Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon

(1)

MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DI

PUSKESMAS KOTA CILEGON

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Keperawatan (S.Kep)

OLEH: NOVITASARI NIM: 1110104000027

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1435 H/2014 M


(2)

(3)

iii JAKARTA

Undergraduate Thesis, July 2014 Novitasari, NIM: 110104000027

The Relationship between Knowledge and Motivation with Behavioral Health Workers in the Management of Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) Diarrhoea in Public Health Centers at Cilegon City

xix + 86 pages + 18 tables + 3 bagans + 7 attachments

ABSTRACT

The World Health Organization (WHO) data estimated 1.7 bilion cases of diarrhea occur globally each year. In indonesia diarrhea is endemic disease that found throughout the year and highest peak is in the rainy season and the dry transition. The incidence of diarrhea in Cilegon summary report based on the data from Dinas Kesehatan Cilegon city in 2013 showed the number of people on as many as 1.667 female children and 1.757 male children.

In a effort to reduce pediatric morbidity and mortality, WHO and other technical partners developed the Integrated Management of Childhood Illness (IMCI). IMCI is strategy to reduce mortality and morbidity for infant (7 days to 2 months) and children (2 months to 5 years).

This study aimed to determine the relationship between knowledge and motivation with health care’s behavior on the management of IMCI diarrhoea in public health centers at Cilegon city. The study design was cross-sectional. The population was health workers and included 265 respondents and sample was 51 respondents in the 8 public health centers in Cilegon city, and taken by purposive sampling technique. The data was collected by questionnaires and analyzed using the chi-square test.

The result showed that the management of IMCI diarrhoea was no relationship between knowledge with behavioral health workers (p= 0.968) and was relationship between motivation with behavioral health workers (p= 0.038).

The result is expected to be consideration of the extent to which the performance of health worker who have been carrying out the IMCI training and can bridge the gab of knowledge, motivation, and behavior of health workers with management of IMCI diarrhoea.

Keywords: Knowledge, Motivation, Behavioral Health Worker, IMCI of Diarrhoe


(4)

iv

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA Skripsi, Juli 2014

Novitasari, NIM: 1110104000027

Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon

xix + 86 halaman + 18 tabel + 3 bagan + 7 lampiran

ABSTRAK

World Health Organization (WHO) menyebutkan ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi dunia setiap tahunnya. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare dinas kesehatan kota Cilegon, Banten tahun 2013 menunjukkan angka penderita pada balita perempuan yaitu sebanyak 1.667 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 1.757 jiwa.

Upaya yang dilakukan WHO dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Desain penelitian adalah cross sectional. Populasi adalah petugas kesehatan sebanyak 265 responden dan sampel 51 responden dengan teknik purposive sampling yang berada di 8 puskesmas se-kota Cilegon. cara pengumpulan data dengan membagikan kuesioner dan dianalisis dengan menggunakan uji chi-square.

Hasil uji statistik dalam penatalaksanaan MTBS diare menunjukkan tidak ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.968) dan ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan (p= 0.038).

Hasil ini diharapkan dapat menjadi pertimbangan sejauh mana kinerja petugas kesehatan yang sudah melaksanakan pelatihan dan dapat menjembatani kesenjangan antara pengetahuan dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare.

Kata Kunci: Pengetahuan, Motivasi, Perilaku Petugas Kesehatan, MTBS Diare


(5)

(6)

(7)

(8)

viii

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : NOVITASARI

Tempat, tanggal Lahir : Serang, 17 November 1991 Jenis Kelamin : Perempuan

Agama : Islam

Status : Belum Menikah

Alamat : Jalan Tekukur No. 48 Kompleks D-Flat KS Cilegon, Banten

HP : +6285692252356

E-mail : ukhtinovitasari@yahoo.co.id

Fakultas/Prodi : Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan/ Program Studi Ilmu Keperawatan

RIWAYAT PENDIDIKAN

1. TK Al-Islah Cilegon 1996-1998

2. Sekolah Dasar Negeri V Cilegon 1998-2004

3. SMP Negeri 1 Cilegon 2004-2007

4. SMA Negeri 1 Cilegon 2007-2010

5. Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta 2010- Sekarang

RIWAYAT ORGANISASI

1. Staf Ahli Pengembangan Ekonomi Komisariat dakwah FKIK 2012-2013

2. Staf Ahli Kemahasiswaan BEMJ PSIK 2012-2013


(9)

ix

“Siapa yang tak mau merasakan sulitnya belajar, ia kan merasakan perihnya kebodohan” (Imam Syafi’)

Pada lembar persembahan ini, izinkan penulis mengucapkan terima kasih kepada orang-orang yang telah memberi dukungan dan motivasi kepada penulis:

Secara khusus penulis mengucapkan terima kasih kepada Allah SWT. karena telah mengirimkan malaikat-malaikat tanpa sayap yang selalu memberi dukungan di segala bidang, yang rela meletakkan impian dan mimpi mereka dalam pundak penulis. Terima kasih Ayah, Mama, Uni Elza, Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari. Hal ini yang menjadikan motivasi penulis untuk segera menyelesaikan studi dan mewujudkan impian dan mimpi mereka.

Guru-guru dan dosen yang senantiasa sabar dalam memberikan ilmunya kepada penulis.

Dan semua pihak yang telah membantu baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.


(10)

x

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum wr.wb

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT. karena atas karunia dan nikmat yang telah dilimpahkan kepada kita semua. Shalawat dan salam semoga tercurah kepada nabi Muhammad saw.

Penulisan skripsi yang merupakan syarat untuk mendapatkan gelar sarjana keperawatan (S.Kep) dengan judul “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas Kota Cilegon”.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis mendapatkan banyak pengarahan dan bantuan dari berbagai pihak. Berkat bimbingan dari berbagai pihak, akhirnya skripsi ini dapat diselesaikan, walaupun masih banyak kekurangannya. Karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. DR. (HC). dr. M. K. Tadjuddin, Sp. And, selaku dekan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

2. dr. H. M. Djauhari Widjajakusumah, AIF., PFK, selaku wakil dekan bidang akademik Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan.

3. Bapak Waras Budi Utomo, S.Kep, Ns., MKM, selaku Kepala Program Studi Ilmu Keperawatan dan Dosen Pembimbing Akademik yang tidak bosan-bosannya memberikan pengarahan dan bimbingannya kepada penulis.

4. Ibu Eni Nuraini, S.Kep, Ns., M.Sc, selaku Sekretaris Program Studi Ilmu Keperawatan.


(11)

xi

maupun spiritual dalam penyelesaian studi ini.

6. Uni Elza Yunita, S.P., Nurhasanah, dan Ahmad Bukhari tersayang yang banyak memberikan motivasi dalam penyelesaian studi ini. 7. Ibu Maftuhah, S.Kp., M.Kep., PhD dan Ibu Mira Suminar, S.Kep.,

M.Kes, selaku Dosen Pembimbing yang dengan sabar dan menyediakan waktu luangnya untuk berdiskusi, memberikan pengarahan, dan memotivasi penulis sejak awal penulisan masalah penelitian sampai tersusunnya skripsi ini.

8. Kepada Dosen Penguji, Bu Ns. Kustati B. L, M.Kep., Sp.Kep.An dan Bu Uswatun Khasanah, Ns., MNS penulis mengucapkan terima kasih atas saran-saran perbaikan yang diberikan.

9. Dosen-dosen dan staf Program Studi Ilmu Keperawatan yang dengan sabar dan semangat memberikan ilmu kepada penulis.

10.Kepada Kepala Dinas Kesehatan kota Cilegon dan Kepala Dinas Kesehatan kota Tangerang Selatan beserta serta staff yang telah membantu penulis untuk kelancaran proses penelitian.

11.Kepada Petugas Kesehatan di Puskesmas Ciputat, Puskesmas Ciputat Timur, dan Puskesmas di kota Cilegon yang telah membantu dan bersedia meluangkan waktu untuk kelancaran proses penyusunan skripsi.


(12)

xii

12.Teman-teman kepengurusan BEMJ PSIK 2012-2013, BEM PSIK 2013-2014, KOMDA FKIK atas ukhuwah dan amanah yang telah diberikan selama berjuang di FKIK.

13.Teman-teman seperjuangan Lily Camelia, Fitriyani Rahayu, Septiana, dan kak Eka yang saling memotivasi untuk tetap semangat dalam menyelesaikan skripsi ini.

14.Rekan-rekan seperjuangan PSIK 2010 atas kerja sama, berbagi pemikiran, pengertian, dan memberikan warna di setiap langkah yang sangat berarti ini.

Penulis berusaha untuk dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebaik-baiknya. Namun demikian penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan. Oleh karena itu demi kesempurnaan, penulis mengharapkan adanya kritik dan saran agar skripsi ini menjadi lebih baik dan berdaya guna di masa yang akan datang.

Wassalamu’alaikum wr.wb

Ciputat, Juli 2014


(13)

xiii

Halaman

Halaman Judul i

Pernyataan Keasliaan Karya ii

Abstract iii

Abstrak iv

Pernyataan Persetujuan v

Lembar Pengesahan vi

Daftar Riwayat Hidup viii

Lembar Persembahan ix

Kata Pengantar x

Daftar isi xiii

Daftar Singkatan xv

Daftar Tabel xvi

Daftar Bagan xvii

Daftar Lampiran xviii

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang 1

1.2Perumusan Masalah 6

1.3Pertanyaan Penelitian 7

1.4Tujuan Penelitian 8

1.5Manfaat Penelitian 9

1.6Ruang Lingkup Penelitian 9

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1Deskripsi Teori

2.1.1 Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) 11


(14)

xiv

2.1.3 Pengetahuan 22

2.1.4 Motivasi 28

2.1.5 Perilaku 39

2.2Penelitian yang Relevan 42

2.3Kerangka Teori 45

BAB III KERANGKA KONSEP, DEFINISI OPERASIONAL, DAN HIPOTESIS

3.1Kerangka Konsep 46

3.2Definisi Operasional 47

3.3Hipotesis Penelitian 49

BAB IV METODE PENELITIAN

4.1 Desain Penelitian 50

4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian 50

4.3 Populasi dan Sampel 51

4.4 Instrumen Penelitian 52

4.5 Hasil Uji Validitas dan Reliabilitas 54

4.6 Langkah-langkah Pengumpulan Data 57

4.7 Etika Penelitian 58

4.8 Pengolahan Data 59

4.9 Analisis Data 61

4.10Penyajian Data 62

BAB V HASIL PENELITIAN

5.1 Puskesmas di kota Cilegon 63

5.2 Hasil Preeliminary Analysis 64

5.3 Hasil Analisa Univariat 65

5.4 Hasil Analisa Bivariat 69

BAB VI PEMBAHASAN


(15)

xv BAB VII KESIMPULAN DAN SARAN

7.1 Kesimpulan 84

7.2 Saran 85

DAFTAR PUSTAKA


(16)

xvi

DAFTAR SINGKATAN

MDGs : Millennium Development Goals UNICEF : United Nations Children’s Fund WHO : World Health Organization MTBS : Manajemen Terpadu Balita Sakit

Depkes RI : Departemen Kesehatan Republik Indonesia Riskesdas : Riset Kesehatan Dasar

KLB : Kejadian Luar Biasa

Kemenkes RI : Kementrian Kesehatan Republik Indonesia SKRT : Survei Kesehatan Rumah Tangga

UIN : Universitas Islam Negeri

IMCI : Integrated Management of Childhood Illness

ASI : Air Susu Ibu

NaCl : Natrium Clorida

IV : Intra Vena

NGT : Nasogastric Tube

OGT : Oral Gastric Tube

SDM : Sumber Daya Manusia

Perda : Peraturan Daerah

UPTD : Unit Pelaksana Teknis Dinas SPK : Sekolah Perawat Kesehatan D-III/IV : Diploma III/IV


(17)

xvii

Halaman Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten 16 Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri 17 Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol 17 Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 19

Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena 19

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional 47

Tabel 4.3.1 Populasi Dokter, Perawat, dan Bidan 51

Tabel 4.5.1 Hasil Uji Validitas 55

Tabel 5.2.1 Hasil Uji Normalitas Data 65

Tabel 5.3.1 Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Petugas Kesehatan 66 Tabel 5.3.2 Distribusi Frekuensi Usia Petugas Kesehatan 66 Tabel 5.3.3 Distribusi Frekuensi Pendidikan Petugas Kesehatan 67 Tabel 5.3.4 Distribusi Frekuensi Lama Kerja Petugas Kesehatan 67 Tabel 5.3.5 Distribusi Frekuensi Pengetahuan Petugas Kesehatan 68 Tabel 5.3.6 Distribusi Frekuensi Motivasi Petugas Kesehatan 68 Tabel 5.3.7 Distribusi Frekuensi Perilaku Petugas Kesehatan 69 Tabel 5.4.1 Hasil analisis Chi-Square Pengetahuan dengan Perilaku 70 Tabel 5.4.2 Hasil Analisis Chi-Square Motivasi dengan Perilaku 70


(18)

xviii

DAFTAR BAGAN

Halaman Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010) 40

Bagan 2.3 Kerangka Teori 45


(19)

xix Lampiran 1. Dokumentasi Perizinan Lampiran 2. Informed Consent Lampiran 3. Kuesioner Penelitian

Lampiran 4. Hasil Olahan SPSS Uji Validitas dan Reliabilitas Lampiran 5. Hasil Olahan SPSS Uji Normalitas

Lampiran 6. Hasil Olahan SPSS Univariat Lampiran 7. Hasil Olahan SPSS Bivariat


(20)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Angka kematian bayi dan anak di dunia masih tinggi. Di negara berkembang hampir 10 juta kematian terjadi setiap tahun pada anak dibawah usia 5 tahun (UNICEF, 2008). Laporan United Nations Children’s Fund (UNICEF) (2013) mengatakan di Indonesia jumlah kematian balita setiap tahun turun dari estimasi 12,6 juta pada tahun 1990 menjadi sekitar 6,6 juta pada tahun 2012, namun angka ini masih cukup tinggi. Angka kematian bayi adalah 34 per 1000 kelahiran hidup, sementara angka kematian balita adalah 44 per 1000 kelahiran hidup. Diharapkan pada tahun 2015 angka kematian bayi turun menjadi 23 per 1000 kelahiran hidup dan angka kematian balita turun menjadi 32 per 1000 kelahiran hidup. Pencapaian pada 2015 merupakan target komitmen global tujuan Millennium Development Goals (MDGs) (Kemenkes RI, 2010).

Menurut Liu et al. (2012) di dunia penyakit pneumonia, diare, dan malaria merupakan penyebab tersering kematian pada anak. Upaya yang dilakukan World Health Organization (WHO) dan praktisi kesehatan untuk mengurangi morbiditas dan mortalitas anak yaitu dengan mengembangkan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) (Gove et al. 1997 dalam Rowe et al. 2011). Pada tahun 1990an, WHO dan UNICEF memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012).


(21)

MTBS menurut Depkes RI (2005) merupakan pedoman terpadu yang menjelaskan secara rinci penanganan penyakit yang banyak terjadi pada bayi dan balita. Penanganan yang dilakukan meliputi upaya kuratif terhadap penyakit pneumonia, diare, campak, malaria, infeksi telinga, malnutrisi, dan upaya promotif serta preventif yang meliputi imunisasi, pemberian vitamin A, dan konseling pemberian makan yang bertujuan untuk menurunkan angka kematian bayi dan anak, dan menekan morbiditas untuk penyakit tersebut. MTBS adalah standar pelayanan dan tatalaksana balita sakit secara terpadu di fasilitas kesehatan tingkat dasar. Tiga komponen dari MTBS ditujukan untuk meningkatkan keterampilan petugas kesehatan dalam tatalaksana kasus balita sakit (selain dokter, petugas kesehatan non-dokter dapat pula memeriksa dan menangani pasien apabila sudah dilatih), memperkuat sistem kesehatan, dan meningkatkan kemampuan perawatan di rumah oleh keluarga dan masyarakat (Kesehatan Anak, 2011).

Lebih dari 100 negara telah mengadopsi komponen dari MTBS yang digunakan sebagai pedoman bagi petugas kesehatan dalam menangani penyakit tersebut dengan menilai dan mengobati anak yang sakit, pencegahan, dan konseling keluarga (Nguyen et al. 2013). Menurut Lesley Bamford dari National Department of Health (2008, dalam Moelyo, 2013) mengatakan bahwa Comprehensive approach to the care of the ill child, which attempts to ensure appropriate and combined treatment of the five major diseases, dimana MTBS di hampir seluruh negara berkembang merupakan pelayanan kesehatan balita sakit secara komprehensif karena dapat mengkombinasikan pemeriksaan lima penyakit yang sering diderita.


(22)

3

Perkembangan MTBS di Indonesia dimulai pada tahun 1996, yaitu dengan dibuatnya satu set modul dan pedoman MTBS WHO/UNICEF dan pada tahun 2005 MTBS telah dilaksanakan di Indonesia. Hingga tahun 2009, penerapan MTBS telah mencakup 33 provinsi (Wijaya, 2010). Menurut data laporan rutin yang dihimpun dari Dinas Kesehatan Anak (2010), jumlah puskesmas yang melaksanakan MTBS hingga akhir tahun 2009 sebesar 51,55%. Puskesmas dikatakan sudah menerapkan MTBS bila memenuhi kriteria sudah melaksanakan MTBS sebesar 60% dari jumlah kunjungan balita sakit di puskesmas tersebut.

Salah satu strategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Diare adalah suatu penyakit yang terjadi ketika terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar, seseorang dikatakan menderita diare bila feses lebih berair dari biasanya, atau buang air besar tiga atau lebih, atau buang air besar yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Depkes RI, 2010). Menurut Magdarina et al. (2005) diare merupakan penyakit yang disebabkan oleh infeksi mikroorganisme meliputi bakteri, virus, parasit, protozoa, dan penularannya secara fekal-oral. Tanda dan gejala khas pada diare adalah diare cair yang mendadak, nyeri perut, mual, muntah, dan sedikit atau tidak adanya demam (Nelson, 2000). Diare dapat mengakibatkan gangguan metabolisme tubuh yaitu dehidrasi dan akibat fatalnya yaitu kematian (Wijaya, 2012).

Menurut data WHO (2013) di dunia ada sekitar 1,7 miliar kasus penyakit diare terjadi setiap tahunnya. Diare merupakan penyebab kedua kematian pada anak di bawah 5 tahun di negara dengan penghasilan ekonomi yang rendah, sekitar 1,3 juta anak meninggal setiap tahunnya, terutama di Negara Afrika dan Asia Selatan (Wilson et al. 2012). Gerald et al. (2009) menyatakan bahwa diare


(23)

dapat mengenai semua kelompok umur dan berbagai golongan sosial, baik di negara maju maupun berkembang dan erat hubungannya dengan kemiskinan serta lingkungan yang tidak higienis. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina et al. 2005).

Menurut laporan Nasional Riset Kesehatan Dasar Badan Litbangkes (2007) penyebab terbanyak kematian bayi (29 hari-11 bulan) dan anak balita (12 bulan-59 bulan) yaitu akibat terserang diare dengan proporsi diare pada bayi sebesar 31,4% dan anak balita sebesar 25,2%. Gambaran berdasarkan survei dan penelitian Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 provinsi Banten masih dalam prevalensi diare klinis cukup tinggi yaitu ˃10%. Berdasarkan laporan Surveilans Terpadu Penyakit bersumber data Kejadian Luar Biasa (KLB) tahun 2009-2010 provinsi Banten secara keseluruhan sering mengalami KLB diare (Kemenkes RI, 2011). Kasus diare yang terjadi di provinsi Banten berdasarkan data profil kesehatan kabupaten/kota tahun 2010-2011 pada tahun 2011 mencapai 971.269 kasus sedangkan pada tahun 2010 mencapai 816.802 kasus, angka ini masih tergolong tinggi. Angka kejadian diare di kota Cilegon berdasarkan data rekapitulasi laporan diare Dinas Kesehatan kota Cilegon tahun 2013 menunjukkan pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 2.511 jiwa.

Undang-Undang Kesehatan nomor 23 tahun 1992 menekankan pentingnya upaya peningkatan mutu pelayanan kesehatan. Salah satu upaya yang dilakukan Dinas Kesehatan kota Cilegon untuk menurunkan angka kejadian diare di kota Cilegon dengan menerapkan program MTBS yang dilaksanakan puskesmas di


(24)

5

kota Cilegon. Data dari Subdit Pengendaliaan Diare dan Infeksi Pencernaan Kemenkes RI tahun 2006-2009 didapat bahwa persentase petugas kesehatan yang memiliki pengetahuan yang benar mengenai tata laksana diare masih dibawah 50%. Berdasarkan penelitian Hastuti (2010) tentang pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi terhadap penatalaksanaan manajemen terpadu balita sakit (MTBS) pada petugas kesehatan di Puskesmas kabupaten Boyolali membuktikan adanya pengaruh antara pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penerapan standar MTBS di Puskesmas kabupaten Boyolali. Akan tetapi, dalam pelaksanaanya di kabupaten Bayolali menunjukkan hasil yang masih kurang baik dalam pelaksanaan program MTBS sehingga perlu ditingkatkan dalam segi pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan.

Dari hasil studi pendahuluan melalui observasi didapat bahwa 8 puskesmas yang ada di kota Cilegon hampir seluruhnya sudah memiliki ruang MTBS, dan hasil wawancara diketahui bahwa penerapan dengan standar MTBS sudah baik, akan tetapi terkadang masih dilakukan tanpa menggunakan formulir MTBS, dikarenakan formulir yang habis dan proses pelayanan MTBS yang cukup lama. Pada anak dengan kasus diare, pelaksanaan standar operasional prosedur yang masih belum sesuai seperti jarang dilakukan pemberian minum. Petugas kesehatan mengungkapkan motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare tergantung pada individu masing-masing dalam memberikan pelayanan, perlu adanya penyegaran dengan petugas kesehatan yang sudah pernah ikut pelatihan, belum adanya reward terhadap keberhasilan atau punishment terhadap pelanggaran pada petugas kesehatan.


(25)

Berdasarkan penelitian Faridah (2009) tentang analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap motivasi kerja petugas pelaksana manajemen terpadu balita sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya, membuktikan bahwa persepsi kondisi kerja dan kebijaksanaan pelaksanaan program MTBS secara bersama-sama mempengaruhi motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di Puskesmas kota Surabaya. Namun, dalam pelaksanaan program MTBS di Puskesmas kota Surabaya masih kurang baik. Program MTBS bukan merupakan program unggulan puskesmas, akan tetapi tetap terus berjalan untuk meningkatkan pelayanan kesehatan yang lebih baik.

Sehingga berdasarkan uraian tersebut peneliti ingin melakukan penelitian mengenai “Hubungan Pengetahuan dan Motivasi dengan Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Diare di Puskesmas kota Cilegon”.

1.2. Rumusan Masalah

Di kota Cilegon angka kejadian diare pada tahun 2013 pada balita perempuan yaitu sebanyak 2.420 jiwa dan pada balita laki-laki yaitu sebanyak 2.511 jiwa. Pelaksanaan MTBS sudah diterapkan di 8 puskesmas kota Cilegon dengan diadakannya pelatihan, sebanyak 51 petugas kesehatan sudah mendapatkan pelatihan MTBS. Dari latar belakang diketahui bahwa terdapat keterbatasan penyediaan formulir MTBS, pelaksanaan standar operasional prosedur yang masih belum sesuai, penatalaksanaan MTBS yang memerlukan waktu lama, dan belum terlaksananya supervisi terhadap evaluasi pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan.


(26)

7

Hasil studi pendahuluan diketahui belum adanya penelitian terkait pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare. Dalam sarana kesehatan, pencapaian kinerja petugas kesehatan dalam pelaksanaan MTBS diare tidak lepas dari peran pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan sebagai pelaksana MTBS diare.

Berdasarkan penjelasan dari latar belakang, peneliti menyimpulkan bahwa pengetahuan dan motivasi sangat penting untuk menentukan indikator hasil perilaku yang diamati sebagai upaya penanganan diare pada balita. Di sisi lain, beberapa penelitian menunjukkan ada hubungan pengetahuan dan motivasi petugas kesehatan baik tehadap kinerja kerja maupun penatalaksanaan MTBS.

Dari uraian tersebut maka perlu dilakukan penelitian terkait hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

1.3. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan perumusan masalah penelitian yang telah dipaparkan, maka dapat diambil beberapa pernyataan penelitian sebagai berikut:

1. Bagaimana gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon?

2. Bagaimana gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

3. Bagaimana gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?


(27)

4. Bagaimana perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

5. Apakah ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

6. Apakah ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

1.4. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum

Mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui gambaran karakteristik petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon

b. Mengetahui gambaran pengetahuan petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

c. Mengetahui gambaran motivasi petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

d. Mengetahui gambaran perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.

e. Mengetahui hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon.


(28)

9

f. Mengetahui hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon?

1.5. Manfaat Penelitian 1. Bagi Institusi

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan bacaan untuk pembuatan karya ilmiah dengan mengedepankan aspek evidence based practice/hasil penelitian kesehatan terkini khususnya dalam bidang ilmu keperawatan dan menjadi dokumentasi akademik yang berguna dan dijadikan acuhan untuk penelitian selanjutnya.

2. Bagi Puskesmas di Kota Cilegon

Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan pengembangan dan pembangunan program kesehatan, serta peningkatan mutu pelayanan kesehatan yang ada di masyarakat dalam upaya menurunkan angka morbiditas dan mortalitas anak dengan penyakit diare.

3. Bagi Peneliti dan Praktisi Kesehatan

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan peneliti dan praktisi kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS, khususnya pada penanganan diare.

1.6. Ruang Lingkup Penelitian

Penelitian dilakukan oleh mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan UIN Syarif Hidayatullah yang bertujuan untuk mengetahui hubungan pengetahuan dan motivasi dengan perilaku petugas


(29)

kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS diare di puskesmas kota Cilegon. Jenis penelitian ini adalah kuantitatif menggunakan pendekatan observasional analitik dengan desain penelitian cross sectional. Pengumpulan data menggunakan instrumen penelitian berupa kuesioner. Populasi penelitian ini adalah petugas kesehatan di puskesmas kota Cilegon yang menangani MTBS. Teknik yang digunakan pada penelitian ini adalah purposive sampling dan waktu penelitian dilakukan pada Juni 2014.


(30)

11 BAB II TINJAUAN TEORI

2.1. Deskripsi Teori

2.1.1. Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS)

Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) atau Integrated Management of Childhood Illness (IMCI) adalah suatu pendekatan yang terintegrasi dalam tata laksana balita sakit dengan fokus kepada kesehatan anak usia 0-59 bulan (balita) secara menyeluruh (Wijaya, 2006). MTBS merupakan manajemen bayi dan balita sakit untuk 2 kelompok usia, yaitu: kelompok usia 7 hari sampai 2 bulan dan kelompok usia 2 bulan sampai 5 tahun (Depkes RI, 2010). Menurut Nguyen et al. (2013) MTBS merupakan strategi penting bagi program kesehatan anak dan diakui secara internasional, lebih dari 100 negara telah menerapkan MTBS. MTBS membantu negara dalam meningkatkan kontribusi terhadap pencapaian Millenium Development Goals 4.

MTBS mengintegrasikan perbaikan sistem kesehatan, manajemen kasus, praktik kesehatan oleh keluarga dan masyarakat, serta hak anak (Soenarto, 2009). Manajemen Terpadu adalah suatu pola manajemen kasus yang berisi prosedur kerja agar dapat memperbaiki input, proses, dan output (Hastuti, 2010). Berdasarkan penelitian Husni, dkk (2012) mengatakan bahwa gambaran pelaksanaan MTBS komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih kurang. Dimulai pada tahun 1990an, World Health Organization (WHO) dan United Nations Children’s Fund (UNICEF) memulai pelaksanaan MTBS untuk meningkatkan kualitas perawatan di fasilitas kesehatan dengan lima


(31)

penyakit yang sering mengakibatkan sekitar 70% dari angka kematian anak yaitu pneumonia, diare, malaria, campak, dan kurang gizi (Wilson et al. 2012). Dalam buku Pedoman MTBS WHO tahun 2005, proses manajemen kasus pada MTBS meliputi unsur-unsur sebagai berikut:

1. Mengkaji anak dengan memeriksa tanda-tanda bahaya umum.

2. Mengklasifikasi penyakit anak dengan menggunakan sistem triase/kode warna. 3. Setelah mengelompokkan semua kondisi, mengidentifikasikan pengobatan

khusus untuk anak.

4. Menginformasikan petunjuk pemberian obat, tindak lanjut, dan tanda-tanda yang menunjukkan anak harus segera kembali berobat.

5. Menilai makan, termasuk pemberian ASI, dan nasihat untuk memecahkan masalah jika terdapat masalah makan.

6. Jika anak dibawa kembali ke fasilitas kesehatan, memberikan perawatan tindak lanjut jika diperlukan.

Salah satu srategi penatalaksanaan MTBS adanya penanganan diare. Di Indonesia diare merupakan penyakit endemis yang terdapat sepanjang tahun dan puncak tertinggi terdapat pada peralihan musim penghujan dan kemarau (Magdarina dkk. 2005).

1. Penatalaksanaan MTBS Diare

Penilaian tanda dan gejala pada anak dengan diare yang dinilai adalah ada atau tidaknya tanda bahaya umum. Keluhan dan tanda adanya diare, seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak bisa minum atau malas makan, turgor jelek, gelisah, rewel, haus atau banyak minum, adanya darah dalam tinja (feses bercampur dengan darah).


(32)

13

2. Klasifikasi dan Tingkat Kegawatan Diare

Penentuan klasifikasi dan tingkat kegawatan diare dibagi menjadi tiga kelompok berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi 1) Dehidrasi berat

Apabila ada tanda dan gejala seperti letargis atau tidak sadar, mata cekung, serta turgor buruk sekali.

2) Dehidrasi ringan atau sedang

Apabila ditandai dengan tanda gelisah, rewel, mata cekung, haus, dan turgor buruk.

3) Diare tanpa dehidrasi

Apabila tidak cukup tanda adanya dehidrasi. b. Klasifikasi Diare Persisten

Diare persisten memiliki tanda-tanda antara lain diare sudah lebih dari 14 hari dengan dikelompokkan menjadi dua kategori, yaitu diare persisten berat apabila ditemukan adanya tanda dehidrasi dan diare persisten apabila tidak ditemukan adanya tanda dehidrasi.

c. Klasifikasi Disentri

Klasifikasi disentri ini termasuk klasifikasi diare secara umum, tetapi pada diare jenis ini disertai dengan darah dalam tinja atau diarenya bercampur dengan darah (Depkes, 1999 dalam Hidayat, 2008).

3. Penentuan dan Tindakan Pengobatan

Pada tahap ini, kegiatan yang dilakukan adalah menentukan tindakan dan pengobatan setelah diklasifikasikan berdasarkan kelompok gejala yang ada


(33)

(Hidayat, 2008). Penentuan tindakan dan pengobatan menurut Depkes (1999, dalam Hidayat, 2008) sebagai berikut:

a. Klasifikasi Dehidrasi

Tindakan dapat dikelompokkan berdasarkan derajat dehidrasi.

1) Apabila klasifikasinya dehidrasi berat, maka tindakannya adalah sebagai berikut:

a) Berikan cairan intravena secepatnya. Apabila anak dapat minum, berikan oralit melalui mulut sambil mempersiapkan sambil infus. Berikan 100 ml/kg ringer laktat atau dengan ketentuan sebagaimana tersaji. Pada bayi (di bawah usia 12 bulan) pemberian pertama sebanyak 30 ml/kg selama 1 jam (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya sebanyak 70 ml/kg selama 5 jam. Pada anak (1-5 tahun) pemberian pertama 30 ml/kg selama 30 menit (ulangi apabila denyut nadi lemah dan tidak teraba), kemudian pemberian berikutnya 70 ml/kg selama 2,5 jam.

b) Lakukan pemantauan setiap 1-2 jam tentang status dehidrasi, apabila belum membaik berikan tetesan intravena dengan cepat.

c) Berikan oralit (kurang lebih 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum.

d) Lakukan pemantauan kembali sesudah 6 jam pada bayi atau pada anak sesudah 3 jam serta tentukan kembali status dehidrasi. Selanjutnya ditentukan status dehidrasi dan lakukan tindakan sesuai dengan derajat dehidrasi.


(34)

15

e) Anjurkan untuk tetap memberikan ASI

Tindakan di atas dilakukan bila cairan tersedia, tetapi apabila dalam waktu 30 menit cairan tersebut tidak ditemukan, maka lakukan rujukan segera dengan pengobatan intravena dan jika anak bisa minum, berikan oralit sedikit demi sedikit dalam perjalanan rujukan.

2) Tindakan pengobatan untuk klasifikasi dehidrasi ringan atau sedang adalah sebagai berikut:

a) Lakukan pemberian oralit dalam 3 jam pertama dengan ketentuan untuk usia kurang dari 4 bulan dengan berat badan kurang dari 6 kg, maka pemberian antara 200-400 ml, usia 4-12 bulan dengan berat badan 6-<10 kg, pemberiannya adalah 400-700 ml, untuk usia 12-24 bulan dengan berat badan 10-<12 kg pemberiannya adalah 700-900 ml, dan untuk usia 2-5 tahun dengan berat badan 12-19 kg pemberiannya adalah 900-1400 ml, atau juga dapat dihitung dengan cara berat badan dikali 75, pada anak kurang dari 6 bulan dan tidak menyusu maka diberikan tambahan air matang 100-200 ml. b). Lakukan pemantauan setelah 3 jam pemberian terhadap tingkat dehidrasi, rujuk untuk tindakan sesuai dengan tingkat dehidrasi.

3) Tindakan pengobatan dengan klasifikasi tanpa dehidrasi dapat dilakukan sebagai berikut:

a) Berikan cairan tambahan sebanyak anak mau dan lakukan pemberian oralit apabila anak tidak memperoleh ASI eksklusif.


(35)

b. Diare Persisten

Tindakan ditentukan oleh derajat dehidrasi, jika ditemukan adanya kolera. Maka pengobatan yang dapat dianjurkan adalah pilihan pertama antibiotik kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah tetrasiklin.

Usia atau berat badan

Kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 3 hari

Tetrasiklin Beri 4 kali sehari untuk

3 hari tablet dewasa 80

mg trimetoprim + 400 mg sulfametoksazol

tablet anak 20 mg trimetropim + 100

mg sulfametoksazol

sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim + 200 mg sulfametoksazol kapsul 250 mg 2-4 bulan

(4-<6 kg) ¼ 1 2,5 ml diberikan jangan

4-12 bulan (6-<10 kg)

½ 2 5 ml ½

1-5 tahun

(10-<19 kg) 1 3 7,5 ml 1

Tabel 2.1.1.1 Pemberian antibiotik pada diare persisten c. Disentri

Tindakan pada disentri dapat dilakukan dengan pemberian antibiotik yang sesuai, misalnya pilihan pertama adalah kotrimoksazol dan pilihan kedua adalah asam nalidiksat. Pemberian dosis berdasarkan usia atau berat badan anak.


(36)

17

usia atau berat badan

kotrimoksazol (trimetoprim + sulfametoksazol) beri 2 kali sehari selama 5 hari

Asam Nalidiksat beri

4 kali sehari selama 5 hari tablet dewasa 80

mg trimetoprim + 400 mg sulfametoksazol

tablet anak 20 mg trimetoprim +

100 mg sulfametoksazol

sirup/per 5 ml 40 mg trimetoprim +

200 mg sulfametoksazol

tablet 500 mg

2-4 bulan

(4-<6kg) ¼ 1 2,5 ml 1/8

4-12 bulan

(6-<10 kg) ½ 2 5 ml ¼

1-5 tahun

(10-<19 kg) 1 3 7,5 ml ½

Tabel 2.1.1.2 Pemberian antibiotik pada disentri Usia atau berat

badan Tablet (500 mg) Tablet 100 mg Sirup 120 mg/5 ml 2-6 bulan

(4-<7 kg) 1/8 ½ 2,5 (½ sendok teh)

6 bulan-3 tahun

(7-<14 kg) ¼ 1 5 ml (1 sendok teh)

3-5 tahun

(14<19 kg) ½ 2

7,5 ml (1 ½ sendok teh)

Tabel 2.1.1.3 Dosis Pemberian Parasetamol

4. Pemberian cairan tambahan untuk diare dan melanjutkan pemberian makan

Menurut buku Bagan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) tahun 2010 dijelaskan sebagai berikut:

a. Rencana Terapi A: Penanganan Diare di Rumah

Jelaskan pada Ibu tentang 4 aturan perawatan di Rumah, sebagai berikut: 1. Beri Cairan Tambahan

a) Jelaskan kepada Ibu:


(37)

2) Jika anak memperoleh ASI eksklusif, berikan cairan oralit atau air matang sebagai tambahan.

3) Jika anak tidak memperoleh ASI eksklusif, berikan 1 atau lebih cairan berikut: oralit, cairan makanan (kuah sayur, air tajin) atau air matang.

4) Anak harus diberi larutan oralit di rumah jika anak telah diobati dengan Rencana Terapi B atau C dalam kunjungan dan anak tidak dapat kembali ke klinik jika diarenya bertambah parah.

b) Ajari Ibu cara mencampur dan memberikan oralit, beri Ibu 6 bungkus oralit (200 ml) untuk digunakan di rumah.

c) Tunjukkan kepada Ibu berapa banyak oralit/cairan lain yang harus diberikan setiap anak diare.

1) Sampai umur 1 tahun: 50 sampai 100 ml setiap kali diare. 2) Umur 1 sampai 5 tahun: 100 sampai 200 ml setiap kali diare. 3) Katakan kepada ibu agar meminumkan sedikit-sedikit tapi sering

dari mangkuk/cangkir/gelas. Jika anak muntah, tunggu 10 menit, kemudian lanjutkan lagi dengan lebih lambat. Dan lanjutkan pemberian cairan tambahan sampai diare berhenti.

2. Beri Tablet Zinc Selama 10 Hari. 3. Lanjutkan Pemberian Makan. 4. Kapan Harus Kembali.


(38)

19

b. Rencana Terapi B: Penanganan Dehidrasi Ringan/Sedang dengan Oralit. Berikan oralit di klinik sesuai yang dianjurkan selama periode 3 jam.

Umur ≤ 4 bulan 4- ˂ 12 bulan 1- ˂2 tahun 2- ˂5 tahun Berat <6 kg 6-10 kg 10-12 kg 12-19 kg

Jumlah 200-400 400-700 700-900 900-1400

Tabel 2.1.1.4 Pemberian oralit selama periode 3 jam 1) Tentukan jumlah oralit untuk 3 jam pertama.

2) Tunjukkan cara memberikan larutan oralit. 3) Berikan tablet zinc selama 10 hari.

4) Setelah 3 jam ulangi penilaian dan klasifikasi kembali derajat dehidrasinya, pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan, dan mulailah memberi makan anak.

5) Jika Ibu memaksa pulang sebelum pengobatan selesai c. Rencana Terapi C: Penanganan Dehidrasi Berat dengan Cepat

1) Dapatkah segera memberi cairan intravena, jika ya beri cairan intravena secepatnya. Jika anak bisa minum, beri oralit melalui mulut sementara infus dipersiapkan. Beri 100 ml/kg cairan Ringer Laktat (atau jika tidak tersedia, gunakan cairan NaCl) yang dibagi sebagai berikut:

Tabel 2.1.1.5 Pemberian cairan intravena UMUR Pemberian pertama 30

ml/kg selama:

Pemberian berikut 70 ml/kg selama:

Bayi (dibawah umur 12 bulan)

1 jam* 5 jam

Anak (12 bulan sampai 5 tahun)

30 menit* 2 ½ jam

2) Periksa kembali anak setiap 15-30 menit. Jika nadi belum teraba, beri tetesan lebih cepat.


(39)

3) Beri oralit (kira-kira 5 ml/kg/jam) segera setelah anak mau minum, biasanya sesudah 3-4 jam (bayi) atau 1-2 jam (anak) dan beri juga tablet Zinc.

4) Periksa kembali bayi sesudah 6 jam atau anak sesudah 3 jam. Klasifikasikan dehidrasi dan pilih rencana terapi yang sesuai untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, dapatkah fasilitas pemberian cairan intravena terdekat (dalam 30 menit).

5) Jika ya, rujuk segera untuk pengobatan intravena. Jika anak bisa minum, bekali Ibu larutan oralit dan tunjukkan cara meminumkan pada anaknya sedikit demi sedikit selama dalam perjalanan. Jika tidak, dapatkah Saudara terlatih menggunakan pipa orogastrik untuk rehidrasi atau cek apakah anak masih bisa minum.

6) Jika ya, Mulailah melakukan rehidrasi dengan oralit melalui pipa nasogastrik atau mulut: beri 20 ml/kg/jam selama 6 jam (total 120 ml/kg).

7) Periksa kembali anak setiap 1-2 jam:

- Jika anak muntah terus atau perut makin kembung, beri cairan lebih lambat.

- Jika setelah 3 jam keadaan hidrasi tidak membaik, rujuk anak untuk pengobatan intravena.

8) Sesudah 6 jam, periksa kembali anak. Klasifikasikan dehidrasi, kemudian tentukan rencana terapi yang sesuai (A, B, atau C) untuk melanjutkan pengobatan. Jika tidak, rujuk segera untuk pengobatan IV/NGT/OGT.


(40)

21

Catatan: Jika mungkin, amati anak sekurang-kurangnya 6 jam setelah rehidrasi untuk meyakinkan bahwa ibu dapat mempertahankan hidrasi dengan pemberian larutan oralit per oral. Perlu diketahui bahwa 1 ml= 20 tetes/menit-infus makro= 60 tetes/menit-tetes/menit-infus mikro.

2.1.2. Diare

Diare adalah penyakit yang terjadi karena terjadi perubahan konsistensi feses selain dari frekuensi buang air besar dimana feses berair dari biasanya, atau bila buang air besar tiga kali atau lebih, atau buang air yang berair tapi tidak berdarah dalam waktu 24 jam (Kemenkes RI, 2011). Hal ini biasanya berkaitan dengan dorongan, rasa tidak nyaman pada area perianal, inkontinensia, atau kombinasi dari faktor ini. Tiga faktor yang menentukan keparahannya yaitu: sekresi intestinal, perubahan penyerapan mukosa, dan peningkatan motilitas (Baughman, 2000).

Menurut WHO (2008) penyebab utama penyakit diare adalah infeksi bakteri atau virus. Rotavirus merupakan etiologi paling penting yang menyebabkan diare pada anak dan balita. Infeksi Rotavirus biasanya terjadi pada anak-anak berusia 6 bulan-2 tahun (Suharyono, 2008).

Jalur masuk utama infeksi tersebut melalui feses manusia atau binatang, makanan, air, dan kontak dengan manusia. Kondisi lingkungan yang menjadi habitat atau pejamu untuk patogen tersebut atau peningkatan kemungkinan kontak dengan penyebab patogen tersebut menjadi risiko utama penyakit ini. Sanitasi dan kebersihan rumah tangga yang buruk, kurangnya air minum yang aman, dan pajanan pada sampah padat (misalnya melalui pengambilan atau akumulasi


(41)

sampah di lingkungan) yang berakibat diare (WHO, 2008). Dalam penelitian Wilson et al. (2012) mengatakan bahwa caregiver sering gagal dalam mengenali tanda-tanda diare pada anak.

Epidemik penyakit diare juga dapat terjadi sebagai akibat dari kejadian polusi atau bencana alam besar, seperti banjir. Musim kemarau juga dapat menyebabkan wabah penyakit diare karena bertambahnya patogen di saluran air dan kebutuhan akan penyimpanan air rumah tangga. Terdapat juga penyebab lain yang sering terjadi dari status kesehatan buruk pada anak-anak, yaitu kemiskinan, pengucilan di bidang sosial, dan kebijakan serta pengendalian lingkungan yang buruk (WHO, 2008).

2.1.3. Pengetahuan

Pengetahuan pada dasarnya terdiri dari sejumlah fakta dan teori yang memungkinkan seseorang untuk dapat memecahkan masalah yang dihadapinya. Pengetahuan tersebut diperoleh baik dari pengalaman langsung maupun pengalaman orang lain (Notoatmodjo, 2010).

Menurut Horwood et al. (2009) pengetahuan dan keterampilan selama pelatihan sangat penting sebagai penentu kinerja (perilaku), akan tetapi kinerja dipengaruhi oleh faktor-faktor yang lain seperti persepsi dan motivasi, sikap klien dan masyarakat, dan lingkungan yang menunjang.

Pengetahuan adalah segala sesuatu yang diketahui, segala sesuatu berkenaan dengan hal tertentu (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2010). Pengetahuan adalah hasil tahu dari manusia, yang sekedar menjawab pertanyaan “what”, misalnya apa air, apa manusia, apa alam, dan sebagainya (Notoatmodjo,


(42)

23

2010). Menurut Sunaryo (2004) pengetahuan adalah hasil dari tahu yang terjadi melalui proses sensoris khususnya mata dan telinga terhadap objek tertentu.

Pengetahuan merupakan domain yang sangat penting untuk terbentuknya perilaku terbuka (overt behavior). Perilaku yang didasari pengetahuan umumnya bersifat langgeng dan perilaku manusia dibagi ke dalam tiga domain, yaitu:

1. Cognitive domain, diukur dari knowledge (pengetahuan) 2. Affective domain, diukur dari attitude (sikap)

3. Psychomotor domain, diukur dari psychomotor/practice (keterampilan) Pengetahuan atau kognitif merupakan domain sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang (Notoatmodjo, 2007). Tingkatan pengetahuan di dalam domain kognitif menurut Taksonomi Bloom (1987) dalam Sunaryo (2004) mencakup 6 tingkatan, yaitu:

a. Tahu (Know)

Merupakan tingkat pengetahuan paling rendah. Tahu artinya dapat mengingat atau mengingat kembali suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Ukuran bahwa seseorang itu tahu adalah mampu menyebutkan, menguraikan, mendefinisikan, dan menyatakan.

b. Memahami (Comprehension)

Merupakan kemampuan untuk menjelaskan dan menginterpretasikan dengan benar tentang objek yang diketahui. Seseorang yang telah paham tentang sesuatu harus dapat menjelaskan, memberikan contoh, dan menyimpulkan.


(43)

c. Penerapan (Application)

Merupakan kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi dan kondisi nyata atau dapat menggunakan hukum-hukum, rumus, metode dalam situasi nyata.

d. Analisis (Analysis)

Analisis adalah kemampuan untuk menguraikan objek ke dalam bagian-bagian lebih kecil, tetapi masih di dalam suatu struktur objek tersebut dan masih terkait satu sama lain. Ukuran kemampuan adalah dapat menggambarkan, membuat bagan, membedakan, memisahkan, membuat bagan proses adopsi perilaku, dan dapat membedakan pengertian psikologi dengan fisiologi.

e. Sintesis (Synthesis)

Merupakan suatu kemampuan untuk menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Ukuran kemampuan adalah dapat menyusun, meringkas, merencanakan, dan menyesuaikan sesuai teori atau rumusan yang telah ada.

f. Evaluasi (Evaluation)

Evaluasi merupakan kemampuan untuk melakukan penilaian terhadap suatu objek. Evaluasi dapat menggunakan kriteria yang telah ada atau disusun sendiri.


(44)

25

Menurut Notoatmodjo (2010) cara untuk memperoleh pengetahuan ada 2 yaitu:

1. Cara tradisional atau non ilmiah

Cara tradisional atau non ilmiah adalah cara memperoleh pengetahuan tanpa melakukan penelitian ilmiah, cara penemuan pengetahuan pada periode ini antara lain meliputi:

a. Cara Coba Salah (Trial and Error)

Cara ini telah dipakai orang sebelum adanya kebudayaan, bahkan mungkin sebelum adanya peradaban. Pada waktu itu seseorang apabila menghadapi persoalan atau masalah, upaya pemecahannya dilakukan dengan coba-coba saja (trial and error).

Metode ini telah digunakan orang dalam waktu yang cukup lama untuk memecahkan berbagai masalah dan sampai sekarang pun metode ini masih sering digunakan, terutama oleh mereka yang belum atau tidak mengetahui suatu cara tertentu yang tepat dalam memecahkan masalah yang dihadapi.

b. Cara kebetulan

Penemuan kebenaran secara kebetulan terjadi karena tidak disengaja oleh orang yang bersangkutan.

c. Cara kekuasaan atau otoritas

Para pemegang otoritas, baik pemimpin pemerintahan, tokoh agama, maupun ahli ilmu pengetahuan pada prinsipnya mempunyai mekanisme yang sama di dalam penemuan pengetahuan. Dengan prinsip inilah orang lain menerima pendapat yang dikemukakan oleh


(45)

orang yang mempunyai otoritas, tanpa terlebih dulu menguji atau membuktikan kebenarannya, baik berdasarkan fakta empiris ataupun berdasarkan penalaran diri.

d. Berdasarkan pengalaman pribadi

Pengalaman pribadi dapat digunakan sebagai upaya memperoleh pengetahuan. Hal ini dilakukan dengan cara mengulang kembali pengalaman yang diperoleh dalam memecahkan permasalahan yang dihadapi pada masa yang lalu.

e. Cara akal sehat (Common sense)

Akal sehat atau Common sense kadang-kadang dapat menemukan teori atau kebenaran.

f. Kebenaran melalui wahyu

Ajaran atau dogma agama adalah suatu kebenaran yang diwahyukan dari Tuhan melalui para Nabi. Kebenaran ini harus diterima dan diyakini oleh pengikut-pengikut agama yang bersangkutan, terlepas dari apakah kebenaran tersebut rasional atau tidak. Sebab kebenaran ini diterima oleh para Nabi adalah wahyu dan bukan karena hasil usaha penalaran atau penyelidikan manusia.

g. Kebenaran secara Intuitif

Kebenaran secara intuitif diperoleh manusia secara cepat sekali melalui proses di luar kesadaran dan tanpa melalui proses penalaran atau berfikir. Kebenaran yang diperoleh melalui intuitif sukar dipercaya karena kebenaran ini tidak menggunakan cara-cara yang


(46)

27

rasional dan yang sistematis. Kebenaran ini diperoleh seseorang hanya berdasarkan intuisi atau suara hati atau bisikan hati saja.

h. Melalui jalan pikiran

Sejalan dengan perkembangan kebudayaan umat manusia, cara berpikir manusia pun ikut berkembang. Dari sini manusia telah mampu menggunakan penalarannya dalam memperoleh pengetahuannya. Dengan kata lain, dalam memperoleh kebenaran pengetahuan manusia telah menggunakan jalan pikirannya, baik melalui induksi maupun deduksi.

i. Induksi

Induksi adalah proses penarikan kesimpulan yang dimulai dari pernyataan-pernyataan khusus ke pernyataan yang bersifat umum. Hal ini berarti dalam berpikir induksi pembuatan kesimpulan tersebut berdasarkan pengalaman-pengalaman empiris yang ditangkap oleh indra. Kemudian disimpulkan ke dalam suatu konsep yang memungkinkan seseorang untuk memahami suatu gejala.

j. Deduksi

Deduksi adalah pembuatan kesimpulan dari pernyataan-pernyataan umum ke khusus.

2. Cara modern atau ilmiah

Cara modern atau ilmiah yakni melalui proses penelitian yang lebih sistematis, logis, dan ilmiah. Cara ini disebut metode penelitian ilmiah atau disebut metodologi penelitian (research methodology).


(47)

2.1.4. Motivasi

Kemampuan melaksanakan tugas adalah unsur utama dalam menilai kinerja seseorang. Namun, tugas tidak akan dapat diselesaikan dengan baik tanpa didukung oleh suatu kemauan dan motivasi (Nursalam, 2011).

Penelitian Alhassan et al. (2013) mengatakan bahwa motivasi berpengaruh terhadap kualitas pelayanan petugas kesehatan di fasilitas kesehatan. Motivasi adalah karakteristik psikologis manusia yang memberi kontribusi pada tingkat komitmen seseorang (Nursalam, 2011). Hal ini termasuk faktor-faktor yang menyebabkan, menyalurkan, dan mempertahankan tingkah laku manusia dalam arah tekad tertentu (Stoner dan Freeman, 1995 dalam Nursalam, 2011). Motivasi menurut Ngalim Purwanto (2000) adalah segala sesuatu yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.

Menurut Sunaryo (2004) motivasi adalah dorongan penggerak untuk mencapai tujuan tertentu, baik disadari ataupun tidak disadari. Motivasi dapat timbul dari dalam diri individu atau datang dari lingkungan. Motivasi yang terbaik adalah motivasi yang datang dari dalam diri sendiri (intrinsik) bukan pengaruh lingkungan (ekstrinsik).

Maslow (1943, dalam Bastable, 2002) seorang ahli teori mengembangkan suatu teori tentang motivasi manusia yang diintegrasi secara utuh pada individu dan dalam bentuk hierarki tujuan, dia menyatakan bahwa tidak semua perilaku dimotivasi dan bahwa teori perilaku tidak sama dengan teori motivasi. Ada hubungan antara motivasi dan pembelajaran, antara motivasi dan perilaku, antara motivasi, pembelajaran, dan perilaku (Bastable, 2002). Menurut Maslow (1943) setiap manusia memiliki hierarki kebutuhan dari yang paling rendah sampai yang


(48)

29

paling tinggi (Misbach, 2010). Kebutuhan-kebutuhan terdiri dari lima hierarki, dalam Notoatmodjo (2010) sebagai berikut:

a. Kebutuhan fisiologi (Physiological)

Menurut Maslow kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan untuk mempertahankan hidup, oleh sebab itu sangat pokok, yakni sandang, pangan, dan papan. Apabila kebutuhan ini secara relatif terpenuhi, maka kebutuhan yang lain seperti rasa aman, kebutuhan untuk diakui oleh orang lain akan menyusul untuk dipenuhi. Seseorang tidak akan termotivasi untuk pengembangan dirinya, apabila motif dasarnya masih belum terpenuhi. Maslow menekankan bahwa ketika kebutuhan itu muncul pada seseorang, maka hal tersebut merupakan pendorong dan pengarah untuk terwujudnya perilaku. Pada saat seseorang sudah sampai pada taraf untuk memenuhi kebutuhan aktualisasi diri, maka pada saat diberikan tanggung jawab yang lebih besar untuk meningkatkan kemampuan sebagai perwujudan dari aktualisasi diri.

b. Kebutuhan rasa aman (Safety)

Kebutuhan rasa nyaman mempunyai bentangan yang sangat luas, bukan saja keamanan fisik, tetapi juga keamanan secara psikologis, misalnya bebas dari tekanan atau intimidasi dari pihak lain.

c. Kebutuhan sosialisasi atau afiliasi dengan orang lain (Affiliation)

Kebutuhan untuk berafiliasi atau bersosialisasi dengan orang lain dapat diwujudkan melalui keikutsertaan seseorang dalam suatu team work atau perkumpulan tertentu. Kebutuhan berafiliasi dengan orang lain pada prinsipnya agar dirinya diterima dan disayangi oleh orang lain sebagai anggota kelompoknya. Oleh karena manusia sebagai makhluk sosial, dalam


(49)

mewujudkannya membutuhkan atau menginginkan kebutuhan-kebutuhan sosial terdiri dari:

1) Kebutuhan akan perasaan kemajuaan dan tidak seorang pun yang menyukai kegagalan dalam tugas atau pekerjaan apapun. Kemajuan atau keberhasilan sebuah kegiatan, pekerjaan atau tugas merupakan kebutuhan setiap orang.

2) Kebutuhan akan perasaan ikut serta atau berpartisipasi. Seseorang akan merasa senang jika diikutsertakan dalam berbagai kegiatan perusahaan atau organisasi. Keikutsertaan dalam mencapai tujuan bukan hanya dalam bentuk fisik atau kegiatan saja, tetapi dalam bentuk pendapat, ide atau saran.

3) Kebutuhan akan perasaan dihormati, karena setiap orang merasa dirinya penting. Serendah-rendahnya pendidikan yang dicapai, atau serendah-rendahnya jabatan yang dipunyai, seseorang merasa penting dan perlu dihormati.

4) Kebutuhan untuk diterima oleh orang lain dilingkungan tempat tinggal. d. Kebutuhan akan penghargaan (Esteem)

Kebutuhan penghargaan ini adalah kebutuhan prestise, kebutuhan untuk dihargai merupakan kebutuhan semua orang terlepas dari kedudukan dan jabatannya. Dalam mewujudkan kebutuhan penghargaan ini bukan semata-mata pemberian dari pihak lain, tetapi harus dibuktikan dari kemampuan atau prestasi yang dicapai. Untuk itu sistem pemberian reward di organisasi-organisasi perlu dikembangkan, tetapi bukan didasarkan pada lama kerja atau model arisan, tetapi harus didasarkan pada sistem kompetisi prestasi kerja.


(50)

31

Kebutuhan akan penghargaan dapat diberikan berupa status, pengakuan, dan perhatiaan (Misbach, 2010).

e. Kebutuhan aktualisasi diri (Self-actualization)

Kebutuhan aktualisasi diri merupakan kebutuhan untuk mengembangkan potensi diri secara maksimal. Kebutuhan aktualisasi diri merupakan realisasi diri secara lengkap dan penuh. Pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri ini antara seorang yang satu dengan yang lain akan berbeda. Program pendidikan jangka panjang bergelar dan pelatihan (pendidikan jangka pendek) didalam suatu institusi atau organisasi merupakan bentuk pemenuhan kebutuhan aktualisasi diri. Kebutuhan aktualisasi berbeda dengan kebutuhan yang lain, yakni:

1) Aktualisasi diri adalah bagian dari pertumbuhan individu, dan berlangsung terus-menerus sejalan dengan meningkatnya jenjang karier seseorang individu.

2) Kebutuhan aktualisasi diri tidak dapat dipenuhi semata-mata dari luar individu, tetapi yang lebih utama adalah usaha dari individu itu sendiri. Redman (1993, dalam Bastable, 2002) memandang pengkajian motivasi sebagai bagian dari pengkajian kesehatan umum dan menyatakan bahwa pengkajian ini mencakup bidang-bidang seperti tingkat pengetahuan, keterampilan klien, kapasitas pembuatan keputusan pada individu, dan skrining pada populasi sasaran untuk program pendidikan.


(51)

Para ahli mengelompokkan metode peningkatan motivasi dalam Notoatmodjo (2010), yaitu:

1) Model Tradisional

Model ini menekankan bahwa untuk memotivasi masyarakat agar berperilaku sehat, perlu memberikan insentif berupa materi bagi anggota masyarakat yang berprestasi tinggi dalam berperilaku hidup sehat.

2) Model Hubungan Manusia

Untuk meningkatkan motivasi berperilaku sehat, perlu dilakukan pengakuan atau memperhatikan kebutuhan sosial mereka, meyakinkan mereka bahwa setiap orang adalah penting dan berguna bagi masyarakat. 3) Model Sumber Daya Manusia

Setiap manusia cenderung untuk mencapai kepuasan dari prestasi yang dicapai, dan prestasi yang baik tersebut merupakan tanggung jawabnya seebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, untuk meningkatkan motivasi hidup sehat perlu memberikan tanggung jawab dan kesempatan yang seluas-luasnya bagi mereka. Motivasi akan meningkat jika diberikan kepercayaan dan kesempatan untuk membuktikan kemampuannya dalam memelihara kesehatan. Memberikan reward atau penghargaan dan punishment atau hukuman dapat dipandang sebagai upaya peningkatan motivasi berperilaku.

Terdapat tiga unsur yang merupakan kunci dari motivasi berdasarkan pandangan beberapa konsep motivasi yaitu upaya, tujuan organisasi, dan kebutuhan.


(52)

33

Selanjutnya menurut Hamzah (2008) unsur-unsur tersebut dipengaruhi oleh faktor-faktor yaitu:

a. Kemampuan

Kemampuan adalah trait (bawaan atau dipelajari) yang berhubungan dengan mental atau fisik. Kemampuan merupakan kapasitas individu untuk melaksanakan berbagai tugas dalam pekerjaan tertentu. Ditinjau dari teori motivasi dan aplikasinya, kemampuan dapat digolongkan pada dua jenis, yaitu kemampuan fisik dan kemampuan intelektual. Kemampuan fisik adalah kemampuan menjalankan tugas yang menuntut stamina, keterampilan, kekuatan, dan karakteristik. Sedangkan kemampuan intelektual adalah kemampuan yang dibutuhkan untuk menjalankan kegiatan mental, tujuh dimensi yang paling sering dikutip dalam membentuk pengetahuan intelektual adalah kemahiran berhitung, pemahaman verbal, kecepatan perseptual, penalaran induktif, penalaran deduktif, visualisasi ruang dan daya ingat.

Merupakan kenyataan yang tidak dapat disangkal bahwa setiap orang mempunyai kemampuan tertentu yang sangat berbeda dari orang lain (Siagian, 2004). Kemampuan seseorang dapat membatasi usahanya untuk mencapai tujuan.

b. Komitmen

Komitmen terhadap organisasi sebagai salah satu sikap dalam pekerjaan yang berorientasi terhadap kesetiaan, identifikasi, dan keterlibatan. Seseorang yang memiliki komitmen terhadap suatu


(53)

tujuan memiliki dorongan, intensitas, dan ketekunan untuk bekerja keras. Komitmen menciptakan keinginan untuk mencapai tujuan dan mengatasi masalah atau penghalang.

c. Umpan-balik

Umpan-balik menyediakan data, informasi, dan fakta mengenai kemajuan dalam pencapaian tujuan. Seseorang menggunakan umpan-balik untuk mengukur dimana penyesuaian dalam usaha. Tanpa umpan-balik, seseorang beroperasi tanpa pedoman atau informasi untuk membuat perbaikan sehingga tujuan tidak dapat dicapai tepat waktu dan pada tingkat yang sesuai dengan anggaran.

d. Kepemimpinan

Kepemimpinan adalah kemampuan untuk mempengaruhi suatu kelompok agar tercapai tujuan yang diharapkan (Stephen, 1998 dalam Faridah, 2009). Keberhasilan ataupun kegagalan suatu organisasi berkaitan dengan kepemimpinan, baik organisasi berupa perusahaan, atau lembaga pemerintahan.

Dengan kepemimpinan seseorang mampu untuk mempengaruhi motivasi atau kompetensi individu lainnya dalam suatu kelompok. Kepemimpinan mampu membangkitkan semangat orang lain agar bersedia dan memiliki tanggung jawab terhadap usaha mencapai atau melampaui tujuan organisasi.


(54)

35

e. Faktor instrinsik

1) Prestasi (Achievement)

Prestasi (Achievement) adalah memperoleh kesempatan untuk mencapai hasil yang baik atau berprestasi. Kebutuhan akan berprestasi, akan mendorong seseorang untuk mengembangkan kreativitas dan mengarahkan semua kemampuan serta energi yang dimilikinya demi mencapai prestasi kerja yang optimal. Prestasi kerja adalah penampilan hasil kerja sumber daya manusia (SDM) dalam suatu organisasi. Prestasi kerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja SDM.

Penampilan hasil kerja tidak terbatas pada pegawai yang menjangkau jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada seluruh jajaran SDM dalam suatu organisasi.

2) Pengakuan (Recognition)

Pengakuan artinya memperoleh pengakuan dari pihak perusahaan (manajer) bahwa berprestasi, dikatakan baik, diberi pengharapan, pujian, dan sebagainya. Faktor pengakuan adalah kebutuhan akan penghargaan. Pengakuan dapat diperoleh melalui kemampuan dan prestasi, sehingga terjadi peningkatan status individu. Apabila terpenuhi kebutuhan akan prestasi dalam pekerjaannya, yaitu individu memperoleh hasil sebagai usaha dari pekerjaannya.


(55)

3) Pekerjaan itu sendiri (The work it self)

Pekerjaan itu sendiri adalah bagaimana individu menentukan tujuannya sendiri dengan kebutuhan-kebutuhannya dan keinginannya. Sehingga dapat mendorong untuk memikirkan pekerjaan, menggunakan pengalaman-pengalaman dan mencapai tujuan. Pekerjaan itu sendiri merupakan faktor penting yang menentukan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik dan bertambahnya kepuasan.

4) Tanggung jawab (Responsibility)

Tanggung jawab adalah keterlibatan individu dalam usaha-usaha pekerjaannya dan lingkungannya, seperti ada kesempatan, ada kesanggupan dan ada penguasaan diri sendiri dalam menyelesaikan pekerjaannya.

Pengertian yang jelas mengenai siapa yang bertanggung jawab terhadap apa, tanpa ada kesenjangan di antara sejumlah pertanggungjawaban. Diukur atau ditunjukkan dengan seberapa jauh atasan memahami bahwa pertanggungjawaban dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan.

5) Pengembangan potensi individu (Advancement)

Pengembangan adalah suatu usaha untuk meningkatkan kemampuan teknis, teoritis, konseptual, dan moral sesuai dengan kebutuhan pekerjaan melalui pendidikan atau latihan. Dua pendekatan utama yaitu pengembangan ditempat kerja dan diluar kerja. Pendekatan pengembangan ditempat kerja yaitu pembinaan,


(56)

37

komite penugasan, rotasi pekerjaan. Sedangkan pendekatan pengembangan diluar tempat kerja dapat berupa kursus dalam kelas, pelatihan hubungan antar manusia, studi kasus, bermain peran, dan lain-lain.

f. Faktor ekstrinsik

1) Kompensasi, gaji atau imbalan (wages salaries)

Faktor yang penting untuk meningkatkan prestasi kerja, motivasi, dan kepuasan kerja adalah dengan pemberian kompensasi. Kompensasi berdasarkan prestasi dapat meningkatkan kinerja seseorang yaitu dengan sistem pembayaran berdasarkan prestasi kerja.

2) Kondisi kerja (working condition)

Yang dimaksud kondisi kerja adalah tidak terbatas hanya pada kondisi kerja ditempat pekerjaan masing-masing seperti kenyamanan dan lain-lain. Akan tetapi, kondisi kerja yang mendukung dalam menyelesaikan tugas yaitu sarana dan prasarana kerja yang memadai sesuai dengan sifat tugas yang harus diselesaikan.

Betapapun positifnya perilaku manusia seperti tercermin dalam kesetiaan yang besar, disiplin yang tinggi, dan dedikasi yang tidak diragukan, serta tingkat keterampilan yang tinggi tanpa sarana dan prasarana kerja tidak dapat berbuat banyak apalgi meningkatkan efisiensi, efektivitas, dan produktivitas kerja.


(57)

3) Kebijakasanaan dan administrasi perusahaan (company policy and administration)

Kebijaksanaan dan administrasi perusahaan atau organisasi merupakan salah satu wujud umum rencana-rencana tetap dari fungsi perencanaan (planning) dalam manajemen. Kebijaksanaan (policy) adalah pedoman umum pembuatan keputusan. Kebijaksanaan berfungsi untuk menandai lingkungan disekitar keputusan yang dibuat, sehingga memberikan jaminan bahwa keputusan-keputusan akan sesuai dan menyokong tercapainya arah atau tujuan.

4) Hubungan antar pribadi (interpersonal relation)

Hubungan dalam organisasi banyak berkaitan dengan rentang kendali yang diperlukan organisasi karena keterbatasan yang dimiliki manusia, yang dalam hal ini adalah atasan. Hubungan antar pribadi (manusia) bukan berarti hubungan dalam fisik, namun lebih bersifat manusiawi.

5) Kualitas supervisi

Supervisi adalah suatu kegiatan pembinaan, bimbingan, dan pengawasan oleh pengelola program terhadap pelaksanaan ditingkat administrasi yang lebih rendah dalam rangka memantapkan pelaksanaan kegiatan sesuai dengan tujuan dan sasaran yang ditetapkan (Handoko, 1995 dalam Faridah, 2009). Supervisi adalah melakukan pengamatan secara langsung dan berkala oleh atasan terhadap pekerjaan yang dilaksanakan oleh


(58)

39

bawahan untuk kemudian apabila ditemukan masalah diberikan petunjuk atau bantuan yang bersifat langsung guna mengatasinya.

Dengan melakukan kegiatan supervisi secara sistematis maka akan memotivasi untuk meningkatkan prestasi kerja dan pelaksanaan pekerjaan yang lebih baik.

2.1.5. Perilaku

Perilaku merupakan hasil pengalaman dan proses interaksi dengan lingkungannya, yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, dan tindakan sehingga diperoleh keadaan seimbang antara kekuatan pendorong (motivasi) dan penahan (Maulana, 2009). Pembagian perilaku menurut Maulana (2009) dilihat dari bentuk respons terhadap stimulus dibagi 2 yaitu:

a. Perilaku tertutup (convert behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus sifatnya masih tertutup (convert). Respons ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap.

b. Perilaku terbuka (overt behavior)

Respons seseorang terhadap stimulus bersifat terbuka dalam bentuk motivasi dengan tindakan nyata, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain.

Meskipun perilaku dibedakan antara perilaku tertutup (convert) maupun perilaku terbuka (overt), tetapi sebenarnya perilaku adalah totalitas yang terjadi orang yang bersangkutan. Perilaku merupakan keseluruhan pemahaman dan


(59)

aktivitas seseorang yang merupakan hasil bersama antara faktor internal dan eksternal (Notoatmodjo, 2010).

Bagan 2.1.5.1 Skema Perilaku menurut Notoatmodjo (2010)

Lawrence Green (1991, dalam Notoatmodjo, 2010) menganalisis perilaku manusia dari tingkat kesehatan, perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor utama, yaitu: a. Faktor-faktor predisposisi (Predisposing) dalam pengetahuan, sikap

kepercayaan, keyakinan, dan sebagainya.

b. Faktor-faktor pemungkin (Enabling) yaitu lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya atau sarana-sarana kesehatan.

c. Faktor-faktor pendorong atau penguat (Reinforcing) terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan.

Dari pengalaman dan penelitian terbukti bahwa perilaku yang didasari oleh pengetahuan akan lebih bertahan lama daripada perilaku yang tidak didasari oleh pengetahuan (Efendi dan Makhfudli, 2009). Penelitian Rogers (1974, dalam Efendi dan Makhfudli, 2009) mengungkapkan bahwa sebelum seseorang mengadopsi perilaku yang baru, di dalam diri orang tersebut terjadi proses yang berurutan, yakni sebagai berikut:

d. Timbul kesadaran (awareness) yakni orang tersebut menyadari (mengetahui) stimulus terlebih dahulu.

Pengalaman, Fasilitas, Sosiobudaya

Persepsi, Pengetahuan, Keyakinan, Keinginan, Motivasi, Niat, Sikap

PERILAKU


(60)

41

e. Ketertarikan (interest) yakni orang tersebut mulai tertarik kepada stimulus. f. Mempertimbangkan baik tidaknya stimulus (evaluation) yakni sikap orang

tersebut sudah lebih baik lagi.

g. Mulai mencoba (trial) yakni orang tersebut memutuskan untuk mulai mencoba perilaku baru.

h. Mengadaptasi (adoption) yakni orang tersebut telah berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran, dan sikapnya setelah stimulus. Namun, dari penelitian selanjutnya Rogers menyimpulkan bahwa perubahan perilaku tidak selalu melewati tahapan proses yang berurutan. Meskipun perilaku adalah bentuk respons atau reaksi terhadap stimulus atau rangsangan dari luar organisme, tetapi dalam memberikan respons sangat bergantung pada karakteristik atau faktor-faktor lain dari orang yang bersangkutan (Maulana, 2009). Faktor yang membedakan respons terhadap stimulus/determinan menurut Maulana (2009) dibedakan menjadi dua macam, yaitu:

a. Faktor internal

Merupakan karakteristik dari orang yang bersangkutan yang bersifat bawaan (given) seperti ras, sifat fisik, sifat keperibadian, bakat bawaan, tingkat kecerdasan, dan jenis kelamin.

b. Faktor eksternal

Meliputi lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik. Faktor lingkungan merupakan faktor dominan terhadap perilaku seseorang.


(61)

Tahapan dalam perubahan perilaku individu menurut Kemenkes RI (2010) sebagai berikut:

1. Tidak sadar. 2. Menjadi sadar.

3. Termotivasi untuk mencoba sesuatu yang baru. 4. Mengadopsi perilaku yang baru.

5. Mempertahankan dan menghayati perilaku baru sehingga menjadi bagian dari perilaku dan kebiasaan sehari-hari.

2.2. Penelitian yang Relevan

1. Faridah, 2009. Analisis Faktor-Faktor yang Berpengaruh Terhadap Motivasi Kerja Petugas Pelaksana Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas kota Surabaya dengan kesimpulan persepsi kompensasi kurang baik (54.8%), persepsi kondisi kerja kurang baik (47.6%), persepsi kebijaksanaan kurang baik (50%), persepsi supervisi kurang baik (42.9%), persepsi pekerjaan itu sendiri kurang baik (33.3%), dan hasil persepsi motivasi kerja kurang baik (54.8%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara persepsi kondisi kerja, persepsi kebijaksanaan, dan persepsi supervisi pelaksanaan program MTBS dengan motivasi kerja petugas pelaksana MTBS di puskesmas kota Surabaya (p<0.05).

2. Husni dkk. 2012. Gambaran Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) umur 2 bulan sampai 5 tahun di Puskesmas Kota Makassar dengan kesimpulan bahwa sebagian besar puskesmas di kota Makassar yang menerapkan MTBS belum memenuhi standar MTBS dari sisi input, proses, dan output.


(62)

43

Analisis univariat mengambarkan komponen input, proses, dan output yang sesuai dengan standar masih kurang.

3. Sri Hastuti, 2010. Pengaruh Pengetahuan Sikap dan Motivasi Terhadap Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) pada Petugas Kesehatan di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil kesimpulan bahwa ada pengaruh pengetahuan, sikap, dan motivasi petugas kesehatan terhadap penatalaksanaan MTBS di Puskesmas Kabupaten Boyolali dengan hasil penelitian menunjukkan nilai p atau signifikansi pada variabel pengetahuan adalah 0.004, variabel sikap adalah 0.02, dan variabel motivasi adalah 0.023 dan diketahui bahwa α<0.05 menunjukkan ada hubungan bermakna antar variabel.

4. Alhassan, Robert Kaba et al. 2013. Association Between Health Worker Motivation and Healthcare Quality Efforts in Ghana dengan hasil bahwa situasi perawatan yang berkualitas di fasilitas kesehatan pada umumnya masih rendah, sebagian besar fasilitas tidak secara terus menerus mendokumentasikan peningkatan mutu dan keselamatan pasien. Secara keseluruhan, motivasi staf masih rendah walaupun bekerja di fasilitas kesehatan swasta. Motivasi staf yang rendah berdampak pada kualitas pelayanan di fasilitas kesehatan.

5. Purwanti, Sugi. 2010. Analisis Pengaruh Karakteristik Individu, Fasilitas, Supervisi, dan Motivasi terhadap Kinerja Petugas Pelaksana Pelayanan Program MTBS di Kabupaten Banyumas tahun 2010 dengan kesimpulan bahwa responden berusia 30-40 tahun (51.5%), tingkat pendidikan responden D-III kebidanan (35.4%), status kepegawaian PNS (73.7%). Responden mempunyai pengetahuan yang kurang (56.6%), persepsi beban kerja banyak (59%), tempat pelayanan memiliki fasilitas lengkap (53.5%). Responden memiliki persepsi supervisi baik


(63)

(67.7%), memiliki motivasi tinggi (53.5%), kinerja petugas pemberi pelayanan MTBS yang cukup (54.5%). Hasil analisis bivariat menunjukkan bahwa variabel persepsi beban p=0.0001, motivasi p=0.008 berhubungan dengan kinerja petugas. Analisis multivariat menunjukkan adanya pengaruh variabel persepsi beban kerja, motivasi terhadap kinerja kerja petugas.


(64)

45

Sumber: (DepKes RI, 2008). (WHO, 2008). buku Pedoman MTBS WHO (2005). (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010). (Notoatmodjo, 2010).

2.3. Kerangka Teori

Keterangan:

Warna Ungu: Tidak Diteliti

Warna Hitam: Diteliti

Balita

Sakit Diare

Perilaku dalam Penatalaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit

(MTBS) Petugas Kesehatan

Tanda dan Gejala:

- Letargis atau tidak sadar

- Mata cekung

- Tidak bisa minum atau malas

makan

- Turgor jelek

- Gelisah

- Rewel

- Haus atau banyak minum

- Adanya darah dalam tinja

buku Pedoman MTBS WHO (2005)

Penilaian berfokus pada:

-Klasifikasi -Pengobatan

-Konseling dan Tindak Lanjut

(DepKes RI, 2008) a. Predisposing factors (pengetahuan, sikap,

kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai, dsb). b. Enabling factors (lingkungan fisik,

tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana kesehatan, dsb).

c. Reinforcing factors (sikap dan perilaku) (Green, 1980 dalam Notoatmodjo, 2010)

Melalui “indikator” (hasil perilaku) responden: a. Motivasi

b. Kinerja

c. Kepatuhan

d. Partisipasi masyarakat (Notoatmodjo, 2010)

Etiologi: infeksi bakteri atau virus, kemiskinan, sanitasi lingkungan yang buruk


(65)

46 3.1. Kerangka Konsep

Dalam penelitian ini, variabel yang ingin diketahui yaitu pengetahuan dan motivasi sebagai variabel bebas (independent variables) dan perilaku petugas kesehatan dalam penatalaksanaan MTBS Diare sebagai variabel terikat (dependent variable).

Variabel pengetahuan merupakan domain dari perilaku. Pada umumnya penelitian-penelitian perilaku kesehatan selama ini mencakup 3 domain perilaku, yakni pengetahuan, sikap, dan praktik/tindakan terhadap objek kesehatan. Namun demikian masih banyak penelitian-penelitian perilaku kesehatan diluar 3 domain tersebut, salah salah satunya adalah motivasi (Notoatmodjo, 2010). Di bawah ini dijelaskan mengenai kerangka konsep yang akan diteliti di puskesmas kota Cilegon.

Bagan 3.1.1 Kerangka Konsep Penelitian Pengetahuan

Motivasi

Perilaku Petugas Kesehatan dalam Penatalaksanaan


(66)

47

3.2. Definisi Operasional

Tabel 3.2.1 Definisi Operasional No Variabel Definisi Operasional Cara

Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 1. Pengetahuan

Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare

Segala sesuatu yang diketahui, berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan

penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

Terdiri dari 7 item pertanyaan.

Pemberian skor dengan skala Guttman

1. Jawaban benar= 1 2. Jawaban salah= 0 (Siregar, 2013)

1. Baik= jika skor total jawaban≥ median (skor ≥7)

2. Cukup= jika skor total jawaban˂ median (skor˂7)

Nominal

2. Motivasi Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare

Segala sesuatu yang mendorong untuk melakukan sesuatu berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan

penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

Terdiri dari 10 item pertanyaan.

Pemberian skor

menggunakan skala Likert: Sangat Setuju= 4

Setuju= 3 Tidak Setuju= 2

Sangat Tidak Setuju= 1

1. Baik= jika skor total jawaban ≥ median (skor ≥ 34)

2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ median (skor ˂ 34)


(67)

No Variabel Definisi Operasional Cara Ukur

Alat Ukur Hasil Ukur Skala

Ukur 3. Perilaku

Petugas Kesehatan dalam Penataksanaa n MTBS Diare

Hasil pengalaman yang terwujud dalam proses interaksi dengan lingkungan berkenaan dengan MTBS Diare yang terkait dengan penatalaksanaan, pengobatan, dan tindakan penanganan diare.

Kuesioner Checklist atau daftar cek kuesioner

Terdiri dari 8 item pertanyaan.

Pemberian skor

menggunakan skala Likert: Selalu= 4

Sering= 3

Kadang-kadang= 2 Tidak pernah= 1

1. Baik= jika skor total jawaban ≥ mean (skor≥28)

2. Cukup= jika skor total jawaban ˂ mean (skor˂ 28)


(68)

49

3.3. Hipotesis

Berdasarkan kerangka konsep yang telah dibuat, maka hipotesis penelitian yang muncul adalah:

1. Ada hubungan pengetahuan dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.

2. Ada hubungan motivasi dengan perilaku petugas kesehatan penatalaksanaan MTBS Diare di Puskesmas Kota Cilegon.


(1)

perilaku_pk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 28 54.9 54.9 54.9

cukup 23 45.1 45.1 100.0

Total 51 100.0 100.0

motivasi_pk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 27 52.9 52.9 52.9

cukup 24 47.1 47.1 100.0

Total 51 100.0 100.0

pengetahuan_pk

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid baik 32 62.7 62.7 62.7

cukup 19 37.3 37.3 100.0


(2)

Lampiran 7

Hasil Olahan SPSS Bivariat

Statistics Frequencies <skor7_pengetahuan>

N Valid 51

Missing 0

Mean 6.51

Median 7.00

Mode 7

Std. Deviation .731

Minimum 4

Maximum 7

Percentiles 25 6.00

50 7.00

75 7.00

skor7_pengetahuan

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 4 1 2.0 2.0 2.0

5 4 7.8 7.8 9.8

6 14 27.5 27.5 37.3

7 32 62.7 62.7 100.0

Total 51 100.0 100.0

Statistics Frequencies <motivasi_10>

N Valid 51

Missing 0

Mean 34.12

Median 34.00

Mode 36

Std. Deviation 3.333

Minimum 28

Maximum 40


(3)

50 34.00

75 37.00

motivasi_10

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 28 1 2.0 2.0 2.0

29 5 9.8 9.8 11.8

30 1 2.0 2.0 13.7

31 6 11.8 11.8 25.5

32 4 7.8 7.8 33.3

33 7 13.7 13.7 47.1

34 5 9.8 9.8 56.9

35 1 2.0 2.0 58.8

36 8 15.7 15.7 74.5

37 4 7.8 7.8 82.4

38 4 7.8 7.8 90.2

39 1 2.0 2.0 92.2

40 4 7.8 7.8 100.0

Total 51 100.0 100.0

Statistics Frequencies <prilaku_8>

N Valid 51

Missing 0

Mean 27.76

Median 28.00

Mode 28a

Std. Deviation 3.210

Minimum 21

Maximum 32

Percentiles 25 25.00

50 28.00

75 31.00

a. Multiple modes exist. The smallest value is shown


(4)

prilaku_8

Frequency Percent Valid Percent

Cumulative Percent

Valid 21 3 5.9 5.9 5.9

23 2 3.9 3.9 9.8

24 2 3.9 3.9 13.7

25 8 15.7 15.7 29.4

26 1 2.0 2.0 31.4

27 7 13.7 13.7 45.1

28 9 17.6 17.6 62.7

29 1 2.0 2.0 64.7

30 4 7.8 7.8 72.5

31 5 9.8 9.8 82.4

32 9 17.6 17.6 100.0

Total 51 100.0 100.0

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

pengetahuan_pk * perilaku_pk

51 100.0% 0 .0% 51 100.0%

pengetahuan_pk * perilaku_pk Crosstabulation perilaku_pk

Total baik cukup

pengetahuan_pk baik Count 17 15 32

Expected Count 17.6 14.4 32.0

% within pengetahuan_pk 53.1% 46.9% 100.0% % within perilaku_pk 60.7% 65.2% 62.7%

% of Total 33.3% 29.4% 62.7%

cukup Count 11 8 19


(5)

% within pengetahuan_pk 57.9% 42.1% 100.0% % within perilaku_pk 39.3% 34.8% 37.3%

% of Total 21.6% 15.7% 37.3%

Total Count 28 23 51

Expected Count 28.0 23.0 51.0

% within pengetahuan_pk 54.9% 45.1% 100.0% % within perilaku_pk 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 54.9% 45.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square .110a 1 .741

Continuity Correctionb .002 1 .968

Likelihood Ratio .110 1 .740

Fisher's Exact Test .779 .485

Linear-by-Linear Association .107 1 .743

N of Valid Cases 51

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 8,57. b. Computed only for a 2x2 table

Case Processing Summary Cases

Valid Missing Total

N Percent N Percent N Percent

motivasi_pk * perilaku_pk 51 100.0% 0 .0% 51 100.0%

motivasi_pk * perilaku_pk Crosstabulation perilaku_pk

Total baik cukup

motivasi_pk Baik Count 19 8 27

Expected Count 14.8 12.2 27.0

% within motivasi_pk 70.4% 29.6% 100.0% % within perilaku_pk 67.9% 34.8% 52.9%


(6)

% of Total 37.3% 15.7% 52.9%

cukup Count 9 15 24

Expected Count 13.2 10.8 24.0

% within motivasi_pk 37.5% 62.5% 100.0% % within perilaku_pk 32.1% 65.2% 47.1%

% of Total 17.6% 29.4% 47.1%

Total Count 28 23 51

Expected Count 28.0 23.0 51.0

% within motivasi_pk 54.9% 45.1% 100.0% % within perilaku_pk 100.0% 100.0% 100.0%

% of Total 54.9% 45.1% 100.0%

Chi-Square Tests

Value df

Asymp. Sig. (2-sided)

Exact Sig. (2-sided)

Exact Sig. (1-sided)

Pearson Chi-Square 5.545a 1 .019

Continuity Correctionb 4.296 1 .038

Likelihood Ratio 5.640 1 .018

Fisher's Exact Test .026 .019

Linear-by-Linear Association 5.436 1 .020

N of Valid Cases 51

a. 0 cells (,0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is 10,82. b. Computed only for a 2x2 table


Dokumen yang terkait

FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN KINERJA PETUGAS KESEHATAN DALAM PELAYANAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) PUSKESMAS DI KABUPATEN JEMBER

1 6 79

PENGARUH PENGETAHUAN SIKAP DAN MOTIVASI TERHADAP PENATALAKSANAAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) PADA PETUGAS KESEHATAN DI PUSKESMAS KABUPATEN BOYOLALI

0 4 84

Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Belawan Kota Medan Tahun 2016

4 35 113

HUBUNGAN PENERAPAN MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) DIARE DENGAN KESEMBUHAN DIARE AKUT PADA BALITA DI PUSKESMAS I KARTASURA.

0 0 5

Hubungan Pelaksanaan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) Oleh Petugas Kesehatan Dengan Kepuasan Ibu Balita Sakit Di Puskesmas Parit Rantang Kota Payakumbuh Tahun 2009.

0 0 12

Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Belawan Kota Medan Tahun 2016

0 0 19

Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Belawan Kota Medan Tahun 2016

0 0 2

Analisis Penatalaksanaan Pneumonia pada Balita dengan Manajemen Terpadu Balita Sakit (MTBS) di Puskesmas Belawan Kota Medan Tahun 2016

1 1 9

PENGARUH KONSELING DALAM MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT (MTBS) TERHADAP PERILAKU IBU DALAM MERAWAT BALITA SAKIT DENGAN DIARE DI PUSKESMAS PIYUNGAN BANTUL

0 0 12

HUBUNGAN TINGKAT PENGETAHUAN TENAGA KESEHATAN DAN PENATALAKSANAAN MTBS (MANAJEMEN TERPADU BALITA SAKIT) DENGAN TINGKAT KEPUASAN ATAU KESEMBUHAN BALITA DI PUSKESMAS TEUNOM KECAMATAN TEUNOM ACEH JAYA

0 0 62