Struktur Industri dan Kemampuan Iptek Indonesia

V.5 Struktur Industri dan Kemampuan Iptek Indonesia

Menurut Buntoro (Buntoro, 2004) sebagian besar sifat industri di Indonesia cenderung tidak inovatif karena mempunyai kategori sebagai berikut:

o Usaha turun-temurun; o Peluang yang diciptakan (proyek pemerintah); o Previlege (hak-hak istimewa); o Kekuatan Permodalan.

Belajar dari industri yang berkembang di negara-negara seperti Jepang, Taiwan dan Korea Selatan (yang juga kelompok Macan Asia), terlihat sekali bahwa seberapapun skalanya, industri pada awalnya dibangun oleh orang-orang yang memiliki kompetensi, terutama kompetensi dalam teknologi proses. Oleh karena itu tidaklah mengherankan kalau ragam produk industrinya bisa sedemikian banyaknya (Buntoro, 2004).

Kalau kita cermati, industri-industri yang selama ini tumbuh di Indonesia, kebanyakan hanya mengandalkan keunggulan komparatif, baik komparatif

(permodalan, penguasaan berbagai resources) dengan industri-industri sejenis di dalam negeri maupun komparatif (upah buruh yang murah, proteksi pemerintah) terhadap pesaing di manca negara.

Pertumbuhan industri semacam itu secara alamiah akan terhenti karena keunggulan komparatif tidak bisa secara terus-menerus dieksploitasi (ada batasnya) dan cenderung menimbulkan kontroversi dan distorsi ekonomi. Karena itu kita harus membangun suatu industri yang berdasarkan proses pengembangan ilmu pengetahuan (Buntoro, 2004).

Dalam kaitan dengan pengembangan industri padat modal amatlah penting kita mengembangkan konsep sistem industri yang berkelanjutan bahkan Saswinadi Sasmodjo (2004) menekankan pentingya untuk membangun suatu kerangka institusi industri teknologi sebagai wadah pengembangan teknologi yang sesuai dengan kebutuhan industri.

Keberhasilan Jepang dalam memajukan teknologi telah dikaji oleh Christopher Freeman dalam penelitiannya yang berjudul “Technology and Economics Performance: Lessons from Japan” (Freeman, 1987 dalam LIPI (2006)). Penelitian tersebut mengungkap bahwa pesatnya kemajuan iptek Jepang hingga menjadi adidaya di bidang teknologi tidak lain disebabkan adanya interaksi dan sinergi antara pemerintah dalam hal ini Ministry for International Trade and Industry (MITI) dengan pelaku (aktor) iptek lainnya seperti industri (Keiretsu), institusi litbang, dan pendidikan.Pemerintah Jepang (MITI) memainkan peran penting sebagai regulator sehingga melahirkan kebijakan-kebijakan yang mendukung interaksi yang kondusif antar aktor di dalam memperkuat Sistem

Inovasi Nasional (SIN) 6 . Di Indonesia sendiri, penerapan SIN tidaklah jauh berbeda dengan negara-negara

berkembang lainnya. Beberapa studi menyimpulkan bahwa SIN di Indonesia belum berjalan dengan baik (Aiman, Hakim, & Simamora 2004 dalam LIPI (2006)). Selain karena secara konseptual SIN masih merupakan hal yang baru

6 SIN adalah sebuah konsep tentang penataan jejaring yang kondusif di antara para pelaku (aktor lembaga) lembaga iptek dalam suatu sistem yang kolektif dalam penciptaan (creation), penyebaran

(infancy stage), institusi yang bertanggung untuk mengembangkan dan mengkoordinasikan SIN juga belum teridentifikasi dengan baik. Ditambah lagi, kondisi dari iptek nasional sendiri yang masih dilingkupi permasalahan yang sangat kompleks, diantaranya adalah sebagai berikut: pertama, kurangnya komitmen pemerintah di dalam membangun/ memperkuat ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) nasional. Dalam konteks pembangunan nasional, iptek masih belum dianggap sebagai sektor prioritas dalam proses pembangunan negara. Menurut Amir (2003 dalam LIPI (2006)) masih terdapat discrepancies antara kebijakan ekonomi (economic policy) dengan kebijakan teknologi (technology policy) sebagai dampak adanya perbedaan paradigma dalam orientasi kebijakan publik. kedua, masih dominannya pemerintah dalam pendanaan dan kegiatan litbang iptek. Hampir 70 persen pembiayaan litbang di negara kita masih dilakukan oleh pemerintah melalui lembaga litbang. Di negara lain seperti Singapura, Taiwan, dan Amerika Serikat kontribusi pemerintah untuk kegiatan litbang sekitar 40 persen. Bahkan beberapa negara seperti Korea dan Jepang tidak lebih dari 20 persen. ketiga, tidak adanya koordinasi dan sinergi di antara pelaku iptek yaitu perguruan tinggi, lembaga riset, dan industri.

Disisi sistem pengetahuan walaupun beberapa universitas kita, termasuk ITB dan UGM, telah mencanangkan diri sebagai “universitas berbasis riset”, tingkat penelitian yang mahasiswa dan dosen masih relatif jarang. Sementara itu, lembaga litbang, meskipun telah banyak menghasilkan penemuan dan inovasi, namun hasil-hasil tersebut masih bersifat ilmiah penelitian semata dan kurang berorientasi kepada penelitian yang dapat memenuhi kebutuhan industri. Padahal faktor utama pemicu ambruknya industri nasional di Indonesia pada saat krisis ekonomi pada tahun 1997 lampau karena ketergantungan yang tinggi terhadap teknologi dari luar dan sangat sedikitnya kegiatan inovasi baik yang teknik maupun manajerial dilakukan oleh industri (Buntoro, 2004). Lemahnya kegiatan litbang di Indonesia menyebabkan rendahnya kemampuan iptek kita yang tercermin dari rendahnya tingkat paten yang terdaftar (lihat tabel 5.8).

Ditinjau dari dana pengembangan iptek, Indonesia tergolong negara yang rendah kesediaan dana untuk melakukan riset. Pengembangan dana riset sangat penting, Ditinjau dari dana pengembangan iptek, Indonesia tergolong negara yang rendah kesediaan dana untuk melakukan riset. Pengembangan dana riset sangat penting,

Dalam kerangka Sistem Inovasi Nasional pemerintah bisa merangsang para pengusaha untuk mau melakukan investasi dibidang riset dengan memberikan berbagai kemudahan insentif, seperti: insentif fiskal atau insentif perpajakan.

Singkatnya untuk membangun suatu kerangka industri yang kokoh diperlukan sinergi diantara pemerintah (sistem otoritas), sistem pasar (penyedia jasa dan material) dan sistem pengetahuan (sumber-sumber ilmu pengetahuan) --- inilah sistem inovasi ideal.