Soekarno Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

pertentangan sosial, sementara para pemimpin sosialisme Islam merasakan sebagai tuntutan jiwanya yang mengabdi pada tuhan, bahwa mencapai sosialisme didalam mayarakat adalah kewajiban hidupnya, suruhan yang maha kuasa yang tidak dapat diingkarinya Hatta 1954:113-115. Sosialisme di Indonesia yang asli adalah kolektivisme masyarakat desa, misalnya tanah bukanlah milik orang-perorangan melainkan kepunyaan desa. Orang-seorang hanya memiliki hak pakai, berdasarkan hak milik bersama atas tanah sebagai alat produksi yang terutama dalam masyarakat agraris setiap orang yang menggunakan tenaga ekonominya harus mendapat persetujuan dari seluruh masyarakat desa. Semangat kolektivisme dilakukan secara bersama-sama dengan tanggung jawab pekerjaan ada pada semua orang. Seperti dicontohkan dalam kehidupan sehari-hari adanya kegotongroyongan dalam membangun rumah, mengantar jenazah, dll, sehingga batasan antara hukum publik dan hukum prive tersamarkan. Adanya semangat solidaritas yang memupuk landasan yang baik untuk membangun koperasi ekonomi sebagai sendi perekonomian masyarakat. Desa merupakan kiblat demokrasi asli Indonesia yaitu kolektivisme yang berdasarkan musyawarah untuk mufakat, dengan usaha gotong royong yang merupakan pendukungnya.

3.2.2 Demokrasi dan Kedaulatan Rakyat

3.2.2.1 Soekarno

Sejak umur 20-an Bung Karno telah aktif menolak paham kapitalis- imperialisme karena keberadaannya telah menyengsarakan ibu pertiwinya. Ia bahkan menganjurkan kepada Sarekat Islam untuk meneruskan perjuangan melawan kapitalisme. “apa gunanya kita mempunyai pemerintah sendiri jika ia masih dikuasai penganut-penganut kapitalisme-imperialisme” Dahm 1987:244. Bung Karno mencurahkan pemikirannya dalam sebuah artikel demokrasi politik dan demokrasi ekonomi yang di muat di koran pikiran rakyat tgl. 28 oktober-4 November 1932. dalam tulisannya tersebut ia memperingatkan kepada kaum marhaen untuk tidak meniru demokrasi Barat, hal ini disebabkan karena demokrasi Barat tidak menjamin kesejahteraan kaum marhaen melainkan mensejahterakan kaum marhaen dibidang politik, tetapi tidak dibidang ekonomi. Kaum marhaen yang nota benenya sebagai masyarakat kelas bawah akan selalu kekurangan. Bung Karno mencontohkan pengalaman yang dilakukan oleh revolusi Perancis dimana kaum proletar hanya diberi hak-hak politik sedangkan kaum borjuis tetap memegang kekuatan ekonomi. Dengan demikian kaum proletar rakyat jelata bisa mengusir menteri dan membuat menteri itu terpelanting dan rakyat jelata menjadi “raja” tapi pada saat yang sama kaum proletar bisa pula diusir dari pabrik dari tempat dimana ia bekerja, dilemparkan ke atas jalan, menjadi orang pengangguran karena itu mereka tetap saja sengsara akibat pemberlakuan demokrasi parlementer yang telah menyuburkah kapitalisme. Bung Karno bertambah kuat setelah melihat negara-negara Barat semakin kejangkitan kapitalisme. Karena itu dalam artikel “Demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial” yang dimuat dalam majalah pemandangan pada tahun 1941, Bung Karno memandang bahwa kapitalisme itu mendapat perlindungan dari sebuah sistem demokrasi yang memungkinkan dominasinya yaitu demokrasi parlementer. Demokrasi parlementer dianggap belum cukup menjamin kemakmuran rakyat selama belum ada pemerataan ekonomi, karena biasanya parlemen dikuasai oleh kaum borjuis. Mereka ini bisa menguasai saluran-saluran propaganda media massa, rakyat jelata jika mendapat suara yang banyak tetapi tidak mendapatkan kesamarataan ekonomi, sejarah Parlementaire democratie telah membuktikannya. Azas demokrasi parlementer mengenai kesamaan politik saja, tidak untuk kesamarataan ekonomi. Menurut Bung Karno “Demokrasi Parlementer itu hanya memberikan keuntungan-keuntungan sementara pada kapitalisme, tapi juga menjamin kesinambungannya.” Demokrasi Versi Indonesia Yakni menganut prinsip-prinsip musyawarah yang akhirnya menghasilkan mufakat. Menurut Bung Karno menegaskan bahwa jiwa Indonesia bertentangan dengan jiwa fasisme yaitu jiwa yang menyerahkan segala hal kepada kehendak satu orang saja, jiwa “perseorangan”, jiwa kezaliman dan jiwa diktator Fasisme Jerman yang melahirkan fuhrer prinsip, artinya pemimpin harus diikuti saja bagian bawah hingga atas tanpa banyak mikir lagi, iBarat Samina wa Atha’na. Bung Karno menyatakan bahwa demokrasi-Indonesia yaitu sosio demokrasi dengan sebuah lembaga yang mewakili seluruh rakyat yang senantiasa manganut prinsip-prinsip gotong royong disamping tiu juga menggunakan prinsip demokrasi musyawarah untuk mencapai mufakat. Bung Karno ternyata tidaklah menyukai demokrasi berdasarkan pemungutan suara voting karena suara di Barat itu bisa berdampak tirani terhadap minoritas. Selanjutnya Bung Karno mengungkapkan tentang kebudayaan masyarakat Indonesia yang menuruti sabda pandhito ratu merupakan suatu kultur terpimpin. Dimana demokrasi terpimpin layaknya demokrasi yang mengenal lembaga khalifah, dimana khalifah harus dipilih oleh umat Islam dan khalifah harus mampu melidungi seluruh umat Islam. Disuatu kesempatan lain dalam pidatonya Bung Karno mengibaratkan pemimpin merupakan pengenbala. Disini seorang kepala pemerintahan diartikan sebagai imam yang memiliki tanggung jawab atas keadaan rakyatnya. Slogan mengenai demokrasi dari rakyat untuk rakyat menurut Bung Karno bahwa demokrasi haruslah benar-benar nyata memberi keuntungan pada rakyat. Oleh sebab itu demokrasi harus memiliki disiplin dan harus memiliki pemimpin. Dalam ide guided democrazy haruslah sesuai dengan UUD’45, dimana dari sinilah merupakan cerminan kepribadian identity bangsa Indonesia. Bung Karno yakinmeyakini bahwa demokrasi yang cocok untuk kultur Indonesia adalah adalah demokrasi terpimpin yang berdasarkan UUD’45. Sebagai hasil dari permusyawaratan perwakilan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dari Majelis Permusyawaratan Rakyat MPR berupa GBHN yang kemudian diserahkan ke presiden yang dipilih oleh khidmat kebijaksanaan tidak dengan perdebatan. Bung Karno bukanlah diktator dimana berlainan dengan demokrasi sentralisme dan berbeda pula dengan demokrasi liberal. Untuk menstabilkan demorasi terpimpin haruslah selalu menjamin kontinuitas, sehingga akan membuahkan hasil dimana kekuasaan presiden semakin kuat serta sesuai denga koridor konstitusi dan presiden diberhentikan MPR diawasi DPR. Bung Karno menegaskan bahwa demokrasi berarti toleransi atau kesediaan memberikan kesempatan pada orang atau pihak lain terus mengenal oposisi merasa tidak berkewajiban untuk mengatakan pemerintah berbuat baik. Selanjutnya beliau mengatakan bahwa demokrai erpimpin haruslah senantiasa melahirkan pendapat sehat. Adapun fungsi oposisi menurut kacamata bung Karno itu juga ikut andil, ikut menentukan GBHN di MPR dan ikut membuat UU di DPR. Bung Karno mengajarkan penertiban dan pengaturan menurut wajarnya kemudian diimplementasikan dalam UU kepartaian. Demokrasi terpimpin haruslah bisa mencapai masyarakat yang adil dan makmur sehingga tidak salah jika demokrasi terpimpin adalah demokrasi penyelenggara atau demokrasi yang perlu dihasilkan dengan bekerja dan bekerja bukan cuma berbicara. Alat demokrasi terpimpin mengenal kebebasan berpikir dan berbicara dalam batas keselamatan negara. Demokrasi berarti kemerdekaan membuat orang bebas menggunakan pikirannya tanpa campur tangan pihak lain.

3.2.2.2 Bung Hatta