Analisa Efektivitas Mediasi ANALISA EFEKTIVITAS MEDIASI

B. Analisa Efektivitas Mediasi

1. Tinjauan Yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Salah satu kekuasaan dan kewenangan Mahkamah Agung yang berkaitan dengan pengawasan tidak langsung ialah membuat peraturan. Kekuasaan dan kewenangan itu ditegaskan pada angka 2 huruf c Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung, yang berbunyi: 53 Membuat peraturan sebagai pelengkap untuk mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran jalannya peradilan. Mengenai kategori PERMA ditinjau dari segi ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana yang digariskan oleh Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, termasuk salah satu jenis ketentuan peraturan perundang-undangan. Tentang hal itu dapat dijelaskan sebagai berikut: 54 Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan berbunyi sebagai berikut: Jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan adalah sebagai berikut: 53 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. 54 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, cet.II. Jakarta: Sinar Grafika, 2008, h.165-167. a. Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; b. Undang-UndangPeraturan Pemerintah Pengganti Undang- undang; c. Peraturan Pemerintah; d. Peraturan Presiden; e. Peraturan Daerah. Demikian hierarki peraturan perundang-undangan an sich berdasarkan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Akan tetapi, apa yang ditentukan dalam Pasal 7 ayat 1 tersebut tidak bersifat final dan limitatif karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 4 dan Penjelasan Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. Selanjutnya Pasal 7 ayat 4, berbunyi sebagai berikut: 55 Jenis Peraturan Perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat 1, diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh Peraturan Perundang- undangan yang lebih tinggi. Penjelasan Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berbunyi sebagai berikut: 55 Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain peraturan yang dikeluarkan oleh MPR dan DPR, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, BPK, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh Undang-undang atau Pemerintah atas perintah undang-undang. Bertitik tolak dari Pasal 7 ayat 4 dan penjelasan Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut, dengan tegas dinyatakan bahwa PERMA termasuk dalam kategori peraturan perundang-undangan. Bila dilihat konsideran PERMA Nomor 01 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan, dapat diketahui bahwa salah satu dasar diaturnya mediasi dalam PERMA adalah Reglemen Indonesia yang diperbaharui HIR Staatsblad 1941 Nomor 44 dan Reglemen Hukum Acara untuk Daerah Luar Jawa dan Madura RBg Staatsblad 1927 Nomor 227. Pasal 130 ayat 1 HIR berbunyi: 56 Jika pada hari yang ditentukan itu, kedua belah pihak datang, maka pengadilan negeri mencoba dengan perantaraan ketuanya akan menperdamaikan mereka itu. Selanjutnya ayat 2 mengatakan: Jika perdamaian yang demikian itu terjadi, maka tentang hal itu pada waktu bersidang, diperbuat sebuah akte, dengan nama kedua belah pihak diwajibkan untuk mencukupi perjanjian yang diperbuat itu; maka surat akte itu akan berkekuatan dan akan dilakukan sebagai putusan hakim yang biasa. 56 R. Tresna, Komentar HIR …, h. 110. Yahya Harahap menjelaskan bahwa ketentuan peraturan perundang- undangan tidak selamanya mampu memberi penyelesaian hukum yang timbul sebagai akibat perubahan sosial yang cepat rapidly social change. Berikut penjelasannya: 57 Pertama, peraturan perundang-undangan langsung konservatif. Sesaat setelah peraturan perundang-undangan diundangkan maka: ketentuan peraturan perundang-undangan itu langsung menjadi huruf atau kalimat mati, sedang pada sisi lain kebutuhan permasalahan sosial ekonomi kehidupan masyarakat berkembang terus tanpa henti, sehingga peraturan perundang-undangan yang bersangkutan tidak sesuai lagi sebagai hukum yang hidup living law yang mampu menjembatani antara rumusan peraturan perundang-undangan dengan perubahan sosial ekonomi yang terjadi; Oleh karena itu, dalam menghadapi persoalan demikian, apabila kekuasaan penafsiran dianggap kurang efektif membina keseragaman opini hukum unified legal opinion dan keseragaman kerangka hukum unified legal frame work di antara putusan pengadilan, lebih tepat MA mengeluarkan peraturan. 57 M. Yahya Harahap, Kekuasaan Mahkamah Agung: Pemeriksaan Kasasi dan Peninjauan Kembali Perkara Perdata, …, h.167-169. Kedua, tidak ada undang-undang yang sempurna. Kapan pun dan dimanapun tidak pernah manusia mampu membuat dan mencipta peraturan perundang-undangan yang sempurna. Ketiga, yang berwenang menentukan kebenaran dan keadilan adalah kekuasaan kehakiman melalui peradilan. Sesuai dengan kedudukan yang diberikan Pasal 24 ayat 1 Undang-Undang Dasar Tahun 1945 kepada kekuasaan kehakiman untuk menyenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan to enforce the law and justice, maka berdasarkan konstitusi yang berwenang untuk menegakkan kebenaran dan keadilan to enforce truth and justice yang terkandung dalam suatu peraturan perundang-undangan adalah pengadilan melalui hakim. Oleh karena itu, sejak peraturan perundang-undangan diundangkan dan dinyatakan berlaku, yang berwenang menentukan benar tidaknya dan adil tidaknya peraturan perundang-undangan dalam penerapan, langsung berpindah ke pundak kekuasaan kehakimanbadan peradilan. Sedang pembuat peraturan perundang-undangan yang bersangkutan berada di belakang sebagai penonton. Sehubungan dengan itu, apabila ternyata peraturan perundang- undangan itu mengandung berbagai kekosongan maupun telah tertinggal dengan perkembangan kebutuhan masyarakat, dianggap tepat apabila MA mengeluarkan peraturan yang bersifat komplementer complementary. PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan mengikat dan daya paksa bagi para pihak yang berperkara di pengadilan, karena bila tidak melaksanakan mediasi, maka putusan pengadilan menjadi batal demi hukum. 58 Setiap pemeriksaan perkara perdata di pengadilan harus diupayakan perdamaian dan mediasi sendiri merupakan kepanjangan upaya perdamaian. 59 Mediasi akan menjembatani para pihak dalam menyelesaikan masalah yang buntu agar mencapaimemperoleh solusi terbaik bagi mereka. 60 Berdasarkan teori efektivitas hukum yang penulis gunakan sebagai alat ukur penelitian ini, PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan memiliki kekuatan hukum yang mengikat dan ada daya paksa bagi masyarakat. Oleh karenanya, penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut: a. PERMA tidak termasuk dalam hierarki peraturan perundang-undangan sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. b. Jenis peraturan perundang-undangan yang disebutkan dalam Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang tersebut tidaklah bersifat final dan limitatif, 58 Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan Sulfita Netti, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 59 Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 60 Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. karena terdapat jenis peraturan perundang-undangan lain yang diakui keberadannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi sebagaimana disebut dalam Pasal 7 ayat 4 dan Penjelasan Pasal 7 ayat 4 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tersebut. c. Landasan yuridis PERMA Nomor 1 Tahun 2008 adalah peraturan perundang-undangan, sehingga diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat. PERMA merupakan pelengkap peraturan perundang-undangan yang telah ada. Sehingga bertujuan mengisi kekosongan hukum. d. Mahkamah Agung memiliki kewenangan membuat peraturan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 Tentang Mahkamah Agung. Oleh karena itu, penerbitan PERMA tidak bertenangan dengan hukum dan aturan perundang-undangan. 2. Kualifikasi Mediator Mediator memiliki peran yang sangat penting akan keberhasilan mediasi. Oleh karena itu, mereka harus memiliki kemampuan yang baik agar proses mediasi dapat berjalan lancar dan sesuai dengan prosedur yang telah diatur dalam PERMA Nomor 1 Tahun 2008 Tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan. Pasal 9 PERMA Nomor 1 Tahun 2008 mengatur tentang daftar mediator sebagai berikut: 1 Untuk memudahkan para pihak memilih mediator, Ketua Pengadilan menyediakan daftar mediator yang memuat sekurang-kurangnya 5 lima nama mediator dan disertai dengan latar belakang pendidikan atau pengalaman para mediator. Ketua Pengadilan yang menentukan daftar mediator. Dalam daftar tersebut tertulis latar belakang pendidikan masing-masing mediator, namun penulis mendapatkan daftar mediator di Pengadilan Agama Depok tidak tercantum pengalaman yang dimaksud dalam Pasal 9 ayat 1 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 2 Ketua pengadilan menempatkan nama-nama hakim yang telah memiliki sertifikat dalam daftar mediator. 3 Jika dalam wilayah pengadilan yang bersangkutan tidak ada mediator yang bersertifikat, semua hakim pada pengadilan yang bersangkutan dapat ditempatkan dalam daftar mediator. Hakim di Pengadilan Agama Depok yang telah memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 dua orang, sehingga semua hakim disana ditempatkan dalam daftar mediator. 4 Mediator bukan hakim yang bersertifikat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan agar namanya ditempatkan dalam daftar ,mediator pada pengadilan yang bersangkutan. 5 Setelah memeriksa dan memastikan keabsahan sertifikat, Ketua Pengadilan menempatkan nama pemohon dalam daftar mediator. Jumlah hakim yang telah memiliki sertifikat mediator sangat sedikit namun kebutuhan akan mediator sangat mendesak, maka semua hakim ditetapkan menjadi mediator. Ketua Pengadilan yang menempatkan nama- nama hakim dalam daftar mediator. 6 Ketua Pengadilan setiap tahun mengevaluasi dan memperbarui daftar mediator. Daftar mediator setiap tahun dievaluasi dan diperbaharui oleh Ketua Pengadilan. Dalam buku laporan pemberdayaan lembaga perdamaian dapat diketahui jumlah mediasi yang berhasil dan gagal. Begitu pula, daftar mediator dapat berubah tiap tahun akibat mutasi hakim. Berikut daftar mediator di Pengadilan Agama Depok: Tabel 5 DAFTAR MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NO NAMANIP PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR 1 Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 2 Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 3 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 4 Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968 5 Drs. Sarnoto, M.H. S 1 Univ Muhammadiyah Surakarta 19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar Kulon Progo, 25 Desember 1967 6 Dra. Sulfita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol Padang 19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958 7 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta 19680915.199403.2.004 S 1 Univ Muhammadiyah Sumatera Jakarta, 15 September 1968 8 Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Sukapura, 3 Agustus 1969 9 Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 10 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 12 September 1956 11 Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta 19570714.198003.2.005 13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung 19600924.199103.2.001 14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19590919.198903.1.001 S 2 Universitas Islam Jakarta 15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta 19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta 16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon 19560726.198003.2.001 Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat. Dari 16 enam belas hakim yang ditetapkan sebagai mediator, hanya ada 2 dua orang yang telah memiliki sertifikat mediator, yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H.dan Drs. Sarnoto, M.H. Para hakim mediator yang tidak memiliki sertifikat mediator dikarenakan belum mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh Mahkamah Agung RI pada tahun 2009 yang lalu. Pelatihan mediator sangat terbatas jumlahnya, karena diselengarakan Mahkamah Agung RI secara nasional, sehingga pesertanya sangat terbatas. 61 Idealnya Mahkamah Agung RI perlu memberikan pelatihan mediator kepada seluruh hakim di pengadilan agama, agar: a Para hakim mediator bisa bekerja maksimal sewaktu melakukan mediasi. 62 Bila telah mendapatkan pelatihan, mereka telah memiliki kemampuan sesuai dengan fungsi dan peran mediator. b Mediasi berjalan efektif. 63 Mediator yang terlatih akan mampu mengorganisir proses mediasi dengan baik. c Menambah keterampilan hakim dalam melakukan mediasi. 64 Mereka akan memiliki teknik-teknik yang terprogram. 65 Tugas mediator berbeda 61 Wawancara dengan Fauziah, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011 dan dengan E. Kurniati, Sulkha Herawati, Bambang Hermanto, dan Sulfita Netti, kesemuanya Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 62 Wawancara dengan Sulfita Netti, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 63 Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. dengan hakim saat di persidangan. Bila di persidangan hakim sangat menjaga wibawa pengadilan, sedangkan saat menjadi mediator ia harus lebih luwes dan komunikatif, karena berfungsi sebagai penengah konflik antara para pihak. d Lebih siap saat ditunjuk menjadi mediator. 66 Kenyataannya seluruh hakim ditetapkan oleh Ketua Pengadilan menjadi mediator, dikarenakan jumlah hakim yang bersertifikat masih sangat sedikit. Dalam skripsi ini, penulis meneliti perolehan mediator selama bertugas menangani perkara dalam lembaga perdamaian tahun 2009 dan 2010 sebagai berikut: 64 Wawancara dengan Sarnoto dan Fauziah, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 65 Wawancara dengan E. Kurniati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 66 Wawancara dengan Sulkha Herawati, Hakim Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. Tabel 6 NO NAMA MEDIATOR MEDIASI YANG DITANGANI TAHUN 2009 PORSENTASE TAHUN 2010 PORSENTASE BERHASIL GAGAL BERHASIL BERHASIL GAGAL BERHASIL 1 Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. 2 Dra. Hj. Fauziah, M.H. 10 3 Drs. Azid Izuddin, M.H. 2 3 4 Dra. Taslimah, M.H. 2 5 28,5 3 5 Drs. Sarnoto, M.H. 8 49 14 9 39 18,7 6 Dra. Sulfita Netty, S.H. 3 7 Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. 3 18 14,2 16 8 Drs. Agus Abdullah, M.H. 4 31 11,4 1 28 3,4 9 Dra. Hj. Siti Nadirah 3 43 6,5 1 20 4,7 10 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. 10 35 22,2 1 9 10 11 Dra. Nurmiwati 1 15 6,2 1 6 14,2 12 Hj. Suciati, S.H. 8 13 Dra. Rogayah 14 Drs. Bambang Hermanto, M.H. 2 15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. 9 16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. 17 Dari tabel 6 diatas, ada hal-hal yang perlu dikaji. Pertama, diketahui bahwa hakim yang memiliki sertifikat mediator hanya ada 2 dua orang yakni Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. dan Drs. Sarnoto, M.H., namun yang melaksankan fungsi mediator hanya Drs. Sarnoto, M.H. Sangat disayangkan hakim yang telah bersertifikat tidak melaksanakan fungsi mediator padahal telah ditetapkan oleh ketua pengadilan. Ini bertolak belakang dengan tujuan MA yang menyelenggarakan pelatihan mediator agar para hakim yang melaksanakan fungsi mediator memiliki SDM yang berkualitas. Kedua, tidak ada pemerataan tugas sebagai mediator. Ada hakim yang telah ditetapkan sebagai mediator, namun tidak pernah melaksanakan fungsi tersebut. Ada pula hakim mediator yang menangani mediasi lebih banyak dari yang lainnya. Padahal selain yan telah bersertifikat, kemampuan mereka adalah sama. Ketiga, tahun 2009 diketahui angka porsentase keberhasilan mediator sangat kecil. Tidak ada yang mencapai 50, bahkan 30 pun tidak. Begitu pula tahun 2010, angkanya menurun. Tidak ada yang mencapai 25. Bahkan banyak yang tidak berhasil sama sekali selama menjalankan fungsi mediator. Keempat, ada angka kenaikan porsentase keberhasilan pada Drs. Sarnoto, M.H., sebagai satu-satunya hakim bersertifikat yang menjalankan fungsi mediator. Pada tahun 2009, porsentase mencapai 14 kemudian meningkat di tahun 2010 sebesar 18,7. Kenaikan tersebut dapat dipengaruhi oleh kemampuannya setelah mengikuti pelatihan mediator di tahun 2009. Dalam tabel pula dapat diketahui bahwa angka mediasi yang dilakukan terbanyak diantara hakim lainnya. Namun angka keberhasilannya masih sangat kecil, belum mencapai 50. Sehingga bila dibandingkan dengan mediator lain perbedaan tidak terlalu jauh. Penulis memberikan kesimpulan bahwasanya ada beberapa hal yang harus diperbaiki dalam hal kualifikasi mediator sebagai berikut: a. Sumber Daya mediator harus diperbaiki dengan cara memberikan pelatihan kepada mereka. Mediasi adalah salah satu bentuk dari Alternatif Penyelesaian Sengketa ADR yang berbeda dengan litigasi, sehingga para hakim yang ditetapkan menjadi mediator wajib mendapatkan pelatihan yang baik. Dalam hal ini Mahkamah Agung RI yang harus mengambil inisiatif agar pelatihan mediator dapat segera diberikan lebih banyak lagi. b. Pengadilan Agama Depok harus menyediakan mediator bersertifikat dari luar pengadilan. Hal ini karena jumlah hakim yang ditetapkan menjadi mediator yang bersertifikat hanya ada 2 dua orang. c. Pemberian insentif bagi hakim yang berhasil menjalankan fungsi mediator. Sampai saat ini Mahkamah Agung RI belum menerbitkan PERMA tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang menjalankan fungsi mediator, padahal sudah diamanatkan dalam Pasal 25 ayat 2 PERMA Nomor 1 Tahun 2008. 67 d. Hakim yang melaksanakan fungsi mediator dan telah bersertifikat cenderung memiliki tingkat keberhasilan yang lebih bila dibandingkan dengan hakim yang melaksanakan fungsi mediator tidak memiliki sertifikat. Namun, angka keberhasilan tersebut tidak terlalu jauh. Hakim 67 Pasal tersebut berbunyi: 2 Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung tentang kriteria keberhasilan hakim dan insentif bagi hakim yang.berhasil menjalankan fungsi mediator. yang telah bersertifikat pun angka keberhasilannya sangat kecil, tidak mencapai 50. e. Pelatihan mediator bagi para hakim yang menjalankan fungsi mediator bukan satu-satunya jalan keberhasilan mediasi di pengadilan. Hakim yang telah bersertifikat pun belum mampu menggapai angka keberhasilan mediasi yang cukup tinggi. Namun bukan berarti MA tidak perlu memberikan pelatihan, tetapi pelatihan harus tetap diberikan kepada semua hakim yang menjalankan fungsi mediator dan memberikan pengawasan dan evaluasi secara teratur akan kinerja mereka. 3. Fasilitas dan Sarana Ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok hanya ada 1 satu ruang yang didalamnya dibagi menjadi 3 tiga bagian tanpa diberi sekat atau pembatas. Tiap bagian disediakan 1 buah meja dan 3 tiga buah kursi. Dalam ruang tersebut dapat dilakukan 3 tiga proses mediasi sekaligus. Fasilitas ruang mediasi masih kurang ideal bagi proses mediasi. Faktor-faktor yang menyebabkan tidak idealnya ruang mediasi adalah: a. Ruangan yang sempit sehingga membuat tidak nyaman para pihak dan mediator sendiri. b. Tidak adanya sekat pembatas di antara 3 tiga meja sehingga bila dilangsungkan proses mediasi secara bersamaan membuat para pihak tidak nyaman karena proses tidak lagi tertutup. 68 c. Ruang yang tersedia hanya 1 satu, tidak sebanding dengan jumlah orang yang akan melakukan mediasi. Para pihak seringkali terlihat mengantri. 69 d. Tidak tersedianya ruang untuk kaukus. 70 Padahal proses kaukus adalah sebagai alternatif yang dapat diupayakan oleh mediator untuk proses perdamaian para pihak. e. Fasilitas pendukung yang kurang seperti proyektor dan ketersediaan air minum. 71 Namun walaupun demikian, ruang mediasi di Pengadilan Agama Depok menggunakan Air Conditioner AC yang menjadikan ruangan tersebut terasa sejuk. Pengadilan Agama Depok terus berbenah diri untuk memperbaiki dan menambah fasilitas dan sarana ruang mediasi. Selain itu, perawatan 68 Wawancara dengan Fauziah pada tanggal 10 Mei 2011, Sulfita Netti pada tanggal 11 Mei 2011, Umar Faruq dan Nurmiwati pada tanggal 13 Mei 2011. Semuanya adalah Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat. 69 Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 70 Wawancara dengan Sarnoto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 10 Mei 2011. 71 Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. terhadap fasilitas dan sarana tetap dilakukan dengan baik dengan melakukan evaluasi setiap bulannya. Demi kemudahan para pihak yang akan mengikuti proses mediasi, di pintu ruang mediasi terpampang jadual mediator. Dalam jadual tercantum nama-nama mediator disertai latar belakang pendidikan dan hari para mediator bertugas. Setiap hari ada 3 tiga orang mediator yang bertugas. Semuanya berasal dari hakim. Pengadilan Agama Depok belum menyediakan mediator dari luar pengadilan, karena masih dianggap belum dibutuhkan. Berikut jadual mediator yang ada di Pengadilan Agama Depok: Tabel 7 JADUAL MEDIATOR PADA PENGADILAN AGAMA DEPOK NO HARI NAMANIP PENDIDIKAN TEMPAT TANGGAL LAHIR 1 SENIN Drs. H. Uu Abdul Haris, M.H. S 1 IAIN Bandung 19630623.198903.1.004 S 2 UNTAG Jakarta Kadipaten, 23 Juni 1963 2 Dra. Hj. Fauziah, M.H. S 1 IAIN Sunan Ampel Surabaya 19671108.199303.2.001 S 2 UNTAG Jakarta Surabaya, 8 November 1967 3 Drs. Azid Izuddin, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19620713.1993.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Bogor, 13 Juli 1962 4 SELASA Dra. Taslimah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19680314.199303.2.005 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 14 Maret 1968 5 Drs. Sarnoto, M.H. S 1 UM Surakarta 19671225.199403.1.005 S 2 UMI Makassar Kulon Progo, 25 Desember 1967 6 Dra. Suifita Netty, S.H. S 1 IAIN Imam Bonjol 19580803.199403.2.001 S 2 UNIHAZ Simabur Tanah Datar, 3 Agustus 1958 7 RABU Dra. Sulkha Herwiyanti, S.H. S 1 IAIN Jakarta 19680915.199403.2.004 S 1 UM Sumatera Jakarta, 15 September 1968 8 Drs. Agus Abdullah, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19690803.199403.1.003 S 2 UNTAG Jakarta Sukapura, 3 Agustus 1969 9 Dra. Hj. Siti Nadirah S 1 IAIN Makassar 19661119.199303.2.002 Ujung Pandang, 19 November 1966 10 Drs. H. A. Baidhowi, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19560912.198511.1.001 S 2 UNTAG Jakarta Jakarta, 12 September 1956 11 KAMIS Dra. Nurmiwati S 1 IAIN Yogyakarta 19671225.199303.2.002 Bone, 25 Desember 1967 12 Hj. Suciati, S.H. S 1 Universitas Jakarta 19570714.198003.2.005 13 Dra. Rogayah S 1 IAIN Bandung 19600924.199103.2.001 14 JUMAT Drs. Bambang Hermanto, M.H. S 1 IAIN Jakarta 19590919.198903.1.001 S 2 UIJ 15 Umar Faruq, S.Ag., M.HI. S 1 IAIN Yogyakarta 19700101.199703.1.007 S 2 UII Yogyakarta 16 E. Kurniawati Imron, S.Ag. S 1 STAI Cirebon 19560726.198003.2.001 Sumber diperoleh dari Endang Ridwan, Wakil Panitera di Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat. 4. Kepatuhan Masyarakat Bila kita lihat laporan pemberdayaan lembaga perdamaian di tahun 2009, dapat diketahui bahwa tingkat keberhasilan mediasi adalah 14,1 . Kemudian pada tahun 2010 tingkat keberhasilannya adalah 6,9 . Porsentase keberhasilannya tahun 2010 menurun 7,2 . Lihat Bab Tingkat Keberhasilan Mediasi Penulis melakukan klasifikasi lebih mendetail, dari sejumlah angka mediasi yang akan dapat diketahui angka cerai talak dan cerai gugat. Berikut data yang penulis sajikan. Tabel 8 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2009 NO BULAN JENIS PERKARA KETERANGAN JUMLAH BERHASIL GAGAL CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT 1 Januari 22 18 5 10 17 8 40 2 Februari 8 9 1 3 7 6 17 3 Maret 12 18 12 18 30 4 April 7 10 2 1 5 9 17 5 Mei 10 16 1 3 9 13 26 6 Juni 16 24 4 16 20 40 7 Juli 4 6 1 4 5 10 8 Agustus 11 9 1 10 9 20 9 September 4 3 4 3 7 10 Oktober 8 9 2 8 7 17 11 November 11 13 1 1 10 12 24 12 Desember 13 8 1 1 12 7 21 TOTAL 126 143 12 26 114 117 269 Dalam tabel 10 diketahui perkara cerai gugat 53,1 lebih banyak daripada perkara cerai talak 46,8. Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2009. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2009 adalah 9,5. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 18,1. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 90,4. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 81,8. Berdasarkan angka-angka tersebut, penulis berkesimpulan bahwa angka cerai gugat lebih tinggi daripada cerai talak. Bila dibandingkan dengan angka perceraian secara nasional pun demikian. Namun yang menarik adalah keberhasilan mediasi di Pengadilan Agama Depok lebih banyak terjadi pada perkara cerai gugat. Perbandingan porsentasenya pun cukup jauh. Selanjutnya, mari kita bandingkan dengan data di tahun 2010 sebagai berikut: Tabel 9 LAPORAN PEMBERDAYAAN LEMBAGA PERDAMAIAN PENGADILAN AGAMA DEPOK TAHUN 2010 NO BULAN JENIS PERKARA KETERANGAN JUMLAH BERHASIL GAGAL CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI CERAI PERKARA TALAK GUGAT TALAK GUGAT TALAK GUGAT 1 Januari 8 9 1 7 9 17 2 Februari 8 14 2 2 6 12 22 3 Maret 8 8 8 8 16 4 April 1 6 1 6 7 5 Mei 2 2 1 2 1 4 6 Juni 6 6 1 6 5 12 7 Juli 3 9 1 2 9 12 8 Agustus 5 7 1 5 6 12 9 September 10 9 2 1 8 8 19 10 Oktober 11 November 16 10 1 16 9 26 12 Desember 14 26 14 26 40 TOTAL 81 106 6 7 75 99 187 Data hilang, tidak tercantum dalam laporan tahunan. Dalam tabel 11 diketahui perkara cerai gugat 56,6 lebih banyak daripada perkara cerai gugat 43,3. Bahkan rata-rata tiap bulan angka cerai gugat lebih tinggi dibandingkan dengan cerai talak sepanjang tahun 2010. Angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai talak di tahun 2010 adalah 7,4. Sedangkan angka keberhasilan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 6,6. Kemudian angka kegagalan mediasi pada perkara cerai talak adalah 92,5. Lalu angka kegagalan mediasi pada perkara cerai gugat adalah 93,3. Dibandingkan dengan data tahun 2009 pada tabel 8, diketahui bahwa angka cerai gugat masih lebih banyak daripada cerai talak. Namun angka keberhasilan menunjukkan perbedaan. Porsentase keberhasilan mediasi dalam perkara cerai talak lebih tinggi sedikit daripada angka keberhasilan perkara cerai gugat. Ini berbeda dengan tahun 2009. Sehingga penulis berkesimpula bahwa di tahun 2010 angka keberhasilan mediasi perkara cerai talak lebih tinggi. Oleh karena itu, angka keberhasilan sifatnya fluktuatif. Dapat berubah setiap tahunnya. Setelah mengetahui angka-angka keberhasilan mediasi, penulis memberikan catatan mengenai perilaku dan sikap para pihak selama menjalani proses mediasi yang mempengaruhi kepatuhan mereka dalam menjalani proses mediasi sebagai berikut: a. Seringkali salah satu pihak atau keduanya merasa paling benar. 72 Mediator kesulitan mendalami masalah karena sikap mereka yang tidak kooperatif selama proses mediasi. Sikap egois sering muncul pada diri para pihak. b. Sebelum para pihak memasuki pemeriksaan perkara di persidangan, sering kali mereka sudah bersepakat untuk memutuskan ikatan 72 Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. perkawinan. 73 Sehingga saat dilakukan mediasi, sangat sulit bahkan gagal untuk didamaikan. c. Komunikasi para pihak sudah lama terputus. 74 Konflik yang telah berlarut-larut menyebabkan kedua belah pihak sudah tidak ada iktikad untuk damai. d. Para pihak ada juga yang kooperatif, namun sikap tersebut mereka lakukan agar proses mediasi cepat selesai hingga dapat dilanjutkan ke proses persidangan selanjutnya. Mereka mengikuti mediasi hanya sebagai formalitas semata. 5. Kebudayaan Berkaitan dengan kebudayaan masyarakat dalam skripsi ini yang dimaksud adalah budaya masyarakat muslim yang berperkara di pengadilan agama. Alasan ini sangat tepat karena disebutkan dalam Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 07 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 03 Tahun 2006 dan terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 sebagai berikut: 1. Peradilan Agama adalah peradilan bagi orang-orang yang beragama Islam. 73 Wawancara dengan Sulkha Herawati dan E. Kurniati, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. 74 Wawancara dengan Bambang Hermanto, Hakim Mediator Pengadilan Agama Depok, Jawa Barat pada tanggal 11 Mei 2011. Dalam pasal di atas, dapat diketahui bahwa hanya orang-orang yang beragama Islam yang dapat menyelesaikan perkaranya di pengadilan agama. Sehingga perkara perceraian yang masuk dipastikan para pihaknya adalah muslim. Penulis melihat kecenderungan angka perceraian di Pengadilan Agama semakin meningkat tiap tahunnya. Berikut perbandingan angka perceraian, baik cerai talak maupun cerai gugat dalam kurun waktu 4 empat tahun terakhir: Diagram 1 ANGKA PERCERAIAN DI PENGADILAN AGAMA 4 EMPAT TAHUN TERAKHIR 75 75 Sumber: E-book Profil Peradilan Agama Tahun 2007 diakses dari http:www.badilag.netdataPROFILebook-profil-PA07en.pdf, Tahun 2008 diakses dari http:badilag.mahkamahagung.go.iddataditbinadpaTABEL20DATA20PERSENTASE20PER KARA20CT20CG20PERK20LAIN20YG20DIPUTUS20TAHUN202008.pdf , Tahun 2009 diakses dari http:www.badilag.netdataditbinadpaperadilan20agama20V20indonesia202009.pdf, dan Tahun 2010 diakses dari http:www.badilag.netdataPROFILperadilan20agama20V20indonesia202010.pdf. 54.645 63.943 67.124 74.131 94.245 111.145 126.065 149.24 20 40 60 80 100 120 140 160 2006 2007 2008 2009 Cerai Talak Cerai Gugat Bila kita perhatikan diagram di atas, maka kita dapat mengetahui bahwa angka perceraian mengalami kenaikan setiap tahunnya. Kenaikan yang terjadi pun cukup tinggi per tahunnya. Pada tahun 2006 terjadi 54.645 32,50 perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 94.245 56,20 perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Untuk tahun 2007 terjadi 63.943 31,845 perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 111.145 55,352 perkawinan yang putus akibat cerai gugat . Pada tahun 2008 terjadi 67.124 28,31 perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 126.065 53,16 perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Selanjutnya pada tahun 2009 terjadi 74.131 28,76 perkawinan yang putus akibat cerai talak dan 149.240 57,89 perkawinan yang putus akibat cerai gugat. Melalui diagram diatas, penulis melihat bahwa angka perceraian yang terjadi tiap tahunnya selalu meningkat. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya perceraian pada Peradilan Agama di tingkat pertama. Pertama, moral. Persoalan moral pun memberikan andil untuk memantik krisis keharmonisan rumah tangga. Modusnya mengambil tiga bentuk, suami melakukan poligami tidak sesuai aturan poligami tidak sehat, krisis akhlak perilaku salah satu pihak yang rusakamoral dan cemburu yang berlebihan. Kedua, meninggalkan kewajiban. Ini disebabkan salah satu pihak tidak bertanggungjawab akan kewajibannya selama menjalani ikatan perkawinan, seperti nafkah baik lahir maupun batin. Ketiga, kawin dibawah umur. Biasanya terjadi pada pihak istri yang sejarah perkawinannya dipaksa oleh kedua orang tuanya yang kemudian hari banyak menimbulkan ketidakharmonisan diantara pasangan suami istri. Keempat, dihukum. Salah satu pihak dijatuhi hukum pidana oleh pengadilan. Kelima, cacat biologis. Salah satu pihak memiliki cacat fisik yang tidak dapat disembuhkan, sehingga menyebabkan tidak dapat melaksanakan kewajiban. Keenam, terus menerus berselisih. Perselisihan dalam perkawinan yang berujung pada peristiswa perceraian ini dapat disebabkan oleh ketidak harmonisan pribadi, gangguan pihak ketiga, dan faktor politis. Ketujuh, dan lain-lain. Berikut faktor-faktor penyebab perceraian perbandingan tahun 2006, 2007, 2008, dan 2009. Diagram 2 Tabel 10 NO PENYEBAB CERAI JUMLAH DARI JUMLAH TOTAL 1. Moral 9.457 6,35 2. Meninggalkan Kewajiban 74.042 49,72 3. Kawin dibawah Umur 387 0,25 4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.110 0,74 5. Dihukum 213 0,14 6. Cacat Biologis 609 0,41 7. Terus Menerus Berselisih 63.068 42,41 8. Lain-lain 4 0,02 JUMLAH 148.890 100 Diagram 3 Tabel 11 NO PENYEBAB CERAI JUMLAH DARI JUMLAH TOTAL 1. Moral 10.090 6,39 2. Meninggalkan Kewajiban 77.528 49,13 3. Kawin dibawah Umur 513 0,32 4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.845 1,16 5. Dihukum 356 0,22 6. Cacat Biologis 1.621 1,02 7. Terus Menerus Berselisih 65.818 41,71 8. Lain-lain JUMLAH 157.771 100 6.39 49.13 0.32 1.16 0.22 1.02 41.71 Faktor-faktor Penyebab Perceraian Tahun 2007 Moral Meninggalkan Kewajiban Kawin dibawah Umur Menyakiti Jasmani dan Rohani Dihukum Cacat Biologis Terus Menerus Berselisih Lain-lain Diagram 4 Tabel 12 NO PENYEBAB CERAI JUMLAH DARI JUMLAH TOTAL 1. Moral 12.469 6,63 2. Meninggalkan Kewajiban 95.296 50,68 3. Kawin dibawah Umur 408 0,22 4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 1.942 1,03 5. Dihukum 300 0,16 6. Cacat Biologis 1.080 0,57 7. Terus Menerus Berselisih 76.482 40,67 8. Lain-lain 60 0,03 JUMLAH 188.037 100 Tabel 13 NO PENYEBAB CERAI JUMLAH DARI JUMLAH TOTAL 1. Moral 15.966 7,38 2. Meninggalkan Kewajiban 106.501 49,24 3. Kawin dibawah Umur 384 0,18 4. Menyakiti Jasmani dan Rohani 2.552 1,18 5. Dihukum 459 0,21 6. Cacat Biologis 865 0,40 7. Terus Menerus Berselisih 88.753 41,04 8. Lain-lain 806 0,37 JUMLAH 216.286 100 Kenaikan angka putusnya perkawinan tiap tahunnya dapat terjadi akibat perubahan-perubahan sosial dalam masyarakat. Menurut William J. Goode, 76 perubahan ini merupakan interaksi dari beberapa faktor. Mungkin yang terpenting adalah berkurangnya ketidaksetujuan akan perceraian itu 76 William J. Goode, Sosiologi Keluarga, cet.VII. Penerjemah Lailahanoum Hasyim. Jakarta: Bumi Aksara, 2007, h. 190. sendiri. Boleh dikatakan bahwa setengah abad yang lalu, hampir setiap yang bercerai kehilangan kehormatannya dalam lingkungan sosialnya, itu pun kalau tidak dikucilkan sama sekali. Kedua, penggantian yang tersedia bagi mereka yang bercerai juga telah berubah. Karena banyak orang bercerai, banyak kemungkinan untuk memperoleh pasangan yang baru. Antara 85-90 persen dari mereka yang bercerai antara umur 20-40 banyak kemungkinan kawin lagi. Lagi pula karena sekarang orang jarang tinggal di tanah pertanian, tenaga yang waktu itu ada dalam diri suami atau istri dapat dibeli dari tenaga ahli. Hal ini merupakan keuntungan bagi seorang wanita yang diceraikan untuk dapat menunjang diri sendiri, meskipun penghasilannya itu tidak akan sama besarnya denganm seorang laki-laki. Dengan demikian, tekanan sosial dari teman-teman dan sanak agar tetap dalam pernikahan mulai melemah, lain daripada waktu setengah abad yang lalu. Gejala meningkatnya angka perceraian pada Peradilan Agama dari tahun ke tahun, menurut penulis dapat dipengaruhi oleh hal-hal berikut: a. Tingginya angka kelahiran di Indonesia secara tidak langsung meningkatkan angka perkawinan laki-laki dan perempuan. Semakin banyak penduduk, berarti semakin banyak orang yang butuh untuk memenuhi kebutuhannya seperti kebutuhan biologis yakni dengan perkawinan selain memiliki tujuan yang lain seperti ketenangan batin dan sebagainya. b. Persepsi masyarakat muslim tentang perceraian. Islam mengajarkan bahwa talak adalah perbuatan halal walaupun dibenci. Namun tidak ada ulama yang mengharamkan perceraian. Apalagi bila perceraian adalah sebagai jalan keluar dari konflik rumah tangga yang akan membahayakan salah satu pihak atau keduanya. c. Tekanan sosial bagi pelaku perceraian yang semakin mengendur. Pada masa lalu ada kesan stereotip bagi laki-laki danatau wanita yang memutuskan ikatan perkawinan dengan pasangannya. Namun saat ini kesan itu sudah berkurang, bahkan cenderung hilang di lingkungan masyarakat perkotaan. d. Semakin meningkatnya kualitas pendidikan masyarakat terutama perempuan. Maka istri yang berpendidikan tinggi jika diceraikan oleh suaminya tidak lagi khawatir akan nafkah dirinya dan anak-anaknya. Dengan bekal pendidikan yang dimiliknya, seorang wanita dapat mencari pekerjaan untuk pemenuhan kebutuhannya. Maka dapat kita lihat pada tahun 2006-2009, angka cerai gugat lebih tinggi dari pada angka cerai talak.

C. Tingkat Keberhasilan Mediasi