Uji Tetrazolium Sebagai Tolok Ukur Viabilitas Dan Vigor Benih Pepaya Carica Papaya L abstrak

(1)

I. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Impor buah akhir-akhir ini menunjukkan peningkatan bahwa permintaan pasar belum mampu dipenuhi oleh produksi dalam negeri. Apabila kondisi ini terus berlangsung, maka Indonesia akan sangat tergantung dari produk hortikultura impor. Oleh karena itu, benih bermutu yang merupakan varietas unggul merupakan kunci utama untuk menghasilkan produk hortikuktura yang berkualitas. Pepaya sebagai produk hortikultura merupakan komoditas buah nasional yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan konsumen dalam negeri. Rendahnya produksi pepaya saat ini antara lain disebabkan oleh penggunaan benih yang kurang bermutu, sedangkan benih hortikultura yang bermutu umumnya adalah benih hibrida impor dan harganya relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh kebanyakan petani (Sujiprihati, 2006).

Indonesia sebagai salah satu negara produsen pepaya terbesar di dunia ternyata belum mampu menjaga kestabilan peningkatan produksi setiap tahunnya. Nilai produksi pepaya cenderung fluktuatif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (2014), dinyatakan bahwa total produksi buah pepaya nasional mengalami peningkatan dari tahun 2008, yaitu 717.899 ton menjadi 772.844 ton pada tahun 2009. Produksi buah pepaya mengalami penurunan produksi pada tahun 2010 menjadi 675.801 ton dan meningkat kembali pada tahun 2011 menjadi 906.312 ton. Produksi buah pepaya di Indonesia tumbuh signifikan rata-rata sebesar 8 % selama periode 2008 hingga 2012.

Pepaya (Carica papaya L.) merupakan salah satu buah tropika unggulan yang sangat potensial untuk dikembangkan di Indonesia. Hingga saat ini benih tetap merupakan bahan utama dalam perbanyakan pepaya. Pengembangan pepaya memerlukan ketersediaan benih secara berkesinambungan, sebab peremajaan tanaman selalu diperlukan untuk mendapatkan potensi produksi yang baik. Saat ini ketersediaan benih pepaya

1 commit to user


(2)

yang berkualitas dan bersertifikat masih kurang. Selain untuk kepentingan komersial, penanganan benih pepaya juga penting untuk pengelolaan plasma nutfah yang selama ini lebih banyak dikelola secara in situ karena daya simpan benihnya yang relatif singkat. Pepaya umumnya diperbanyak dengan cara generatif menggunakan biji. Selain itu dapat juga dilakukan dengan cara vegetatif, namun cara ini jarang digunakan. Kelemahan cara vegetatif seperti stek dan cangkok membutuhkan tanaman induk yang banyak untuk perbanyakan masal. Ketersediaan benih dengan mutu dan jumlah yang mencukupi menjadi prioritas dalam perluasan areal tanaman pepaya untuk memenuhi permintaan pasar yang cenderung meningkat (Wulandari, 2009). Menurut Sadjad (1993) benih berkualitas adalah benih yang menjamin mutu fisik, mutu genetik, dan mutu fisiologis. Untuk menduga mutu fisiologis dari suatu benih dapat diketahui melalui kadar air benih, pendugaan viabilitas melalui tolok ukur daya berkecambah, pendugaan vigor benih melalui tolok ukur indeks vigor, kecepatan tumbuh, daya hantar listrik dan tetrazolium.

Berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 48/Permentan/SR.120/8/2012 Tentang Produksi, Sertifikasi Dan Pengawasan Peredaran Benih Hortikultura pada Pasal 48, untuk mengetahui mutu fisik, fisiologi dan/atau status kesehatan benih yang berbentuk biji dilakukan pengujian mutu benih di laboratorium. Pengujian mutu benih di laboratorium dilakukan terhadap contoh benih yang mewakili kelompok benih. Referensi pengujian mutu benih dan pengambilan contoh benih mengacu pada ketentuan“International Seed Testing Association” (ISTA)Rules. Pengujian laboratorium dinyatakan lulus apabila memenuhi standar mutu atau persyaratan teknis minimal uji laboratorium. Sampai dengan saat ini pengujian mutu benih pepaya belum tercakup dalam ISTA Rules 2014 sebagai acuan dalam pengujian mutu benih.

Dalam pengujian mutu benih, setiap produsen benih selalu menginginkan agar benihnya dapat segera dipasarkan sesuai dengan Undang-undang No.12 tahun 1992, benih dapat diedarkan apabila telah dipasang label.


(3)

Data pada label tersebut harus sesuai dengan hasil pengujian laboratorium. Dengan demikian durasi pengujian mempengaruhi waktu peredaran benih.

Industri benih dan petani membutuhkan informasi faktor mutu yang lain, bukan hanya persentase perkecambahan. Pengujian vigor benih dapat mengidentifikasi lot benih yang dapat mempertahankan kualitasnya selama penyimpanan jangka panjang. Juga dapat membantu perusahaan benih dalam menetapkan level minimal kualitas benih untuk benih yang dipasarkan. Saat ini industri benih telah memasukkan pengujian vigor benih ke dalam pengawasan kualitas benih, penerimaan informasi yang sama juga harus diperoleh oleh konsumen benih (McDonald, 1995).

Uji tetrazolium digunakan untuk mengontrol mutu benih dari berbagai spesies tanaman karena memungkinkan untuk evaluasi viabilitas secara cepat, jika benih harus segera ditabur setelah dipanen ataupun pada benih yang memiliki dormansi yang cukup lama. Biji pepaya yang baru dipanen yang menunjukkan dormansi dapat membuat uji perkecambahan kurang efektif untuk evaluasi secara cepat. Oleh karena itu, pengembangan metode yang lebih efisien, seperti uji tetrazolium sangat diperlukan. Melihat permasalahan-permasalan diatas, maka salah satu langkah untuk mempercepat proses sertifikasi dapat ditempuh dengan penggunaan metode uji tetrazolium sebagai metode pengujian viabilitas benih. Penentuan viabilitas benih pepaya berdasarkan pola pewarnaan dengan tetrazolium telah dilakukan sebelumnya oleh Shid dan Kuo (1999) dengan menghasilkan 12 (dua belas) pola topografi pewarnaan. Pada penelitian ini dilakukan pengembangan metode pada uji TZ dan DB serta menggunakan beberapa tolok ukur vigor untuk menentukan tingkat viabilitas dan tingkat vigor benih pepaya.

Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap percobaan yaitu pengembangan metode pengujian daya berkecambah dan pengujian tetrazolium (percobaan pendahuluan), penentuan pola topografi pewarnaan TZ sebagai totok ukur viabilitas (percobaan 1) dan selanjutnya sebagai tolok ukur vigor baik secara laboratoris (percobaan 2) dan berdasarkan pengamatancommit to user


(4)

di media tanam (percobaan 3). Pengujian TZ akan menghasilkan beberapa pola topografi dan intensitas pewarnaan. Setiap pola mempunyai kemungkinan untuk menjadi pola yang menunjukkan viabilitas benih, meskipun mempunyai intensitas warna yang berbeda. Oleh karena itu, pada penelitian ini dilakukan identifikasi dan penentuan pola topografi pewarnaan uji TZ. Pola-pola yang diperoleh dikorelasikan dengan hasil pengujian daya berkecambah sebagai tolok ukur viabilitas dan pengujian indeks vigor, kecepatan tumbuh, laju pertumbuhan kecambah serta accelerated ageing sebagai tolok ukur vigor. Korelasi dilakukan baik terhadap uji viabilitas maupun uji vigor karena akan dilihat perbedaan pola topografi pewarnaan uji TZ pada kedua tolok ukur tersebut. Setelah diperoleh suatu pola topografi pewarnaan uji TZ, dilakukan korelasi dengan performa pertumbuhan di media tanam. Hal ini untuk membuktikan bahwa pola topografi pewarnaan pada uji TZ yang diperoleh sebagai tolok ukur vigor mempunyai korelasi yang tinggi dengan performa pertumbuhan di lapang sebagai suatu persyaratan yang harus dipenuhi oleh pengujian vigor.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut, permasalahan dalam penelitian ini difokuskan pada pengembangan metode uji TZ untuk menentukan tingkat viabilitas dan tingkat vigor benih pepaya. Untuk mendapatkan hasil yang akurat dalam memberikan solusi yang tepat, maka permasalahan tersebut dapat dirinci sebagai berikut :

1. Apakah pola topografi pewarnaan TZ dapat menentukan viabilitas benih 2. Apakah pola topografi pewarnaan TZ dapat menentukan vigor benih

secara laboratoris

3. Apakah pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih dapat digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman.


(5)

C. Tujuan

Mengingat perlunya mempercepat proses sertifikasi benih pepaya, maka tujuan penelitian ini adalah :

1. Membuat klasifikasi pola topografi pewarnaan TZ untuk menentukan viabilitas benih.

2. Membuat klasifikasi pola topografi pewarnaan TZ untuk menentukan tingkat vigor benih secara laboratoris.

3. Mengevaluasi pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih yang dapat digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman di media tanam.

D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memecahkan permasalahan tersebut dengan diperolehnya suatu pola topografi uji TZ sebagai tolok ukur vigor benih pepaya sehingga dapat digunakan sebagai metode pengujian rutin di laboratorium benih dalam proses sertifikasi benih. Uji TZ sebagai tolok ukur vigor benih diharapkan dapat digunakan untuk pendugaan performa pertumbuhan benih di lapang sehingga perhitungan kebutuhan benih dapat lebih tepat dan menekan kerugian akibat buruknya performa tanaman.


(6)

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Pepaya

Pepaya (Carica papaya L) merupakan tanaman buah, berupa herba dari famili caricaceae yang berasal dari Amerika Tengah dan Hindia Barat, bahkan kawasan sekitar Meksiko dan Costa Rica. Tanaman pepaya banyak ditanam baik di daerah tropis maupun subtropis, di daerah basah dan kering, atau di daerah dataran rendah dan pegunungan (Soedarya, 2009). Suhu optimum untuk pertumbuhan pepaya berkisar antara 22-26ºC dengan curah hujan 1000-2000 mm/tahun. Pepaya dapat ditanam di dataran rendah sampai dataran tinggi, dengan pH tanah sekitar 6-7 (netral). Kondisi pertanaman dengan drainase yang buruk dapat menyebabkan kematian, karena tanaman pepaya tidak dapat tumbuh pada kondisi tanah yang tergenang (Fardilawati, 2008). Syarat tumbuh yang tidak terpenuhi akan menyebabkan penurunan produksi secara kualitas maupun kuantitas.

Biji pepaya berbentuk agak bulat dengan bobot dan ukuran yang berbeda antar varietas. Bagian biji terdiri dari embrio, endosperm, endotesta dan aril benih yang disebut sarkotesta (Suwarno, 1984). Endotesta atau kulit biji berwarna coklat-kehitaman hingga hitam dan memiliki alur sepanjang permukaan benih. Sarkotesta adalah bagian selaput lunak berwarna bening yang melapisi biji. Sarkotesta harus dihilangkan untuk mempercepat proses perkecambahan. Sari (2005) menyatakan sarkotesta yang tetap dipertahankan dalam proses pengeringan benih akan menyebabkan benih mengalami hambatan dalam berkecambah, karena adanya senyawa fenolik P-hydroxybenzoic acid yang terkandung dalam sarkotesta dan struktur testa yang menjadi masif.

Pada saat ini program pemuliaan tanaman pepaya di Pusat Kajian Buah-Buahan Tropika (PKBT) IPB telah menghasilkan beberapa varietas/genotipe pepaya unggulan. Hasilnya antara lain adalah pepaya unggul IPB 1 (Arum Bogor), Prima, IPB 3 (Carisya), IPB 4 (Carlia), IPB 5,

6 commit to user


(7)

IPB 6 (Sukma), IPB 8, IPB 9 (Callina), dan IPB 10 (Wulung Bogor). Salah satu jenis pepaya yang saat ini mulai banyak dikebunkan adalah jenis Pepaya Callina. Pepaya Callina yang merupakan buah lokal asli Indonesia merupakan petemuan Prof Dr Ir Sriani Sujiprihati MS dari Institut Pertanian Bogor. Kini banyak ditanam para petani di berbagai daerah karena berbagai keunggulannya dan tingginya permintaan pasar. Pepaya berukuran kecil dengan bobot rata-rata 1,3 kg per buah ini banyak dijual di supermarket-supermarket, dan di label dengan nama pepaya california.

Pepaya california dengan ukuran antara 0,8 – 2 kg/buah, berkulit tebal, berbentuk lonjong buah matang berwarna kuning, rasanya manis, daging buah kenyal dan tebal. Pepaya california termasuk jenis unggul dan berumur genjah, batangnya lebih pendek dibanding jenis pepaya lain, tinggi tanaman sekitar 2 meter dan sudah bisa dipanen setelah berumur 7 hingga 9 bulan. Pohonnya dapat berbuah hingga umur empat tahun. Dalam satu bulan bisa dipanen sampai empat kali. Sekali panen, setiap pohon Pepaya california dapat menghsilkan 10 hingga 20 buah. Dengan sekali panen setiap minggu bisa mencapai 2 ton per hektar (Isnawan, 2014).

Benih pepaya yang diproses dari buah masak pohon akan memiliki viabilitas dan vigor yang tinggi. Benih pepaya yang berasal dari buah matang atau buah lewat matang adalah yang paling tepat untuk perbanyakan (Sangakkara, 1995). Sementara Lubangaol (2008) menyatakan bahwa benih yang berasal dari buah pepaya mengkal yang telah diperam selama 0 hari memiliki viabilitas dan vigor benih yang rendah. Pemeraman buah pepaya mengkal dapat meningkatkan viabilitas dan vigor benih. Pemeraman buah pepaya mengkal selama 4 dan 7 hari menghasilkan viabilitas dan vigor yang sama baiknya dengan benih yang berasal dari buah pepaya matang pohon dengan semburat kuning 80 - 85 %.

B. Daya Berkecambah

Benih dari beberapa spesies tanaman memiliki kemampuan berkecambah segera setelah fertilisasi, namun ada pula spesies yangcommit to user


(8)

memerlukan periode istirahat atau perkembangan pasca panen sebelum terjadinya perkecambahan. Selama periode istirahat benih berada pada tahap tidak aktif dan mempunyai kecepatan metabolisme yang rendah. Kondisi benih tersebut dikatakan dalam tahap istirahat atau dorman. Akhir periode istirahat embrio diakhiri dengan perkecambahan. Perkecambahan adalah proses perubahan bentuk dari embrio benih menjadi tanaman yang dapat melakukan fotosintesis sendiri (ISTA , 2014).

Daya berkecambah adalah kemampuan benih untuk berkecambah dan berproduksi normal dalam kondisi optimum, dengan kriteria kecambah normal yaitu akar primer dan hipokotil tumbuh lurus dan panjang, daun pertama tumbuh normal serta tidak ada akar sekunder. Pengamatan pertama perkecambahan benih pepaya pada hari ke-14 dan pengamatan akhir pada hari ke-21 (Sari, 2005).

Perkecambahan yang terjadi pada benih dipengaruhi oleh faktor yang bersifat eksternal maupun internal. Faktor eksternal meliputu faktor lingkungan perkecambahan, sedangkan faktir internal berhubungan dengan apa yang dialami benih selama pembentukannya. Faktor-faktor utama adalah air, kondisi udara, suhu dan cahaya. Faktor-faktor lain yang berpengaruh adalah defisiensi kimia, kondisi cuaca selama perkecambahan benih, ketidakmasakan benih (immaturity), kerusakan mekanis, kerusakan akibat panas, pengaruh bahan kimia, serangga dan tungau, penyakit tanaman dan periode hidup benih (seed longevity) (BBPPMBTPH, 2012).

Diketahui bahwa perlakuan priming dapat memberikan pengaruh positif pada benih. Priming merupakan salah satu teknik sederhana yang dapat meningkatkan vigor dan terjadinya perkecambahan, sehingga meningkatkan efisiensi tanaman di lapang. Beberapa laporan menunjukkan bahwa priming menyebabkan transkripsi DNA dan sintesis RNA dan protein terjadi lebih awal yang dapat memperbaiki bagian benih yang mengalami kerusakan dan mengurangi metabolisme eksudat (Entesariet. al., 2013).

Khan (2007) menyatakan bahwa perlakuan priming pada benih dapat meningkatkan respon fisiologi dibawah kondisi stres lingkungan dancommit to user


(9)

meningkatkan toleransi benih terhadap stres lingkungan. Erinnovita et al. (2008) menambahkan bahwa dua perlakuan invigorasi, masing-masing perlakuan priming dengan pasir dan perlakuan perendaman air merupakan metode yang efektif dan disarankan untuk memperbaiki perkecambahan benih kacang panjang pada kondisi cekaman salinitas.

Benih pepaya yang dikeringkan dengan sinar matahari menunjukkan daya berkecambah yang paling tinggi dalam kondisi gelap dibandingkan dengan benih lainnya. Hal ini disebabkan karena intensitas cahaya yang diterima embrio pada saat benih dikeringkan lebih tinggi dibandingkan perlakuan lainnya, bahkan pada benih yang tidak dikeringkan atau dikeringkan dengan oven 40oC hampir tak ada cahaya yang mencapai embrio (Suwarno, 1984). Metode perkecambahan pada tanaman budidaya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Metode perkecambahan untuk benih tanaman budidaya

Spesies Nama

Indonesia Subtrat Suhu (Rincian untukoC) Evaluasi tambahanPetunjuk I (hari) EvaluasiAkhir

(hari)

Alium cepa Bawang

Bombay TP;BP;S 20; 15 6 12 Prechill

Amaranthus

sp. Bayam TP 20<->30;20 4-5 14 Prechill,KNO3

Capsicumsp. Cabai TP;BP;S 20<->30 7 14 KNO3

Oryza sativa Padi TP;BP;S 20<->30;

25 5 14 Preheat(50oC),

rendam air atau KNO3 (24 jam)

Vigna

unguiculata Kacangtunggak BP; BS 20<->30;25 5 8

-Zea mays Jagung BP; TPS;S 20<->30;

25;20 4 7

-Sumber : ISTA, 2014

Benih yang ditanam adalah produk akhir dari serangkaian langkah yang meliputi pertumbuhan, panen, pengeringan, penyimpanan dan penanaman. Selama tahap ini, biji mengalami proses deteriorasi, sehinggacommit to user


(10)

pada saat penanaman menyebabkan menurunnya vigor dan angka perkecambahan (McGee, 1983). Pengujian daya berkecambah merupakan pengujian yang diterima secara luas oleh industri benih. Pengujian daya berkecambah dianggap mampu menduga nilai penanaman (planting value) dan potensi pertanaman di lapang (potensial field stand) dengan reprodusibilitas yang tinggi. Tingginya reprodusibilitas pada uji daya berkecambah disebabkan metode yang digunakan memiliki parameter yang dapat diukur dan distandarisasikan seperti kelembaban, suhu, cahaya, jenis substrat, periode pengujian dan metode pengamatan. Parameter-parameter yang diterapkan pada pengujian daya berkecambah berada pada kondisi optimum sehingga menghasilkan perkecambahan maksimal. Menurut definisi ISTA (2004) yang dimaksud dengan daya berkecambah di dalam pengujian laboratorium adalah muncul dan berkembangnya kecambah sampai suatu tahap dimana struktur esensialnya mengindikasikan dapat tidaknya berkembang lebih lanjut menjadi tanaman yang memuaskan pada kondisi tanah yang sesuai. Pada kenyataaannya kondisi penanaman di lapang lebih sering tidak seoptimum kondisi di laboratorium sehingga lot benih yang mempunyai persentase daya berkecambah lebih tinggi dapat memiliki nilai pemunculan kecambah (field emergence) yang rendah di lapang.

Dalam perdagangan benih, adanya aturan baku merupakan hal penting. Pembeli dan penjual harus mempunyai interpretasi yang sama tentang mutu benih. Dengan alasan untuk mencapai konsistensi keseragaman dalam pengujian mutu benih, maka pengujian dilakukan pada kondisi optimum sehingga akan menghasilkan potensi perkecambahan maksimal. Apabila pengujian dilakukan sesuai kondisi di lapang, maka konsistensi dan keseragaman sukar dicapai, meskipun cara pengujian ini berkorelasi lebih tinggi (Bradford, 2004).

C. Dormansi Benih Pepaya

Peningkatan produksi pepaya harus diawali dengan penyediaan benih yang bermutu, terjangkau dan tersedia dalam jumlah yang cukup. Pepayacommit to user


(11)

merupakan tanaman monokotil yang hanya dapat dikembangkan dengan biji, sehingga diperlukan benih yang bermutu guna menunjang produksi yang baik dilapangan. Mutu benih tersebut meliputi mutu genetik, fisologis, dan fisik. Disisi lain benih pepaya memiliki masa dormansi hingga 12-15 hari. Hal ini disebabkan karena adanya Aril dan senyawa fenolik dalam aril benih. Konsumsi oksigen yang tinggi oleh senyawa fenolik pada kulit benih selama proses perkecambahan dapat membatasi suplai oksigen ke dalam embrio, dan dapat membentuk lapisan yang mengganggu permeabilitas benih, serta menghambat efektifitas masuknya zat-zat stimulasi perkecambahan sehingga benih menjadi dorman (Sari,et al.,2005).

Dormansi mempunyai pengaruh yang sangat besar pada hasil perkecambahan. Dormansi menggambarkan suatu keadaan dimana benih hidup yang telah masak secara fisiologis gagal berkecambah meskipun dalam kondisi yang optimum untuk perkecambahannya. Bila diduga benih masih dorman, maka perlu dilakukan pematahan dormansi. Jika pada evaluasi terakhir terdapat 5% atau lebih benih segar, maka benih segar tersebut harus diverifikasi viabilitasnya atau dilakukan pengujian ulang dengan aplikasi pematahan dormansi (ISTA, 2014).

Dormansi pada benih bisa berlangsung selama beberapa hari, semusim, atau bahkan sampai beberapa tahun tergantung pada jenis tanaman dan tipe dari dormansinya. Pertumbuhan tidak akan terjadi selama benih belum melalui masa dormansinya, atau sebelum dikenakan suatu perlakuan khusus terhadap benih tersebut. Metode untuk mematahkan dormansi fisiologis dapat dilakukan dengan cara pendinginan pendahuluan (prechilling), pemanasan pendahuluan (preheating), pre-storage (penyimpanan kering), cahaya, dibungkus rapat dengan kantong plastik polietilen, perendaman dengan asam giberelat (GA3), perendaman dengan potassium nitrat (KNO3), skarifikasi asam dan skarifikasi mekanik (ISTA, 2014).

Dias et al. (2010) menambahkan bahwa benih segar pepaya dapat mengalami dormansi pascapanen yang dimana akan pecah setelah enam bulan penyimpanan. Adanya kandungan senyawa fenolik yang tinggi padacommit to user


(12)

sarkotesta benih pepaya dapat menghalangi benih untuk tumbuh berkecambah. Pengaruh Giberelin terhadap biji dapat mendorong pemanjangan sel sehingga radikula dapat menembus endosperm kulit biji atau kulit buah yang membatasi pertumbuhannya (Salisbury and Ross, 1995). GA3 dapat mempercepat perkecambahan biji duku (Pinta et al., 2008) dan bibit kina (Mayerni, 2008).

D. Uji Tetrazolium

Pengujian tetrazolium adalah suatu pengujian biokemis yang digunakan untuk membuat penilaian viabilitas benih secara cepat. Pengujian TZ hanya membutuhkan waktu kurang lebih 22 jam, sehingga dapat mempercepat proses benih pepaya. Pengujian TZ sudah secara luas dikenal sebagai metode yang akurat untuk mengestimasi viabilitas benih dan disebut sebagai “uji cepat”. Metode ini dikembangkan pertama kali di Jerman pada awal tahun 1940 oleh Prof. George Lakon yang mencoba membedakan benih hidup dan mati dengan menggunakan garam Selenium. Pengujian TZ merupakan suatu langkah maju dalam teknologi benih. Impian F. Nobbe untuk dapat mengetahui nilai perkecambahan tanpa harus mengecambahkan benih telah terwujud melalui uji TZ (ISTA, 2003). Pengujian ini dapat digunakan bila benih harus segera ditabur setelah dipanen, atau benih dengan dormansi cukup lama, maupun benih yang menunjukkan perkecambahan benih yang lambat, maupun pada kasus diperlukan pendugaan yang sangat cepat untuk potensi perkecambahan. Selain itu, pengujian tetrazolium dapat juga digunakan sebagai berikut :

1. Untuk menentukan viabilitas individu pada akhir pengujian daya berkecambah, khususnya bila benih diduga dormansi;

2. Untuk mendeteksi adanya gejala pertumbuhan kecambah dan berbagai jenis kerusakan akibat pemanenan dan atau pengolahan benih (kerusakan yang disebabkan panas, kerusakan mekanis, kerusakan oleh serangga); 3. Untuk mengatasi masalah-masalah yang ditemukan dalam pengujian


(13)

dan diduga dilakukan perlakuan dengan pestisida dan sebagainya (ISTA, 2014).

Menurut Copeland dan Mc Donald (1995) kelebihan pengujian vigor dibandingkan pengujian daya berkecambah adalah :

1. Definisi perkecambahan benih menekankan bahwa analis benih memfokuskan pada struktur esensial yang akan menghasilkan tanaman normal. Penekanan pada morfolosi kecambah sedikit korelasinya dengan kecepatan tumbuh, yang merupakan kriteria utama bagi keberhasilan pertanaman.

2. Metode untuk uji daya berkecambah distandarisasi sehingga hasil uji dapat diulang di dalam dan diantara laboratorium pengujian benih. Kondisi optimum digunakan untuk mendapatkan hasil uji yang seragam. Uji ini harus dilakukan pada media standar yang steril dalam ruangan lembab dengan suhu terkontrol, suatu kondisi buatan yang jarang berkorelasi dengan kondisi lapang. Pada dasarnya uji daya berkecambah menunjukkan kemampuan maksimal suatu lot benih untuk menghasilkan tanaman. Nilai daya berkecambah umumnya lebih besar dari pemunculan bibit di lapang.

3. Uji daya berkecambah dirancang untuk memberikan hasil penghitungan pertama dan kedua. Penghitungan pertama pada dasarnya bertujuan mengeluarkan benih yang telah berkecambah normal. Penghitungan terakhir dirancang untuk memberikan cukup waktu sehingga benih yang kurang vigor dapat berkecambah dengan normal. Dengan demukian persentase perkecambahan merupakan gabungan kecambah kuat dan lemah. Kecambah lemah jarang menjadi bibit yang bagus di lapang karena adanya cekaman lingkungan.

4. Berdasarkan definisi, perkecambahan tidak berskala. Sebutir benih dinilai germinableatau non-germinable, tidak ada pemisahan kecambah kuat dan lemah. Benih yang dinilaigerminable dapat bervariasi di lapang (robust). Uji daya berkecambah tidak dapat menduga sifat progesif deteriorasi benih yang berdampak pada tegakkan tanaman.commit to user


(14)

Dalam uji TZ, larutan 2,3,5-trifenil tetrazoliumklorida atau bromide digunakan sebagai indikator sel hidup yang ditandai dengan reaksi reduksi. Indikator ini diimbibisi oleh benih dan pada jaringan benih akan bereaksi dengan proses reduksi dalam jaringan hidup (Gambar 1). Indikator tersebut akan menerima hydrogen dari enzim dehidrogenasi sehingga terbentuk garam trifenil formazan yang berwarna merah, stabil dan tidak larut air. Letak dan ukuran daerah yang terwarnai dan juga intensitas pewarnaan (biasa disebut pola topografi) menentukan klasifikasi benih viable atau nonviable (ISTA, 2004).

Gambar 1. Reaksi tetrazolium dalam jaringan hidup (Francaet al., 1998) Prosedur pengujian tetrazolium pada benih tanaman budidaya dan hortikultura dapat dilihat pada Tabel 2. TZ untuk parameter viabilitas suatu spesies benih, dilakukan dengan melihat hubungan uji TZ dan daya berkecambah. Pada beberapa penelitian tentang korelasi antara uji TZ dan daya berkecambah, metode yang digunakan adalah mengelompokkan pola topografi dalam berbagai kriteria dan diuji dengan mencari koefisien determinasi dan koefisien korelasi antara hasil uji daya berkecambah dengan masing-masing pola seperti pada benih kedelai (Marjuni, 1995 dan Dina, 2006), benih sengon dan lamtoro (Karim, 1995), benih cabai (Sunaryati, 1995), benih jagung (Rofiah, 1996), benih padi gogo (Loekman, 1997) dan kacang panjang (Muchlis, 1995). Metode pengujian tetrazolium benih pepaya dengan benih direndam pada suhu 30oC selama 24 jam lalu dilepaskan testa dan endospermanya, kemudian direndam dalam 0.5% larutan tetrazolim selama 3 jam pada suhu 37.5oC menghasilkan 12 kategori pewarnaan embrio


(15)

benih pepaya (Shie dan Kuo, 1999). Pola yang memberikan koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang tertinggi (mendekati 1) adalah kriteria yang dipilih untuk penentuan viabilitas benih.

Tabel 2. Prosedur pengujian tetrazolium pada benih tanaman budidaya dan hortikultura

No. Spesies Pelembaban Persiapan

Sebelum pewarnaan

Pewarnaan Persiapan

evaluasi Jaringan NonViabel yang diperbolehkan Tipe Waktu Minimu m Persentase Larutan (%) Waktu Optimum (Jam) 1 Amaranthus

sp A 18 Tusuk benihdekat mikrofil 1 20 Potongbenih secara

longitudinal

1/3 radikula

diukur dari

ujung, 1/3 dari ujung distal kotiledon 2 Capsicumsp A 18 Potong dengan

irisan kecil kulit benih di dekat dasar benih, hanya untuk membuka rongga embrio

1 6 Poting benih

pada sisi datar menjadi 2 bagian dan amati embrio dan endosperm -3 Hordeum

vulgare A 4 Keluarkanembrio dengan

skutellumnya

1 3 Amati

permukaan eksternal embrio dan bagian belakang skutellum Daerah akar kecuali satu inisial akar, 1/3 dari ujung

skutellum

4 Oryzasativa A 18 Potong

membujur melalui embrio dan ¾

endosperm

1 2 Amati

permukaan potongan

2/3 radikula

5 Phaseolus AK 18 - 1 18 Kupas kulit

benih untuk membuka embrio 2/3 radikula diukur dari ujung radikel, ½ daerah distal kotiledon, ¼ distal plumula Sumber : ISTA, 2014


(16)

E. Kerangka Berfikir

F. Hipotesis

1. Pola topografi pewarnaan TZ berkorelasi dengan tolok ukur viabilitas 2. Pola topografi pewarnaan TZ berkorelasi dengan tolok ukur vigor

3. Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur viabilitas dan vigor berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman di media tanam

Proses sertifikasi benih pepaya membutuhkan waktu lama sedangkan masa simpan benih singkat sehingga

mempengaruhi masa peredaran benih

Pengguna benih memerlukan informasi mutu benih yang cepat dan akurat berkorelasi tinggi dengan tegakan tanaman di lapang

Penggunaan metode uji tetrazolium sebagai metode uji cepat viabilitas benih

 Klasifikasi Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur viabilitas  Klasifikasi Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor

 Evaluasi pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor benih yang dapat digunakan untuk pendugaan pertumbuhan tanaman di media tanam

Perhitungan kebutuhan benih dapat lebih tepat sehingga menekan kerugian akibat buruknya performa tanaman Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolak ukur vigor yang

berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman


(17)

III. METODE PENELITIAN

A. Waktu dan Tempat

Penelitian dilakukan pada bulan Agustus hingga Desember 2014 di Balai Besar Pengembangan Pengujian Mutu Benih Tanaman Pangan dan Hortikultura (BBPPMBTPH), Cimanggis, Depok, Jawa Barat.

B. Bahan dan Alat

1. Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah benih pepaya yang berasal dari Pusat Kajian Hortikultura Tropis (PKHT) IPB. Bahan lain yang digunakan yaitu media perkecambahan yang terdiri dari tanah, pupuk kandang, kertas CD, larutan GA3, larutan 2,3,5-trifenil tetrazoliumklorida, plastik.

2. Peralatan yang digunakan yaitu: box plastik untuk perkecambahan, pinset, termohygrometer, Germinator elektrik, nampan plastik, alat siram (sprayer), grinding mill, cawan, pencapit, oven, desikator, timbangan analitik, scapel, kaca pembesar, inkubator, mikroskop.

C. Pelaksanaan Penelitian

Sumber Benih Pepaya dan Mutu Benih pada Awal Penelitian

Benih pepaya varietas Callina yang digunakan merupakan benih baru panen yang diperoleh dari Pusat Kajian Hortikultura Tropika (PKHT), Institut Pertanian Bogor, yang berasal dari tiga lokasi panen yang berbeda, yaitu Ciseeng (Lot A), Rancamaya (Lot B) dan Cicurug (Lot C). Ketiga lot tersebut dikemas dengan plastik PE 0.08 mm dan disimpan pada ruangan dengan RH 40-50 % dan suhu 20oC. Hasil uji mutu benih awal yang dilakukan pada Agustus 2014 menunjukkan lot A memiliki kadar air (KA) 10.6 % dan berat 1000 butir 1.64 g, sedangkan lot B memiliki KA 10.5% dan

17 commit to user


(18)

berat 1000 butir 1.68 g dan lot C memiliki KA 10.1% dan berat 1000 butir 1.66 g (Lampiran 1). Penelitian dilakukan dalam 4 (empat) tahap percobaan yaitu pengembangan metode pengujian daya berkecambah dan pengujian tetrazolium (percobaan pendahuluan), penentuan pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur viabilitas (percobaan 1) dan selanjutnya sebagai tolok ukur vigor baik secara laboratoris (percobaan 2) dan berdasarkan pengamatan di media tanam (percobaan 3).

Gambar 2. Diagram alur penelitian pendahuluan Percobaan Pendahuluan I

Pengembangan metode pengujian daya berkecambah

Percobaan Pendahuluan II Pengembangan metode

pengujian tetrazolium

Penggunaan media pasir

 Petak utama :

Perlakuan pendahuluan (P)

 Anak petak : Suhu

perkecambahan (T)

Penggunaan media kertas

 Petak utama : Perlakuan pendahuluan (P)

 Anak petak : Suhu

perkecambahan (T)

Waktu perendaman (t) dalam larutan TZ: 1. t1 (2 jam)

2. t2 (4 jam) 3. t3 (9 jam) 4. t4 (12 jam) 5. t5 (18 jam)

Waktu perendaman terbaik Penentuan waktu pengamatan awal dan

pengamatan akhir pada pengujian daya berkecambah

Pengamatan DB, tinggi kecambah dn BSTT Pengamatan DB dan TZ

Output :

Metode pengujian daya berkecambah

Output : Metode pengujian

tetrazolium

Percobaan 1 commit to user


(19)

Gambar 3. Diagram alur penelitian uji tetrazolium sebagai tolok ukur vigor benih pepaya (Carica papaya)

1. Percobaan Pendahuluan I : Pengujian Daya Berkecambah Tahap I : Pengujian daya berkecambah menggunakan media pasir

Pengujian dilakukan di ruang terkontrol menggunakan unit percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri atas 2 faktor perlakuan yaitu :

Faktor I adalah perlakuan pendahuluan (P), terdiri atas : P1 : Tanpa perlakuan pendahuluan

Percobaan 1 Percobaan 2 Percobaan 3

Uji viabilitas :

Uji DB dan TZ Uji IV, Kct, AA, LPK, TZUji vigor : media tanamPengujian di

Klasifikasi pola topografi viabilitas

laboratoris

Klasifikasi pola topografi vigor

laboratoris

Klasifikasi pola topografi vigor

Output :

Pola topografi pewarnaan TZ vigor lebih spesifik dibandingkan viabilitas

Output :

Pola topografi pewarnaan TZ sebagai tolok ukur vigor yang berkorelasi dengan pertumbuhan

Output Akhir :

Pola topografi pewarnaan TZ untuk tolok ukur vigor yang berkorelasi dengan pertumbuhan tanaman


(20)

P2 : Perendaman dalam air selama 16 jam

P3: Perendaman dalam air selama 16 jam; substrat perkecambahan dilembabkan dengan 0.05% larutan GA3 (larutan dibuat dengan mencampurkan 500 mg GA3 dalam 1 liter air) dan dituang dalam media. Faktor II adalah suhu perkecambahan, terdiri atas :

T1 : Suhu 25oC (menggunakan germinator kabinet) T2 : Suhu 2030oC (menggunakan germinator elektrik) T3 : Suhu 25 – 34oC (menggunakan laboratorium rumah kasa)

Pasir yang digunakan dalam percobaan memiliki ukuran partikel yang seragam yaitu 90% partikel lolos saringan ukuran 0.8 mm, memiliki nilai pH 6.5 dan nilai konduktivitas 20.3 mS/m. Air yang digunakan adalah air yang sudah di mineralisasi, bersih, bebas dari senyawa organik dan anorganik, pH antara 6,0 – 7,5. Percobaan menggunakan 50 benih sebanyak 4 ulangan. Pengamatan dan penghitungan kecambah normal dilakukan pada hari ke- 15 dan ke-30.

Tahap II : Pengujian daya berkecambah menggunakan media kertas CD Pengujian dilakukan di ruang terkontrol menggunakan unit percobaan Rancangan Acak Lengkap (RAL) faktorial, terdiri atas 2 faktor perlakuan yaitu :

Faktor I adalah perlakuan pendahuluan (D), terdiri atas : D1 : Tanpa perlakuan pendahuluan

D2 : Perendaman dalam air selama 16 jam

D3 : Perendaman dalam air selama 16 jam; substrat perkecambahan dilembabkan dengan 0.05% larutan GA3 (larutan dibuat dengan mencampurkan 500 mg GA3 dalam 1 liter air) dan dituang dalam media.

Faktor II adalah suhu perkecambahan, terdiri atas : T1 : Suhu 25oC (menggunakan germinator kabinet) T2 : Suhu 2030oC (menggunakan germinator elektrik)

Kertas yang digunakan dalam percobaan adalah kertas CD, memiliki nilai pH 6.5 dan nilai konduktivitas 333 µS/cm. Air yangcommit to user


(21)

digunakan adalah air yang sudah di mineralisasi, bersih, bebas dari senyawa organik dan anorganik, pH antara 6,0 – 7,5. Percobaan menggunakan 50 benih sebanyak 4 ulangan. Pengamatan dan penghitungan kecambah normal dilakukan pada hari ke- 15 dan ke-30. Tahap III : Penentuan waktu pengamatan pertama dan pengamatan akhir

pengujian daya berkecambah pada media pasir dan media kertas

Perlakuan tahap I (media pasir) dan tahap II (media kertas) yang terbaik diuji kembali pada tahap III dengan menggunakan tiga lot benih A, B dan C. Percobaan menggunakan 50 benih sebanyak 8 ulangan. Pengamatan dan penghitungan kecambah normal dilakukan pada setiap hari sampai hari ke-30. Penentuan waktu pengamatan pertama diperoleh berdasarkan titik maksimum pada kurva hasil pengamatan kecambah normal tiap hari. Penentuan waktu pengamatan akhir diperoleh berdasarkan titik konstan pada kurva hasil akumulasi pengamatan kecambah normal tiap hari.

Rancangan Percobaan

Pada tahap I dan II digunakan Rancangan Acak Lengkap menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA) kemudian dilanjutkan dengan ujiDuncan Multiple Range Test(DMRT) 5%.

2. Percobaan Pendahuluan II : Pengujian Tetrazolium

Pada pengujian TZ, benih dilembabkan dalam air selama 18 jam pada suhu 20oC. Selanjutnya endosperma dipotong secara longitudinal untuk mengeluarkan embrio benih, kemudian direndam dalam larutan tetrazolium klorida 1% pada suhu 30oC selama 2, 4, 9, 12 dan 18 jam pada kondisi gelap (ISTA, 2014). Pengujian DB dilakukan pada media pasir di rumah kasa. Kriteria kecambah normal adalah hipokotil lurus dan sehat, kotiledon telah terbuka sempurna disertai tunas yang sehat. Pengamatan


(22)

hitungan pertama dilakukan pada 10 hari setelah tanam (HST) dan hitungan kedua pada 21 HST.

Rancangan Percobaan

Uji pendahuluan menggunakan Rancangan Acak Lengkap satu faktor sebanyak 8 (empat) ulangan masing-masing 50 butir. Hasil uji TZ dianalisis korelasi dengan hasil uji DB. Hasil yang memberikan koefisien determinasi dan koefisien korelasi yang tertinggi (mendekati 1) adalah kriteria yang dipilih untuk metode pengujian tetrazolium benih.

3. Percobaan 1 : Uji Viabilitas

Pengujian viabilitas benih menggunakan uji DB dan TZ. Pada pengujian TZ, benih dilembabkan dalam air selama 18 jam pada suhu 20oC. Selanjutnya endosperma dipotong secara longitudinal untuk mengeluarkan embrio benih, kemudian direndam dalam larutan tetrazolium klorida 1% pada suhu 30oC selama 18 jam pada kondisi gelap. Uji DB dilakukan pada media pasir di rumah kaca dengan data suhu dan kelembaban pada Lampiran 2. Kriteria kecambah normal adalah hipokotil lurus dan sehat, kotiledon telah terbuka sempurna disertai tunas yang sehat. Pengamatan hitungan pertama dilakukan pada 10 hari setelah tanam (HST) dan hitungan kedua pada 21 HST. Pengamatan dilakukan dengan mengelompokkan benih sesuai dengan pola topografi dan pewarnaan yang terbentuk. Kemudian persentase benih dalam tiap pola dihitung.

Penentuan pola topografi dan pewarnaan TZ untuk tolok ukur viabilitas benih didasarkan pada perhitungan Root Mean Square (RMS) antara hasil uji DB dan hasil uji TZ (Kuoet al. 1996 dan Pantet al., 1999), dimana G adalah persentase hasil uji DB, P adalah persentase hasil uji TZ dalam suatu pola atau kombinasi beberapa pola dan N adalah jumlah lot (dalam penelitian ini tiga lot). Indeks angka menunjukan lot (1=lot A, 2=lot B dan 3=lot C). Nilai G dan P merupakan rata-rata dari delapan ulangan pada suatu lot. commit to user


(23)

Tiga pola topografi dengan nilai RMS terkecil diuji lanjut dengan analisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola topografi yang paling sesuai dengan sebagai tolok ukur viabilitas benih. Nilai koefisien determinasi (R2) dan koefisisen korelasi (r) yang tertinggi digunakan sebagai kriteria pemilihan pola topografi yang paling sesuai. Model persamaan regresi yang digunakan adalah y = a + bx.

Rancangan Percobaan

Untuk pengujian viabilitas benih, digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lot benih yang terdiri atas tiga taraf lokasi panen. Setelah dianalisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%. Analisis ini untuk melihat perbedaan DB antar lot.

4. Percobaan 2 : Uji Vigor

Tolok ukur pengujian vigor benih di laboratorium yang digunakan adalahaccelerated aging(AA), indeks vigor (IV), kecepatan tumbuh (Kct) dan kecepatan tumbuh relatif, laju pertumbuhan kecambah (LPK) dan uji TZ. Uji AA dilakukan dengan mengecambahkan benih yang telah didera pada suhu 41oC dan RH tinggi selama 72 jam (ISTA 2004). Nilai IV adalah persentase kecambah normal pada hitungan pertama dalam DB (Copeland dan McDonald 1995). Dalam uji Kct dan Kct relatif penghitungan kecambah normal dilakukan setiap hari hingga hari ke-21 atau hingga semua kecambah dapat identifikasi sebagai kecambah normal, abnormal dan mati. Nilai Kct relatif (%) dihitung sebagai %N/etmal dibagi Kct maksimal. Bobot Kering Kecambah Normal (BKKN), yang ditunjukkan dengan kemampuan mengoptimalkan cadangan makanan dalam benih ke dalam bentuk akumulasi bobot kering kecambah. Pengujian dilakukan di akhir pengamatan. Seluruh kecambah normalcommit to user


(24)

dicabut, dibungkus dengan aluminium foil dan dikeringkan dalam oven dengan suhu 60oC selama 3 hari, setelah itu dimasukkan ke dalam desikator + 30 menit kemudian ditimbang. Uji LPK (mg/kecambah normal) dilakukan dengan mengeringkan kecambah normal hasil uji DB pada 80oC selama 24 jam (Copeland dan McDonald 1995). Pengujian-pengujian tersebut menggunakan 50 benih dengan delapan ulangan.

Penentuan pola topografi dan pewarnaan TZ untuk tolok ukur viabilitas benih didasarkan pada perhitungan Root Mean Square (RMS) antara tolok ukur vigor dan hasil uji TZ (Kuo et al. 1996 dan Pant et al.1999), dimana G adalah persentase hasil uji DB, P adalah persentase hasil uji TZ dalam suatu pola atau kombinasi beberapa pola dan N adalah jumlah lot (dalam penelitian ini tiga lot). Indeks angka menunjukan lot (1=lot A, 2=lot B dan 3=lot C). Nilai G dan P merupakan rata-rata dari delapan ulangan pada suatu lot.

Tiga pola topografi dan pewarnaan dengan nilai RMS terkecil pada tiap tolok ukur vigor diuji lanjut dengan analisis regresi dan korelasi untuk menentukan pola yang paling sesuai sebagai tolok ukur vigor benih. Khusus untuk LPK, BKKN dan Kct tidak dilakukan perhitungan RMS karena mempunyai satuan yang berbeda sehingga langsung dianalisis regresi dan korelasi. Analisis regresi dan korelasi dilakukan setelai nilai LPK dan Kct ditransformasi ke nilai Z baku untuk memperoleh perbandingan relatifnya. Menurut Walpole (1993) suatu pengamatan x dari suatu populasi yang mempunyai nilai tengah µ dan simpangan baku σ, mempunyai nilai Z yang didefinisikan sebagai :

Z = x - µ σ commit to user


(25)

Rancangan Percobaan

Untuk pengujian vigor benih di laboratorium, digunakan Rancangan Acak Lengkap dengan satu faktor yaitu lot benih yang terdiri atas tiga taraf umur simpan. Setelah dianalisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5%. Analisis statistik ini digunakan untuk melihat perbedaan hasil pengujian antar lot.

5. Percobaan 3 : Hubungan antara uji tetrazolium dan pertumbuhan tanaman pepaya di media tanam

Penanaman dilakukan dengan menanam benih di polybag. Pengamatan pertumbuhan hingga 8 (delapan) minggu setelah tanam. Setiap ulangan terdiri dari 10 polybag. Polybag yang digunakan berukuran 20 x 20 cm dan diletakkan dibawah naungan plastik bening, sehingga tidak terpapar hujan. Sebelum digunakan, bagian bawahpolybag tersebut diberi lubang-lubang kecil tempat pembuangan air. Selanjutnya polybag diisi dengan campuran tanah dan pupuk kandang dengan perbandingan 1:1 (Jalie, 1998). Benih ditanam sedalam 1/2 cm, satu benih di tiap polybag. Selama pengujian tidak dilakukan penyulaman. Pengamatan dilakukan pada daya tumbuh (DT) minggu 2, 3 dan ke-4, persentase tanaman yang hidup berumur dua bulan (DT total), tinggi tanaman minggu ke-2, ke-3 dan ke-4. Persentase DT dihitung berdasarkan jumlah kecambah dengan satu daun trifoliate telah muncul dan terbuka diatas permukaan tanah.

Setiap fase pertumbuhan yang diamati dianalisis regresi dan korelasi dengan pola topografi yang merupakan tolok ukur viabilitas dan pola topografi yang merupakan tolok ukur vigor. Semua data ditransformasikan ke nilai Z skor baku, kecuali data DT.

Rancangan Percobaan

Untuk pengujian di polybagdigunakan Rancangan Acak Kelompok Lengkap dengan 3 level faktor yaitu lot benih. Setiap lot terdiri atas 8 (delapan) ulangan sehingga terdapat 24 satuan percobaan (Lampiran 3).commit to user


(26)

Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman dan daya tumbuh. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 5 tanaman per ulangan sehingga terdapat 120 satuan pengamatan. Setelah dianalisis sidik ragam (ANOVA) dilakukan uji lanjut dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) 5% untuk melihat perbedaan antar lot.


(27)

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Uji Pendahuluan I : Pengujian Daya Berkecambah

Uji pendahuluan tahap I dilakukan untuk melihat apakah benih yang akan digunakan dalam percobaan mengalami dormansi atau tidak. Jika mengalami dormansi maka dibutuhkan metode untuk pematahan dormansi. Rekapitulasi hasil analisis ragam percobaan pengaruh perlakuan pendahuluan (P) dan suhu perkecambahan (T) serta interaksinya (DxT) terhadap daya berkecambah, tinggi kecambah dan benih segar tidak tumbuh pada media pasir terlihat pada Tabel 3. Perlakuan pendahuluan (P) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi kecambah (TK) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada perlakuan suhu perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi tanaman (TT) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT).

Tabel 3. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh perlakuan pendahuluan, suhu perkecambahan dan interaksinya terhadap tolok ukur DB, tinggi kecambah dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media pasir

Tolok ukur Perlakuan KK

(%)

P T Interaksi

P*T

Daya Berkecambah ** ** ** 12.10

Tinggi Kecambah ** ** tn 19.58

Benih Segar Tidak Tumbuh ** ** ** 13.98

Keterangan : tn = tidak pengaruh nyata, **= berpengaruh sangat nyata pada uji DMRT 1%

Interaksi perlakuan antara perlakuan pendahuluan (D) dan suhu perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada tolok ukur tinggi kecambah tidak berpengaruh nyata (Tabel 4.).

27 commit to user


(28)

Tabel 4. Pengaruh interaksi perlakuan pendahuluan (P) dan suhu perkecambahan (T) terhadap DB dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media pasir

Tolok

Ukur Perlakuan Pendahuluan

Suhu Perkecambahan (T) 25oC

(T1) 25 <=> 30 oC

(T2) 25 – 34 oC (T3)

DB (%)

Tanpa Perlakuan (P1) 5,0d 77.5ab 85.0a

Perendaman air 24 jam (P2) 7.0d 73.0b 73.0b Perendaman air 24 jam +

media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3)

29.5c 85.0a 80.5ab

BSTT (%)

Tanpa Perlakuan (P1) 91.0d 13.5b 1.0 a

Perendaman air 24 jam (P2) 87.0d 9.5 b 2.0 a Perendaman air 24 jam +

media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3)

61.0c 3.0 a 2.0 a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1%

Metode perkecambahan terbaik dengan media pasir pada Tabel 5. adalah benih yang ditumbuhkan pada suhu 25-34oC (T3), tanpa perlakuan (P1) dan pada suhu 25 <=> 30oC (T2), dengan perlakuan pendahuluan perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3). Dengan metode tersebut benih menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi dan persentase BSTT rendah. Benih yang digunakan tidak mengalami masa dormansi karena benih tanpa perlakuan pada suhu 25-34oC dapat tumbuh maksimum dengan peresentase BSTT terendah. Sedangkan untuk benih pepaya yang mengalami mengalami dormansi dapat dilakukan validasi metode dengan menggunakan metode perkecambahan suhu 25 <=> 30oC (T2), dengan perlakuan pendahuluan perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3).


(29)

Tabel 5. Pengaruh tunggal perlakuan pendahuluan dan suhu perkecambahan terhadap tolok ukur DB, TK dan BSTT benih pepaya pada media pasir

Perlakuan Tolok Ukur

DB (%) TK (cm) BSTT (%) Perlakuan pendahuluan

Tanpa perlakuan 55.83b 4.44b 35.17b

Perendaman air 24 jam 51.00b 4.66b 32.83b

Perendaman air 24 jam + media

dilembabkan dengan GA3 0.05% 65.00a 10.17a 22.00a Suhu Perkecambahan

Suhu 25oC 13.83b 4.68b 79.67c

Suhu 25 <=> 30oC 78.50a 7.34a 8.67b

Suhu 25 – 34oC 79.50a 7.25a 1.67a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1%

Hasil penelitian menunjukan perlakuan perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan GA3 0.05% dapat meningkatkan nilai DB dan TK dan menurunkan jumlah BSTT. Menurut Subedi dan Bhattarai (2003) GA3 mempercepat hidrolisis pati menjadi gula larut dengan meningkatkan enzim hidrolitik seperti amilase α-, β-amilase, pada proses perkecambahan.

Daya berkecambah yang dihasilkan benih pepaya pada suhu 25 – 34oC dan suhu 20 30oC lebih tinggi dibandingkan pada suhu 25oC. Kecepatan perkecambahan benih tergantung dari suhu melalui kecepatan penyerapan air, kecepatan difusi gas untuk respirasi dan kecepatan reaksi kimia yang terlibat dalam metabolisme benih. Pada suhu rendah, kecepatan perkecambahan akan rendah dan meningkat apabila terjadi kenaikan suhu sampai batas tertentu. Bila melewati batas tertentu perkecambahan akan terhambat (BPMBTPH, 2012). Pada penelitian ini perkecambahan benih


(30)

pepaya dengan media pasir optimum pada suhu 25 – 34oC dan suhu 20 30oC.

Tinggi kecambah yang dihasilkan dengan perlakuan perendaman benih selama 24 jam dan media perkecambahan yang dilembabkan dengan larutan GA3 0.05% lebih tinggi dibandingkan dengan tanpa perlakuan dan dengan perendaman benih selama 24 jam. Meningkatnya kandungan giberelin biasanya didahului oleh menurunnya kandungan inhibitor. Diduga perlakuan suhu pada benih yang digunakan untuk mengatasi dormansi menyebabkan bertambahnya level promotor endogenus pada benih, dan mengurangi level inhibitor (BBPPMBTPH, 2012).

Tabel 6. Rekapitulasi analisis ragam pengaruh perlakuan pendahuluan, suhu perkecambahan dan interaksinya terhadap tolok ukur DB, tinggi tanaman dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media kertas

Tolok ukur Perlakuan KK

(%)

P T Interaksi

P*T

Daya Berkecambah ** ** ** 17.44

Tinggi Kecambah ** ** tn 24.73

Benih Segar Tidak

Tumbuh ** ** ** 21.41

Keterangan : tn = tidak pengaruh nyata, **= berpengaruh sangat nyata pada uji DMRT 1%

Rekapitulasi hasil analisis ragam percobaan pengaruh perlakuan pendahuluan (P) dan suhu perkecambahan (T) serta interaksinya (DxT) terhadap daya berkecambah, tinggi kecambah dan benih segar tidak tumbuh pada media kertas terlihat pada Tabel 6. Perlakuan pendahuluan (P) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi kecambah (TK) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada perlakuan suhu perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB), tinggi tanaman (TT) dan benih segar tidak tumbuh


(31)

Interaksi perlakuan antara perlakuan pendahuluan (P) dan suhu perkecambahan (T) berpengaruh sangat nyata pada tolok ukur daya berkecambah (DB) dan benih segar tidak tumbuh (BSTT). Pada tolok ukur tinggi kecambah tidak berpengaruh nyata. Metode perkecambahan terbaik dengan media kertas pada Tabel 7. adalah benih yang ditumbuhkan pada suhu 25 <=> 30oC (T3), Perendaman air 24 jam + media dilembabkan dengan GA3 0.05% (P3). Dengan metode tersebut benih menghasilkan persentase daya berkecambah tertinggi (84%) dan persentase BSTT terendah (0%). Tabel 7. Pengaruh interaksi perlakuan pendahuluan (P) dan suhu

perkecambahan (T) terhadap DB dan benih segar tidak tumbuh (BSTT) pada media kertas

Tolok Ukur Perlakuan Pendahuluan

Suhu Perkecambahan (T) 25oC

(T1) 25 <=> 30 oC (T2)

DB (%)

Tanpa Perlakuan (P1) 1.0 c 29.5 b

Perendaman air 24 jam (P2) 6.5 c 40.0 b Perendaman air 24 jam +

media dilembabkan dengan GA 0.05% (P3)

79.5 a 84.0 a

BSTT (%)

Tanpa Perlakuan (P1) 48 d 32.25c

Perendaman air 24 jam (P2) 45.25d 27.75b Perendaman air 24 jam +

media dilembabkan dengan GA 0.05% (P3)

0.75 a 0 a

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1%

Hasil percobaan menunjukkan bahwa pengaruh tunggal perlakuan perendaman air 24 jam + media kertas dilembabkan dengan GA3 0.05% dapat meningkatkan nilai DB dan menurunkan jumlah BSTT. Pengaruh tunggal perlakuan suhu 25 <=> 30oC dengan menggunakan media kertas dapat meningkatkan nilai DB dan TK serta menurunkan jumlah BSTT (Tabel 8.). Nerson (2007) menyatakan bahwa suhu yang tepat kemungkinan menjadicommit to user


(32)

faktor yang paling penting, tetapi perubahan komposisi gas, potensial air dan hormon juga termasuk faktor yang mengatur perkecambahan.

Tabel 8. Pengaruh tunggal perlakuan pendahuluan dan suhu perkecambahan terhadap tolok ukur DB, TK dan BSTT benih pepaya pada media kertas

Perlakuan Tolok Ukur

DB (%) TK (cm) BSTT (%) Perlakuan pendahuluan

Tanpa perlakuan 15.25c 3.33c 35.17b

Perendaman air 24 jam 23.25b 5.99a 32.83b

Perendaman air 24 jam + media

dilembabkan dengan GA3 0.05% 82.25a 5.74a 22.00a Suhu Perkecambahan

Suhu 25oC 29.00b 2.45b 79.67c

Suhu 25 <=> 30oC 51.50a 7.58a 8.67b

Keterangan : Nilai pada masing-masing tolok ukur pada kolom dan baris yang berbeda yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji DMRT 1%

Pengamatan pertama daya berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C dengan media pasir memperoleh kurva dengan titik maksimum yaitu pada hari ke-10 (Gambar 4.). Pengamatan akhir daya berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C dengan media pasir memperoleh kurva dengan titik konstan yaitu pada hari ke-21 (Gambar 5.).


(33)

Gambar 4. Grafik perhitungan pengamatan pertama pengujian daya berkecambah pada media pasir

Gambar 5. Grafik perhitungan pengamatan akhir pengujian daya berkecambah pada media pasir


(34)

Gambar 6. Grafik perhitungan pengamatan pertama pengujian daya berkecambah pada media kertas

Gambar 7. Grafik perhitungan pengamatan akhir pengujian daya berkecambah pada media kertas

Pengamatan pertama daya berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C dengan media kertas memperoleh beberapa kurva rata-rata dengan titik maksimum yaitu pada hari ke-18 dan pada hari ke-21 (Gambar 6.). Grafik yang naik turun menggambarkan kemampuan daya kecambah benih yang tidak seragam, hal ini kemungkinan dapat disebabkan oleh media kertas yang kurang optimal untuk pertumbuhan benih pepaya. Pengamatan akhir daya


(35)

berkecambah ke tiga lot benih A, B dan C dengan kertas memperoleh kurva dengan titik konstan yaitu pada hari ke-30 (Gambar 7.).

Berdasarkan hasil yang diperoleh pada uji pendahuluan I untuk pengujian daya berkecambah diperoleh bahwa benih pada lot A, B dan C tidak mengalami dormansi, sehingga pada tahap selanjutnya untuk uji daya berkecambah menggunakan metode dengan media pasir, pada suhu 25-34oC (T3), tanpa perlakuan (P1). Pengamatan pertama pada hari ke-10 dan pengamatan akhir pada hari ke-21.

B. Uji Pendahuluan II : Pengujian Tetrazolium

Evaluasi awal terhadap mutu fisiologi benih dilakukan melalui pengujian daya berkecambah (Tabel 9), benih diseleksi ke dalam tiga tingkat viabilitas : tinggi (Lot B), sedang (Lot C) dan rendah (Lot A).

Tabel 9. Data rata-rata hasil pengujian daya berkecambah dan kadar air tiga lot benih pepaya

Lot Benih Daya Berkecambah (%) Kadar Air (%)

A 80.5 ab 10.6

B 88 a 10.5

C 83.5b 10.1

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Kadar air lot benih yang digunakan dalam penelitian menyajikan nilai yang hampir sama, variasi yang diperoleh dari 10.1 sampai 10.6 (Tabel 9). Hal tersebut sangat penting dalam pelaksanan pengujian ini untuk standarisasi evaluasi dan pencapaian hasil yang konsisten. Pada Tabel 11 disajikan hasil uji tetrazolium pada tiga lot benih pepaya dengan berbagai waktu perendaman dalam larutan tetrazolim.

Dalam penelitian diperoleh bahwa prosedur pewarnaan dengan perendaman dalam larutan tetrazolium pada konsentrasi 1% selama 18 jamcommit to user


(36)

mampu menyortir lot benih sama seperti hasil yang diperoleh dalam uji daya berkecambah, datanya disajikan pada Tabel 10, mengklasifikasi lot 1, sebagai benih berkualitas tinggi; lot 2 pada kualitas menengah; dan lot 3 sebagai benih kualitas terendah. Metode tersebut memungkinkan untuk dilakukan dan hasil akhir untuk viabilitas benih dapat diperoleh sekitar 40 jam. Hasil ini dibutuhkan, ketika kontrol internal kualitas benih suatu perusahaan membutuhkan respons yang cepat mengenai status lot benih secara benar, untuk memberikan hasil yang tepat.

Tabel 10. Viabilitas dengan uji tetrazolium pada tiga lot benih pepaya pada berbagai waktu perendaman dalam larutan tetrazolim

Lama Perendaman

2 jam 4 jam 9 jam 12 jam 18 jam

LOT Uji Tetrazolium (%)

A 46.00b 50.00b 62.50c 78.50b 82.00c

B 60.75a 64.50a 75.75a 84.50a 90.00a

C 61.00a 62.75a 69.25b 80.00b 85.50b

CV(%) 14.78 13.05 9.18 5.40 5.32

`Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada uji DMRT 5%

Pada Tabel 11, diperlihatkan koefisien korelasi antara data yang diperoleh pada uji perkecambahan benih dan dalam uji viabilitas benih dengan menggunakan metode tetrazolium, yang bertujuan untuk penyempurnaan analisis data. Pewarnaan dengan perendaman dalam larutan garam tetrazolium selama 18 jam, konsentrasi 1% telah menghasilkan korelasi tertinggi mendekati 1, yaitu 0.916 (statistik signifikan pada probabilitas 1%), sehingga metode tersebut yang digunakan untuk pengujian tetrazolium pada tahap percobaan selanjutnya.


(37)

Tabel 11. Koefisien korelasi antara data rata-rata yang diperoleh dari pengujian daya berkecambah dan pengujian viabilitas menggunakan metode tetrazolium pada tiga lot benih A, B dan C pada berbagai waktu perendaman

Waktu Perendaman R2 r

2 jam 0.249 0.442*

4 jam 0.349 0.495*

9 jam 0.646 0.786**

12 jam 0.769 0.833**

18 jam 0.888 0.916**

Keterangan : R2: koefisien determinasi, r : koefisien korelasi, *= berpengaruh nyata pada uji DMRT 5% , **= berpengaruh sangat nyata pada uji DMRT 1 %

Waktu pewarnaan tidak mutlak harus dilaksanakan, karena dapat beragam sesuai dengan kondisi benihnya. Pengalaman menunjukkan evaluasi dapat dipercepat atau diperlambat. Waktu pewarnaan mungkin diperpanjang jika benih belum terwarnai dengan sempurna untuk membuktikan apakah pewarnaan yang kurang dari sebagaimana mestinya disebabkan oleh lambatnya penyerapan garam tetrazolium atau merupakan indikasi kekurangan/kerusakan didalam benih. Namun pewarnaan yang berlebihan harus dihindari karena hal ini dapat menyamarkan perbedaan pola pewarnaan yang disebabkan benih lemah dan kerusakan spesifik seperti akibat pembekuan (ISTA, 2014).

C. Percobaan I : Uji Viabilitas

Pada tahap uji viabilitas menghasilkan 12 (dua belas) pola topografi dan pewarnaan TZ yang dibedakan berdasarkan daerah yang terwarnai pada radikula dan kotiledon, di mana pola topografi benih viabel dan nonviabel ditampilkan (Gambar 8.). Setelah semua lot benih melalui pewarnaan, dengan mengacu pada referensi ISTA (2014) untuk menentukan prinsip-prinsip klasifikasi, dalam hasil penelitian ini dirangkum ke dalam 12 polacommit to user


(38)

topografi dan pewarnaan TZ. Pola diurutkan berdasarkan kemungkinan pola tersebut menjadi pola viable. Pola 1-3 yang diperoleh pada penelitian ini adalah viable karena area pada radikula hampir terwarnai seluruhnya dan bagian kotiledon hampir terwarnai seluruhnya.

Pewarnaan embrio benih pepaya dengan tetrazolium memberikan pola topografi yang berbeda, pola pewarnaan embrio jenis pertama seluruh embrio yang berwarna merah cerah seragam. Pola 2 seluruh embrio berwarna merah seragam. Pola 3 Embrio berwarna gradasi merah cerah – merah muda. Dari ketiga pola 1, 2 dan 3 terkadang pada ujung radikula (kurang dari 1/3) berwarna sangat merah sangat muda atau tidak ada pewarnaan. Mernurut evaluasi dalam pedoman ISTA hal tersebut tidak mempengaruhi dan tidak diklasifikasikan secara terpisah. Pola 4 seluruh jaringan embrio berwarna merah terang transparan. Pola 5 lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai, kotiledon berwarna merah cerah. Pola 6 Pelukaan pada seluruh embrio yang berwarna merah muda sangat pucat. Pola 7. seluruh embrio berwarna merah buram. Pola 8. Radikula tidak terwarnai. Pola 9 kotiledon tidak terwarnai. Pola 10 bagian dasar radikula dan kotiledon berwarna merah muda pucat. Pola 11 lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai. Pola 12 seluruh embrio tidak terwarnai, seluruh jaringan embrio berwarna putih, beberapa radikula berwarna merah muda yang sangat terang.


(39)

Keterangan : Polaviable1-3 :

Pola1.Seluruh embrio berwarna merah cerah Pola2.Seluruh embrio berwarna merah

Pola3.Embrio berwarna gradasi merah cerah – merah muda

termasuk jika kurang dari 1/3 radikula atau jika kurang dari 1/3 radikula kotiledon tidak terwarnai Polanonviable4-12 :

Pola4.Seluruh embrio berwarna merah terang tranparan

Pola5.Lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai, kotiledon berwarna merah cerah

Pola6.Pelukaan lunak berwarna merah muda pucat Pola7. Seluruh embrio berwarna merah buram Pola8. Radikula tidak terwarnai

Pola9. Kotiledon tidak terwarnai

Pola10. Bagian dasar radikula dan kotiledon berwarna merah muda pucat

Pola11.Lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai Pola12.Seluruh Embrio tidak terwarnai

Pola 1 Pola 2 Pola 3 Pola 4

Pola 5 Pola 6 Pola 7 Pola 8

Pola 9 Pola 10 Pola 11 Pola 12


(40)

Pola topografi yang diperoleh dalam penelitian memberikan hasil yang sama pada beberapa pola dalam penelitian yang dilakukan oleh Shie dan Kuo (1999). Dalam penelitiannya dikemukakan bahwa pola 1, 2 dan 3 merupakan pola yang dianggap viable. Penggunaan uji tetrazolium untuk menilai viabilitas, benih diklasifikasikan sebagai viable atau nonviable menurut pola pewarnaan. Embrio tidak harus benar-benar terwarnai untuk digolongkan sebagai benih viable dan Aturan ISTA memberikan rincian mengenai dari daerah maksimum jaringan yang tidak terwarnai, lunak atau nekrotik yang masuk dalam kategori dalam benih viable. Salah satu faktor yang sangat berpengaruh dalam uji TZ adalah evaluasi pola topografi perwarnaan untuk menentukan benih viable dan nonviable. Benih viabel menunjukkan pewarnaan pada seluruh jaringan benih yang diperlukan untuk perkembangan kecambah yang normal. Daerah tak berwarna dengan luasan terkecil pada beberapa bagian jaringan dapat diterima, tergantung pada spesies. Benih viable menunjukkan adanya aktifitas biokhemis yang potensial untuk menghasilkan kecambah normal. Benih nonviable menunjukkan defisiensi dan atau keabnormalan dari sifat alami yang dapat menghambat perkembangannya menjadi kecambah normal (ISTA, 2014). Warna merah pada pola pertama memiliki perbedaan yang tipis dengan pola 7. Pola topografi yang diperoleh dalam percobaan, daerah yang tak terwarnai dengan luasan kurang dari 1/3 pada bagian jaringan radikula dan kotiledon dapat diterima sebagai benihviable.

Beberapa pola pewarnaan benih dikategorikan viable bila terwarnai seluruhnya, kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada kotiledon, tetapi bukan pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula dan bukan pada daerah satu sisi dengan hilum, kerusakan kecil (kurang dari 50%) pada radikula, tetapi bukan pada bagian ujung atau pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula. Bagian dalam kotiledon berwarna merah atau bergradasi secara teratur dari merah di bagian tepi dan memudar di bagian tengah (suatu kondisi yang wajar akibat berkurangnya penetrasi larutan tetrazolium di bagian dalam). Benih dikategorikancommit to user nonviable bila tidak


(41)

terwarnai seluruhnya, sebagian besar kotiledon tidak terwarnai, sebagian besar radikula tidak terwarnai, kerusakan lain (spot busuk), bagian luar berwarna merah, tetapi bagian dalam kotiledon terlihat adanya batas yang nyata daerah yang tidak terwarnai (spot putih) (Dina, 2006).

Dari dua belas pola topograpi pewarnaan benih pepaya, dapat dikelompokkan ke dalam 2 (dua) kelompok yaitu benih viable dan benih nonviable(Gambar 9.) . Benih pepaya dikategorikanviablebila :

1. Terwarnai seluruhnya.

2. Kerusakan kecil (kurang dari 1/3) pada kotiledon, tetapi bukan pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula.

3. Kerusakan kecil (kurang dari 1/3) pada radikula, tetapi bukan pada bagian penghubung antara kotiledon dan radikula.

4. Kombinasi 2 dan 3

Sedangkan, benih dikategorikannonviablebila : 5. Tidak terwarnai seluruhnya

6. Lebih dari 1/3 kotiledon tidak terwarnai 7. Lebih dari 1/3 radikula tidak terwarnai 8. Kombinasi 6 dan 7

9. Kerusakan lain (seperti busuk)

Pengujian TZ memerlukan keahlian dan pelatihan yang intensif. Keahlian ini dibutuhkan agar dapat mengevaluasi benih dengan tepat dalam menentukan intensitas warna dan pola pewarnaan yang terbentuk. ISTA sebagai organisasi pengujian benih internasional yang menentukan metode berdasarkan reprodusibilitas dan lebih ditujukan untuk persyaratan perdagangan, telah menentukan persyaratan dalam evaluasi uji TZ. Namun pada pelaksanaan pengujian TZ dibutuhkan suatu pengetahuan tentang benih dan struktur benih, reaksi yang menyebabkan pewarnaan pada benih serta kemampuan dalam menginterpretasikan pola pewarnaan dan topografi yang terbentuk. Pada penelitian ini dibutuhkan identifikasi jaringan-jaringan spesifik yang penting untuk perkembangan kecambah normal. Pada benih


(42)

viable, jaringan tersebut harus berespirasi sehingga terwarnai. Bila jaringan penting tidak terwarnai benih dikelompokkannonviable.

Persentase lot benih di setiap kategori disajikan pada Tabel 12. Pola 1 merupakan pola mayoritas yang ditemukan pada tiap lot benih yang diuji yaitu lot A 70%, lot B 76% dan lot C 76%. Pola 2 dan 3 berjumlah 8-12%, pola 6 dan 7 berjumlah 8-12%, pola 4, 5, 8, 9, 10 dan 12 berjumlah 4-6%. Jika hanya pola 1 saja yang dijadikan perbandingan sebagai daya berkecambah, secara subtansial menghasilkan viabilitas yang terlalu rendah. Sesuai dengan prinsip pedoman metode pewarnaan tetrazolium, jenis pola 5, 6, 8, 9, 10, 11, 12 maka sudah dipastikan sebagai pola nonviable, namun pola yang lain adalah lebih sulit untuk dievaluasi. Oleh karena itu, nilai yang dicari adalah perhitungan RMS untuk pola 1,2,3,4,7 yaitu sebanyak 25 kombinasi pola. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat 14 pola kemungkinan benih dianggap viable (Tabel 13.). RMS yang dihasilkan lebih tinggi dari 10, menunjukkan bahwa perwakilan pola pewarnaan benih dianggap non-viabel (tidak masuk dalam Tabel 13).

Tabel 12. Persentase masing-masing pola topografi pewarnaan tetrazolium pada setiap lot benih

Pola Lot A (%) Lot B (%) Lot C (%)

1 70 76 76

2 8 8 5

3 4 4 3

4 3 2 1

5 1 0 1

6 9 5 6

7 3 3 6

8 0 1 0

9 0 1 0

10 1 0 0

11 0 0 1

12 1 0 1


(43)

eberapa kombinasi gabungan antar pola yang memberikan RMS terkecil yaitu antara 1.08 – 8.57 seperti yang tertera pada Tabel 13. Pada saat persentase viabilitas tiga kategori dijumlahkan, potensi viabilitas adalah sebanding dengan daya berkecambah benih di semua lot benih yang digunakan. Tiga pola dengan RMS terkecil adalah pola 1,2,3 (RMS = 1.08), pola 1,2,4 (RMS = 1.44), dan pola 1,2,7 (RMS = 2.35). Pola yang memiliki koefisien determinasi (R2) dan koefisien korelasi (r) tertinggi adalah kombinasi pola 1,2,3 (R2=0.782 dan r=0.885) (Tabel 14.). Pola 1,2,3 ini disebut pola topografi TZ untuk tolok ukur viabilitas benih pepaya.

Tabel 13. Nilai RMS polaviablepada pola topografi pewarnaan tetrazolium Pola kemungkinanviable RMS Pola kemungkinanviable RMS

1,2,3 1.08 1,3,4 4.62

1,2,4 1.44 1,4,7 4.81

1,2,7 2.35 1,2,4,7 6.33

1,2,3,4 2.95 1,3 6.73

1,2 3.07 1,7 6.84

1,3,7 3.82 1,4 8.11

1,3,4,7 4.19 1,2,3,7 8.57

Berdasarkan hasil perhitungan RMS dan analisis regresi serta korelasi, pola 1,2,3 adalah pola yang menunjukkan benih viable. Apabila pola lain ditambahkan pada kombinasi tersebut atau salah satu dari pola 1,2 atau 3 dihilangkan, nilai RMS akan meningkat. Nilai RMS yang tinggi menunjukkan terdapat selisih yang tinggi antar jumlah benih viable dan jumlah kecambah normal yang menyebabkan kesalahan viabilitas benih (Pant et al. 1999). Nilai koefisien determimasi dan korelasi pola 1,2,3 (0.782 dan 0.885) dan pola 1,2,4 (0.745 dan 0.863) lebih tinggi dari pada pola 1,2,7 (0.547 dan 0.740) (Tabel 14).commit to user


(44)

Tabel 14. Hasil analisis regresi dan korelasi antara uji tetrazolium dan uji daya berkecambah pada tiga kombinasi dengan nilai RMS terkecil

Kombinasi Pola a b R2 r

1,2,3 26.23 0.695 0.782 0.885

1,2,4 -14.37 1.181 0.745 0.863

1,2,7 32.81 0.623 0.547 0.740

Keterangan :

a : intersep, b : koefisien regresi r, R2: koefisien determinasi, r : koefisien korelasi Koefisien korelasi yang tinggi menunjukkan keeratan hubungan antara variabel x dan y. Nilai koefisien determinasi tertinggi yang diperoleh adalah 0.78, hal ini berarti 78% titik-titik pengamatan berada di sekitar garis regresi (Gambar 9). Ketiga pola viable tersebut mempunyai hubungan yang signifikan dengan nilai DB. Nilai koefisien korelasi pola 1,2,3 dan pola 1,2,4 mempunyai hubungan yang lebih erat dibandingkan pola 1,2,7. Nilai koefisien yang diperoleh adalah 0.88 dan 0.86 yang berarti variabel y dipengaruhi variabel x sebanyak 88% dan 86%. Nilai RMS pola 1,2,3 dan pola 1,2,4 mempunyai hubungan yang lebih kecil dibandingkan pola 1,2,7 yang berarti selisih persentase DB dengan jumlah benih pada pola tersebut lebih rendah dibandingkan selisih DB dengan pola 1,2,7. Evaluasi pewarnaan TZ menggunakan nilai RMSberhasil dilakukan pada benih Carica papaya

(Shie dan Kuo, 1995), Salvia splendens and S. farinacea (Kuo et al., 1996) and Dendrocalamus strictus (Pant et al.,1999). Hasil penelitian Aslam, et

al., (2010) menyatakan adanya korelasi yang erat antara pengujian TZ

dengan pengujian daya berkecambah pada benih Pinus wallichiana dengan

nilai RMS terkecil sebesar 4.69.


(45)

Gambar 9. Grafik regresi antara uji tetrazolium dan uji daya berkecambah pada tiga kombinasi dengan nilai RMS terkecil

Nilai RMS polaviable1,2,7 memiliki nilai RMS dalam kategori tiga terendah. Namun demikian, pola 7 tidak dapat dimasukkan sebagai pola viabel karena kotiledon berwarna tua. Pewarnaan merah tua menunjukkan kurang hermetis dan penetrasi yang cepat dari larutan tetrazolium melalui tegument dan jaringan sel-sel dengan struktur seminal yang berbeda. Sebagai

a

b

c


(46)

konsekuensi dari hilangnya selektif permeabel, dimana membran sel tidak lagi menjadi penghalang untuk penetrasi tetrazolium. Hal ini juga menunjukkan aktivitas pernafasan yang intensif disebabkan oleh terjadinya deteriorasi (Craviotto et al, 2008). Kebocoran membran tersebut dapat disebabkan oleh kondisi benih yang sudah menua. Hal tersebut merupakan kerusakan kritikal sehingga tidak dapat menghasilkan kecambah normal.

Rata-rata kecambah normal (DB) dan benih viable (TZ pada pola 1,2,3,) berturut-turut pada lot A 80.5% dan 82%, lot B 88% dan 88% dan lot C 83.5% dan 84%. Pada Lot B nilai DB dan benih viable memiliki nilai yang sama sedangkan pada lot A dan lot C memiliki selisih sebesar 1.5% dan 0.5%. Penentuan pola topografi dengan metode RMS dapat memberikan hasil analisis yang obyektif (Kuo et al, 1995). Namun jika metode ini digunakan dalam perhitungan pada benih yang mengalami dormansi maka dapat memberikan hasil analisis yang salah. Menurut ISTA (2014), viabilitas secara nyata tidak tergantung pada realisasi perkecambahan. Namun demikian, tidak akan ada perbedaan yang nyata antara viabilitas dan persentase perkecambahan bila : (1) benih tidak dalam kondisi dorman atau tidak sebagai benih keras atau sudah diberi perlakuan untuk pematahan dormansi dan kekerasan benih (2) benih tidak terinfeksi atau telah sudah didesinfektan (3) tidak disemprot sewaktu di lapang ataupun tidak diberi perlakuan bahan kimia berbahaya selama pengolahan benih, (4) belum difumigasi, (5) belum mengalami kemunduran selama waktu yang diperlukan untuk pengujian daya berkecambah, serta (7) benih berkecambah dibawah kondisi optimum.

Pada pola 6 seluruh embrio berwarna merah yang sangat muda, dominan putih dan pucat. Pola ini menunjukkan kurang sempurnanya aktivitas metabolik yang berkaitan dengan respirasi sel, kondisi yang tidak sehat atau kematian jaringan. Pada umumnya disertai dengan kurangnya turgiditas pada sebagian atau seluruh jaringan (Craviotto et al, 2008). Kondisi yang tidak sehat dapat disebabkan oleh serangan hama atau penyakit. Jumlah pola 6 pada lot A 9%, lot B 5% dan lot C 6%. Perlu pengkajian lebih


(47)

lanjut untuk klasifisikasi pola 6 apakah dapat digunakan sebagai indikasi dalam mendeteksi jumlah benih yang terinfeksi penyakit.

D. Percobaan 2 : Uji Vigor

Istilah vigor dalam viabilitas digunakan untuk menggambarkan karakteristik fisiologis benih yang mengontrol kemampuan untuk berkecambah dalam tanah dengan cepat dan mentolerir berbagai faktor lingkungan yang kebanyakan merupakan faktor negatif. Untuk menentukan pola topografi dan pewarnaaan yang menunjukkan vigor benih yang kuat dihitung nilai RMS antara pengujian vigor dilaboratorium yaitu AA, IV dan Kcr relatif dengan hasil uji TZ. Dari hasil pengujian AA dan IV (Tabel 15.) terdapat tiga tingkat vigor benih dari tiga lot benih yang digunakan, yaitu lot B (AA = 90 %, IV = 84.5%) dalam kelompok vigor yang tinggi, lot C (AA = 83%, IV = 79 %) dalam kelompok vigor menengah dan lot A (AA = 77%, IV= 73%) dalam kelompok vigor yang rendah. Pengujian kecepatan tumbuh memberikan hasil lot B (Kct relatif = 86.67% dan Kct = 8.601 %N/etmal) berbeda nyata dengan lot A (Kct relatif = 78.96% dan Kct = 7.895%N/etmal) dan lot C (Kct relatif = 77.38% dan Kct = 7.814%N/etmal). Lot C tidak berbeda nyata dengan lot A. Pengujian LPK tidak dapat membedakan ketiga lot benih yang digunakan. Namun, berat kering rata-rata kecambah normal lot B (4.469 g) berbeda dengan lot A (3.677 g), tetapi tidak dengan lot C (4.147 g), dan lot C tidak berbeda dengan lot B.

Berdasarkan Tabel 15, lot B merupakan benih yang memiliki vigor tinggi karena memiliki hasil tertinggi pada semua indikator vigor benih. Hal ini sesuai dengan Justice dan Bass (2002) bahwa bobot kering kecambah normal (BKKN) merupakan salah satu indikator vigor benih, tingginya nilai BKKN menunjukkan tingginya vigor benih. Sadjad et al. (1999) mengemukakan bahwa kemampuan berkecambah suatu benih berhubungan dengan banyaknya cadangan makanan yang dikandungnya. Indeks vigor atau kecepatan tumbuh merupakan indikasi waktu yang diperlukan benih untuk tumbuh serempak selama proses perkecambahan. Semakin cepat waktu yangcommit to user


(48)

dibutuhkan maka kemampuan benih untuk tumbuh menjadi tanaman dewasa semakin baik sehingga dapat diduga potensi hasil (Andiet al., 2012). Pada lot A dan lot C memiliki kecepatan tumbuh yang lebih rendah menunjukkan lambatnya pertumbuhan kecambah yang mengindikasikan lemahnya vigor kekuatan tumbuh.

Tabel 15. Hasil pengujian untuk parameter vigor benih

Tolok ukur Lot A Lot B Lot C

Accelerated ageing(%) 77c 90a 83b

Indeks vigor (%) 73c 84.5a 79b

Kecepatan tumbuh (%N/etmal) 7.895b 8.601a 7.814b Kecepatan tumbuh relatif (%N/etmal) 78.96b 86.67a 77.38b Berat kering kecambah normal (g) 3.677b 4.469a 4.147ab Laju pertumbuhan kecambah (g) 0.092a 0.102a 0.099a Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak berbeda

nyata pada DMRT 5%

Pada pengujian AA, benih didera pada kondisi suhu tinggi (41oC) dan RH tinggi selama 72 jam. Benih yang bervigor tinggi akan tetap memiliki nilai perkecambahan yang tinggi setelah didera, sedangkan benih yang bervigor rendah akan mengalami penurunan hasil nilai perekecambahan yang didera.

Indeks vigor menunjukkan jumlah kecambah normal pada hitungan pertama yaitu hari ke-10. Nilai Kct relatif merupakan perbandingan antara nilai Kct yang diperoleh dengan Kct maksimalnya. Nilai Kct maksimal merupakan nilai dugaan, yaitu bila semua benih telah menjadi kecambah normal pada hari ke-10, karena pada hari ke-8 dan ke-9 telah berkecambah tetapi belum menjadi kecambah normal. Nilai Kct dengan satuan %N/etmal menunjukkan jumlah benih yang tumbuh menjadi normal setiap 24 jam. Pada lot A dengan nilai Kct 7.895%N/etmal berarti untuk mencapai perkecambahan hingga 100%, lot A membutuhkan waktu 100/7.895 atau 12.7commit to user


(49)

hari, lot B 11.6 hari dan lot C 12.8 hari. Semakin tinggi nilai Kct semakin cepat benih tersebut tumbuh menjadi kecambah normal.

Tabel 16. Nilai RMS untuk pola vigor pada pola topografi pewarnaan tetrazolium 1,2,3,4,7

Pola berkemungkinan vigor Nilai RMS

AA IV Kct relatif

1 10.023 5.661 8.204

1,2 3.948 3.536 3.013

1,3 6.705 2.923 5.230

1,4 8.089 3.992 6.194

1,7 6.871 3.747 6.236

1,2,3 3.342 6.331 4.495

1,2,4 3.473 5.282 3.412

1,2,7 4.036 6.961 5.884

1,3,4 4.985 2.712 3.651

1,3,7 4.345 4.208 5.109

1,4,7 5.230 3.620 5.012

1,2,3,4 4.750 8.390 6.139

1,2,3,7 10.822 17.596 14.791

1,2,4,7 9.155 15.397 12.533

1,3,4,7 6.466 9.750 9.042

1,2,3,4,7 14.029 21.120 17.796

Hasil perhitungan RMS antara TZ-AA, TZ-IV dan TZ-Kct relatif memberikan nilai yang berbeda. Namun pada pola 1,2 memberikan nilai yang hampir sama yaitu 3.948, 3.536 dan 3.013 (Tabel 16.). Nilai RMS TZ-AA antara 3-14, RMS TZ-IV antara 2-21 dan TZ-Kct relatif antara 3-17. Nilai RMS yang tinggi menunjukkan selisih antara kedua tolok ukur yang diuji adalah tinggi.


(50)

Tabel 17. Hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil uji tetrazolium dan uji vigor laboratoris

Pola vigor a B R2 r

TZ-AA

1,2 -34.36 1.450 0.695 0.8341

1,2,3 -36.39 1.414 0.689 0.8306

1,2,4 -44.43 1.534 0.701 0.8374

TZ-IV

1,2 -55.23 1.651 0.827 0.9096

1,3 -12.07 1.173 0.471 0.6868

1,3,4 -1.723 1.012 0.349 0.5909

TZ-KCT relatif

1,2 -13.17 1.160 0.574 0.7580

1,2,4 -21.00 1.225 0.576 0.7592

1,3,4 31.76 0.618 0.183 0.4284

TZ-KCT

1,2 - - 0.546* 0.7391

1,2,4 - - 0.588* 0.7668

1,3,4 - - 0.232* 0.4824

TZ-BKKN

1,2 - - 0.811 0.9949*

1,2,3 - - 0.784 0.9898*

1,2,3,7 - - 0.554 0.7448*

TZ-LPK

1,2 - - 0.678 0.8235*

1,3 - - 0.490 0.7001*

1,2,3 - - 0.607 0.7794*

Keterangan : a: intersep, b: koefisien regresi, R2 : koefisien determinasi, r: koefisien korelasi, *data ditransformasikan ke nilai Z baku

Hubungan yang paling erat antara hasil uji TZ dengan AA, IV dan Kct relatif dan LPK berbeda-beda sesuai dengan yang ditunjukkan oleh nilai korelasi yang tinggi (Tabel 17). Kombinasi gabungan pola yang memberikan nilai R2 dan r tertinggi pada AA adalah pola 1,2,4 (R2=0.701 dan r=0.8374), pada IV pola 1,2 (R2=0.827 dan r=0.9096), dan Kct relatif pola 1,2 (R2=0.576


(51)

dan r=0.7592). Nilai R2 dan r tertinggi pada Kct yang ditransformasikan ke nilai Z baku adalah pada pola 1,2,4 (R2=0.588 dan r=0.7688) dan LPK pada pola 1,2 (R2=0.678 dan r=0.8235). Asumsi yang digunakan adalah bila nilai koefisien determinasi lebih dari 0.3 maka antar variabel mempunyai hubungan yang signifikan dan bila lebih dari 0.63 maka variabel x dianggap sebagai alat prediksi terbaik untuk variabel y (Kulik dan Yaklich, 1982). Nilai koefisien determinasi dan korelasi yang diperoleh signifikan memperlihatkan adanya hubungan antara variabel yang diuji.

Berdasarkan hasil analisis regresi dan korelasi antara hasil uji tetrazolium dan uji vigor laboratoris, pola topografi 1,2 merupakan pola yang mempunyai hubungan signifikan pada setiap parameter uji vigor. Maka pola yang berkemungkinan besar menjadi tolok ukur vigor adalah pola 1,2 sesuai dengan Baskin,et al(1986) yang menyatakan hasil pewarnaan TZ pada benih yang menunjukkan vigor kuat adalah terwarnai sepenuhnya, atau hanya sebagian kecil bagian yang tidak terwarnai di bagian kotiledon yang berlawanan dengan radikula, dengan warna merah yang cerah dan merata, tidak terlalu gelap, jaringan terlihat kuat dan bagian ujung radikula berwarna lebih tua dibandingkan kotiledon. Pola-pola lainnya memiliki kelemahan yang menunjukkan benih bervigor menengah, rendah atau tidak vigor. Pola 1,2 memberikan nilai koefisien determinasi dan korelasi tertinggi pada analisis TZ-IV dan TZ-BKKN .

E. Percobaan 3 : Hubungan Antara Uji tetrazolium dan pertumbuhan tanaman pepaya dipolybag

Penanaman benih di polybag bertujuan untuk meningkatkan keseragaman pengaruh kondisi tanah terhadap pertumbuhan benih, sehingga diharapkan perbedaan pertumbuhan tanaman hanya disebabkan oleh performa benih itu sendiri. Keuntungan penanaman di polybag antara lain : hara yang tersedia pada setiap tanaman relatif sama, tidak ada pengaruh aliran air dan tidak ada pengaruh antar individu akar tanaman (Dina, 2006). Penggunaan polybag dan naungan dalam penelitian disesuaikan dengancommit to user


(52)

pembibitan tanaman pepaya yang biasa dilakukan oleh petani. Masa pembibitan pepaya umumnya hingga tanaman berumur 2-3 bulan, kemudian tanaman dipindahkan ke lapangan.

Uji vigor merupakan uji yang berkorelasi dengan pertumbuhan benih di lapang. Pola vigor yang diperoleh diuji korelasinya dengan pengujian di media tanam dengan menggunakan lot benih yang sama. Daya tumbuh lot A, B dan C mengalami peningkatan hingga minggu ke-4. Akan tetapi jumlah tanaman lot A yang tetap hidup pada minggu ke-8 mengalami penurunan sebesar 5 %. Diantara ketiga lot, lot B merupakan tanaman yang tertinggi, berbeda nyata dengan lot A dan lot C. Hal ini dapat dibedakan pada sejak minggu II. Tiga tingkat viabiltias dan vigor yang ditunjukkan oleh uji laboratorium berlanjut sepenuhnya pada pengujian di media tanam. Lot B tetap menjadi lot yang terbaik pertumbuhannya dilihat dari tinggi tanaman dan DT (Tabel 18), lot C dalam satu tingkat lebih rendah dibandingkan lot B, sedangkan lot A berada satu tingkat lebih rendah dari lot C.

Tabel 18. Hasil pengujian vigor bibit dan tanaman di media tanam

Tolok Ukur Lot A Lot B Lot C

Daya tumbuh hari ke-14 (%) 78a 81a 79a

Daya tumbuh hari ke-21 (%) 80a 84a 80a

Daya tumbuh hari ke-28 (%) 80a 88a 81a

Daya tumbuh total (%) 75b 88a 81ab

Tinggi tanaman minggu II (cm) 3.64b 4.32a 3.60b Tinggi tanaman minggu III (cm) 5.72b 6.38a 5.77b Tinggi tanaman minggu IV(cm) 7.98b 8.81a 7.64b Keterangan : Huruf yang sama pada baris yang sama menunjukkan tidak

berbeda nyata pada uji DMRT 5%. Pengamatan tinggi tanaman dilakukan pada 5 tanaman secara acak pada tiap ulangan.


(53)

Tabel 19. Hasil analisis regresi dan korelasi pola topografi pewarnaan tetrazolium dengan tolak ukur daya tumbuh

Pola topografi Lot a b R2 r

DT hari ke-14

Pola 1,2 A -70.43 1.843 0.4660 0.5618

B -135.60 2.598 0.7750 0.8808

C -72.41 1.854 0.7410 0.8614

Pola 1,2,3 A -195.80 3.3330 0.6950 0.8341

B -168.00 2.8480 0.7860 0.8868

C -64.35 1.6930 0.6180 0.7865

DT hari ke-21

Pola 1,2 A -173.2000 3.2250 0.5370 0.7332

B -108.6000 2.3030 0.5480 0.7405

C -51.4500 1.6120 0.8060 0.8980

Pola 1,2,3 A -216.1000 3.6110 0.7820 0.8845

B -155.3000 2.7320 0.6500 0.8064

C -51.4500 1.6120 0.8060 0.8980

DT hari ke-28

Pola 1,2 A -173.2000 3.2250 0.5370 0.7332

B -51.6600 1.6660 0.8090 0.8997

C -141.0000 2.3700 0.9060 0.9491

Pola 1,2,3 A -216.1000 3.6110 0.7820 0.8845

B -44.7600 1.5110 0.5610 0.7493

C -88.0000 2.0000 0.6400 0.7765

DT hari ke-56

Pola 1,2 A -178.2000 3.2250 0.6450 0.8032

B -70.8800 1.9110 0.7640 0.8745

C -51.4500 1.6120 0.8060 0.8980

Pola 1,2,3 A -198.3000 3.3330 0.8000 0.8944

B -44.760 1.5110 0.5610 0.7570

C -56.2900 1.6120 0.8060 0.8980

Keterangan : a: intersep, b: koefisien regresi, R2: koefisien determinasi, r: koefisien korelasi


(54)

Tabel 20. Hasil analisis regresi dan korelasi pola topografi pewarnaan tetrazolium dengan performa tanaman

Tolok Ukur Pola 1,2,3 (viabilitas) Pola 1,2 (vigor)

R2 r R2 r

Tinggi minggu ke-2 0.64 0.8006 0.573 0.7573

Tinggi minggu ke-3 0.823 0.9068 0.715 0.8456 Tinggi minggu ke-4 0.539 0.7348 0.502 0.7090 Keterangan : Seluruh data ditransformasi ke nilai Z baku

Secara keseluruhan, pola 1,2 dan 1,2,3 mempunyai korelasi yang tinggi dengan tolok vigor bibit yang diamati yaitu DT hari ke-14, ke-21, ke 28 dan ke-56 serta tinggi tanaman minggu ke-14, ke-21 dan ke-28, yang ditunjukkan dengan tingginya nilai koefisien korelasi (0.56 – 0.94) seperti pada Tabel 19 dan 20. Sebagian besar (56-90%) titik pengamatan berada di sekitar garis linier, hal ini ditunjukkan dengan nilai koefisien determinasi yang tinggi. Hasil analisis regresi dan korelasi menunjukkan pola 1,2,3 yang merupakan pola viable berkorelasi lebih erat dengan tolok ukur DT hari ke-14 dan ke-21, tinggi tanaman minggu ke-2, ke-3, ke-4 dan ke-8. Sedangkan pola 1,2 yang menunjukkan vigor berkorelasi lebih erat dengan DT hari ke-28 dan ke-56. Seiring dengan pertambahan waktu diperoleh pola 1, 2 sebagai tolok ukur vigor lebih berkorelasi dengan daya tumbuh dibandingkan dengan pola 1, 2, 3. diduga merupakan pola uji TZ yang dapat digunakan untuk menduga field emergence, yaitu dapat menduga pertumbuhan tanaman pada semua kondisi lingkungan. Pola 1,2,3 dan pola 1,2 dapat digunakan untuk mengestimasi pertumbuhan tanaman, tetapi pola 1,2 sebagai pola vigor dapat mengestimasi lebih baik. Menurut Sadjadet al. (1999) vigor menunjukkan kecepatan yang tinggi dalam proses pertumbuhannya apabila kondisi di sekelilingnya optimum untuk tumbuh dan proses metabolismenya tidak terhambat. Vigor benih merupakan salah satu aspek dari mutu fisiologis benih, yang menentukan potensi pemunculan kecambah yang cepat, seragamcommit to user


(1)

24-Nov-14 31.8 23.6 27.7 79 90 85 - 55 5

25-Nov-14 31.9 22.8 27.4 62 93 78 21.3 64 3

26-Nov-14 32.2 23.4 27.8 62 92 77 16.7 40 3

27-Nov-14 32.6 22.6 27.6 64 95 80 3.1 58 5

28-Nov-14 33.6 23.4 28.5 52 93 73 40.4 68 4

29-Nov-14 32.5 23.2 27.9 61 91 76 0.1 60 4

30-Nov-14 29.9 23 26.5 68 79 74 20.5 3 6

1-Dec-14 32.8 24.8 28.8 56 85 71 - 31 8

2-Dec-14 31.1 22.8 27.0 63 85 74 - 4 7

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

3-Dec-14 30 23.5 26.8 84 90 87 - 18 4

4-Dec-14 30.6 23 26.8 66 95 81 1 33 4

5-Dec-14 30.2 23.4 26.8 72 92 82 0.1 14 3

6-Dec-14 31 23 27.0 69 96 83 2.6 36 3

7-Dec-14 30.4 22.6 26.5 67 95 81 5.4 34 3

8-Dec-14 31.8 23.4 27.6 62 87 75 - 48 5

9-Dec-14 30.6 24.3 27.5 70 91 81 - 38 4

10-Dec-14 32.6 22.4 27.5 58 89 74 - 96 5

11-Dec-14 32.4 23.4 27.9 55 84 70 TTU 76 6

12-Dec-14 30 23.1 26.6 69 95 82 3 13 4

13-Dec-14 30 23.6 26.8 75 95 85 0.3 3 4

14-Dec-14 32.2 23.2 27.7 58 93 76 - 88 3

15-Dec-14 32 23.4 27.7 77 90 84 - 51 5

16-Dec-14 33 24.2 28.6 57 88 73 - 66 4

17-Dec-14 32.9 24.2 28.6 60 84 72 - 53 5

18-Dec-14 33.2 24.4 28.8 59 89 74 1.3 81 4

19-Dec-14 33.4 23.2 28.3 55 93 74 21 78 4

20-Dec-14 32.3 23.6 28.0 71 88 80 7.4 59 5

21-Dec-14 32.8 23.2 28.0 63 90 77 0.2 74 3

22-Dec-14 32.2 24 28.1 62 97 80 1.4 66 5

23-Dec-14 33.2 22.2 27.7 61 90 76 46.7 75 5

24-Dec-14 33.2 23.6 28.4 55 88 72 0.2 88 4

25-Dec-14 33.6 23 28.3 58 95 77 4 88 4

26-Dec-14 32.2 23 27.6 66 92 79 14.4 20 4

27-Dec-14 27.4 23.7 25.6 87 97 92 74.6 0 3

28-Dec-14 29 24.6 26.8 72 76 74 12.8 0 4

29-Dec-14 31.7 23.2 27.5 60 93 77 3.1 41 3

30-Dec-14 31.8 23.8 27.8 56 89 73 - 21 4

31-Dec-14 28.6 23.4 26.0 86 90 88 0.5 14 5

Rata-rata 32.1 23.2 27.6 63 91 77 19.8 54 4


(2)

Ket : TTU = tidak terukur (terjadi hujan tetapi tidak terukur pada alat penakar hujan / hujan gerimis)

Lampiran 9

. Tabel rekapitulasi nilai peluang nyata hasil analisis ragam lot A, B

dan C pada beberapa parameter mutu benih, pertumbuhan bibit

dan tanaman pada percobaan 1 sampai 3

Parameter

Tolok Ukur

Pr>F

KK (%)

Mutu Benih

Daya berkecambah

0.004**

4.68

Indeks vigor

0.001**

6.49

Accelerated aging

0.000**

4.63

Kecepatan tumbuh

0.001**

5.19

Laju pertumbuhan kecambah

0.316

tn

0.00

Pertumbuhan

Daya tumbuh hari ke-14

0.762

tn

12.96


(3)

Pr>F : peluang nyata, KK : koefisien keragaman; * berbeda nyata; ** sangat berbeda nyata; tn : tidak berbeda nyata

Lampiran 10.

Dokumentasi Penelitian

Benih pepaya

Callina

sp. yang digunakan dalam penelitian


(4)

Kecambah normal pada saat pengamatan pertama pengujian daya berkecambah


(5)

Pengujian tetrazolium di laboratorium

Pengujian

accelerated aging

(AA) di laboratorium


(6)