3. KERANGKA PEMIKIRAN DAN HIPOTESIS
3.1 Kerangka Pemikiran
Pembangunan pulau kecil menjadi kasus khusus disebabkan keterbatasan yang dimilikinya seperti sumberdaya alam, ekonomi dan kebudayaannya. Hal ini
memberikan tidak banyak pilihan untuk pola pembangunannya, seperti pengembangan pulau menjadi kawasan konservasi atau pembangunan secara
terbatas. Keterbatasan ini juga memberikan pilihan bentuk pengelolaan pulau kecil yang berbasis pada daya dukungnya seperti pengkajian potensi sumberdaya
alam pesisirnya baik lahan di darat dan di pantailaut. Pembangunan pulau kecil dengan pendekatan pada aspek daya dukungnya diharapkan dapat memberikan
prioritas pengelolaan pembangunan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Secara umum rumusan perencanaan pembangunan pulau kecil di
Indonesia, disamping memberikan prioritas pembangunan pada penduduk atau masyarakatnya, juga diperhatikan pengelolaan sumberdaya alam pulau karena
terkait dengan keberlanjutan dari produktifitas pulau serta kehidupan ekonomi masyarakat setempat. Beberapa hambatan yang ditemui dalam pembangunan
pulau kecil yaitu : 1. Kesulitan untuk memperoleh teknologi tepat guna khususnya dalam kegiatan
pertanian dan perikanan yang selama ini masih menggunakan alat tradisional. 2. Kesulitan memperoleh fasilitas umum seperti penyediaan air bersih, listrik,
kesehatan,dan pendidikan 3. Ketergantungan pada pasar di wilayah yang lain luar pulau
4. Kurangnya kesadaran pengelolaan lingkungan seperti masih adanya
penangkapan ikan dengan cara menggunakan bom dan racun sehingga akan mengganggu atau merusak ekosistem yang ada. Selain itu juga masih ada
pengolahan lahan dengan cara membakar hutan untuk pembukaan lahan baru mengakibatkan erosi dan sedimentasi pada pesisir pantai.
Hambatan pembangunan pulau kecil di atas melengkapi beberapa kendala dalam pengelolaan pulau kecil yang sudah disebutkan pada bagian terdahulu.
Segenap kendala tersebut bukan berarti pulau-pulau kecil tidak dapat dibangun atau dikembangkan, melainkan pola pembangunannya harus mengikuti kaidah-
18
kaidah ekologis, khususnya adalah bahwa tingkat pembangunan secara keseluruhan tidak boleh melebihi daya dukung carrying capacity suatu pulau,
dampak negatif pembangunan cross-sectoral impacts hendaknya ditekan seminimal mungkin sesuai dengan kemampuan ekosistem pulau menenggangnya.
Selain itu setiap kegiatan pembangunan usaha produksi yang akan dikembangkan di suatu pulau harus memenuhi skala ekonomi yang optimal dan
menguntungkan serta sesuai dengan budaya lokal. Pembangunan ekosistem kepulauan secara garis besar dapat digolongkan
ke dalam tiga garis besar pola pembangunan. Pertama, menjadikan pulau sebagai kawasan konservasi, sehingga dampak negatif akibat kegiatan manusia tidak ada
atau sangat kecil. Kedua, pembangunan pulau secara optimal dan berkelanjutan seperti untuk pertanian dan perikanan yang semi intensif. Ketiga, pola
pembangunan dengan intensitas tinggi yang mengakibatkan perubahan radikal pada ekosistem pulau seperti pertambangan skala besar, industri pariwisata skala
besar, tempat uji nuklir. Untuk itu pilihan pola pembangunan model kedua yang paling cocok dan memungkinkan seperti pertanian terkendali, budidaya tambak
maupun laut mariculture, pariwisata, industri rumah tanggaindustri kecil dan sektor jasa Hein, 1990.
Ada juga pola pembangunan wilayah pulau kecil dengan pendekatan secara agromarine yaitu suatu pendekatan pembangunan wilayah transmigrasi
yang kegiatan utamanya bertumpu pada kegiatan pendayagunaan sumberdaya laut penangkapan dan budidaya laut, termasuk industri pengelolanya yang
dikombinasikan dengan kegiatan usaha pertambakan dan pertanian dalam arti luas. Pembangunan berkelanjutan sustainable development suatu wilayah
kepulauan dengan pola agromarine secara ekologis memerlukan empat persyaratan Dahuri, dkk., 1996. Pertama setiap kegiatan pembangunan tambak
pertanian, perkebunan, pariwisata harus ditempatkan pada lokasi yang secara biofisik sesuai. Persyaratan ini dapat dilakukan dengan membuat peta kesesuaian
land suitability. Kedua jika memanfaatkan sumberdaya dapat pulih, maka tingkat pemanfaatannya tidak boleh melebihi potensi lestari stok ikan tersebut.
Demikian juga menggunakan air tawar yang menjadi faktor pembatas pada ekosistem pulau kecil penggunaannya tidak boleh melebihi dari kemampuan
19
pulau menghasilkan air tawar dalam waktu tertentu. Ketiga jika membuang sampah di pulau biodegradable tidak melebihi kapasitas asimilasi lingkungan
pulau tersebut. Keempat jika akan memodifikasi bentang alam suatu pulau seperti penambangan atau reklamasi maka harus sesuai dengan pola hidrodinamika
setempat dan proses-proses alami lainnya design with nature. Gugus Pulau Talise yang merupakan gugus pulau berpenduduk dan
memiliki sumberdaya alam pesisir, dalam proses pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya selama ini telah mengakibatkan perubahan-perubahan terhadap
ekosistemnya. Perubahan yang menyebabkan dampak negatif seperti berkurangnya lahan hutan di darat, hilangnya hutan mangrove serta rusaknya
terumbu karang. Dibanding dengan pulau sekitarnya seperti Pulau Bangka dan Pulau
Gangga, maka gugus Pulau Talise memiliki nilai tambah yang lebih baik sehingga menarik untuk dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan gugus Pulau Talise
yang berbasis kesesuaian dan daya dukung. Untuk melakukan kegiatan ini maka dibuat kerangka skema tahapan analisis pemanfaatan gugus Pulau Talise berbasis
pada kesesuaian dan daya dukung seperti disajikan dalam Gambar 1. Tahapan analisa sebagai berikut :
1. Pemanfaatan pulau kecil berbasis daya dukung dimulai dari pemahaman tentang kondisi biofisik ekosistem pesisir, kondisi sosial ekonomi-budaya dan
penggunanaan lahan yang sesuai. Kondisi ini dibuat suatu peta kesesuaian lahan bagi suatu aktifitas yang akan dilakukan.
2. Setelah menyusun kriteria biofisik untuk membuat peta kesesuaian lahan, maka perlu mengetahui potensi sumberdaya bio-geofisik pulau. Pengukuran
potensi sumberdaya ini tentunya berkaitan dengan seberapa besar kegiatan pengembangan yang dapat dilakukan dan berapa besar sumberdaya yang
dapat dieksploitasi sehingga tidak melebihi daya dukungnya. 3. Tentunya setelah mengetahui potensi sumberdaya yang ada maka dalam
menentukan kesesuaian lahan yang berdasarkan daya dukung harus ada beberapa analisa seperti analisis daya dukung lahan potensi SDP, sosial-
ekonomi dan analisis biofisik. Beberapa pendekatan untuk menentukan analisis tersebut seperti potensi air tawar yang ada di pulau, parameter
20
kualitas lingkungan perairan fisika, kimia dan biologi, potensi mangrove dan terumbu karang.
4. Hasil beberapa analisa yang dilakukan seperti analisis kesesuaian lahan, analisis potensi sumberdaya alam dan analisis multikriteria, memberikan
prioritas pemanfaatan gugus Pulau Desa Talise yang berbasis kesesuaian dan daya dukung.
Pulau Talise yang memiliki sumberdaya alam pesisir, dalam proses pengembangannya mengikuti kaidah-kaidah atau karakteristik sebagai pulau kecil
bahkan dapat dikatakan sebagai pulau sangat kecil. Beberapa karakteristik dari gugus Pulau Talise seperti keterbatasan sumberdaya air tawar yang ada, kesulitan
dalam meningkatkan skala ekonomi, wilayah daratan yang kecil sehingga pemanfaatannya harus dengan perencanaan baik, serta memiliki satwa endemik.
Potensi yang terdapat pada gugus Pulau Talise ini secara umum masih dapat dikembangkan. Pengembangan pemanfaatan ini harus melalui suatu proses
analisa potensi berdasarkan kesesuaian dan daya dukungnya dimana ada beberapa aspek seperti potensi sumberdaya pesisir, potensi sosial ekonomi dan biofisik
perairan. Hasil dari analisis aspek-aspek tersebut di atas digabungkan dengan
analisis kesesuaian mengenai pemanfaatan wilayah dan analisis multikriteria untuk pengembangan kawasan pengelolaan, pada pesisir gugus Pulau Talise,
diharapkan akan memberikan bentuk pemanfaatan wilayah pesisir gugus Pulau Talise secara berkelanjutan.
3.2 Hipotesis