Pengaruh Karakteristik Individu dan Sistem Imbalan Terhadap Aktivitas Supervisi pada Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur

(1)

T E S I S

Oleh

SAID HANAFIAH

067012055/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(2)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN SISTEM IMBALAN TERHADAP AKTVITAS SUPERVISI PADA PELAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS ) DI DINAS

KESEHATAN KABUPATEN ACEH TIMUR

T E S I S

Untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan pada Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

Oleh

SAID HANAFIAH

067012055/AKK

SEKOLAH PASCASARJANA

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2008


(3)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Prof.Dr. Ritha. F. Dalimunthe, SE. Msi Anggota : 1. dr. Heldy BZ, MPH

2. Dr. Endang Sulistya Rini, SE. Msi


(4)

PENGARUH KARAKTERISTIK INDIVIDU DAN SISTEM IMBALAN TERHADAP AKTVITAS SUPERVISI PADA PELAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT ( MTBS ) DI DINAS KESEHATAN KABUPATEN

ACEH TIMUR 2008

Said Hanafiah, 1 Ritha F. Dalimunthe, 2 Heldy. BZ 3

1

Dinas Kesehatan Kota Langsa Jl. Btn Sriget Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam 2,3

Staf Pengajar Sekolah Pascasarjana USU, Jl. Sivitas Akademika Kampus USU P. Bulan Medan

Abstract

Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) is an integrated approach in the administration of sick under five years old children who come to the out-patient basic service facility including curative attempts to treat pneumonia, diarrhea, measles, malaria, malnutrition and preventive and promoting attempts including immunization, vitamin A administration and food giving counseling which is intended to minimize infant and under five years old children mortality rates as well as decreasing morbidity resulted from the diseases. The application of IMCI can be successful if the Health Service provides managerial support in the forms of education/training, incentives, supervision and adequate facilities.

This analytical survey study with explanatory research type is intended to describe the causal relationship between the variables by means of hypothesis testing to show the influence of individual characteristics and reward system on the activity of supervision during the implementation of IMCI in the work area of Health Service of Aceh Timur District.

Primary data including independent variables (characteristics of respondents and reward system) and dependent variable (activity of supervision) were directly obtained from the respondents (samples) through interviews based on the well-arranged questionnaires. Secondary data including the reported mother and child health, number of villages, reported number of midwives serving in the villages and the other data which are regarded being relevant to the purpose of study were obtained from the documents available in the office of Aceh Timur Health Service, all Community Health Centers, supporting Community Health Centers and rural polyclinics in the work area of Aceh Timur Health Service.

The result of this study reveals that incentives (p = 0.006), training (p = 0.007), and knowledge (p = 0.007) have a significant influence on the IMCI activity of supervision. Aceh Timur Health Service is expected to pay more attention to health development in Aceh Timur by providing adequate budget especially for IMCI facilities and infrastructures, and training and incentives for supervisors in order that the improvement of community health level can be materialized as programmed by the Indonesian Department of Health.

The practice of IMCI supervision is routinely applied in 6 community health centers such as in Bayeun, Perlak Kota, Ranto Perlak, Idi Rayeuk, Julok and Simpang Ulim, while in the other 16 community health centers, this practice of IMCI supervision does not work as expected.


(5)

Pendekatan program perawatan balita sakit di negara-negara berkembang termasuk Indonesia, yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Program intervensi dilaksanakan secara vertikal, pada program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), program pemberantasan penyakit diare, program pemberantasan penyakit malaria, dan penanggulangan kurang gizi. Penanganan yang terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau hampir sama. World Health Organization (WHO) dan United Nation Children’s Fund

(UNICEF), 2005, menyatakan bahwa

setiap tahun lebih dua belas juta anak di bawah umur lima tahun meninggal. Tujuh puluh persen kematian di negara berkembang disebabkan oleh ISPA, pneumonia, diare, malaria, campak dan kurang gizi, sering merupakan kombinasi dari keadaan ini. Rendahnya mutu pelayanan kesehatan di Indonesia sangat dipahami oleh WHO. Badan kesehatan dunia telah hampir satu dekade sebelumnya mencoba melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan tingkat dasar terutama untuk balita. Alasan pengutamaan pengelolaan balita adalah pada umur ini angka kesakitan dan kematiannya sangat tinggi sementara penyebabnya terutama oleh lima jenis penyakit utama yang sebenarnya sangat mungkin disembuhkan dengan pengelolaan yang baik (Laksono 2001).

Untuk mengatasi kelemahan program atau metode intervensi tersebut, (WHO dan UNICEF pada tahun 1996 mengembangkan suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan intervensi yang terpisah tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut Integrated

Management of Childhood Illness

(IMCI). IMCI yang dikembangkan oleh

WHO di negara-negara Afrika dan India telah berhasil memberikan keterampilan terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan dasar. Keterampilan tersebut antara lain cara melakukan klasifikasi penyakit, menilai status gizi, melakukan pengobatan secara benar, melakukan proses rujukan dengan cepat dan benar dan juga dapat menjadikan pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan (WHO, 2001)

IMCI pada tahun 1997 mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu berupa suatu program yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. MTBS masih menjadi sesuatu yang baru bagi tenaga-tenaga kesehatan terutama yang berada di pelayanan kesehatan dasar di Indonesia. Oleh karena itu akan terus dikembangkan sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit di pelayanan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme. Program ini dapat mengklasifikasi


(6)

penyakit-penyakit yang diderita secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit, melakukan rujukan secara cepat bila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu, bagi ibu balita juga diberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada balita di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan,dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut MTBS merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif (WHO, 2003)

Keberhasilan pelaksanaan MTBS tersebut sangat didukung oleh berbagai faktor. Salah satunya faktor sumber daya manusia, dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya menyangkut MTBS. Pelaksanaan MTBS ini terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan MTBS di Puskesmas, namun cakupan pelayanan MTBS cenderung bervariasi disetiap daerah. Dalam hal ini Depkes RI (2004) mengupayakan strategi pelayanan MTBS secara komprehensif. Dalam upaya tersebut mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan manajemen pelayanan dan evaluasi cakupan MTBS termasuk supervisi yang dilakukan oleh Puskesmas maupun Dinas Kesehatan (Depkes RI, 2005).

Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) permasalahan kesehatan anak masih merupakan masalah utama, baik kesakitan maupun kematiannya. Program MTBS tersebut memang sudah lama ada sejak mulai dicanangkan, namun pada prakteknya keberlangsungan MTBS tersebut masih diragukan. Keadaan ini tercermin dari masih tingginya angka kematian bayi dan balita di Kabupaten Aceh Timur.

Kabupaten Aceh Timur tercatat AKB sebesar 38 per 1000 kelahiran hidup dan untuk AKBAL yaitu 51 per 1000 kelahiran hidup, masih tinggi bila dibandingkan dengan angka rata-rata seluruh Indonesia yaitu 32 per 1000 kelahiran hidup untuk AKB dan 46 per 1000 kelahiran hidup untuk AKBAL (Departemen Kesehatan RI, 2005), angka-angka ini juga dikaitkan dengan pola penyakit utama yang menyerang bayi dan balita di Kabupaten Aceh Timur. Pola penyakit pada balita tahun 2007, ISPA masih menduduki rangking pertama, diikuti diare dan malaria ( Dinkes Aceh Timur, 2007).

Kabupaten Aceh Timur memiliki 4 Puskesmas rawat inap, dan 18 Puskesmas rawat jalan, juga dapat diketahui jumlah puskesmas pembantu sebanyak 74 unit, polindes 112 unit dan puskesmas keliling 22 unit. Kabupaten Aceh Timur memiliki Rumah Sakit Umum sebagai pusat rujukan hanya berjarak dari masing-masing Puskesmas lebih kurang 25 Km sampai 32 Km dari Ibu Kota Kabupaten, dengan sarana jalan yang baik. Sarana jalan yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten dengan Kecamatan jalan sudah beraspal. Sarana komunikasi yang menghubungkan Puskesmas dengan Dinas Kesehatan adalah radio Orari dan telepon.


(7)

jiwa. Berdasarkan ketersediaan Sumber Daya

Hasil penelitian Lestari (1998) bahwa baik perawat yang sudah dilatih maupun belum dilatih kembali menggunakan metode Konvensional pada hampir setiap pemeriksaan anak sakit. Anggraini (2004) melaporkan bahwa dalam pelaksanaan MTBS di Samarinda 70,0% petugas tidak memberi nasihat tentang perawatan anak sakit, 94,4 % Ibu balita tidak menerima Kartu Nasihat Ibu (KNI), 62,1% balita tidak menerima anjuran untuk kontrol, dan 73,2% Ibu tidak menerima penjelasan kapan harus kontrol ke Puskesmas.

Salah satu faktor penting terhadap keberhasilan program MTBS adalah pemberian insentif atau imbalan langsung kepada petugas MTBS puskesmas, namun secara kebijakan hal tersebut tidak dapat diberikan karena menganggap MTBS bukan merupakan program atau kegiatan pokok puskesmas, namun hanya bagian terkecil dari program kesehatan ibu dan anak, sehingga petugas kesehatannya justru mempunyai tugas rangkap (Anggraini,2004).

Pemberian imbalan atau kompensasi merupakan masalah yang sangat penting, mengingat setiap pekerja dalam organisasi mempunyai pengharapan atas sesuatu dari organisasi, sebagai penghargaan atas jerih payahnya selama bekerja. Imbalan selain berbentuk uang dapat juga berupa fasilitas dan bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Masalah pengelolaan imbalan sangat penting bukan hanya merupakan dorongan utama

seseorang untuk menjadi karyawan/tenaga, tetapi juga karena

Organisasi memiliki beberapa tujuan dalam merancang sistem imbalan mereka. Dalam manajemen SDM harus memikirkan tujuan-tujuan sistem dan apa kebutuhan-kebutuhan organisasi yang akan dicapai untuk memperoleh tujuan tersebut. Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organsiasi memperoleh, memelihara dan mempekerjakan sejumlah orang dengan sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi (Siagian, 2006).

Metodelogi Penelitian

Jenis Penelitian ini merupakan penelitian survai bersifat analitik dengan tipe explanatory research yang bertujuan menjelaskan, tentang pengaruh karakteristik Individu, dan sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Kabupaten Aceh Timur. Penelitian ini diliakukan selama 9 (sembilan) bulan terhitung bulan Oktober 2007 s/d Juni 2008.

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh supervisor MTBS yang berjumlah 69 orang yang terdiri dari 66 orang petugas Puskesmas dan 3 orang petugas Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dan sekaligus menjadi sampel pnelitian.

Metode pengumpulan data adalah data yang diperoleh dari responden langsung melalui wawancara yang berpedoman pada kuesioner yang telah disusun yang mencakup data karakteristik responden, dan sistem imbalan dan


(8)

variabel dependen yaitu aktivitas supervisi pada pelaksanaan MTBS.

Hasil dan Pembahasan

Karakteristik Individu MTBS dan Sistem Imbalan pada Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit di Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur Tahun 2008

Karakteristik supervisor 1. Pelatihan

Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan Pelatihan MTBS kepada supervisor MTBS

No Pelatihan Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2 Tidak ada Ada 37 32 53,6 46,4

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah yang tidak pernah mengikuti pelatihan yaitu 37 orang ( 53,6%).

2.Masa Kerja

Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan Masa Kerja supervisor MTBS di Kabupaten Aceh Timr Tahun 2008

No Masa Kerja Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2

< 2 Tahun 2-3 Tahun

29 40

42,0 58,0

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah masa 2 – 3 tahun yaitu 40 orang ( 58,0%). 3. Pengetahuan

Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan Pengetahuan supervisor MTBS di Kabupaten Aceh Timur Tahun 2008

No Pengetahua n Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2

< 2 Tahun 2-3 Tahun

29 40

42,0 58,0

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah berpengetahuan sedang yaitu 27 orang (39,1%).


(9)

supervisor MTBS di Kabupaten Aceh Timr Tahun 2008

No Tujangan Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2 Tinggi Rendah 32 37 46,4 53,6

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah pada tingkat pemberian tunjangan rendah yaitu 37 orang ( 53,6%).

2.Insentif

Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan Insentif supervisor MTBS di Kabupaten Aceh Timr Tahun 2008

No Insentif Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2 Tinggi Rendah 30 39 43,5 56,5

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah pada tingkat pemberian insntif rendah yaitu 39 orang ( 56,5%).

Aceh Timr Tahun 2008 No Bonus Frekuensi

(N) Persentase (%) 1 2 Tinggi Rendah 36 33 52,2 47,8

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah pada tingkat pemberian bonus tinggi yaitu 36 orang ( 52,2 %).

Variabel Dependen Aktivitas Supervisi

Tabel Distribusi Frekuensi berdasarkan Tunjangan supervisor MTBS di Kabupaten Aceh Timr Tahun 2008

No Tujangan Frekuensi (N) Persentase (%) 1 2 Tinggi Rendah 29 40 42,0 58,0

Jumlah 69 100 %

Pada Tabel diatas menunjukan bahwa pada aktivitas supervisi sebahagian besar responden yang menjadi tenaga supervisor pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit adalah pada tingkat aktivitas rendah yaitu 40 orang ( 58,0%).


(10)

Analisis Multivariat

Analisis multivariat bertujuan untuk mengetahui pengaruh secara bersamaan antara variabel independen terhadap variabel dependen yang dilakukan dengan uji regresi linier Logistik, karakteristik individu dan sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan MTBS dengan α=0,05. Uji pengaruh varibel bebas terhadap variabel terikat dalam penelitian ini dilakukan sebanyak dua kali yaitu uji pengaruh karakteristik supervisor (pelatihan,masa kerja dan pengetahuan) terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan MTBS dan uji pengaruh sistem imbalan (tunjangan,insentif dan bonus) terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan MTBS.

Tabel. Hasil Uji Regresi Logistik Karakteristik Supervisor terhadap Aktivitas Supervisi Manajemen Terpadu Balita Sakit Tahun 2008 Variabel P Exp ( ) Pelatihan Masa Kerja Pengetahuan Constant 0,007 0,263 0,007 0,014 5,079 2,009 3,065 0,007

1. Uji pengaruh karakteristik supervisor terhadap aktivitas supervisi MTBS

Hasil uji regresi logistik menunjukan variabel pelatihan dan pengetahuan berpengaruh terhadap aktivitas supervisi (p<0,05) sedangkan variabel masa kerja tidak berpengaruh terhadap aktivitas supervisi (p>0,05) secara statistik hasil uji tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : a. Variabel pelatihan mempunyai

pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit (p<0,05) dan nilai Exp ( ) sebesar 5,079

b. Variabel pengetahuan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit (p<0,05) dan nilai Exp ( ) sebesar 3,065.

Secara keseluruhan karakteristik individu yang paling besar pengaruhnya terhadap aktivitas supervisi pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit adalah variabel pelatihan dengan niali Exp ( ) sebesar 5,079.

Tabel Hasil Uji Regresi Logistik Sistem Imbalan terhadap Aktivitas Supervisi Manajemen Terpadu Balita Sakit Tahun 2008

Variabel P Exp ( ) Tunjangan Insentif Bonus Constant 0,456 0,006 0,161 0,013 0,650 5,216 2,315 3,033 .

1.Uji pengaruh sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi MTBS

Hasil uji regresi logistik sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi menunjukan variabel insentif berpengaruh terhadap aktivitas supervisi (p<0,05) sedangkan variabel tunjangan dan bonus tidak berpengaruh terhadap aktivitas supervisi (p>0,05) secara statistik hasil uji tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut : Variabel insentif mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit (p<0,05) dan nilai

Exp ( ) sebesar 5,216.


(11)

1. Pelatihan

Dari hasil penelitian tentang pelatihan supervisor menunjukan bahwa mayoritas supervisor belum pernah mengikuti pelatihan 53,6 % supervisor yang melaksanakan supervisinya hanya 13,0 % sedangkan yang sudah pernah mengikuti pelatihan 46,4 % supervisor yang melaksankan aktivitas supervisinya yaitu 29,0 %. Hal ini menunjukan bahwa variabel pelatihan mempunyai pengaruh yang bermakna terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan MTBS (p<0,05) dengan nilai Exp ( ) sebesar 5,079.

Hasil penelitian sejalan dengan pendapat Hamalik (2005) yang mengatakan bahwa dengan berlatih akan terjadi perubahan prilaku atau dengan kata lain belajar dapat menuntun seseorang untuk melakukan sesuatu yang sebelumnya tidak pernah dilakukannya atau tingkah lakunya berubah, sehingga berubah pula caranya dalam menghadapi suatu situasi/masalah.

2. Masa kerja

Hasil penelitian bahwa mayoritas supervisor memiliki masa kerja sebagai tenaga supervisor 2-3 tahun yaitu 58,0%

petugas supervisor yang melaksanakan aktivitas supervisinya hanya 29,0 % sedangkan yang masa kerja sebagai supervisor dibawah 2 tahun yaitu 42,0%,supervisor yang melaksanakan supervisi hanya 13,0 %. Semakin lama masa kerja seorang menjadi tenaga supervisor dalam menjalankan aktivitas supervisi MTBS,semakin mengetahui tentang cara-cara melaksanakan supervisi.

berdasarkan observasi peneliti masa kerja seorang supervisor di Dinas Kesehatan Aceh Timur tidak tetap karena sering petugas supervisor yang sudah mendapat perlatihan baru bekerja selama tiga bulan dimutasi ketempat lain kemudian diganti dengan tenaga supervisor baru yang belum pernah mendapat pelatihan.

3. Pengetahuan

Hasil penelitian menyangkut tentang pengetahuan, supervisor menunjukan bahwa yang berpengetahuan sedang yaitu 39,1 % dan tingkat aktvitas supervisinya hanya yaitu 10,1 % sedangkan yang memiliki tingkat pengetahuannya tinggi yaitu37,7 % pelaksanaan aktivitas supervisinya 26,1 % .Dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi pengetahuan supervisor maka aktivitas supervisi juga sering dilakukan. Hal ini menunjukan bahwa pengetahuan merupakan variabel yang mempengaruhi aktivitas supervisi MTBS.Secara uji statistik menunjukan bahwa pengetahuan ada pengaruh yang bermakna terhadap aktivitas supervisi MTBS (p<0,05) dan nilai Exp ( ) sebesar 3,065. Semakin tinggi pengetahuan supervisor tentang MTBS, maka semakin tinggi pula aktivitas supervisi yang dilaksanakan oleh supervisor. Berdasarkan observasi peneliti terhadap supervisor MTBS di Dinas Kesehatan Aceh Timur setiap petugas supervisor hanya mendapat satu kali pelatihan tentang MTBS selama menjadi tenaga supervisor, yang dilaksanakan oleh Unicef. Sedangkan menurut IMCI 1999 setiap tenaga supervisor harus mendapat pelatihan tentang MTBS minimal tiga


(12)

kali selama menjadi supervisor.Dengan adanya pelatihan tentang MTBS kepada petugas supervisor maka akan bertambah pengetahuan supervisor tentang MTBS. Pengaruh Sistem Imbalan terhadap Aktivitas Supervisi MTBS

Sistem imbalan dimaksud sebagai pemberian salah satu bentuk penghargaan kepada pekerja atas ”sumbangannya” kepada organisasi yang terutama tercermin dari prestasi kerjanya. Pentingnya penilaian pekerjaan yang rasional dan objektif dan perlu penekanan khusus.Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan antara lain adalah besar kecilnya tanggung jawab pelaksanaannya, pengetahuan atau keterampilan yang dituntut berat ringan upaya yang harus dikerahkan dan kondisi pekerjaan yang harus dipenuhi. (Siagian, 2006).

1. Tunjangan

Dari hasil penelitian menunjukan bahwa masalah pemberian tunjangan kepada petugas supervisor mayoritas pada tingkat tunjangan rendah 53,6% dan pelaksanaan supervisinya hanya 24,6%,

sedangkan pada pemberian tunjangan tinggi yaitu 46,4% petugas yang melaksanakan supervisi yaitu 17,4%.Dari hasil uji statistik menunjukan bahwa variabel tunjangan bukan merupakan variabel yang mempengaruhi aktivitas supervisi MTBS (P>0,05), berdasarkan obsevasi peneliti, Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur tidak pernah memberi tunjangan kepada petugas supervisor, hanya ada beberapa Puskesmas yang mengambil kebijakan untuk memberi tunjangan kepada petugas supervisor dengan dana jasa medis askeskin karena dipoli MTBS juga melayani balita masyarakat miskin.

2. Insentif

Dari hasil penelitian tentang pemberian insentif kepada supervisor menunjukan bahwa mayoritas pada katagori rendah atau supervisor yang tidak pernah mendapatkan insentif yaitu 56,5 % supervisor yang melaksanakan supervisi hanya 13,0 %, sedangkan yang insentif pada katagori tinggi atau yang pernah mendapatkan insentif yaitu 43,5% dimana pelaksanaan supervisinya yaitu 29,0 %,dapat disimpulkan bahwa semakin tinggi insentif diberikan maka akan semakin sering supervisor melakukan supervisi MTBS. Hal ini menunjukan bahwa insentif merupakan variabel yang mempengaruhi aktivitas supervisi MTBS.Secara uji statistik menunjukan bahwa insentif ada pengaruh yang bermakna terhadap aktivitas supervisi MTBS (p<0,05) dan nilai Exp ( ) sebesar 3,065.

3. Bonus

Dari hasil penelitian tentang pemberian bonus kepada supervisor menunjukan bahwa pada katagori rendah atau supervisor yang tidak pernah mendapatkan bonus yaitu 47,8 % supervisor yang melaksanakan supervisi hanya 11,6 % sedangkan yang bonus termasuk katagori tinggi atau yang pernah mendapatkan bonus yaitu 52,2% dimana pelaksanaan supervisinya yaitu 30,4 %.dapat disimpulkan bahwa dengan adanya pemberian bonus maka akan termotivasi petugas untuk melaksanakan supervisi MTBS. Namun secara statistik menunjukan varibel bonus bukan merupakan variabel yang mempengaruhi aktivitas supervisi MTBS (P>0,05). Salah satu yang memotivasi sumberdaya manusia untuk berkinerja baik adalah adanya manajemen imbalan yang memadai dan termotivasi daya


(13)

motivasi pegawai maupun tim melakukan hal-hal selalu meningkat lebih baik dan selalu memperbaiki lebih baik lagi.Hal ini karena apabila hasil dari kinerja itu baik,otomatis penghargaan dalam bentuk imbalan akan mengikuti frestasi yang ada.(Sunarto,2005).

Kesimpulan

Ada pengaruh positif dan signifikan karakteristik individu dan sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi manajeman terpadu balita sakit (MTBS) di Dinas kesehatan Kabupaten Aceh Timur,berdasarkan uji statistik maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut :

1. Variabel karakteristik yaitu : yang belum pernah mengikuti pelatihan 53,6% ,masa kerja supervisor 2-3 tahun 58,0% dan tingkat pengetahuan supervisor pada katagori sedang yaitu 39,1%.Secara statistik hanya dua variabel yang berpengaruh dengan aktivitas supervisi yaitu variabel pelatihan (p=0,007) dan variabel pengetahuan (p=0,007).

2. Variabel sistem imbalan yaitu : mayoritas tingkat pemberian tunjangan pada katagori rendah 53,6%, pemberian insentif pada katagori rendah 56,5% dan pemberian bonus pada katagori tinggi 52,2%. Secara statistik hanya satu variabel yang berpengaruh terhadap aktivitas supervisi MTBS yaitu variabel insentif (p=0,006).

3 Hasil uji multivariat menunjukan variabel karakteristik supervisor berpengaruh terhadap aktivitas supervisi MTBS dengan nilai Exp ( )

sistem imbalan berpengaruh terhadap aktivitas supervisi MTBS dengan nilai Exp ( ) insentif sebesar = 5,216,sedangkan variabel tunjangan dan bonus tidak mempunyai pengaruh secara bermakna terhadap aktivitas supervisi.

Daftar Pustaka

1.Anggraini, 2004. Hubungan dukungan fasilitas kesehatan, ketrampilan petugas dan respon ibu balita sakit pada puskesmas yang menerapkan MTBS di Samarinda. Tesis Ilmu Kesehatan Masyrakat Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyagkarta.

2.________,1999. Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi,Kebijaksanaan, dan Strategi Pembangunan Kesehatan,

DepartemenKesehatan Republik Indonesia, Jakarta

3.________,2005. Modul 1 Pengantar Manajemen Terpadu Balita Sakit, Jakarta

4.________,2005. Modul 2 Manajemen Terpadu Balita Sakit : Penilaian dan Klasifikasi Anak Sakit Umur 2 Bulan sampai 5 Tahun, Jakarta

5.________,2005. Modul 3 Manajemen Terpadu Balita Sakit:


(14)

Menentukan Tindakan dan Memberi Pengobatan, Jakarta 6.________,2005. Modul 4 Manajemen

Terpadu Balita Sakit: Konseling Bagi Ibu, Jakarta

7.________,2005. Modul 5 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Tindak Lanjut, Jakarta

8.________,2005. Modul 6 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Manajemen Terpadu Bayi Muda Umur 1 hari sampai 2 Bulan, Jakarta

9.________,2005. Modul 7 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Pedoman Penerapan MTBS di Puskesmas, Jakarta

10.Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Timur , NAD

11.Lestari,1998, Implementasi Manajemen Terpadu Balita

Sakit oleh tenaga perawat Puskesmas. Tesis kedokteran program Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta

12.Laksono, 2001. Digalakkan Manajemen Terpadu Balita Sakit.

Http://www.suaramerdeka.com, Akses tanggal 10 Desember 2007

13.Natoatmodjo, S, 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta

14.Robins. S.P. (1996). Perilaku

Organisasi, Konsep, Kontroversi,Aplikasi, Jilid I,

Edisi Bahasa Indonesia, Alih

Bahasa Hadyana Pujaatmaka,Prenhalindo,

Jakarta..

16.Sunarto, SE, 2005. Manajemen Imbalan, AMUS Yogyakarta. 17.Siagian, Sondang, 2006, Manajemen

Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta

18.UNICEF, 2005. Integrated Management of the Childhood


(15)

Halaman

ABSTRAK ... v

ABSTRACT... vi

KATA PENGANTAR ... vii

RIWAYAT HIDUP... x

DAFTAR ISI... xi

DAFTAR TABEL ... xiv

DAFTAR GAMBAR ... xvi

DAFTAR LAMPIRAN ... xvii

BAB 1 PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Permasalahan ... 9

1.3 Tujuan Penelitian... 9

1.4 Hipotesis Penelitian ... 9

1.5 Manfaat Penelitian... 9

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA... 11

2.1 Pengertian Manajemen ... 11

2.2 Manajemen Terpadu Balita Sakit ... 17

2.2.1.Pengertian Manajemen Terpadu Balita Sakit... 17

2.2.2.Indikator MTBS ... 18

2.2.3.Strategi Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit MTBS) ... 20

2.2.4.Manfaat Strategi MTBS ... 21

2.3. Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) ... 22

2.4. Pengertian Supervisi dan Aktivitas Supervisi ... 27

2.4.1.Pengertian Supervisi... 27

2.4.2.Aktivitas Supervisor... 28

2.4.3.Sistem Kerja Supervisor... 29

2.4.4.Prinsip Dasar Supervisi yang Efektif ... 31

2.5. Sistem Imbalan ... 32

2.5.1.Konsep Sistem Imbalan ... 32

2.5.2 Menilai Sistem Imbalan ... 33

2.6. Karakteristik Individu ... 34

2.7. Landasan Teori... 35


(16)

BAB 3 METODE PENELITIAN ... 42

3.1. Jenis Penelitian ... 42

3.2. Lokasi dan Waktu Penelitian ... 42

3.2.1.Lokasi Penelitian... 42

3.2.2.Waktu Penelitian ... 42

3.3. Populasi dan Sampel ... 43

3.4. Metode Pengumpulan Data ... 43

3.4.1.Uji Validitas dan Reliabilitas ... 43

3.5. Variabel dan Definisi Operasional ... 44

3.5.1.Variabel ... 44

3.5.2.Definisi Operasional... 45

3.6. Metode Pengukuran ... 50

3.7. Metode Analisa Data ... 51

3.7.1. Analisis Univariat ... 51

3.7.2. Analisis Multivariat... 51

BAB 4 HASIL PENELITIAN ... 53

4.1. Gambaran Umum Tempat Penelitian... 53

4.1.1.Keadaan Penduduk... 54

4.1.2.Keadaan Ekonomi ... 55

4.1.3.Keadaan Pendidikan... 57

4.1.4.Keadaan Lingkungan Fisik dan Biologis ... 57

4.1.5.Morbiditas ... 58

4.1.6.Status Gizi ... 59

4.1.7.Tenaga Kesehatan ... 61

4.1.8.Pembiayaan Kesehatan... 63

4.1.9.Sarana Kesehatan ... 64

4.2. Hasil Penelitian ... 66

4.2.1.Analisis Univariat ... 66

4.2.2.Analisis Multivariat (Regresi Logistik) ... 70

BAB 5 PEMBAHASAN ... 73

5.1. Pengaruh Karakteristik Supervisor terhadap Aktivitas Supervisi MTBS... 73

5.1.1.Pelatihan... 73

5.1.2.Masa Kerja ... 73

5.1.3.Pengetahuan ... 74

5.2. Pengaruh Sistem Imbalan Terhadap Supervisi MTBS... 75

5.2.1.Tujangan... 75

5.2.2.Insentif ... 75

5.2.3.Bonus ... 76


(17)

(18)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pendekatan program perawatan balita sakit di negara-negara berkembang termasuk Indonesia yang dipakai selama ini adalah program intervensi secara terpisah untuk masing-masing penyakit. Program intervensi dilaksanakan secara vertikal, pada program pemberantasan penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA), program pemberantasan penyakit diare, program pemberantasan penyakit malaria dan penanggulangan kurang gizi. Penanganan yang terpisah seperti ini akan menimbulkan masalah kehilangan peluang dan putus pengobatan pada pasien yang menderita penyakit lain selain penyakit yang dikeluhkan dengan gejala yang sama atau hampir sama.

World Health Organization (WHO) dan United Nation Children’s Fund (UNICEF, 2005), menyatakan bahwa setiap tahun lebih dua belas juta anak di bawah umur lima tahun meninggal. Tujuh puluh persen kematian di negara berkembang disebabkan oleh ISPA (pneumonia), diare, malaria, campak dan kurang gizi. Rendahnya mutu pelayanan kesehatan di Indonesia sangat dipahami oleh WHO. Badan kesehatan dunia telah hampir satu dekade sebelumnya mencoba melakukan upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan tingkat dasar terutama untuk balita. Alasan mengutamakan pengelolaan balita karena pada umur ini angka kesakitan dan kematiannya sangat tinggi sementara penyebabnya terutama oleh lima jenis penyakit


(19)

tersebut diatas yang sebenarnya sangat mungkin disembuhkan dengan pengelolaan yang baik (Laksono 2001).

WHO dan UNICEF pada tahun (1996) untuk mengatasi kelemahan program atau metode intervensi tersebut mengembangkan suatu paket yang memadukan pelayanan terhadap balita sakit dengan cara memadukan intervensi yang terpisah tersebut menjadi satu paket tunggal yang disebut Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). IMCI yang dikembangkan oleh WHO di negara-negara Afrika dan India telah berhasil memberikan keterampilan terhadap tenaga kesehatan yang bertugas di pelayanan kesehatan dasar. Keterampilan tersebut antara lain cara melakukan klasifikasi penyakit, menilai status gizi, melakukan pengobatan secara benar, melakukan proses rujukan dengan cepat dan benar dan juga dapat menjadikan pengurangan biaya pada pelayanan kesehatan (WHO, 2001)

IMCI pada tahun 1997 mulai dikembangkan di Indonesia dengan nama Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yaitu berupa suatu program yang bersifat menyeluruh dalam menangani balita sakit yang datang ke pelayanan kesehatan dasar. MTBS masih menjadi sesuatu yang baru bagi tenaga-tenaga kesehatan terutama yang berada di pelayanan kesehatan dasar di Indonesia. Oleh karena itu akan terus dikembangkan sehingga dapat menjadi standar dalam menangani balita sakit di pelayanan dasar dalam rangka menurunkan angka kematian bayi dan balita.

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam menangani balita sakit menggunakan suatu algoritme. Program ini dapat mengklasifikasi penyakit-penyakit yang diderita secara tepat, mendeteksi semua penyakit yang diderita oleh balita sakit,


(20)

3

melakukan rujukan secara cepat bila diperlukan, melakukan penilaian status gizi dan memberikan imunisasi kepada balita yang membutuhkan. Selain itu bagi ibu balita juga diberikan konseling mengenai tata cara memberikan obat kepada balita di rumah, pemberian nasihat mengenai makanan yang seharusnya diberikan dan memberi tahu kapan harus kembali ataupun segera kembali untuk mendapat pelayanan tindak lanjut MTBS merupakan paket komprehensif yang meliputi aspek preventif, promotif, kuratif maupun rehabilitatif (WHO, 2003)

Keberhasilan pelaksanaan MTBS tersebut sangat didukung oleh berbagai faktor, salah satunya faktor sumber daya manusia dalam hal ini petugas puskesmas yang bertanggung jawab terhadap pelayanan kesehatan ibu dan anak khususnya menyangkut MTBS. Pelaksanaan MTBS ini terintegrasi dengan program-program kesehatan dasar lainnya, untuk itu perlu dilakukan manajemen sumber daya manusia yang baik.

Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas dan cakupan pelayanan MTBS di Puskesmas, namun cakupan pelayanan MTBS cenderung bervariasi disetiap daerah. Dalam hal ini Depkes RI (2004) mengupayakan strategi pelayanan MTBS secara komprehensif. Dalam upaya tersebut mengarah pada peningkatan kualitas sumber daya manusia, peningkatan manajemen pelayanan dan evaluasi cakupan MTBS termasuk supervisi yang dilakukan oleh Puskesmas maupun Dinas Kesehatan (Depkes RI, 2005).

Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darusalam (NAD) permasalahan kesehatan anak masih merupakan masalah utama, baik kesakitan


(21)

maupun kematiannya. Program MTBS tersebut memang sudah lama ada sejak mulai dicanangkan, namun pada prakteknya keberlangsungan MTBS tersebut masih diragukan. Keadaan ini tercermin dari masih tingginya angka kematian bayi dan balita di Kabupaten Aceh Timur. Adapun data angka kematian bayi dan balita dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Angka Kematian Bayi dan Balita di Kabupaten Aceh Timur tahun 2007

No Keterangan Jumlah

01 Angka Kematian Bayi (AKB) 38 per 1000 kelahiran hidup 02 Angka Kematian Balita (AKBAL) 51 per 1000 kelahiran hidup Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa di Kabupaten Aceh Timur tercatat AKB sebesar 38 per 1000 kelahiran hidup dan untuk AKBAL yaitu 51 per 1000 kelahiran hidup, masih tinggi bila dibandingkan dengan angka rata-rata seluruh Indonesia yaitu 32 per 1000 kelahiran hidup untuk AKB dan 46 per 1000 kelahiran hidup untuk AKBAL (Departemen Kesehatan RI, 2005), angka-angka ini juga dikaitkan dengan pola penyakit utama yang menyerang bayi dan balita di Kabupaten Aceh Timur. Pola penyakit pada balita tahun 2007, ISPA masih menduduki rangking pertama, diikuti diare dan malaria ( Dinkes Aceh Timur, 2007).


(22)

5

Tabel 2. Distribusi Fasilitas Kesehatan di Kabupaten Aceh Timur tahun 2007

No Jenis Fasilitas Kesehatan Jumlah

01. Puskemas Rawat Inap 4 unit

02. Puskesmas Rawat Jalan 18 unit

03. Puskesmas Pembantu 74 unit

04. Polindes 112 unit

05. RSUD 1 unit

06. Puskesmas Keliling roda 4 41 unit

Sumber :Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007

Berdasarkan Tabel 2 dapat dilihat dari aspek sarana di Kabupaten Aceh Timur memiliki 4 Puskesmas rawat inap, dan 18 Puskesmas rawat jalan, juga dapat diketahui jumlah puskesmas pembantu sebanyak 74 unit, polindes 112 unit dan puskesmas keliling 41 unit. Kabupaten Aceh Timur memiliki Rumah Sakit Umum sebagai pusat rujukan hanya berjarak dari masing-masing Puskesmas lebih kurang 25 Km sampai 32 Km dari Ibu Kota Kabupaten, dengan sarana jalan yang baik. Sarana jalan yang menghubungkan Ibu Kota Kabupaten dengan Kecamatan sudah dapat ditempuh kenderaan roda empat dengan jalan beraspal. Sarana komunikasi yang menghubungkan Puskesmas dengan Dinas Kesehatan adalah radio Orari dan telepon.

Kabupaten Aceh Timur mempunyai jumlah penduduk yang tercatat tahun 2007 sebanyak 312.274 jiwa, jumlah penduduk balita sebanyak 32.768 jiwa. Berdasarkan ketersediaan Sumber Daya Manusia (SDM), diketahui distribusi jumlah tenaga kesehatan dari berbagai disiplin ilmu tidak menyebar secara merata, dan cenderung didominasi oleh tenaga kesehatan tertentu. Adapun distribusi tenaga kesehatan di Kabupaten Aceh Timur dapat dilihat pada Tabel 3 berikut ini:


(23)

Tabel 3. Distribusi Tenaga Kesehatan di Kabupaten Aceh Timur tahun 2007

No Jenis Tenaga Kesehatan Jumlah Persentase

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 Dokter Umum

Dokter Spesialis : Anak Dokter Spesialis lain Dokter Gigi

Sarjana Kesehatan Masyarakat Sarjana Keperawatan

D-III Keperawatan D-III Kebidanan D-I Kebidanan

Sekolah Perawat Kesehatan Tenaga Kesehatan Lingkungan Farmasi

Tenaga Tehnis lain

43 orang 2 orang 7 orang 6 orang 36 orang 12 orang 393 orang 131 orang 374 orang 196 orang 29 orang 32 orang 33 orang 3,33 0,16 0,54 0,48 2,80 0,93 30,50 10,20 29,00 15,20 2,25 2,48 2,56 Total 1289 orang 100 Sumber : Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007

Berdasarkan Tabel 3 diketahui bahwa tenaga kesehatan yang paling banyak adalah D III keperawatan yaitu sebanyak 393 orang (30,5%), disusul D-I kebidanan sebanyak 374 (29,0%), sedangkan tenaga kesehatan paling sedikit adalah dokter spesialis anak sebanyak 2 orang (0,16%).

Berdasarkan jumlah kunjungan balita ke Puskesmas, Pustu maupun Bidan Desa pada tahun 2007 sebanyak 156.877 dengan demikian frekuensi kesakitan balita adalah 4,78 artinya setiap balita di Kabupaten Aceh Timur dalam satu tahun mengalami periode sakit sebanyak 4-5 kali (Laporan Tahunan Bagian Kesga Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007).

Fasilitas yang ada di Puskesmas sebagai faktor pendukung praktek MTBS belum memadai, pelayanan balita sakit masih digabung dengan pelayanan perawat


(24)

7

umum di beberapa Puskesmas karena belum tersedianya ruang khusus untuk pelayanan MTBS. Hasil evaluasi bimbingan tehnik dan supervisi yang dilakukan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur memberi gambaran bahwa beberapa petugas yang dilatih MTBS cenderung kembali menggunakan cara-cara konvensional (anamnese singkat dan langsung pemberian pengobatan) dalam menangani balita sakit, memang sangat sulit untuk mengubah kebiasaan petugas.

Kabupaten Aceh Timur merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang dipilih oleh UNICEF untuk penerapan MTBS pada tahun 2005. Pada Pelaksanaan MTBS di Kabupaten Aceh Timur secara umum belum menunjukkan keberhasilannya, hal ini diasumsikan karena keterbatasan fasilitas dan sumber daya yang berkualitas. Salah satu permasalahan tersebut adalah tidak berfungsinya secara maksimal supervisor MTBS di puskesmas dan di Dinas Kesehatan, hal ini tercermin dari produktivitas dan prestasi kerjanya.

Hasil penelitian Lestari (1998) bahwa baik perawat yang sudah dilatih maupun belum dilatih kembali menggunakan metode Konvensional pada hampir setiap pemeriksaan anak sakit. Anggraini (2004) melaporkan bahwa dalam pelaksanaan MTBS di Samarinda 70,0% petugas tidak memberi nasihat tentang perawatan anak sakit, 94,4 % Ibu balita tidak menerima Kartu Nasihat Ibu (KNI), 62,1% balita tidak menerima anjuran untuk kontrol dan 73,2% Ibu tidak menerima penjelasan kapan harus kontrol ke Puskesmas.

Salah satu faktor penting terhadap keberhasilan program MTBS adalah pemberian insentif atau imbalan langsung kepada petugas MTBS puskesmas, namun


(25)

secara kebijakan hal tersebut tidak dapat diberikan karena menganggap MTBS bukan merupakan program atau kegiatan pokok puskesmas, namun hanya bagian terkecil dari program kesehatan ibu dan anak, sehingga petugas kesehatannya justru mempunyai tugas rangkap (Anggraini,2004).

Pemberian imbalan atau kompensasi merupakan masalah yang sangat penting, mengingat setiap pekerja dalam organisasi mempunyai pengharapan atas sesuatu dari organisasi sebagai penghargaan atas jerih payahnya selama bekerja. Imbalan selain berbentuk uang dapat juga berupa fasilitas dan bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. Masalah pengelolaan imbalan sangat penting bukan hanya merupakan dorongan utama seseorang untuk menjadi karyawan/tenaga, tetapi juga karena imbalan yang diberikan mempunyai pengaruh yang sangat besar terhadap semangat dan kegairahan kerja para personil organisasi (Sunarto, 2004).

Organisasi memiliki beberapa tujuan dalam merancang sistem imbalan mereka, dalam manajemen SDM harus memikirkan tujuan-tujuan sistem dan apa kebutuhan-kebutuhan organisasi yang akan dicapai untuk memperoleh tujuan tersebut. Sistem imbalan yang baik adalah sistem yang mampu menjamin kepuasan para anggota organisasi yang pada gilirannya memungkinkan organsiasi memperoleh, memelihara dan mempekerjakan sejumlah orang dengan sikap dan perilaku positif bekerja dengan produktif bagi kepentingan organisasi (Siagian, 2006).

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka peneliti tertarik untuk meneliti tentang apakah berpengaruh karakteristik individu dan sistem imbalan terhadap aktivitas supervisi pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di


(26)

9

Kabupaten Aceh Timur, sehingga dapat dirumuskan strategi peningkatan kualitas SDM kesehatan dan peningkatan pelayanan kesehatan ibu dan anak di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur .

1.2. Permasalahan

Berdasarkan latar belakang di atas maka permasalahan dalam penelitian ini adalah: apakah karakteristik individu (pelatihan, masa kerja dan pengetahuan) dan sistem imbalan (tunjangan, insentif dan bonus) berpengaruh terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur.

1.3. Tujuan Penelitian

Menganalisis pengaruh karakteristik individu (pelatihan, masa kerja dan pengetahuan) dan sistem imbalan (tunjangan, insentif dan bonus) terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur.

1.4. Hipotesis Penelitian

Karakteristik individu (pelatihan, masa kerja dan pengetahuan) dan sistem imbalan (tunjangan, insentif dan bonus) berpengaruh positip dan signifikan terhadap aktivitas supervisi pada pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di wilayah kerja Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur .

1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam menyusun perencanaan dan kebijakan untuk mengadakan pelatihan bagi tenaga


(27)

supervisor MTBS yang belum terlatih agar supervisor bertambah pengetahuan tentang MTBS sehingga supervisor dapat melaksanakan supervisinya secara terarah dan teratur di masa akan datang.

2. Sebagai bahan masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur dalam menyusun perencanaan anggaran untuk prograam MTBS termasuk pemberian insentif kepada petugas suprvisor sehingga supervisor termotivasi untuk mengadakan supervisi secara rutin dimasa yang akan datang.

3. Bagi Puskesmas dalam rangka memperbaiki pelayanan kepada balita sakit melalui MTBS serta langkah-langkah pembinaan kepada petugas supervisor.


(28)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Manajemen

Manajemen merupakan topik yang sangat menarik untuk dibicarakan. Berbagai buku tentang manajemen banyak ditulis oleh para ahli. Manajemen berkaitan dengan administrasi, kedua bidang ilmu tersebut sama-sama melakukan kegiatan untuk mencapai tujuan. Beberapa ahli berpendapat bahwa adminstrasi berbeda dengan manajemen bahkan ada yang mengganggap manajemen lebih tinggi dari administrasi atau sebaliknya. Pendapat lainnya menganggap bahwa manajemen tidak berbeda dengan administrasi bahkan istilah keduanya sering dipergunakan secara bergantian untuk macam kegiatan yang sama (Gibson, 1997).

Manajemen merupakan kebutuhan bagi setiap manusia dalam kehidupan, baik dalam masyarakat maupun dalam organisasi. Dengan senantiasa akan berhasil jika setiap usahanya didukung oleh kemampuan menerapkan fungsi-fungsi manajemen dengan baik, lebih-lebih dalam kehidupan yang serba modern ini, orang semakin banyak terdorong kearah kehidupan yang spesifik sehingga manajemen sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan dewasa ini (Gibson, 1997).

Menurut Terry dan Follet (Stoner, 1996), manajemen merupakan proses dan seni perencanaan, pengorganisasian, penggerakan dan pengendalian, yang dilakukan


(29)

untuk menetapkan dan mencapai tujuan dengan menggunakan sumber daya manusia dan sumber-sumber lainnya.

Unsur pokok manajemen ada lima yaitu (Azwar, 1996) :

a. Masukan, yaitu segala sesuatu yang dibutuhkan untuk dapat melaksanakan pekerjaan administrasi. Masukan biasa juga disebut dengan perangkat administrasi terdiri dari : manusia, uang, sarana, dan metoda untuk organisasi yang tidak mencari keuntungan, seperti organisasi milik pemerintah.

b. Proses; yaitu langkah-langkah yang harus dilakukan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Proses ini sering di sebut dengan fungsi administrasi, yang terdiri dari : perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pelaksanaan (implementing), dan penilaian (evaluating).

c. Keluaran; yang merupakan hasil dari pekerjaan manajemen. Untuk manajemen kesehatan, yang menjadi hasilnya adalah pelayanan kesehatan.

d. Sasaran; adalah pada siapa keluaran yang dihasilkan tersebut di tujukan. Untuk manajemen kesehatan, sasarannya adalah perseorangan, keluarga, kelompok dan masayarakat. Sasaran dapat bersifat langsung maupun tidak langsung.

e. Dampak; yaitu akibat yang di timbulkan oleh keluaran. Untuk manajemen kesehatan dampak yang di harapkan adalah peningkatan derajat kesehatan. Hal ini dapat terwujud jika kebutuhan (needs) dan tuntutan (demands) perseorangan, keluarga, kelompok dan masayarakat terhadap kesehatan, pelayanan kedokteran serta lingkungan yang sehat dapat terpenuhi.


(30)

13

Sedangkan fungsi manajemen itu sendiri adalah : a. Perencanaan

Perencanaan adalah suatu penentuan serangkaian tindakan untuk mencapai sesuatu hasil sesuai yang diinginkan. Merencanakan berarti memikirkan dan membuat langkah-langkah yang perlu dilakukan sebelum pelaksanaan kerja nyata di realisasikan. Adapun maksudnya adalah agar pelaksanaan dapat berjalan dengan baik, sistematis, tidak ada yang tumpang tindih (overlapped) dan tidak ada yang terlewatkan (gap), mengapa itu harus dilakukan, dimana hal itu harus dilakukan, kapan pelaksanaannya, oleh dan untuk siapa, bagaimana caranya dan berapa biayanya (Gibson, 1997).

Perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen/administrasi, berupa menetapkan tujuan organisasi, peraturan dan pedoman pelaksanaan tugas, urutan pelaksanaan, iktisar biaya yang diperlukan dan pemasukan uang yang diharapkan akan diperoleh, serta rangkaian tindakan yang akan dilakukan dimasa depan (stoner, 1996).

Menurut Harold Koontz dan Cyril O'Donnel dalam Stoner (1996), perencanaan merupakan salah satu fungsi manajemen yang berkaitan dengan pemilihan satu diantara berbagai alternatif untuk mencapai tujuan, melaksanakan kebijaksanaan, prosedur dan program.

Macam perencanaan di bedakan menurut jangka waktu berlakunya rencana (perencanaan jangka panjang, menengah dan pendek), frekuensi penggunaan (perencanaan yang digunakan satu kali, dan berulang kali), tingkatan rencana


(31)

(perencanaan induk, operasional dan harian), filosofi perencanaan (perencanaan memuaskan, optimal dan adaptasi), waktu (perencanaan yang berorientasi masa lalu-kini dan masa depan), serta menurut ruang lingkup (perencanaan strategik, taktis, menyeluruh dan perencanaan terpadu)

Unsur dari perencanaan adalah rumusan misi, rumusan masalah, rumusan tujuan umum dan tujuan khusus, rumusan kegiatan, asumsi perencanaan, strategi pendekatan, kelompok sasaran, waktu, biaya, serta metode penilaian dan kriteria keberhasilan. Sedangkan proses perencanaan adalah menetapkan prioritas masalah dan menetapkan prioritas jalan keluar.

b. Pengorganisasian

Secara sederhana, pengorganisasian dapat diartikan secara umum sebagai sekumpulan cara mengatur dan mengalokasikan pekerjaan kepada angggota organisasi hingga tujuan organisasi dapat tercapai secara efisien.

Menurut Munijaya (2004), pengorganisasian adalah suatu langkah untuk menetapkan, mengolong-golongkan dan mengatur berbagai macam kegiatan, penetapan tugas-tugas dan wewenang seseorang dengan pedelegasaian wewenang dalam rangka mencapai tujuan. Berdasarkan pengertian ini, fungsi pengorganisasian merupakan alat untuk memadukan (sinkronisasi) semua kegiatan yang berasfek personil, finansial, material, dan tata cara dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.


(32)

15

Proses pengorganisasian adalah menyangkut penentuan pekerjaan, pembagian kerja secara tepat diantara para pegawai, dan menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasikan aktifitas organisasi yang ditujukan untuk mencapai tujuan

organisasi. Manfaat pengorganisasian akan diketahui melalui kejelasan : (1) pembagian tugas untuk perorangan dan kelompok, (2) hubungan organisatoris

antara orang-orang didalam organisasi tersebut melalui kegiatan yang dilakukannya, (3) pendelegasian wewenang, (4) pemanfaatan staf dan fasilitas fisik (Muninjaya, 2004).

Langkah-langkah pengorganisasian meliputi; (1) pemerincian semua pekerjaan yang harus dilaksanakan untuk mencapai tujuan organisasi, (2) pembagaian seluruh beban kerja menjadi kegiatan-kegiatan yang secara logis dan menyenangkan dapat dilaksanakan oleh satu atau sekelompok orang, (3) pengabungan pekerjaan anggota organisasai dengan cara yang logis dan efisien, (4) menetapkan mekanisme untuk mengkoordinasi pekerjaan anggota organisasi dalam satu kesatuan yang harmonis, (5) monitoring efektifitas organisasi dan pengambilan langkah-langkah penyesuaian untuk mempertahankan atau meningkatkan efektifitas (Stoner dan Wankel, 1996). c. Pelaksanaan (Implementing)

Pelaksanaan bukanlah merupakan pekerjaan yang mudah, karena dalam melaksanakan suatu rencana terkandung berbagai aktifitas yang bukan saja satu sama lainnya berhubungan, teapi juga bersifat komplek dan majemuk. Semua aktifitas harus dipadukan sedemikian rupa sehingga tujuan yang telah ditetapkan dapat dicapai dengan memuaskan (Azwar, 1996).


(33)

Memadukan berbagai aktifitas yang menugaskan semua orang yang terlibat dalam organisasi untuk melaksanakan aktifitas yang dimaksut, memerlukan suatu keterampilan khusus, tugas seorang administrator ataupun manejer, pada dasarnya adalah melakukan upaya sedemikian rupa sehingga dapat memotivasi bawahan untuk bertanggung jawab melaksanakann berbagai aktifitas yang telah disusun. Agar pekerjaan dapat termotivasi dan bekerja dengan baik, seorang administrator ataupun manejer harus mampu mengkomunikasikan ide ataupun gagasan yang ada padanya pada bawahan. Kemudian dengan kepemimpinan yang dimiliki mampu mengarahkan, mengawasi dan mensupervisi bawahan sedemikian rupa sehingga semua aktifitas yang tekah disusun dapat terlaksana dengan baik.

Melaksanakan suatu rencana seorang administrator ataupun manejer perlu menguasai berbagai pengetahuan dan keterampilan seperti yang dimaksud antara lain; (1) pengetahuan dan keterampilan motivasi, (2) pengetahuan dan keterampilan komunikasi, (3) pengetahuan dan keterampilan kepemimpinan, (4) pengetahuan dan keterampilan pengarahan, (5) pengetahuan dan keterampilan pengawasan , (6) pengetahuan dan keterampilan suvervisi.

d. Penilaian (Evaluating)

Menurut WHO yang dikutip Azwar (1996) penilaian adalah suatu cara belajar yang sistematis dari pengalaman yang dimiliki untuk meningkatkan pencapaian, pelaksanaan, dan perencanaan suatu program melalui pemilihan secara seksama berbagai kemungkinan yang tersedia guna penerapan selanjutnya. Sedangkan menurut Riecken penilaian merupakan suatu pengukuran terhadap akibat yang


(34)

17

ditimbulkan dari dilaksanakannya suatu program dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan.

Penilaian pada suatu program dibedakan atas tiga jenis; penilaian pada tahap awal, penilaian pada tahap pelaksanaan program dan penilaian pada tahap akhir program. Sedangkan penilaian dipandang dari sudut ruang lingkup meliputi penilaian terhadap masukan, proses, keluaran dan dampak. Langkah penilaian yang pertama adalah memahami program yang akan dinilai, kemudian menentukan macam dan ruang lingkup penilaian yang akan dilakukan, menyusun rencana penilaian, melaksanakan penilaian, menarik kesimpulan dan menyusun saran-saran (Azwar, 1996).

2.2. Manajemen Terpadu Balita Sakit

2.2.1. Pengertian manajemen terpadu balita sakit

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu formula yang dikeluarkan oleh WHO dan UNICEF pada tahun 1996 dengan tujuan utama memperbaiki kesehatan anak. Fokusnya untuk memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan pada fasilitas tingkat pelayanan dasar (balai pengobatan dan pelayanan rawat jalan) dengan menggunakan standar serta pendekatan yang terintegrasi untuk pelayanan kesehatan (WHO dan UNICEF 2005). Sementara itu menurut WHO (2002) Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah suatu strategi yang menggabungkan semua tindakan pencegahan penyakit dan masalah kesehatan selama masa kanak-kanak, gunanya untuk mendeteksi dini penyakit dan terapi yang efektif serta promosi kebiasaan hidup sehat dalam keluarga dan masyarakat.


(35)

Menurut WHO (2000) manajemen terpadu balita sakit merupakan suatu pendekatan terhadap balita sakit yang dilakukan secara terpadu dengan memadukan pelayanan promosi, pencegahan, serta pengobatan terhadap lima penyebab utama kematian bayi dan balita di Negara berkembang yaitu pneumonia, diare, campak, malaria dan malnutrisi. Selanjutnya WHO menyatakan bahwa ide keterpaduan ini didasari pada kenyataan di lapangan bahwa sebagian besar balita sakit sering kali menunjukkan gejala/tanda klinis yang saling tumpang tindih, kadang-kadang bayi mudah menunjukkan gejala yang lebih spesifik sehingga menimbulkan kesulitan dalam menegakkan diagnosis tunggal atau melakukan pendekatan penyakit secara spesifik sehingga pengobatan menjadi rumit bahkan tidak jarang memerlukan pengobatan yang saling tumpang tindih, yang akhirnya menyebabkan biaya kesehatan yang makin besar. Di Tanzania, Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) selalu dihubungkan dengan perbaikan kualitas dan hasil pelayanan anak sakit yang lebih baik tetapi merupakan program yang sangat mahal dibandingkan dengan pelayanan rutin di tempat pelayanan kesehatan (Adam et.al. 2005)

2.2.2.Indikator MTBS

Indikator prioritas Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang digunakan dalam fasilitas pelayanan dasar meliputi : keterampilan petugas kesehatan, dukungan sistem kesehatan dalam menjalankan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan kepuasan ibu balita atau pendamping balita. (WHO, 2001, Depkes, 2005).


(36)

19

a. Keterampilan petugas kesehatan terdiri dari :

1) Kemampuan untuk menilai : tanda bahaya yaitu batuk, diare dan demam, berat anak yang tercatat dalam kartu pertumbuhan, status imunisasi, indeks manajemen terpadu dan cara pemberian makanan pada anak di bawah dua tahun.

2) Melakukan terapi yang benar dan konseling, meliputi : menentukan pemberian antibiotik oral dan anti malaria yang benar, menentukan perlu tidaknya pemberian antibiotik.

3) Memberi nasehat kepada ibu balita jika anak sakit harus banyak minum dan makan secara terus menerus, memberikan imunisasi pada anak yang membutuhkan, memberikan penjelasan tentang bagaimana upaya rehidrasi oral, antibiotik dan anti malaria.

4) Manajemen penyakit berat pada anak dengan melakukan rujukan jika dibutuhkan.

b. Dukungan sistem kesehatan untuk Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 1) Supervisi paling tidak suatu tempat pelayanan kesehatan menerima satu kali

kunjungan supervisi untuk observasi penanganan kasus dalam enam bulan terakhir.

2) Persediaan obat dan alat kesehatan, kecukupan obat untuk terapi oral ensensial, kecukupan obat injeksi dalam pertolongan sebelum dirujuk, peralatan vaksinasi yang maksimal dan kecukupan jenis vaksin.


(37)

3) Cakupan pelatihan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) paling tidak ada 60% tenaga kesehatan yang bisa mengelola anak-anak dalam Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS).

2.2.3. Strategi implementasi manajemen terpadu balita sakit (MTBS)

Menurut WHO (2003) implementasi strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di seluruh dunia mengikuti tiga komponen, yaitu : memperbaiki keterampilan petugas kesehatan lewat pembekalan tentang petunjuk Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan kegiatan promosi, perbaikan sistem kesehatan yang dibutuhkan untuk pengelolaan anak sakit dengan efektif serta perbaikan kesehatan keluarga dan masyarakat. Berikut ini adalah gambar tentang strategi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam Tabel 4.

Tabel 4. Strategi Implementasi MTBS Memperbaiki

keterampilan petugas kesehatan

Penguatan system kesehatan

Memperbaiki kesehatan dalam keluarga dan

masyarakat Petunjuk standar

operational

Suplai obat esensial dan pengelolaannya

Mencari pelayanan kesehatan, perbaikan nutrisi

Pelatihan (sebelum pelayanan dan dalam pelayanan )

Organisasi pada pelayanan kesehatan

Pelayanan rumah dan anjuran untuk taat dalam pengobatan

Evaluasi setelah pelatihan Manajemen dan supervise Melibatkan masyarakat Sumber : WHO (2003)

Strategi utama dari Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah pengelolaan masalah penyakit anak di negara berkembang dengan fokus penting pada pencegahan kematian anak. Strategi tersebut meliputi intervensi pada kegiatan


(38)

21

preventif dan kuratif dengan tujuan untuk memperbaiki pelayanan di sarana pelayanan kesehatan dan pelayanan rumah. Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) juga berguna untuk memperbaiki keterampilan petugas kesehatan pada tingkat pertama pelayanan kesehatan juga termasuk kemampuan berkomunikasi dan konseling sehingga diharapkan kualitas layanan kesehatan pada anak juga dapat diperbaiki serta komunikasi yang baik pada orangtua (UNICEF, 2005).

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) bukan program yang vertikal tapi merupakan strategi terpadu dalam memperbaiki kualitas layanan balita sakit di pelayanan kesehatan tingkat pertama dengan melakukan penggabungan antara penyakit diare, program ISPA, beberapa aspek dari program malaria, nutrisi serta penyakit lainnya dimana kondisi ini sangat tergantung pada efektifnya program pemberian obat esensial. Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan gabungan antara tata laksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) serta pemecahan masalahnya pada tingkat distrik dan sarana pelayanan kesehatan sekitarnya, petugas kesehatan serta anggota masyarakat yang dilayani (WHO dan UNICEF, 2005).

2.2.4.Manfaat strategi manajemen terpadu balita sakit (MTBS)

Menurut WHO (1999) manfaat implementasi strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS ) di fasilitas pelayanan rawat jalan dalam penanganan balita sakit meliputi :

a. Dapat mengkombinasikan terapi untuk semua penyakit b. Memperkuat kemampuan petugas konseling


(39)

c. Menyediakan pelayanan preventif

d. Petugas mempunyai kemampuan dalam kecepatan merujuk anak dengan penyakit berat.

e. Memperbaiki kualitas pelayanan balita sakit pada tingkat, pelayanan rujukan. f. Dapat memberikan pelayanan rumah seperti perbaikan gizi dan pelayanan

preventif.

g. Penulisan resep (pemberian obat) yang baik dan tepat 2.3. Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Pneumonia, diare, malaria, campak dan malnutrisi merupakan penyebab lebih tujuh puluh persen kematian anak umur dibawah lima tahun. Dewasa ini terdapat cara-cara efektif yang dikerjakan untuk mencegah kematian anak, WHO dan UNICEF memperkenalkan pedoman terpadu dalam Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) untuk penanganan penyakit-penyakit tersebut yang harus dilaksanakan oleh petugas puskesmas. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) merupakan pendekatan terpadu dalam tatalaksana balita sakit yang datang berobat ke fasilitas rawat jalan pelayanan dasar, meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, malnutrisi serta upaya preventif dan promotif meliputi imunisasi, pemberian vitamin A dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan AKB dan AKBAL serta menekan morbiditas karena penyakit tersebut (Departemen Kesehatan dan WHO 2005).Intervensi yang diberikan dalam strategi implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dalam tatalaksana balita sakit meliputi pelayanan rumah dan di fasilitas kesehatan dengan tindakan promotif, preventif dan kuratif (WHO, 2005), terlihat dalam Tabel 5 :


(40)

23

Tabel 5. Intervensi dalam Strategi Manajemen Terpadu Balita Sakit Promotif dan

pencegahan penyakit Pelayanan kuratif Pelayanan

rumah

Masyarakat dan keluarga berbasis intervensi untuk memperbaiki gizi.

Obat insektisida dan pemakaian kelambu.

Penanganan kasus dini. Pengobatan yang tepat

Kepatuhan terhadap pengobatan

Pelayanan di fasilitas

kesehatan

Vaksinasi

Konseling untuk asupan gizi dan makanan pendamping ASI

Suplemen mikronutrien

Tata laksana kasus ISPA, diare, campak, malaria, malnutrisi serta infeksi serius lainnya.

Pemberian tablet besi. Pengobatan anti cacing

Konseling untuk asupan gizi dan makanan pendamping ASI

Sumber : WHO (2003)

Menurut WHO dalam IMCI information (1999) pelaksanaan manajemen terpadu balita sakit oleh petugas kesehatan terlatih yang mempunyai kemampuan dalam ketrampilan membuat penilaian awal terhadap balita sakit, klasifikasi penyakit dan tatalaksana balita sakit guna mengurangi kematian balita. Berikut ini


(41)

adalah alur proses penilaian, klasifikasi dan tindakan dalam tatalaksana balita sakit dalam Gambar 1.

Penilaian balita sakit

Periksa tanda bahaya Pertanyan

1.Apakah anak batuk dan sukar bernapas? 2.Apakah anak diare?

3.Apakah anak demam?

4.Apakah anak mempunyai masalah telinga?

Untuk jawaban ya,

pertanyaan selanjutnya lihat, dengar, rasa mengacu pada klasifiksi penyakit

1.Periksa malnutrisi dan anemia pada anak 2.Periksa status imunisasi anak

3.Periksa keluhan lain pada anak

Klasifikasi penyakit dan identifikasi tindakan (lihat bagan)

Perawatan pada anak atau dirujuk

1.Mengajari ibu memberikan obat di rumah (antibiotik, antimalaria, zat besi, vitamin A, mebendazole.

2.Mengajari ibu perawatan infeksi lokal di rumah (mata, telinga, mulut dan tenggorokan) 3.Memberikan suntikan intramuskular di klinik (kina, cloramphencicol)

4.Memberikan cairan tambahan untuk diare dan asupan gizi terus menerus 5.Jika balita perlu dirujukan, berikan tindakan yang tepat sebelum dirujuk

Konseling kepada ibu balita tentang:

1.Melalui proses bertanya, memberi pujian dan nasehat serta evaluasi 2.Masalah pemberian makanan dan ASI

3.Pemberian cairan selama anak sakit 4.Kapan harus kontrol

5.Kesehatan ibu Evaluasi:


(42)

25

Gambar 1 menjelaskan secara garis besar tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang dijalankan mulai saat petugas kesehatan mulai menilai kondisi balita dengan cara memeriksa tanda bahaya dini kemudian menanyakan kepada ibu apakah balita batuk atau sukar bernapas, diare, demam, dan kelainan pada telinga, memeriksa status nutrisi dan status imunisasi serta keluhan lain yang menyertai. Langkah berikutnya adalah petugas mengklasifikasi penyakit balita sesuai standar kemudian dilakukan pengobatan atau bila perlu dirujuk. Jika perlu perawatan di rumah, hanya diberikan dosis obat awal saja, pemberian makanan, pemberian cairan selama sakit serta cara penanganan infeksi lokal di rumah selanjutnya kegiatan ini diakhiri dengan mengevaluasi lagi apakah ada masalah kesehatan yang baru muncul pada balita tersebut.

Menurut Departemen Kesehatan Repubik Indonesia dan WHO (2005) salah satu konsekuensi penerapan MTBS di Puskesmas adalah waktu pelayanan menjadi lama, untuk mengurangi waktu tunggu bagi balita sakit, perlu dilakukan penyesuaian alur pelayanan. Penyesuaian alur pelayanan balita sakit disusun dengan memahami langkah-langkah pelayanan yang diterima oleh balita sakit, langkah-langkah tersebut adalah sejak penderita datang hingga mendapatkan pelayanan yang lengkap meliputi: pendaftaran, pemeriksaan dan konseling, tindakan yang diperlukan di klinik, pemberian obat dan rujukan bila diperlukan. Penyesuaian alur pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) disusun menggunakan model ban berjalan yaitu balita sakit menjalani langkah-langkah pelayanan yang diberikan oleh petugas yang berbeda.


(43)

Pada Gambar 2. adalah model ban berjalan pelayanan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) yang diberikan oleh tiga orang petugas kesehatan yaitu :

Sumber : Modul MTBS, (2005)

Gambar 2. Model Ban Berjalan Pelayanan MTBS

DATANG Petugas 1 di loket, mengisi formulir MTBS : 1.Identitas anak

2.Status kunjungan PENDAFTARAN + memberi

formulir MTBS + family folder

PEMERIKSAAN : Memeriksa dan membuat klasifikasi identifikasi pengobatan +

KONSELING

Konseling pemberian obat, kapan kembali dan pemberian makan + PEMBERIAN KODE DIAGNOSA

DALAM SP2TP +

TINDAKAN YANG DIPERLUKAN: Pengobatan pemberian imunisasi

PEMBERIAN OBAT: Memberi obat

Petugas 2 diruang periksa melakukan seluruh langkah sejak :

1.Pengukuran suhu badan 2.Penimbangan berat badan hingga konseling

Petugas 3 di apotik

RUJUK


(44)

27

Gambar 2 menjelaskan alur pelayanan sederhana yang dilakukan oleh tiga orang petugas karena kunjungan balitanya sedikit. Suatu Puskesmas yang memiliki jumlah kunjungan balita sakit banyak perlu menambah petugas dan membagi tugas dimana setiap petugs memiliki kompetensi yang berbeda serta ruangan periksa diperbanyak untuk menghindari keluhan pengunjung karena lamanya waktu tunggu.

2.4. Pengertian Supervisi dan Aktivitas Supervisi 2.4.1. Pengetian supervisi

Supervisi atau pembinaan adalah salah satu upaya pengarahan dengan memberikan petunjuk serta saran setelah menemukan alasan dan keluhan pelaksanaan dalam mengatasi permasalahan yang dihadapi (Depkes RI, 2005). Menurut Hamalik, (2005) bahwa unsur-unsur penting dari kegiatan pembinaan yang akan dilaksanakan yaitu :

a. Rancangan materi pembinaan dikembangkan dari materi latihan yang ada dan bersumber dari laporan evaluasi saat pelatihan serta harus lebih terarah dan bisa mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal.

b. Menetapkan para pembina menjadi dua kelompok yaitu pembina langsung dari balai pelatihan dan pembina tidak langsung dari para petugas di bidang terkait. Tugas para pembina harus sesuai dengan materi pelatihan dengan memperhatikan aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap.

c. Menetapkan langkah-langkah pembinaan meliputi tahap pembinaan yaitu : menetapkan sasaran pembinaan, forum yang akan digunakan seperti bimbingan teknis, loka karya mini dan lain-lain mempersiapkan materi pembinaan termasuk


(45)

pedoman juklak, buku referensi dan sebagainya, mempersiapkan langkah pembinaan dan waktu pembinaan serta tempat dan rencana pembinaan. Kedua adalah pelaksanaan pembinaan, terbagi menjadi dua kelompok yaitu pembinaan perorangan yang dilakukan secara individu pada materi yang dirasakan lemah sedangkan pembinaan kelompok dengan memanfaatkan forum-forum yang ada sesuai dengan materi pembinaan.

Supervisi didesain guna memperkuat keterampilan petugas kesehatan dan mencari solusi untuk pemecahan masalah dan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). Sedangkan kegiatan yang lebih spesifik dari Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) selama mengadakan kunjungan adalah memperkuat keterampilan petugas kesehatan, memeriksa kembali fasilitas penunjang Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) serta pemecahan masalahnya, membuat kesimpulan dari kunjungan dan informasi tentang tatalaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) dan fasilitas penunjangnya (WHO, 1999).

2.4.2. Aktivitas supervisor

Pekerjaan supervisor pada prinsipnya adalah melakukan pembinaan terhadap semua kegiatan suatu organisasi. Perbedaan organisasi menjadikan tugas supervisor berbeda-beda, meskipun demikian semua supervisor melakukan pekerjaan yang sama sifatnya. Semua supervisor membawahi sejumlah karyawan. Supervisor adalah manajer tingkat pertama.


(46)

29

Berikut ini beberapa kegiatan yang dilakukan oleh supervisor, yaitu:

a. Perencanaan. Supervisor dalam salah satu fungsi manajemen ini melakukan kegiatan berupa menetapkan tujuan, memutuskan cara pencapaian tujuan, menetapkan arah tindakan, serta menetapkan kebijakan dan prosedur.

b. Pengorganisasian, supervisor melakukan beberapa kegiatan antara lain menetapkan pembagian kerja, penugasan kerja, pengelompokkan pekerjaan untuk koordinasi, serta menetapkan wewenang dan tanggung jawab.

c. Pendayagunaan Tenaga, artinya supervisor menyeleksi orang untuk melaksanakan pekerjaan, menempatkan dan memberikan orientasi untuk melaksanakan pekerjaan serta melatih dan menilai kinerja karyawan.

d. Pembinaan. Dalam hal ini supervisor memberikan contoh, memotivasi dan memberdayakan karyawan, termasuk menciptakan lingkungan kerja yang kondusif bagi karyawan untuk berkinerja yang baik.

e. Pengendalian. Supervisor menghimpun informasi tentang pencapaian hasil, membandingkannya dengan standar/rencana dan melakukan tindakan perbaikan jika diperlukan.

2.4.3. Sistem kerja supervisor

Tanggung Jawab utama seorang supervisor adalah mencapai hasil sebaik mungkin dengan mengkoordinasikan sistem kerja pada unit kerjanya secara efektif. Suatu sistem kerja secara sederhana dapat digambarkan sebagai berikut:


(47)

Kondisi Kondisi Umpan Balik Formatif

Umpan Balik Motivasi PROSES

Gambar 3. Sistem Kerja Supervisor

Kondisi adalah unsur masukan (input), yaitu semua masukan yang diperlukan dalam proses, termasuk faktor lingkungan kerja baik fisik maupun non fisik dimana pekerjaan berlangsung. Dalam kondisi tercakup diantaranya Sumber Daya Manusia, ruangan tempat bekerja, peralatan, bahan. Struktur organisasi, prosedur, intruksi, kebijakan organisasi, hubungan antar pribadi dan suasana kerja.

Proses adalah semua kegiatan yang dilaksanakan untuk mencapai hasil. Hasil adalah segala sesuatu yang dihasilkan dari proses kerja. Umpan balik formatif, adalah informasi yang digunakan untuk mempengaruhi kualitas hasil. Balikan ini mengharuskan adanya perubahan dalam cara menghasilkan produk tertentu.

Umpan balik motivasi, adalah informasi yang digunakan untuk mempengaruhi kuantitas hasil. Informasi ini mendorong upaya untuk meningkatkan kecepatan atau bekerja lebih giat. Supervisor mengkoordinasikan sistem kerjanya melalui tiga cara penting, antara lain: (Darma, 2004)

a. Melakukannya dengan membimbing melalui petunjuk atau sebagian dari koordinasi sistem kerja


(48)

31

b. Memantau proses pelaksanaan pekerjaan c. Menilai hasil dari sistem Kerja.

2.4.4 Prinsip dasar supervisi yang efektif

Supervisor mempunyai tanggung jawab terhadap kualitas kinerja para bawahan yang dipimpinnya, oleh sebab itu kemampun memimpin sangat diperlukan untuk mengemban tanggung jawab. Efektivitas kepemimpinan seorang supervisor di ukur oleh dua faktor utama antara lain faktor keluaran, yaitu tingkat hasil yang dicapai unit kerja yang merupakan petunjuk seberapa baik pencapaian sasaran yang telah direncanakan, yang mencakup produktivitas, kualitas, dan efesiensi. Faktor kedua yaitu faktor manusia. Faktor manusia menunjukkan tingkat kerja sama di kalangan karyawan dan kepuasan bekerja di organisasi yang bersangkutan, jumlah dan jenis komunikasi, tinggi rendahnya motivasi, komitmen terhadap tujuan organisasi serta tingkat konflik antar pribadi dan antar kelompok.

Adapun prinsip dasar seorang supervisor mencakup 4 (empat) prinsip, yaitu: a. Kejelasan Berkomunikasi mencakup :

1) Penggunaan kata-kata /istilah yang mudah dimengerti 2) Komunikasi Langsung

3) Ringkas dan Lugas

4) Menghindari pesan-pesan yang bertolak belakang b. Mengharapkan yang Terbaik, mencakup:

1) Menghargai martabat bawahan


(49)

3) Menekankan pada kebutuhan masa datang, bukan pada masalah di masa lalu c. Berpegang pada Tujuan yang mencakup:

1) Fokus pada satu topik

2) Pembicaraan terarah pada tujuan pekerjaan 3) Membatasi adanya sanggahan atau interupsi d. Mendapatkan Komitmen

2.5. Sistem Imbalan

2.5.1. Konsep sistem imbalan

Menurut International Labour Organization (ILO), dalam Siagian, (2006) menyebutkan imbalan (compensation) mempunyai cakupan yang lebih luas dari pada upah dan gaji. Imbalan mencakup pengeluaran yang dikeluarkan oleh perusahaan atau organisasi untuk pekerja dan diterima serta dinikmati oleh pekerja, baik secara langsung dan rutin atau tidak langsung.

Imbalan dikelompokkan dalam dua kategori, yaitu Imbalan Langsung, yang terdiri dari komponen imbalan yang diterima secara langsung, rutin atau periodik oleh pekerja/karyawan dan Tidak Langsung, terdiri dari komponen imbalan yang diterima nanti atau bila terjadi sesuatu pada karyawan. Berikut ini penjelasan dua kateogori imbalan tersebut yaitu: (Ruky, 2001).

a. Imbalan Langsung, terdiri dari : 1) Upah/Gaji Pokok

2) Tunjangan Tunai sebagai suplemen upah/gaji yang diterima setiap bulan. 3) Tunjangan Hari Raya dan hari keagamaan lainnya.


(50)

33

4) Bonus yang dikaitkan atau tidak dikaitkan dengan prestasi kerja. 5) Insentif sebagai penghargaan untuk prestasi termasuk komisi. b. Imbalan Tidak Langsung, terdiri dari :

1) Fasilitas/kemudahan seperti tranportasi, pemeliharaan kesehatan dan lain sebagainya;

2) Upah/gaji yang tetap diterima oleh pekerja selama cuti dan izin meninggalkan pekerjaan;

3) Bantuan dan santunan untuk musibah; 4) Bantuan pendidikan Cuma-Cuma 5) Iuran asuransi jiwa dan lain sebagainya.

Hasil penelitian Kusnanto (2005) tentang hubungan insentif dengan kepuasan kerja di puskesmas, bahwa persepsi tentang pembagian insentif yang berhubungan secara signifikan (p<0,05). Menurut Henderson dikutip Handoko (2001) menyatakan bahwa segala bentuk imbalan/insentif kepada karyawan menjadi hal yang penting sangat tergantung dari persepsi karyawan itu sendiri. Pembagian insentif di puskesmas dipersepsikan baik menunjukkan bahwa pembagian insentif di puskesmas telah menjadi bagian penting bagi petugas di puskesmas (Kusnanto, 2005).

2.5.2. Menilai sistem imbalan

Menurut Hasibuan, (2001) penilaian sistem imbalan harus mengetahui karakteristik suatu imbalan yang diinginkan secara optimal, dan efektif dalam mencapai tujuan-tujuannya, karakteristik tersebut adalah :


(51)

a. Arti penting. Sebuah imbalan tidak akan dapat mempengaruhi apa yang dilakukan oleh orang-orang atau bagaimana perasaan mereka jika hal tersebut tidak penting bagi mereka. Tantangan dalam merancang sistem imbalan adalah mencari imbalan yang sedapat mungkin mendekati kemauan pekerja dan menerapkan berbagai imbalan untuk menyakinkan imbalan yang tersedia adalah penting bagi semua individu yang berbeda dalam organisasi.

b. Fleksibilitas. Jika imbalan disesuaikan dengan karakteristik unik dari anggota individu, dan jika imbalan disesuaikan tergantung pada level kerja, beban kerja, maka imbalan memerlukan beberapa tingkat fleksibilitas.

c. Frekuensi. Semakin sering suatu imbalan dapat diberikan, semakin besar potensi sumber daya sebagai alat mempengaruhi kinerja karyawan.

d. Visibilitas. Imbalan mesti benar-benar dapat dilihat jika karyawan/pekerja merasakan adanya hubungan antara kinerja dengan imbalan. Imbalan yang kelihatan memiliki keunggulan tambahan karena mampu memuaskan kebutuhan-kebutuhan karyawan akan pengakuan dan penghargaan.

e. Biaya. Sistem imbalan nyata sekali tidak dapat dirancang tanpa pertimbangan yang diberikan terhadap biaya-biaya imbalan yang tercakup. Semakin rendah biayanya, semakin diinginkan imbalan tersebut dari sudut pandang organisasi. 2.6. Karakteristik Individu

Organisasi merupakan wadah bagi individu untuk mencapai tujuan, baik tujuan pribadi maupun tujuan organisasi. Individu dengan karakter sendiri dan organisasi juga memiliki karakter tertentu yang saling menyesuaikan. Berkaitan dengan


(52)

35

karakteristik individu, kemampuan, kepercayaan, kepribadian, penghargaan kebutuhan dan pengalaman.

Menurut Bashaw dan Grant dikutip oleh Agus (2001), bahwa ciri-ciri pribadi meliputi jenis kelamin, status perkawinan, usia pendidikan, pendapatan keluarga dan masa jabatan. Sejalan dengan hal tersebut, Robbins (1996) mengungkapkan beberapa karakteristik pribadi yang meliputi umur, jenis kelamin, status perkawinan, pendidikan, tanggung jawab dan status masa kerja.

Karakterisitik individu secara tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan kegiatan dalam organisasi, baik ditingkat manajemen maupun tehnis pelaksanaan. Demikian halnya dalam pelaksanaan supervisi Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), karakteristik individu seperti pelatihan, masa kerja dan pengetahuan secara tidak langsung mempengaruhi pelaksanaan tugas dan fungsinya sebagai supervisor dalam serangkaian kegiatan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS), seperti tatalaksana penyakit infeksi, evaluasi program, sampai pada pelaporan dan umpan balik dari pencapaian program Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tersebut. 2.7.Landasan Teori

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) adalah pendekatan terhadap balita sakit. Aktivitas ini dilakukan secara terpadu dengan memadukan pelayanan promosi, pencegahan, serta pengobatan terhadap lima penyebab utama kematian bayi dan balita di negara berkembang yaitu pneumonia, diare, campak, malaria dan malnutrisi (WHO, 2003).


(1)

pengaruh secara bermakna terhadap aktivitas supervisi MTBS di Dinas Kesehatan Kabupaten Acrh Timur.

6.2.Saran-saran

Berdasarkan kesimpulan diatas,maka dapat diberikan saran atau rekomendasi sebagai berikut :

1. Kepada petugas supervisor diharapkan dapat mengikuti pelatihan program MTBS, baik yang di adakan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, Dinas Propinsi atau intansi lain yang mengadakan pelatihan tentang MTBS. Supaya petugas supervisor dapat menambah pengetahuan tentang MTBS sehingga dapat meningkat kualitas kerja supervisor dimasa yang akan datang.

2. Kepada Dinas Kesehatan diharapkan dapat mengajukan anggaran kepada pemerintah daerah untuk membayar insentif petugas supervisor agar petugas supervisor lebih termotivasi dalam mengadakan supervisi secara rutin dimasa yang akan datang.

3. Kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Aceh Timur diharapkan lebih menaruh perhatian terhadap perkembangan kesehatan di Aceh Timur dengan menyediakan anggaran yang memadai terutama untuk pengadaan sarana dan prasarana, untuk pelatihan supervisor serta untuk insentif petugas supervisi sehingga peningkatan derajat kesehatan masyarakat dapat terwujud sebagaimana diprogramkan oleh Departemen Kesehatan R.I.


(2)

(3)

94

DAFTAR PUSTAKA

Azwar. A, 1996, Administrasi Kesehatan, PT Binarupa Aksara, Jakarta

Anggraini, 2004. Hubungan dukungan fasilitas kesehatan, ketrampilan petugas dan respon ibu balita sakit pada puskesmas yang menerapkan MTBS di Samarinda. Tesis Ilmu Kesehatan Masyrakat Program Pasca Sarjana, Universitas Gadjah Mada, Yogyagkarta.

Depkes RI,1990. Pedoman pembimbingan/supervisi upaya Kesehatan

Puskesmas, Depkes R.I Jakarta.

_________,1999. Indonesia Sehat 2010, Visi Baru, Misi,Kebijaksanaan, dan

Strategi Pembangunan Kesehatan, DepartemenKesehatan Republik

Indonesia, Jakarta

_________,2002. Pedoman Supervisi Puskesmas, Jakarta

_________,2005. Modul 1 Pengantar Manajemen Terpadu Balita Sakit, Jakarta

_________,2005. Modul 2 Manajemen Terpadu Balita Sakit : Penilaian dan

Klasifikasi Anak Sakit Umur 2 Bulan sampai 5 Tahun, Jakarta

_________,2005. Modul 3 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Menentukan

Tindakan dan Memberi Pengobatan, Jakarta

_________,2005. Modul 4 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Konseling Bagi

Ibu, Jakarta

_________,2005. Modul 5 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Tindak Lanjut, Jakarta

_________,2005. Modul 6 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Manajemen

Terpadu Bayi Muda Umur 1 hari sampai 2 Bulan, Jakarta

_________,2005. Modul 7 Manajemen Terpadu Balita Sakit: Pedoman

Penerapan MTBS di Puskesmas, Jakarta

Dharma A, 2004, Manajemen Supervisi: Petunjuk Praktis bagi Para Supervisor, Radja Grafindo Persada, Jakarta.


(4)

Dinas Kesehatan Kabupaten Aceh Timur, 2007. Profil Kesehatan Kabupaten Aceh Timur , NAD

James L Gibson, Ivagonech dan James H Donelly J, 1997, Manajemen (terjemahan), Edisi Kesembilan jilid 2, Erlangga, Jakarta.

Hasibuan, S, Malayu, 2003. Organisasi dan Motivasi, Bumi Aksara, Jakarta Hasan Basri, dkk 2001. Evaluasi Manajemen Terpadu Balita Sakit di Kabupaten

Pekalongan. Jurnal Manajemen Pelayanan Kesehatan Volume 08/No.1/Maret 2005.

Hamalik, 2005.Pengembangan sumber Daya Manusia.Manajemen Pelatihan ketenagaan Pendekatan Terpadu.Bumi Aksara,Jakarta

Lestari,1998, Implementasi Manajemen Terpadu Balita Sakit oleh tenaga

perawat Puskesmas. Tesis kedokteran program Pasca Sarjana UGM,

Yogyakarta

Laksono, 2001. Digalakkan Manajemen Terpadu Balita Sakit.

Http://www.suaramerdeka.com, Akses tanggal 10 Desember 2007

Muninjaya, A.A., 2004. Manajemen Kesehatan. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).

Mardijanto, 2005. Analisis Penatalaksanaan Pneumonia dengan MTBS di

kabupaten Pekalongan Jawa Tengah, Tesis Pasca Sarjana UGM,

Yogyakarta.

Natoatmodjo, S, 2003. Pengembangan Sumber Daya Manusia, Rineka Cipta, Jakarta

Robins. S.P. (1996). Perilaku Organisasi, Konsep, Kontroversi,Aplikasi, Jilid I, Edisi Bahasa Indonesia, Alih Bahasa Hadyana Pujaatmaka,Prenhalindo, Jakarta.

Ruky, Achmad, 2001. Manajemen Penggajian dan Pengupahan Untuk

Karyawan Perusahaan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta

Singarimbun, Effendi, 1986. Metode Penelitian Survei. LP3S, Jakarta


(5)

96

Sugiono, 1998, Metode Penelitian Administrasi, Alfa beta, Bandung.

Sabiti, Burham, Priyo and The Uganda IMCI Documentation team, 2004 Implementation of national Integrated Management of the Childhood Illness program in Uganda. Journal of Health in population in developing countries, Uganda

Simamora, H., 2004. Manajemen Sumber Daya Manusia . Edisi III Cetakan ke-1, STIE Ekonomi YPKN, Yogyakarta

Sanusi, dan Rossi, 2005, Mutu Interaksi Supervisor dan petugas Gizi

Puskesmas di Kota Jaya Pura. Working Paper Series, Pasca Sarjana

UGM, Yogyakarta.

Sunarto, SE, 2005. Manajemen Imbalan, AMUS Yogyakarta.

Siagian, Sondang, 2006, Manajemen Sumber Daya Manusia, Bumi Aksara, Jakarta

Thoha, Miftah., 2002. Pembinaan Organisasi, Proses Diagnosa dan Intervensi. Raja Grafindo Persada, Jakarta

UNICEF, 2005. Integrated Management of the Childhood Illness, WHO, UNICEF, Geneva.

WHO, 1999. IMCI Information, Introduction IMCI into pre service training

for health profesional. Departemen of child and Adolencent Health and

developmentt. Genewa

WHO, 1999. Follow up-after reinforcing the IMCI skills of first level health

workers. Departemen of child and Adolencent Health and

developmentt. Genewa.

WHO, 2000. Integrated for IMCI and first level facilities and household. Departemen of child and Adolencent Health and developmentt. Genewa. WHO, 2001. About Integrated management of childhood illness.

http//:www.paho.org, Akses 06 Desember 2007.

WHO, 2003. Component of IMCI, toward better and child health and


(6)

Zamratulani, 2005. Proses Supervisi Dinas Kesehatan Ke Puskesmas di Kota Bengkulu, Working Paper Series, Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta.