27
3.3 Disain Penelitian
Pengaruh program PEMP terhadap peningkatan pendapatan peserta program dikaji dengan menggunakan hubungan antara variabel peningkatan pendapatan
dengan modal awal, tambahan modal selama program PEMP, tingkat pendidikan, persepsi responden terhadap prospek usaha, lokasi, umur tahun pelaksanaan
dihitung dari tahun penelitian, persepsi responden terhadap kecakapan dirinya, dan jenis mata pencaharian. Mengingat variabel-variabel itu tidak di bawah kendali
peneliti, pengumpulan dan pengukurannya dilakukan dengan disain ex post facto. Disain ini pada dasarnya merupakan pengukuran suatu peristiwa yang telah terjadi.
Umar, 2004. Pengumpulan data tersebut mencakup kegiatan studi kasus, survai, dan riset
korelasi.
3.4 Jenis, Sumber dan Pengumpulan Data 3.4.1 Jenis dan sumber data
Data primer adalah data nominal maupun ordinal hasil pengukuran langsung melalui kuesioner yang telah disediakan, data sekunder menyangkut informasi
tematik tentang masyarakat dan tatalaksana program PEMP di lokasi penelitian. Data bersumber dari hasil survai kepada para nelayan dan informan lainnya,
yaitu: KMP nelayan;
KMP budidaya; KMP pengolahan;
KMP pedagang ikan; Pengurus LEPP-M3, Pengurus Mitra Desa, dan Pengurus KMP; dan
Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten.
3.4.2 Pengumpulan dan pengolahan data
1 Unit analisis dalam studi ini adalah individu anggota masyarakat pengguna
sumberdaya perikanan, baik nelayan, budidaya rumput laut, pengolahan hasil,
28
dan perdagangan hasil laut. Penghitungan tingkat kesalahan dari pengambilan contoh, digunakan rumus Slovin yang dikutip dari Umar 2003: 120,
yaitu: n = N1+Ne
2
dengan keterangan bahwa n adalah ukuran contoh, N
adalah ukuran populasi, dan e adalah kesalahan yang ditoleransi. Data primer dikumpulkan dengan menggunakan kuesioner. Metoda pengumpulan datanya
adalah sebagai berikut: • Desk study, yang digunakan untuk mempelajari konsep-konsep dan
hasil penelitian terkait. • Pengamatan, yang dilakukan untuk mempelajari situasi infrastruktur
di lingkungan responden. • Wawancara, yang dilakukan kepada responden maupun informan.
Penentuan pengambilan contohnya dilakukan dengan cara acak berstrata stratified random sampling
. Tahun pelaksanaan PEMP dijadikan sebagai strata yang dalam hal ini dibagi tiga strata, yaitu pelaksanaan tahun 2001, 2002,
dan 2003. Jumlah contoh masing-masing Kabupaten adalah 50 contoh. Dengan ukuran
contoh sebesar itu, nilai kesalahan sampling menurut rumus Slovin akan berkisar 10-15.
2 Data yang terkumpul ditabulasi dengan menggunakann Microsoft Excell.
Pengolahan data dan pengujuan statistik menggunakan paket program SPSS-14 Statistical Package for Social Sciences
.
3.4.3 Definisi dan pengukuran variabel
Untuk menegaskan batas-batas penelitian secara jelas, maka variabel- variabel penelitian didefinisikan secara khusus sebagai berikut:
1 Peningkatan pendapatan total nelayan adalah selisih antara pendapatan total
masyarakat pesisir setelah program dikurangi pendapatan total sebelum program PEMP.
2 Pendapatan adalah nilai produksi total dikurangi dengan biaya operasional.
29
3 Pendapatan sebelum program adalah pendapatan masyarakat pesisir sebelum
program PEMP diintroduksikan. 4
Pendapatan setelah program adalah tingkat pendapatan masyarakat pesisir setelah menjadi peserta program PEMP selama 3 tahun.
5 Modal awal adalah modal yang dilibatkan dalam kegiatan matapencaharian
masyarakat pesisir sebelum adanya program PEMP. 6
Tambahan modal adalah jumlah modal yang diperoleh masyarakat pesisir selama mengikuti program PEMP.
7 Persepsi tentang prospek ekonomi kegiatan yang dilaksanakan oleh responden
adalah ekspektasi responden terhadap peluang kemajuan usaha yang dijalankannya.
8 Lokasi adalah Kabupaten Cirebon dan Subang.
9 Tahun pelaksanaan adalah umur program dihitung dari tahun pelaksanaan
penelitian 2006. 10
Persepsi tentang kecakapan sendiri adalah penilaian responden terhadap kecakapan dirinya.
11 Jenis mata pencaharian adalah jenis mata pencaharian kepala keluarga yang
menjadi responden penelitian. Variabel-variabel penelitian di atas yang semuanya merupakan variabel
ekonomi diukur dengan angka nominal, kecuali tingkat pendidikan dan persepsi tentang prospek usaha yang merupakan data ordinal.
3.5 Lokasi Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Cirebon dan Subang. karena keduanya merupakan dua kabupaten yang memperoleh perlakuan program PEMP relatif sama.
Selanjutnya penentuan kecamatan dalam setiap kabupaten didasarkan pada strata tahun pelaksanaan program PEMP. Artinya sama-sama melaksanakan dalan tahun
2001 dan 2002 tahap inisiasi Adapun kecamatan terpiliha adalah sebagai berikut: Kabupaten Cirebon: Kecamatan Cirebon Utara, Pangenan, Gebang, dan
30
Mundu. Kabupaten Subang: Kecamatan Blanakan, Legok Kulon, dan Pusaka Nagara.
3.6 Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan Pebruari – April 2006
3.7 Metoda Analisis
3.7.1 Analisis deskriptif univariat
Analisis deskriptif univariat menyajikan distribusi frekuensi. Dengan deskripsi ini, akan diketahui kecenderungan responden berkenaan dengan variabel
penelitian yang digunakan.
3.7.2 Wilcoxon signed rank test
Analisis ini digunakan dalam rangka menguji apakah pendapatan masyarakat pesisir itu meningkat secara nyata setelah mengikuti program PEMP. Peluang
kejadian pendapatan masyarakat antara sebelum dengan sesuadah mengikuti program PEMP adalah sebagai berikut:
Y
a
Y
b
Y
a
= Y
b
Y
a
Y
b
dengan keterangan Y
a
= pendapatan sebelum program, dan Y
b
= pendapatan sesudah program.
Dalam formula Wilcoxon, untuk menguji apakah ada perbedaan pendapatan sebelum dengan sesudah mengikuti program PEMP dilakukan rangkaian uji sebagai
berikut: 1
Hipotesis Jika d adalah selisih pendapatan antara sebelum dengan sesudah program PEMP,
maka disusun hipotesis berikut: H
: d = 0 pendapatan sebelum tidak berbeda dengan sesudah program
31
H
1
: d ≠ 0 pendapatan sebelum berbeda dengan sesudah program
2 Dasar Pengambilan Keputusan
• Dengan membandingkan nilai z hitung dengan z tabel: Jika z hitung z tabel, maka H0 diterima; dan
Jika z hitung z tabel, maka H0 diterima. Adapun untuk memperoleh z hitung itu digunakan rumus sebagai berikut:
z = [T -{14NN+1}] √ [124Nn+12N+1]
dengan keterangan T adalah selisih pendapatan terkecil tanda tidak diperhatikan dan N adalah jumlah contoh setelah mengeluarkan contoh
yang memiliki nilai yang benar-benar sama. • Dengan melihat angka probabilitas:
Probabilitas α maka H
diterima Probabilitas
α maka H ditolak
dengan keterangan α adalah nilai kesalahan yang dalam penelitian ini
digunakan 5, karena penelitian ingin memperoleh informasi pada selang kepercayaan 95.
Karena pada penelitian ini proses penghitungan menggunakan SPSS 14, maka digunakan pendekatan probabilitas. Jadi tidak dilakukan proses
penghitungan manual seperti yang ditunjukkan pada rumus di atas.
3.7.3 Analisis regresi berganda
Analisis regresi berganda yang dilakukan ditunjukkan dengan rumus umum sebagai berikut:
Y = ƒ X
1
, X
2
, X
3i
, X
4
, X
5,
X
6
, X
7,
X
8i
dengan keterangan bahwa: Y adalah peningkatan pendapatan sesudah mengikuti program PEMP.
Pendapatan ini tidak dikoreksi dengan nilai inflasi. Jadi nilai pendapatan itu
32
merupakan nilai nominal pendapatan pada tahun berjalan current income. Pendekatan ini digunakan, karena dalam persepsi sederhana mindset
nelayan maupun pengelola program, yang dimaksud dengan pendapatan itu senantiasa merujuk pada nilai nominal pendapatan; dan tidak dikaitkan
dengan pengertian ‘daya beli’ purchasing power pendapatan. X
1
adalah modal awal. Nilai ini diukur dengan angka interval sesuai dengan nilai modal awal yang dimiliki oleh responden.
X
2
adalah tambahan modal selama program. Tambahan ini tidak dibedakan apakah tambahan itu bersumber pada modal sendiri, kredit bank, maupun
kredit dari PEMP. X
3i
adalah tingkat pendidikan. Ini merupakan dummy variable X
31
...X
33
. Nilai variabel adalah sebagai berikut:
X
31
X
32
X
33
SD 1 0 0
SMP 0 1 0
SMA 0 0 1
Lebih dari SMA X
4
adalah persepsi responden tentang prospek usaha ekonomi yang dijalankannya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang dihasilkan dari
rata-rata angka Skala Lickert Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1. Semua pertanyaan ada 5
pertanyaan merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai “persepsi responden terhadap prospek usaha itu semakin baik”.
X
5
adalah dummy variable untuk lokasi Kabupaten Cirebon dan Kabupaten Subang. Ini merupkan variabel biner, X
5
bernilai 1 untuk Cirebon dan 0 untuk Subang.
X
6
adalah tahun pelaksanaan PEMP. Nilai diukur dengan nilai interval umur program terhitung pada tahun pelaksanaan penelitian.
33
X
7
adalah variabel persepsi responden tentang kecakapan dirinya dalam menjalankan usahanya. Variabel ini diukur dengan nilai interval, yang
dihasilkan dari rata-rata angka Skala Lickert Sangat Setuju = 5; Setuju = 4; Cukup Setuju = 3; Kurang Setuju = 2; Tidak Setuju = 1. Semua pertanyaan
ada 5 pertanyaan merupakan pertanyaan positif. Jadi makin besar nilai interval dimaknai “persepsi responden menilai dirinya lebih cakap”.
X
8i
adalah jenis mata pencaharian responden. Ini merupakan dummy variable X
81
...X
83
. Nilai variabel adalah sebagai berikut:
X
81
X
82
X
83
Nelayan 1 0 0
Pedagang 0 1 0
Pengolah 0 0 1
Petambak 0 0 0
Untuk melihat pengaruh variabel bebas Xi terhadap variabel terikat Y, dilakukan tiga tahap komputasi, yaitu:
Tahap 1: Seluruh variabel bebas dimasukkan dan dilakukan komputasi dengan menggunakan SPSS-14. Kemudian dianalisis hasilnya.
Tahap 2 Iterasi I: Setelah mengoperasikan model yang utuh, dilakukan iterasi dengan metoda “enteredremoved”, yang dalam hal ini digunakan
metoda “entered”. Komputer secara iteratif memilih variabel yang memiliki korelasi yang relatif tinggi, baik berkorelasi positif maupun negatif.
Kemudian dianalisis hasilnya. Tahap 3 Iterasi II: Iterasi kedua adalah menganalisis regresi berganda,
hanya dengan memasukkan variabel bebas yang pada Iterasi I menunjukkan pengaruh nyata pada taraf 5.
34
Terhadap rumus umum regresi berganda itu, dilakukan uji hipotesis terhadap konstanta regresi. H
diterima jika konstanta bernilai sama dengan 0. Sutrisno 1982
35
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Keadaan Umum Wilayah Studi
4.1.1 Kabupaten Subang
Kabupaten Subang terletak di bagian utara Propinsi Jawa Barat, terletak antara 107º31’-107º54’ BT dengan 6º11’-6º49’ LS. Sebelah timur berbatasan
dengan Kabupaten Sumedang dan Indramayu, sebelah barat dengan Kabupaten Karawang dan Purwakarta, sebelah selatan dengan Kabupaten Sumedang, dan
sebelah utara dibatasi Laut Jawa.
Gambar 2. Peta Kabupaten Subang Kabupaten Subang terdiri dari 22 kecamatan, yang 4 kecamatan di antaranya
dan terutama di 3 kecamatan pertama merupakan kecamatan pesisir, yaitu Kecamatan Blanakan, Pusakanegara, Legon Kulon, dan Kecamatan Pamanukan.
Jumlah areal tambak di Kecamatan Pusakanagara, Legon Kulon, dan Blanakan mencapai 8,258 ha dengan sebaran di masing-masing kecamatan adalah 806 ha,
4,595 ha, dan 2,855 ha. Jumlah populasi nelayan, petambak, dan pengolah di tiga kecamatan itu pada tahun 2003 disajikan pada Tabel 3.
36
Tabel 3. Jumlah Nelayan, Petambak, dan Pengolah Ikan Kabupaten Subang Tahun 2003
Jumlah org Nama Kecamatan
Nelayan Petambak Pengolah 1. Pusakanagara
150 402
56 2. Legon Kulon
108 2,297
16 3. Blanakan
380 1,425
77 Jumlah 638
4,124 149
Konsentrasi kegiatan kelautan di Kecamatan Pusakanegara adalah di 1 desa Patimban dari 11 desa yang ada. Kecamatan Legon Kulon di 5 desa dari 9 desa,
yaitu Pangarengan, Tegalurung, Mayangan, Legon Wetan, dan Anggasari. Kecamatan di 5 desa dari 9 desa, yaitu Cilamaya Girang, Rawa Meneng, Blanakan,
Muara, dan Tanjung Jaya. Komposisi RTP Rumah Tangga Perikanan dan RTBP Rumah Tangga
Bukan Perikanan di tiga kecamatan itu adalah seperti yang disajikan pada Tabel 4. RTP di Kecamatan Pusakanagara dan Legon Kulon mencapai 20 dari total
rumahtangga. Sedangkan di Kecamatan Blanakan mencapai 18,17. Tabel 4. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Subang Tahun 2003
Jumlah org Nama Kecamatan
RTP RTBP Total 1. Pusakanagara
82 328
410 2. Legon Kulon
90 360
450 3. Blanakan
430 1,937
2,367 Jumlah 602
2,625 3,227
4.1.1.1 Pelaksanaan PEMP 2001
Dana PEMP 2001 disalurkan kepada 23 kelompok masyarakat pemanfaat KMP, yang beranggotakan 130 orang di Kecamatan Blanakan Desa Blanakan dan
Tanjung Tiga dan Legon Kulon Desa Pengarengan. Program ini memberikan dukungan terhadap usaha produktif berikut :
Usaha dagang jelas ke tambak. Usaha dagang sarana produksi perikanan saprokan .
Usaha budidaya tambak. Usaha pemasaran hasil tambak.
37
Usaha pemasaran hasil penangkapan. Usaha pengolahan ikan dan jenis hasil laut lainnya.
4.1.1.2 Pelaksanaan PEMP tahun 2002
Dana PEMP 2002 disalurkan kepada 35 KMP yang beranggotakan 281 orang. Lokasi penerapan PEMP 2002 adalah Kecamatan Blanakan Desa Muara,
Kematan Pamanukan Desa Sukamaju, Kecamatan Legon Kulon Desa Mayangan, Legon Kulon, dan Tegal Urung, Kecamatan Pusakanagara Desa Patimban.
Kegiatan usaha produktif yang didukung program ini adalah: Tambak dan penangkapan.
Usaha budidaya tambak. Usaha dagang sarana produksi perikanan saprokan Usaha budidaya ikan lele dumbo.
Usaha pemasaran hasil tambak dan penangkapan. Usaha pengolahan hasil perikanan tangkap.
4.1.1.3 Pelaksanaan PEMP 2003
Berbeda dengan periode sebelumnya, PEMP 2004 ini terdiri dari dua komponen, yaitu: i dana pengembangan usaha ekonomi produktif masyarakat
pesisir; dan ii Penyediaan pom solar untuk nelayan SPDN. Kelompok sasaran penyaluran dana pengembangan usaha ekonomi produktif adalah:
Nelayan penggunakan motor tempel dengan kekuatan maksimum 15 HP. Nelayan pekerja ABK: anak buah kapal.
Petambak yang memiliki tambak yang cukup, namun kekurangan modal usaha.
Pedagang ikan skala kecil. Pengolah ikan skala kecil.
Pengolah sarana penunjang usaha perikanan skala kecil, seperti bengkel reparasi motor tempel, kios BBM, atau kios es.
38
4.1.2 Kabupaten Cirebon
Kabupaten ini merupakan kabupaten di pantai utara Jawa Barat paling timur. Secara astronomik, kabupaten ini terletak di antara 108º32’-108º49’ BT dengan
6º00’-7º00’ LS. Sebelah utara dibatasi kota Cirebon dan Laut Jawa, sebelah timur dibatasi Kabupaten Brebes Propinsi Jawa Tengah, sebelah selatan dibatasi
Kabupaten Kuningan, dan sebelah barat dibatasi Kabupaten Majalengka dan Indramayu.
Gambar 3. Peta Kabupaten Cirebon Konsentrasi kegiatan kelauatan ada di 7 kecamatan: Kapetakan, Cirebon
Utara, Mundu, Astanajapura, Pangenan, Gebang, dan Losari. Jumlah RTP mencapai 4,602 orang 18.82. Kecamatan Gebang memiliki jumlah RTP terbesar dan
sekaligus proporsi RTP terbesar pula Tabel. 5. Untuk kecamatan Astanajapura tidak diperoleh informasi yang pasti.
39
Tabel 5. Jumlah RTP dan RTBP Kabupaten Cirebon, Tahun 2003
Jumlah org Kecamatan
RTP RTBP Total Nisbah
1. Kapetakan 638
2,275 2,913
21.90 2. Cirebon Utara
818 3,694
4,512 18.13
3. Mundu 689
4,265 4,954
16.15 4. Astanajapura
5. Pangenan 302
1,446 1,748
20.89 6. Gebang
2,830 7,245
9,075 39.06
7. Losari 325
925 1,250
26.00 Total 4,602
19,850 24,452
18.82
Keterangan: Nisbah = persentase RTP terhadap Total
Seluruh RTP itu terlibat dalam kegiatan penangkapan. Indikasi itu ditunjukkan dengan jumlah perahu yang relatif sebanding dengan jumlah RTP
Tabel. 6. Para nelayan menggunakan alat yang beragam. Tabel. 7 menunjukkan jenis alat tangkap, produksi, dan frekuensi melaut setiap bulan. Produksi tertinggi
dicapai oleh nelayan dengan alat tangkap jaring insang hanyut, dogol, dan rawai tetap. Pengumpul kerang juga berhasil mencapai tingkat produksi yang cukup tinggi.
Tabel 6. Jumlah Perahu dan Kapal Motor Kabupaten Cirebon Tahun 2004
Jumlah unit Kecamatan
Motor Tempel Kapal Motor
Total 1. Kapetakan
677 26
703 2. Cirebon Utara
855 3
858 3. Mundu
695 2
697 4. Astanajapura
88 88
5. Pangenan 193
2 195
6. Gebang 1,853
8 1,863
7. Losari 325
325 Total 4,682
41 4,723
40
Tabel 7. Produktifitas Menurut Jenis Alat Tangkat Kabupaten Cirebon, Tahun 2004
Jenis Alat Jumlah
unit Produksi
ton Frekuensi
tripbln 1. Payang
401 2,178
11 2. Dogol
373 10,859
18 3. Pukat Rantai
4 219
13 4. Jaring Insang Hanyut
1,864 13,596
10 5. Jaring Lingkar
221 1,059
8 6. Jaring Insang Tetap
2,634 1,799
16 7. Trammel Net
2,204 1,430
15 8. Bagan Tancap
180 774
13 9. Rawai Tetap
185 5,250
14 10. Pengumpul Kerang
1,080 3,681
10 Total 9,100
40,850
Potensi tambak di Kabupaten cukup besar, yaitu mencapai 7,500 ha, yang baru dimanfaatkan sebesar 68.56 Tabel. 8. Potensi yang masih tersedia dalam
jumlah besar adalah di Kecamatan Losari dan Pangenan. Tabel 8. Potensi dan Pemanfaatan Tambak Kabupaten Cirebon
Tahun 2004
Pemanfaatan Kecamatan
Potensi ha
ha 1.
Losari 2,500 1,382 55.28
2. Gebang 600
491 81.83
3. Pangenan
1,834 1,074 58.56 4. Astanajapura
66 28
42.42 5. Mundu
100 71
71.00 6. Cirebon Utara
300 185
61.67 7.
Kapetakan 2,100 1,911 91.00
Total 7,500 5,152 68.56
Di Kabupaten Cirebon terdapat 813 unit pengolahan ikan, yang tersebar di 9 kecamatan Tabel. 9. Pengolah ikan itu pada umumnya berskala rumah tangga.
Selain itu, terdapat 7 perusahaan pengolah hasil perikanan skala industrial, yang mengolah jenis produk sebagai berikut:
Paha kodok dan udang beku 1 perusahaan. Udang beku 1 perusahaan.
41
Chitinchitosan 1 perusahaan. Teri nasi 2 perusahaan.
Daging rajungan 2 perusahaan.
4.1.2.1 Pelaksanaan PEMP 2001
PEMP 2001 disalurkan kepada 6 KMP yang beranggotakan 70 orang. Lokasi PEMP adalah Kecamatan Cirebon Utara Desa Mertasinga, Grogol, dan Jatimerta
serta Kecamatan Kapetakan Desa Karangreja. Jenis usaha yang dilayani adalah penangkapan ikan.
4.1.2.2 Pelaksanaan PEMP 2002
PEMP 2002 disalurkan kepada 16 KMP yang beranggotakan 181 orang. Lokasi PEM adalah Kecamatan Pangenan Desa Pengarengan dan Kecamatan
Gebang Desa Gebang Mekar dan Gebang Ilir. Jenis usaha yang dilayani adalah: Budidaya bandeng.
Pengolahan ikan. Galangan perahu.
Penangkapan ikan. Penangkapan keong macan.
4.1.2.3 Pelaksanaan PEMP 2003
PEMP 2003 disalurkan kepada 26 KMP yang beranggotakan 482 orang. PEMP dikonsentrasikan di Kecamatan Mundu Desa Mundu Pesisir, Bandengan,
Citemu, dan Waruduwur dan Kecamatan Losari Desa Tawangsari. Selain itu, dibangun juga 2 unit SPDN, yaitu di Kapetakan dan Gebang, masing-masing dengan
kapasitas 8,000 liter.
4.1.2.4 Pelaksanaan PEMP 2004
PEMP 2004 disalurkan kepada perseorangan yang dinilai bankable untuk menerima dana kredit. Tercatat ada 42 debitur, yang pada umumnya berlokasi di
Kecamatan Gebang dan Losari. Sebanyak 40 debitur adalah pedagang; sedangkan nelayan hanya 2 debitur.
42
Tabel 9. Unit Pengolahan Ikan Tradisional Kabupaten Cirebon Tahun 2004
KecamatanDesa Jenis Olahan
Jumlah unit
1. Losari 77
- Ambulu Rajungan, Terasi
54 - Tawangsari
Pindang bandeng 20
- Ambulu Ikan asin, Ebi, Petis
3 2. Gebang
175 - Gebang Mekar
Rajungan, Teri Nasi 60
- Gebang Udik Pindang bandeng
30 - Gebang Ilir
Ikan asin 20
- Gebang Kulon Abon, Terasi
50 - Playangan
Baso ikan 10
Ikan segar
5 3. Pangenan
15 - Ender
Ikan asin 5
- Pengarengan Ikan segar
10 4. Mundu
159 - Mundu Pesisir
Rajungan 88
- Bandengan Pindang
40 - Citemu
Ikan asin 14
- Waruduwur Ikan segar, Kerang
17 5. Cirebon Utara
168 - Jatimerta
Rajungan 20
- Klayan Ikan asin
23 - Mertasinga
Ikan kering asin 64
- Sambeng Ikan asin
10 - Sirnabaya
Ikan asin 37
- Grogol Ikan asin
14 6. Kapetakan
21 - Bungko
Ikan asin 1
- Bungko Lor Ikan segar
6 - Karangreja
Kerupuk Kulit 13
- Purbawinangun 1
7. Waled 96
- Mekarsari Pindang
77 - Karangsari
Pindang 17
- Cikulak Kidul Pindang
2 8. Klangenan
142 - Wangunharja
Pindang 91
- Jemaras Lor Pindang
25 - Orimalang
Pindang 26
9. Plumbon 60
- Pasanggrahan Pindang
40 - Danamulya
Pindang 20
TOTAL 813
43
4.2 Hasil Penelitian
4.2.1 Peningkatan pendapatan
Tingkat pendapatan responden sebelum PEMP sangat bervariasi. Pendapatan awal terendah diperoleh petambak, baik di Cirebon maupun Subang. Sementara itu,
pedagang merupakan kelompok dengan pendapatan awal tertinggi di seluruh lokasi studi Tabel 10. Pendapatan nominal responden Cirebon sebelum dan sesudah
program PEMP disajikan pada Gambar 4, sedangkan untuk responden Subang pada Gambar 6. Persentase peningkatan pendapatan responden Cirebon disajikan pada
Gambar. 5. dan responden Subang pada Gambar. 7. Tabel 10. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program
PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang
Pendapatan rata-rata Rp
Kenaikan Uraian Responden
Th 2000 2001-2006
Rp
CIREBON 45
Petambak 18
4,641,011 7,675,889 3,034,878 65.39
Nelayan 13
45,999,643 44,113,000 1,886,643 4.10
Pedagang 3
124,950,000 132,650,000 7,700,000
6.16
Pengolah 11
15,783,688 20,154,750 4,371,063 27.69
SUBANG 47
Petambak 19
7,811,154 18,385,000 10,573,846 135.37
Nelayan 14
14,623,000 23,916,500 9,293,500 63.55
Pedagang 14
57,702,857 123,321,429 65,618,571 113.72
Pengolah -
- - - -
Ditinjau dari segi persentase pertambahan pendapatannya, maka petambak di seluruh lokasi mengalami laju peningkatan tertinggi, yaitu 135.37 di Subang dan
65.39 di Cirebon. Pedagang di Subang juga mengalami peningkatan yang besar 113.72; sedangkan pedagang di Cirebon hanya mencapai 6.16. Pengolah di
Cirebon juga mengalami peningkatan yang cukup tinggi 27.69. Nelayan mengalami pola kenaikan yang tidak jelas. Di Cirebon mengalami penurunan
sebesar 4.10, sedangkan di Subang mengalami peningkatan sebesar 63.55.
44
Gambar 4. Pendapatan Nominal Responden Cirebon Sebelum dan Sesudah Program PEMP
Gambar 5. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Cirebon
Petambak Pengolah
Nelayan Pedagang
20,000,000 40,000,000
60,000,000 80,000,000
100,000,000 120,000,000
140,000,000
Sebelum Sesudah
45
Gambar 6. Pendapatan Nominal Responden Subang Sebelum dan Sesudah Program PEMP
Gambar 7. Persentase Peningkatan Pendapatan Responden Subang
4.2.2 Kontribusi tambahan modal
Nilai yang disalurkan PEMP relatif kecil, yaitu kurang dari Rp 6,000,000orang, yaitu berkisar antara 1.7 juta sampai dengan 5.3 juta rupiah. Nilai
itu memberikan pengaruh berbeda pula kepada setiap pelaku usaha Tabel.11.. Secara absolut, pedagang dan petambak merupakan dua kelompok penerima dana
terbesar. Pengolah adalah penerima dana terkecil.
46
Pedagang merupakan kelompok yang paling memperoleh manfaat terbesar. Dana tambahan itu senilai 165.12 dari modal awal untuk daerah Cirebon dan
58.12 untuk Subang. Kenaikan modal para petambak relatif paling kecil, yaitu 3.80 untuk Cirebon dan 7.47 untuk Subang; karena modal awalnya termasuk
sangat besar. Bila diukur dengan nisbah antara pendapatan sebelum proyek dengan
modal awal sebelum proyek, seperti yang ditunjukkan pada Tabel.12, maka pedagang merupakan kelompok usaha yang mencapai nisbah tertinggi, yaitu
3,868.42 untuk Cirebon dan 857.92 untuk Subang. Hal itu disebabkan, antara lain, karena persentase tambahan modal pedagang termasuk tertinggi, karena modal
awalnya relatif kecil. Nelayan dan pengolah mencapai nisbah yang sedang. Sedangkan petambak merupakan kelompok usaha yang mencapai nisbah terendah,
akibat modal awal yang terlibat dalam usaha tambak adalah yang terbesar. Persentase tambahan modal responden disajikan pada Gambar 8. Cirebon dan
Gambar. 9. Subang
Gambar 8. Presentase Tambahan Modal Cirebon
47
Tabel 11. Kontribusi Tambahan Modal
Tambahan Modal Uraian Modal
Awal Rp
Rp CIREBON
Petambak
138,830,556 5,277,778 3.80
Nelayan
55,763,333 4,466,667 8.01
Pedagang
3,230,000 5,333,333 165.12
Pengolah
40,713,509 1,936,364 4.76
SUBANG Petambak
62,727,368 4,684,211 7.47
Nelayan
9,435,714 2,785,714 29.52
Pedagang
6,725,909 3,909,091 58.12
Pengolah
7,600,000 1,666,667 21.93
Tabel 12. Nisbah Pendapatan Terhadap Modal
Nisbah Pendapatan Terhadap Modal
Kelompok Usaha Cirebon Subang
1. Petambak 3.34
12.45 2. Nelayan
82.49 154.98
3. Pedagang 3,868.42
857.92 4. Pengolah
38.77
Gambar 9. Presentase Tambahan Modal Subang
48
4.2.3 Sebaran tingkat pendidikan
Tingkat pendidikan terbesar, untuk seluruh kelompok usaha di seluruh lokasi, adalah lulusan SLP. Kelompok ini mencapai 76.60 di Cirebon dan 72.34
di Subang Tabel.13. Petambak di kedua lokasi ada yang mencapai pendidikan tinggi; demikian juga dengan nelayan di Cirebon dan pedagang di Subang, ada yang
mencapai tingkat pendidikan tinggi.
Tabel 13. Sebaran Tingkat Pendidikan
Jumlah Responden Menurut Tingkat Pendidikan Uraian
SLP SLA
Pernah PT Tamat PT TOTAL
CIREBON
76.60 10.64 8.51 4.26 100.00
Petambak
77.78 5.56 5.56 11.11 100.00
Nelayan
66.67 26.67 6.67 100.00
Pedagang
100 100.00
Pengolah
81.82 18.18
100.00
SUBANG
72.34 6.38 14.89 6.38 100.00
Petambak
52.63 5.26 36.84 5.26 100.00
Nelayan
92.86 7.14 100.00
Pedagang
72.73 9.09 18.18
100.00
Pengolah
100.00 100.00
4.2.4 Persepsi pada prospek usaha
Persepsi pada prospek usaha pada dasarnya merupakan jawaban atas beberapa pernyataan yang bermakna “prospek usaha yang ditekuni sekarang ini cukup bagus”.
Skor yang jawaban itu adalah 5 sangat setuju, 4 setuju, 3 cukup setuju, 2 kurang setuju, dan 1 tidak setuju. Untuk semua kelompok usaha, rata-rata
memiliki persepsi antara cukup setuju sampai dengan sangat setuju. Dengan demikian, secara umum para responden itu percaya bahwa bidang usaha yang
digelutinya itu benar memiliki prospek yang baik. Nilai minimum skore di bawah ‘cukup setuju’ terjadi pada kelompok nelayan di kedua lokasi serta kelompok
pengolah di Cirebon.
49
Tabel 14. Skor Persepsi Pada Prospek Usaha
Uraian Minimum Rata-rata
Maksimum CIREBON
Petambak 3.00
3.62 5.00
Nelayan 2.83
3.32 4.33
Pedagang 4.33
4.67 5.00
Pengolah 2.50
3.27 4.67
SUBANG Petambak
3.17 3.71
4.00 Nelayan
2.83 3.76
4.17 Pedagang
3.83 3.75
4.67 Pengolah
4.00 4.17
4.33
4.2.5 Persepsi pada kemampuan berbisnis
Responden secara keseluruhan berpandangan bahwa dirinya memiliki kemampuan yang baik dalam menjalankan bisnisnya. Ini ditunjukkan dengan skor
rata-rata persepsi yang berkisar antara cukup setuju sampai dengan sangat setuju. Nilai minimum di bawah ‘cukup setuju’ hanya terjadi pada usaha petambak dan
pengolah di Cirebon. Tabel 15. Skor Persepsi Pada Kemampuan Berbisnis
Uraian Minimum Rata-rata
Maksimum CIREBON
Petambak 2.75
3.61 4.75
Nelayan 3.00
3.45 4.50
Pedagang 3.75
4.33 4.75
Pengolah 2.75
3.34 5.00
SUBANG Petambak
3.00 3.74
4.50 Nelayan
3.25 3.82
4.25 Pedagang
3.25 3.66
4.25 Pengolah
3.75 4.08
4.25
50
4.2.6 Umur Proyek
Sebagian besar responden lebih dari 70 adalah peserta program PEMP 3- 4 tahun yang lalu, yaitu PEMP 2002 dan PEMP 2003. Rincian umur partisipasi
responden dalam program PEMP disajikan pada Tabel 16. Tabel 16. Sebaran Responden Berdasarkan Umur Partisipasi Dalam
PEMP
Uraian 2 th
3 th 4 th
5 th Total
CIREBON
2.13 57.45 38.30 2.13 100.00
Petambak
0 22.22 77.78 100.00
Nelayan
6.67 86.67 0 0
100.00
Pedagang
100.00 0 0 100.00
Pengolah
0 63.64 36.36 100.00
SUBANG
0 32.61 50.00 17.39 100.00
Petambak
0 31.58 52.63 15.79 100.00
Nelayan
0 23.08 46.15 30.77 100.00
Pedagang
0 27.27 63.64 9.09 100.00
Pengolah
100.00 0 0 100.00
4.3. Dampak Program PEMP
Dampak program PEMP diukur berdasarkan ukuran pendapatan sebelum dan sesudah proyek: Apakah ada peningkatan, penurunan, atau malah tetap? Untuk
lokasi keseluruhan, hanya dilihat dampak secara agregat. Sedangkan dampak pada masing-masing lokasi dirinci per jenis usaha yang dilayani oleh program PEMP.
Alat ujinya adalah Wilcoxon signed ranktest.
4.3.1 Agregat Subang dan Cirebon
Secara agregat, program PEMP berhasil meningkatkan pendapatan di wilayah penelitian Subang dan Cirebon secara nyata pada taraf kesalahan 5.
Sebanyak 70.65 responden ternyata mengalami peningkatan pendapatan, 19.57 tetap, dan hanya 9.78 mengalami penurunan pendapatan Tabel-17.
51
Agregat responden Subang juga mengalami peningkatan pendapatan secara nyata pada taraf kesalahan 5. Sebanyak 82.98 mengalami peningkatan, 6.38
tetap, dan 10.64 mengalami penurunan pendapatan. Agregat responden Cirebon juga mengalami peningkatan pendapatan secara
nyata pada taraf kesalahan 5. Namun taraf peningkatannya relatif lebih rendah dibanding dengan Subang. Hanya 57.78 yang meningkat, 33.33 tetap, dan
8.89 mengalami penurunan. Tabel 17. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Agregat Lokasi Proyek
Responden Uraian Keadaan
Jumlah Test Statistik
1. Subang Menurun
5 10.64
Z -8.185
Meningkat 39
82.98 Asymp. Sig. 2-tailed
0.000 Tetap
3 6.38
Total 47
100.00 2. Cirebon
Menurun 4
8.89 Z
-4.697 Meningkat
26 57.78
Asymp. Sig. 2-tailed 0.000
Tetap 15
33.33 Total
45 100.00
3. TOTAL Menurun
9 9.78
Z -4.330
Meningkat 65
70.65 Asymp. Sig. 2-tailed
0.000 Tetap
18 19.57
Total 92
100.00
Keterangan: Nyata pada taraf kesalahan 5
4.3.2 Subang
Dua kelompok penerima layanan di Subang petambak dengan pedagang yang secara nyata pada taraf kesalahan 5 mengalami peningkatan pendapatan.
Petambak dan pedagang yang mengalami peningkatan masing-masing sebanyak 89.47 dan 100 Tabel.18.
Meski sebanyak 57.14, namun proporsi peningkatan kelompok ini tidak terjadi secara nyata pada tingkat kesalahan 5 ia hanya nyata pada taraf kesalahan
42.2. Proporsi yang mengalami penurunan ternyata cukup besar, yaitu 35.71; dan yang tetap adalah 7.14.
52
Sementara itu, tidak ada pengolah yang terambil sebagai contoh. Dengan demikian, dampak positif program PEMP hanya dirasakan secara nyata oleh
kelompok petambak dan pedagang saja. Tabel 18. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Subang
Responden Uraian Keadaan
Jumlah Test Statistik
1. Petambak Menurun
Z -3.621
Meningkat 17
89.47 Asymp. Sig. 2-tailed
0.000 Tetap 2
10.53 Total 19
100.00 2. Nelayan
Menurun 5
35.71 Z
-0.804 Meningkat
8 57.14
Asymp. Sig. 2-tailed 0.422
Tetap 1 7.14
Total 14 100.00
3. Pedagang Menurun
Z -4.330
Meningkat 14
100.00 Asymp. Sig. 2-tailed
0.000 Tetap 0
Total 14 100.00
4. Pengolah Menurun
Meningkat Tetap 0
Total
Keterangan: Nyata pada taraf kesalahan 5
4.3.3 Cirebon
Kelompok yang mengalami peningkatan pendapatan secara nyata pada tingkat kesalahan 5 adalah petambak dan pengolah. Proporsi yang mengalami
peningkatan pada masing-masing kelompok mencapai 77.78 dan 81.82 Tabel.19..
Nelayan tidak mengalami peningkatan yang nyata. Proporsi yang meningkat hanya 15.38, menurun 7.69, dan yang tetap mencapai 76.92. Kelompok ini
hanya nyata pada taraf kesalahan 28.5. Kelompok pedagang pun tidak mengalami peningkatan yang nyata pada taraf
kesalahan 5 ia hanya nyata pada taraf kesalahan 31.7. Jumlah yang mengalami peningkatan hanya 33.33. Sedangkan sisanya 66.67 ternyata masih
tetap seperti sebelum proyek.
53
Dengan demikian, kelompok yang memperoleh dampak positif dari kegiatan PEMP di Cirebon adalah petambak dan pengolah. Sedangkan kelompok nelayan dan
pedagang tidak mengalami dampak yang nyata. Tabel 19. Hasil Wilcoxon Signed Rank Test Kabupaten Cirebon
Responden Uraian Keadaan
Jumlah Test Statistik
1. Petambak Menurun
3 16.67
Z -2.864
Meningkat 14
77.78 Asymp.
Sig. 2-tailed
0.004 Tetap 1
5.56 Total 18
100.00 2. Nelayan
Menurun 1
7.69 Z
-1.069 Meningkat
2 15.38
Asymp. Sig.
2-tailed 0.285
Tetap 10 76.92
Total 13 100.00
3. Pedagang Menurun
Z -1.000
Meningkat 1
33.33 Asymp.
Sig. 2-tailed
0.317 Tetap 2
66.67 Total
3 100.00
4. Pengolah Menurun
Z -2.666
Meningkat 9
81.82 Asymp.
Sig. 2-tailed
0.008 Tetap 2
18.18 Total 11
100.00
Keterangan: Nyata pada taraf kesalahan 5
4.4 Faktor Determinan Pendapatan
4.4.1 Model utuh
Model yang utuh ingin melihat pengaruh seluruh variabel bebas terhadap Y peningkatan pendapatan. Variabel bebas yang dilibatkan dalam model ini adalah:
modal awal, tambahan modal, tingkat pendidikan dummy, lokasi biner: Subang dan Cirebon, tahun pelaksanaan, kelompok mata-pencaharian dummy, persepsi
pada prospek usaha, dan persepsi pada kecakapan berbisnis. Secara statistik, model ini tergolong handal, karena terpercaya pada taraf kesalahan 5 Tabel. 20.
Nilai R
2
model regresi ini adalah 0.523. Artinya, sebanyak 52.3 perubahan- perubahan pada variabel terikat peningkatan pendapatan, dapat diterangkan oleh
54
variabel-variabel bebas yang terlibat dalam model. Sebagai model fenomena sosial, nilai R
2
lebih dari 30 sudah dianggap memadai.
Tabel 20. Hasil Analisis Regresi Seluruh Variabel
Variabel Koefisien Regresi
t Sig.
Constant
42,115,646.068 1.619
0.109
X1 Modal Awal
0.021 0.927
0.357
X2 Tambahan Modal
0.402 0.552
0.582
X31 SD
5,203,254.480 0.550
0.584
X32 SMP
14,044,789.393 1.166
0.247
X33 SMA
769,057.704 0.068
0.946
X4 Persepsi pada Prospek Usaha
5,420,456.557 1.017
0.312
X5 Lokasi
13,072,207.729 2.434
0.017
X6 Tahun Pelaksanaan
2,522,409.623 0.690
0.492
X7 Persepsi pada Kecakapan Berbisnis
16,385,884.067 3.193
0.002
X81 Nelayan
3,667,317.391 0.669
0.505
X82 Pedagang
38,393,297.202 5.312
0.000
X83 Pengolah
6,486,471.681 0.846
0.400 R Square = 0.523; Sig. 0.000; Keterangan: Nyata pada taraf 5
Mengacu pada Tabel.20. diketahui, bahwa hanya variabel “persepsi pada kecakapan berbisnis” dan kelompok mata pencaharian pedagang yang memberikan
pengaruh nyata pada taraf 5. Maknanya, perubahan-perubahan pada tingkat pendapatan itu secara nyata hanya dipengaruhi oleh perubahan-perubahan dua
variabel itu. Berangkat dari model rancangan regresi berganda dan hasil analisi regresi
pada Tabel-20 itu, maka dapat dituliskan model hubungan antara variabel bebas yang berpengaruh nyata terhadap perubahan tingkat pendapatan sesudah mengikuti
proyek PEMP. Model itu adalah sebagai berikut: Y = 38,393,297 X82 - 16,385,884 X7
dengan keterangan bahwa Y = kenaikan pendapatan sesudah proyek PEMP; X82 = kelompok pedagang; X7 = persepsi pada kecakapan berbisnis. Jika responden
55
bermata-pencaharian selain pedagang, maka nilai X1 = 0. Sedangkan bila bermata- pencaharian sebagai pedagang, maka nilai X1 = 1. Dalam konstruksi model ini, data
itu harus dibaca sebagai: kelompok pedagang memiliki nilai tambahan pendapatan Rp 38,393,297 dibanding dengan petambak yang dalam model diberi nilai 0 untuk
semua variabel dummy. Sedangkan persepsi pada kecakapan berbisnis merupakan nilai interval rata-
rata skala Lickert 0 sampai 5, untuk pertanyaan-pertanyaan: • Saya selalu berusaha agar kegiatan usaha saya menjadi lebih baik dan lebih
kuat; • Saya memiliki keterampilan yang memadai untuk membuat kegiatan usaha
saya menjadi lebih baik; • Saya memiliki semangat yang cukup untuk membuat saya bertahan dalam
kegiatan usaha saya ini; • Saya memiliki
kemampuan manajamen yang cukup untuk memajukan kegiatan usaha saya ini; dan
• Saya memiliki kawan-kawan yang selalu bersedia diajak diskusi berkaitan dengan usaha-usaha untuk memajukan kegiatan usaha saya.
Dalam hal ini, terdapat kontradiksi: semakin yakin terhadap kecakapannya, maka pendapatan responden semakin rendah. Seharusnya, kecakapan bisnis itu berbanding
lurus dengan kinerja. Dalam penelitian ini, persepsi terhadap kecakapan bisnis itu justru berbanding terbalik. Hal ini menggambarkan dua kemungkinan berikut:
• Para responden telah memiliki persepsi yang keliru tentang kemampuan dirinya; atau
• Persepsi responden itu lebih merujuk pada “keyakinan dirinya bahwa dirinya memiliki kecakapan bisnis yang baik” dan bukan pada “pengetahuan tentang
dirinya bahwa dirinya memiliki kecakapan bisnis yang baik”.
4.4.2 Model hasil iterasi 1
Setelah mengoperasikan model yang utuh, dilakukan iterasi dengan metoda
56
“enteredremoved”, yang dalam hal ini digunakan metoda “entered”. Komputer secara iteratif memilih variabel yang memiliki korelasi yang relatif tinggi, baik
berkorelasi positif maupun negatif. Variabel yang terpilih adalah: konstanta, modal awal, tambahan modal, tingkat pendidikan SMA terbuang, lokasi, jenis mata
pencaharian nelayan, pedagang, persepsi responden pada prospek usaha, dan persepsi responden pada kecakapan berbisnisnya Tabel 21.
Tabel 21. Hasil Analisis Regresi Iterasi 1
Variabel Koefisien Regresi
T Sig.
Constant 50,320,606.456
2.466 0.016
X1 Modal Awal
0.027 1.402
0.165 X31
SD 4,203,188.661
0.727 0.469
X32 SMP
13,890,979.628 1.494
0.139 X4
Persepsi pada Prospek Usaha 5,474,394.790
1.066 0.290
X5 Lokasi
12,921,482.273 2.910
0.005 X7
Persepsi pada Kecakapan Berbisnis 15,618,789.750
3.144 0.002
X81 Nelayan
5,350,917.614 1.047
0.298 X82
Pedagang 36,638,979.213
5.540 0.000
R Square = 0.513; Sig. 0.000; Keterangan: Nyata pada taraf 5
Dengan iterasi seperti itu diperoleh tiga variabel yang memberikan pengaruh nyata pada taraf 5, yaitu: lokasi, persepsi pada kecakapan berbisnis, dan jenis
mata pencaharian pedagang. Model matematiknya menjadi:
Y = 50,320,606 – 12,921,482 X5 – 15,618,790 X7 + 36,638,979 X82
dengan keterangan bahwa Y = peningkatan pendapatan sesudah mengikuti program PEMP; X5 = lokasi proyek Subang atau Cirebon; X7 = persepsi pada kecakapan
berbisnis; dan X82 = responden bermata-pencaharian pedagang. Untuk variabel lokasi, X5 = 0 jika responden berlokasi di Cirebon, dan nilai X5 = 1 jika responden
berlokasi di Subang. Dengan demikian, untuk variabel lokasi, hendaknya dibaca sebagai: tingkat pendapatan lokasi Subang adalah Rp 12,921,482 lebih rendah
dibanding dengan lokasi Cirebon. Kecakapan berbisnis juga berbanding terbalik, sama dengan penjelasan pada
57
model sebelumnya. Pendapatan pedagang juga Rp
36,638,979 lebih tinggi dibanding dengan pendapatan petambak.
Model ini dapat dipercaya, dengan nilai R2 sebesar 51.3. Sebanyak 51.3 variasi-variasi perubahan tingkat pendapatan dipengaruhi dengan perubahan-
perubahan variabel mata pencaharian sebagai pedagang, lokasi proyek, dan persepsi tentang kecakapan berbisnis.
4.4.3. Model hasil iterasi 2
Iterasi kedua adalah menganalisis regresi berganda, hanya dengan memasukkan variabel bebas yang pada iterasi 1 menunjukkan pengaruh nyata pada
taraf 5. Hasil analisis regresinya disajikan pada Tabel-22. Model ini dapat dipercaya pada taraf kesalahan 5, dengan nilai R2 = 45.1 Sebanyak 45.1
perubahan-perubahan tingkat pendapatan itu dipengaruhi oleh variabel-variabel bebas yang terlibat dalam model.
Tabel 22. Hasil Analisis Regresi Iterasi 2
Variabel Koefisien Regresi
T Sig.
Constant 56,923,600.758
3.612 0.001
X5 Lokasi
11,325,433.393 2.577
0.012 X7
Persepsi pada Kecakapan Berbisnis 12,787,045.429
3.086 0.003
X82 Pedagang
39,394,091.934 7.007
0.000
R Square = 0.451; Sig. = 0.000; Keterangan: Nyata pada taraf 5
Pada Tabel-22 ditunjukkan, bahwa konstanta, persepsi pada kecakapan berbisnis, dan mata pencaharian pedagang itu berpengaruh nyata pada taraf 5.
Dengan demikian, model matematiknya adalah: Y = 56,923,601– 12,787,045 X7 + 39,394,092 X82
dengan keterangan bahwa Y = peningkatan pendapatan akibat program PEMP; X7 = persepsi pada kecakapan berbisnis; dan X82 = mata pencaharian pedagang.
Penjelasan model ini sama dengan model utuh dan model iterasi 1
4.5. Pembahasan
58
4.5.1 Kelompok sasaran
Selama ini nelayan dan pembudidaya ikan belum sepenuhnya menikmati nilai tambah dari pemanfaatan potensi dan produksi perikanan . Hasil dari
perhitungan rata-rata di 10 provinsi Coremap pendapatan nelayan berkisar antara Rp. 82.500 sd Rp. 225.000,- bulan jumlah tersebut jauh dibawah nilai dari Upah
minimum Regional UMR yang ditetapka pemeritah tahun 19961997 sebesar Rp. 3.800,-hari Dahuri,2002 Namun demikian lebih jauh, Fauzi dan Satria, 2000
menyebutkan bahwa ketergantungan pada Iklim dan lingkungan menyebabkan pendapatan nelayan disetiap daerah berbeda-beda dari 10 desa pesisir yang termasuk
dalam 10 provinsi Coremap pendapatan terendah dialami nelayan dari Desa Sekotong pada saat musim ikan berkisar antara Rp.50.000,- sd Rp. 80.000,-
Menurut Syaefudin 2006 rata-rata pendapatan nelayan pancing tradisional dan semi modern di Kota Sabang, Banda Aceh dan Aceh besar mencapai Rp. 70.000,-
sd Rp.120.000,- Sementara dilokasi penelitian Petambak merupakan kelompok mata pencaharian yang selalu mengalami kenaikan pendapatan secara nyata pada
taraf 5, di Subang maupun di Cirebon. Demikian juga pedagang di Subang dan pengolah di Cirebon, mengalami kenaikan yang nyata. Kondisi kegiatan usaha
budidaya perikanan di dua daerah tersebut sejalan dengan trend yang terjadi saat ini, yaitu adanya kecenderungan menurunnya peran perikanan tangkap dan kedua
tersedianya sumberdaya budidaya perikanan; disamping itu pemerintah juga memberikan prioritas kepada kegiatan budidaya perikanan untuk dikembangkan
secara masal. Nikkijuluw, 2005. Peluang pengembangan budidaya perikanan Indonesia tergantung pada potensi lahan budidaya yang tersedia. Secara nasional
terdapat 27,6 juta ha lahan yang berpotensi untuk dikembangkan, dari jumlah tersebut baru 828 ribu ha 3 yang sudah dimanfaatkan. Pemanfaatan ini
menghasilkan secara total 1,1 juta ton pada tahun 2002, menurut lahan budidaya atau teknologi pembesaran ikan, tambak memberikan kontribusi terbesar diikuti oleh
budibaya laut dan budidaya di kolam. Bila dibandingkan dengan lahan yang tersedia, penambahan pemilikan usaha budidaya yang lambat perkembangannya ini
menunjukkan adanya kekurangan teknologi dan modal. Berarti bahwa masyarakat mengalami kendala pada teknologi dan modal untuk mengubah potensi yang
tersedia menjadi realistis Nikkijuluw, 2005
59
Sementara itu, nelayan di kedua lokasi penelitian selalu tidak mengalami peningkatan yang nyata pada taraf 5, meski jumlah responden yang mengalami
peningkatan itu relatif besar lebih dari separuh dari nelayan di masing-masing lokasi, yaitu masing-masing 57.14 dan 76.92 untuk Subang dan Cirebon.
Sementara itu Dahuri, 2002 menyebutkan bahwa hal ini disebabkan karena biaya operasional yang meningkat 3 sd 4 kali lipat dari sebelumnya. Sementara itu hasil
ananlisis usaha perikanan tangkap lampiran 7 dan 8 di kedual lokasi penelitian menunjukkan ketergatungan BBM terhadap biaya produksi untuk nelayan
kabupaten Subang dengan alat tangkap tramel net sebesar 64,82 dgn penghasilan rata-rata setiap bulannya Rp.840.000,-, sedangkan nelaya kab.Cirebon dengan alat
tangkap jaring kejer gillnetjaring insang diam, ketergatungan BBM terhadap biaya produksi mencapai 74,14 dengan penghasilan rata-rata perbulan Rp. 488.000,-
Fenomena itu tidak membuktikan bahwa program PEMP tidak memberikan layanan kepada nelayan dengan mutu layanan sebaik seperti yang diberikan kepada
petambak, pedagang, dan pengolah. Dengan anggapan bahwa mutu layanan itu diberikan sama baik, maka perbedaan dampak itu terjadi karena nelayan kurang
responsif terhadap jasa layanan terutama modal PEMP. Hal itu diduga terjadi karena dana PEMP itu tidak secara langsung dapat memacu produksi. Karena skala
pinjaman PEMP lazimnya digunakan untuk biaya operasional atau untuk living cost bagi keluarga yang ditinggalkan di darat. Selain itu, ruang aktifitas usaha nelayan itu
relatif konstan. Peningkatan produksi yang mencolok hanya mungkin dilakukan dengan cara lompatan teknologi frogging, misal dari penggunaan perahu layar
menjadi perahu motor atau penggunaan motor kecil ditingkatkan dengan motor yang jauh lebih besar, sehingga mampu menjangkau fishing ground yang lebih luas; serta
lompatan manajemen seperti mengintegrasikan nelayan dengan kegiatan pengolahan yang dikuasai oleh kelompok nelayan atau. Dikaitkan dengan soal kelimpahan
sumberdaya resources endowment yang kian menurun, prospek usaha nelayan jika tanpa lompatan teknologi dan manajemen secara alamiah cenderung menurun.
Kondisi ekonomi nelayan tergolong masih rendah, salah satu indikatornya adalah sampai saat ini pendapatannya masih dibawah Rp. 500.000,- Djamaludin, 2003
tingkat pendapatan rendah sebagai akibat menurunnya sumber daya alam. Seperti diketahui Laut Jawa pantai Utara Jawa merupakan daerah yang telah mengalami
60
gejala over fishing yang ditandai; a menurunnya hasil tangkapan b terjadinya booming species tertentu, c penurunan ukuran ikan hasil tangkapan, d grafik
penangkapan dalam satuan waktu berfluktuasi atau tidak menentu erratic, e penurunan produksi secara nyatasignifikan Manggabarani, 2005. Hal ini terjadi
karena sumberdaya perikanan Indonesia secara formal adalah wadah bersama common pool resources yang dimiliki negara dan masyarakat lokal Nikijuluw,
2005. Akan tetapi dari beberapa gejala dan kecenderungan yang terjadi di lapangan, ternyata sumberdaya perikanan Indonesia menganut dan mengikuti rezim
de facto open accsess terbuka tanpa pemilik. Dibawah rezim de facto open accsess yang terjadi adalah sumberdaya mengalami degradasi berat, turun
kualitasnya, kemusnahan ikan secara total, dan pada akhirnya akan musnah peluang untuk memanfaatkan sumberdaya tersebut bagi pembangunan ekonomi dan hal ini
akan berdampak pada timbulnya tragedi kerusakan sumberdaya yang diikuti dengan kemiskinan nelayan Nikijuluw, 2005
Secara agregat semua responden Peserta Program PEMP di kedua kabupatenkota mengalami dampak yang nyata terhadap pendapatan nominal,
namun apabila dibandingkan dengan nilai rata-rata laju inflasi 7,64 dalam tahun 2000-2006, maka kenaikan pendapatan hanya dialami oleh petambak dan pengolah
di kedua lokasi serta pedangan di Kabupaten. Subang, Sedangakan Nelayan dikedua lokasi dan Pedagang di Kabupaten Cirebon kenaikan pendapatannya rata-
rata hanya 4,4 dan 6,16 atau dibawah rata-rata laju inflasi dalam kurun waktu tahun 2000-2006, dimana Laju Inflasi adalah tingkat harga umum dari tahun-
ketahun dan biasanya diikuti dengan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya Samuelson and Nordhause, 2001 dalam Murni, 2006
4.5.2 Persepsi kecakapan berbisnis
Variabel ini bertanda negatif. Artinya memiliki hubungan terbalik dengan peningkatan pendapatan. Tatkala responden memiliki persepsi bahwa secara agregat
kecakapan bisnisnya itu tinggi, maka terjadi penurunan laju peningkatan pendapatannya. Ini menjelaskan bahwa responden sebenarnya ‘hanya merasa bahwa
kecakapan bisnisnya’ itu tinggi; padahal sesungguhnya mereka tidak memiliki kecakapan bisnis. Artinya, mereka sesungguhnya tidak tahu bagaimana kecakapan
61
bisnis mereka yang sesungguhnya. Semakin merasa yakin, maka mereka semakin bertindak tidak rasional. Mekanisme itu mungkin terjadi dalam masyarakat, yang
oleh Tadjudin 2000 memiliki ciri bounded rationality rasionalitas terbelenggu.
4.5.3 Pedagang
Perniagaan lazimnya merupakan sektor yang paling responsif terhadap injeksi modal, karena hal itu akan mengangkat skala usahanya secara nyata melalui
perputaran barang yang makin cepat. Sekurang-kurangnya terdapat tiga fenomena menarik dalam penelitian ini. Pertama, bahwa skala usaha pedagang tidak menjadi
faktor yang memberikan pengaruh nyata terhadap peningkatan pendapatan responden. Hal itu ditunjukkan dengan variabel modal awal Tabel.6. yang tidak
berpengaruh secara nyata pada taraf 5. Kedua, tambahan modal juga tidak menjadi faktor yang berpengaruh secara nyata terhadap peningkatan pendapatan
responden. Karena laju peningkatan pendapatan responden itu tidak dipengaruhi secara
nyata oleh dua faktor di atas, maka sangat mungkin bahwa para pedagang itu sangat diuntungkan akibat ‘pembinaan kelembagaan’ yang menjadi muatan program
PEMP. Misalnya, dengan adanya program PEMP, maka militansi nelayan untuk mendarat di tempat pelelangan setempat itu semakin tinggi. Karena itu, para
pedagang berkesempatan untuk meningkatkan perputaran barangnya, karena telah terjadi pasokan yang lebih baik. Sayang penelitian ini tidak melacak informasi itu
secara lebih mendalam.
4.5.4 Koreksi inflasi terhadap pendapatan
Peningkatan pendapatan perlu dikoreksi dengan inflasi, karena hal itu akan menunjukkan nilai yang sesungguhnya bukan nilai nominal. Laju Inflasi adalah
tingkat harga umum dari tahun-ketahun dan biasanya diikuti dengan kenaikan harga pada tahun tertentu dari tahun sebelumnya Samuelson and Nordhause, 2001 dalam
Murni, 2006. Data inflasi nasional dalam kurun waktu 2000-2006 disajikan pada Tabel 23. Jika indeks tahun 2000 diasumsikan sama dengan 100, maka indeks tahun
penelitian 2006 adalah 160.97. Nilai peningkatan pendapatan setelah dikoreksi dengan laju inflasi disajikan pada Tabel 24.
62
Tabel 23. Laju Inflasi Indonesia Tahun 2001 sampai 2006 No
Tahun Angka Inflasi
Indeks 1. 2000
3,8 100.00
2. 2001 11,5
111.50 3. 2002
11,8 124.66
4. 2003 6,8
133.13 5. 2004
6,1 141.25
6. 2005 7,0
151.14 7. 2006
6,5 160.97
Nilai Rata-Rata 7,64
www.bps.go.id . 2007
Tabel 24. Pendapatan Nominal Responden Sebelum dan Sesudah Program PEMP di Kabupaten Cirebon dan Subang Dikoreksi Inflasi
Pendapatan rata-rata Rp
Kenaikan Uraian Responden
Th 2000 2001-2006
Rp
CIREBON 45
Petambak 18
4,641,011 4,768,612 127,601 2.75
Nelayan 13
45,999,643 27,405,006 18,594,637 40.42
Pedagang 3
124,950,000 82,408,225 42,541,775 34.05
Pengolah 11
15,783,688 12,521,049 3,262,639 20.67
SUBANG 47
Petambak 19
7,811,154 11,421,600 3,610,446 46.22
Nelayan 14
14,623,000 14,858,020 235,020
1.61
Pedagang 14
57,702,857 76,612,892 18,910,035 32.77
Pengolah -
- - - -
Untuk wilayah Cirebon, secara agregat hanya petambak saja yang mengalami laju peningkatan pendapatan yang positif. Sementara itu seluruh
kelompok responden di Subang mengalami peningkatan positif. Hal itu memberikan gambaran sebagai berikut:
Responden di Subang rata-rata lebih sejahtera, karena seluruhnya mengalami laju peningkatan pendapatan riil. Sedangkan di Cirebon hanya petambak saja
yang mengalami laju peningkatan pendapatan riil yang positif. Dengan
63
demikian, responden di Cirebon memerlukan sumber pendapatan alternatif yang lebih besar dibanding dengan Subang. Secara agregat, seluruh
responden di Cirebon sedang mengalami proses pemiskinan. Di Subang, nelayan merupakan kelompok yang mengalami peningkatan
pendapatan riil yang paling kecil, yaitu hanya 1.61; sementara itu di Cirebon mengalami penurunan sebesar 40.42 yang merupakan laju
penurunan terbesar di daerahnya. Dengan demikian, nelayan ini merupakan kelompok yang paling rentan mengalami laju pemiskinan.
4.6 Implikasi Pada Kebijakan 4.6.1 Kebijakan yang afirmatif
Hasil Wilcoxon signed rank test di Subang dan Cirebon menunjukkan bahwa setiap jenis mata pencaharian itu memiliki sensitifitas yang berbeda terhadap injeksi
modal. Sensitifitas itu bisa bersifat teknikal maupun sosial. Yang dimaksud teknikal adalah kemampuan suatu bidang usaha untuk menghasilkan marjinal-produk itu
berbeda-beda antara satu jenis mata pencaharian satu dengan lainnya. Sedangkan secara sosial adalah bahwa setiap pelaku mata pencaharian tertentu itu memiliki
kearifan dan kecakapan yang berbeda dalam memanfaatkan modal. Hal itu menjelaskan, bahwa masyarakat pesisir bukanlah masyarakat yang
homogen. Dengan demikian, mereka tidak dapat dipacu dengan suatu inisiatif program yang seragam. Program generik seperti yang dilakukan PEMP ternyata
memacu pedagang secara sangat nyata, diikuti dengan petambak dan pengolah. Sedangkan nelayan tetap tertinggal dengan laju peningkatan pendapatan yang tidak
nyata. Karena itu, dibutuhkan sebuah program yang affirmatif; yaitu sebuah
program yang memberikan topangan lebih intensif kepada kelompok yang memiliki respons pembinaan yang lebih rendah, dalam hal ini kepada nelayan. Gagasan
penciptaan mata pencaharian alternatif, misalnya, bukanlah dioperasikan sebagai mendorong perkembangan sumber mata pencaharian yang lebih beraneka secara
64
acak; melainkan mata pencaharian alternatif itu dilekatkan pada kelompok nelayan, yang selama ini justru merupakan kelompok paling rawan di daerah pesisir.
Hal itu sejalan dengan prinsip pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan pada masyarakat paling tertinggal akan kehilangan maknanya apabila tidak mampu
menyempitkan ketimpangan yang terjadi antar golongan dalam masyarakat. Pendapatan nelayan meningkat, akan kehilangan maknanya apabila peningkatan
pendapatan kelompok lainnya terjadi dengan laju lebih tinggi; karena kenyataan itu justru menjelaskan bahwa dalam masyarakat pesisir sedang terjadi peningkatan
kesenjangan antar kelompok mata pencaharian. Nelayan memiliki daur produksi yang unik, yaitu: berproduksi pada saat
peak season Pebruari-Juli dan libur pada saat off season yang jatuh pada musim angin barat Agustus-Januari. Jadi masa produktif nelayan hanya 6-8 bulan setiap
tahun. Karena itu, pola pemberdayaan yang diterapkan kepada kelompok ini harus mampu mengakomodasikan kenyataan ini, misalnya:
Ketika masa produktif, nelayan harus didorong untuk menabung, agar mereka memiliki cadangan dana untuk menutup kebutuhan pada musim
paceklik. Perilaku nelayan umumnya adalah: konsumtif pada masa panen raya dan menjual menggadaikan apa saja ketika musim paceklik.
Ketika masa paceklik, nelayan sejauh mungkin mampu memanfaatkan tabungan yang mereka himpun pada masa panen raya.
Untuk mengatasi kondisi musim paceklik, nelayan perlu memiliki mata pencaharian alternatif; sehingga fluktuasi pendapatan tidak terlalu menyolok.
Fluktuasi yang tajam dalam jangka panjang akan membuat nelayan tidak mampu melakukan perencanaan yang baik untuk memperbaiki kesejahteraan
dirinya, karena bagi mereka “masa depan itu hanya sebuah ketidak-pastian”. Masyarakat pesisir, terutama nelayan, amat rawan karena amat bergantung
pada sumberdaya kelautan. Relasi manusia dengan sumberdaya pada umumnya masih bersifat ekstraktif. Berkaitan dengan hal itu, Runge 1990 mengajukan
gagasan tentang perlunya introduksi properti masyarakat bagi penduduk pedesaan di negara kurang sedang atau belum berkembang dengan bersandar pada tiga
65
karakteristik masyarakat pedesaan sebagai berikut: Pertama, penduduk pedesaan di negara kurang berkembang memiliki tingkat pendapatan yang rendah, dan itu
merupakan indikator kemiskinan yang nyata. Kedua, penduduk pedesaan memiliki ketergantungan yang besar pada
sumberdaya alam setempat. Pendayagunaan sumberdaya alam itu sendiri pada umumnya menghasilkan nilai tambah yang rendah. Kegiatan ekonomi yang
menghasilkan nilai tambah tinggi pada umumnya bukan merupakan bagian dari perekonomian lokal. Hal itu dipertajam dengan distribusi sumberdaya yang tidak
merata. Ketiga, perpaduan dua karakteristik sebelumnya menghasilkan tingkat
ketidak-menentuan yang tinggi berkaitan dengan aliran pendapatan penduduk dalam kurun waktu tertentu. Hal itu antara lain karena masyarakat tidak memiliki kontrol
yang jelas terhadap sumberdaya setempat, karena sumberdaya itu merupakan sumberdaya terbuka.
4.6.2 Bukan berpusat pada modal
Dalam pedoman umum PEMP selalu disebutkan, bahwa pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir itu perlu didorong melalui tiga inisiatif: perbaikan
manajemen, perbaikan teknologi, dan perbaikan akses masyarakat pada modal. Artinya, segala program pemberdayaan PEMP itu dirancang sebagai bentuk
perbaikan tiga komponen di atas. Dalam prakteknya, kebijakan permodalan masyarakat pesisir telah
berkembang menjadi jiwa program PEMP. Pemberian modal ‘secara komersial’ telah menjadi penciri program PEMP.
Namun penelitian ini justru menjelaskan, bahwa peningkatan pendapatan responden itu ternyata tidak dipengaruhi secara nyata oleh variabel modal, baik
modal awal maupun tambahan modal. Dengan demikian, program PEMP perlu melakukan reorientasi pelaksanaan programnya untuk lebih memberikan perhatian
pada inisiatif-inisiatif non-modal.
66
Secara normatif, dalam setiap pemberdayaan masyarakat, sesungguhnya modal tidak pernah ditempatkan sebagai faktor utama. Ia hanya bersifat
komplementer terhadap pembentukan sistem nilai unggul, tingkat kekompakan kelompok group cohesiveness, dan unsur kelembagaan lainnya. Bank komersial
juga menempatkan injeksi modal setelah mereka menilai kelayakan usaha yang dijalankan oleh pelaku usaha yang berkarakter. Bahkan dalam masyarakat pun
tumbuh pemeo: Dalam bisnis, yang penting bukan modal, tapi kepercayaan. Itu semua mengisyaratkan, bahwa komponen non-modal merupakan faktor yang harus
diperhatikan dalam program PEMP, untuk tidak dikatakan lebih penting ketimbang faktor modal.
4.6.3 Revitalisasi program pendampingan
Peningkatan mutu Pendampingan masyarakat dalam rangka peningkatan kapasitas masyarakat dan penguatan kelembagaan lokal diduga merupakan alternatif
yang perlu mendapat perhatian serius. Hal itu selaras dengan kenyataan sebagai berikut: Pertama, terdapat kecenderungan dampak program yang bersifat acak
dengan perbedaan lokasi binaan. Cirebon menunjukkan peningkatan yang jauh lebih besar dibanding dengan Subang, seperti yang ditunjukkan dengan variabel lokasi
yang nyata pada taraf 5 pada model regresi Iterasi I. Pendampingan yang lebih tangguh akan mendorong program-program yang lebih berbasis sumberdaya dan
masyarakat lokal. Kedua, adanya tanda-tanda bounded rationality, misalnya ditunjukkan
dengan tanda negatif pada variabel persepsi pada kecakapan berbisnis. Hal itu lazimnya terjadi karena dua hal: i Proses penyadaran masyarakat belum terjadi
secara intensif; dan ii Proses dampingan pasca pelatihan tidak terjadi secara intensif, sehingga peningkatan ekspektasi masyarakat melampaui peningkatan
kecakapan aktualnya. Ketiga, adanya kebutuhan untuk melakukan program-program secara
afirmatif. Selain mendorong agar setiap kelompok masyarakat bisa memperbaiki derajat kesejahteraannya, juga dibutuhkan sebuah mekanisme partisipatif yang
67
dihormati oleh masyarakat untuk memperkecil kesenjangan kemakmuran antar kelompok masyarakat atau antar wilayah.
Untuk menjawab persoalan itu, Tadjudin 2000 memberikan solusi untuk melakukan pemaduan kelembagaan lokal. Pemerintah dan masyarakat memiliki
kepentingan yang sama dalam hal pengelolaan sumberdaya. Keduanya menginginkan produktifitas, kelestarian, dan tidak ingin konflik. Jika kepentingan
produksi dan ketidak-mauan konflik itu mencuat secara terbuka, maka kepentingan kelestarian relatif tersembunyi. Pada pihak pemerintah, hal itu tersembunyi dalam
konsep-konep retoriknya; sedangkan pada masyarakat lokal tersembunyi dalam pengetahuan dan kearifan lokalnya.
Untuk menjembatani pemerintah dengan masyarakat lokal, masyarakat lokal dengan masyarakat luar, maupun pengetahuan dari luar dengan pengetahuan lokal,
dibutuhkan sebuah komunikasi yang oleh Roy 1992 disebut sebagai billateral matching, yang memiliki makna menjembatani dua kelembagaan yang berbeda.
Selanjutnya Tadjudin 2000 menyebutkan, bahwa agar perbedaan itu yang menimbulkan potensi konflik, dapat ditransformasikan menjadi potensi kolaborasi
yang sinergik, diperlukan prasyarat sebagai berikut: Pertama, dibutuhkan political will pemerintah, antara lain berupa:
pengenalan dan pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal; menaruh kepercayaan bahwa identitas, budaya, kebiasaan, tatanilai lokal, dan pengetahuan
lokal itu mampu memberikan kontribusi yang positif terhadap model pengelolaan sumberdaya yang produktif dan lestari; serta memahami masyarakat sebagai
manusia yang memiliki harkat yang tinggi, dan dengan demikian patut didengar aspirasinya.
Kedua, setiap aturan formal termasuk sistem insentifnya disusun dengan mengakomodasikan kebutuhan masyarakat lokal. Ini merupakan model konkret
yang menunjukkan bahwa pemerintah itu percaya kepada masyarakat. Ketiga, setiap tindakan sosialisasi hukum kepada masyarakat tidak dilakukan
secara koersif, meski hukum itu sendiri pada hakekatnya bersifat koersif. Sosialisasi hendaknya dipandang sebagai proses pembelajaran yang dialogik.
68
Keempat, agar dihasilkan organisasi pemerintah yang lebih adaptif terhadap kepentingan masyarakat lokal, diperlukan desentralisasi penanganan masalah
sumberdaya dan devolusi pembuatan keputusan dari pusat ke daerah. Kelima, prakarsa pembangunan ‘jembatan komunikasi’, seperti dituangkan
dalam keempat butir pertama, hendaknya datang dari pemerintah. Prakarsa tersebut diperlukan bukan karena sepatutnya pemerintah bermurah-hati, melainkan karena
masyarakat itu berhak mendapatkannya.
69
5 KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
1 Secara agregat, program PEMP mampu memberikan dampak nyata terhadap peningkatan pendapatan pada taraf 5 pada responden di
Subang dan Cirebon maupun pada agregat kedua lokasi tersebut. 2 Di daerah Subang, program PEMP memberikan dampak nyata pada
taraf 5 terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata pencaharian petambak dan pedagang.
3 Di daerah Cirebon, program PEMP memberikan dampak nyata pada taraf 5 terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata
pencaharian petambak dan pengolah. 4 Program PEMP tidak memberikan dampak nyata pada taraf 5
terhadap peningkatan pendapatan kelompok mata pencaharian nelayan di Subang maupun Cirebon.
5 Analisis regresi dengan seluruh variabel bebas terlibat dalam analisis, telah dilakukan iterasi pada variabel yang memiliki korelasi tinggi,
maupun pada variabel bebas yang menunjukkan pengaruh nyata menggambarkan bahwa model regresi yang dibangun itu dapat
dipercaya pada taraf 5. Nilai R
2
masing-masing model adalah 52.3, 51.3, dan 45.1. Untuk sebuah analisis sosial, seperti dalam
penelitian ini, nilai R
2
tersebut sudah terbilang memadai. 6 Hasil akhir dari analisis regresi menunjukkan bahwa variabel “persepsi
pada kecakapan berbisnis” dan “mata pencaharian sebagai pedagang” memberikan pengaruh nyata pada taraf 5 terhadap peningkatan
pendapatan. 7 Dengan memperhitungkan laju inflasi nasional, diketahui bahwa
responden di Cirebon rata-rata memiliki tingkat pendapatan yang lebih rawan. Hanya petambak yang mengalami laju peningkatan pendapatan
70 yang positif. Sedangkan responden di Subang relatif lebih mapan,
karena seluruhnya memiliki laju peningkatan pendapatan yang positif. Nelayan di kedua daerah penelitian merupakan kelompok yang paling
rawan, karena kelompok inilah yang paling terpukul dengan laju inflasi.
5.2 Saran -