cointegration Regression Durbin-Watson Test. Suatu data time series dikatakan terintegrasi pada tingkat ke-d atau sering disebut I(d) jika data tersebut bersifat stasioner setelah pendiferensian sebanyak d kali.

4. Uji Stabilitas Model VAR

Dalam prakteknya, stabilitas sistem VAR dapat dilihat dari nilai inverse roots karakteristik AR polinomialnya. Hal ini dapat dilihat dari nilai modulus di tabel AR roots-nya, jika seluruh nilai AR roots-nya di bawah satu, maka sistem tersebut stabil. 5. Bentuk Urutan Variabel (ordering)

Kebutuhan bentuk urutan variabel sesuai dengan uji kausalitas hanya terjadi jika nilai korelasi residual antar variabel di dalam sistem secara mayoritas (lebih dari 50 persen) menjadi 0,2. Jika mayoritas nilai korelasi antar variabelnya bernilai di atas 0,2 maka spesifikasi urutan variabel sesuai dengan teori ekonomi atau uji kausalitas perlu dilakukan. Jika hasilnya yang ditemukan kontradiktif atau sebaliknya, maka bentuk urutan yang tepat tidak perlu dipermasalahkan.

3.3. Model Penelitian

Dalam penelitian ini akan mengkaji hubungan antara sukuk dengan indikator makroekonomi Indonesia baik hubungan jangka pendek maupun hubungan jangka panjang sehingga model persamaannya adalah sebagai berikut :


(47)

LnSukukt = LnSukukt-i + LnPDBt-i + LnM2t-i + LnIHKt-i + t-i + + LnSBISt-i + t

di mana :

Ln Sukuk = Total Nilai Emisi Penerbitan Sukuk Ln PDB = Gross Domestic Product

Ln M2 = Jumlah Uang Beredar Luas Ln IHK = Indeks Harga Konsumen Ln PT = Pengangguran Terbuka

Ln SBIS = Bonus Sertifikat Bank Indonesia Syariah 3.4. Definisi Operasional

Dalam penelitian ini defisnisi operasional dari setiap variabel yang dipakai, yaitu :

1. Penawaran Sukuk

Variabel penawaran sukuk yang dipakai dalam penelitian ini merupakan total jumlah nilai emisi sukuk yang diterbitkan oleh korporasi dan sukuk negara yang masih beredar (outstanding). Total nilai emisi sukuk korporasi terdiri dari sukuk yang sudah dilunasi dan sukuk yang masih beredar di pasar (outstanding). Total nilai emisi sukuk Negara (SBSN) hanya terdiri dari total sukuk yang masih beredar di pasar (outstanding) karena diterbitkan pertama kali pada tahun 2008 dan memiliki waktu jatuh tempo pada tahun 2015.


(48)

2. Inflasi

Variabel inflasi yang dipakai dalam penelitian ini merupakan indeks harga konsumen (IHK) gabungan di 66 kota di Indonesia. Sejak tahun 2004, IHK dihitung berdasarkan tahun dasar 2002 (2002 = 100) di 45 kota. Sejak bulan Juni 2008, IHK dihitung berdasarkan tahun dasar 2007 (2007 = 100) di 66 kota.

3. Pengangguran Terbuka

Setelah tahun 2000, yang dimaksud jumlah pengangguran terbuka merupakan angkatan kerja yang mencari pekerjaan, yang mempersiapkan usaha, yang tidak mencari pekerjaan karena merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan, dan yang sudah punya pekerjaan, tetapi belum mulai bekerja. Angkatan kerja mulai tahun 2000 dihitung berdasarkan penduduk usia kerja 15 tahun atau lebih. Data pengangguran terbuka dalam penelitian ini pun mendapatkan perlakuan karena data yang diterbitkan oleh BPS merupakan data semesteran. Perlakuan yang dilakukan untuk data semesteran tersebut menggunakan metode Qubic’s Plien pada software e-views, sehingga data semesteran tersebut menjadi data bulanan dan memudahkan dalam melakukan estimasi.

4. Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang dipakai dalam penelitian ini merupakan indikasi dari pendapatan nasional yang mengalami peningkatan atau penurunan yang dapat dilihat dari jumlah total GDP menurut lapangan usaha atas harga konstan 2000. Data GDP dalam penelitian ini pun mendapatkan perlakuan karena data yang diterbitkan oleh BPS merupakan data kuartalan. Perlakuan yang dilakukan untuk data kuartalan


(49)

tersebut menggunakan metode Qubic’s Plien pada software e-views, sehingga data kuartalan tersebut menjadi data bulanan dan memudahkan dalam melakukan estimasi. 5. Jumlah Uang Beredar

Variabel jumlah uang beredar yang dipakai dalam penelitian ini yaitu data bulanan uang beredar luas (M2) yang merupakan penjumlahan antara uang beredar sempit (M1) dengan uang kuasi. Uang beredar sempit (M1) terdiri dari Uang Kartal di Luar Bank Umum dan BPR serta Simpanan Giro Rupiah.

6. Bonus SBIS

Variable Bonus SBIS yang digunakan dalam penelitian ini berupa data bulanan dan dinyatakan dalam satuan persen.


(50)

BAB IV

GAMBARAN UMUM

4.1. Gambaran Umum Obligasi Syariah (Sukuk) di Indonesia 4.1.1. Sejarah Sukuk dan Perkembangan Sukuk Dunia

Sukuk pertama kali diperkenalkan di daerah Timur Tengah pada abad pertengahan yang dipergunakan dalam konteks perdagangan internasional. Sukuk

berasal dari bentuk jamak “Sakk” dalam Bahasa Arab yang berarti sertifikat atau surat

kepemilikan. Kata tersebut kemudian menjadi asal dari kata “Cheque” dalam Bahasa

Eropa yang berarti dokumen yang merepresentasikan sebuah kontrak (contracts) atau pengalihan kepemilikan (conveyance of rights), obligasi (obligations) atau kewajiban yang harus dipenuhi (monies done) berdasarkan prinsip syari‟ah. Sukuk digunakan secara luas oleh masyarakat pada zaman itu dalam bentuk surat berharga yang mewakili kewajiban pembiayaan yang berasal dari perdagangan dan kegiatan komersil.4

Dalam perkembangannya, upaya mengembangkan dan meluncurkan kembali surat berharga yang serupa obligasi syari‟ah dilakukan di Negara Yordania pada tahun 1978. Pemerintah setempat memberikan izin kepada Bank Islam Jordan untuk menerbitkan obligasi islam yang dikenal dengan obligasi mukharadah. Hal ini menjadi inspirasi bagi Negara Pakistan yang pada akhirnya menerbitkan undang-undang (UU) khusus yang disebut Peraturan tentang Perusahaan Mudarabah dan Aturan Pengembangan dan Kontrol Mudarabah 1980.

4


(1)

Variance Decomposition of LNM2

Period LNSUKUK LNSBIS LNPT LNPDB LNM2 LNIHK 1 4.238884 0.38445 6.893495 1.099903 87.38327 0 2 15.66536 1.34222 7.921333 1.594947 70.15884 3.317293 3 18.59634 2.586313 6.985202 1.777027 63.68675 6.368366 4 24.0432 2.576823 5.332268 2.547693 60.48148 5.018542 5 25.94036 2.372321 8.524277 6.107232 53.5949 3.460912 6 24.46215 1.825448 10.09731 10.46413 50.01902 3.131951 7 22.43267 1.355563 14.81046 11.97668 45.44323 3.981402 8 22.09751 1.285196 16.48265 12.05663 44.20634 3.871676 9 21.57002 1.3009 16.68622 12.16331 44.41689 3.862652 10 21.78175 1.299151 16.91574 12.12488 44.00536 3.873111 11 22.09824 1.253626 16.81233 11.88772 44.24993 3.698154 12 22.66818 1.192777 16.57775 11.58939 44.39405 3.577856 13 23.43196 1.133579 16.3486 11.26807 44.38486 3.43293 14 24.00184 1.077822 16.03559 11.11457 44.47567 3.294505 15 24.45792 1.015863 15.95301 11.14023 44.24642 3.186547 16 24.68769 0.956936 16.05045 11.24839 43.98492 3.071617 17 24.67244 0.903829 16.24859 11.41143 43.75974 3.003975 18 24.58641 0.87026 16.53955 11.56385 43.47929 2.960649 19 24.46871 0.850742 16.75258 11.68615 43.33151 2.910305 20 24.40165 0.83093 16.91466 11.75478 43.22969 2.868292 21 24.42041 0.81221 17.01222 11.7521 43.1893 2.81377 22 24.49004 0.792425 17.02729 11.71624 43.21576 2.758243 23 24.60971 0.77216 17.01517 11.67101 43.22587 2.706074 24 24.74456 0.751645 16.98685 11.63286 43.23158 2.65249 25 24.86718 0.730216 16.96555 11.61301 43.21938 2.604655 26 24.96738 0.70976 16.971 11.61005 43.17983 2.561977 27 25.02801 0.691335 16.99517 11.62559 43.13515 2.524751 28 25.05732 0.675144 17.04107 11.65381 43.07797 2.494684 29 25.06893 0.66132 17.09735 11.68261 43.02264 2.467148 30 25.07395 0.649005 17.14946 11.70505 42.98098 2.441559 31 25.08585 0.637865 17.19318 11.71702 42.94928 2.4168 32 25.10812 0.627435 17.22252 11.71979 42.93068 2.391451 33 25.14089 0.617092 17.24005 11.71692 42.91857 2.366473 34 25.18203 0.606786 17.25058 11.71106 42.90781 2.34173 35 25.22523 0.596564 17.2571 11.70577 42.89751 2.317825 36 25.26607 0.586622 17.26472 11.70348 42.88354 2.295568 37 25.30094 0.577188 17.27571 11.7051 42.86617 2.274887


(2)

106

38 25.32824 0.568317 17.29067 11.71027 42.84651 2.255997 39 25.34929 0.560083 17.30926 11.71723 42.82549 2.238637 40 25.36601 0.552472 17.32905 11.72432 42.8058 2.222346 41 25.38099 0.545377 17.34819 11.73031 42.78823 2.206896 42 25.39648 0.53868 17.3653 11.73446 42.77318 2.1919 43 25.41351 0.532241 17.37953 11.73676 42.76074 2.177228 44 25.43235 0.525985 17.3912 11.73766 42.7499 2.162905 45 25.45235 0.519893 17.40092 11.73788 42.74 2.148955 46 25.47245 0.513965 17.40961 11.7382 42.73024 2.135526 47 25.4917 0.508229 17.41823 11.73908 42.72007 2.122697 48 25.50934 0.502715 17.42725 11.7407 42.7095 2.1105 49 25.52514 0.497443 17.4369 11.74295 42.69863 2.098944 50 25.53928 0.492423 17.447 11.74555 42.68779 2.087951

0 20 40 60 80 100 120

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

LNIHK

LNM2

LNPDB

LNPT

LNSBIS


(3)

Variance Decomposition of LNIHK:

Period LNSUKUK LNSBIS LNPT LNPDB LNM2 LNIHK 1 10.93822 1.121842 1.446926 5.869115 0.442185 80.18171 2 10.13493 0.738051 3.764226 9.608486 0.265371 75.48894 3 8.534105 1.997005 4.390588 10.16416 0.213014 74.70113 4 8.302246 3.260073 4.64829 9.488096 0.243109 74.05819 5 7.706789 3.136994 5.029768 9.129769 0.256475 74.7402 6 7.173235 2.741817 5.14298 9.384422 0.239426 75.31812 7 6.652326 2.495951 5.746698 9.505682 0.20877 75.39057 8 6.331083 2.576768 5.728052 9.161245 0.21132 75.99153 9 6.122052 2.688896 5.571772 8.656145 0.226258 76.73488 10 6.014656 2.735415 5.259047 8.228232 0.275354 77.4873 11 5.933883 2.788345 4.997603 7.953099 0.300117 78.02695 12 5.935144 2.886547 4.827 7.767097 0.312789 78.27142 13 5.951452 2.989043 4.746284 7.629265 0.30218 78.38178 14 5.955032 3.027406 4.711866 7.551416 0.284847 78.46943 15 5.930898 3.006964 4.725316 7.545221 0.267867 78.52373 16 5.873715 2.979711 4.75586 7.574095 0.253056 78.56356 17 5.811746 2.96395 4.799974 7.577464 0.240615 78.60625 18 5.752203 2.955474 4.817199 7.537833 0.231197 78.70609 19 5.697045 2.949849 4.797682 7.473652 0.225216 78.85655 20 5.653564 2.950121 4.756539 7.401189 0.223515 79.01507 21 5.621729 2.962822 4.705129 7.328147 0.223965 79.15821 22 5.602591 2.982994 4.656243 7.259055 0.223778 79.27534 23 5.592251 3.00083 4.615692 7.200673 0.22188 79.36867 24 5.583509 3.012441 4.585397 7.158802 0.21845 79.4414 25 5.573898 3.018511 4.568007 7.131851 0.21426 79.49347 26 5.561375 3.021442 4.560125 7.113286 0.209786 79.53399 27 5.545848 3.022099 4.55683 7.096963 0.205376 79.57288 28 5.528587 3.020944 4.553633 7.079331 0.201474 79.61603 29 5.510506 3.01993 4.546977 7.059072 0.198341 79.66517 30 5.493516 3.020669 4.536533 7.03571 0.196026 79.71755 31 5.478828 3.02352 4.522882 7.009911 0.194328 79.77053 32 5.466639 3.027765 4.507349 6.983654 0.192909 79.82168 33 5.456792 3.032344 4.491977 6.959061 0.19153 79.8683 34 5.448494 3.036691 4.478194 6.937478 0.190035 79.90911 35 5.441009 3.040446 4.466912 6.919156 0.18836 79.94412 36 5.433741 3.043297 4.458189 6.903593 0.186543 79.97464 37 5.426185 3.045212 4.451342 6.890026 0.184674 80.00256 38 5.418265 3.046432 4.445592 6.877567 0.182864 80.02928


(4)

108

39 5.410127 3.047388 4.440111 6.865384 0.181203 80.05579 40 5.402053 3.048443 4.4343 6.852947 0.179725 80.08253 41 5.394364 3.049746 4.427927 6.840138 0.178428 80.1094 42 5.387235 3.051325 4.421037 6.827198 0.177276 80.13593 43 5.380745 3.05312 4.413941 6.814502 0.176218 80.16147 44 5.374861 3.05501 4.407012 6.802385 0.175203 80.18553 45 5.369444 3.056854 4.400534 6.791073 0.174192 80.2079 46 5.36434 3.058522 4.394674 6.780646 0.173171 80.22865 47 5.359398 3.059959 4.38944 6.771041 0.172146 80.24802 48 5.354524 3.061182 4.384724 6.762087 0.171133 80.26635 49 5.349694 3.06225 4.380355 6.753567 0.170153 80.28398 50 5.344926 3.063235 4.376153 6.745298 0.169222 80.30117

0 20 40 60 80 100 120

1 4 7 10 13 16 19 22 25 28 31 34 37 40 43 46 49

LNIHK

LNM2

LNPDB

LNPT

LNSBIS


(5)

Indonesia : Sebuah Analisis Vector Error Correction Models (VECM). (dibimbing oleh IRFAN SYAUQI BEIK)

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk beragama islam terbesar di dunia. Potensi ini seharusnya bisa menjadi pasar yang besar bagi industri perbankan ataupun lembaga keuangan syariah lainnya, termasuk di dalamnya pasar modal syariah. Masalah asymmetric information yang dihadapi oleh industri perbankan dan lembaga keuangan konvensional lainnya karena istrumen profit bunganya yang dapat menimbulkan cost yang lebih tinggi juga seharusnya menambah minat masyarakat Indonesia untuk beralih ke industri keuangan yang bersifat syariah dengan istrumen profit-loss sharing yang menimbulkan cost yang relatif lebih rendah. Selain itu keuangan yang bersifat syariah juga menerapkan prinsip-prinsip yang adil dan melarang terhadap praktik yang mengandung riba, gharar, dan maysir sehingga lebih jelas kehalalannya bagi penduduk muslim.

Salah satu industri keuangan yang bersifat syariah yang sudah berkembang cukup lama yaitu industri pasar modal syariah. Pasar modal syariah ini mempunyai tiga macam produk yang diterbitkan, yaitu reksadana syariah, saham syariah yang lebih dikenal dengan Jakarta Islamic Index (JII), dan obligasi syariah (sukuk).

Sejak awal diterbitkannya pada tahun 2002, penerbitan sukuk selalu mengalami pertumbuhan dari tahun ke tahun. Terlebih ketika diterbitkannya sukuk global (SBSN) pada tahun 2008. Pada awal penerbitan sukuk pada tahun 2002, jumlah total emiten dan jumlah nilai emisi sukuk hanya 1 dengan total nilai 175 miliar. Pada tahun 2011, total emiten sukuk korporasi berjumlah 48 dengan nilai emisi total 70.686,4 milyar rupiah.

Manfaat yang diperoleh dari penerbitan sukuk diantaranya yaitu sebagai diversifikasi sumber pendanaan untuk membiayai pembangunan infrastruktur bagi negara dan perluasan usaha bagi korporasi. Selain itu, sukuk juga sangat berperan dalam pertumbuhan sektor ril.

Penelitian ini menganalisis hubungan sukuk dengan indikator makroekonomi Indonesia menggunakan data sekunder deret waktu dari Mei 2006 - Desember 2010. Alat analisis yang digunakan yaitu VECM. Berdasarkan hasil pembahasan secara keseluruhan menunjukkan bahwa pada jangka pendek penerbitan sukuk tidak dipengaruhi oleh seluruh variabel makroekonomi yang diamati. Pada jangka panjang penerbitan sukuk di Indonesia dipengaruhi oleh indikator makroekonomi, yaitu pertumbuhan ekonomi, jumlah uang beredar, pengangguran terbuka, inflasi, dan bonus SBIS. Hal ini dikarenakan ketika perusahaan dan pemerintah menerbitkan sukuk akan disesuaikan dengan kondisi makroekonomi yang ada di Indonesia.

Ketika pertumbuhan ekonomi meningkat maka penerbitan sukuk juga akan mengalami peningkatan karena kondisi makro ekonomi domestik dalam keadaan baik. Ketika tingkat pengangguran terbuka dan inflasi mengalami kenaikan maka penerbitan sukuk akan mengalami penurunan yang diakibatkan kondisi makroekonomi domestik dalam keadaan tidak baik. Hal ini dikarenakan


(6)

pemerintah dan korporasi selaku emiten akan melihat dan menyesuaikan jumlah sukuk yang diterbitkan dengan kondisi pasar yang terjadi. Ketika terjadi peningkatan angka pengangguran maka masyarakat mengalami penurunan standar hidup dan daya beli. Hal ini mengakibatkan kondisi pasar keuangan domestik akan memburuk. Ketika terjadi peningkatan harga-harga barang dan jasa (inflasi) maka daya beli masyarakat berkurang yang pada akhirnya kondisi pasar keuangan domestikpun akan memburuk. Ketika terjadi peningkatan pada jumlah uang beredar di masyarakat, pemerintah akan menerbitan sukuk sebagai salah satu instrumen yang digunakan dalam operasi pasar terbuka. Ketika terjadi penurunan bonus SBIS maka para emiten korporasi maupun pemerintah akan mamanfaatkan hal ini untuk menerbitkan obligasi syariah. Hal ini dikarenakan dengan turunnya bonus SBIS maka dana yang dikeluarkan untuk membayar return obligasi syariah akan lebih rendah sehingga obligasi syariah yang diterbitkan menjadi bertambah.

Berdasarkan hasil Uji FEDV dan Uji Kausalitas Granger, pada masa yang akan datang penerbitan sukuk juga memiliki dampak terhadap pertumbuhan ekonomi, dan pengangguran dengan porsi kontribusi masing-masing sepuluh persen dan lima persen. Hal ini dikarenakan sukuk merupakan instrumen investasi yang diperuntukkan ke pembangunan infrastruktur dan sektor ril sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi dan pengangguran. Penerbitan sukuk tidak memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi karena sukuk merupakan surat berharga yang tidak dijadikan instumen pada operasi pasar tebuka oleh pemerintah untuk menarik peredaran uang yang ada di masyarakat. Namun penerbitan sukuk tetap berpotensi untuk memengaruhi jumlah uang beredar dan inflasi jika pemerintah menjadikan sukuk sebagai surat berharga yang dijadikan sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka. Hasil FEDV ini juga menunjukkan butuh waktu yang cukup panjang bagi suatu variabel mikro yang baru tumbuh selama sepuluh tahun untuk dapat memengaruhi variable makro.

Ketika penerbitan sukuk mengalami guncangan yaitu pemerintah dan korporasi tidak lagi menerbitkan sukuk maka maka pengaruh yang berfluktuatif dirasakan seluruh variabel makroekonomi yang diamati. Semua indikator makroekonomi tersebut membutuhkan waktu yang agak lama untuk kembali stabil. Ketika terjadi guncangan pada kondisi makroekonomi di Indonesia, penerbitan sukuk relatif lebih cepat stabil dan tahan terhadap goncangan.

Pada akhirnya kebijakan yang harus diambil pemerintah tentang penerbitan sukuk adalah pemerintah harus menjaga stabilitas kondisi makroekonomi Indonesia, khususnya pertumbuhan ekonomi dan tingkat pengangguran terbuka karena kedua variabel inilah yang memiliki pengaruh paling besar terhadap penerbitan sukuk. Hal ini dikarenakan penerbitan sukuk dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan mengurangi jumlah tingkat pengangguran sehingga pemerintah juga harus memperbanyak nilai emisi sukuk dan menjaga stabilitasnya.

Pemerintah juga sebaiknya menjadikan sukuk sebagai instrumen pada operasi pasar terbuka guna mengurangi jumlah uang beredar di masyarakat yang pada akhirnya akan mengurangi inflasi. Hal ini dikarenakan berdasarkan hasil FEDV justru variabel jumlah uang beredarlah yang merasakan dampak paling besar akibat penerbitan sukuk.