Ketiga, faktor yang berkaitan dengan peraturan yaitu faktor adanya ketentuan bahwa asetkegiatan usaha yang mendasari penerbitan sukuk tidak bertentangan
dengan prinsip syariah, faktor perlakuan perpajakan atas sukuk dan faktor kebijakan perusahaan dalam pendanaan financing.
Faktor-faktor yang mempengaruhi penerbitan sukuk negara oleh pemerintah Indonesia yaitu faktor pendanaan stimulus fiskal yang dibutuhkan oleh pemerintah
untuk membiayai pembangunan infrastruktur dan untuk membiayai defisit APBN. Penawaran sukuk yang dilakukan oleh korporasi dan perusahaan juga dipengaruhi
oleh permintaan pasar. Menurut Achsein 2004 dalam Huda, et al 2008, selain mengalami
perkembangan yang terus meningkat, sukuk di Indonesia juga tidak luput dari tantangan dan kekurangan yang tak sedikit, diantarnya yaitu sosialisasi yang masih
kurang, opportunity cost yang secara sederhana diterjemahkan sebagai “second best choice
”, perdagangan obligasi syariah di pasar sekunder yang kurang likuid karena merupakan investasi jangka panjang. Hal ini dibuktikan oleh porsi sukuk yang
diterbitakan di Indonesia sampai September 2011 hanya sebesar 9,52 persen jika dibandingkan dengan obligasi konvesional yang total nilai emisi penerbitannya sudah
mencapai 90,48 persen.
4.2. Kondisi Makroekonomi Indonesia Setelah Penerbitan Obligasi Syariah
2006-2011 Pada selang waktu ini kondisi makroekonomi bersifat fluktuatif. Ada kalanya
mengalami pertumbuhan positif namun ada kalanya pula mengalami pertumbuhan
negatif. Kondisi perekonomian ini dipengaruhi oleh faktor eksternal dan faktor internal. Faktor eksternal ikut mempengaruhi karena Indonesia merupakan negara
dengan perekonomian terbuka dan mengalami arus globalisasi sehingga tidak dapat lepas dari perekonomian dunia. Salah satu faktor tersebut adalah guncangan ekonomi
dunia seperti krisis subprime mortage pada tahun 2007, krisis keuangan Eropa, serta krisis Timur Tengah yang mengakibatkan kenaikan harga minyak dunia. Faktor
internal sendiri berasal dari dalam negeri, seperti guncangan pada kondisi makroekonomi itu sendiri, guncangan pada harga-harga dalam negeri serta situasi
politik. Gambaran kondisi makroekonomi Indonesia dapat dilihat pada tabel 4.3
Tabel 4.3. Indikator Makroekonomi Indonesia 2006-2011
Tahun Pertumbuhan
Ekonomi Tingkat
Inflasi Tingkat
Pengangguran Jumlah
Uang Beredar
Bonus SBIS
2006 6.05
6.60 -13.44
14.94 8.62
2007 5.84
6.59 5.84
19.32 6.8
2008 5.28
11.06 6.16
14.92 10.49
2009 5.38
2.78 -4.59
12.95 6.46
2010 6.95
6.96 -7.17
15.40 6.26
2011 6.50
7.03 -7.45
2.97 6.41
Sumber : BPS 2012, diolah
Pada tahun 2006 pertumbuhan ekonomi berada di angka 6,05 persen dengan tingkat inflasi 6,6 persen, tingkat jumlah uang beredar yang tinggi di 14,94 persen,
dan tingkat pengangguran terbuka turun sebesar 13,44 persen dari tahun sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi memburuk pada rentang waktu tahun 2007-2009 yang
hanya mencapai rata-rata pertumbuhan 5 persen. Tingkat inflasi meningkat di angka 11,06 persen pada tahun 2008 namun kembali terkendali menjadi 2,78 persen pada
tahun 2009. Tingkat pengangguran berada di angka 6 persen pada tahun 2007 dan
2008 dan mengalami pertumbuhan yang negative menjadi -4,59 persen pada tahun 2009. Hal ini menunjukkan perekonomian Indonesia yang memburuk akibat dampak
krisis subprime mortage di AS dan kenaikan harga minyak dunia serta komoditas internasional lainnya pada tahun 2007, namun mampu kembali bangkit dan stabil
akibat adanya pemilihan umum di tahun 2009. Pengangguran terbuka dalam rentang tahun 2009-2011 mengalami
pertumbuhan yang negatif. Hal ini disebabkan kondisi keamanan dan sosial di dalam negeri yang relatif stabil serta terjadinya pemilihan umum di tahun 2009. Selain itu
juga pada tahun 2010 terjadi sensus penduduk di seluruh Indonesia sehingga memerlukan banyak tenaga kerja untuk melakukan sensus tersebut.
Kondisi perekonomian mempunyai hubungan dengan pasar modal. Jika perekonomian membaik maka pasar modal akan berkembang dan mampu
merangsang penerbitan sukuk. Jika kondisi perekonomian Indonesia mengalami penurunan maka pasar modal pun akan terkena imbasnya
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Uji Stasioneritas
Hasil dan pembahasan dalam penelitian ini akan didasarkan pada langkah- langkah yang telah dijelaskan sebelumnya pada Bab III. Langkah pertama merupakan
langkah yang penting sebelum mengolah data lebih lanjut. Data time series yang digunakan mengandung kemungkinan memiliki akar unit yang menyebabkan data
menjadi tidak stasioner pada level. Data yang memiliki akar unit, mungkin saja hasil regresinya kelihatan bagus ternyata hasil tersebut menjadi tidak valid dan tidak
mampu menggambarkan keadaan sesungguhnya yang terjadi. Dalam penelitian ini akan digunakan uji stasioneritas Augmented Dickey Fuller ADF. Apabila hasil dari
pengujian ini menunjukkan nilai mutlak t-ADF lebih besar dari nilai mutlak MacKinnon critical values
-nya maka data telah stasioner pada taraf nyata sebesar lima persen atau satu persen. Dapat juga dilihat pada nilai probabilitasnya. Apabila
nilai probabilitasnya kurang dari taraf satu persen, lima persen, dan sepuluh persen maka data tersebut stasioner pada taraf tersebut.
Berdasarkan hasil uji yang diperoleh, hanya ada satu data yang stasioner pada level, yaitu data Ln SBIS. Lima data lainnya tidak stasioner pada level sehingga perlu
pengujian stasioneritas pada first difference-nya. Hasil pengujian tersebut dapat dilihat dalam tabel 5.1 dan 5.2 berikut.
Dari tabel 5.2 dapat terlihat bahwa Uji ADF pada level First Difference yang dilakukan menunjukkan semua data telah stasioner pada taraf nyata lima persen.