3.3.3 Pertentangan Di Masa Persiapan Naskah UUD 1945
Pada persiapan naskah Undang-Undang Dasar 1945 UUD’45 pertentangan pendapat antara Soekarno-Hatta berlangsung berlarut larut, dengan tidak
meninggalkan pertentangan pendapat dengan yang lainnya disini akan diungkap perbedaan-perbedaaan tersebut.
Perdebatan pertama terjadi pada saat penyusunan dan pemasukan naskah piagam Jakarta ke dalam preambule pembukaan UUD’45, namun sayang
mengutip yang dikatakan Alam 2002:154-156 bahwa dokumen resmi notulen mengenai perdebatan antara kedua tokoh tidak diarsip dengan baik alias tidak
diketahui rimbanya lenyap. Buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
tidak memuat secara lengkap sidang-sidang tersebut terutama yang terjadi pada tanggal 30 Mei 1945 dan 17 Juli 1945, bahkan buku ini mendapat kritikan
dari pakar Belanda JHA Logeman bahwa penulis buku Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945
Moh. Yamin sangat ceroboh dan banyak terjadi kelalaian dalam memuat lampiran serta halaman-halaman yang dikutipnya
Giebels 2001:361. Perbedaan pandangan antara Bung Karno dan Bung Hatta sempat terjadi
ketika membahas mengenai “Batas Negara”, dalam rapat besar sidang kedua BPUPKI, 11 juni 1945. Bung Hatta berpendapat bahwa batas wilayah Indonesia
adalah seperti yang diperoleh pemerintahan Hindia Belanda, hanya sebagian Papua dan tidak termasuk Malaka. Soekarno berpendapat lain bahwa wilayah
Indonesia meliputi juga selat malaka dengan papua yang dianutnya dari buku Negara Kertagama
karangan Mpu Prapanca Rahardjo 2001: 17-39.
Perdebatan selanjutnya juga terjadi pada sidang BPUPKI 15 Juli 1945 yang membahas mengenai dimasukkannya Hak Asasi Manusia HAM dalam Undang-
Undang Dasar 1945. Soekarno menilai bahwa HAM lebih mementingkan Individualisme yang sering ditentangnya itu, sedanglkan Bug Hatta mengingatkan
kembali bahwa negara yang dinginkan adalah negara pengurus bukan negara penguasa sehingga perlu memasukkan kebebasan hak-hak individu seperti; hak
berkumpul dan berserikat, hak mengeluarkan pendapat. Yamin 1960:200-207. Pada saat itu, yang lebih serius dan mengundang perhatian dari kalangan
pemuda waktu itu termasuk BM Diah sebagai wakil dari golongan pemuda adalah perdebatan mengenai perbedaan mengenai bentuk negara. Soekarno meginginkan
bentuk negara Indonesia adalah kesatuan sedangkan Hatta lebih cenderung pada bentuk negara serikat federalis Yamin 1960: 287-363.
Perbedaan pandangan ini tidak diteruskan oleh keduanya setelah dicapai solusi bahwa dalam negara kesatuan yang dikehendaki oleh Soekarno dan
kalangan muda akan memasukkan konsep otonomi daerah yang dikemudian hari lebih diperhatikan oleh Hatta. Diterimanya usul ini maka kesatuan dwi tunggal
menjadi terjaga yang sempat dikawatirkan pecah. Dalam hal penerapan demokrasi juga terdapat perbedaan yang mendasar
dimana Soekarno lebih menginginkan demokrasi yang sentralistis seperti sistem presidensil dan Hatta yang menginginkan diberlakukannya demokrasi
parlementer. Pada akhirnya Hatta lebih menerima gagasan demokrasi yang sentralistis untuk mengatasi negara yang serba darurat ini namun ketika semua
struktur pemerintah telah lengkap Ia lebih menginginkan untuk menerapkan demokrasi parlementer.
Berdasarkan uraian-uraian yang telah dibahas diatas dapat dimbil benang merahnya bahwa demokrasi yang sentralistik dari bung Karno memainkan peran
besar dalam pebentukan UUD 1945, sekalipun tidak seluruhnya adalah peran Soekarno, karenanya UUD 1945 bersifat sementara dan perlu disempurnakan lagi.
3.3.4 Pertentangan Pasca Sidang BPUPKI Dalam Pemerintahan