Latar Belakang Pengaruh Arus Kas Bebas, Capital Adequacy Ratio dan Good Corporate Governance pada Manajemen Laba.
2 kenyataannya manajer tidak selalu bertindak sesuai dengan kepentingan prinsipal.
Prinsipal akan sulit untuk mengontrol secara efektif tindakan yang dilakukan oleh manajer karena hanya memiliki sedikit informasi dan tidak dapat secara langsung
mengawasi aktivitas manajemen sehari-hari sedangkan manajer sebagai agen lebih banyak memiliki informasi internal perusahaan.
Adanya asimetri informasi antara prinsipal dan manajer akan menimbulkan masalah keagenan agency problem. Terdapat dua jenis permasalahan yang
ditimbulkan oleh asimetri informasi yaitu adverse selection dan moral hazard Jensen dan Meckling, 1976. Adverse selection keputusan serba salah adalah
keadaan dimana prinsipal tidak dapat mengetahui apakah suatu keputusan yang diambil oleh manajer benar-benar didasarkan atas informasi yang telah
diperolehnya, atau terjadi akibat kelalaian manajer dalam menjalankan tugas. Selanjutnya, moral hazard penyimpangan moral merupakan permasalahan yang
muncul jika manajer tidak melaksanakan hal-hal yang telah disepakati bersama dalam kontrak kerja dan cenderung bertindak oportunis.
Asimetri informasi ini akan memberikan kesempatan kepada manajer untuk melakukan manajemen laba earnings management. Menurut Scott 2011:423,
manajemen laba merupakan suatu tindakan manajer yang memilih kebijakan akuntansi untuk mencapai beberapa tujuan yang spesifik. Salah satu cara untuk
mengukur manajemen laba adalah dengan menggunakan proksi discretionary accrual. Discretionary accrual adalah komponen akrual yang berada dalam
kebijakan manajer Firdaus, 2013. Jensen 1986 menyatakan bahwa salah satu penyebab masalah keagenan
antara manajer dan prinsipal adalah konflik kepentingan berkaitan dengan
3 penggunaan arus kas bebas free cash flow perusahaan. Arus kas bebas
merupakan kas yang tersisa dari pendanaan seluruh proyek yang menghasilkan net present value NPV positif Jensen, 1986. Kieso 2007:219 mendefinisikan arus
kas bebas sebagai jumlah arus kas diskresioner perusahaan untuk membeli investasi tambahan, melunasi utang, membeli saham treasury, atau hanya untuk
menambah likuiditas perusahaan. Ross et al. 2000 menyatakan bahwa arus kas bebas sebagai kas perusahaan yang dapat didistribusi kepada kreditur atau
pemegang saham yang tidak digunakan untuk modal kerja atau investasi pada aset tetap. Jadi, arus kas bebas dapat disimpulkan sebagai sisa kas yang dimiliki
perusahaan, setelah perusahaan membiayai semua investasi dan modal kerja untuk kegiatan operasionalnya dalam rangka pengembangan usaha.
Adanya arus kas bebas dalam perusahaan dapat menyebabkan terjadinya konflik antara prinsipal dengan manajer. Prinsipal menginginkan agar arus kas
bebas dibagikan dalam bentuk dividen sehingga menambah kesejahteraan mereka, sedangkan manajer menginginkan arus kas bebas tersebut digunakan untuk
membiayai investasi meskipun peluang pertumbuhan perusahaan rendah. Manajer tidak menginginkan arus kas bebas tersebut dibagikan sebagai dividen, karena
pembayaran dividen kepada pemegang saham akan mengurangi sumber ekonomi yang berada dalam kekuasaan manajer sehingga akan mengurangi kekuatan
manajer dalam perusahaan. Selain itu, pembayaran dividen lebih memungkinkan adanya peningkatan monitoring oleh pasar modal ketika perusahaan harus
menghimpun modal baru untuk membiayai investasi Jensen, 1986. Manajer memiliki insentif untuk memperbesar perusahaan melebihi ukuran
optimalnya sehingga mereka tetap melakukan investasi meskipun memberikan
4 NPV negatif Jensen, 1986. Semakin besar ukuran perusahaan, semakin besar
sumber daya perusahaan yang ada di bawah kendali manajer, sehingga semakin besar kemungkinan manajer dapat menyalahgunakan sumber daya perusahaan
untuk kepentingan pribadinya. Overinvestment dengan menggunakan arus kas bebas dilakukan untuk menghindari pengawasan yang berhubungan dengan
penambahan modal dari luar perusahaan Rosdini, 2009. Overinvesment yang dilakukan oleh manajer mungkin saja dapat
meningkatkan ukuran perusahaan tetapi tidak dapat meningkatkan profitabilitas perusahaan dalam jangka panjang. Adanya penurunan kinerja atau penurunan laba
akan menyebabkan penurunan tingkat pengembalian saham, yang mungkin akan memicu prinsipal pemegang saham untuk mengganti CEO dan senior eksekutif
lain Chung et al., 2005. Dalam upaya untuk mencegah melaporkan penurunan laba, manajer akan termotivasi untuk melakukan manajemen laba dengan
menerapkan prosedur akuntansi yang meningkatkan laba income maximization untuk menyembunyikan dampak negatif dari overinvesment yang dilakukannya.
Hal ini didukung oleh penelitian Richardson 2006 dengan hasil penelitian yang
menyatakan bahwa arus kas bebas berpengaruh positif pada overinvesment. Penelitian mengenai arus kas bebas dan manajemen laba dilakukan Bukit dan
Iskandar 2009, Kangarluei et al. 2011 serta Bhundia 2012 yang memberikan kesimpulan bahwa terdapat hubungan yang positif antara manajemen laba dan
arus kas bebas, dengan kata lain arus kas bebas dapat memotivasi tindakan manajemen laba dan hubungan yang signifikan terjadi pada perusahaan yang
memiliki arus kas bebas tinggi. Hasil penelitian ini mendukung hipotesis free cash flow dari Jensen 1986 dan hasil penelitian Chung et al. 2005.
5 Berbeda dengan temuan tersebut, hasil penelitian Agustia 2013 serta Kono
dan Yuyetta 2013 menunjukkan bahwa arus kas bebas memiliki hubungan negatif terhadap manajemen laba. Menurut Agustia 2013, perusahaan dengan
nilai arus kas bebas yang tinggi cenderung tidak melakukan manajemen laba, karena dalam hal ini sebagian besar investor merupakan transient investors
pemilik sementara perusahaan yang lebih terfokus pada informasi arus kas bebas yang menunjukkan bagaimana kemampuan perusahaan dalam membagikan
dividen. Perusahaan akan mampu meningkatkan harga sahamnya, karena investor melihat bahwa perusahaan tersebut memiliki kas lebih untuk pembagian deviden.
Wang 2010 juga menyatakan bahwa keberadaan arus kas bebas dalam
perusahaan justru akan meningkatkan peluang investasi yang akan menghasilkan nilai lebih bagi perusahaan. Perusahaan akan lebih mampu bertahan dalam situasi
yang buruk karena memiliki kesempatan untuk melakukan investasi dan belanja modal dalam rangka mempertahankan operasi yang sedang berjalan. Dengan
adanya kesempatan yang dimiliki, perusahaan diharapkan mampu menunjukkan kinerja baik yang dapat dilihat dari pertumbuhan laba yang diperoleh perusahaan.
Selain konflik kepentingan yang berkaitan dengan penggunaan arus kas bebas, faktor lainnya yang dapat memicu tindakan manajemen laba adalah ketika
perusahaan mengalami penurunan CAR Capital Adequacy Ratio, khususnya pada perusahaan perbankan. Pemilihan variabel CAR dalam penelitian ini
merujuk pada kasus manajemen laba yang terjadi pada PT. Bank Lippo Tbk tahun 2002. Kasus ini muncul setelah Bank Lippo menerbitkan dua versi laporan
keuangan yang berbeda antara yang dipublikasikan kepada publik dan yang dilaporkan kepada Bapepam. Pada kasus ini
pencantuman kata “audited” pada
6 Laporan Keuangan PT. Bank Lippo Tbk per 30 September 2002 membawa
implikasi pada perhitungan akun-akun didalamnya yang terlihat baik namun sesungguhnya bukan keadaan yang sebenarnya.
Laporan keuangan yang disampaikan ke publik mencatat total aktiva per 30 September 2002 sebesar Rp. 24,185 triliun, laba tahun berjalan sebesar Rp. 98,77
miliar dan CAR sebesar 24,77 persen Bapepam, 2003. Sekilas dengan membaca laporan ini, investor melihat bahwa kinerja perusahaan berjalan dengan baik.
Dengan demikian,
keputusan-keputusan yang
diambil investor
akan menguntungkan perusahaan, misalnya investor akan melakukan pembelian saham
PT. Bank Lippo Tbk secara besar-besaran. Hal ini tentunya merugikan investor sebab dengan dasar informasi yang salah maka keputusan yang diambil juga tidak
tepat. CAR merupakan rasio kinerja bank untuk mengukur kecukupan modal yang
dimiliki bank dalam menunjang aktiva yang mengandung atau menghasilkan risiko, misalnya kredit yang diberikan Dendawijaya, 2005:121. CAR merupakan
indikator terhadap kemampuan bank untuk menutupi penurunan aktivanya sebagai akibat dari kerugian bank yang disebabkan oleh aktiva yang berisiko. Jadi,
semakin tinggi CAR semakin baik kondisi sebuah bank. Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 1512PBI2013, bank dinyatakan sehat jika memiliki
CAR minimum 8 persen. Untuk dapat bersaing, sebuah bank harus bekerja pada tingkat efisiensi yang
tinggi dan mampu mengelola risiko serta memiliki modal yang cukup sebagai penggerak aktivitas operasional Taswan, 2012:139. Modal ini digunakan untuk
menjaga kepercayaan masyarakat terhadap kinerja bank. Nilai CAR yang
7 meningkat akan menghasilkan laba yang mengalami peningkatan. Hal ini
disebabkan oleh adanya peningkatan jumlah pada modal sendiri sehingga modal sendiri tersebut dapat digunakan untuk mengelola aktiva yang ada dan perputaran
aktiva tersebut dapat meningkatkan kinerja perusahaan yang secara tidak langsung juga akan meningkatkan laba Cahyono, 2008 dalam Arriela, 2013.
Indikasi praktik manajemen laba terjadi di sektor perbankan telah diteliti oleh Bertrand 2000. Dalam penelitian tersebut ditemukan bukti secara empiris bank
di Swiss yang sedikit kurang atau mendekati ketentuan batasan kecukupan modal cenderung untuk meningkatkan rasio kecukupan modal CAR mereka agar
memenuhi persyaratan dengan cara melakukan manajemen laba. Susanto 2003
dalam Zahara dan Veronica 2009 menemukan adanya indikasi praktik pengelolaan laba yang dilakukan oleh kelompok bank tidak sehat dan salah satu
faktor dominan yang mendorong bank melakukan pengelolaan laba adalah motif meningkatkan kinerja bank. Penelitian Nasution dan Setiawan 2007 juga
membuktikan alasan perusahaan perbankan melakukan manajemen laba adalah ketatnya regulasi perbankan dibandingkan industri lain, salah satunya adalah bank
harus memenuhi kriteria CAR minimum. Penelitian yang dilakukan oleh Arriela 2013 membuktikan bahwa CAR
berpengaruh positif terhadap pertumbuhan laba perusahaan perbankan. Hasil penelitian Indriani 2010 tentang pengaruh kinerja keuangan terhadap
manajemen laba menunjukkan bahwa rasio kecukupan modal CAR berpengaruh negatif terhadap manajemen laba, hasil ini juga didukung oleh penelitian Firdaus
2013 .
Akan tetapi, dalam penelitian Zahara dan Veronica 2009, Setiawati
8 2010 serta Sari 2012 menunjukkan hasil bahwa CAR tidak berpengaruh
terhadap manajemen laba. Untuk mengurangi terjadinya tindakan manajemen laba maka upaya yang
dapat dilakukan antara lain dengan membangun sistem pengawasan dan pengendalian yang lebih baik, karena hal ini akan mendorong terciptanya
keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas dalam pengelolaan sebuah perusahaan. Sistem ini dapat dilakukan dengan cara menerapkan tata kelola
perusahaan yang baik good corporate governance Wardhani dan Joseph, 2010. Dengan adanya good corporate governance dapat membantu para pengguna
informasi keuangan untuk lebih yakin bahwa laporan keuangan yang dihasilkan bebas dari pelanggaran fraud.
Good corporate governance GCG merupakan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara pemegang saham, manajer, kreditur, pemerintah,
karyawan dan stakeholders lainnya agar seimbang hak dan kewajibannya FCGI, 2006. Dengan adanya GCG diharapkan laporan keuangan yang dilaporkan oleh
agen sebagai pertanggungjawaban kinerjanya, prinsipal dapat menilai, mengukur dan mengawasi sampai sejauh mana agen tersebut bekerja untuk meningkatkan
kesejahteraannya serta sebagai dasar pemberian kompensasi kepada agen. Mekanisme GCG yang dijalankan sesuai dengan standar dan prosedur
perusahaan akan dapat meminimalisir tindakan manajemen perusahaan yang melenceng terutama agar tidak mengarah kepada praktik manajemen laba yang
dapat mengancam kelangsungan hidup suatu perusahaan. Penerapan mekanisme GCG secara konsisten juga dapat meningkatkan kualitas laporan keuangan dan
9 dapat menghambat terjadinya manajemen laba sehingga dapat menggambarkan
kinerja fundamental perusahaan yang baik Anggana dan Prastiwi, 2013. Pengukuran GCG dalam penelitian ini menggunakan proksi dewan komisaris
independen, komite audit, kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Alasan pemilihan keempat proksi tersebut karena berdasarkan pernyataan Jensen
dan Meckling 1976 konflik kepentingan dalam hubungan keagenan dapat diminimumkan melalui mekanisme monitoring secara langsung yang bertujuan
untuk menyelaraskan berbagai kepentingan. Fungsi monitoring tersebut dapat dilakukan oleh keempat proksi GCG yang digunakan dalam penelitian ini.
Menurut Alzoubi dan Selamat 2012, pemegang saham bergantung pada kemampuan dewan komisaris dan komite audit untuk memantau kinerja
manajemen. Oleh karena itu, tanggung jawab kualitas pelaporan keuangan terletak pada efektivitas peran dewan dan komite auditnya. Adanya kepemilikan
manajerial dapat berperan sebagai pihak yang dapat menyatukan kepentingan antara manajer dan pemegang saham, sehingga dapat menekan terjadinya praktik
manajemen laba. Selanjutnya, kepemilikan saham oleh investor institusional dapat meningkatkan fungsi monitoring terhadap kinerja manajer sehingga mendorong
manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan yang akan dapat mengurangi perilaku oportunistik manajer Cornet et al., 2009.
Adanya dewan komisaris independen akan membantu pengawasan terhadap dewan direksi menjadi lebih baik. Dalam menjalankan tugasnya anggota dewan
komisaris harus bersikap independen. Oleh sebab itu, dalam keanggotaan dewan komisaris harus terdapat anggota dari luar perusahaan yang independen Farida,
2012. Jika independensi dewan komisaris lemah, maka ada kecenderungan
10 terjadinya moral hazard oleh para direktur perusahaan untuk memenuhi
kepentingannya. Penelitian Kouki et al. 2011, Anggraeni dan Hadiprajitno 2013 serta Anggana dan Prastiwi 2013 menyatakan bahwa dewan komisaris
independen berpengaruh negatif pada manajemen laba. Namun, penelitian yang dilakukan oleh Ujiyantho dan Pramuka 2007 menunjukkan bahwa dewan
komisaris independen berpengaruh positif terhadap manajemen laba. Akan tetapi, hasil penelitian Yu 2006, Murhadi 2009, Oktovianti dan Agustia 2012
menunjukkan bahwa proporsi dewan komisaris independen tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
Peran komite audit seringkali dihubungkan dengan kualitas pelaporan keuangan karena dapat membantu dewan komisaris dalam mengawasi proses
pelaporan keuangan oleh manajemen untuk meningkatkan kredibilitas laporan keuangan Suaryana, 2005. Peranan komite audit yang tinggi diharapkan mampu
mengurangi praktik manajemen laba. Hal ini didukung oleh penelitian Panggabean 2011 serta Anggraeni dan Hadiprajitno 2013 yang menyatakan
terdapat pengaruh negatif antara komite audit terhadap manajemen laba. Hasil penelitian oleh Lin et al. 2006 dan Alves 2011 juga mengungkapkan
kesimpulan yang sama. Selain itu, penelitian Bukit dan Iskandar 2009 memberikan hasil bahwa komite audit dapat memoderasi hubungan antara surplus
arus kas bebas dan manajemen laba, dimana dengan adanya komite audit yang independen dapat mengurangi tindakan manajemen laba yang meningkatkan laba.
Namun, hasil penelitian tersebut berbeda dengan hasil penelitian Alkdai dan Hanefah 2012 yang menyatakan bahwa besar kecilnya ukuran komite audit
terbukti tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
11 Kepemilikan saham manajerial dapat mensejajarkan antara kepentingan
pemegang saham dengan manajer, karena manajer ikut merasakan langsung manfaat dari keputusan yang diambil dan manajer juga ikut menanggung risiko
apabila ada kerugian yang timbul sebagai konsekuensi dari pengambilan keputusan yang salah Anggraeni dan Hadiprajitno, 2013. Dengan meningkatkan
kepemilikan saham oleh manajer, diharapkan manajer akan bertindak sesuai dengan keinginan prinsipal karena manajer akan termotivasi untuk meningkatkan
kinerja. Hasil penelitian Mahariana dan Ramantha 2014 membuktikan bahwa kepemilikan manajerial yang tinggi berpengaruh negatif terhadap akrual
diskresioner perusahaan. Hal ini didukung oleh hasil penelitian terdahulu yang dilakukan oleh Chtourou et al. 2001 serta Midiastuty dan Machfoeds 2003.
Namun, hasil penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian Boediono 2005 yang menyatakan bahwa kepemilikan manajerial memberikan pengaruh positif
dan signifikan terhadap manajemen laba, sedangkan hasil penelitian Anggraeni dan Hadiprajitno 2013 memberikan bukti bahwa kepemilikan manajerial tidak
berpengaruh terhadap manajemen laba. Tindakan pengawasan perusahaan oleh pihak investor institusional dapat
mendorong manajer untuk lebih memfokuskan perhatiannya terhadap kinerja perusahaan, sehingga akan mengurangi perilaku oportunistik atau mementingkan
diri sendiri Cornett et al., 2009. Hasil penelitian Widyastuti 2009 dan Indriastuti 2012 menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh
negatif signifikan terhadap discretionary accrual, sehingga kepemilikan saham oleh investor institusional dapat menjadi kendala bagi perilaku oportunistik
manajemen. Hasil tersebut berbeda dengan hasil penelitian oleh Yang et al.
12 2009, Ujiyantho dan Pramuka 2007, Guna dan Herawaty 2010, serta
Oktovianti dan Agustia 2012 yang menghasilkan kesimpulan bahwa variabel kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap manajemen laba karena
investor institusional sebagai pemilik sementara perusahaan lebih terfokus pada current earnings.
Adanya perbedaan hasil penelitian sebelumnya, membuat peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai pengaruh arus kas bebas,
capital adequacy ratio dan good corporate governance pada manajemen laba. Seperti yang diketahui bahwa tindakan manajemen laba merupakan tindakan yang
berada di daerah abu-abu grey area, yaitu antara aktivitas yang diijinkan oleh prinsip akuntansi dan aktivitas yang merupakan kecurangan. Untuk itu, diperlukan
penelitian lebih lanjut guna mengetahui faktor-faktor dan motivasi apa saja yang memengaruhi tindakan manajemen laba. Di Indonesia masalah arus kas bebas
belum banyak mendapat perhatian karena perusahaan-perusahaan tidak mengumumkan arus kas bebas secara eksplisit. Berbeda dengan di Amerika
Serikat, arus kas bebas cukup mendapat perhatian karena terdapat badan independen seperti Value Line Investment Survey yang mengumumkan secara
berkala arus kas bebas yang dimiliki perusahaan Uyara dan Tuasikal, 2003. Perusahaan yang akan diteliti pada penelitian ini adalah perusahaan sektor
perbankan di Bursa Efek Indonesia BEI dengan periode pengamatan tahun 2010-2014. Alasan penelitian dilakukan pada perusahaan perbankan, pertama,
perusahaan perbankan seringkali dikeluarkan dari penelitian yang dilakukan selama ini karena struktur modal yang berbeda dengan badan usaha pada
umumnya. Kedua, karena industri perbankan merupakan industri yang melibatkan
13 penghimpunan dan pengelolaan dana masyarakat, dimana usahanya sangat
mengandalkan kepercayaan masyarakat, sehingga perusahaan akan selalu berusaha menunjukkan kinerja yang baik. Selain itu, perusahaan perbankan juga
lebih rentan terhadap risiko seperti kredit macet, sehingga perusahaan ini memiliki regulasi yang lebih ketat dibandingkan jenis perusahaan lainnya, salah
satunya adalah aturan BI tentang ketentuan minimun CAR yang harus dipenuhi untuk menunjukan tingkat kesehatan bank. Hal ini akan menjadi tekanan bagi
pihak manajemen, dan mendorong tindakan manajemen laba agar perusahaan dapat menjaga kepercayaan masyarakat dan memehuhi ketentuan yang ditetapkan
oleh BI sehingga tidak mengancam kelangsungan usahanya.