Pertentangan Di Masa Kolonial

3.3 Pertentangan Soekarno-Hatta

3.3.1 Pertentangan Di Masa Kolonial

Pertentangan antara Soekarno dan Hatta dimasa ini terjadi dalam hal perjuangan melawan pemerintahan kolonial. Soekarno lebih berhaluan keras terhadap kebijakan dan sistem pemerintahan kolonial, berbeda dengan Hatta yang lebih kooperatif dengan pihak penjajah pemerintah kolonial. Perbedaan sikap ini timbul karena beberapa faktor, menurut Nasution 1994 mengutip pendapatnya Feith 1962 bahwa latar belakang atau lingkungan yang membentuk kepribadian seseorang sangat menentukan, selanjutnya Nasution berargumentasi bahwa pendidikan Soekarno yang Jawa pribumi dan Hatta yang Barat membentuk sikap keduanya. Soekarno memperoleh pendidikan di dalam negeri sedangkan Hatta banyak memperoleh pendidikan di Barat sehingga sikap melawan pemerintahan yang dilakukan oleh Hatta lebih kooperatif karena keliberalannya dari pada Soekarno. Soekarno banyak mendapatkan ilmu dari seorang gurunya yang berhaluan agak komunis C Hartogh namanya, sehingga pemikiran-pemikiran Soekarno dilandasi oleh komunisme walaupun hasilnya Soekarno tidak 100 komunis. Kedua tokoh ini aktif dalam gerakan-gerakan nasionalais. Soekarno aktif di Partai Nasional Indonesia PNI sedangkan Hatta di Perhimpunan Indonesia PI. Karakteristik organisasi pergerakan keduanya berbeda satu sama lain Soekarno dengan PNI melakukan perlawanan terhadap pemerintah kolonial dengan radikal dan tidak kooperatif sedangkan Hatta dengan PI-nya lebih kooperatif dengan pemerintah kolonial. Pertentangan diantara keduanya mengalami fase yang meningkat tatkala Soekarno ditahan akibat terlalu sering melawan pemerintah akibat pidatonya yang terlalu keras terhadap pemerintah kolonial Belanda. Pidato-pidato yang dilakukan oleh soekarno sebenarnya telah diperingatkan oleh Hatta bahwa dalam melakukan pergerakan tidaklah dengan cara yang radikal tetapi menggunakan cara-cara yang kooperatif. Soekarno dalam sidangnya dihadapan para hakim kolonial menyampaikan pledoinya yang lebih terkenal dengan “Indonesia Menggugat.” Menirukan gaya Bung Hatta sewaktu diadili pemerintah kolonial Belanda, Soekarno tidak dapat meyakinkan hakim-hakim tersebut sehingga mengantarkannya ke pejara Sukamiskin Alam 2003:52-55. Pasca dijebloskannya Soekarno ke Penjara tidak mengaubah keduanya untuk saling “berseteru”, Bung Hatta yang telah memperingatkan Soekarno agar berhati- hati terhadap pemerintah kolonial merasa tergugah untuk terus melakukan perjuangan melawan pemerintah kolonial Belanda. PNI sebagai partai yang perkembangannya cukup menakjubkan mendadak dibubarkan oleh para pemimpinnya. Hal ini menimbulkan pergolakan ditingkat pengurus cabang- canbangnya yang tidak berkeingginan untuk membubarkannya. Para pemimpin PNI bersama Soekarno kemudian membentuk partai baru yaitu Partai Indonesia Partindo kemudian kelompok yang tidak setuju dengan pembentukan partai baru ersebut yang lebih dikenal dengan sebutan “golongan merdeka” membentuk partai lain yaitu Partai Nasional Indonesia PNI baru yang didukung oleh Hatta Pringgodigdo 1950:127. Perseteruan antara kedua partai ini terus muncul sehingga membuat perjuangan nasionalis melawan pemerintah kolonial menjadi “kendor” akibat kehabisan energi untuk mengurus perseteruan ini. Sebelumnya Hatta dan Sharir banyak terlibat dalam golomgan merdeka mengundurkan diri dari Perhimpunan Indonesia dan mulai aktif dalam pergerakan di Tanah air bersama PNI baru yang didirikannya. Dengan kembalinya Bung Hatta dari Eropa ke Tanah air membuat pergerakan di tanah air menjadi semakin menarik. Pada tanggal 3 desember 1933 timbul tragedi besar dimana Soekano yang ditahan di penjara Sukamiskin menulis surat kepada pemerintah kolonial hindia belanda untuk memberikan keringanan terhadap penahanannya. Adanya surat ini menimbulkan polemik yang berkepanjangan sampai Hatta mengkritik dengan pedasnya melalui berbagai media massa yang ada pada saat itu. Surat-surat tersebut tidak saja menimbulkan kontroversi tetapi juga menimbulkan keprihatinan yang mendalam banyak diantara kalangan sejarawan yang masih meragukan keaslian surat tersebut karena sampai sekarang surat aslinya tidak pernah lagi terlihat seperti halnya supersemar Frederik dan Soeroto 1982:434-436.

3.3.2 Pertentangan Di Masa Pendudukan Jepang