Kondisi Konversi Lahan Di Desa Candimulyo

BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN

KONVERSI LAHAN

6.1 Kondisi Konversi Lahan Di Desa Candimulyo

Pertanian di Desa Candimulyo merupakan tonggak kehidupan bagi masyarakatnya. Hal ini ditunjukkan dengan mata pencaharian utama bagi desa ini yaitu di bidang pertanian. Namun, kegiatan pertanian yang telah dijalankan turun- temurun itu beberapa tahun terakhir ini semakin berkurang. Masyarakat petani desa ini, yang awalnya mengunggulkan tembakau sebagai komoditas utama mereka, kini berubah tak menentu. Banyak yang beralih ke pertanian tanaman pangan, banyak pula yang berubah profesi, tidak lagi petani. Hal ini berawal dari jatuhnya harga tembakau pada akhir tahun 1990-an yang membuat banyak petani tembakau di Candimulyo, bahkan di Kabupaten Wonosobo pun turut mengalami kebangkrutan. Turunnya harga tembakau tersebut menyiutkan semangat para petani waktu itu untuk terus menanam tembakau. Berikut ini penjelasan Pak Ashuri, 54 tahun, salah seorang petani yang mengeluhkan masalah tersebut. “Saya pikir wajar saja para petani di sini banyak yang nggak mau lagi nanam tembakau. Saya saja sempet stress. Gimana nggak? Waktu itu, saya pernah nanam tembakau ngabisin modal sekitar 20 jutaan. Tapi pas saya panen, cuma dapat 800 ribu. Siapapun bisa gila kalau dapat musibah seperti ini.” Akhirnya, banyak petani yang mengambil keputusan untuk mengganti komoditas pertanian yang mereka tanami menjadi tanaman jagung dan sayuran kobis. Pada awalnya, harga sayuran ini sangat menjanjikan karena masih langka. Dengan demikian, semakin hari semakin banyak petani yang mengubah komoditas tanamannya dari tanaman tembakau tersebut menjadi tanaman jagung dan kobis. Menurut mereka, tanaman tersebut dapat dijadikan sandaran perut karena jagung dapat dikonsumsi sebagai makanan pokok, sedangkan kobis sebagai lauknya. Jika lauk sudah mencukupi, sisa panen dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan lainnya. Permainan harga pasar muncul lagi setelah volume komoditas jagung dan kobis meluap di pasaran. Harganya sangat jauh dari harapan para petani. Bahkan petani sempat merasakan harga kobis sampai dua ratus perak per kilogram. Para petani kembali menjadi mangsa permainan harga pasar tersebut. Ada yang berpendapat bahwa pemerintah tidak pernah peduli dengan nasib mereka. Bukan hanya pemasaran yang menjadi permasalahan, tetapi kelangkaan pupuk yang justru menentukan untung ruginya usahatani, juga membuat para petani resah. Berikut penjelasan, sebut saja Pak Surjoyo, 47 tahun, salah seorang petani Desa Candimulyo, berkaitan hal tersebut: “Saya bingung gimana maksud pemerintah. Ngomongnya saja program utama mereka pengembangan pertanian di Wonosobo, tapi nyatanya kami mau nyari pupuk saja susah. Bukan masalah harganya saja, Mending kalo mahal saja, mungkin kami tetep ngusahain uang untuk membeli, tapi ini sudah harganya mahal, pas dicari pun barangnya nggak ada. Gimana petani-petani di sini nggak pada stress? Satu hal lagi yang kami harapkan sebenarnya masalah pasar pertanian. Saya makin nggak ngerti saja. Misalnya nih, saya lagi nanam kobis, harga kobis waktu itu lagi mahal. Petani-petani lain juga nanam kobis. Kita sudah ngrawat dengan baik sehingga hasil panennya pun baik. Namun pas masa panen, harganya tiba-tiba jatuh.Ya petani mau nggak mau tetep harus menjual hasil penennya juga walaupun rugi kalo dihitung-hitung.” Minimnya penghasilan yang didapat dari bercocok tanam akhirnya membuat para petani pemilik lahan berinisiatif mengubah fungsi lahan pertanian mereka menjadi pertambangan pasir dan batu. Menurut warga sekitar pertambangan, penggalian itu sudah mulai terjadi sejak tujuh tahun silam yang berawal dari seorang petani yang tidak sengaja menemukan pasir dan batu di lahannya pada saat sedang mencakul. Petani tersebut terus mencangkul ke dalam, dan semakin banyak pasir yang muncul. Akhirnya, petani tersebut berinisiatif untuk menjual pasir tersebut ke pengusaha bahan bangunan. Melihat hasil yang memuaskan, dia terus melakukan hal yang sama dari tahun ke tahun. Kini petani tersebut, sebut saja Pak Supyan, menjadi seorang yang kaya raya dengan penghasilannya yang milliaran. Berikut penjelasan Pak Ahmad Sujadi, 54 tahun, seorang warga yang mengetahui keadaan petani tersebut: “Sebenarnya, penggalian pasir dan batu ini berawal dari Pak Supyan. Dulu dia orang yang nggak punya apa-apa miskin. Punya lahan pun nggak nyampe seribu meter. Udah gitu, jumlah tanggungannya banyak pula. Sepertinya buat nyukupin kebutuhan sehari-hari saja kurang. Tapi sekarang, dia sudah bisa dibilang menjadi orang yang paling kaya di desa ini. Gimana nggak, penghasilan dari galian pasir di lahannya sehari saja bisa buat nyukupin kebutuhan keluarga untuk seminggu. Melihat Keuntungan yang didapat Pak Supyan, petani-petani terutama yang lahannya sempit mencoba-coba mencangkul lahannya dengan harapan ada pasirnya.” Kini, para petani pemilik lahan banyak juga yang memilih menjual lahan mereka kepada pengusaha untuk kemudian digali untuk diambil kandungan pasir dan batunya. Akibat penambangan tersebut, lahan pertanian menjadi rusak. Untuk mengambil batu dan pasir, lahan pertanian dikeruk dan dikepras hingga setinggi 14 meter. Sejumlah lahan pertanian kini menjadi tampak seperti keprasan bukit berongga lihat Lampiran 3. Semula hanya satu atau dua petani pemilik lahan yang menjual lahannya ke pengusaha pasir dan batu, namun, karena harga tanah yang ditawarkan untuk lahan yang akan dipakai sebagai pertambangan dapat mencapai hampir sepuluh kali lipat dari harga normal, banyak pemilik lahan yang ikut-ikutan menjual. Pengusaha pasir dan batu berani membeli lahan di area pertanian yang mengandung pasir dan batu dengan harga per meter persegi antara Rp 350.000 sampai Rp 400.000. Padahal, normalnya harga lahan itu hanya Rp 35.000 sampai Rp 40.000. Berikut ungkapan salah seorang pelaku penggalian, sebut saja Waris, 39 tahun, yang mengaku seperempat hektar lahannya kini dijadikannya pertambangan pasir dan batu: Sekarang kalau lahan itu ditanami jagung atau tembakau, sulit dijadikan sandaran untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Panen tembakau belum tentu ada hasilnya, itu pun setahun sekali. Panen jagung hanya cukup untuk makan sehari-hari, kadang kurang, Namun, bila lahan itu dijadikan pertambangan pasir dan batu, hanya duduk saja para petani ini bisa mengeruk keuntungan Rp 60.000 sampai Rp 80.000 per hari. Kini ada puluhan petani yang merelakan tanahnya dibeli pengusaha pasir dan batu untuk dikeruk dan dijadikan penambangan pasir serta batu. Belum lagi petani yang memilih melakukan penambangan sendiri atau bahkan bagi hasil untuk diambil pasir dan batunya. Kondisi konversi lahan yang terjadi di Desa Candimulyo ini jika digolongkan berdasarkan pola konversi menurut Sihaloho 2004 tergolong pada konversi yang disebabkan oleh masalah sosial Social Problem driven land conversion yaitu, masyarakat mengkonversi lahan karena memiliki motivasi untuk berubah meninggalkan kondisi lama dan bahkan keluar dari sektor pertanian utama. Dalam hal ini, motivasi tersebut muncul karena keinginan untuk bertahan hidup bahkan meningkatkan mutu kehidupan mereka.

6.2 Faktor-faktor yang Berhubungan dengan Konversi Lahan