5
BAB I PENDAHULUAN
I. 1. Latar Belakang Masalah.
Seiring dengan adanya tuntutan globalisasi, maka negara sedang berkembang dituntut untuk mampu bersaing dengan negara maju. Seperti apa
yang diutarakan Brewer Budiman, 2004 : 108 bahwa sistem dunia yang ada sekarang adalah sistem kapitalisme global, dimana sistem dunia inilah yang
sekarang menjadi kekuatan yang menggerakkan negara-negara di dunia. Oleh karenanya negara-negara yang sedang berkembang harus segera mencari cara agar
tetap bertahan terhadap perkembangan dunia. Jika tidak, gejala ketergantungan kembali akan terjadi pada negara-negara yang tidak sanggup beradaptasi, hingga
berujung pada keterbelakangan. Ketergantungan atau depedensi yang mengikat negara sedang berkembang
kepada negara maju harus segera dilepaskan. Pelepasan ketergantungan itu ditujukan untuk kemandirian negara sedang berkembang dalam menghadapi
persaingan global. Salah satu cara yang dapat ditempuh untuk melepaskan ketergantungan tersebut adalah dengan jalan menerapkan sistem pemberdayaan
masyarakat pada sendi-sendi kehidupan pembangunan negara sedang berkembang. Pemberdayaan itu bertujuan untuk menyiapkan sejak dini
masyarakat yang siap dan memiliki kemampuan untuk survive dalam menghadapi globalisasi sekaligus untuk mewujudkan sense of community pada masyarakat.
Karena melalui pemberdayaan, peran serta masyarakat akan semakin besar
Universitas Sumatera Utara
6 didalam pembangunan hingga nantinya menimbulkan rasa tanggung jawab
bersama dalam mewujudkan pembangunan tersebut. Teori pembangunan yang mengusung pemberdayaan masyarakat untuk
menghentikan ketergantungan negara sedang berkembang terhadap negara maju, salah satunya terlihat jelas melalui teori Bottom Up, atau teori pembangunan yang
mengutamakan kepada peran serta masyarakat dalam menciptakan program- program pembangunan. Teori ini didasarkan atas asumsi bahwa masyarakat lebih
memahami kebutuhan mereka sehingga masyarakat diikutsertakan dalam pembuatan program pembangunan agar program pembangunan tersebut tepat
guna. Selain itu dengan diikutsertakannya masyarakat dalam pembuatan program pembangunan, maka masyarakat merasa lebih dilibatkan dalam program
pemerintah, sehingga timbul rasa tanggung jawab serta kecintaan, kebersamaan dan rasa memiliki masyarakat terhadap lingkungannya. Dalam teori Bottom Up,
pemerintah sebagai pencipta sarana tercapainya aspirasi masyarakat, dan pemerintah juga yang membuat kebijakan program selanjutnya. Jadi pada teori
ini, pemberdayaan masyarakat sudah mulai diwujudkan dalam praktek pembuatan program pembangunan berupa saran dan masukan tentang kebutuhan masyarakat.
Selanjutnya pemberdayaan masyarakat diteruskan dengan teori Top Down yang mendasarkan bahwa kebijakan yang dibuat oleh pihak pemerintah dalam hal
pembangunan harus dilaksanakan oleh masyarakat, sehingga masyarakat disini bertugas selain sebagai pelaksana kebijakan juga sebagai pemberi respon balik
atas kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Teori ini melihat implementasi penerapan kebijakan dari sisi birokrasi. Penerapan kebijakan dari sisi birokrasi ini
dapat dilihat melalui mekanisme kerja sistem politik yang dimulai dari
Universitas Sumatera Utara
7 mengalirnya input berupa tuntutan ataupun dukungan yang diusulkan oleh
kelompok-kelompok kepentingan ataupun parpol berwujud kepentingan khusus yang harus diartikulasikan hingga menjadi usulan yang sifatnya umum kemudian
dimasukkan kedalam proses pembuatan kebijakan yang dilakukan oleh badan legislatif dan eksekutif tahap konversi. Maka dalam tahap ini input berubah
menjadi output dalam bentuk kebijakan-kebijakan dan keputusan-keputusan. Kebijakan itu lalu dilaksanakan oleh birokrasi. Dalam hal ini nantinya terdapat
feedback umpan balik yang dipengaruhi oleh lingkungan hingga menghasilkan tahapan baru yakni input, konversi serta output kembali. Jadi nantinya aspirasi
masyarakat tersebut dapat terealisasi berwujud kebijakan. Apabila kedua teori ini dihubungkan, maka dituntut suatu program
pembangunan yang mendudukkan masyarakat sebagai pelaku utamanya melalui partisipasi aktif. Melalui partisipasi aktif ini masyarakat tidak hanya
berkedudukan sebagai obyek program, tetap ikut serta menentukan program yang cocok bagi mereka. Mereka memutuskan, menjalankan, dan mengevaluasi hasil
dari pelaksanaan program. Nasib dari program apakah akan berlanjut atau berhenti tergantung pada tekad dan komitmen masyarakat sendiri.
Di Indonesia pendekatan pembangunan dengan mengikutsertakan warga atau masyarakat mulai tumbuh pada awal Pelita VI, yang mana hal ini ditandai
dengan munculnya program-program penanggulangan kemiskinan yang menggunakan pola atau skema tindakan serangan langsung yang lebih substansial
terhadap permasalahan Molejarto : 1994. Diantaranya kegiatan-kegiatan seperti Pemetaan Kantong Kemiskinan, Inpres Desa Tertinggal dan lain-lain, hingga yang
sedang berjalan saat ini yakni Program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan
Universitas Sumatera Utara
8 yang dikenal dengan P2KP. Adapun P2KP ini dalam pelaksanaannya
menggunakan pola pendekatan bertumpu kepada partisipasi aktif masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa tanpa adanya partisipasi aktif masyarakat maka
keberhasilan pelaksanaan P2KP tidak mungkin untuk dapat dicapai secara optimal.
Partisipasi dalam hal ini dilakukan secara partisipatif dalam tiap-tiap langkah pelaksanaan P2KP atau lebih dikenal dengan siklus P2KP, yakni dimulai
dari siklustahap Rembuk Kesiapan Masyarakat hingga Pemanfaatan Dana Bantuan Langsung Masyarakat. Adapun salah satu tahap yang paling
mendominasi unsur partisipasi di dalamnya yakni tahap Pembentukan dan Pengembangan Kelompok Swadaya Masyarakat KSM. Dalam pelaksanaan
pengentasan masyarakat dari kemiskinan, P2KP meletakkan sasaran utamanya kepada KSM yang merupakan masyarakat tergolong kalangan ekonomi lemah
untuk ditumbuhkan kemandiriannya. Sehingga bukan masyarakat miskin secara perseorangan yang akan diberdayakan, melainkan sejumlah orang dalam
masyarakat yang tergabung dalam suatu wadah KSM yang dikenai tindakan treatment.
Pada hakekatnya, Kelompok Swadaya Masyarakat KSM didefenisikan sebagai kumpulan orang yang menyatukan diri secara sukarela dalam kelompok
dikarenakan adanya ikatan pemersatu, yaitu adanya kepentingan dan kebutuhan yang sama, sehingga dalam kelompok tersebut memiliki kesamaan tujuan yang
ingin dicapai bersama. Sedangkan KSM dalam rangka P2KP, keberadaan sekumpulan warga tersebut harus memenuhi kriteria sebagai pemanfaat program,
Universitas Sumatera Utara
9 serta bertujuan mengatasi berbagai permasalahan kemiskinan yang menyangkut
sarana dan prasarana dasar pengembangan SDM serta pengembangan ekonomi. KSM sendiri merupakan sebuah wadah yang dibentuk atas dasar semangat
dan keinginan bersama untuk berbuat mewujudkan perubahan kearah yang lebih baik. Kelompok ini dibentuk karena adanya kesadaran mendalam pada diri setiap
orang, bahwa kebersamaan akan membantu mereka mengatasi kemiskinan dan berbagai persoalan yang dihadapinya. Kesadaran akan kebersamaan ini akan
menjadi perisai yang menghiasi setiap perjalanan siklus di P2KP. Pembentukan KSM sendiri yang akan menjadi pemanfaat dana BLM Bantuan Langsung
Masyarakat harus menjadikan kebersamaan sebagai keyword, baik dalam konsep maupun opersional kegiatannya. Perlu disadari bahwa KSM memiliki posisi
strategis dalam pelaksanaan P2KP. Bahkan, keberhasilan KSM akan menjadi tolak ukur keberlangsungan program ini di masyarakat. Dikatakan demikian,
karena di dalam KSM itulah semua nilai-nilai luhur akan diuji. Kepedulian, keadilan, rasa tanggungjawab serta kebersamaan akan sangat berperan ketika
KSM melaksanakan kegiatannya. Ketika nilai-nilai tersebut ternyata tidak muncul dalam aktivitas pemanfaatan dana yang dilakukan KSM, maka dimungkinkan
proses pembelajaran di masyarakat akan terhambat. Jika hal ini terjadi, maka keberlangsungan program akan terancam, bahkan terpaksa berjalan mundur. Guna
menghindari hal tersebut maka pembentukan KSM harus didasarkan pada berbagai pertimbangan.
Secara psikologis, anggota KSM harus menyadari bahwa rasa kebersamaan, kepedulian dan kasih sayang merupakan dasar bagi pertemuan
mereka dalam kelompok yang dibentuknya, dan tanpa itu semua keberadaan
Universitas Sumatera Utara
10 mereka di KSM tidak banyak memberikan makna. Perlu disadari, KSM tidak
sama dengan kelompok swadaya lainnya, termasuk koperasi. Jika di dalam koperasi keanggotaan berkumpul karena keinginan bersama untuk
mensejahterakan ekonomi anggotanya dengan mengorientasikan perolehan keuntungan material, maka di dalam KSM keanggotaan berkumpul karena
keinginan untuk menumbuhkan kebersamaan dan kepedulian demi terwujudnya perubahan dan kesejahteraan.
Berkaitan dengan konsep diatas, P2KP yang mengedepankan pola pendekatan yang bertumpu pada aspirasi masyarakat ini dalam pelaksanaannya
juga dijadikan sebagai pengalaman baru bagi Kelurahan Kota Bangun Kecamatan Medan Deli. Kelurahan Kota Bangun yang terdiri dari delapan lingkungan ini,
menyikapi program tersebut bukan semata-mata agar dapat memperoleh dan memanfaatkan dana Bantuan Langsung Masyarakat BLM P2KP dalam rangka
penanggulangan kemiskinan, namun kembali lagi sembari ditekankan kepada proses pembelajaran kritis masyarakat dalam menentukan sendiri kebutuhan dan
pemecahan masalahnya serta tumbuh kepercayaan diri hingga kebersamaan dan kepedulian bahwa masyarakat mampu melaksanakan penyusunan suatu program.
Secara teknis, Program P2KP Reguler di Kelurahan Kota Bangun dilaksanakan mulai tanggal 1 Januari 2006 hingga 2010 ini. Adapun untuk
penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat BLM pada Kelurahan Kota Bangun dilakukan melalui 3 tahap, yakni BLM Tahap I, II, dan III. Nantinya pada masing-
masing tahap, berdasarkan konsep Tridaya, dibagi lagi menjadi 3 jenis bantuan yakni BLM untuk bantuan sosial, lingkungan, serta ekonomi. Disetiap BLM inilah
terdapat atau terdiri dari beberapa KSM. Pada BLM Tahap I, pembentukan dan
Universitas Sumatera Utara
11 pengembangan KSM dilakukan dari bulan Desember hingga Januari 2007. Lalu,
pada BLM Tahap II pembentukan dan pengembangan KSM dilakukan pada bulan Februari hingga Maret 2007, sedangkan untuk BLM Tahap III pembentukan dan
pengembangn KSM pada bulan Mei` hingga Maret 2008. Terdapat pengakuan dari seorang fasilitator yang dalam hal ini mempunyai
peran sebagai pendamping berjalannya program pra penellitian 4 januari 2010, wawancara dengan Pak Harahap, bahwasanya terdapat kendala dalam
perealisasian program, misalnya pada penyaluran BLM untuk jenis bantuan lingkungan berupa KSM pembuatan jalan setapak dalam penyaluran Tahap III di
Kelurahan Kota Bangun. Sesungguhnya, dana bantuan untuk jenis BLM lingkungan ini digunakan dalam pembelian atau penyediaan material bangunan,
sedangkan untuk pengerjaannya dirumuskan sebagai bagian dari partisipasi atau swadaya masyarakat dalam bentuk gotong royong. Namun permasalahan yang
timbul, yakni nilai partisipasi melalui gotong royong sebagai wujud swadaya masyarakat itu belum dapat terwujud, karena diketahui pada saat pelaksanaan
tahap KSM tersebut yang timbul malah kesepakatan sistem upah untuk pengerjaan bantuan jenis BLM lingkungan ini. Hal demikian disebabkan karena, masyarakat
yang menjalankan pengerjaan bantuan ini sesuai dengan konsep KSM itu sendiri merupakan masyarakat ekonomi lemah, sehingga mereka juga memikirkan
keberlangsungan hidup mereka apabila dalam seharinya hanya gotong royong tanpa menghasilkan uang untuk kebutuhan makan mereka. Disini dapat
dipertanyakan, seperti apa bentuk partisipasi yang dipahami serta dilakukan masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
12 Kendala yang terjadi dalam pelaksanaan siklus P2KP itu sendiri,
menjadikan peneliti tertarik untuk mengetahui bagaimana sebenarnya keberlangsungan dari pelaksanaan partisipasi masyarakat dalam P2KP Kelurahan
Kota Bangun serta hasil akhirnya dan juga bagaimanakah bentuk partisipasi masyarakat didalamnya. Untuk itu peneliti dalam hal ini memfokuskan diri
melihat lebih jauh berjalannya tahap Kelompok Swadaya Masyarakat KSM pada P2KP Kelurahan Kota Bangun, juga sehubungan dengan berlangsungnya
tahap tersebut berkenaan dengan proses penelitian yang dilakukan yakni penyaluran BLM Tahap III.
I. 2. Perumusan Masalah.