Simpulan Saran Tinjauan Pustaka .1 Kajian Relevan

76 BAB V SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil pengumpulan dan analisis data dari hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa tidak semua makna kata 水 shuǐ dalam peribahasa Cina berarti air. Bila maknanya disesuaikan dengan kata-kata yang lainnya ataupun dikonotasikan maka kata 水 shuǐ terkadang akan diartikan menjadi sungai, selokan, berlayar, dan arus. Semua perubahan itu dapat terjadi sesuai dengan kata- kata yang mempengaruhinya. Nilai budaya yang terdapat dalam peribahasa Cina yang mengandung kata 水 shuǐ antara lain nilai kekeluargaan, nilai kesabaran dan ketekunan, nilai ketabahan dan keikhlasan, nilai keteladanan, kerja keras dan pantang menyerah, menghargai dan bersyukur kepada Tuhan, ketelitian dan hati-hati dalam melakukan tindakan, kesungguhan, dan toleransi.

5.2 Saran

Berdasarkan hasil analisis dan simpulan yang telah diuraikan, ada beberapa saran yang diajukan penulis bahwa hasil analisis skripsi ini dapat dijadikan rujukan terhadap penelitian sejenis untuk kebahasaan lainnya, namun disarankan untuk menganalisis gramatikalnya ataupun strukturnya. Nilai-nilai budaya Cina Universitas Sumatera Utara 77 yang terdapat dalam peribahasa yang mengandung kata 水 shuǐ ini dapat diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Universitas Sumatera Utara 10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP DAN LANDASAN TEORI 2.1 Tinjauan Pustaka 2.1.1 Kajian Relevan Untuk menunjukkan penelitian ini berbeda dengan penelitian yang lain, maka diperlukan penelusuran bahan-bahan pustaka dari hasil-hasil penelitian yang relevan dan berkaitan dengan bahan pustaka buku-buku teks. Penelitian tentang peribahasa Cina yang menyangkut analisis makna kata shuǐ air belum pernah dilakukan sebelumnya. Tetapi penelitian-penelitian tentang peribahasa bahasa lain dari bahasa Cina yang menyangkut interpretasi makna telah dilakukan oleh para peneliti, yakni: Purba 2010 dalam skripsi yang berjudul Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang Yang Terbentuk Dari Kata „Mizu‟ yang mengatakan bahwa : 1. Peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata Mizu sebagai unsur utamanya, memiliki banyak arti yang merupakan simbol-simbol kehidupan yang biasanya masih sering dipergunakan dalam percakapan kehidupan sehari-hari. 2. Ternyata sebagian besar peribahasa Jepang yang menggunakan unsur utama Mizu, bermakna nasehat dalam menjalani kehidupan bagi masyarakat Jepang. Ini disebabkan oleh air yang memiliki hubungan antara kehidupan ritual keagamaan bagi masyarakat di Jepang, karena Universitas Sumatera Utara 11 air merupakan salah satu dari lima elemen Godai penting yang dipercayai masyarakat Jepang dalam kehidupannya. Namun dari ke-16 peribahasa Jepang yang penulis interpretasikan, ada juga yang bermakna sindiran, ataupun kritikan. 3. Dari ke- 16 peribahasa yang penulis interpretasikan, ada beberapa peribahasa yang berkaitan atau dikaitkan dengan sifat-sifat air yang sesungguhnya. Penelitian ini mengemukakan makna peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata Mizu dan sejauh mana pemakaian kata Mizu dalam peribahasa Jepang. Sehingga dari penelitian ini penulis dapat mempelajari bagaimana cara menganalisi peribahasa secara denotatif dan konotatif. Rusniko 2010 dalam skripsi yang berjudul Interpretasi Makna Peribahasa Bahasa Jepang yang Terbentuk dari Kata „Hana‟ mengatakan bahwa peribahasa merupakan salah satu aspek budaya Jepang. Karena jarang dipakai dalam percakapan sehari-hari, maka peribahasa Jepang sulit dipahami oleh orang asing. Selain itu, terdapat banyak peribahasa yang menggunakan kata hana dan memiliki makna yang berbeda-beda. Amrizal 2014 dalam skripsi yang berjudul Interpretasi Makna Kata „Uma‟ Kuda Pada Peribahasa Jepang menemukan 50 data berupa peribahasa Jepang yang menggunakan kata uma kuda, dengan menganalisis menggunakan makna denotatif dan konotatif, ditemukan kesesuaian peribahasa Jepang dengan artinya. Universitas Sumatera Utara 12 Dari hasil analisis tersebut, dapat dikembangkan berupa interpretasi dan pembentukan peribahasa Jepang tersebut. Ketiga penelitian ini hampir sama, menggunakan teori dan metode yang sama, hanya memiliki objek yang berbeda. Namun ada perbedaan yang didapatkan pada hasil penelitian ketiganya. Pada penelitian Purba, ia menyimpulkan bahwa peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata mizu air ada beberapa yang memiliki makna sesungguhnya. Ada yang berkaitan dengan sifat- sifat air yang sesungguhnya dan ada juga yang tidak. Tidak jauh beda dengan penelitian Rusniko yang menyimpulkan bahwa peribahasa Jepang yang terbentuk dari kata hana bunga memiliki makna yang berbeda-beda. Namun pada penelitian Amrizal, makna kata uma kuda pada peribahasa Jepang memiliki kesesuaian makan kata uma dalam kamus dengan makna uma yang terdapat dalam peribahasa tersebut. Meskipun berbeda-beda pada hasilnya, namun ketiga penelitian diatas sama- sama menganalisis peribahasa secara denotatif dan konotatif. Sehingga peneliti dapat mengikuti cara ketiganya dan menerapkannya dalam menganalisis kata shuǐ air pada peribahasa Cina. Hanifa 2013 dalam jurnal Linguistika Akademia yang berjudul Kajian Struktural Nama Binatang Dalam Peribahasa Bahasa Inggris menemukan 2 faktor yang menyebabkan penggunaan nama binatang tertentu di dalam sebuah peribahasa. Faktor-faktor tersebut adalah: Universitas Sumatera Utara 13 1. Penggunaan nama binatang di dalam sebuah peribahasa disebabkan oleh makna konotasi yang terkandung di dalam nama binatang tersebut. Makna konotasi tersebut dapat dipengaruhi oleh 2 hal, yaitu: - Makna konotasi dari nama binatang tertentu dipengaruhi oleh sifat- sifat binatang yang sesuai dengan fenomena yang terjadi pada kehidupan masyarakat dan disampaikan melalui pesan yang terkandung di dalam sebuah peribahasa. - Nama binatang dapat dikonotasikan ke dalam makna tertentu karena dipengaruhi oleh perspektif budaya sekelompok masyarakat tertentu dalam memandang dan memperlakukan seekor binatang. Perspektif budaya merupakan sesuatu yang dinamis sehingga akan berubah seiring dengan berjalannya waktu. Hal inilah yang menyebabkan pergeseran makna konotasi dari nama binatang tertentu. Sebagai contoh adalah makna konotasi nama binatang “anjing” yang mengalami pergeseran makna dari makna konotasi negatif ke makna konotasi positif karena dipengaruhi oleh perspektif budaya masyarakat. Makna k onotasi negatif yang dipresentasikan oleh “anjing” tersebut merupakan bentuk dan simbol dari hal- hal yang “menimbulkan masalah”, bersifat buas dan liar. Sedangkan makna konotasi positif dengan menjadikan simbol dari “seseorang atau manusia”. Perubahan makna konotasi tersebut berhubungan dengan perubahan perspektif budaya masyarakat Inggris dalam menggambarkan anjing pada abad Universitas Sumatera Utara 14 pertengahan. Pada era ini “anjing” digambarkan sebagai makhluk yang mempunyai sifat bersahabat, setia, pemberani, dan cerdas. 2. Penggunaan nama binatang tertentu di dalam sebuah peribahasa dipengaruhi oleh faktor-faktor sejarah yang muncul dalam kehidupan masyarakat tertentu. Faktor-faktor sejarah ini dapat berupa fakta sejarah, agama, maupun kebudayaan. Maka dari penelitian ini penulis juga dapat mempelajari bagaimana menganalisis peribahasa secara denotatif dan konotatif. Rambitan 2014 dalam skripsi yang berjudul Ungkapan dan Peribahasa Bahasa Mongondow menemukan bahwa struktur ungkapan dan peribahasa bahasa Mongondow terdiri atas frase nomina, frase verbal, frase numeral, klausa bebas dan klausa terikat, kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Ungkapan bahasa Mongondow berfungsi untuk menyatakan sifat atau perilaku seseorang yang baik dan tidak baik dan peribahasa berfungsi sebagai nasehat, peringatan, dan sindiran. Nilai budaya yang terkandung dalam ungkapan menggembarkan nilai kebersamaan dan kerjasama, nilai keteladanan, dan nilai kesabaran. Nilai budaya yang terkandung dalam peribahasa ialah nilai kerjasama dalam suatu komunitas, nilai kerja keras dan pantang menyerah, nilai keteladanan, nilai kesabaran dan ketekunan, dan nilai keimanan yang tinggi terhadap Tuhan. Penelitian ini menganalisis nilai budaya yang terkandung dalam ungkapan dan peribahasa bahasa Mongondow. Sehingga dari penelitian ini penulis dapat Universitas Sumatera Utara 15 mempelajari bagaimana cara menganalisis nilai budaya yang terdapat dalam peribahasa. Dari uraian di atas, dapat dilihat bahwa penelitian-penelitian yang telah dilakukan oleh Purba, Rusniko, Amrizal, dan Hanifa hanya menganalisis makna dari suatu kata dalam peribahasa, dan tidak mengaitkannya dengan nilai budaya yang terkandung di dalam peribahasa tersebut. Sementara penelitian yang telah dilakukan oleh Rambitan tidak membahas makna suatu kata dalam peribahasa, melainkan membahas struktur dari peribahasa dan mengaitkannya dengan nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dari penelitian-penelitian yang telah dilakukan ini, maka peneliti ingin menghubungkan seluruh penelitian di atas menjadi satu penelitian yang melengkapi pembahasan keseluruhannya, yaitu menganalisis makna kata shuǐ air pada peribahasa Cina dengan menggunakan makna denotasi dan konotasi, kemudian mencari nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya. Dari penjelasan di atas jelas terlihat perbedaan antara penelitian-penelitian sebelumnya dengan penelitian yang telah dilakukan oleh penulis. Karena penelitian ini membahas hubungan peribahasa yang mengandung kata s huǐ air dengan nilai-nilai budaya pada masyarakat Cina.

2.2 Konsep