I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Impor buah akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan bahwa permintaan pasar belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri.
Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka Indonesia akan sangat tergantung dari produk hortikultura impor. Oleh karena itu, benih bermutu yang
merupakan varietas unggul merupakan kunci utama untuk menghasilkan produk hortikuktura yang berkualitas. Pepaya sebagai produk hortikultura
merupakan komoditas buah nasional yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri. Rendahnya produksi pepaya saat ini
antara lain disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang bermutu, sedangkan benih hortikultura yang bermutu umumnya adalah benih hibrida
impor dan harganya relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan petani Sujiprihati, 2006.
Indonesia sebagai salah satu negara produsen pepaya terbesar di dunia ternyata belum mampu menjaga kestabilan peningkatan produksi setiap
tahunnya. Nilai produksi pepaya cenderung fluktuatif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik 2014, dinyatakan bahwa total produksi buah pepaya
nasional mengalami peningkatan dari tahun 2008, yaitu 717.899 ton menjadi 772.844 ton pada tahun 2009. Produksi buah pepaya mengalami penurunan
produksi pada tahun 2010 menjadi 675.801 ton dan meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 906.312 ton. Produksi buah pepaya di Indonesia tumbuh
signifikan rata-rata sebesar 8 selama periode 2008 hingga 2012.
Pepaya Carica papaya L. merupakan salah satu buah tropika unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hingga
saat ini benih tetap merupakan bahan utama dalam perbanyakan pepaya. Pengembangan
pepaya memerlukan
ketersediaan benih
secara berkesinambungan, sebab peremajaan tanaman selalu diperlukan untuk
mendapatkan potensi produksi yang baik. Saat ini ketersediaan benih pepaya
1
commit to user
yang berkualitas dan bersertifikat masih kurang. Selain untuk kepentingan komersial, penanganan benih pepaya juga penting untuk pengelolaan plasma
nutfah yang selama ini lebih banyak dikelola secara in situ karena daya simpan benihnya yang relatif singkat.
Pepaya umumnya diperbanyak dengan cara generatif menggunakan biji. Selain itu dapat juga dilakukan
dengan cara vegetatif, namun cara ini jarang digunakan. Kelemahan cara vegetatif seperti stek dan cangkok membutuhkan tanaman induk yang banyak
untuk perbanyakan masal. Ketersediaan benih dengan mutu dan jumlah yang mencukupi menjadi prioritas dalam perluasan areal tanaman pepaya untuk
memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat Wulandari, 2009. Menurut Sadjad 1993 benih berkualitas adalah benih yang menjamin mutu
fisik, mutu genetik, dan mutu fisiologis. Untuk menduga mutu fisiologis dari suatu benih dapat diketahui melalui kadar air benih, pendugaan viabilitas
melalui tolok ukur daya berkecambah, pendugaan vigor benih melalui tolok ukur indeks vigor, kecepatan tumbuh, daya hantar listrik dan tetrazolium.
Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 48PermentanSR.12082012 Tentang Produksi, Sertifikasi Dan Pengawasan
Peredaran Benih Hortikultura pada Pasal 48, untuk mengetahui mutu fisik, fisiologi danatau status kesehatan benih yang berbentuk biji dilakukan
pengujian mutu benih di laboratorium. Pengujian mutu benih di laboratorium dilakukan terhadap contoh benih yang mewakili kelompok benih. Referensi
pengujian mutu benih dan pengambilan contoh benih mengacu pada ketentuan “International Seed Testing Association” ISTA Rules. Pengujian
laboratorium dinyatakan lulus apabila memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal uji laboratorium. Sampai dengan saat ini
pengujian mutu benih pepaya belum tercakup dalam ISTA Rules 2014 sebagai acuan dalam pengujian mutu benih.
Dalam pengujian mutu benih, setiap produsen benih selalu menginginkan agar benihnya dapat segera dipasarkan sesuai dengan Undang-
undang No.12 tahun 1992, benih dapat diedarkan apabila telah dipasang label. perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
Data pada label tersebut harus sesuai dengan hasil pengujian laboratorium. Dengan demikian durasi pengujian mempengaruhi waktu peredaran benih.
Industri benih dan petani membutuhkan informasi faktor mutu yang lain, bukan hanya persentase perkecambahan. Pengujian vigor benih dapat
mengidentifikasi lot benih yang dapat mempertahankan kualitasnya selama penyimpanan jangka panjang. Juga dapat membantu perusahaan benih dalam
menetapkan level minimal kualitas benih untuk benih yang dipasarkan. Saat ini industri benih telah memasukkan pengujian vigor benih ke dalam
pengawasan kualitas benih, penerimaan informasi yang sama juga harus diperoleh oleh konsumen benih McDonald, 1995.
Uji tetrazolium digunakan untuk mengontrol mutu benih dari berbagai spesies tanaman karena memungkinkan untuk evaluasi viabilitas secara cepat,
jika benih harus segera ditabur setelah dipanen ataupun pada benih yang memiliki dormansi yang cukup lama. Biji pepaya yang baru dipanen yang
menunjukkan dormansi dapat membuat uji perkecambahan kurang efektif untuk evaluasi secara cepat. Oleh karena itu, pengembangan metode yang
lebih efisien, seperti uji tetrazolium sangat diperlukan. Melihat permasalahan-permasalan diatas, maka salah satu langkah untuk
mempercepat proses sertifikasi dapat ditempuh dengan penggunaan metode uji tetrazolium sebagai metode pengujian viabilitas benih. Penentuan
viabilitas benih pepaya berdasarkan pola pewarnaan dengan tetrazolium telah dilakukan sebelumnya oleh Shid dan Kuo 1999 dengan menghasilkan 12
dua belas pola topografi pewarnaan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan metode pada uji TZ dan DB serta menggunakan beberapa
tolok ukur vigor untuk menentukan tingkat viabilitas dan tingkat vigor benih pepaya.
Penelitian dilakukan dalam 4 empat tahap percobaan yaitu pengembangan metode pengujian daya berkecambah dan pengujian
tetrazolium percobaan pendahuluan, penentuan pola topografi pewarnaan TZ sebagai totok ukur viabilitas percobaan 1 dan selanjutnya sebagai tolok
ukur vigor baik secara laboratoris percobaan 2 dan berdasarkan pengamatan perpustakaan.uns.ac.id
commit to user
di media tanam percobaan 3. Pengujian TZ akan menghasilkan beberapa pola topografi dan intensitas pewarnaan.
Setiap pola mempunyai kemungkinan untuk menjadi pola yang menunjukkan viabilitas benih,
meskipun mempunyai intensitas warna yang berbeda. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan penentuan pola topografi pewarnaan
uji TZ. Pola-pola yang diperoleh dikorelasikan dengan hasil pengujian daya berkecambah sebagai tolok ukur viabilitas dan pengujian indeks vigor,
kecepatan tumbuh, laju pertumbuhan kecambah serta accelerated ageing sebagai tolok ukur vigor. Korelasi dilakukan baik terhadap uji viabilitas
maupun uji vigor karena akan dilihat perbedaan pola topografi pewarnaan uji TZ pada kedua tolok ukur tersebut. Setelah diperoleh suatu pola
topografi pewarnaan uji TZ, dilakukan korelasi dengan performa pertumbuhan di media tanam. Hal ini untuk membuktikan bahwa pola
topografi pewarnaan pada uji TZ yang diperoleh sebagai tolok ukur vigor mempunyai korelasi yang tinggi dengan performa pertumbuhan di lapang
sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengujian vigor.
B. Perumusan Masalah